Anda di halaman 1dari 9

Beberapa penyebab terjadinya konflik di Papua antara lain :

Banyaknya warga pendatang baru yang berasal dari luar Papua


Timika sebagai daerah perusahaan merupakan magnet bagi para imigran
yang datang dari luar Papua untuk mencari kehidupan yang lebih layak
dengan mencari pekerjaan di Timika. Lantaran adanya perusahaan asing
bertaraf internasional yang kini mampu menampung karyawan sebanyak
19.000 orang. Belum lagi banyaknya karyawan di sejumlah perusahaan
swasta maupun pemerintahan di Timika yang didominasi warga pendatang.
Kondisi ini menggambarkan bahwa jumlah Warga Luar Papua yang masuk ke
Timika lebih dari angka 200an/hari. Hal ini pernah diakui oleh Kepala Distrik
Mimika Baru, James Sumigar S.Sos kepada wartawan, setiap hari warga
pendatang baru yang mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Distrik
Mimika Baru sebanyak 200 orang (Papua Leading News Portal). Lantaran
animo Warga Luar Papua yang datang ke Timika sangat tinggi, maka jangan
heran jika konflik antara sesama warga Timika selalu terjadi. Selain itu
Timika sebagai kota perusahaan dengan alasan pengamanan alat vital milik
PT FI maka pemerintah pusat selalu mengirim pasukan dalam jumlah
tertentu.
Oleh karena itu, tak jarang terjadi konflik baik antara aparat
keamanan dengan warga sipil maupun antara aparat keamanan sendiri.
Timika juga dikenal dengan daerah perputaran uang paling tinggi. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2008 di Kabupaten Mimika
sebesar Rp 2 Triliun (Papua Leading News Portal). Dana sebanyak itu harus
dihabiskan dalam waktu tak lebih dari enam bulan.
Banyaknya uang yang beredar di Timika juga menjadi penyebab
terjadinya konflik. Belum lagi jika PT FI memberikan 1 persen kepada Suku
Amungme dan Kamoro dalam jumlah ratusan miliar rupiah per tahun,
walaupun tak semua Orang Amungme dan Kamoro menikmatinya. Bahkan
hidupnya mereka sangat miskin dan melarat.
Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan di Papua
Faktor penyubur konflik lainnya misalnya sektor pendidikan dan
kesehatan yang tak berjalan baik. Ibaratnya jika tingkat pendidikan baik
maka masyarakat tak mudah terpengaruh oleh rayuan provokator sehingga
tak mudah timbul konflik. Begitupun dengan kesehatan, jika warganya sehat
dengan asupan gizi yang cukup maka tak ada alasan bagi masyarakat
setempat untuk terlibat dalam konflik. Persoalan yang selalu menimbulkan
terjadinya konflik juga lantaran penjualan minuman keras (miras) yang tak
terkontrol. Sejumlah pengusaha beroperasi walaupun tak memiliki izin
penjualan dari pihak pemerintah daerah setempat. Terdapat juga miras
oplosan yang berbahaya bagi tubuh manusia. Dalam banyak kasus, miras

juga menjadi penyebab konflik yang berkepanjangan di Timika. Namun hal


ini tak pernah disikapi pemerintah daerah setempat.
Kalangan pemuda yang tidak menuruti ketua adat Pada kasus konflik
antara suku Dani dan suku Damal, setelah ada korban meninggal kepala
suku salah satu dari kedua suku tersebut telah memberikan tanda damai.
Namun beberapa kalangan anak muda justru tidak mendengarkan perintah
dari kepala suku. Akibatnya terjadi konflik lagi karena dendam yang harus
dibalaskan. Dalam kondisi seperti ini, aparat keamanan diterjunkan untuk
melerai konflik, namun sering kali justru aparat keamanan yang ditudu
menjadi penyebab karena mungkin sudah geram dengan aksi dari orangorang yang tidak bertanggung jawab.
Balas dendam masih menjadi budaya di Papua Sejumlah kasus kekerasan
terjadi di Papua, selain penembakan, perang antar suku juga kerap terjadi.
Polisi menengarai hal ini karena adanya dendam antar kelompok. "Memang
antar suku di Papua sering terjadi masalah kecil,
seperti masalah perbatasan dan lain-lain yang kecil-kecil. Maka terjadi
perselisihan antar mereka dan membawa sukunya untuk menyerang antar
suku sehingga terjadilah suatu benturan suku," ujar Kabareskrim Mabes Polri
Komjen Pol Sutarman usai rapat tentang Century dengan pimpinan DPR dan
anggota DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (6/6/2012) (detiknews).
Untuk menghindari terjadinya perang antarsuku, mungkin bisa saja
menggunakan pendekatan pencegahan. Caranya adalah dengan
menyampaikan imbauan ke masyarakat agar menyelesaikan masalah tidak
dengan cara perang. "Karena memang budaya di sana menyelesaikan
masalah dengan cara-cara balas dendam, jadi banyak persoalan di Papua
akhirnya menimbulkan korban jiwa yang dibayar mahal antar kelompok,"
sambung Sutarman. Tim dari Bareskrim Polri telah dikirim ke Papua untuk
mem-back up pasukan. Sementara itu pasukan telah disiagakan di sejumlah
wilayah seperti Mimika, Puncak Jaya, dan di beberapa daerah lainnya.
Sayangnya komunikasi dan transportasi di Papua cukup sulit, sehingga jika
terjadi bentrokan melibatkan banyak orang menjadi korban.
Profokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab
Peperangan antarsuku yang terjadi di Papua salah satunya juga
disebabkan karena ulah provokasi baik dari anggota masyarakat suku
ataupun orang yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh ketika warga
dari suku Wamena menghancurkan pemukiman warga suku Yoka karena
warga suku Wamena terprovokasi dengan nada dering /ring tone
yang dibuat oleh seseorang dari suku Yoka. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat suku di Papua sangat mudah terprovokasi dengan isu-isu yang
ada dalam masyarakat. Apalagi budaya balas

Jakarta - Cagub DKI Jakarta Anies Baswedan bicara soal makna sumpah pemuda dan
tantangan untuk masa depan. Tantangan untuk menjaga persatuan bangsa dijadikan
Anies sebagai modal kampanyenya di Pilgub DKI 2017.
"Terkait sumpah pemuda, Jakarta adalah tempat dideklarasikan. Sumpah pemuda ini
menarik karena dia jadi simpul pertama persatuan bangsa kita. Kemudian kesepakatan
memiliki bahasa persatuan bahasa indonesia. Melalui bahasa Indonesia ini kita bisa
berinteraksi dengan siapa saja dan ini simpul yang luar biasa," kata Anies di Gedung
DPR
Anies berada di Gedung DPR untuk menjadi pembicara di seminar Fraksi PKS. Seminar
tersebut bertemakan 'Semangat Sumpah Pemuda dalam Penguatan Karakter dan
Identitas Bangsa'.
"Tantangan ke depan adalah pertama merawat, merawat kebhinekaannya, merawat
persatuannya. Dan itu yang akan kita gunakan dalam berkampanye sekarang," ucap
cagub yang diusung PKS dan Gerindra itu.
Niat itu juga diwujudkan lewat 'salam bersama'. Ada alasan tersendiri mengapa Anies
dan pasangannya Sandiaga Uno mempertahankan salam bersama meski punya nomor
urut 3.
"Kenapa kita memilih gunakan tangan terbuka karena memang menyapa, menyambut
dan menghormati dengan tangan terbuka. Sudah cukup kita mengepal, karena kepalan

tak mengantarkan persahabatan tetapi malah mengantarkan kepalan-kepalan baru,"


papar Anies.
Anies mengatakan bahwa dia dan Sandiaga tidak pernah merencanakan jargon khusus
untuk nomor urut. Nomor 3 yang mereka dapat kemudian diasosiasikan dengan sila ke3 Pancasila.
"Ketika tadi malam dapat nomor ternyata nomor 3. Tanpa kita sadari, nomor 3 adalah
sila ketiga persatuan Indonesia. Ketika kita kumandangkan ini persatuan menjaga
kebhinekaan. Jadi ini pas sejalan dengan yang kita jalankan," pungkasnya.

(imk/erd)

Perang Suku di Kwamki Timika 1 Tewas


Dipanah
TIMIKA - Perang suku di Distrik Kwamki Narama, Timika Papua kembali terjadi yang
mengakibatkan satu orang tewas terkena anak panah, Rabu (11/5/2016). Bentrok dipicu
perselisihan lama antara warga Osea Ongomang dari Kampung Atas dan warga Atimus
Komangal dari Kampung Bawah. Sehingga mereka saling serang dengan menggunakan
panah, tombak dan senjata tradisional lainnya.
Korban tewas berasal dari kelompok Atimus Komangal, yang bernama Jekson Komanggal
sementara beberapa warga lainya mengalami luka akibat dipanah.
Saling lepas anak panah antara dua kelompok suku ini akibat dari salah seorang warga yang
bernama Fredik Kiwak warga kelompok bawah meninggal dunia karena menderita luka panah
yang di deritanya sejak tahun 2012 lalu akibat perang suku. Kebetulan Fredik Kiwak meninggal
pada Selasa kemarin.
Kabar meninggalnya Fredik Kiwak membuat perang antara dua kelompok warga di Kwamki
Narama ini kembali terjadi.

Siang ini jenazah korban akan dibakar sesuai adat istiadat warga Pegunungan Tengah Papua
sementara Jekson yang meninggal akibat perang suku pagi ini juga akan dibakar.
Perang antara dua kelompok suku di Kwamki Narama, Timika, Papua membuat aparat TNI Polri
yang disiagakan sulit untuk meredam bentrokan tersebut. Karena dua kelompok warga terus
melakukan penyerangan.
Kini situasi di Kwamki Narama, Timika, Papua masih belum sepenuhnya aman karena kedua
kelompok masih saling melakukan buang suara atau provokasi untuk melanjutkan aksi saling
serang.
Untuk mengantisipasi aparat kepolisian dari Polres Mimika terus berusaha melakukan mediasi
antar kedua kampung melalui tokoh masyarakat setempat. Namun kedua kelompok warga tetap
bersiaga dengan senjata tajam busur dan anak panah serta alat tajam lainnya di perbatasan
kampung.
Solusi

Pedamaian perang suku yang dilakukan oleh Pemda, Lembaga Kemasyarakatan dan
gereja pada dasarnya memiliki pola pemahaman dan penanganan yang sama. Perang
suku dilihat sebagai suatu tindakan yang negative, sebagai suatu kriminalitas, yang
bertentangan dengan hukum-hukum positif maupun hukum-hukum agama. Karena
pemahaman semacam ini, perang suku harus dihentikan dan ditiadakan. Dengan
pemahaman semacam ini, peran ketiga lembaga di atas tidak lebih dari seorang polisi
penjaga, yang melerai dan menghentikan pertikaian.
Anehnya, sekalipun ketiga lembaga itu melihat perang sebagai sesuatu yang negative,
tetapi dalam upaya mereka untuk menghentikan dan meniadakan perang suku,
ketiganya justru memanfaatkan mekanisme penyelesaian perang secara adat yaitu
membayar ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu. Ketiga lembaga
itu percaya bahwa perang suku baru akan berhenti ketika pihak-pihak yang bertikai
melakukan pembayaran ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu.
Pengakuan terhadap nilai-nilai kultural serta digunakannya nilai-nilai tersebut untuk
menyelesaikan perang suku, tentu merupakan suatu hal yang sangat penting dan
bermanfaat. Terbukti, suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika pokok perang
membayar ganti rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan. Akan tetapi pola
penanganan semacam ini punya dua kelemahan yang mendasar. Pertama, pola
penanganan semacam ini bersifat parsial. Artinya, penanganan semacam ini hanya
effektif untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul
kembali. Kelemahan ini sudah terbukti dalam sejarah. Meskipun perdamaian secara
adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang

terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang
kembali terjadi. Kenyataan seperti ini memperlihatkan bahwa upacara membayar ganti
rugi dan upacara bakar batu bukan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat
preventif. Padahal, ketika perang dilihat sebagai sesuatu yang negative, diperlukan
suatu mekanisme penyelesaian perang suku yang bersifat preventif sehingga perang
tidak terus menerus terulang.
Kedua, penanganan secara adat justru akan semakin memperkokoh keutamaan
kategorisasi (kelompok) sosial. Padahal kategorisasi sosial justru menjadi penyebab
utama dari berbagai konflik sosial. Ketika keutamaan dari kategorisasi sosial ini terusmenerus dikukuhkan, itu berarti konflik sosial antar kategorisasi sosial akan terus
terulang. Atau, dengan kata lain ketika nilai-nilai kultural setiap suku yang ada di
pedalaman papua terus menerus dipertahankan dan mendapat legalitas secara politik
maupun religious maka perang antar suku akan terus menerus terjadi.
Bagi penulis kedua kelemahan itu memunculkan suatu tanya: kenapa pembayaran ganti
rugi dan upacara bakar batuyang secara historis tidak mampu menyelesaikan konflik
secara permanen dan justru semakin memperkokoh penyebab utama perang suku yaitu
keutamaan kategorisasi socialterus menerus dilakukan ? adakah berbagai
kepentingan yang bermain dibalik perang suku dan upacara bakar batu ? Penulis
melihat adanya beberapa indicator yang mengarah kepada hal itu, yaitu:
1.

Secara ekonomis, perang suku dan upacara bakar batu selalu menghabiskan biaya

yang tidak kecil. Setiap terjadi perang, harta benda yang menjadi korban atau
dikorbankan tidaklah sedikit dan biaya pembayaran ganti rugi dan upacara pelaksanaan
bakar batu bias mencapai Rp 500.jt,.( lima ratus juta) sampai Rp.1.m,- (satu meliar).
Kenyataan semacam ini akan berdampak terjadinya kemiskinan di antara masyarakat
Papua. Akibat lebih lanjut dari kemiskinan ini ialah masyarakat papua akan kesulitan
dalam mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki sehingga citra sebagai
masyarakat termiskin di Indonesia terus dipertahankan.
2.

Aspek ekonomis itu pada gilirannya juga berdampak secara politis. Ada dua

dampak politis yang bias dilihat. a). jika citra sebagai masyarakat termiskin bisa
dipertahankan dalam jangka waktu yang semakin lama, maka akan memunculkan
sebuah citra baru bagi masyarakat Papua, yaitu citra sebagai masyarakat yang
tergantung pada pihak lain. Jika persoalan ini dikaitkan dengan persoalan politik yang
terus bergejolak di Papua, akan menjadi alat yang akan meredam keinginan sebagian
masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, jika hidup mereka
masih sangat tergantung pada pihak lain? B). Masih dalam kaitannya dengan
pergolakan politik di Papua, perang antar suku juga akan semakin menyulitkan
keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa

merdeka, ketika pikiran, tenaga dan sumber-sumber ekonomi yang mereka miliki
senantiasa dipusatkan untuk berperang dan mengatasinya ?
3.
Aspek Hak Asasi Manusia. Setiap terjadi perang, satu-persatu masyarakat Papua
meninggal dunia sebagai korban perang. Jika perang terus menerus terjadi, pelan tapi
pasti Ras Melanesia di Papua akan hilang akibat konflik di antara mereka sendiri. Jika
persoalan seperti ini dikaitkan dengan persoalan diseputar penyakit AIDS yang banyak
diderita oleh masyarakat Papua, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah
apakah ada kepentingan genocide dibalik perang suku ? siapakah pihak-pihak yang
berkepentingan dengan itu?
Ketika, Pemerintah Daerah, Lembaga Kemasyarakatan Adat dan juga gereja terus
mengupayakan penyelesaian secara adat, maka pertanyaan yang pantas diajukan
kepada ketiga lembaga itu adalah apakah ketiga lembaga itu berkepentingan dengan
berbagai citra yang muncul akibat adanya perang suku ? apakah mereka turut bermain
di situ ? lalu apa kepentingan mereka itu ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah
tugas bangsa papua yang cinta tanah Papua . pertanyaan-pertanyaan ini sebagai
catatan kritis penulis bagi proses penanganan perang suku yang dilakukan oleh ketiga
lembaga tadi.
3.Salah satu solusi yang tepat !
Menurut saya, penanganan perang suku yang dilakukan secara adat terbukti tidak
mampu mengatasi perang suku secara permanen. Penanganan yang hanya
mengedepankan persoalan cultural itu justru semakin mengukuhkan penyebab utama
konflik, yaitu kategorisasi social. Oleh karena itu perlu diusahakan suatu bentuk
penanganan konflik yang baru.
Sebuah pertanyaan yang pantas dikedepankan dalam upaya mencari solusi terbaik bagi
perang suku adalah ketika nilai-nilai kesukuan menjadi penyebab utama dari perang
suku, apakah nilai-nilai kesukuan harus dihilangkan? Jawaban akan hal ini tentu bukan
hal yang mudah. Sebab ketika nilai-nilai kesukuan dihilangkan, akan beresiko terjadinya
ketercerabutan kultural. Untuk mengatasi hal ini, sumbangan teori identitas sosial
dalam menangani konflik sosial akan sangat berguna, utamanya proposalnya
tentang dekategorisasi dan rekategorisasi.
Melalui dekategorisasi, keterikatan individu dengan kelompoknya dieliminir sedemikian
rupa sehingga hubungan antar individu semakin dipersonalkan. Sehingga ketika
berinteraksi, setiap inidividu tidak mewakili kelompoknya, tetapi sebagai seorang
individu-individu yang unik. Pun demikian dalam hal cara pandang individu terhadap
yang lain. Karena individu bukan wakil suatu kelompok, maka ketika terjadi konflik antar

individu, kelompok tidak turut terlibat dalam konflik. Dekategorisasi akan


mempersempit wilayah konflik sehingga terbatas pada konflik antar individu.
Pada titik ini, penyelesaian konflik antar individu yang bisa memuaskan kedua belah
pihak perlu dipikirkan. Sejarah perang suku dalam sepuluh tahun terakhir
memperlihatkan bahwa semula perang suku terjadi karena konflik antar individu. Pihakpihak yang terlibat konflik tidak puas dengan penyelesaian berdasarkan hukum positif.
Sebab, disamping rendahnya kesadaran mereka terhadap hukum positif, mereka juga
melihat bahwa hukum positif tidak mampu menggantikan sesuatu yang hilang akibat
dari suatu kasus, yaitu persoalan harga diri. Sebagai ganti, mereka lebih menyukai
penyelesaian berdasarkan hukum-hukum adat. Berdasarkan pada hal ini, nilai-nilai
kultural suku-suku yang ada di papua perlu dipikirkan sebagai salah satu acuan hukum
untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bisa memicu lahirnya perang suku.
Jalan untuk memanfaatkan nilai-nilai kultural sebenarnya sudah terbuka lebar. Sebab
pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU no. 21 tahun 2001, bab XIV tentang
kekuasaan peradilan. UU tersebut mengatakan bahwa peradilan adalah peradilan
perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan
memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para
warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dan ayat 2 dikatakan pengadilan
adat di susun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Mencermati isi dari ketentuan-ketentuan tersebut, akan sangat bijak
ketika sebuah institusi peradilan adat yang eksistensi dan otoritasnya diakui oleh semua
kelompok suku yang ada dibangun.
Suku-suku di pedalaman Papua pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum itu
memang berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam, satu sistem
yang profesional dan bebas dari intervensi pihak manapun, dan para penegaknya dapat
menjadi suri teladan bagi masyarakat suku. Keadaan yang disebut di atas ini
merupakan salah satu modal dasar yang ampuh dalam rangka mencari kesejahtraan
rakyat Papua. Di dalam hukum adat maupun hukum positif di Papua khusunya,
supremasi hukum itu sendiri harus ditegakan juga agar terlihat secara nyata dalam
penanganan perang. Hal ini penting mengingat tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap nilai-nilai adat masih sangat tinggi dibanding dengan kepercayaan mereka
terhadap hukum positif.
Dekategorisasi sebenarnya merupakan suatu usaha untuk membentuk suatu budaya
baru yang lebih menonjolkan sisi individualitas manusia daripada komunalitasnya.
Harus jujur diakui bahwa masalah diseputar budaya individualitas dan komunalitas
merupakan persoalan yang cukup pelik dan menjadi debat yang berkepanjangan, bukan
saja bagi para teoritisi tetapi juga para praktisi budaya. Tanpa bermaksud terlibat dalam

debat tersebut, untuk kepentingan tulisan ini cukup dikatakan bahwa dalam konteks
masyarakat Papua, komunalitas yang berpusat pada ikatan-ikatan kesukuan telah
menjadi persoalan serius dan berulang kali memicu lahirnya perang suku. Oleh karena
itu komunalitas tersebut perlu dieliminir dengan menonjolkan sisi individualitas.
Membentuk suatu budaya baru yang menonjolkan sisi individualitas, bukan suatu usaha
yang mudah. Pekerjaan semacam itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan
berkesinambungan. Ia memerlukan proses sosialisasi baik formal maupun non formal.
Sadar dengan kenyataan semacam ini, dunia pendidikan di Papua akan mempunyai
peran yang sangat penting dalam usaha menciptakan suatu budaya baru yang bisa
mengeliminir sisi komunalitas suku-suku yang ada di sana. Dunia pendidikan perlu
merancang suatu kurikulum pendidikan yang sesuai untuk tujuan tersebut.
Bersamaan dengan proses dekategorisasi dan pembangunan institusi hukum adat,
proses rekategorisasiperlu dibangun. Dengan rekategorisasi berbagai kelompok suku
yang ada disatukan dalam suatu kelompok yang lebih besar dengan identitas bersama
yang baru. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam proses rekategorisasi. Pertama,
rekategorisasi dimaksudkan untuk mencari alternative bagi nilai-nilai yang hilang akibat
proses dekategorisasi, yaitu terkikisnya ikatan-ikatan komunalitas lama dengan
menciptakan ikatan-ikatan komunalitas yang baru.

Anda mungkin juga menyukai