Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SOSIOLOGI POLITIK

PARTISIPASI POLITIK

OLEH :

KELOMPOK 6

Anjelina B20119079

Asruliyadi B20119077

Mega Wati B20119088

Masita B20119065

Saprina A B20119097

Sri Isravani B20119100

Dirwani B20119093

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS TADULAKO

JURUSAN SOSIOLOGI

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT. Kepada-Nya kita memuji dan bersyukur,
memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya pula kita memohon perlindungan dari
keburukan diri dan syaiton yang selalu menghembuskan kebatilan pada diri kita.

Dengan rahmat dan pertolongan-Nya, Alhamdulillah makalah yang berjudul “Partisipasi


Politik” ini dapat di selesaikan dengan baik. Kami menyadari sepenuh hati bahwa masih
banyak kekurangan yang terdapat di dalam makalah ini.

Kami mengharapkan kritik dan saran para pembaca sebagai bahan evaluasi kami
dalam pembuatan makalah berikutnya. Mudah-mudahan itu semua menjadikan
cambuk bagi kami agar lebih meningkatkan kualitas makalah ini di masa yang akan
datang.

Palu,20 oktober 2020

ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN TEORI TEORI ............................................................ 2

2.1 Struktur Fungsional .............................................................................. 2

2.2 Konflik .................................................................................................. 2

2.3 Class ..................................................................................................... 4

2.4 Elit ........................................................................................................ 6

2.5 Prularis ................................................................................................. 8

BAB III PEMBAHASAN ............................................................................... 9

3.1 Pengertian Partisipasi Politik?.............................................................. 9

3.2 Fungsi Partisipasi Politik? .................................................................... 9

3.3 peran Warga Negara dalam Partisipasi Politik .................................... 11

BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 13

4.1 Kesimpula ............................................................................................. 13

4.2 Saran ..................................................................................................... 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi , sekaligus
merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Partisipasi politik itu merupakan kegiatan yang
dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah. Sslah satu kegiatan yang
menunjukan adanya partisipasi politik dalam sebuah negara adalah proses pemilihan umum. Di negara-
negara yang demokratis pemilihan umum merupakan alat untuk memberikan kesempatan kepada rakyat
untuk ikut serta mempengaruhi kebijaksaan pemerintah dan sistem politik yang berlaku.Dengan hal ini
pula, pemilihan umum tetaplah merupakan bentuk partisipasi politik rakyat.Dalam pelaksanaannya,
keputusan politik akan menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara. Dengan demikian,
masyarakat tentu berhak ikut serta mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan itu.
Bahkan tingkat partisipasi politik memiliki hubungan erat dengan pertumbuhan sosial-ekonomi.Artinya
dapat mendorong tingginya tingkat partisipasi rakyat. Partisipasi itu juga berhubungan dengan
kepentingankepentingan masyarakat, sehingga apa yang dilakukan rakyat dalam partisipasi politiknya
menunjukkan derajat kepentingan mereka.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan Partisipasi Politik?

2. Apakah Fungsi Partisipasi Politik?

3. Bagaimana peran Warga Negara dalam Partisipasi Politik serta hubungannya dengan
sosial-ekonomi pada negara berkembang?

1
BAB II

TINJAUAN TORI-TEORI

2.1 Struktural fungsional

Di tahun 1970-an, ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham Powell memperkenalkan pendekatan
struktural-fungsional untuk membandingkan sistem politik (comparative politics). Mereka berargumen
bahwa memahami suatu sistem politik, tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan
juga fungsi mereka masingmasing. Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi tersebut harus
ditempatkan ke dalam konteks historis yang bermakna dan bergerak dinamis, agar pemahaman dapat
lebih jelas. (waylemon, 2020)

memiliki bagian yang dapat digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan batas tertentu.
Sedangkan sistem politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang berkecimpung dalam
merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat ataupun kelompok di dalamnya. teori ini
merupakan turunan dari teori sistem Easton dalam konteks hubungan internasional. Artinya pendekatan
struktural-fungsional merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat seluruh sistem politik sama
pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan respon” yang sama—atau input dan output.
Pandangan ini juga memberikan perhatian cukup terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri.

Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa komponen kunci, termasuk kelompok
kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan. Menurut Almond,
hampir seluruh negara di jaman moderen ini memiliki keenam macam struktur politik tersebut. Selain
struktur, Almond memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari berbagai fungsi, seperti sosialisasi
politik, rekrutmen, dan komunikasi.

2.2 Konflik Partisipasi Politik

Konflik politik merupakan kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk menentang
keputusan politik, kebijakan publik dan pelaksanaannya, juga perilaku penguasa beserta segenap
aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubunganhubungan diantara partisipan politik
(Surbakti, 1992).

Sebagai aktivitas politik, konflik merupakan suatu jenis interaksi (interaction) yang ditandai dengan
bentrokan atau tubrukan diantara kepentingan, gagasan, kebijaksanaan, program, dan pribadi atau

2
persoalan dasar lainnya yangsatu sama lain saling bertentangan (Plano, dkk, 1994). Dengan demikian,
makna benturan diantara kepentingan tadi, dapat digambarkan seperti perbedaan pendapat, persaingan
dan pertentangan antara individu dan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan individu
atau individu, kelompok dengan pemerintah (Surbakti, 1992).

Salah satu faktor yang menggerakkan potensi konflik menjadi terbuka (manifest conflict), menurut Eric
Hoffer adalah faktor keinginan akan perubahan dan keinginan mendapat pengganti Faktor tersebut, suatu
saat, mampu menggerakkan sebuah gerakan (muhammadazzikra, 2016)

Teori-Teori Penyebab Konflik :

Konflik sebagai akibat dari menajamnya perbedaan dan kerasnya benturan kepentingan yang saling
berhadapan, disebabkan oleh beberapa latar belakang yang ada. Pertama, adanya latar belakang sosial
politik, ekonomi dan sosial budaya yang berbeda dan memiliki pengaruh yang sangat kuat. Kedua, adanya
pemikiran yang menimbulkan ketidak sepahaman antara yang satu dengan yang lain. Ketiga, adanya
sikap tidak simpatik terhadap suatu pihak, sistem dan mekanisme yang ada dalam organisasi. Keempat,
adanya rasa tidak puas terhadap lingkungan organisasi, sikap frustasi, rasa tidak senang, dan lain-lain,
sementara tidak dapat berbuat apa-apa dan apabila harus meningggalkan kelompok, berarti harus
menanggung resiko yang tidak kecil. Kelima, adanya dorongan rasa harga diri yang berlebih-lebihan dan
berakibat pada keinginan untuk berusaha sekuat tenaga untuk melakukan rekayasa dan manipulasi
(Hidayat, 2002:124).

Simon Fisher (2001:7-8) menjelaskan teori penyebab konflik dalam masyarakat. Pertama, teori
hubungan masyarakat, bahwa konflik yang terjadi lebih disebabkan polarisasi, ketidakpercayaan
(distrust) maupun permusuhan antar kelompok yang berada ditengah-tengah masyarakat kita. Kedua,
teori negosiasi prinsip, bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras serta perbedaan
pandangan tentang konflik antara pihak-pihak yang terlibat didalamnya.

Ketiga, teori kebutuhan manusia, bahwa konflik yang muncul ditengah masyarakat disebabkan
perebutankebutuhan dasar manusia, seperti kebutuhan fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi
dalam perebutan tersebut. Keempat, teori identitas, bahwa konflik lebih disebabkan identitas yang
terancam atau berakar dari hilangnya sesuatu serta penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan.
Kelima, teori transformasi konflik, bahwa konflik disebabkan oleh hadirnya masalah-masalah
ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam ranah kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan.

2.3 Kelas Partisipasi Politik

3
dalam tulisan Marx terdapat juga indikasi bahwa, bertentangan dengan hal itu, kelas sosial merupakan
gejala khas masyarakat pascafeodal. Anggapan kedua adalah bahwa Marx sebuah kelas baru dianggap
kelas dalam arti sebenarnya, apabila dia bukan hanya
“secara objektif” merupakan golongan sosial dengan kepentingan sendiri, melainkan juga secara
“subjektif” menyadari diri sebagai kelas, sebagai golongan kusus dalam masyarakat yang mempunyai
kepentingan-kepentinga spesifik serta mau memperjuangkannya.

Bentuk-bentuk partisipasi politik dapat dilakukan melalui berbagai macam kegiatan dan melalui berbagai
wahana. Namun bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara dapat dibedakan
menjadi kegiatan politik dalam bentuk konvensional dan nonkonvensional, sebagaimana dikemukakan
oleh Gabriel Almond.

Bentuk partisipasi politik menurut Gabriel Almond dapat dibedakan menjadi dua, yaitubentuk
konvensional dan bentuk nonkonvensional. A. Bentuk konvensional antara lain:

1. dengan pemberian suara (voting),

2. dengan diskusi kelompok,

3. dengan kegiatan kampanye,

4. dengan membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, 5. dengan komunikasi


individual dengan pejabat politik/administratif,
6. dengan pengajuan petisi.

7. b. Bentuk nonkonvensional

B. Bentuk nonkonvensional antara lain:

1) dengan berdemonstrasi,

2) dengan konfrontasi,

3) dengan pemogokan,

4) tindakan kekerasan politik terhadap harta benda, perusakan, pemboman dan pembakaran,
5) tindak kekerasan politik manusia penculikan/pembunuhan, 6) dengan perang
gerilya/revolusi.
Sedangkan Ramlan Surbakti menyatakan bahwa partisipasi politik warga Negara dibedakan menjadi dua,
yaitu partisipasi aktif dan partisipasi pasif.

a. Partisipasi aktif

4
Partisipasi aktif yaitu kegiatan warga negara dalam ikut serta menentukan kebijakan dan pemilihan
pejabat pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi kepentingan bersama. Bentuk
partisipasi aktif antara lain mengajukan usulan tentang suatu kebijakan, mengajukan saran dan kritik
tentang suatu kebijakan tertentu, dan ikut partai politik.

b. Partisipasi pasif

Partisipasi pasif yaitu kegiatan warga negara yang mendukung jalannya pemerintahan negara dalam
rangka menciptakan kehidupan negara yang sesuai tujuan. Bentuk partisipasi pasif antara lain menaati
peraturan yang berlaku dan melaksanakan kebijakan pemerintah. Menurut Huntington dan Nelson,
bentuk kegiatan utama dalam partisipasi politik dibagimenjadi lima bentuk, yaitu:

1. kegiatan pemilihan,

2. lobi,

3. kegiatan organisasi,

4. mencari koneksi,

5. tindakan kekerasan.

Dengan demikian, berbagai partisipasi politik warga negara dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga,
yaitu:

a. Terbentuknya organisasi-organisasi maupun organisasi kemasyarakatan sebagai bagian


dari kegiatan sosial dan penyalur aspirasi rakyat.
b. Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi
input terhadap kebijakan pemerintah.
c. Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan warga negara untuk menggunakan hak
pilihnya, baik hak pilih aktif maupun hak pilih pasif.
d. Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input
dan
output kepada pemerintah. Aktivitas politik merupakan salah satu indikator terjaminnya kehidupan yang
demokratis. Jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tersalurkan melalui
kegiatan politik. Hanya saja, kegiatan politik yang dilakukan haruslah disesuaikan dengan nilai-nilai
luhur Pancasila. Budaya politik yang dilakukan bangsa Indonesia harus dijiwai nilai-nilai luhur Pancasila.
(BLOG, 2013)

5
2.4 Elitis Partisipan Politik

Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang berorientasi
kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang berorientasi kepada negara
kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit
tradisional.

Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses
pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke
dalam dua golongan. Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa
disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada
sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan.
(ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).

Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai
kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kessil itu disebut dengan elit,
yang mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki
jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari
kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai kelebihan dalam matematika,
bidang muasik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi masyarakat dalam dua
kelas, yaitu pertama elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tiak memerintah (non governign
elit) . Kedua, lapisan rendah (non- elite) kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang
mengembangkan teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua masyarakat, mulai adri yang paling giat
mengembangkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakt yang paling maju dan kuat
selalu muncul dua kelas, yakni kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang
memerintah, biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan
menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya
lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang memerintah.

Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos
kunci dalam masyarakat. Definisi ini kemduain didukung oleh
Robert Michel yang berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki” tak terelakkan. Dalam organisasi apapun,
selalu ada kelompok kecil yang kuat, dominan dan mampu mendiktekan kepentingannya sendiri.
Sebaliknya, Lasswell berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya tersebar (tidak
berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti pada setiap tahapan fungsional dalam proses

6
pembuatan keputusan, dan perannya pun bisa naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu
yang lebih penting, dalam situasi peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit bisa melekat kepada
siapa saja yang kebetuan punya peran penting.

Pandangan yang lebih luwes dikemukakan oleh Dwaine Marvick. Menurutnya ada dua tradisi
akademik tentang elit. Pertama, dalam tradisi yang lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang
menjalankan misi historis, memenuhi kebuthan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul, atau
menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta tatanan yang kemudian
dianut oleh semua pihak. Ke dua, dalam tradisi yang lebih baru, elit dilihat sebagai kelompok, baik
kelompok yang menghimpun yang menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa di berbagai
sektor dan tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan, atau pihak
berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral.

Lipset dan Solari menunjukkan bahwa elit adalah mereka yang menempati posisi di dalam masyarakat
di puncak struktur-struktur sosial yang terpenting,, yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi pemerintahan,
aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring
dikemukakan oleh Czudnowski bahwa elit adalah mereka yang mengatur segala sesuatunya, ataua
aktor-aktor kunci yang memainkan peran utama yang fungsional dan terstruktur dalam berbagai
lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri, komunikasi dan sebagainya.

Berdasarkan pandangan berbagai ahli, Robert D. Putnam menyatakan bahwa secara umum ilmuwan
sosial membagi dalam tiga sudut pandang. Pertama, sudut pandang struktur atau posisi. Pandangan ini
lebih menekankan bahwa kedudukan elit yang berada pada lapisan atas struktur masyarakatlah yang
menyebabkan mereka akan memegang peranan penting dalam aktivitas masyarakat. Kedudukan tersebut
dapat dicapai melalui usaha yang tinggi atau kedudukan sosial yang melekat, misalnya keturunan atau
kasta. C. Wright Mills menyatakan bahwa untuk bisa memiliki kemasyhuran, kekayaan, dan kekuasaan,
orang harus bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga besar, karena posisi kelembagaan yang didudukinya
menentukan sebagian besar kesempatan-kesempatannya untuk memilki dan menguasai pengalaman-
pengalamannya yang bernialai itu.

Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Bila kekuasaan politik didefinisikan dalam arti pengaruh atas
kegiatan pemerintah, bisa diketahui elit mana yang memiliki kekuasaan dengan mempelajari proses
pembuatan keputusan tertentu, terutama dengan memperhatikan siapa yang berhasil mengajukan
inisiatif atau menentang usul suatu keputusan.

2.5 Pluralis

7
Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling
penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan
perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan
politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis,
kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.

Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan
partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih
baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah:
perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.

Robert A. Dahl menyatakannya, dalam penggunaan istilah pluralisme atau pluralis, Dahl mengacu pada
pluralisme organisasi yaitu adanya pluralitas sebagian besar organisasi atau subsistem yang secara relatif
bersifat otonom di dalam wilayah sebuah negara. Menurutnya, sebuah negara disebut demokrasi pluralis,
jika: (1) ia merupakan demokrasi dalam arti poliarki,dan (2) organisasi-organisasi penting lainnya relatif
bersifat otonom. (Zakaria, 2015)

Konsepsi Dahl tentang poliarki mengandung dua dimensi, yakni oposisi (persaingan yang terorganisasi
melalui pemilu yang teratur, bebas dan adil) dan partisipasi (hak hampir semua orang dewasa untuk
memilih dan berkompetisi memperebutkan jabatan publik). Namun sebetulnya di dalam dua dimensi ini
terdapat dimensi ketiga, berupa kebebasan sipil yang membuat oposisi dan partisipasi benar-benar
bermakna. Poliarki bukan hanya mencakup kebebasan memilih dan berkontestasi untuk jabatan publik
tapi juga kebebasan berbicara dan mempublikasikan pandangan-pandangan yang berbeda, kebebasan
membentuk dan bergabung dengan organisasi dan akses terhadap sumber-sumber informasi alternatif.
(Dahl, 1985)

Demokrasi pluralis sebagai model demokrasi modern tidak terlepas dari kebebasan berpendapat,
partisipasi, maupun hal lain yang berkaitan. Pluralisme ataupun keberagaman harus dimengerti sebagai
sebuah tatanan sekaligus sebagai suatu kondisi kebebasan tertentu. Jika ingin mengupayakan pluralisme,
maka kita harus menegakkan politik kesetaraan yang berangkat dari hak dan kebebasan individu.
Penghormatan atas individu berarti menghormati hak-hak individu, tanpa melihat agama, budaya, suku,
dan ras. Negara sebagai pengatur, harus mampu menjaga hak-hak dasar individu. Demokrasi pluralis
tidak akan tercipta efektif bila tidak adanya basic framework ini. (MunawarRachman, 2010)

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan aspek penting dalam demokrasi.Partisipasi politik adalah usaha terorganisir oleh
para warga negara untuk memlih pemimpin-pemimpin mereka dan memengaruhi bentuk dan jalannya
kebijakan umum. Usaha ini dilakukan akan tanggung jawab dan kesadaran mereka terhadap kehidupan
bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu Negara. Sementara itu, Syarbaini mendefinisikan partisipasi
politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik,
seperti memilih pemimpin Negara, atau upaya untuk memengaruhi kebiijakan pemerintah.

Dusseldorp (1981) mengartikan partisipasi sebagai kegiatan atau keadaan mengambil bagian dalam suatu
aktivitas untuk mencapai suatu kemanfaatan secara optimal. Devinisi lebih rinci dikemukakan oleh
Cohen Uphoff (1979), partisipasi sebagai keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan
program, memperoleh kemanfaatan, dan mengevaluasi program. Sementara itu Davis (1977),
memberikan definisi partisipasi sebagai keterlibatan mental dan emosi seseorang di dalam situasi
kelompok yang mendorong dirinya untuk memberi sumbangan bagi tercapainya tujuan dan membagi
tanggung jawab diantara mereka(dalam Basrowi, Sudikin dan Suko Susilo, 2012:).

Partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson ( dalam Soeharno: 2004; 103) adalah kegiatan
politik warga negara preman ( private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan
oleh pemerintah.

3.2 Fungsi Partispasi Politik

Menurut Robert Lane ( dalam Rush dan Altohof dalm Suharno, 2004: 107) partisipasi politik memiliki
empat fungsi partisipasi politik bagi individu-individu yaitu;

• Fungsi pertama sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi, partisipasi politik seringkali
muncul dalam bentuk upaya-upaya menjadikan arena politik untuk memperlancar usaha
ekonominya ataupun sebagai sarana untuk mencari keuntungan material.

• Fungsi kedua sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial, yakni
memenuhi kebutuhan akan harga diri, meningkatnya status sosial, dan merasa terhormat karena
dapat bergaul dengan pejabat-pejabat terkemuka dan penting. Pergaulan yang luas dan bersama

9
pejabat-pejabat itu pula yang mendorong partisispasi seseorang untuk terlibat dalam aktivitas
politik. Orang-orang yang demikian itu merasa puas bahwa politik dapat memenuhi kebutuhan
terhadap penyesuaian sosialnya.
• Fungsi ketiga sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus, orang berpartisipasi dalam
politik karena politik dianggap dapat dijadikan sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tertentu
seperti untuk mendapatkan pekerjaan, mendapatkan proyek-proyek, tender-tender, dan
melicinkan karier bagi pejabatnya. Nilai-nilai khusus dan kepentingan individu tersebut apabila
tercapai, akan makin mendorong partisispasinya dalam politik. Terlebih lagi bagi seseorang yang
terjun dalam bidang politik, seringkali politik dijadikan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan
pribadinya.
• Fungsi keempat sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan
psikologi tertentu, yakni bahwa keterlibatannya dalam bidang politik untuk memenuhi kebutuhan
alam bawah sadar dan kebutuuhan psikologi tertentu, seperti kepuasan batin, perasaan terhormat,
merasa menjadi sosok yang penting dan dihargai orang lain dan kepuasan-kepuasan atas target
yang telah ditetapkan.
Menurut Arbit Sanit ( Dalam Sastroatmojo, 1995: 84-87) memandang ada tiga fungsi partisipasi politik
yaitu;

• Pertama memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta
sistem politik yang dibentuknya. Partisipasi politik ini sering terwujud dalam bentuk pengiriman
wakil-wakil atau utusan pendukung ke pusat pemerintahan, pembuatan pernyataan yang isinya
memberikan dukungan terhadap pemerintah, dan pemilihan calon yang diusulkan oleh organisasi
politik yang telah dibina dan dilembagakan oleh penguasa tersebut.
• Kedua partisipasi yang dimaksudkan sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan
kekurangan pemerintah. Langkah itu dilakukan dengan harapan agar pemerintah meninjau
kembali, memperbaiki atau mengubah kelemahan tersebut. Partisipasi ini dapat terlihat dalam
bentuk membuat petisi, reolusi, aksi pemogokan, demonstrasi, dan aksi protes.
• Ketiga partisipasi sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya
sehingga diharapkan terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik.
Untuk mencapai tujuan seperti itu seringkali dilakukan pemogokan, pembangkangan politik,
huru-hara dan kudeta bersenjata.
Selain memiliki berbagai fungsi, partisipasi politik juga memiliki beberapa tugas yaitu;

• Untuk mendorong program-program pemerintah, hal ini berarti bahwa peran serta masyarakat
diwujudkan untuk mendukung program politik dan program pemerintahan.

10
• Sebagai institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah
dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan,
• Sebagai sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam
perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan. Untuk menyampaikan nilai-
nilai, sikap-sikap, pandangan-pandangan, dan keyakinankeyakinan politik diperlukan sarana-
sarana. Untuk itu selanjutnya Almond menyebutkan adanya enam sarana (agen sosialisasi
politik) yaitu keluarga, sekolah, kelompok bergaul atau bermain, pekerjaan , media massa dan
kontak-kontak politik langsung.

3.3 Peran Warga Negara dalam Partisipasi Politik

Peran warga negara dalam negara nama lainnya adalah partisipasi politik. Karena yang menjadi
sasarannya adalah negara/pemerintah. Banyak sekali definisi partisipasi politik , tetapi jika dianalisis,
maka unsur-unsur partisipasi politik meliputi;

1. Pemeran: individu atau kelompok dari rakyat.

2. Bersifat sukarela: artinya berdasarkan kesadaran dari pemeran. Bukan karena paksaan/penentu
keputusan berasal dari luar dirinya. Yang terakhir ini dikenal dengan mobilisasi politik.
3. Sasaran adalah penguasa/pemerintah.

4. Cara-cara yang ditempuh dapat berupa;

5. Legal atau illegal.

6. Teroganisir atau spontan.

7. Mantap atau sporadic.

8. Secara damai atau dengan kekerasan.

9. Efektif atau tidak efektif.

10. Pentingnya partisipasi politik, antara lain untuk;

11. Integrasi nasional

12. Pembentukan identitas nasional.

13. Loyalitas nasional.

14. Akselerasi keberhasilan pembangunan nasional.

11
Salah satu sarana untuk berpatisipasi adalah partai politik.Partai politik dapat dikatakan sebagai sarana
partisipasi politik dapat dikatakan sebagai sarana partisipasi politik yang terpenting. Sebab partai politik
terlibat langsung dalam proses konversi (pengolahan) kebijakasanaan politik dan dalam menentukan
seleksi terhadap pejabat-pejabat politik lewat pemilu. Sehingga upaya mempengaruhi kebijaksanaan
pembangunan nasional yang dilakukan oleh warga negara, diharapkan akan lebih efektif dibandingkan
sarana partisipasi politik yang lain ( Drs. Cholisin, M.Si : 2013; 59-60).

Status sosial dan status ekonomi memiliki kontribusi yang penting dalam mempengaruhi tinggi
rendahnya partisipasi politik.Seseorang yang memiliki status ekonomi tinggi dipandang lebi cenderung
untuk berpartisipasi politik secara aktif, dibandingkan dengan yang status ekonominya lebih rendah.

Didalam masyarakat-masyarakat yang berlainan, partisipasi politik dapat berakar dalam landasan-
landasan golongan yang berlainan.Terkecuali dalam hal mencari koneksi kebanyakan partisipasi politik
melibatkan sesuatu kolektifitas. (Haryowisnu, 2015)

12
BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Partisipasi politik dapat kita artikan dengan mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas
atau kegiatan politik suatu negara,partisipasi merupakan aspek penting dalam demokrasi.Partisipasi
politik adalah usaha terorganisir oleh para warga negara untuk memlih pemimpin-pemimpin mereka
dan memengaruhi bentuk dan jalannya kebijakan umum. Usaha ini dilakukan akan tanggung jawab dan
kesadaran mereka terhadap kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu Negara.

Salah satu bentuk partisipasi politik adalah mengikuti kegiatan organisasi politik,Apabila dilihat dari
sudut pandang partisipasi politik sebagai suatu kegiatan maka dapat dibagi menjadi partisipasi aktif dan
partisipasi pasif, Ditinjau dari sudut pandang kadar dan jenis aktivitasnya maka menurut Milbart dan
Goel Apatis ,Spektator ,Gladiator, pengritik. Partisipasi politik juga dapat dikategorikan berdasarkan
jumlah pelaku, yakni individu dan kolektif. Dilihat dari latar belakang yang memotivasi timbulnya
partisipasi politik maka menurut haltington dan nelsonterbagi menjadi dua yaitu; Partisipasi otonom,
Partisipasi mobilisasi,

Faktor-faktor yang diperkirakan memengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang ialah
kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik).

4.2 Saran

Menurut saya, masih banyak hal-hal di Indonesia yang perlu diperbaiki demi menyambut era globalisasi.
Bidang-bidang dasar seperti politik, ekonomi, sosial & budaya, serta hukum harus banyak mengalami
perubahan mengarah kepada yang lebih baik.

13
DAFTAR PUSTAKA

BLOG, H. (2013, Julu 10). Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik. Retrieved October 21, 2020, from
handikap60.blogspot: https://handikap60.blogspot.com/2013/03/bentukbentuk-partisipasi-
politik.html

Haryowisnu. (2015, Mei 1). Partisipasi Politik. Retrieved Oktober 21, 2020, from
haryowisnumurti.wordpress: https://haryowisnumurti.wordpress.com/2015/05/01/makalah/

muhammadazzikra. (2016, August 20). Penyebab Konflik Politik. Retrieved Oktober 21, 2020, from
muhammadazzikra15.blogspot: https://muhammadazzikra15.blogspot.com/2016/08/penyebab-
konflikpolitik.html

waylemon. (2020, oktober 20 ). Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Sistem Politik.


Retrieved oktober 21, 2020, from suarata.blogspot:
https://suarata.blogspot.com/2014/01/pendekatan-teori-strukturalfungsional.html

Zakaria. (2015, Oktober 6). Demokrasi Pluralis menurut Robert Alan Dahl. Retrieved 0ktober 21, 2020,
from zeqjs.wordpress: https://zeqjs.wordpress.com/2015/10/06/demokrasi-pluralis-robert-a-
dahl/

14

Anda mungkin juga menyukai