Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KETERKAITAN MORAL DENGAN PERILAKU EKONOMI

Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Ekonomi

Dosen Pengampu : Siti Aminah Caniago

Di Susun Oleh :

1. Mita Rizkiana Putri (4117118)


2. Sari (4117122)
3. Ammy Oktavia (4117144)

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayahNya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah “Sosiologi Ekonomi” yang berjudul “Keterkaitan Moral Dengan Perilaku
Ekonomi”. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu dan memberikan masukan kepada kami sehingga kami sanggup
menyelesaikan tugas penulisan makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Sehingga kami sebagai
penulis memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini banyak kesalahan
dan kekurangan. Dengan demikian kami sangat berharap adanya saran dan
kritikan yang bersifat membangun demi menjadikan makalah ini lebih baik lagi.

Pekalongan, 09 Maret 2019

Penyusun,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN .....................................................................................................2
A. Moral dalam Perekonomian ................................................................................ 2
B. Bisnis Amoral ........................................................................................................ 6
C. Fardhu Kifayah menurut al-Ghazali vs Adam Smith ..................................... 10
1. Menurut al-Ghazali ........................................................................................ 10
2. Menurut Adam Smith .................................................................................... 11
BAB III
PENUTUP .............................................................................................................13
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 13
B. Saran .................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Moral ekonomi menjadi topik perbincangan yang semakin menarik
akhir-akhir ini seiring dengan semakin derasnya arus globalisasi. Dalam
kajian sosiologi, Moral Ekonomi adalah suatu analisa tentang apa yang
menyebabkan seseorang berperilaku, bertindak dan beraktivitas dalam
kegiatan perekonomian. Hal ini dinyatakan sebagai gejala sosial yang
berkemungkinan besar sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan
sosial. beberapa buku referensi bagi mahasiswa dalam perkuliahan,
diajukan beberapa teori tentang moral ekonomi. Inti pembahasannya
adalah apa yang menyebabkan sekelompok masyarakat berperilaku,
bertindak dan beraktivitas dalam kegiatan perekonomian. Begitu juga
dalam berbisnis, apakah dalam bisnis memerlukan moral atau bahkan tidak
ada hubungannya sama sekali. Sebelum bisnis dijalankan, perusahaan –
perusahaan wajib memenuhi persyaratan secara legal sesuai dengan dasar
hukum dan aturan yang berlaku, tetapi apakah bisnis dapat diterima secara
moral ? Untuk membahas hal tersebut maka akan dijelaskan pada bab
dibawah ini mengenai moral dalam perekonomian.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud moral dalam perekonomian ?
2. Apa yang dimaksud bisnis amoral ?
3. Apa perbedaan fardhu kifayah menurut al-Ghazali vs Adam Smith ?
C. Tujuan
1. Mengetahui moral dalam perekonomian
2. Mengetahui pengertian bisnis amoral
3. Mengetahui perbedaan fardhu kifayah mennurut al-Ghazali vs Adam
Smith

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Moral dalam Perekonomian


Moral ekonomi adalah suatu analisa tentang apa yang menyebabkan
seseorang berperilaku, bertindak dan beraktivitas dalam kegiatan
perekonomian. Hal ini dinyatakan sebagai gejala sosial yang
berkemungkinan besar sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan
sosial.
Moral ekonomi merupakan suatu proses pertukaran ekonomi dari
produsen kepada konsumen melalui tindakan yang sentimen dan melalui
norma yang mengatur tentang moral dalam melakukan suatu kegiatan
ekonomi, dimana pada saat ini norma-norma tersebut sudah banyak
terlupakan dalam melakukan kegiatan ekonomi.1
Hal ini juga selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sayer
dan Adams dan Raisborough (1998) yaitu moral ekkonomi merupakan
pertukaran sentimen-sentimen dan norma-norma moral. Ada dua faktor
yang mendasari kenapa moral ekonomi sampai menjadi trending tropic
ditengah-tengah masyarakat Internasional, yaitu : Berkaitan dengan
semakin merabaknya praktek fair trade yang menuntut komitmen yang
tinggi antara produsen dan konsumen. Juga adanya rutinitas harian
masyarakat yang tidak pernah terlepas dari kegiatan bisnis yang memberi
jarak moralitas dalam melakukan kegiatan ekonomi. Moral ekonomi itu
sendiri dihadapi oleh dua komunitas yang berbeda, yaitu komunitas petani
dan komunitas pedagang.2

1
Hamdani, Moralitas Dan Tindakan Ekonomi (Telaah Gerakan SholatSubuh Berjemaah Dan
Sarapan Pagi Gratis Di Masjid Agung Kab. Ngawi Jawa Timur), Jurnal Studi Islam dan Sosial,
Vol. 12, No. 2, September 2018, hal. 19-20
2
Ibid, hal. 20

2
1. Moral ekonomi petani
Dapat di definisikan moral ekonomi sebagai pengertian petani tentang
keadilan ekonomi dan definisi kerja mereka tentang eksploitasi pandangan
mereka tentang pungutan –pungutan terhadap hasil produksi mereka mana
yang dapat ditolerir mana yang tidak dapat. Dalam mendefinisikan moral
ekonomi, petani akan memperhatikan etika subsistensi dan norma
resiprositas yang berlaku dalam masyarakat mereka. Etika subsistensi
merupakan perspektif dari mana petani yang tipikal memandang tuntutan-
tuntutan yang tidak dapat di letakkan atas sumber daya yang dimilikinya
dari pihak sesama warga desa,tuan tanah atau pejabat. 3
Etika subsistensi tersebut, menurut james Scott (1976), muncul dari
kekhawatiran akan mengalami kekurangan pangan dan merupakan
konsekuensi dari suatu kehidupan yang begitu dekat dengan garis batas
dari krisis subsistensi. Oleh karena itu kebanyakan rumah tangga petani
hidup begitu dekat dengan batas-batas substensi dan menjadi sasaran-
sasaran permainan alam serta tuntutan dari pihak luar maka mereka
meletekkan landasan etika subsistensi atas dasar pertimbangan prinsip
safety first (dahulukan selamat).4
Dari sudut pandang moral ekonomi petani, subsistensi itu sendiri
merupakan hak oleh sebab itu ia sebagai tuntutan moral. Maksudnya
adalah petani merupakan kaum yang miskin mempunyai hak sosialitas
subsistensi. Oleh karena itu, setiap tuntutan terhadap petani dari pihak tuan
tanah sebagai elit desa atau negara tidaklah adil apabila melanggar
kebutuhan subsistensi. Pandangan moral ini mengandung makna bahwa
kaum elit tidak boleh melanggar cadangan subsistensi kaum miskin pada
muslim baik dan memenuhi kewajiban moralnya yang positif untuk
menyediakan kebutuhan hidup pada musim jelek.5

3
Anonim, Moral Ekonomi Dan Tindakan Ekonomi, diakses dari
http://electrarobhy4.blogspot.com/2014/04/moral-ekonomi-dan-tindakan-ekonomi.html , pada
tanggal 09 Maret 2019, Pukul 22.41
4
Ibid,
5
Ibid,

3
2. Moral ekonomi pedagang
Dalam moral ekonomi ini setuju dengan pendapat james scott (1976-
176) yang menyatakan bahwa masyarakat petani umumnya dicirikan
dengan tingkat solidaritas yang tinggi dan dengan suatu sistem nilai yang
menekan kan tolong menolong, pemilikan bersama sumber daya dan
keamanan subsistensi. Hak terhadap subsistensi merupakan suatu prinsip
moral yang aktif dalam tradisi desa kecil. Dalam kondisi seperti ini
pedagang menghadapi dilema yaitu memilih antara memenuhi kewajiban
moral kepada kerabat-kerabat dan tetangga-tetangga untuk menikmati
bersama pendapatan yang di perolehnya sendiri di satu pihak dan untuk
mengakumulasikan modal dalam wujud barang dan uang di pihak lain.di
luar desa para pedagang di hadapkan dengan tuntunan anonim yang sering
bersifat anarkis dan berasal dari pasar terbuka dengan fluktuasi harga yang
liar. Pedagang cenderung terperangkap ditengah dan dalam hal ini bisa
disebut sebagai tengkulak karena mereka tidak hanya menanggung resiko
kerugian secara ekonomi tetapi juga resiko terhadap diskriminasi dan
kemarahan petani.6

Moral Ekonomi dalam Islam

Segala bentuk aktivitas manusia sudah diatur oleh Allah dalam Al-
Quran. Baik itu aktivitas ekonomi, sosial, politik sampai kepada adab
untuk meludahpun ada aturannya. Dalam sistem ekonomi, Islam
menekankan untuk mencari rezki di atas dunia dengan tidak melupakan
kewajiban-kewajiban kepada Allah dan norma-norma yang telah
ditetapkan.
Sistem perekonomian dalam islam diatur jelas dalam Al-Quran. Salah
satunya terdapat dalam surat al-jumu`ah ayat 10: “apabila kamu selesai
shalat, betebaranlah di muka bumi untuk mencari rezeki yang diberikan
Allah” dalam ayat ini, jelaslah bawah moral ekonomi dalam Islam sangat

6
Ibid,

4
terikat pada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Dalam urusan subsistensi dan
resiprositas, Al-Quran mewajibkan zakat bagi yang mampu, dan
menganjurkan untuk menunaikan sedekah, infak dan wakaf. Sehingga
kemerataan perekonomian pun terjadi. Hal itu di serukan Allah sebagai
wujud antisipasi dari kemungkinan-kemungkinan negatif. Hal itu bisa saja
terjadi apabila norma subsistensi dan resiprositas sudah sampai pada taraf
yang tidak wajar, sebagai contoh apabila masyarakat di landa sebuah
musim paceklik. Maka golongan masyarakat yang kurang mampu dapat
terbantu karena adanya zakat, sedekah, infak dan wakaf. 7
Di sisi lain, Al-Quran juga menganjurkan untuk saling tolong
menolong. “tolong menolonglah kamu kamu dalam kebaikan dan
ketakwaan, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan
keingkaran” Intinya, moral ekonomi dalam Islam sangat tergantung pada
kitab panduan yang diberikan Allah untuk mengatur kehidupannya
manusia, tidak saja pertimbangan norma subsistensi dan resiprositas, tetapi
juga mempertimbangkan norma-norma sosial yang lain. Tindakan yang
akan timbulpun akan berbeda. Karena dengan keyakinan dalam setiap
perbuatan ada balasannya, apakah itu kebaikan maupun keburukan, maka
Umat Islam yang beriman pun akan selalu mengerjakan aktivitas ekonomi
hanya untuk mengharapkan keridahaan Allah.

7
Anonim, Moral Ekonomi, diakses dari https://3kh4.wordpress.com/2007/12/18/moral-ekonomi/ ,
pada tanggal 09 Maret 2019 , pada pukul 22.52

5
B. Bisnis Amoral

Bisnis amoral mengungkapkan suatu keyakinan bahwa antara bisnis


dan moralitas atau etika tidak ada hubungan sama sekali. Bisnis tidak
punya sangkut paut dengan etika dan moralitas. Keduanya adalah dua
bidang yang terpisah satu sama lain. Etika justru bertentangan dengan
bisnis yang ketat, maka orang bisnis tidak perlu memperhatikan imbauan-
imbauan, norma-norma dan nilai-nilai moral.8
Sebagian besar pendapat mengatakan bahwa bisnis dengan moral tidak
ada hubungannya sama sekali, etika sangat bertentangan dengan bisnis dan
membuat pelaku bisnis kalah dalam persaingan bisnis, karenanya pelaku
bisnis tidak diwajibkan mentaati norma, nilai moral, dan aturan-aturan
yang berlaku dalam lingkungan bisnis perusahaan. Hal ini yang
menyebabkan pendapat diatas belum tentu benar, bahkan sebagian besar
pendapat lain mengatakan bahwa bisnis dengan moralitas memiliki
hubungan yang sangat erat, etika harus dipraktekkan langsung dengan
kegiatan bisnis dan membuat perusahaan bisa bersaing secara sehat karena
memegang komitmen, prinsip yang terpercaya terhadap kode etis, norma,
nilai moral, dan aturan-aturan yang dianggap baik dan berlaku dalam
lingkungan bisnis perusahaan.9
Penggunaan barang dan jasa, dalam hal ini konsumen
keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan tingkatan atau kelas yang
bermacam-macam menyebabkan pihak produsen melakukan kegiatan
pemasaran dan distribusi barang atau jasa dengan cara-cara yang
seefektif mungkin dengan tujuan dapat menarik konsumen yang sangat
beraneka ragam (majmuk) tersebut. Oleh karena itu berbagai usaha
dilakukan demi mencapai sasaran atau tujuan tersebut. Usaha-usaha yang
dilakukan tersebut kadang-kadang dapat menjurus pada hal yang

8
Anonim, Bisnis Amoral, diakses dari https://ardiansuwarno.wordpress.com/2014/10/26/contoh-
kasus-bisnis-amoral/, pada tanggal 09 Maret 2019 pukul 23.01
9
Anonim, Bisnis dan Etika Mitos Bisnis Amoral, diakses dari http://nuraini-
maryadi.blogspot.com/2010/11/bisnis-dan-etika-mitos-bisnis-amoral.html, pada tanggal 09 Maret
2019 pukul 23.03

6
negatif, bahkan dari awal sudah sengaja dengan i'tikad yang tidak baik,
misalnya memberikan informasi yang tidak benar, informasi yang
menyesatkan, barang (kualitas) jelek dikatakan bagus, cara-cara penjualan
yang bersifat memaksa dan lain sebagainya.10
Usaha-usaha yang dilakukan tersebut seringkali lebih diperburuk
oleh pandangan-pandangan atau mitos-mitos bisnis itu sendiri. Misalnya
bisnis adalah kotor, bisnis itu kejam, bisnis tidak mengenal saudara,
sedikit berbohong dalam bisnis adalah wajar, bisnis dengan jujur tidak
akan untung dan lain sebagainya. Oleh karena mitos-mitos bisnis seperti
itu, maka menurut sebagian pelaku bisnis itu tidak memerlukan etika,
bahkan sebagian pendapat lain mengatakan bahwa dalam berbisnis
yang disertai berfikir dan bermoral adalah hal yang mustahil, karena
dianggap akan membuang-buang waktu saja, bahkan bisa
menimbulkan kebangkrutan.11
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka ada beberapa pandangan
yang pro dan kontra tentang perlu tidaknya etika dalam berbisnis :
a. Pandangan yang tidak mendukung perlunya etika dalam melakukan
kegiatan bisnis beranggapan bahwa
 Bisnis adalah persaingan. Maksudnya bahwa semua pelaku
dalam persaingan ingin keluar sebagai pemenang. Setiap
persaingan adalah pertarungan dan pertarungan itu mempunyai
aturan sendiri.
 Bisnis adalah asosial. Maksudnya bahwa aturan bisnis tidak bisa
dikaitkan dengan aturan moral sosial. Bisnis mempunyai aturan
sendiri yang tidak mungkin dicampuradukkan dengan yang lain.
Perasaan sosial apabila dituangkan dalam kegiatan bisnis akan
dapat mengganggu dan membuat lemah bisnis itu sendiri.

Khumedi Ja’far, Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Hukum Bisnis Islam, Jurnal ASAS,
10

Vol.6, No.1, Januari 2014, hal. 97

11
Ibid,

7
 Bisnis harus bertujuan untuk keuntungan. Maksudnya bahwa
tujuan utama bisnis adalah keuntungan, maka tanggung jawab
sosial adalah tidak sesuai dan bertentangan dengan efisiensi.
 Bisnis harus berkonsentrasi. Maksudnya bahwa dalam berbisnis
tidak boleh banyak tujuan, apabila ada tujuan rangkap, misalnya
tujuan ekonomi dan tujuan sosial, maka akan dapat
membingungkan manajer.
 Bisnis itu makan biaya. Maksudnya bahwa untuk menggerakkan
kegiatan bisnis diperlukan biaya yang besar, apalagi apabila
harus dibebani dengan biaya sosial, tentunya akan lebih berat
lagi.
 Selanjutnya Sony Keraf memberikan contoh tentang pendapat para
pelaku bisnis yang berpandangan bahwa bisnis itu
amoral, menurut pandangan tersebut bisnis adalah bisnis.
Bisnis tidak bisa dicampuradukkan dengan etika.12

b. Pandangan yang mendukung perlunya etika dalam melakukan


kegiatan bisnis
beranggapan bahwa
 Bisnis mempertaruhkan segalanya
 Bisnis menyangkut hubungan antar manusia
 Bisnis harus mengikuti kemauan masyarakat
 Bisnis harus disertai kewajiban moral
 Bisnis harus mengingat sumber daya yang terbatas
 Bisnis harus menjaga lingkungan sosial
 Bisnis harus menjaga keseimbangan, tanggung jawab dan sosial
 Bisnis harus menggali sumber daya yang bermanfaat
 Bisnis harus dapat memberi keuntungan jangka panjang

12
Ibid, hal. 97-98

8
 Legalitas bisnis berkatian dengan moralitas.13

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa setiap pelaku


bisnis memiliki pandangan yang berbeda tentang perlu tidaknya etika
dalam kegiatan bisnis. Pandangan tersebut tentunya dipengaruhi oleh
banyak faktor, baik faktor intern maupun faktor ekstern. Faktor intern
seperti pemahaman terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya,
latar belakang pendidikannya, faktor biologi dan lain sebagainya.
Sedangkan faktor ekstern seperti faktor lingkungan alam dan lingkungan
masyarakat.14

Contoh Bisnis amoral yaitu Dugaan penggelapan pajak yang dilakukan


pihak perusahaan IM3 dengan cara memanipulasi Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai ( SPT Masa PPN) ke kantor pajak untuk
tahun buku Desember 2001 dan Desember 2002. Jika pajak masukan lebih
besar dari pajak keluaran, dapat direstitusi atau ditarik kembali. Karena
itu, IM3 melakukan restitusi sebesar Rp 65,7 miliar. 750 penanam modal
asing (PMA) terindikasi tidak membayar pajak dengan cara melaporkan
rugi selama lima tahun terakhir secara berturut-turut. Dalam kasus ini
terungkap bahwa pihak manajemen berkonspirasi dengan para pejabat
tinggi negara dan otoritas terkait dalam melakukan penipuan akuntansi.
Manajemen juga melakukan konspirasi dengan auditor dari kantor akuntan
publik dalam melakukan manipulasi laba yang menguntungkan dirinya
dan korporasi, sehingga merugikan banyak pihak dan pemerintah.
Kemungkinan telah terjadi mekanisme penyuapan (bribery) dalam kasus
tersebut. Pihak pemerintah dan DPR perlu segera membentuk tim auditor
independen yang kompeten dan kredibel untuk melakukan audit
investigatif atau audit forensik untuk membedah laporan keuangan dari
750 PMA yang tidak membayar pajak. Korporasi multinasional yang
secara sengaja terbukti tidak memenuhi kewajiban ekonomi, hukum, dan

13
Ibid, hal.98
14
Ibid, hal.99

9
sosialnya bisa dicabut izin operasinya dan dilarang beroperasi di negara
berkembang.15

C. Fardhu Kifayah menurut al-Ghazali vs Adam Smith


1. Menurut al-Ghazali
Ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian
masyarakat Islam, bukan seluruhnya. Dalam fardhu kifayah, kesatuan
masyarakat Islam secara bersama memikul tanggung jawab kefardhuan
untuk menuntutnya.16 Melakukan bisnis, menurut al-Ghazali, dalam
berbagai bentuknya adalah sebuah kewajiban sosial atau fardhu
kifayah.Jika kepentingan sosial menjadi prioritas, maka dengan sendirinya
kebersamaan sosial akan terbentuk dan konflik kelas dapat dihindari.
Relevansi etika bisnis al-Ghazali mengenai bisnis sebagai fardhu
kifayahini dapat dikaitkan dengan teori blocked opportunity.Teori tersebut
menyatakan bahwa masyarakat miskin yang memiliki kesempatan terbatas
untuk meraih kekayaan secara legal maka akan melakukannya dengan cara
ilegal, karena cara legal hanya didominasi oleh masyarakat mampu
(Masdiana, 1998). Pemenuhan kebutuhan materi menjadi perhatian
penting dalam terciptanya keseimbangan ekonomi dalam suatu
masyarakat, bukan hanya berkaitan dengan pembagian resources (sumber
daya) yang terbatas secara proporsional, juga berkaitan dengan implikasi
sosiologis bagi kelangsungan tatanan sosial (social order). Oleh karenanya
kesenjangan ekonomi dari kelompok ekonomi informal dengan kelompok
ekonomi formal haruslah diperkecil, bahkan kerja sama lintas sektor
ekonomi bisa dibangun secara harmonis.17 Al-Ghazali sangat
memperhatikan dimensi ukhrawidalam dunia bisnis, bahkan dikatakannya

15
Anonim, Contoh Kasus Bisnis Amoral, diakses dari
https://ardiansuwarno.wordpress.com/2014/10/26/contoh-kasus-bisnis-amoral/, pada tanggal 09
Maret 2019, pukul 23.10
16
,Anonim, Klasifikasi Ilmu Menurut Imam Al-Ghazali Sebagai Asas Pendidikan Islam, diakses
dari http://inpasonline.com/klasifikasi-ilmu-menurut-imam-al-ghazali-sebagai-asas-pendidikan-
islam/, pada tanggal 09 Maret 2019 pukul 23.20
17
M.Hafidz MS, Sam’ani Sya’roni, Marlina, Etika Bisnis Al-Ghazali Dan Adam Smith Dalam
Perspektif Ilmu Bisnis Dan Ekonomi, Jurnal Penelitian, Vol. 9, No. 1, Mei 2012, hal. 22-23

10
bahwa ukhrawi adalah tujuan dan kebahagian materi di dunia hanya
sekedar bonus. Tidak Selfish dan Tidak Serakah dalam Berbisnis. Itulah
kalimat yang digunakan oleh al-Ghazali bahwa salah satu etika dalam
berbisnis adalah menghindari ketamakan (az-ziyadah ‘ala alkifayah),
karena hal tersebut justru akan membawa kepada perilakuperilaku negatif.
Pebisnis hendaknya merasa ‘cukup’ dengan apa yang ia dapatkan selama
hal itu telah memenuhi need-nya, bukan pada wants-nya. Namun
demikian, sama halnya dengan para sarjana muslim lainnya, al Ghazali
tidak memberikan keterangan yang definitif mengenai batas sebuah
‘kecukupan.’ Tidak serakah dapat diartikan sebagai tidak mengambil hak
orang lain; memberi kesempatan yang sama bagi orang lain dan
memberikan rasa kasih sayang kepada sesama manusia.18

2. Menurut Adam Smith


Apakah Smith mengaitkan aktivitas bisnis dengan fardhu kifayah?
Tentu tidak. Namun jika fardhu kifayah dimaknai dengan kepentingan
publik/public interest maka Smith menyinggungnya, baik di The Theory
maupun di The Wealth. Bahkan, The Wealth yang ia tulis karena ingin
membela kepentingan publik, Smith menolak intervensi pemerintah karena
saat itu intervensi yang dilakukan oleh pemerintah adalah hasil
“perselingkuhan” antara penguasa dan pengusaha; antara pejabat dan
konglomerat. Imbasnya adalah justru merugikan kepentingan publik
karena intervensi hanya melayani kepentingan kelas pemodal. 19 Berbeda
dengan al-Ghazali yang menekankan pentingnya keseimbangan dunia dan
akhirat, Smith hanya menyinggung sedikit persoalan akhirat. Namun
demikian Smith (2006: 83 dan 150) tidak memandang salah kepercayaan
para pemeluk agama yang meyakini adanya kehidupan setelah mati
sebagai tempat dimana orang akan menerima konsekuensi selama ia hidup.
Rasa kasih sayang kepada sesama manusia. Semangat ini pula yang

18
Ibid, hal. 24-25
19
Ibid, hal. 23

11
diusung oleh Smith (2006: 213) dalam berbisnis. Menurutnya, terdapat
rasa kasih sayang yang bersifat universal yang menjangkau seluruh ujung
dunia. Semangat kasih sayang itu pula yang mendorong orang untuk
mengorbankan kepentingannya demi kepentingan publik. Bahkan di dalam
The Wealth, Smith, seraya mengutip dari Doktor Pocock, mengatakan
bahwa orang-orang Arab yang pulang dari berdagang, maka mereka akan
mengajak para tetangganya, bahkan para pengemis juga, untuk makan
bersama duduk pada satu meja yang sama. 20

20
Ibid, hal. 25

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Moral ekonomi merupakan suatu proses pertukaran ekonomi dari


produsen kepada konsumen melalui tindakan yang sentimen dan melalui
norma yang mengatur tentang moral dalam melakukan suatu kegiatan
ekonomi, dimana pada saat ini norma-norma tersebut sudah banyak
terlupakan dalam melakukan kegiatan ekonomi. Moral ekonomi itu sendiri
dihadapi oleh dua komunitas yang berbeda, yaitu komunitas petani dan
komunitas pedagang.

Bisnis amoral mengungkapkan suatu keyakinan bahwa antara


bisnis dan moralitas atau etika tidak ada hubungan sama sekali. Bisnis
tidak punya sangkut paut dengan etika dan moralitas. Keduanya adalah
dua bidang yang terpisah satu sama lain. Etika justru bertentangan dengan
bisnis yang ketat, maka orang bisnis tidak perlu memperhatikan imbauan-
imbauan, norma-norma dan nilai-nilai moral. Setiap pelaku bisnis
memiliki pandangan yang berbeda tentang perlu tidaknya etika dalam
kegiatan bisnis. Pandangan tersebut tentunya dipengaruhi oleh banyak
faktor, baik faktor intern maupun faktor ekstern.

B. Saran

Semakin banyak pengetahuan yang kita miliki maka akan semakin


luas pula wawasan kita. Maka dengan dibuatnya makalah ini, penulis
berharap dapat menambah pengetahuan tentang moral dalam
perekonomian dan bisnis amoral secara lebih rinci dan menjadi dasar
untuk diaplikasikan ke dalam dunia kerja.

13
DAFTAR PUSTAKA

Hamdani. Moralitas Dan Tindakan Ekonomi (Telaah Gerakan SholatSubuh


Berjemaah Dan Sarapan Pagi Gratis Di Masjid Agung Kab. Ngawi Jawa Timur).
2018. Jurnal Studi Islam dan Sosial. Vol. 12, No. 2
Ja’far, Khumaedi. Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Hukum Bisnis
Islam. Jurnal ASAS. 2014. Vol. 6, No.1
MS, M.Hafidz, Sam’ani Sya’roni, Marlina. Etika Bisnis Al-Ghazali Dan Adam
Smith Dalam Perspektif Ilmu Bisnis Dan Ekonomi. Jurnal Penelitian. 2012. Vol.
9, No. 1
Anonim. Moral Ekonomi Dan Tindakan Ekonomi.
http://electrarobhy4.blogspot.com/2014/04/moral-ekonomi-dan-tindakan-
ekonomi.html. Diakses pada tanggal 09 Maret 2019
Anonim. Moral Ekonomi.
https://3kh4.wordpress.com/2007/12/18/moral-ekonomi/. Diakses pada tanggal 09
Maret 2019
Anonim. Bisnis Amoral.
https://ardiansuwarno.wordpress.com/2014/10/26/contoh-kasus-bisnis-amoral/.
Diakses pada tanggal 09 Maret 2019
Anonim. Bisnis dan Etika Mitos Bisnis Amoral.
http://nuraini-maryadi.blogspot.com/2010/11/bisnis-dan-etika-mitos-bisnis-
amoral.html. Diakses pada tanggal 09 Maret 2019
Anonim. Contoh Kasus Bisnis Amoral.
https://ardiansuwarno.wordpress.com/2014/10/26/contoh-kasus-bisnis-amoral/.
pada tanggal 09 Maret 2019
Anonim. Klasifikasi Ilmu Menurut Imam Al-Ghazali Sebagai Asas Pendidikan
Islam. http://inpasonline.com/klasifikasi-ilmu-menurut-imam-al-ghazali-sebagai-
asas-pendidikan-islam/. Diakses pada tanggal 09 Maret 2019

14

Anda mungkin juga menyukai