Di Susun Oleh :
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayahNya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah “Sosiologi Ekonomi” yang berjudul “Keterkaitan Moral Dengan Perilaku
Ekonomi”. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu dan memberikan masukan kepada kami sehingga kami sanggup
menyelesaikan tugas penulisan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Sehingga kami sebagai
penulis memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini banyak kesalahan
dan kekurangan. Dengan demikian kami sangat berharap adanya saran dan
kritikan yang bersifat membangun demi menjadikan makalah ini lebih baik lagi.
Penyusun,
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Moral ekonomi menjadi topik perbincangan yang semakin menarik
akhir-akhir ini seiring dengan semakin derasnya arus globalisasi. Dalam
kajian sosiologi, Moral Ekonomi adalah suatu analisa tentang apa yang
menyebabkan seseorang berperilaku, bertindak dan beraktivitas dalam
kegiatan perekonomian. Hal ini dinyatakan sebagai gejala sosial yang
berkemungkinan besar sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan
sosial. beberapa buku referensi bagi mahasiswa dalam perkuliahan,
diajukan beberapa teori tentang moral ekonomi. Inti pembahasannya
adalah apa yang menyebabkan sekelompok masyarakat berperilaku,
bertindak dan beraktivitas dalam kegiatan perekonomian. Begitu juga
dalam berbisnis, apakah dalam bisnis memerlukan moral atau bahkan tidak
ada hubungannya sama sekali. Sebelum bisnis dijalankan, perusahaan –
perusahaan wajib memenuhi persyaratan secara legal sesuai dengan dasar
hukum dan aturan yang berlaku, tetapi apakah bisnis dapat diterima secara
moral ? Untuk membahas hal tersebut maka akan dijelaskan pada bab
dibawah ini mengenai moral dalam perekonomian.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud moral dalam perekonomian ?
2. Apa yang dimaksud bisnis amoral ?
3. Apa perbedaan fardhu kifayah menurut al-Ghazali vs Adam Smith ?
C. Tujuan
1. Mengetahui moral dalam perekonomian
2. Mengetahui pengertian bisnis amoral
3. Mengetahui perbedaan fardhu kifayah mennurut al-Ghazali vs Adam
Smith
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Hamdani, Moralitas Dan Tindakan Ekonomi (Telaah Gerakan SholatSubuh Berjemaah Dan
Sarapan Pagi Gratis Di Masjid Agung Kab. Ngawi Jawa Timur), Jurnal Studi Islam dan Sosial,
Vol. 12, No. 2, September 2018, hal. 19-20
2
Ibid, hal. 20
2
1. Moral ekonomi petani
Dapat di definisikan moral ekonomi sebagai pengertian petani tentang
keadilan ekonomi dan definisi kerja mereka tentang eksploitasi pandangan
mereka tentang pungutan –pungutan terhadap hasil produksi mereka mana
yang dapat ditolerir mana yang tidak dapat. Dalam mendefinisikan moral
ekonomi, petani akan memperhatikan etika subsistensi dan norma
resiprositas yang berlaku dalam masyarakat mereka. Etika subsistensi
merupakan perspektif dari mana petani yang tipikal memandang tuntutan-
tuntutan yang tidak dapat di letakkan atas sumber daya yang dimilikinya
dari pihak sesama warga desa,tuan tanah atau pejabat. 3
Etika subsistensi tersebut, menurut james Scott (1976), muncul dari
kekhawatiran akan mengalami kekurangan pangan dan merupakan
konsekuensi dari suatu kehidupan yang begitu dekat dengan garis batas
dari krisis subsistensi. Oleh karena itu kebanyakan rumah tangga petani
hidup begitu dekat dengan batas-batas substensi dan menjadi sasaran-
sasaran permainan alam serta tuntutan dari pihak luar maka mereka
meletekkan landasan etika subsistensi atas dasar pertimbangan prinsip
safety first (dahulukan selamat).4
Dari sudut pandang moral ekonomi petani, subsistensi itu sendiri
merupakan hak oleh sebab itu ia sebagai tuntutan moral. Maksudnya
adalah petani merupakan kaum yang miskin mempunyai hak sosialitas
subsistensi. Oleh karena itu, setiap tuntutan terhadap petani dari pihak tuan
tanah sebagai elit desa atau negara tidaklah adil apabila melanggar
kebutuhan subsistensi. Pandangan moral ini mengandung makna bahwa
kaum elit tidak boleh melanggar cadangan subsistensi kaum miskin pada
muslim baik dan memenuhi kewajiban moralnya yang positif untuk
menyediakan kebutuhan hidup pada musim jelek.5
3
Anonim, Moral Ekonomi Dan Tindakan Ekonomi, diakses dari
http://electrarobhy4.blogspot.com/2014/04/moral-ekonomi-dan-tindakan-ekonomi.html , pada
tanggal 09 Maret 2019, Pukul 22.41
4
Ibid,
5
Ibid,
3
2. Moral ekonomi pedagang
Dalam moral ekonomi ini setuju dengan pendapat james scott (1976-
176) yang menyatakan bahwa masyarakat petani umumnya dicirikan
dengan tingkat solidaritas yang tinggi dan dengan suatu sistem nilai yang
menekan kan tolong menolong, pemilikan bersama sumber daya dan
keamanan subsistensi. Hak terhadap subsistensi merupakan suatu prinsip
moral yang aktif dalam tradisi desa kecil. Dalam kondisi seperti ini
pedagang menghadapi dilema yaitu memilih antara memenuhi kewajiban
moral kepada kerabat-kerabat dan tetangga-tetangga untuk menikmati
bersama pendapatan yang di perolehnya sendiri di satu pihak dan untuk
mengakumulasikan modal dalam wujud barang dan uang di pihak lain.di
luar desa para pedagang di hadapkan dengan tuntunan anonim yang sering
bersifat anarkis dan berasal dari pasar terbuka dengan fluktuasi harga yang
liar. Pedagang cenderung terperangkap ditengah dan dalam hal ini bisa
disebut sebagai tengkulak karena mereka tidak hanya menanggung resiko
kerugian secara ekonomi tetapi juga resiko terhadap diskriminasi dan
kemarahan petani.6
Segala bentuk aktivitas manusia sudah diatur oleh Allah dalam Al-
Quran. Baik itu aktivitas ekonomi, sosial, politik sampai kepada adab
untuk meludahpun ada aturannya. Dalam sistem ekonomi, Islam
menekankan untuk mencari rezki di atas dunia dengan tidak melupakan
kewajiban-kewajiban kepada Allah dan norma-norma yang telah
ditetapkan.
Sistem perekonomian dalam islam diatur jelas dalam Al-Quran. Salah
satunya terdapat dalam surat al-jumu`ah ayat 10: “apabila kamu selesai
shalat, betebaranlah di muka bumi untuk mencari rezeki yang diberikan
Allah” dalam ayat ini, jelaslah bawah moral ekonomi dalam Islam sangat
6
Ibid,
4
terikat pada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Dalam urusan subsistensi dan
resiprositas, Al-Quran mewajibkan zakat bagi yang mampu, dan
menganjurkan untuk menunaikan sedekah, infak dan wakaf. Sehingga
kemerataan perekonomian pun terjadi. Hal itu di serukan Allah sebagai
wujud antisipasi dari kemungkinan-kemungkinan negatif. Hal itu bisa saja
terjadi apabila norma subsistensi dan resiprositas sudah sampai pada taraf
yang tidak wajar, sebagai contoh apabila masyarakat di landa sebuah
musim paceklik. Maka golongan masyarakat yang kurang mampu dapat
terbantu karena adanya zakat, sedekah, infak dan wakaf. 7
Di sisi lain, Al-Quran juga menganjurkan untuk saling tolong
menolong. “tolong menolonglah kamu kamu dalam kebaikan dan
ketakwaan, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan
keingkaran” Intinya, moral ekonomi dalam Islam sangat tergantung pada
kitab panduan yang diberikan Allah untuk mengatur kehidupannya
manusia, tidak saja pertimbangan norma subsistensi dan resiprositas, tetapi
juga mempertimbangkan norma-norma sosial yang lain. Tindakan yang
akan timbulpun akan berbeda. Karena dengan keyakinan dalam setiap
perbuatan ada balasannya, apakah itu kebaikan maupun keburukan, maka
Umat Islam yang beriman pun akan selalu mengerjakan aktivitas ekonomi
hanya untuk mengharapkan keridahaan Allah.
7
Anonim, Moral Ekonomi, diakses dari https://3kh4.wordpress.com/2007/12/18/moral-ekonomi/ ,
pada tanggal 09 Maret 2019 , pada pukul 22.52
5
B. Bisnis Amoral
8
Anonim, Bisnis Amoral, diakses dari https://ardiansuwarno.wordpress.com/2014/10/26/contoh-
kasus-bisnis-amoral/, pada tanggal 09 Maret 2019 pukul 23.01
9
Anonim, Bisnis dan Etika Mitos Bisnis Amoral, diakses dari http://nuraini-
maryadi.blogspot.com/2010/11/bisnis-dan-etika-mitos-bisnis-amoral.html, pada tanggal 09 Maret
2019 pukul 23.03
6
negatif, bahkan dari awal sudah sengaja dengan i'tikad yang tidak baik,
misalnya memberikan informasi yang tidak benar, informasi yang
menyesatkan, barang (kualitas) jelek dikatakan bagus, cara-cara penjualan
yang bersifat memaksa dan lain sebagainya.10
Usaha-usaha yang dilakukan tersebut seringkali lebih diperburuk
oleh pandangan-pandangan atau mitos-mitos bisnis itu sendiri. Misalnya
bisnis adalah kotor, bisnis itu kejam, bisnis tidak mengenal saudara,
sedikit berbohong dalam bisnis adalah wajar, bisnis dengan jujur tidak
akan untung dan lain sebagainya. Oleh karena mitos-mitos bisnis seperti
itu, maka menurut sebagian pelaku bisnis itu tidak memerlukan etika,
bahkan sebagian pendapat lain mengatakan bahwa dalam berbisnis
yang disertai berfikir dan bermoral adalah hal yang mustahil, karena
dianggap akan membuang-buang waktu saja, bahkan bisa
menimbulkan kebangkrutan.11
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka ada beberapa pandangan
yang pro dan kontra tentang perlu tidaknya etika dalam berbisnis :
a. Pandangan yang tidak mendukung perlunya etika dalam melakukan
kegiatan bisnis beranggapan bahwa
Bisnis adalah persaingan. Maksudnya bahwa semua pelaku
dalam persaingan ingin keluar sebagai pemenang. Setiap
persaingan adalah pertarungan dan pertarungan itu mempunyai
aturan sendiri.
Bisnis adalah asosial. Maksudnya bahwa aturan bisnis tidak bisa
dikaitkan dengan aturan moral sosial. Bisnis mempunyai aturan
sendiri yang tidak mungkin dicampuradukkan dengan yang lain.
Perasaan sosial apabila dituangkan dalam kegiatan bisnis akan
dapat mengganggu dan membuat lemah bisnis itu sendiri.
Khumedi Ja’far, Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Hukum Bisnis Islam, Jurnal ASAS,
10
11
Ibid,
7
Bisnis harus bertujuan untuk keuntungan. Maksudnya bahwa
tujuan utama bisnis adalah keuntungan, maka tanggung jawab
sosial adalah tidak sesuai dan bertentangan dengan efisiensi.
Bisnis harus berkonsentrasi. Maksudnya bahwa dalam berbisnis
tidak boleh banyak tujuan, apabila ada tujuan rangkap, misalnya
tujuan ekonomi dan tujuan sosial, maka akan dapat
membingungkan manajer.
Bisnis itu makan biaya. Maksudnya bahwa untuk menggerakkan
kegiatan bisnis diperlukan biaya yang besar, apalagi apabila
harus dibebani dengan biaya sosial, tentunya akan lebih berat
lagi.
Selanjutnya Sony Keraf memberikan contoh tentang pendapat para
pelaku bisnis yang berpandangan bahwa bisnis itu
amoral, menurut pandangan tersebut bisnis adalah bisnis.
Bisnis tidak bisa dicampuradukkan dengan etika.12
12
Ibid, hal. 97-98
8
Legalitas bisnis berkatian dengan moralitas.13
13
Ibid, hal.98
14
Ibid, hal.99
9
sosialnya bisa dicabut izin operasinya dan dilarang beroperasi di negara
berkembang.15
15
Anonim, Contoh Kasus Bisnis Amoral, diakses dari
https://ardiansuwarno.wordpress.com/2014/10/26/contoh-kasus-bisnis-amoral/, pada tanggal 09
Maret 2019, pukul 23.10
16
,Anonim, Klasifikasi Ilmu Menurut Imam Al-Ghazali Sebagai Asas Pendidikan Islam, diakses
dari http://inpasonline.com/klasifikasi-ilmu-menurut-imam-al-ghazali-sebagai-asas-pendidikan-
islam/, pada tanggal 09 Maret 2019 pukul 23.20
17
M.Hafidz MS, Sam’ani Sya’roni, Marlina, Etika Bisnis Al-Ghazali Dan Adam Smith Dalam
Perspektif Ilmu Bisnis Dan Ekonomi, Jurnal Penelitian, Vol. 9, No. 1, Mei 2012, hal. 22-23
10
bahwa ukhrawi adalah tujuan dan kebahagian materi di dunia hanya
sekedar bonus. Tidak Selfish dan Tidak Serakah dalam Berbisnis. Itulah
kalimat yang digunakan oleh al-Ghazali bahwa salah satu etika dalam
berbisnis adalah menghindari ketamakan (az-ziyadah ‘ala alkifayah),
karena hal tersebut justru akan membawa kepada perilakuperilaku negatif.
Pebisnis hendaknya merasa ‘cukup’ dengan apa yang ia dapatkan selama
hal itu telah memenuhi need-nya, bukan pada wants-nya. Namun
demikian, sama halnya dengan para sarjana muslim lainnya, al Ghazali
tidak memberikan keterangan yang definitif mengenai batas sebuah
‘kecukupan.’ Tidak serakah dapat diartikan sebagai tidak mengambil hak
orang lain; memberi kesempatan yang sama bagi orang lain dan
memberikan rasa kasih sayang kepada sesama manusia.18
18
Ibid, hal. 24-25
19
Ibid, hal. 23
11
diusung oleh Smith (2006: 213) dalam berbisnis. Menurutnya, terdapat
rasa kasih sayang yang bersifat universal yang menjangkau seluruh ujung
dunia. Semangat kasih sayang itu pula yang mendorong orang untuk
mengorbankan kepentingannya demi kepentingan publik. Bahkan di dalam
The Wealth, Smith, seraya mengutip dari Doktor Pocock, mengatakan
bahwa orang-orang Arab yang pulang dari berdagang, maka mereka akan
mengajak para tetangganya, bahkan para pengemis juga, untuk makan
bersama duduk pada satu meja yang sama. 20
20
Ibid, hal. 25
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
14