Di Susun Oleh :
2019
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayahNya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah “Sosiologi Ekonomi” yang berjudul “Keterkaitan Moral Dengan Perilaku
Ekonomi”. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu dan memberikan masukan kepada kami sehingga kami sanggup
menyelesaikan tugas penulisan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Sehingga kami sebagai
penulis memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini banyak kesalahan
dan kekurangan. Dengan demikian kami sangat berharap adanya saran dan
kritikan yang bersifat membangun demi menjadikan makalah ini lebih baik lagi.
Penyusun,
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN.....................................................................................................2
A. Moral dalam Perekonomian................................................................................2
B. Bisnis Amoral.......................................................................................................6
C. Fardhu Kifayah menurut al-Ghazali vs Adam Smith.......................................9
1. Menurut al-Ghazali........................................................................................10
2. Menurut Adam Smith....................................................................................11
BAB III
PENUTUP.............................................................................................................13
A. Kesimpulan.........................................................................................................13
B. Saran...................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Moral ekonomi menjadi topik perbincangan yang semakin menarik
akhir-akhir ini seiring dengan semakin derasnya arus globalisasi. Dalam
kajian sosiologi, Moral Ekonomi adalah suatu analisa tentang apa yang
menyebabkan seseorang berperilaku, bertindak dan beraktivitas dalam
kegiatan perekonomian. Hal ini dinyatakan sebagai gejala sosial yang
berkemungkinan besar sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan
sosial. beberapa buku referensi bagi mahasiswa dalam perkuliahan,
diajukan beberapa teori tentang moral ekonomi. Inti pembahasannya
adalah apa yang menyebabkan sekelompok masyarakat berperilaku,
bertindak dan beraktivitas dalam kegiatan perekonomian. Begitu juga
dalam berbisnis, apakah dalam bisnis memerlukan moral atau bahkan tidak
ada hubungannya sama sekali. Sebelum bisnis dijalankan, perusahaan –
perusahaan wajib memenuhi persyaratan secara legal sesuai dengan dasar
hukum dan aturan yang berlaku, tetapi apakah bisnis dapat diterima secara
moral ? Untuk membahas hal tersebut maka akan dijelaskan pada bab
dibawah ini mengenai moral dalam perekonomian.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud moral dalam perekonomian ?
2. Apa yang dimaksud bisnis amoral ?
3. Apa perbedaan fardhu kifayah menurut al-Ghazali vs Adam Smith ?
C. Tujuan
1. Mengetahui moral dalam perekonomian
2. Mengetahui pengertian bisnis amoral
3. Mengetahui perbedaan fardhu kifayah mennurut al-Ghazali vs Adam
Smith
BAB II
PEMBAHASAN
1
Hamdani, Moralitas Dan Tindakan Ekonomi (Telaah Gerakan SholatSubuh Berjemaah Dan
Sarapan Pagi Gratis Di Masjid Agung Kab. Ngawi Jawa Timur), Jurnal Studi Islam dan Sosial,
Vol. 12, No. 2, September 2018, hal. 19-20
2
Ibid, hal. 20
2
Dapat di definisikan moral ekonomi sebagai pengertian petani tentang
keadilan ekonomi dan definisi kerja mereka tentang eksploitasi pandanga
mereka tentang pungutan –pungutan terhadap hasil produksi mereka mana
yang dapat ditolerir mana yang tidak dapat. Dalam mendefinisikan moral
ekonomi, petani akan memperhatikan etika subsistensi dan norma
resiprositas yang berlaku dalam masyarakat mereka. Etika subsistensi
merupakan perspektif dari mana petani yang tipikal memandang tuntutan-
tuntutan yang tidak dapat di letakkan atas sumber daya yang dimilikinya
dari pihak sesama warga desa,tuan tanah atau pejabat. 3
3
Anonim, Moral Ekonomi Dan Tindakan Ekonomi, diakses dari
http://electrarobhy4.blogspot.com/2014/04/moral-ekonomi-dan-tindakan-ekonomi.html , pada
tanggal 09 Maret 2019, Pukul 22.41
4
Ibid,
5
Ibid,
3
2. Moral ekonomi pedagang
Dalam moral ekonomi ini setuju dengan pendapat james scott (1976-
176) yang menyatakan bahwa masyarakat petani umumnya dicirikan
dengan tingkat solidaritas yang tinggi dan dengan suatu sistem nilai yang
menekan kan tolong menolong, pemilikan bersama sumber daya dan
keamanan subsistensi. Hak terhadap subsistensi merupakan suatu prinsip
moral yang aktif dalam tradisi desa kecil. Dalam kondisi seperti ini
pedagang menghadapi dilema yaitu memilih antara memenuhi kewajiban
moral kepada kerabat-kerabat dan tetangga-tetangga untuk menikmati
bersama pendapatan yang di perolehnya sendiri di satu pihak dan untuk
mengakumulasikan modal dalam wujud barang dan uang di pihak lain.di
luar desa para pedagang di hadapkan dengan tuntunan anonim yang sering
bersifat anarkis dan berasal dari pasar terbuka dengan fluktuasi harga yang
liar. Pedagang cenderung terperangkap ditengah dan dalam hal ini bisa
disebut sebagai tengkulak karena mereka tidak hanya menanggung resiko
kerugian secara ekonomi tetapi juga resiko terhadap diskriminasi dan
kemarahan petani.6
Segala bentuk aktivitas manusia sudah diatur oleh Allah dalam Al-
Quran. Baik itu aktivitas ekonomi, sosial, politik sampai kepada adab
untuk meludahpun ada aturannya. Dalam sistem ekonomi, Islam
menekankan untuk mencari rezki di atas dunia dengan tidak melupakan
kewajiban-kewajiban kepada Allah dan norma-norma yang telah
ditetapkan.
4
shalat, betebaranlah di muka bumi untuk mencari rezeki yang diberikan
Allah” dalam ayat ini, jelaslah bawah moral ekonomi dalam Islam sangat
terikat pada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Dalam urusan subsistensi dan
resiprositas, Al-Quran mewajibkan zakat bagi yang mampu, dan
menganjurkan untuk menunaikan sedekah, infak dan wakaf. Sehingga
kemerataan perekonomian pun terjadi. Hal itu di serukan Allah sebagai
wujud antisipasi dari kemungkinan-kemungkinan negatif. Hal itu bisa saja
terjadi apabila norma subsistensi dan resiprositas sudah sampai pada taraf
yang tidak wajar, sebagai contoh apabila masyarakat di landa sebuah
musim paceklik. Maka golongan masyarakat yang kurang mampu dapat
terbantu karena adanya zakat, sedekah, infak dan wakaf. 7
7
Anonim, Moral Ekonomi, diakses dari https://3kh4.wordpress.com/2007/12/18/moral-ekonomi/ ,
pada tanggal 09 Maret 2019 , pada pukul 22.52
5
B. Bisnis Amoral
8
Anonim, Bisnis Amoral, diakses dari https://ardiansuwarno.wordpress.com/2014/10/26/contoh-
kasus-bisnis-amoral/, pada tanggal 09 Maret 2019 pukul 23.01
9
Anonim, Bisnis dan Etika Mitos Bisnis Amoral, diakses dari http://nuraini-
maryadi.blogspot.com/2010/11/bisnis-dan-etika-mitos-bisnis-amoral.html, pada tanggal 09 Maret
2019 pukul 23.03
6
dilakukan tersebut kadang-kadang dapat menjurus pada hal yang
negatif, bahkan dari awal sudah sengaja dengan i'tikad yang tidak baik,
misalnya memberikan informasi yang tidak benar, informasi yang
menyesatkan, barang (kualitas) jelek dikatakan bagus, cara-cara penjualan
yang bersifat memaksa dan lain sebagainya.10
Khumedi Ja’far, Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Hukum Bisnis Islam, Jurnal ASAS,
10
11
Ibid,
7
sendiri yang tidak mungkin dicampuradukkan dengan yang lain.
Perasaan sosial apabila dituangkan dalam kegiatan bisnis akan
dapat mengganggu dan membuat lemah bisnis itu sendiri.
Bisnis harus bertujuan untuk keuntungan. Maksudnya bahwa
tujuan utama bisnis adalah keuntungan, maka tanggung jawab
sosial adalah tidak sesuai dan bertentangan dengan efisiensi.
Bisnis harus berkonsentrasi. Maksudnya bahwa dalam berbisnis
tidak boleh banyak tujuan, apabila ada tujuan rangkap, misalnya
tujuan ekonomi dan tujuan sosial, maka akan dapat
membingungkan manajer.
Bisnis itu makan biaya. Maksudnya bahwa untuk menggerakkan
kegiatan bisnis diperlukan biaya yang besar, apalagi apabila
harus dibebani dengan biaya sosial, tentunya akan lebih berat
lagi.
Selanjutnya Sony Keraf memberikan contoh tentang pendapat para
pelaku bisnis yang berpandangan bahwa bisnis itu
amoral, menurut pandangan tersebut bisnis adalah bisnis.
Bisnis tidak bisa dicampuradukkan dengan etika.12
beranggapan bahwa
Bisnis mempertaruhkan segalanya
Bisnis menyangkut hubungan antar manusia
Bisnis harus mengikuti kemauan masyarakat
Bisnis harus disertai kewajiban moral
Bisnis harus mengingat sumber daya yang terbatas
Bisnis harus menjaga lingkungan sosial
Bisnis harus menjaga keseimbangan, tanggung jawab dan sosial
12
Ibid, hal. 97-98
8
Bisnis harus menggali sumber daya yang bermanfaat
Bisnis harus dapat memberi keuntungan jangka panjang
Legalitas bisnis berkatian dengan moralitas.13
13
Ibid, hal.98
14
Ibid, hal.99
9
750 PMA yang tidak membayar pajak. Korporasi multinasional yang
secara sengaja terbukti tidak memenuhi kewajiban ekonomi, hukum, dan
sosialnya bisa dicabut izin operasinya dan dilarang beroperasi di negara
berkembang.15
10
memperhatikan dimensi ukhrawidalam dunia bisnis, bahkan dikatakannya
bahwa ukhrawi adalah tujuan dan kebahagian materi di dunia hanya
sekedar bonus. Tidak Selfish dan Tidak Serakah dalam Berbisnis. Itulah
kalimat yang digunakan oleh al-Ghazali bahwa salah satu etika dalam
berbisnis adalah menghindari ketamakan (az-ziyadah ‘ala alkifayah),
karena hal tersebut justru akan membawa kepada perilakuperilaku negatif.
Pebisnis hendaknya merasa ‘cukup’ dengan apa yang ia dapatkan selama
hal itu telah memenuhi need-nya, bukan pada wants-nya. Namun
demikian, sama halnya dengan para sarjana muslim lainnya, al Ghazali
tidak memberikan keterangan yang definitif mengenai batas sebuah
‘kecukupan.’ Tidak serakah dapat diartikan sebagai tidak mengambil hak
orang lain; memberi kesempatan yang sama bagi orang lain dan
memberikan rasa kasih sayang kepada sesama manusia.18
2. Menurut Adam Smith
Apakah Smith mengaitkan aktivitas bisnis dengan fardhu kifayah?
Tentu tidak. Namun jika fardhu kifayah dimaknai dengan kepentingan
publik/public interest maka Smith menyinggungnya, baik di The Theory
maupun di The Wealth. Bahkan, The Wealth yang ia tulis karena ingin
membela kepentingan publik, Smith menolak intervensi pemerintah karena
saat itu intervensi yang dilakukan oleh pemerintah adalah hasil
“perselingkuhan” antara penguasa dan pengusaha; antara pejabat dan
konglomerat. Imbasnya adalah justru merugikan kepentingan publik
karena intervensi hanya melayani kepentingan kelas pemodal.19 Berbeda
dengan al-Ghazali yang menekankan pentingnya keseimbangan dunia dan
akhirat, Smith hanya menyinggung sedikit persoalan akhirat. Namun
demikian Smith (2006: 83 dan 150) tidak memandang salah kepercayaan
para pemeluk agama yang meyakini adanya kehidupan setelah mati
sebagai tempat dimana orang akan menerima konsekuensi selama ia hidup.
Rasa kasih sayang kepada sesama manusia. Semangat ini pula yang
18
Ibid, hal. 24-25
19
Ibid, hal. 23
11
diusung oleh Smith (2006: 213) dalam berbisnis. Menurutnya, terdapat
rasa kasih sayang yang bersifat universal yang menjangkau seluruh ujung
dunia. Semangat kasih sayang itu pula yang mendorong orang untuk
mengorbankan kepentingannya demi kepentingan publik. Bahkan di dalam
The Wealth, Smith, seraya mengutip dari Doktor Pocock, mengatakan
bahwa orang-orang Arab yang pulang dari berdagang, maka mereka akan
mengajak para tetangganya, bahkan para pengemis juga, untuk makan
bersama duduk pada satu meja yang sama. 20,
20
Ibid, hal. 25
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
13
berharap dapat menambah pengetahuan tentang moral dalam
perekonomian dan bisnis amoral secara lebih rinci dan menjadi dasar
untuk diaplikasikan ke dalam dunia kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Bisnis dan Etika Mitos Bisnis Amoral, diakses dari http://nuraini-
maryadi.blogspot.com/2010/11/bisnis-dan-etika-mitos-bisnis-amoral.html, pada
tanggal 09 Maret 2019 pukul 23.03
14
M.Hafidz MS, Sam’ani Sya’roni, Marlina, Etika Bisnis Al-Ghazali Dan
Adam Smith Dalam Perspektif Ilmu Bisnis Dan Ekonomi, Jurnal Penelitian, Vol.
9, No. 1, Mei 2012, hal. 22-23
15