DISUSUN OLEH :
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga pada akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ TEORI KONSUMSI DAN PERILAKU KONSUMEN DALAM EKONOMI
ISLAM “ tepat waktunya.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ekonomi
Syariah sebagai tugas kelompok. Kami berterimakasih kepada Ibu Maharani S.E.I., M.E.Sy,
yang telah memberikan tugas membuat makalah ini sehingga kami dapat menambah
wawasan dan pengetahuan.
Dengan keterbatasan pengetahuan, kami sangat menyadari bahwa masih banyak
kekurangan pada makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan pada pembuatan makalah berikutnya.
Semoga bermanfaat bagi kami dan bagi pembaca. Aamiin
Tangerang Selatan
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
4
8. Apa yang dimaksud model keseimbangan konsumsi islam ?
9. Apa saja batasan konsumsi dalam syariah ?
10. Apa saja Perilaku konsumen muslim ?
11. Apa perbedaan perilaku konsumen muslim dengan perilaku konsumen konvesional ?
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Kesederhanaan. Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah
sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan
pada saat krisis ekonomi terjadi.
Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-benar
bersifat pribadi.
Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah
untuk mewujudkan semangat islam.
Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya dilarang oleh
agama islam.
7
dengan ajaran agama. Konsep Maslahah dalam perilaku konsumen Islam juga menekankan
pentingnya penggunaan harta secara bijak dan bertanggung jawab. Menurut Imam Shatibi,
Maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan
tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau,
yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din),
intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang
mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu,
itulah yang disebut Maslahah. Dalam konteks konsumsi, konsep Maslahah mengacu pada
manfaat yang diperoleh dari pemenuhan kebutuhan dan kepuasan. Konsumen Muslim
diharapkan untuk memilih barang atau jasa yang dapat memberikan manfaat dan kepuasan yang
diinginkan, namun tetap memperhatikan aspek moral dan sosial. Konsumen Muslim juga
diharapkan untuk tidak mengkonsumsi barang atau jasa yang dilarang oleh agama Islam. contoh
barang atau jasa yang tidak mengandung maslahah dan tidak layak dikonsumsi oleh umat Islam
antara lain barang atau jasa yang haram atau tidak halal, seperti minuman keras, narkoba,
makanan atau minuman yang mengandung babi atau bahan-bahan haram lainnya, dan barang
atau jasa yang merugikan orang lain atau lingkungan, seperti produk-produk ilegal atau hasil dari
eksploitasi manusia atau alam yang tidak etis.
Selain itu, barang atau jasa yang tidak diperlukan atau berlebihan juga tidak disarankan
untuk dikonsumsi oleh umat Islam, karena hal tersebut dapat mengarah pada pemborosan dan
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam yang menekankan pada penggunaan sumber
daya dengan bijak dan efisien. Selain itu, konsep Maslahah dalam perilaku konsumen Islam juga
menekankan pentingnya penggunaan harta secara bijak dan bertanggung jawab. Konsumen
Muslim diharapkan untuk tidak melakukan konsumsi yang berlebihan dan tidak terkontrol,
karena hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada diri sendiri, masyarakat, dan lingkungan.
8
membahas kerangka normatif -pekerjaan perilaku konsumen dalam ekonomi Islam. Mereka telah
menemukan nilai-nilai yang diusulkan untuk menggambarkan perilaku konsumen Islam. Berikut
ini adalah prinsip konsumsi dalam kerangka moral Islam:
a. Prinsip Kebolehan/Kebebasan
Konsumsi dalam ekonomi Islam tidak hanya dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan
manusia semata. Hakikatnya secara ontologis konsumsi dipandang sebagai bentuk hubungan
antara Sang Pencipta dan Ciptaan-Nya. Oleh karenanya, dalam Al-Qur’an Allah SWT
menyeru kepada manusia untuk menikmati segala apa yang telah diciptakan-Nya di bumi.
Ajakan Allah SWT dalam al-Qur’an menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara
manusia (yang diciptakan) dan Tuhan (Yang Menciptakan) melalui apa yang telah
dianugerah kan kepada manusia. Hal ini sebagaimana dicantumkan dalam Al-Maidah ayat
88. Oleh karena itu, prinsip konsumsi dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu dapat
dikonsumsi (secara legal) dan semua manusia boleh (secara bebas) mengkonsumsi apapun
yang ia sukai, kecuali jika ditemukan dalil yang secara jelas menyatakan bahwa tindakan atau
sesuatu tersebut dilarang. Batasan tersebut ditetapkan bukan untuk membatasi umat manusia,
tetapi untuk memastikan manfaat dipertahankan dan bahaya dalam konsumsi dihindari. Apa
yang diizinkan sebenarnya adalah untuk menjaga kesejahteraan manusia dan apa yang
dilarang adalah karena menghindari bahaya atau efek negatif yang ditimbulkan dalam
konsumsi (Al-Qur’an, 5: 3).
b. Prinsip Tanggung Jawab
Prinsip konsumsi selanjutnya adalah prinsip tanggung jawab. Prinsip tanggung jawab
berangkat dari prinsip bahwa kekayaan adalah milik Allah dan harus dikonsumsi sesuai
dengan pedoman Syari’ah. Seorang konsumen dalam kerangka Islam diharapkan
bertanggung jawab di hadapan Tuhan atas apapun konsumsi yang telah dilakukannya. Meski
demikian, manusia telah diciptakan sedemikian rupa sehingga cenderung mencintai kekayaan
dan memiliki lebih banyak kekayaan dalam hidupnya. Dengan kata lain, akan ada
kecenderungan manusia mengejar konsumsi dengan cara yang salah dan juga kesenangan diri
yang tidak dikehendaki dengan melewati batas dari apa yang diizinkan dan mengabaikan
tujuan etis dan sosial dalam mempertimbangkan kebutuhan lain dan publik. Hal ini
sebagaimana disinggung dalam (Al-Qur’an Al-Imran:14). Oleh karena itu, Al-Qur’an
mengingatkan kita bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah ujian bagi manusia untuk
9
diarahkan pada tujuan yang lebih tinggi seperti yang dikehendaki Syari’ah daripada
disibukkan dengan kesenangan diri sendiri (Al-Qur’an, 3: 186). Manusia dinasehati untuk
tidak terlalu disibukkan dengan pemenuhan keinginan, karena hanya perhiasan hidup dunia
ini (Al-Qur’an, 3:14) atau perhiasan kehidupan dunia ini (Al-Qur’an, 18:46). Terlalu banyak
melekat pada keinginan kepuasan akan menciptakan kecenderungan untuk mencintai
kekayaan yang mungkin menyebabkan manusia sangat menyimpang dari Jalan Yang Benar
dan karenanya, manusia mungkin melakukan tindakan yang tidak perlu atau menghalangi
yang akan membuatnya dilempar ke Neraka.
c. Prinsip Keseimbangan
Prinsip konsumsi yang ketiga adalah prinsip keseimbangan. Islam mendorong umatnya
untuk melakukan konsumsi secara seimbang. Keseimbangan konsumsi ini sebenarnya adalah
keseimbangan mini di mikrokosmos yang mencerminkan keseimbangan makrokosmos dunia
dan penciptaan alam semesta yang lebih besar. Al-Qur’an mengingatkan kita bahwa Allah
telah menciptakan alam semesta dan bumi dalam keadaan ekuilibrium (seimbang), yang
dengan sendirinya tersusun dari kesetimbangan yang tak terhitung banyaknya (Al-Qur’an,
55: 1-9). Izin (kebolehan) untuk menikmati dan memanfaatkan sumber daya untuk pangan,
sandang, dan lainnya harus dilakukan secara seimbang dan tidak mengganggu keseimbangan
dengan melampaui batas. Manusia diharapkan dapat mengelola konsumsi dengan baik secara
moderat, adil dan seimbang. Konsumsi berlebihan dalam bentuk pemborosan, berlebihan,
dan konsumsi individu. Berikut ini adalah jenis konsumsi yang dianggap melanggar
keseimbangan dalam Islam:pemborosan tidak diperbolehkan. Demikian pula, konsumsi yang
kurang karena terlalu pelit dan kikir tidak disukai. Ini senada dengan surat al-Furqan ayat 67
Islam memberikan pedoman yang solutif (jalan tengah) antara tidak pelit dan konsumsi
berlebihan dengan menetapkan batas atas (konsumsi boros dan berlebihan) dan batas bawah
(kesesatan)
d. Prinsip Prioritas
Mempunyai prioritas adalah salah satu prinsip konsumsi dalam Islam. Memprioritaskan
kemana dan apa saja yang dikonsumsi juga dianjurkan dalam Islam. Konsumsi harus
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat dan mencegah kerugian yang hanya
dapat dicapai jika konsumen sepenuhnya mengikuti dan berkomitmen pada pedoman yang
ditetapkan oleh Syariat. Konsumsi yang membawa kita ke tujuan itu harus diutamakan.
10
Begitu pula konsumsi yang akan menjamin keseimbangan dan posisi moderat juga harus
lebih diutamakan daripada konsumsi yang akan membawa kita pada pelanggaran. Berkaitan
dengan hal tersebut, Al-Qur’an telah mengungkapkan beberapa jenis konsumsi yang harus
dijadikan prioritas oleh konsumen dalam kerangka ekonomi Islam.
Konsumsi adalah suatu kegiatan yang bertujuan menggunakan manfaat dari barang atau
jasa dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Atau konsumsi yaitu tindakan manusia
memakai dan menikmati guna barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konsumen
non muslim tidak mengenl istilah halal dan haram dalam masalah konsumsi. Karena itu dia akan
mengonsumsi apa saja, kecuali jika dia tidak bisa memperolehnya atau tidak memiliki
keingininan mengkonsumsinya. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis riwayat Muslim
yang artinya: Dari Abu Huraira ra. berkata bahwa Rasul SAW bersabda: " wahai manusia!
Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Ia memerintahkan
kepada orang-oarang yang beriman apa yang diperintahkan pada utusan." Wahai para utusan ,
makanlah dari yang baik dan beramallah yang baik, karena sesungguhnya kami mengetaui apa
yang kalian kerjakan." " makanlah dari yang baik atas apa yang Kami rezeqikan padamu."
Kemudian Nabi menuturkan ada seorang laki-laki yang bepergian jauh, rambutnya acak-acakan
dan kotor. Dia menadahkan kedua tangannya ke atas seraya berdo'a: Wahai tuhanku, wahai
tuhanku", sedang yang dimakan dan yang diminum serta yang dipakai adalah berasal dari yang
haram, mana mungkin doanya diterima."(HR. Muslim).
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi:
a. Kaidah syariah
Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi
di mana terdiri dari: kaidah aqidah yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sebagai
sarana untuk ketaatan/beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai
makhluk yang mendapatkan beban khlifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta
pertanggungjawaban oleh penciptaan. Jika sorang muslim menikmati rizki yang
dikaruniakan allah kepadanya, maka demikian itu ber titik tolak dari akidahnya ketika
allah meberikan nikmat kepada hamba-hambanya , maka dia senang bila tanda nikmatnya
terlihat pada hamba-hambanya.
11
b. Kaidah ilmiah
Yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang
akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, apakah merupakan
sesuatu yang halah atau haram baik di tinjau dari zat, proses, maupun tujuannya sesuai
dengan al-qur'an dan as-sunnah.
c. Kaidah amaliah.
Yaitu merupakan apilikasi dari kedua kaidah yang sebelumnya, maksudnya
memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai konsekuensi akidah dannilmu yang
telah diketahui tentang konsumsi islam tersebut, seseorang ketika sudah berkaidah yang
lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halah serta menjahui yang
haram serta syubhat.
d. Kaidah kuantitas.
Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi hala, tapi dalam sisi kuantitas
(jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang dalam penentuan kuantitas ini
memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut: yang pertama adalah
sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan
harta (boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat. Boros dan
pelit adalah dua sifat tercela, dimana masing-masing memiliki bahaya dalam ekonomi
dan sosial. Karena itu terdapat banyak nash al-qur'an dan as-sunnah yang mengecam
kedua hal tersebut, dan karena masing-masing keluar dari garis kebenaran ekonomi yang
memiliki dampak-dampak yang buruk.
12
P : Jumlah pendapatan.
di bidang konsumsi, etika Islam berarti seseorang ketika mengkonsumsi barang-barang atau
rezeki harus dengan cara yang halal dan baik .Artinya,perbuatan yang baik dalam mencari
barang-barang atau rezeki baik untuk dikonsumsi maupun diproduksi adalah bentuk ketaatan
terhadap Allah SWT. Karena itu, orang-orang mukmin berusaha mencari kenikatan dengan
mentaati perintahperintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan
anugrah-anugrah yang diciptakan Allah untuk umat manusia.
Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal
Tuhan,dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabdhir
(menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabdhir berarti mempergunakan harta dengan cara
yang salah, yakni, untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang
melanggar hukum atau dengan cara yang tampa aturan. Setiap katagori ini mencakup beberapa
jenis penggunaan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal
seperti makanan, pakaian, tempat tinggal atau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran Islam
menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola
yang terletak di antara pemborosan.
13
penting dan hanya para ahli ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami
dan menjelaskan prinsip produksi dan konsumsi. Perbedaan antara ekonomi modern dan
ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatan dalam memenuhi kebutuhan
seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata – mata dan pola konsumsi
modern. Islam berusaha mengurangi kebutuhan material manusia yang luar biasa sekarang ini.
14
elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta
benda (al mal), keyakinan (aldin), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-
nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima
elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Kegiatan-
kegiatan ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut
maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu ‘religious duty‘ atau ibadah. Tujuannya
bukan hanya kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan di akhirat. Semua aktivitas
tersebut, yang memiliki maslahah bagi umat manusia, disebut ‘needs’ atau kebutuhan.
Dan semua kebutuhan ini harus dipenuhi. Mencukupi kebutuhan – dan bukan memenuhi
kepuasan/keinginan – adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islami, dan usaha pencapaian
tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama. Adapun sifat-sifat maslahah
sebagai berikut:
1) Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi
masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu
maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria
maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua
individu.
2) Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak.
Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan
optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau
kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan
orang lain.
3) Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu
produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
Dalam membandingkan konsep ‘kepuasan’ dengan ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang
terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan
tujuan hukum syara’ yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah. Penjelasan dari
masing-masing tingkatan itu sebagai berikut:
Daruriyyah: Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan
mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup
terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau
15
agama, akal/intelektual, keturunan dan keluarga serta harta benda. Jika tujuan
daruriyyah diabaikan, maka tidak akan ada kedamaian, yang timbul adalah
kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat.
Hajiyyah: Syari’ah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan
kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk
memelihara lima hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan
berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.
Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di
dalamnya. Terdapat beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk
mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari
daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya dibolehkannya memakai baju yang
nyaman dan indah.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
Dalam teori konsumsi Islam, konsumen dilarang menggunakan barang yang haram,
hanya yang halal saja, baik dari cara mendapatkannya maupun dari hukum barang atau jasa itu
sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya kita selalu memperhatikan sumber dan kualitas barang atau
jasa yang akan kita konsumsi.Dalam memenuhi kebutuhan, sebaiknya kita juga berusaha untuk
tidak berlebihan atau boros. Kita dapat mengatur pengeluaran dengan membuat anggaran dan
memprioritaskan kebutuhan yang lebih penting. Selain itu, kita juga dapat mempertimbangkan
untuk membeli barang atau jasa yang berkualitas dan tahan lama, sehingga tidak perlu sering-
sering membeli yang baru.
17
DAFTAR PUSTAKA
Furqon, Imahda Khoiri. "Teori konsumsi dalam islam." Adzkiya: Jurnal Hukum Dan Ekonomi
Zakiah, Selviana. "Teori Konsumsi Dalam Perspektif Ekonomi Islam." El-Ecosy: Jurnal
Wigati, Sri. "Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Ekonomi Islam." Maliyah: Jurnal Hukum
Rasyid, Arbanur. "Perilaku Konsumtif Dalam Perspektif Agama Islam." Yurisprudentia: Jurnal
18