EKONOMI ISLAM
Tugas Mandiri
Disusun oleh :
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PAMULANG
2016
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-
Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah ekonomi syariah dengan judul
"Teori Konsumsi dan Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Islam " tepat pada waktunya.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang
dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
1.3. Tujuan............................................................................................................................... 2
1.4. Manfaat............................................................................................................................. 2
2.3. Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim Dengan Perilaku Konsumen Konvensional .... 12
3.1. Kesimpulan..................................................................................................................... 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita pahami dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional, bahwa ilmu
ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu maupun masyarakat
dalam rangka melakukan pilihan penggunaan sumber daya yang terbatas guna memenuhi
kebutuhan (yang pada dasarnya tidak terbatas) akan barang dan jasa. Kelangkaan akan barang
dan jasa timbul bila kebutuhan (keinginan) seseorang atau masyarakat ternyata lebih besar
daripada tersedianya barang dan jasa tersebut. Jadi kelangkaan ini muncul apabila tidak cukup
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut.
Pada tahapan ini mungkin tidak bisa dibedakan antara keinginan (syahwat) dan
kebutuhan (hajat) dan terjadi persamaan umum antara homo economicus dan homo Islamicus.
Namun manusia harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan adalah
untuk menggerakkannya mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan, sehingga fisik
manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah
yang beribadah kepadaNya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi
teori permintaan Islami dan konvensional.
Islam selalu mengaitkan kegiatan memenuhi kebutuhan dengan tujuan utama manusia
diciptakan. Manakala manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka esensinya pada saat itu
tidak berbeda dengan binatang ternak yang makan karena lapar saja.
Dalam tugas terstruktur kelompok ini, penyusun yang membahas mengenai masalah
konsumsi dan perilaku konsumen dalam ekonomi islam, didapatkan rumusan masalah yang akan
di bahas dalam analisis permasalahan. Rumusan masalah tersebut, adalah sebagai berikut:
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dibuat makalah yang membahas tentang teori konsumsi dan perilaku
konsumen dalam ekonomi islam ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan konsep penting dalam teori konsumsi dan perilaku konsumen sesuai syariah.
2. Menjelaskan perbedaan antara perilaku konsumen muslim dengan perilaku konsumen
konvensional.
3. Menumbukan sikap berhati-hati dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup sesuai aturan
islam, serta meningkatkan iman dan taqwa dengan disajikan beberapa dalil baik dari Al-
Qur’an maupun Sunnah Al-Hadits menganai teori konsumsi dan perilaku konsumen
dalam ekonomi islam.
1.4. Manfaat
Makalah ini diharapakan dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan dengan
sifat konsumtif manusia dan perilaku konsumen dalam ekonomi islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan
atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu
barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam
prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi)
dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian? Ketika konsumsi dalam Islam diartikan
sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan,
maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas
konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari
kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.1
a) Kebutuhan (Hajat)
"manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh, akal, badan
maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang lain. Misalnya,
kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja,
namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak
pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan setiap
makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur tubuh".2
Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak selamanya sesuatu yang
kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur tubuh. Maksud hakiki di sini
adalah keterkaitan yang positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas terstruktur dari unsur
tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan kerusakan pada
salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki manusia. Karena itu,
Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras, memakan anjing, dan sebagainya dan
seterusnya.
1
Situs resmi ponpes darussalam banyuwangi www.blokagung.net
2
Prof. Dr. Syauqi Muhammad Dunya (Guru Besar Jurusan Ekonomi Islam Universitas King Abdul Aziz Jeddah)
3
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani
kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus
berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan
penggunaan sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting pengembangan potensi
manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga, kebutuhan
dalam prespektif Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya yang tersedia,
guna mendorong pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan
isinya.
Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan menyatu dalam
konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai perasaan rela yang diterima oleh
konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela yang dimaksud di sini adalah kemampuan
seorang konsumen untuk membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan
tingkat harga yang berbeda.
Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di atas, yaitu
pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi antar satu dengan
yang lain, mengingat kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang sangat tergantung pada
pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara keduanya akan menciptakan kerelaan dan
berpengaruh terhadap penciptaan prilaku konsumsi itu sendiri. Konsumen yang rasional selalu
membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga tertentu demi
mencapai batas kerelaan tertinggi.
3
Al-A’raf:188, Hud:34, Ghofir:80 dan Al-Mu’minun:21
4
Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah dan
tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh anggota
tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya kemaslahatan
hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak negatif di
kemudian hari.
Selain berfungsi sebagai penopang kehidupan, konsumsi juga berfungsi sebagai salah
satu instrumen untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi di sebuah negara. Amerika yang
selama ini dianggap sebagai kiblat perekonomian Negara-negara di dunia, ternyata salah satu
penopangnya adalah tingkat konsumsi masyarakatnya yang sangat tinggi jauh melebihi
tabungannya: rata-rata jumlah tabungan mereka hanya 2 persen dari total pendapatan, (presentase
ini adalah terendah di dunia), dan inilah yang dianggap membuat perekonomian Amerika
bergairah.
Namun, apakah dengan cara menggenjot pengeluaran saja Islam memaknai konsumsi? "
Kemaslahatan hakiki yang tercermin dalam sebuah aktifitas manusia, pada dasarnya hanya bisa
diketahui oleh Sang Pencipta-Nya saja. Manusia hanya mengetahui sebagian kecil tanpa bisa
memaknai keseluruhannya, apa yang tidak terlihat olehnya jauh lebih banyak dari yang bisa
dilihatnya, mereka juga lebih sering terburu-buru dalam mewujudkan kemaslahatan dirinya.
Sehingga, yang terjadi adalah kemafsadahan pada kemasalahatan semu yang membungkusnya.
Karena itu, Allah SWT menurunkan para Rasul guna memberikan peringatan kepada seluruh
umat manusia, agar senantiasa kembali kepada kemaslahatan secara sempurna (agama)". 4
Dengan demikian, rasionalisasi konsumsi tidak cukup dimaknai dengan hukum maupun
teori saja, namun juga harus bersandar pada aturan-aturan mendasar yang terdapat dalam ajaran
Islam itu sendiri.
4
As-Syatibi
5
Di bawah ini adalah beberapa karakteristik konsumsi dalam prespektif ekonomi Islam, di
antaranya adalah:
1) Konsumsi bukanlah aktifitas tanpa batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan dan
keharaman yang telah digariskan oleh syara'. Sebagaimana firman Allah SWT
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas".5
َوالَّذِينَ إِذَا أ َ ْنفَقُوا لَ ْم يُس ِْرفُوا َولَ ْم يَ ْقت ُ ُروا َو َكانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَ َوا ًما
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan
tidak kikir, dan hendaklah (cara berbelanja seperti itu) ada di tengah-tengah kalian".6
ي لَْ جْ تَ َاَل
َ د َس لال لغ لَُ ل ََ طلسلبل ل ََلوجََللقُ ََُللَ ج
ِ جةَلل لل لغ ل َك ج ُ دَُ حلم ل َة جسل ل وجَ ُ َ ل فَ ج
َ كلد
5
QS Al-Maidah:87
6
QS al-furqan:67 dan al-Isra':29
6
"Dan jangan kau jadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu (kikir) dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya (terlalu pemurah). Karena itu mengakibatkan kamu tercela dan
menyesal".
Penjelasan lain mengenai Dharuriyah, Hajiyah dan Tahsiniyah. Para pakar maqasid telah
memetakan maqasid syariah menjadi beberapa bagian:
Ialah kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang
berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika dia luput dari kehidupan manusia maka
mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Maslahat dharuriyat ini
merupakan dasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan hidup manusia. Jika ia rusak,
maka akan muncul fitnah dan bencana yang besar.8
Yang termasuk dalam lingkup marsalah dharuriyat ini ada lima macam, yaitu hal-hal
yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya
ulama ushul fiqh sependapat tentang lima hal tersebut sebagai maslahat yang paling asasi.
7
Dr. Muhammad Abdul Mun'im Afar
8
Zakaria al-Biri
7
menghukum penganut bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya, karena hal
demikian mengganggu kehidupan masyarakat dalam mengikuti kebenaran agamanya;
memasyarakatkan hukuman qishas,. karena dengan adanya ancaman hukuman ini dapat
terpelihara jiwa manusia; mewajibkan hukuman had atas peminum khamar, karena
dengan demikian dapat memelihara akal yang menjadi sendi taklif; mewajibkan had
zina, karena dengan hal itu dapat memelihara nasab (keturunan); mewajibkan mendera
pembongkar kuburan dan pencuri, karena dengan demikian dapat memelihara harta
yang menjadi sumber kehidupan dimana mereka sangat memerlukannya.” 9
Ialah segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk
memelihara lima hal pokok tadi, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan
kesulitan, kesusahan, kesempitan dan ihtiyath (berhati-hati) terhadap lima hal pokok
tersebut.
9
Imam al-Ghazali
8
Didalam lapangan muamalat, ialah diperbolehkannya banyak bentuk transaksi
yang dibutuhkan manusia, seperti akad muzara’ah, salam, murabahab, dan mudharabah.
Ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi
salah satu dari kelima pokok diatas serta tidak pula menimbulkan kesulitan.
Yang dimaksud dengan maslahat jenis ini ialah sifatnya untuk memelihara
kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya kemaslahatan tidak
dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kegoncangan
serta rusaknya tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain kemaslahatan ini hanya
mengacu pada keindahan saja. Sungguhpun demikian kemaslahatan seperti ini
dibutuhkan oleh manusia.
9
Dalam lapangan ’uqubah islam memgharamkan membunuh anak-anak dan wanita
dalam peperangan, serta melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam
peperangan)
Larangan wanita memakai perhiasan diluar rumah ini termasuk kategori tahsinat,
karena memelihara kesempurnaan ashl nasl (pokok keturunan). Selain itu larangan
10
QS An-Nur:31
10
tersebut sebagai wujud dari kehormatan, kemuliaan, dan dapat menggangkat harkat
wanita yang pada dewasa ini diletakkan pada tempat yang rendah.
1) azas maslahat dan manfaat membawa maslahat dan manfaat bagi jasmani dan rohani dan
sejalan dengan nilai maqasid syariah. Termasuk dalam hal ini kaitan konsumsi dengan
halal dan thoyyib.
2) azas kemandirian : ada perencanaan, ada tabungan, mengutang adalah kehinaan. Nabi
SAW menyimpan sebagian pangan untuk kebutuhan keluarganya selama setahun. 11 “ Ya
Allah jauhkanlah hamba dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan,
kebodohan dan kebakhilan, beratnya utang, serta tekanan orang lain.12
3) azas kesederhanaan : bersifat qanaah, tidak mubazir. “ Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.”13
11
H.R Muslim
12
H.R Bukhari–Muslim.
13
QS Al-Maidah:87
11
4) azas Sosial : anjuran berinfaq . “ dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah, ‘ apa yang lebih dari keperluan (al-afwu). Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu berpikir.14
Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional. Selain
itu, yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu ekonomi
konvensional adalah adanya saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual yang
disebut dengan saluran konsumsi sosial. Alquran mengajarkan umat Islam agar menyalurkan
sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq. Hal ini menegaskan bahwa umat
Islam merupakan mata rantai yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat Islam lainnya 15.
Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar
utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan
hukum syara' yang paling utama.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
14
QS Al-Baqarah:219
15
Muhammad Muflih, M.A
12
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan
dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs),
properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya
kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing
masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau
bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah
ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila
seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya,
namun syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu
Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini
sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana
Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu
produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Dengan demikian seorang
- Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama
13
- Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya
yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka
Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal
yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal
yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang
barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep
'kepuasan' dengan 'pemenuhan kebutuhan' (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu
dan hajiyyah.
14
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan
yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi
fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk
berkonsumsi.
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim:
1. Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan
seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia.
Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk
ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat),
sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
2. Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan
bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi
pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah
merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku
yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
3. Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya
bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk
mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar. (QS.2.265)
15
DAFTAR PUSTAKA
Muflih, Muhammad. Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Ekonomi Islam. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2006.
Setiadi, Nugroho. J. Perilaku Konsumen.Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
http://fe.umj.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=157:workshop&catid=42:f
e-articles&Itemid=94
Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Khalab, Abdul Wahab. Ushul fiqh. Jakarta: pustaka Amani, 2003
Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003
16