Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Konsumsi dalam Sistem Ekonomi Islam

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Sistem Ekonomi Islam

Dosen pengampu :

Ubaid Aisyul Hana, S.HI,. ME.

Disusun oleh :

Muhammad Fahmi Ahnaf Maulana (08010422019)


Ainun Nafisatur Rohmah (08020422036)
Siti Rohmah (08040422178)
Wahyu Fajar Dliyaul Haq (08040422187)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

2023
ABSTRAK

Konsumsi dipahami sebagai proses penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan. Konsumsi memiliki kedudukan
yang besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi.
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan
mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian, akan menggerakkan roda-
roda perekonomian. Tujuan makalah ini adalah untuk menganalisis konsumsi dalam konteks
sistem ekonomi Islam dengan fokus pada pengertian, urgensi, dan tujuan konsumsi. Urgensi
konsumsi dalam perekonomian dianalisis sebagai faktor penting dalam menjaga stabilitas
ekonomi dan pertumbuhan. Tujuan konsumsi dalam Islam ditelusuri sebagai bagian integral
dari upaya mencapai keseimbangan antara kebutuhan individu dan kepentingan sosial dalam
kerangka nilai-nilai Islam. Melalui pendekatan analisis literatur dan konsep-konsep ekonomi
Islam, makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai
konsumsi dalam sistem ekonomi Islam. Implikasi dari pemahaman ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi pada pengembangan model ekonomi yang berlandaskan al-Qur’an,
Hadits Nabi Muhammad SAW, ijma’ para ulama, qiyash dan lainnya.

Kata Kunci: Konsumsi dalam Islam; etika konsumsi; prinsip konsumsi; kaidah konsumsi.

2
KATA PENGANTAR

Hal yang pertama dan utama yang wajib kami sampaikan adalah ungkapan rasa syukur
kami (kelompok 3) kepada Allah SWT, karena hanya atas bimbingan dan hidayah-Nya,
kelompok kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul Konsumsi dalam Sistem
Ekonomi Islam.

Sholawat dan Salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw yang
telah memberikan teladan kehidupan kepada kita semua dan semoga kita diberikan kemampuan
untuk bisa menteladani apa yang sudah dicontohkan Beliau kepada kita.

Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Ekonomi Islam.
Dalam penyusunan makalah ini kami sempat mengalami berbagai kesulitan, oleh karena itu
kami mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuannya kepada:

1. Bapak Ubaid Aisyul Hana, S.HI,. ME. sebagai dosen pembimbing mata kuliah Sistem
Ekonomi Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

2. Teman-teman program studi Ekonomi Syariah

Kami (kelompok 3) sangat menyadari bahwa di dalam penulisan makalah ini tentunya
masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat
mengharapkan saran dan koreksi yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan
makalah ini. Kami juga berharap bahwa makalah ini dapat menjadi sarana untuk saling bertukar
informasi dan sebagai bentuk pengabdian diri penulis kepada Allah SWT.

Dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami khususnya dan umat islam
umumnya. Amiin Ya Robbal’alamin

Surabaya, 8 Februari 2024

Kelompok 3

3
DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................................................. 2

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 3

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 4

BAB I ......................................................................................................................................... 5

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 5

A Latar Belakang ................................................................................................................ 5

B Rumusan Masalah ........................................................................................................... 6

C Tujuan ............................................................................................................................. 6

BAB II........................................................................................................................................ 7

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 7

A. Pengertian Konsumsi ...................................................................................................... 7

B. Urgensi Konsumsi Dalam Perekonomian ....................................................................... 7

C. Tujuan Konsumsi Dalam Islam .................................................................................... 20

BAB III .................................................................................................................................... 22

PENUTUP................................................................................................................................ 22

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 22

B. Saran ............................................................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 23

4
BAB I
PENDAHULUAN

A Latar Belakang

Ada sebuah ungkapan yang terkenal dalam sistem ekonomi kapitalis yaitu “konsumen
adalah raja”. Sisi kepuasan konsumen dijadikan perhatian yang utama, maka jangan
sedikitpun kebutuhannya terabaikan sehingga mengakibatkan timbulnya kekecewaan. Dalam
batas tertentu, teori konvensional ini mungkin mengandung kebenaran. Akan tetapi bila
ditelusuri lebih dalam, konsumsi ini dipahami sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan.
Bahkan bisa jadi melalui teori ini hakikat kebahagiaan manusia tercermin dalam kemampuan
mengonsumsi segala apa yang dinginkan, akibatnya timbullah keserakahan, penipuan,
korupsi dan lain sebagainya, yang pada akhirnya bermuara kepada terpenuhinya semua
keinginan.1

Dalam perspektif ekonomi syariah, konsumsi bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan
individu sebagai konsumen dalam rangka memenuhi perintah Allah, tetapi lebih jauh
berimplikasi terhadap kesadaran berkenaan dengan kebutuhan orang lain. Oleh karenanya
dalam konteks adannya keizinan untuk mengonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah,
sekaligus terpikul tanggung jawab untuk memberikan perhatian terhadap keperluan hidup
orang-orang yang membutuhkan.

Tujuan utama konsumsi seorang Muslim adalah sebagai sarana penolong untuk
beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengonsumsi sesuatu dengan niat untuk
meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi
itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala.2 Dalam ekonomi Islam,
konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang mana seorang Muslim tidak bisa
mengabaikannya. Maka dari itu, dalam makalah ini nantinya akan dibahas mengenai betapa
pentingnya konsumsi dalam Islam. Kami berharap makalah ini dapat memberikan kontribusi
positif bagi pembaca serta dapat merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

1
Abd Ghafur, “KONSUMSI DALAM ISLAM,” 2016.
2
Zakiah selviana, “Teori Konsumsi Dalam Perspektif Islam,” Jurnal Ekonomi dan Keuangan Islam 02, no. 02
(2022): 154–64.

5
B Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan konsumsi?


2. Apa urgensi konsumsi dalam perekonomian?
3. Apa tujuan konsumsi dalam Islam?

C Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian konsumsi


2. Untuk mengetahui urgensi konsumsi dalam perekonomian
3. Untuk mengetahui tujuan konsumsi dalam Islam.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konsumsi
Secara umum, pengertian konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-
jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang
yang melakukan pembelanjaan tersebut. Sedangkan Pengertian konsumsi dalam ekonomi
Islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu
memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan
kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (Falah).3 Perbedaan mendasar dari
konsumsi islami dengan konsumsi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu
sendiri, cara pencapaian konsumsi islami harus memenuhi kaidah pedoman syariah
islamiyyah.4

Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen
dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku
konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan
pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan
jasa mereka. Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia
memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumber daya
(resources) yang dimilikinya.5

Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua tipe pengeluaran yang dilakukan oleh
konsumen muslim yaitu pengeluaran tipe pertama dan pengeluaran tipe kedua. Pengeluaran
tipe pertama adalah pengeluaran yang dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan
duniawinya dan keluarga (pengeluaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dunia namun
memiliki efek pada pahala di akhirat). Pengeluaran tipe kedua adalah pengeluaran yang
dikeluarkan semata–mata bermotif mencari akhirat.6

B. Urgensi Konsumsi dalam Perekonomian

1. Fungsi Kesejahteraan, Maximizer, dan Utilitas oleh Imam Al-Ghazali

3
Zulkifli Rusby, Ekonomi Islam (pekanbaru: Pusat Kajian Pendidikan Islam FAI UIR, 2017).
4
Mohammad Lutfi, “KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ILMU EKONOMI ISLAM” 1 (2019).
5
selviana, “Teori Konsumsi Dalam Perspektif Islam.”
6
Lutfi, “KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ILMU EKONOMI ISLAM.”

7
a. Fungsi Kesejahteraan
Al-Ghazali menganjurkan mempelajari dan memahami Tuhan untuk mencapai
kesejahteraan atau kebahagiaan sejati. Menurut Al-Ghazali, tujuan utama manusia
adalah mencapai kebahagiaan spiritual, yang hanya dapat dicapai melalui ikatan
yang erat dengan Tuhan. Oleh karena itu Al-Ghazali memandang pencapaian
kesempurnaan spiritual dan pemahaman hakikat wujud sebagai tujuan
kesejahteraan.7
b. Maximizer
Dalam kerangka pemikiran Al-Ghazali, istilah “maximizer” bisa merujuk pada
gagasan mengejar kesempurnaan spiritual. Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan,
Al-Ghazali menyoroti pentingnya mencapai kesempurnaan dalam mengejar akhlak,
ilmu, dan ibadah. Menurutnya, untuk memenuhi potensi spiritualnya, manusia harus
menjadi “maksimalis” dan melakukan segala daya untuk memahami Tuhan secara
lebih utuh dan mengamalkan ajaran-ajaran-Nya.
c. Utilitas
Gagasan Al-Ghazali tentang utilitas mungkin berkaitan dengan bagaimana manusia
menggunakan sumber daya manusia dan potensinya untuk menemukan kebahagiaan
sejati. Baginya, penerapan kemanfaatan sejati adalah pemanfaatan potensi manusia
untuk mengenal Tuhan dan berbuat kebaikan. Jika digunakan secara tepat untuk
mencapai tujuan spiritual, kualitas dan bakat manusia mungkin dianggap berguna
dalam perspektif ini.

2. Etika Konsumsi dalam Islam


a. Seimbang dalam Konsumsi
Islam mewajibkan kepada pemilik harta agar menafkahkan sebagian hartanya
untuk kepentingan diri, keluarga, dan fi sabilillah. Islam mengharamkan sikap kikir.
Di sisi lain, islam juga mengharamkan sikap boros dan menghamburkan harta. Inilah
bentuk keseimbangan yang diperintahkan dalam Al-Quran yang mencerminkan
sikap keadilan dalam konsumsi.8
b. Membelanjakan Harta pada Bentuk yang dihalalkan dan dengan Cara yang
Baik

7
“Abdussalam dan Abdullah Shodiq, ‘Maqashid As-Syariah Perspektif Imam Al-Ghazali; Studi Literasi
Maslahah Mursalah,’ Moderasi : Journal of Islamic Studies 2, no. 2 (15 Desember 2022): 139–59,
https://doi.org/10.54471/moderasi.v2i2.32.,” t.t.
8
Lutfi, “KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ILMU EKONOMI ISLAM.”

8
Islam mendorong dan memberi kebebasan kepada individu agar
membelanjakan hartanya untuk membeli barang-barang yang baik dan halal dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Kebebasan itu diberikan dengan ketentuaan tidak
melanggar batas-batas yang suci serta tidak mendatangkan bahaya terhadap
keamanan dan kesejahteraan masyarakat dan negara. Senada dengan hal ini Abu al-
A’la al-Maududi menjelaskan, Islam menutup semua jalan bagi manusia untuk
membelanjakan harta yang mengakibatkan kerusakan akhlak di tengah masyarakat,
seperti judi yang hanya memperturutkan hawa nafsu.
c. Larangan Bersikap Israf (Royal), dan Tabzir (Sia-sia)
Adapun nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam konsep konsumsi adalah
pelarangan terhadap sikap hidup mewah. Gaya hidup mewah adalah perusak
individu dan masyarakat, karena menyibukan manusia dengan hawa nafsu,
melalaikannya dari hal-hal yang mulia dan akhlak yang luhur. Disamping itu,
membunuh semangat jihad. Ali Abd ar-Rasul juga menilai dalam masalah ini bahwa
gaya hidup mewah (israf) merupakan faktor yang memicu terjadinya dekadensi
moral masyarakat yang akhirnya membawa kehancuran masyarakat tersebut.

3. Keseimbangan Konsumsi dalam Islam


Dalam kehidupan keseharian, seseorang senantiasa dihadapkan pada pilihan pe-
nggunaan uang untuk membeli barang atau jasa yang dibutuhkan. Dalam menentukan
pilihan seseorang dituntut untuk menyeimbangkan antara kebutuhan, preferensi dan
ketersediaan sumber daya.
Dalam framework ekonomi konvensional, masalah ekonomi muncul diasumsikan
karena kelangkaan sumber daya, oleh karenanya solusi yang ditawarkannya adalah
menghilangkan kelangkaan sumber daya. Tentunya solusi ini tidak akan menyelesaikan
masalah, karena ketidakmampuan yang melekat pada sumber daya materi untuk
memenuhi semua yang diinginkan (want) manusia sebagaimana telah dijelaskan dalam
beberapa ayat al-Qur'an. Kepuasan (satisfaction) yang diinginkan manusia sebenarnya
hanyalah asumsi teoritik untuk menyelesaikan problem ekonomi. Sedangkan dalam
framework ekonomi Islam, aktivitas ekonomi dilakukan dalam rangka menjaga
kesejahteraan (maslahah). Kegiatan ekonomi yang mengkaitkan maslahah, dilakukan
sebagai kewajiban keagamaan untuk mendapatkan kebaikan tidak hanya di dunia ini tapi
juga di akhirat. Semua aktivitas yang yang memiliki maslahah bagi umat manusia disebut
kebutuhan (need), dan kebutuhan ini memang harus dipenuhi (Khan, 1995: 37).
9
Konsep efisien dalam ekonomi kapitalis adalah untuk memaksimalkan kepuasan
dengan sumber daya yang tersedia. Adapun dalam Islam, efisiensi dimaknai sebagai
memaksimalkan pemenuhan kebutuhan (maslahah) dengan sumber daya yang tersedia.
Maslahah menurut Shatibi, adalah kekayaan yang berupa barang atau jasa yang
mempengaruhi unsur-unsur dasar dan tujuan dari kehidupan manusia di dunia. Unsur-
unsur itu adalah hifdz an-nafs (menjaga jiwa), din (menjaga agama), aql (menjaga akal),
nasi (menjaga keturunan), mal (menjaga harta) dan hifdz al-biah (menjaga lingkungan)
(al-Ghazali, tt: 109). Semua barang atau jasa yang memiliki kekuatan untuk
mempromosikan lima elemen yang memiliki maslahah bagi manusia, maka barang atau
jasa itu berarti dibutuhkan. Namun demikian, semua kebutuhan tidak sama penting.
Dalam konsep maslahah terdapat tiga tingkat kebutuhan (Rahman, 1995):
➢ Keinginan yang sangat penting bagi manusia, apabila tidak terpenuhi maka
kepentingan dasarnya menjadi terganggu seperti makanan (QS. Thaha: 54), pakaian
(QS. An-Nahl: 18) dan tempat tinggal (QS. Asy-Syuara': 128- 129). Keinginan ini
disebut kebutuhan pokok atau dharuriyyat.
➢ Kebutuhan pokok yang dapat membuat lebih berkualitas, maka disebut kebutuhan
tepat guna atau hajiyyat. Hal itu dapat dicontohkan misalnya rumah yang dapat
meningkatkan efisiensi kerja, makanan yang penuh dengan gizi dan lain-lain.
➢ Kebutuhan yang tidak termasuk pokok dan tepat guna, tetapi mendatang- kan
kemudahan disebut kebutuhan kenyamanan atau tahsiniyyat. Kenya- manan atau
kesenangan dibolehkan dalam Islam, asalakan tidak meng- arah pada israf dan tabzir
(QS. Al-A'raf: 31).

Menggunakan pendekatan unity approuch yang digagas Anas Zarqa', nampak cukup
relevan untuk memahami surat al-Furqan ayat 67 perspektif ekonomi. Ayat ini juga
menjadi indikasi bahwa tidak ada larangan bagi seorang muslim untuk memiliki
kekayaan. Seseorang hendaknya mampu mengendalikan kekayaan bukan kekayaan yang
mengendalikan manusia. Secara lengkap surat al-Furqan ayat 67 berbunyi:

ِ ْ ‫َو ذ ِاَّل ْي َن ِا َذا ٓ َانْ َف ُق ْوا لَ ْم ي‬


‫ُْسفُ ْوا َولَ ْم ي َ ْق ُ ُُت ْوا َو ََك َن ب َ ْ َْي ٰذ ِ َِل قَ َوا ًما‬
Artinya: “Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang
apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara
keduanya secara wajar.”

10
Dari ayat di atas terdapat kata kunci penting untuk dijadikan landasan dalam
membangun teori consumer equilibrium:
a. Infaq
Kata infaq merupakan bentuk kata benda dari ‫ إنفاقا‬- ‫ ينفق‬- ‫ أنفق‬secara etimologis
bermakna membelanjakan (Munawir, 2002: 1449). Secara terminologis, menurut
ath-Thabathabai, kata infaq berarti mengeluarkan harta dan membelanjakan untuk
memenuhi kebutuhan dirinya maupun orang lain (Ath-Thabathabai, tt: 239).
b. Israf
Kata infaq merupakan bentuk kata benda dari asrafa-yusrifu yang berarti al-
khuruj 'an al-had (keluar dari batas). Dalam kaitannya dengan infaq, israf diartikan
sebagai sikap melampui dari yang seharusnya dalam menggunakan harta (Ath-
Thabathabai, tu: 239). Menurut Ibnu Manzur, israf adalah melampau jbatas dalam
setiap tindakan manusia, dapat berupa tindakan melampau kesederhanaan dalam hal
konsumsi dari apa yang dihalalkan oleh Allah, dan membelanjakan bukan untuk
ketaatan pada Allah baik dalam kuantitas kecil maupun besar dan membelanjakan
bukan pada haknya (Ibnu Manzur, 148-149). Secara lebih operasional indikator-
indikator israf dapat dijelaskan dengan beberapa petunjuk Hadis yang meliputi: a)
mengkosumsi segala sesuatu yang diinginkan; b)Mengkonsumsi lebih dari apa yang
dibutuhkan; c)mengkonsumsi lebih dari sepertiga penghasilan.
c. Qatr
Kata qatr ada bentuk kata benda dara qatara-yaqturu bermakna terlalu hemat
dalam membelanjakan harta (Ath-Thabathabai, tt: 239). Kata ini adalah lawan dari
kata israf yang juga dapat mengandung maksud memberi kurang dari apa yang dapat
diberikan sesuai dengan keadaan pemberi dan penerima (Shihab, 2002: 533).
Beberapa indikator qathr (kikir) dan bukhl (bakhil) adalah:

• Menyembunyikan harta yang telah diberikan Allah(QS. An-Nisa:37)


• Menahan harta yang selayaknya untuk dinafkahkan(QS. Al-Furqon :67)
• Niat berinfak atau bersodakoh kemudian mengurungkan karena takut (QS. Al-
Isra':100)
• Konsumsi kebutuhan dan keinginan diri dan keluarga jauh dari sepertiga. Hal
itu dinyatakan dalam Hadits:"...lalu aku sedekahkan sepertiganya, aku dan
keluargaku makan sepertiganya, dan sepertiganya lagi aku investasikan (HR.
Muslim).

11
d. Qawam
Kata ini dalam tarkib ayat merupakan tanshish dara kalimat "apabila mereka
menafkahkan hartanya tidak berlebihan dan tidak pula kikir". Maksud dari kata itu
adalah larangan sikap melampaui batas (ifrath wa tafrith), yaitu berlebihan dan kikir
dan sikap ini disebut tawassuth (pertengahan) atau 'adl (adil) ((Ath- Thabathabai, tt:
239). Pengertian qawam menurut al-Qurtubi telah dijelaskan oleh al-Qur'an sendiri
dalam surat al-Isra' ayat 29.9
Islam mewajibkan kepada pemilik harta agar menafkahkan sebagian hartannya
untuk kepentingan diri, keluarga, dan fi sabilillah. Islam mengharamkan sikap kikir.
Di sisi lain, islam juga mengharamkan sikap boros dan menghamburkan harta.8
Inilah bentuk keseimbangan yang diperintahkan dalam Al-Quran yang
mencerminkan sikap keadilan dalam konsumsi. Seperti yang diisyaratkan dalam Q.S
Al-Isra' [17]: 29:
‫ُك الْبَ ْسطِ فَ َت ْق ُعدَ َملُ ْو ًما ذم ْح ُس ًورا‬ ً َ ُ‫َو ََل َ َْت َع ْل يَدَ كَ َم ْغل‬
‫وَل ا ََل ُع ُن ِق َك َو ََل تَب ُْس ُطهَا ُ ذ‬
ِ
"Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan
(pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi
tercela dan menyesal."10

4. Batasan Konsumsi dalam Islam


Batasan konsumsi dalam Islam tidak hanya memperhatikan aspek halal-haram saja
tetapi termasuk pula yang diperhatikan adalah yang baik, cocok, bersih, tidak
menjijikkan, larangan israf dan larangan bermegah-megahan. Karena Perhitungan antara
pendapatan, konsumsi dan simpanan sebaiknya ditetapkan atas dasar keadilan sehingga
tidak melampaui batas dengan terjebak pada sifat boros maupun kikir.11 Batasan Islam
dalam pembelanjaan ada dua kriteria (Listiawati, 2012: 86- 88) yaitu:
a. Batasan yang Terkait dengan Kriteria Sesuatu Yang Dibelanjakan, Cara Dan
Sifatnya.
Batasan ini adalah yang dirumuskan oleh Islam mengenai konsumsi yang terkait
dengan cara dan macam tanpa melihat pada kuantitas sesuatu yang dibelanjakan,

9
Mochlasin Mochlasin, “REKONSTRUKSI TEORI CONSUMER EQUILIBRIUM PERSPEKTIF EKONOMI
ISLAM,” Muqtasid: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah 4, no. 1 (1 Juni 2013): 107,
https://doi.org/10.18326/muqtasid.v4i1.107-129.
10
“Ayi Nurbaeti. ‘KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM Azmina.’: Jurnal Perbankan Syariah
Vol. 2 No. 1 November 2022: 15-27,” t.t.
11
Aulia Rahman dan Fitrah Muh, “Perilaku Konsumsi Masyarakat Dalam Perspektif Islam Di Kelurahan
Barombong Kota Makassar,” LAA MAISYIR : Jurnal Ekonomi Islam 5, no. 1 (2018): 18–42.

12
sedikit atau banyaknya, yaitu pembelanjaan yang terkait dengan hal-hal yang
diharamkan Islam seperti: khamar dengan berbagai jenis dan namanya, berbagai
macam tembakau (rokok), yang dapat merusak badan, melemahkan semangat dan
membuang-buang uang, judi yang juga diharamkan, dan patung-patung yang telah
diharamkan. Dengan demikian bahwa setiap pembelanjaan hal-hal yang diharamkan
adalah suatu perbuatan yang berlebih-lebihan (melampaui batas) dan pemborosan
yang dilarang dalam Islam.
b. Batasan Pada Kuantitas dan Ukuran
Di antara yang termasuk dalam kriteria ini yaitu membelanjakan harta yang
diperlukannya dari yang tidak dapat ditanggung oleh pendapatannya. Contohnya
seseorang yang membelanjakan hartanya melebihi dari pendapatannya padahal yang
ia belanjakan bukanlah hal mendesak (bukan primer), artinya ia terpaksa meminjam
untuk dapat menutupi kekurangannya, padahal utang itu adalah keresahan di waktu
malam dan kehinaan di waktu siang. Dalam konteks itulah, Islam melarang untuk
bertindak israf (boros), pelarangan terhadap bermewah-mewahan dan bermegah-
megahan, dan lain-lain.
Batasan konsumsi dalam Islam tidak hanya berlaku pada makanan dan minuman
saja, tetapi juga mencakup jenis-jenis komoditi lainnya:

a. Batasan Konsumsi Makanan dalam Islam

Dalam hal konsumsi makanan dan minuman, Islam mengharamkan sesuatu


yang menyebabkan mabuk, tidak berdaya, dan semua yang merusak tubuh. Pada
dasarnya Allah tidaklah mengharamkan makanan apapun yang hendak dimakannya,
akan tetapi Allah mengkategorikan bangkai, darah yang mengalir, daging babi,
binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah haram untuk
dikonsumsi dikarenakan zatnya yang kotor. Akan tetapi Allah juga memberi
pengecualian terhadap orang yang terpaksa untuk mengkonsumsinya, namun dengan
syarat orang tersebut tidak menginginkan, tidak berlebihan dan memohon ampunan
kepada Allah.(QS. Al-Maidah :3). Terdapat juga hadist Nabi mengenai kuantitas
makannya seorang muslim:

)‫ (رواه ادلذ يْلَ ِمي َع ْن ا ْب ُن َع ذب ِاس‬. ً‫اَّلل َأقَلُّ ُ ُْك ُط ْع ًما َو َأ َخ ُف ُ ُْك بَدَ ًن‬
ِ ‫َأ َحبُّ ُ ُْك ا ََل ذ‬
ِ

13
"Orang yang paling disukai Allah di antara kalian adalah yang paling sedikit
makannya dan paling ringan badannya." (HR. ad-Dailami melalui Ibnu Abbas)

)‫ (رواه ادلذ يْلَ ِمي َع ْن َأ ِِب ه َُرْي َرة‬.‫الط ْع َم ُم ِل َئ َج ْوفُ ُه ن ًُورا‬


‫ا َذا َأقَ ذل ذالر ُج ُل ذ‬
ِ
"Apabila seseorang sedikit makan maka perutnya dipenuhi oleh cahaya." (HR.
ad-Dailami melalui Abu Hurairah)

Nabi SAW menganjurkan umatnya agar tidak terlalu banyak makan karena
banyak makan menyebabkan tubuh menjadi gemuk; dan apabila gemuk, badan akan
menjadi berat dan malas. Di samping itu orang yang terlalu banyak makan juga berarti
dia masih mempunyai sifat serakah maka makanlah ketika lapar dan berhentilah
sebelum kenyang. Orang yang paling disukai oleh Allah. Dalam sebuah pepatah
disebutkan "Makanlah untuk hidup, tetapi jangan hidup untuk makan". Dalam hadist
lain disebutkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda, "Kami adalah kaum yang tidak
akan makan kecuali bila merasa lapar, dan apabila kami makan maka tidak sampai
sekenyang-kenyangnya." Sehubungan dengan masalah makan ini Rasul SAW telah
memberikan patokan kepada umatnya, yaitu hendaknya sepertiga isi perut untuk
makanan, sepertiga lainnya untuk minumnya, sedangkan sepertiga yang terakhir
untuk nafasnya. Dan Nabi SAW juga bersabda:

)‫ (رواه اَل َما ُم َأ ْ َْحد‬.‫يَل‬ َ ْ ‫اْش ُب َولْبَ ُس َوت ََصد ْذق ِِف غَ ْ ِْي ا‬
ٍ َ ‫ْس ِاف َو ََل َم ِخ‬ ‫ُ ِل‬
َ ْ ‫ُك َو‬
ِ ِ
"Makanlah, minumlah, berpakainlah, dan bersedekahlah tanpa berlebih- lebihan
dan tanpa kesombongan." (HR. Imam Ahmad).

b. Batasan Konsumsi Pakaian dalam Islam

Islam membolehkan bahkan memerintahkan seorang manusia khususnya


seorang muslim untuk berpenampilan menarik, berwibawa, dan anggun dengan
menikmati perhiasan, pakaian, dan berbagai bentuk aksesoris yang Allah SWT
ciptakan.Yusuf Qardhawi juga menjelaskan dalam bukunya "Halal Haram dalam
Islam" (2003: 122) tujuan berbusana dalam Islam ada dua yaitu menutup aurat dan
berhias.

Islam mewajibkan umatnya untuk menutup auratnya, yakni wilayah anggota


badan yang bagi orang beradab dan bersih fitrahnya malu bila melihatnya. Itu
dilakukan untuk membedakan antara manusia dengan binatang. Bahkan Islam juga

14
menganjurkan mereka untuk tetap menutup auratnya meskipun sedang sendirian dan
jauh dari orang lain, hingga rasa malu menjadi tabiat dan akhlaknya. Rasulullah
S.A.W., bersabda:

‫ َأفَ َر َأيْ َت ا َذا ََك َن ذالر ُج ُل خَا ِل ًيا؟‬:‫ْاح َفظْ َع ْو َرت ََك ا ذَل ِم ْن َز ْوجِ َك َأ ْو َما َملَ َك ْت ي َ ِمينُ َك قُلْ ُت‬
ِ ِ
)‫ (رواه البخاري‬.ُ‫اَّلل َأ َح ُّق َأ ْن ي ُْس تَ ْح َيا ِمنْه‬ ُ ‫ فَا ذ‬:‫قَا َل‬
"Jagalah auratmu kecuali terhadap istri atau budak yang kau miliki.' Aku
bertanya, 'Bagaimana kalau dia sedang sendirian?', Rasulullah SAW menjawab,
"Allah SWT lebih berhak untuk ia merasa malu kepada- Nya. "(HR. Bukhari).

Prinsip yang harus dipegang dalam menikmati hal-hal yang baik, berupa
makanan, minuman, juga pakaian adalah ketika melakukannya, seseorang tidak boleh
berlebihan dan berlaku sombong. Sikap berlebih-lebihan adalah sikap melampaui
batas dalam menikmati hal yang halal. Sedangkan kesombongan lebih banyak terkait
dengan niat dan hati disbanding dengan penampilan luar. Yaitu kehendak untuk
berbangga-bangga, sombong dan angkuh terhadap orang lain. (Qardhawi, 2003: 133)

Jika Islam membolehkan, bahkan memerintahkan umatnya untuk berhias dan


mengingkari pengharamannya, seperti dikatakan dalam firman-Nya yang berbunyi,
"Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan-
Nya untuk hamba-hamba-Nya dan siapa pula yang mengharamkan rezeki yang baik."
(QS. Al-A'raf:32). Akan tetapi Allah mengharamkan dua macam perhiasan khusus
untuk laki-laki dengan tetap menghalalkannya bagi perempuan. Kedua macam
perhiasan itu adalah emas dan sutra.

c. Batasan Konsumsi Tempat Tinggal dalam Islam

Rumah atau tempat tinggal adalah tempat yang bisa melindungi seseorang dari
bahaya alam. Nabi SAW menyukai rumah yang luas. Beliau memasukkannya sebagai
salah satu faktor kebahagiaan duniawi. Beliau bersabda: "Empat faktor kebahagiaan:
istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalih, dan kendaraan
yang nyaman." (HR. Ibnu Haban)

Di samping itu, Nabi SAW juga menganjurkan kebersihan tempat tinggal


supaya menjadi bagian dari fenomena Islam sebagai agama kebersihan dan jati diri

15
seorang muslim yang membedakannya dengan penganut agama lain, yang menjadikan
kekotoran sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah SWT. Tidak mengapa bagi
seorang menghiasi rumahnya dengan berbagai macam bunga, lukisan, dan ukiran serta
perhiasan halal lainnya. Namun demikian, Islam tidak suka kepada sikap berlebihan
dalam segala hal. Nabi SAW tidak rela apabila seorang muslim memenuhi rumahnya
dengan segala macam simbol kemewahan dan berlebih-lebihan sebagaimana yang
telah disebutkan dalam Al- Qur'an, atau memajang berbagai karya patung yang
diperangi agama tauhid ini dengan berbagai cara.

Karena itulah Islam mengharamkan pemakaian bejana-bejana emas dan perak,


sprei, taplak meja atau pun pelana sutra murni, di rumah seorang muslim. Rasulullah
SAW mengancam mereka yang melanggarnya dengan ancaman yang berat. Dari
Ummu Salamah ra, Imam Muslim meriwayatkan, "Sesungguhnya orang yang makan
dan minum menggunakan wadah emas dan perak itu, tidak lain laksana menuangkan
api jahannam dalam perutnya." (HR. Abu Daud)12

5. Prinsip-Prinsip Konsumsi dalam Islam


Prinsip konsumsi dalam Islam pada dasarnya bersumber dan dikembangkan dari Al-
Quran dan sunnah sebagai pedoman hidup umat Islam itu sendiri. Terdapat beberapa
prinsip dasar konsumsi dalam ekonomi Islam yaitu :

a. Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari makanan dan
minuman secara halal dan tidak tidak larang hukum. Dalam soal makanan dan
minuman, yang terlarang adalah: darah, daging binatang yang telah mati sendiri,
daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain nama
Allah dengan maksud mempersembahkan sebagai kurban untuk memuja berhala
atau tuhan-tuhan lain.

b. Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat
merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk
dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara
dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja

12
Vascular Embolotherapy, 2006, 107–18.

16
benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak.
“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya”
(HR Tarmidzi). Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik,
tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar
tidak meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke
dalam gelas” (HR Bukhari). 13

c. Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah
sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti jangan makan secara berlebihan, prinsip
tersebut tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme dalam berkonsumsi yang
menganggap konsumsi sebagai suatu mekanisme untuk menggenjot suatu produksi
dan pertumbuhan. Semakin banyak permintaan maka semakin banyak barang yang
diproduksi. Disinilah kemudian timbul pemerasan, penindasan terhadap buruh agar
harus bekerja tanpa mengenal batas waktu guna memenuhi permintaan. Dalam Islam
justru berjalan sebaliknya: menganjurkan suatu cara konsumsi yang moderat, adil
dan proporsional. Intinya dalam Islam konsumsi harus diarahkan secara benar, agar
keadilan dan kesetaraan untuk semua bisa tercipta.14

d. Prinsip Konsumsi yang Bertanggung Jawab


Konsumsi yang bertanggung jawab adalah memanfaatkan harta yang diberikan
oleh Allah dengan bijak, tidak melanggar perintah Allah, seperti tidak israf dan
mubazir. Selain itu, menurut Zubair Hasan (2005) maksud konsumsi yang
bertanggung jawab adalah kesadaran yang dimiliki oleh manusia bahwa harta yang
telah diberikan Allah tidak boleh menganggur atau ditahan peredarannya sehingga
mencegah manfaatnya bagi masyarakat sekitar, dan berimbas kepada berkurangnya
penyebaran kekayaan yang disebabkan banyak sumber daya yang tidak digunakan
pada tempatnya dan masyarakat tidak dapat memanfaatkannya. Jadi sangat jelas
bahwa pemborosan akan mengakibatkan inefisiensi dalam pemanfaatan sumber
daya dan juga berakibat kepada distribusi yang tidak merata karena sumber daya
terbuang percuma serta tidak disalurkannya kepada orang-orang yang
membutuhkan, selain itu sifat boros dalam membelanjakan harta akan melahirkan

Lutfi, “KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ILMU EKONOMI ISLAM.”


13

“Ayi Nurbaeti. ‘KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM Azmina.’: Jurnal Perbankan Syariah
14

Vol. 2 No. 1 November 2022: 15-27.”

17
manusia yang bersifat kikir dan egois hanya mementingkan ego mereka sendiri dan
melupakan bahwa di setiap harta yang mereka miliki ada rezeki orang lain dititipkan
yaitu berupa zakat, infak dan sedekah.

e. Prinsip Keseimbangan dalam Mengonsumsi


Agama Islam mewajibkan umatnya untuk menafkahkan sebagian harta mereka
untuk kepentingan diri sendiri, keluarga dan fisabilillah. Dalam pemamfaatan harta
atau konsumsi Islam melarang untuk bersifat boros (tabzir), berlebih-lebihan (israf),
menghambur-hamburkan harta, ataupun konsunsumi yang kurang akibat terlalu pelit
dan kikir. Ini adalah bentuk keseimbangan dalam konsumsi yang diperintahkan oleh
Allah dalam Al-quran.

ََ ِ ‫ي ٰذ‬
‫ل قَ َوا ًما‬ ِ ْ ‫َو ذ ِاَّل ْي ََن ِا َذاَ َانْ َف رق ْوا لَ َْم ي‬
ََ ْ َ ‫رْسفر ْوا َولَ َْم ي َ ْق ر رُت ْو َاو ََك ََن ب‬
“ Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan,
dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian. “(Q.S. Alfurqan: 67).

Menurut Al Shaukani dalam Furqani (2017) arti dari kikir mengacu pada tiga hal
yaitu: pertama, Konsumsi yang menyengsarakan yaitu menahan diri untuk tidak
membelanjakan harta dalam rangka mememenuhi kebutuhan hidupnya alias pelit
terhadap diri sendiri. Kedua, Konsumsi egois, yaitu tujuan membelanjakan harta
untuk kesenangan pribadi, tanpa mau berbagi dengan orang lain. Ketiga, konsumsi
kufur, yaitu konsumsi yang dilakukan tanpa bersyukur kepada Allah dan
membelanjkan harta dengan cara yang batil.15

f. Prinsip Kemurahan Hati


Dengan menaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita
memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan
hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang
lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat
dalam tuntutan-Nya, dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang menjamin

15
“Baitul Hamdi. ‘Prisip dan Etika Ekonomi Islam.’ Islamadina: Jurnal Pemikiran Islam Volume: 23, No. 1, Maret
2022 : 1-15,” t.t.

18
persesuaian bagi semua perintah-Nya. Hal tersebut tertuang dalam firman Allah
SWT berikut:

َ ‫ُا ِح ذل لَ ُ ُْك َص ْيدُ الْ َب ْح ِر َو َط َعا ُم ٗه َم َتاعًا لذ ُ ُْك َولِ ذلس ذي َار ِ ِۚة َو ُح ل ِر َم عَلَ ْي ُ ُْك َص ْيدُ الْ َ لِب َما ُد ْم ُ ُْت ُح ُر ًماۗ َوات ذ ُقوا ٰ ل‬
‫اَّلل‬
‫َش ْو َن‬ ُ َ ‫ذ ِاَّل ْ ٓي ِالَ ْي ِه ُ ُْت‬
Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal dari) laut
sebagai kesenangan bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan
diharamkan atasmu (menangkap) hewan buruan darat selama kamu dalam keadaan
ihram. Bertakwalah kepada Allah yang hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan.
Qs (al maidah 96)16

6. Kaidah-Kaidah Konsumsi dalam Islam


konsumsi dalam Islam memiliki prinsip-prinsip yang mengatur tindakan manusia
dalam menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Berikut adalah
beberapa kaidah penting dalam konsumsi menurut ajaran Islam :17
a. Kaidah syariah: kaidah ini berkaitan dnan dasar-dasar syariat yang harus dipenuhi
dalam melakukan konsumsi. Beberapa aspek kaidah syariah meliputi :
• Kaidah Aqidah: mengetahui bahwa konsumsi adalah sarana untuk ketaatan dan
beribadah. Manusia sebagai mahluk ang mendapatkan amanah di bumi harus
bertanggung jawab atas penggunaan nikmat yang diberikan Allah.
• Kaidah hukum: mengikuti ketentuan-ketentuan hukaum yang berlaku dalam
agama Islam, termasuk mengonsumsi barang dan jasa yang halal dan berkah.
b. Prinsip Keberkahan: Konsumsi yang dianjurkan adalah yang halal, baik, dan
bermanfaat. Allah menerima apa yang baik, dan umat Muslim diperintahkan untuk
mencari rezeki yang halal dan berkah.
c. Kaidah Kemanfaatan: Konsumsi harus mencapai kemanfaatan seoptimal mungkin.
Ini berarti menghindari pemborosan dan memanfaatkan barang dan jasa dengan
bijaksana.

16
“Melis. ‘PRINSIP DAN BATASAN KONSUMSI ISLAMI.’: ISLAMIC BANKING Volume 1 Nomor 1 Edisi
Perdana Agustus 2015,” t.t.
17
Lutfi, “KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ILMU EKONOMI ISLAM.”

19
d. Kaidah Etika: Konsumsi harus dilakukan dengan etika yang baik. Ini termasuk
menghormati hak-hak orang lain, menghindari penipuan, dan berlaku adil dalam
transaksi.
e. Kaidah Lingkungan: Islam mengajarkan untuk menjaga lingkungan. Oleh karena
itu, konsumsi harus memperhatikan dampaknya terhadap alam dan Masyarakat.

C. Tujuan Konsumsi dalam Islam


Urgensi konsumsi dalam ilmu ekonomi Islam adalah ketika dalam ilmu ekonomi tersebut
di atas tujuan konsumsi dianggap untuk memaksimalkan kepuasan atau tingkat kepuasan
tertinggi tercapai karena derajat kepuasannya tidak terbatas. Berbeda dengan ilmu ekonomi
tradisional yang berasumsi bahwa di sisi lain, tujuan konsumsi dalam ekonomi Islam selain
untuk meningkatkan daya tahan tubuh seperti makan, minum, dan tidur, juga untuk
melampaui kepentingan diri sendiri dan memenuhi kebutuhan lain berdasarkan kemaslahatan
orang banyak. menyembah Allah SWT. Umat Islam menganggap Maslaha sebagai jurnal
yang bertanggung jawab. Biaya dan Produksi Teori Utilitas Umum (Ekonomi Islam P3EUII).
Fungsi utilitas atau kepuasan menentukan disukai atau tidaknya suatu barang atau jasa
dibandingkan barang lainnya. Oleh karena itu, teori konsumsi sangat dipengaruhi oleh fungsi
utilitas.18

Menurut pemikiran kapitalis, ketika alam kurang dimanfaatkan untuk memenuhi


kebutuhan manusia, maka timbul permasalahan ekonomi akibat kurangnya produksi dan
pengabaian terhadap alam. Oleh karena itu, solusinya adalah dengan meningkatkan produksi
dan memanfaatkan alam beserta kekayaannya secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan
manusia (Muhammad Baqir Ashadir, Iktishaduna). Namun kedudukan Islam berbeda dengan
kapitalisme. Kekayaan bukanlah tujuan utama dalam Islam, juga bukan mengejar kekayaan.
Islam juga beranggapan bahwa peningkatan produksi tidak didasarkan pada total kekayaan,
melainkan terpisah dari distribusi, dan permasalahan ekonomi muncul dari rendahnya
produksi hingga ditemukan solusinya dengan meningkatkan total kekayaan.Saya tidak setuju
dengan hal tersebut.

Menurut Abdul Rahmun ibn Khaldun atau Adiwarman Karim 2007 karya Abu Zayed,
kemakmuran suatu negara ditentukan oleh dua hal, yaitu tingkat produksi dalam negeri suatu
negara dan neraca pembayaran positif suatu negara. Suatu negara dapat mencetak uang

18
Sri Wahyuni, “TEORI KONSUMSI DAN PRODUKSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM” 10, no.
1 (2013).

20
sebanyak-banyaknya, namun jika negara tersebut tidak mencerminkan pertumbuhan pesat
dalam bidang manufaktur (baik barang maupun jasa), uang yang berlimpah tidak ada
nilainya. Penggerak pembangunan adalah sektor manufaktur yang menyerap tenaga kerja,
meningkatkan pendapatan pekerja, dan menciptakan permintaan faktor produksi lainnya.

Bagi seorang muslim, tujuan konsumsi haruslah sebagai sarana penolong untuk
beribadah kepada Allah swt. Jika niat konsumsi tersebut untuk meningkatkan stamina dalam
rangka pengabdian kepada Allah, maka kegiatan konsumsi tersebut akan bernilai ibadah dan
di ganjar oleh pahala.19

19
Rahmawati Aprillia, “Konsumsi dalam pandangan jean baudrillard dan al-ghazali,” Ekonomi Dan Keuangan
Syariah, t.t.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Konsumsi dalam ekonomi Islam harus memperhatikan aspek kategori kebutuhan, yaitu
kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tersier sesuai dengan semangat al
maqasid al-syariah dalam konsumsi ekonomi Islam juga harus menghindari israf
(Pemborosan) dan tabzir (pemborosan berlebihan) dalam penggunaan pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup harus dihindari. Dan dalam aspek mengonsumsi makanan
muslim sebaiknya selalu mengonsumsi makanan yang halal dan toyib.

B. Saran
Hindari pemborosan dan konsumsi berlebihan. Fokuslah pada kebutuhan yang sesuai
dengan apa yang kita butuhkan, prioritaskan makanan yang halal dan toyyib dan
petimbangkan dampak ekonomi dan spiritual (keyakinan) dari setiap keputusan mengonsumsi
sesuatu.

22
DAFTAR PUSTAKA

“Abdussalam dan Abdullah Shodiq, ‘Maqashid As-Syariah Perspektif Imam Al-Ghazali; Studi
Literasi Maslahah Mursalah,’ Moderasi : Journal of Islamic Studies 2, no. 2 (15
Desember 2022): 139–59, https://doi.org/10.54471/moderasi.v2i2.32.,” t.t.
Aprillia, Rahmawati. “Konsumsi dalam pandangan jean baudrillard dan al-ghazali.” Ekonomi
Dan Keuangan Syariah, t.t.
“Ayi Nurbaeti. ‘KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM Azmina.’: Jurnal
Perbankan Syariah Vol. 2 No. 1 November 2022: 15-27,” t.t.
“Baitul Hamdi. ‘Prisip dan Etika Ekonomi Islam.’ Islamadina: Jurnal Pemikiran Islam Volume:
23, No. 1, Maret 2022 : 1-15,” t.t.
Ghafur, Abd. “KONSUMSI DALAM ISLAM,” 2016.
“Jaribah bin Ahmad Al; Zamakhsyari Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab : jaribah
bin Ahmad Al haritsi; Penerjemah: Asmuni Sholihan zamakhsyari; Editor: Muhammad
Ihsan (Khalifa, 2006),
//10.170.10.3%2Findex.php%3Fp%3Dshow_detail%26id%3D11721%26keywords%
3D.,” t.t.
Lutfi, Mohammad. “KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ILMU EKONOMI ISLAM” 1
(2019).
“Melis. ‘PRINSIP DAN BATASAN KONSUMSI ISLAMI.’: ISLAMIC BANKING Volume
1 Nomor 1 Edisi Perdana Agustus 2015,” t.t.
Mochlasin, Mochlasin. “REKONSTRUKSI TEORI CONSUMER EQUILIBRIUM
PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM.” Muqtasid: Jurnal Ekonomi dan Perbankan
Syariah 4, no. 1 (1 Juni 2013): 107. https://doi.org/10.18326/muqtasid.v4i1.107-129.
Rahman, Aulia, dan Fitrah Muh. “Perilaku Konsumsi Masyarakat Dalam Perspektif Islam Di
Kelurahan Barombong Kota Makassar.” LAA MAISYIR : Jurnal Ekonomi Islam 5, no.
1 (2018): 18–42.
Rusby, Zulkifli. Ekonomi Islam. pekanbaru: Pusat Kajian Pendidikan Islam FAI UIR, 2017.
selviana, Zakiah. “Teori Konsumsi Dalam Perspektif Islam.” Jurnal Ekonomi dan Keuangan
Islam 02, no. 02 (2022): 154–64.
Wahyuni, Sri. “TEORI KONSUMSI DAN PRODUKSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI
ISLAM” 10, no. 1 (2013).
Vascular Embolotherapy, 2006, 107–18.

23

Anda mungkin juga menyukai