Dosen pengampu :
Disusun oleh :
2023
ABSTRAK
Konsumsi dipahami sebagai proses penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan. Konsumsi memiliki kedudukan
yang besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi.
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan
mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian, akan menggerakkan roda-
roda perekonomian. Tujuan makalah ini adalah untuk menganalisis konsumsi dalam konteks
sistem ekonomi Islam dengan fokus pada pengertian, urgensi, dan tujuan konsumsi. Urgensi
konsumsi dalam perekonomian dianalisis sebagai faktor penting dalam menjaga stabilitas
ekonomi dan pertumbuhan. Tujuan konsumsi dalam Islam ditelusuri sebagai bagian integral
dari upaya mencapai keseimbangan antara kebutuhan individu dan kepentingan sosial dalam
kerangka nilai-nilai Islam. Melalui pendekatan analisis literatur dan konsep-konsep ekonomi
Islam, makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai
konsumsi dalam sistem ekonomi Islam. Implikasi dari pemahaman ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi pada pengembangan model ekonomi yang berlandaskan al-Qur’an,
Hadits Nabi Muhammad SAW, ijma’ para ulama, qiyash dan lainnya.
Kata Kunci: Konsumsi dalam Islam; etika konsumsi; prinsip konsumsi; kaidah konsumsi.
2
KATA PENGANTAR
Hal yang pertama dan utama yang wajib kami sampaikan adalah ungkapan rasa syukur
kami (kelompok 3) kepada Allah SWT, karena hanya atas bimbingan dan hidayah-Nya,
kelompok kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul Konsumsi dalam Sistem
Ekonomi Islam.
Sholawat dan Salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw yang
telah memberikan teladan kehidupan kepada kita semua dan semoga kita diberikan kemampuan
untuk bisa menteladani apa yang sudah dicontohkan Beliau kepada kita.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Ekonomi Islam.
Dalam penyusunan makalah ini kami sempat mengalami berbagai kesulitan, oleh karena itu
kami mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuannya kepada:
1. Bapak Ubaid Aisyul Hana, S.HI,. ME. sebagai dosen pembimbing mata kuliah Sistem
Ekonomi Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Kami (kelompok 3) sangat menyadari bahwa di dalam penulisan makalah ini tentunya
masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat
mengharapkan saran dan koreksi yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan
makalah ini. Kami juga berharap bahwa makalah ini dapat menjadi sarana untuk saling bertukar
informasi dan sebagai bentuk pengabdian diri penulis kepada Allah SWT.
Dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami khususnya dan umat islam
umumnya. Amiin Ya Robbal’alamin
Kelompok 3
3
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................................. 2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 4
BAB I ......................................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 5
C Tujuan ............................................................................................................................. 6
BAB II........................................................................................................................................ 7
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 7
PENUTUP................................................................................................................................ 22
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 22
B. Saran ............................................................................................................................. 22
4
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Ada sebuah ungkapan yang terkenal dalam sistem ekonomi kapitalis yaitu “konsumen
adalah raja”. Sisi kepuasan konsumen dijadikan perhatian yang utama, maka jangan
sedikitpun kebutuhannya terabaikan sehingga mengakibatkan timbulnya kekecewaan. Dalam
batas tertentu, teori konvensional ini mungkin mengandung kebenaran. Akan tetapi bila
ditelusuri lebih dalam, konsumsi ini dipahami sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan.
Bahkan bisa jadi melalui teori ini hakikat kebahagiaan manusia tercermin dalam kemampuan
mengonsumsi segala apa yang dinginkan, akibatnya timbullah keserakahan, penipuan,
korupsi dan lain sebagainya, yang pada akhirnya bermuara kepada terpenuhinya semua
keinginan.1
Dalam perspektif ekonomi syariah, konsumsi bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan
individu sebagai konsumen dalam rangka memenuhi perintah Allah, tetapi lebih jauh
berimplikasi terhadap kesadaran berkenaan dengan kebutuhan orang lain. Oleh karenanya
dalam konteks adannya keizinan untuk mengonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah,
sekaligus terpikul tanggung jawab untuk memberikan perhatian terhadap keperluan hidup
orang-orang yang membutuhkan.
Tujuan utama konsumsi seorang Muslim adalah sebagai sarana penolong untuk
beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengonsumsi sesuatu dengan niat untuk
meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi
itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala.2 Dalam ekonomi Islam,
konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang mana seorang Muslim tidak bisa
mengabaikannya. Maka dari itu, dalam makalah ini nantinya akan dibahas mengenai betapa
pentingnya konsumsi dalam Islam. Kami berharap makalah ini dapat memberikan kontribusi
positif bagi pembaca serta dapat merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
1
Abd Ghafur, “KONSUMSI DALAM ISLAM,” 2016.
2
Zakiah selviana, “Teori Konsumsi Dalam Perspektif Islam,” Jurnal Ekonomi dan Keuangan Islam 02, no. 02
(2022): 154–64.
5
B Rumusan Masalah
C Tujuan
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konsumsi
Secara umum, pengertian konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-
jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang
yang melakukan pembelanjaan tersebut. Sedangkan Pengertian konsumsi dalam ekonomi
Islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu
memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan
kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (Falah).3 Perbedaan mendasar dari
konsumsi islami dengan konsumsi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu
sendiri, cara pencapaian konsumsi islami harus memenuhi kaidah pedoman syariah
islamiyyah.4
Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen
dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku
konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan
pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan
jasa mereka. Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia
memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumber daya
(resources) yang dimilikinya.5
Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua tipe pengeluaran yang dilakukan oleh
konsumen muslim yaitu pengeluaran tipe pertama dan pengeluaran tipe kedua. Pengeluaran
tipe pertama adalah pengeluaran yang dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan
duniawinya dan keluarga (pengeluaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dunia namun
memiliki efek pada pahala di akhirat). Pengeluaran tipe kedua adalah pengeluaran yang
dikeluarkan semata–mata bermotif mencari akhirat.6
3
Zulkifli Rusby, Ekonomi Islam (pekanbaru: Pusat Kajian Pendidikan Islam FAI UIR, 2017).
4
Mohammad Lutfi, “KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ILMU EKONOMI ISLAM” 1 (2019).
5
selviana, “Teori Konsumsi Dalam Perspektif Islam.”
6
Lutfi, “KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ILMU EKONOMI ISLAM.”
7
a. Fungsi Kesejahteraan
Al-Ghazali menganjurkan mempelajari dan memahami Tuhan untuk mencapai
kesejahteraan atau kebahagiaan sejati. Menurut Al-Ghazali, tujuan utama manusia
adalah mencapai kebahagiaan spiritual, yang hanya dapat dicapai melalui ikatan
yang erat dengan Tuhan. Oleh karena itu Al-Ghazali memandang pencapaian
kesempurnaan spiritual dan pemahaman hakikat wujud sebagai tujuan
kesejahteraan.7
b. Maximizer
Dalam kerangka pemikiran Al-Ghazali, istilah “maximizer” bisa merujuk pada
gagasan mengejar kesempurnaan spiritual. Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan,
Al-Ghazali menyoroti pentingnya mencapai kesempurnaan dalam mengejar akhlak,
ilmu, dan ibadah. Menurutnya, untuk memenuhi potensi spiritualnya, manusia harus
menjadi “maksimalis” dan melakukan segala daya untuk memahami Tuhan secara
lebih utuh dan mengamalkan ajaran-ajaran-Nya.
c. Utilitas
Gagasan Al-Ghazali tentang utilitas mungkin berkaitan dengan bagaimana manusia
menggunakan sumber daya manusia dan potensinya untuk menemukan kebahagiaan
sejati. Baginya, penerapan kemanfaatan sejati adalah pemanfaatan potensi manusia
untuk mengenal Tuhan dan berbuat kebaikan. Jika digunakan secara tepat untuk
mencapai tujuan spiritual, kualitas dan bakat manusia mungkin dianggap berguna
dalam perspektif ini.
7
“Abdussalam dan Abdullah Shodiq, ‘Maqashid As-Syariah Perspektif Imam Al-Ghazali; Studi Literasi
Maslahah Mursalah,’ Moderasi : Journal of Islamic Studies 2, no. 2 (15 Desember 2022): 139–59,
https://doi.org/10.54471/moderasi.v2i2.32.,” t.t.
8
Lutfi, “KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ILMU EKONOMI ISLAM.”
8
Islam mendorong dan memberi kebebasan kepada individu agar
membelanjakan hartanya untuk membeli barang-barang yang baik dan halal dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Kebebasan itu diberikan dengan ketentuaan tidak
melanggar batas-batas yang suci serta tidak mendatangkan bahaya terhadap
keamanan dan kesejahteraan masyarakat dan negara. Senada dengan hal ini Abu al-
A’la al-Maududi menjelaskan, Islam menutup semua jalan bagi manusia untuk
membelanjakan harta yang mengakibatkan kerusakan akhlak di tengah masyarakat,
seperti judi yang hanya memperturutkan hawa nafsu.
c. Larangan Bersikap Israf (Royal), dan Tabzir (Sia-sia)
Adapun nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam konsep konsumsi adalah
pelarangan terhadap sikap hidup mewah. Gaya hidup mewah adalah perusak
individu dan masyarakat, karena menyibukan manusia dengan hawa nafsu,
melalaikannya dari hal-hal yang mulia dan akhlak yang luhur. Disamping itu,
membunuh semangat jihad. Ali Abd ar-Rasul juga menilai dalam masalah ini bahwa
gaya hidup mewah (israf) merupakan faktor yang memicu terjadinya dekadensi
moral masyarakat yang akhirnya membawa kehancuran masyarakat tersebut.
Menggunakan pendekatan unity approuch yang digagas Anas Zarqa', nampak cukup
relevan untuk memahami surat al-Furqan ayat 67 perspektif ekonomi. Ayat ini juga
menjadi indikasi bahwa tidak ada larangan bagi seorang muslim untuk memiliki
kekayaan. Seseorang hendaknya mampu mengendalikan kekayaan bukan kekayaan yang
mengendalikan manusia. Secara lengkap surat al-Furqan ayat 67 berbunyi:
10
Dari ayat di atas terdapat kata kunci penting untuk dijadikan landasan dalam
membangun teori consumer equilibrium:
a. Infaq
Kata infaq merupakan bentuk kata benda dari إنفاقا- ينفق- أنفقsecara etimologis
bermakna membelanjakan (Munawir, 2002: 1449). Secara terminologis, menurut
ath-Thabathabai, kata infaq berarti mengeluarkan harta dan membelanjakan untuk
memenuhi kebutuhan dirinya maupun orang lain (Ath-Thabathabai, tt: 239).
b. Israf
Kata infaq merupakan bentuk kata benda dari asrafa-yusrifu yang berarti al-
khuruj 'an al-had (keluar dari batas). Dalam kaitannya dengan infaq, israf diartikan
sebagai sikap melampui dari yang seharusnya dalam menggunakan harta (Ath-
Thabathabai, tu: 239). Menurut Ibnu Manzur, israf adalah melampau jbatas dalam
setiap tindakan manusia, dapat berupa tindakan melampau kesederhanaan dalam hal
konsumsi dari apa yang dihalalkan oleh Allah, dan membelanjakan bukan untuk
ketaatan pada Allah baik dalam kuantitas kecil maupun besar dan membelanjakan
bukan pada haknya (Ibnu Manzur, 148-149). Secara lebih operasional indikator-
indikator israf dapat dijelaskan dengan beberapa petunjuk Hadis yang meliputi: a)
mengkosumsi segala sesuatu yang diinginkan; b)Mengkonsumsi lebih dari apa yang
dibutuhkan; c)mengkonsumsi lebih dari sepertiga penghasilan.
c. Qatr
Kata qatr ada bentuk kata benda dara qatara-yaqturu bermakna terlalu hemat
dalam membelanjakan harta (Ath-Thabathabai, tt: 239). Kata ini adalah lawan dari
kata israf yang juga dapat mengandung maksud memberi kurang dari apa yang dapat
diberikan sesuai dengan keadaan pemberi dan penerima (Shihab, 2002: 533).
Beberapa indikator qathr (kikir) dan bukhl (bakhil) adalah:
11
d. Qawam
Kata ini dalam tarkib ayat merupakan tanshish dara kalimat "apabila mereka
menafkahkan hartanya tidak berlebihan dan tidak pula kikir". Maksud dari kata itu
adalah larangan sikap melampaui batas (ifrath wa tafrith), yaitu berlebihan dan kikir
dan sikap ini disebut tawassuth (pertengahan) atau 'adl (adil) ((Ath- Thabathabai, tt:
239). Pengertian qawam menurut al-Qurtubi telah dijelaskan oleh al-Qur'an sendiri
dalam surat al-Isra' ayat 29.9
Islam mewajibkan kepada pemilik harta agar menafkahkan sebagian hartannya
untuk kepentingan diri, keluarga, dan fi sabilillah. Islam mengharamkan sikap kikir.
Di sisi lain, islam juga mengharamkan sikap boros dan menghamburkan harta.8
Inilah bentuk keseimbangan yang diperintahkan dalam Al-Quran yang
mencerminkan sikap keadilan dalam konsumsi. Seperti yang diisyaratkan dalam Q.S
Al-Isra' [17]: 29:
ُك الْبَ ْسطِ فَ َت ْق ُعدَ َملُ ْو ًما ذم ْح ُس ًورا ً َ َُو ََل َ َْت َع ْل يَدَ كَ َم ْغل
وَل ا ََل ُع ُن ِق َك َو ََل تَب ُْس ُطهَا ُ ذ
ِ
"Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan
(pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi
tercela dan menyesal."10
9
Mochlasin Mochlasin, “REKONSTRUKSI TEORI CONSUMER EQUILIBRIUM PERSPEKTIF EKONOMI
ISLAM,” Muqtasid: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah 4, no. 1 (1 Juni 2013): 107,
https://doi.org/10.18326/muqtasid.v4i1.107-129.
10
“Ayi Nurbaeti. ‘KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM Azmina.’: Jurnal Perbankan Syariah
Vol. 2 No. 1 November 2022: 15-27,” t.t.
11
Aulia Rahman dan Fitrah Muh, “Perilaku Konsumsi Masyarakat Dalam Perspektif Islam Di Kelurahan
Barombong Kota Makassar,” LAA MAISYIR : Jurnal Ekonomi Islam 5, no. 1 (2018): 18–42.
12
sedikit atau banyaknya, yaitu pembelanjaan yang terkait dengan hal-hal yang
diharamkan Islam seperti: khamar dengan berbagai jenis dan namanya, berbagai
macam tembakau (rokok), yang dapat merusak badan, melemahkan semangat dan
membuang-buang uang, judi yang juga diharamkan, dan patung-patung yang telah
diharamkan. Dengan demikian bahwa setiap pembelanjaan hal-hal yang diharamkan
adalah suatu perbuatan yang berlebih-lebihan (melampaui batas) dan pemborosan
yang dilarang dalam Islam.
b. Batasan Pada Kuantitas dan Ukuran
Di antara yang termasuk dalam kriteria ini yaitu membelanjakan harta yang
diperlukannya dari yang tidak dapat ditanggung oleh pendapatannya. Contohnya
seseorang yang membelanjakan hartanya melebihi dari pendapatannya padahal yang
ia belanjakan bukanlah hal mendesak (bukan primer), artinya ia terpaksa meminjam
untuk dapat menutupi kekurangannya, padahal utang itu adalah keresahan di waktu
malam dan kehinaan di waktu siang. Dalam konteks itulah, Islam melarang untuk
bertindak israf (boros), pelarangan terhadap bermewah-mewahan dan bermegah-
megahan, dan lain-lain.
Batasan konsumsi dalam Islam tidak hanya berlaku pada makanan dan minuman
saja, tetapi juga mencakup jenis-jenis komoditi lainnya:
) (رواه ادلذ يْلَ ِمي َع ْن ا ْب ُن َع ذب ِاس. ًاَّلل َأقَلُّ ُ ُْك ُط ْع ًما َو َأ َخ ُف ُ ُْك بَدَ ًن
ِ َأ َحبُّ ُ ُْك ا ََل ذ
ِ
13
"Orang yang paling disukai Allah di antara kalian adalah yang paling sedikit
makannya dan paling ringan badannya." (HR. ad-Dailami melalui Ibnu Abbas)
Nabi SAW menganjurkan umatnya agar tidak terlalu banyak makan karena
banyak makan menyebabkan tubuh menjadi gemuk; dan apabila gemuk, badan akan
menjadi berat dan malas. Di samping itu orang yang terlalu banyak makan juga berarti
dia masih mempunyai sifat serakah maka makanlah ketika lapar dan berhentilah
sebelum kenyang. Orang yang paling disukai oleh Allah. Dalam sebuah pepatah
disebutkan "Makanlah untuk hidup, tetapi jangan hidup untuk makan". Dalam hadist
lain disebutkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda, "Kami adalah kaum yang tidak
akan makan kecuali bila merasa lapar, dan apabila kami makan maka tidak sampai
sekenyang-kenyangnya." Sehubungan dengan masalah makan ini Rasul SAW telah
memberikan patokan kepada umatnya, yaitu hendaknya sepertiga isi perut untuk
makanan, sepertiga lainnya untuk minumnya, sedangkan sepertiga yang terakhir
untuk nafasnya. Dan Nabi SAW juga bersabda:
) (رواه اَل َما ُم َأ ْ َْحد.يَل َ ْ اْش ُب َولْبَ ُس َوت ََصد ْذق ِِف غَ ْ ِْي ا
ٍ َ ْس ِاف َو ََل َم ِخ ُ ِل
َ ْ ُك َو
ِ ِ
"Makanlah, minumlah, berpakainlah, dan bersedekahlah tanpa berlebih- lebihan
dan tanpa kesombongan." (HR. Imam Ahmad).
14
menganjurkan mereka untuk tetap menutup auratnya meskipun sedang sendirian dan
jauh dari orang lain, hingga rasa malu menjadi tabiat dan akhlaknya. Rasulullah
S.A.W., bersabda:
َأفَ َر َأيْ َت ا َذا ََك َن ذالر ُج ُل خَا ِل ًيا؟:ْاح َفظْ َع ْو َرت ََك ا ذَل ِم ْن َز ْوجِ َك َأ ْو َما َملَ َك ْت ي َ ِمينُ َك قُلْ ُت
ِ ِ
) (رواه البخاري.ُاَّلل َأ َح ُّق َأ ْن ي ُْس تَ ْح َيا ِمنْه ُ فَا ذ:قَا َل
"Jagalah auratmu kecuali terhadap istri atau budak yang kau miliki.' Aku
bertanya, 'Bagaimana kalau dia sedang sendirian?', Rasulullah SAW menjawab,
"Allah SWT lebih berhak untuk ia merasa malu kepada- Nya. "(HR. Bukhari).
Prinsip yang harus dipegang dalam menikmati hal-hal yang baik, berupa
makanan, minuman, juga pakaian adalah ketika melakukannya, seseorang tidak boleh
berlebihan dan berlaku sombong. Sikap berlebih-lebihan adalah sikap melampaui
batas dalam menikmati hal yang halal. Sedangkan kesombongan lebih banyak terkait
dengan niat dan hati disbanding dengan penampilan luar. Yaitu kehendak untuk
berbangga-bangga, sombong dan angkuh terhadap orang lain. (Qardhawi, 2003: 133)
Rumah atau tempat tinggal adalah tempat yang bisa melindungi seseorang dari
bahaya alam. Nabi SAW menyukai rumah yang luas. Beliau memasukkannya sebagai
salah satu faktor kebahagiaan duniawi. Beliau bersabda: "Empat faktor kebahagiaan:
istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalih, dan kendaraan
yang nyaman." (HR. Ibnu Haban)
15
seorang muslim yang membedakannya dengan penganut agama lain, yang menjadikan
kekotoran sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah SWT. Tidak mengapa bagi
seorang menghiasi rumahnya dengan berbagai macam bunga, lukisan, dan ukiran serta
perhiasan halal lainnya. Namun demikian, Islam tidak suka kepada sikap berlebihan
dalam segala hal. Nabi SAW tidak rela apabila seorang muslim memenuhi rumahnya
dengan segala macam simbol kemewahan dan berlebih-lebihan sebagaimana yang
telah disebutkan dalam Al- Qur'an, atau memajang berbagai karya patung yang
diperangi agama tauhid ini dengan berbagai cara.
a. Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari makanan dan
minuman secara halal dan tidak tidak larang hukum. Dalam soal makanan dan
minuman, yang terlarang adalah: darah, daging binatang yang telah mati sendiri,
daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain nama
Allah dengan maksud mempersembahkan sebagai kurban untuk memuja berhala
atau tuhan-tuhan lain.
b. Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat
merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk
dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara
dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja
12
Vascular Embolotherapy, 2006, 107–18.
16
benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak.
“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya”
(HR Tarmidzi). Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik,
tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar
tidak meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke
dalam gelas” (HR Bukhari). 13
c. Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah
sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti jangan makan secara berlebihan, prinsip
tersebut tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme dalam berkonsumsi yang
menganggap konsumsi sebagai suatu mekanisme untuk menggenjot suatu produksi
dan pertumbuhan. Semakin banyak permintaan maka semakin banyak barang yang
diproduksi. Disinilah kemudian timbul pemerasan, penindasan terhadap buruh agar
harus bekerja tanpa mengenal batas waktu guna memenuhi permintaan. Dalam Islam
justru berjalan sebaliknya: menganjurkan suatu cara konsumsi yang moderat, adil
dan proporsional. Intinya dalam Islam konsumsi harus diarahkan secara benar, agar
keadilan dan kesetaraan untuk semua bisa tercipta.14
“Ayi Nurbaeti. ‘KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM Azmina.’: Jurnal Perbankan Syariah
14
17
manusia yang bersifat kikir dan egois hanya mementingkan ego mereka sendiri dan
melupakan bahwa di setiap harta yang mereka miliki ada rezeki orang lain dititipkan
yaitu berupa zakat, infak dan sedekah.
ََ ِ ي ٰذ
ل قَ َوا ًما ِ ْ َو ذ ِاَّل ْي ََن ِا َذاَ َانْ َف رق ْوا لَ َْم ي
ََ ْ َ رْسفر ْوا َولَ َْم ي َ ْق ر رُت ْو َاو ََك ََن ب
“ Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan,
dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian. “(Q.S. Alfurqan: 67).
Menurut Al Shaukani dalam Furqani (2017) arti dari kikir mengacu pada tiga hal
yaitu: pertama, Konsumsi yang menyengsarakan yaitu menahan diri untuk tidak
membelanjakan harta dalam rangka mememenuhi kebutuhan hidupnya alias pelit
terhadap diri sendiri. Kedua, Konsumsi egois, yaitu tujuan membelanjakan harta
untuk kesenangan pribadi, tanpa mau berbagi dengan orang lain. Ketiga, konsumsi
kufur, yaitu konsumsi yang dilakukan tanpa bersyukur kepada Allah dan
membelanjkan harta dengan cara yang batil.15
15
“Baitul Hamdi. ‘Prisip dan Etika Ekonomi Islam.’ Islamadina: Jurnal Pemikiran Islam Volume: 23, No. 1, Maret
2022 : 1-15,” t.t.
18
persesuaian bagi semua perintah-Nya. Hal tersebut tertuang dalam firman Allah
SWT berikut:
َ ُا ِح ذل لَ ُ ُْك َص ْيدُ الْ َب ْح ِر َو َط َعا ُم ٗه َم َتاعًا لذ ُ ُْك َولِ ذلس ذي َار ِ ِۚة َو ُح ل ِر َم عَلَ ْي ُ ُْك َص ْيدُ الْ َ لِب َما ُد ْم ُ ُْت ُح ُر ًماۗ َوات ذ ُقوا ٰ ل
اَّلل
َش ْو َن ُ َ ذ ِاَّل ْ ٓي ِالَ ْي ِه ُ ُْت
Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal dari) laut
sebagai kesenangan bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan
diharamkan atasmu (menangkap) hewan buruan darat selama kamu dalam keadaan
ihram. Bertakwalah kepada Allah yang hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan.
Qs (al maidah 96)16
16
“Melis. ‘PRINSIP DAN BATASAN KONSUMSI ISLAMI.’: ISLAMIC BANKING Volume 1 Nomor 1 Edisi
Perdana Agustus 2015,” t.t.
17
Lutfi, “KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ILMU EKONOMI ISLAM.”
19
d. Kaidah Etika: Konsumsi harus dilakukan dengan etika yang baik. Ini termasuk
menghormati hak-hak orang lain, menghindari penipuan, dan berlaku adil dalam
transaksi.
e. Kaidah Lingkungan: Islam mengajarkan untuk menjaga lingkungan. Oleh karena
itu, konsumsi harus memperhatikan dampaknya terhadap alam dan Masyarakat.
Menurut Abdul Rahmun ibn Khaldun atau Adiwarman Karim 2007 karya Abu Zayed,
kemakmuran suatu negara ditentukan oleh dua hal, yaitu tingkat produksi dalam negeri suatu
negara dan neraca pembayaran positif suatu negara. Suatu negara dapat mencetak uang
18
Sri Wahyuni, “TEORI KONSUMSI DAN PRODUKSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM” 10, no.
1 (2013).
20
sebanyak-banyaknya, namun jika negara tersebut tidak mencerminkan pertumbuhan pesat
dalam bidang manufaktur (baik barang maupun jasa), uang yang berlimpah tidak ada
nilainya. Penggerak pembangunan adalah sektor manufaktur yang menyerap tenaga kerja,
meningkatkan pendapatan pekerja, dan menciptakan permintaan faktor produksi lainnya.
Bagi seorang muslim, tujuan konsumsi haruslah sebagai sarana penolong untuk
beribadah kepada Allah swt. Jika niat konsumsi tersebut untuk meningkatkan stamina dalam
rangka pengabdian kepada Allah, maka kegiatan konsumsi tersebut akan bernilai ibadah dan
di ganjar oleh pahala.19
19
Rahmawati Aprillia, “Konsumsi dalam pandangan jean baudrillard dan al-ghazali,” Ekonomi Dan Keuangan
Syariah, t.t.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsumsi dalam ekonomi Islam harus memperhatikan aspek kategori kebutuhan, yaitu
kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tersier sesuai dengan semangat al
maqasid al-syariah dalam konsumsi ekonomi Islam juga harus menghindari israf
(Pemborosan) dan tabzir (pemborosan berlebihan) dalam penggunaan pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup harus dihindari. Dan dalam aspek mengonsumsi makanan
muslim sebaiknya selalu mengonsumsi makanan yang halal dan toyib.
B. Saran
Hindari pemborosan dan konsumsi berlebihan. Fokuslah pada kebutuhan yang sesuai
dengan apa yang kita butuhkan, prioritaskan makanan yang halal dan toyyib dan
petimbangkan dampak ekonomi dan spiritual (keyakinan) dari setiap keputusan mengonsumsi
sesuatu.
22
DAFTAR PUSTAKA
“Abdussalam dan Abdullah Shodiq, ‘Maqashid As-Syariah Perspektif Imam Al-Ghazali; Studi
Literasi Maslahah Mursalah,’ Moderasi : Journal of Islamic Studies 2, no. 2 (15
Desember 2022): 139–59, https://doi.org/10.54471/moderasi.v2i2.32.,” t.t.
Aprillia, Rahmawati. “Konsumsi dalam pandangan jean baudrillard dan al-ghazali.” Ekonomi
Dan Keuangan Syariah, t.t.
“Ayi Nurbaeti. ‘KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM Azmina.’: Jurnal
Perbankan Syariah Vol. 2 No. 1 November 2022: 15-27,” t.t.
“Baitul Hamdi. ‘Prisip dan Etika Ekonomi Islam.’ Islamadina: Jurnal Pemikiran Islam Volume:
23, No. 1, Maret 2022 : 1-15,” t.t.
Ghafur, Abd. “KONSUMSI DALAM ISLAM,” 2016.
“Jaribah bin Ahmad Al; Zamakhsyari Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab : jaribah
bin Ahmad Al haritsi; Penerjemah: Asmuni Sholihan zamakhsyari; Editor: Muhammad
Ihsan (Khalifa, 2006),
//10.170.10.3%2Findex.php%3Fp%3Dshow_detail%26id%3D11721%26keywords%
3D.,” t.t.
Lutfi, Mohammad. “KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ILMU EKONOMI ISLAM” 1
(2019).
“Melis. ‘PRINSIP DAN BATASAN KONSUMSI ISLAMI.’: ISLAMIC BANKING Volume
1 Nomor 1 Edisi Perdana Agustus 2015,” t.t.
Mochlasin, Mochlasin. “REKONSTRUKSI TEORI CONSUMER EQUILIBRIUM
PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM.” Muqtasid: Jurnal Ekonomi dan Perbankan
Syariah 4, no. 1 (1 Juni 2013): 107. https://doi.org/10.18326/muqtasid.v4i1.107-129.
Rahman, Aulia, dan Fitrah Muh. “Perilaku Konsumsi Masyarakat Dalam Perspektif Islam Di
Kelurahan Barombong Kota Makassar.” LAA MAISYIR : Jurnal Ekonomi Islam 5, no.
1 (2018): 18–42.
Rusby, Zulkifli. Ekonomi Islam. pekanbaru: Pusat Kajian Pendidikan Islam FAI UIR, 2017.
selviana, Zakiah. “Teori Konsumsi Dalam Perspektif Islam.” Jurnal Ekonomi dan Keuangan
Islam 02, no. 02 (2022): 154–64.
Wahyuni, Sri. “TEORI KONSUMSI DAN PRODUKSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI
ISLAM” 10, no. 1 (2013).
Vascular Embolotherapy, 2006, 107–18.
23