Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PENGANTAR EKONOMI SYARI’AH

“ KONSUMSI DALAM EKONOMI SYARI’AH ”

Dosen Pengampu: Husnul Hidayati S.Ag., M.Ag.

Disusun Oleh :

Rizka Syafira Amanda Temarwuth (220204022)

Nuril Hojang (220204026)

Purna Irawan (220204030)

SEMESTER/KELAS : II/B KELOMPOK I

PROGRAM STUDI ILMU FALAK

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

MATARAM

2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang atas segala rahmat dan
karunia-Nya makalah ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kelurganya, sahabat, dan kita selaku umatnya
hingga akhir zaman. Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima-kasih yang sebesar-
besarnya kepda Dosen Mata kuliah, PENGANTAR ILMU EKONOMI SYARI’AH, Ibu
Husnul Hidayati S.Ag., M.Ag, yang telah memberi tugas kepada kami. Dengan kemampuan
yang sangat terbatas dan makalah ini sangat jauh dari kata kesempurnaan, baik dalam
pengertian maupun isinya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi Informasi
yang bermanfaat untuk membangun wawasan dan peningkatan Ilmu pengatahuan bagi kita
semua.

Akhir kata penulis mengharapkan permohonan maaf yang setinggi-tingginya kepada


para pembaca, jika didalam makalah ini terdapat banyak hal yang masih salah atau kurang
jelas serta kekiliruan. Semoga kritik dan saran serta solusi yang membangun dari para
pembaca dapat mendatangkan manfaat yang bisa dijadikan sebagai motivasi untuk berkarya
dalam penulisan makalah berikutnya maupun karya -karya ilmiah lainnya.

Mataram, 31 Maret 2023

Kelompok I

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................................i

KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….iii

BAB I PENDAHALUAN…………………………………………………………………..1

A. Latar Belakang……………………………………………………………………..1

B. Rumusan Masalah………………………………………………………………….1

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………..2

A. Pengertian Konsumsi……………………………………………………………...2

B. Maslahah Konsumsi Ekonomi Syari’ah…………………………………………4

C. Perilaku Konsumsi Dalam Ekonomi Syari’ah…………………………………..4

D. Prinsip-prinsip Konsumsi Dalam Ekonmi Syari’ah…………………………….6

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………..8

A. Kesimpulan………………………………………………………………………...8

B. Saran……………………………………………………………………………….8

DAFTARPUSTAKA………………………………………………………………………9

iii
BAB I

PENDAHALUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada hakikatnya manusia merupakan Homo Ekonomicus, kata ini berasal dari
bahasa latin yang mempunyai arti Manusia Ekonomi. Manusia ekonomi atau Homo
Ekonomicus adalah sosok manusia yang rasional dengan kebebasan-kebebasan dalam
menentukan pilihan yang ada untuk mencapai tujuan tertentu. Sehingga dalam setiap
prilakunya manusia harus lebih bersifat rasional dalam memilih sumber daya yang ada.
Akan tetapi pada kenyataannya, perilaku manusia khususnya perilaku konsumsi lebih
mengarah pada perilaku konsumtif. Bila diperhatikan lebih lanjut, perilaku konsumtif ini
lebih cenderung terjadi di masyarakat yang ada di sekitar kita, khusunya yang akan
beranjak remaja.1

Dalam ekonomi Islam, tujuan konsumsi adalah memaksimalkan maslahah.


Menurut Imam Syathibi istilah maslahah maknanya lebih luas dari sekedar Utility atau
kepuasan dalam terimonologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum
syara yang paling utama. Maslahah merupakan sifat atau kemampuan barang dan jasa
yang sangat mendukung elemen-elemen serta tujuan dasar dari kehidupan manusia di
muka bumi ini. Ada lima elemen dasar, yaitu: agama, kehidupan atau jiwa (al-nafs),
properti atau harta (al-mal), keyakinan (al-Din), intlektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nas). Sehingga dapat dikatakan bahwa maslahah meliputi integrasi manfaat
fisik dan unsur-unsur keberkahan.2

Ekonomi Islam dibangun berdasarkan doktrin Agama Islam, karena ia merupakan


bagian tak terpisahkan dari agama Islam. Sebagai turunan dari agama Islam, ekonomi
Islam akan mengikuti agama Islam dalam berbagai aspeknya. Islam adalah sistem
kehidupan, dimana Islam telah menyediakan berbagai perangkat aturan yang lengkap bagi
kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Islam sangat memandang aktifitas
ekonomi secara positif. Semakin banyak manusia terlibat dalam aktivitas ekonomi maka
akan semakin baik pula aktivitas ekonomi tersebut, sepanjang prosesnya sesuai dengan
ajaran agama Islam. Islam memposisikan kegiatan ekonomi sebagai salah satu aspek
penting untuk mendapatkan kemuliaan, dan kerenanya kegiatan ekonomi perlu dituntun
serta dikontrol agar berjalan seirama dengan ajaran agama Islam secara keseluruhan.3

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka dapat ditarik rumusan
masalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Konsumsi?


2. Apa yang dimaksud dengan konsumsi dalam ekonomi syari’ah?
3. Bagaimana konsep Maslahah sebagai tolak ukur ekonomi dalam ekonomi
syariah?
4. Bagaimana perilaku konsumsi dalam ekonomi syari’ah?
5. Apa saja prinsip-prinsip dalam ekonomi syari’ah?

1
Aldila Septiana. “Analisis Perilaku Konsumsi Dalam Islam”, Dinar 1, no.2 (2015). Hal, 1-18.
2
Ibid.
3
Rahmat Ilyas. (2015). “Konsep Maslahah Dalam Konsumsi Ditinjau Dari Prespektif Ekonomi Ilsam”. Jurnal
“Prespektif Ekonomi Darussalam”. Volume, 1. Nomor, 1. Maret 2015. Hal, 9.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KONSUMSI

1. Pengertian Konsumsi Dalam Ekonomi Konvensional

Konsumsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu to consume yang berarti memakai atau
menghabiskan. Menurut KBBI, kata konsumsi diartikan sebagai pemakaian barang hasil
produksi. Secara luas konsumsi adalah kegiatan untuk mengurangi atau menghabiskan
nilai guna suatu barang atau jasa, baik secara sekaligus maupun berangsur-angsur untuk
memenuhi kebutuhan.4

Konsumsi adalah kegiatan memanfaatkan barang-barang atau jasa dalam


memenuhi kebutuhan hidup. Barang-barang yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
hidup ini tergantung dari pendapatan yang diperoleh. Barang-barang yang dihasilkan dari
produsen bukan hanya digolongkan menjadi baramg mewah dan tidak mewah, akan tetapi
dibagikan menjadi barang-barang untuk memenuhi kebutuhan pokok serta barang-barang
yang tergolong bukan untuk kebutuhan pokok.5 Pada siklus ekonomi yang bermula dengan
perolehan kekayaan, konsumsi merupakan tahap yang terakhir dan paling penting. Di
dalam ilmu ekonomi, konsumsi diartikan sebagai membelanjakan kekayaan untuk
memenuhi keigninan manusia seperti makanan, pakaian, perumahan, barang-barang
kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, kebutuhan pribadi maupun kebutuhan
keluarga lainnya. 6

Menurut samoelson dan Nordhaus konsumsi adalah pengeluaran yang dilakukan


guna memenuhi pembelian barang dan jasa untuk mendapatkan kepuasan maupun untuk
memenuhi kebutuhannya. Konsumsi digolongkan menjadi dua yakni konsumsi rutin dan
konsumsi yang sifatnya sementara. Konsumsi rutin yaitu sebagai pengeluaran yang
dilakukan untuk pembelian barang atau jasa secara berulang-ulang selama bertahun-tahun.
Sedeangkan konsumsi yang sifatnya sementara yaitu setiap tambahan yang sifatnya tidak
terduga dalam konsumsi rutin.7

2. Pengertian Konsumsi Dalam Ekonomi Syari’ah

konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi syari’ah atau ekonomi Islam juga
memiliki pengertian yang sama, namun memiliki perbedaan dalam setiap yang
melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah
tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah
pedoman syari’ah Islamiyyah.8

Menurut Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EUII, 2011), yang
mengatakan bahwa konsumsi merupakan pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang
memberikan maslahah atau kebaikan dunia dan akhirat untuk konsumen itu sendiri. Secara
umum pemenuhan kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat fisik, spritual,
intlektual, ataupun material. Sedangkan pemenuhan keinginan akan menambah kepuasan
atau mmanfaat psikis disamping manfaat lainnya. Bila suatu kebutuhan diinginkan

4
Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam 2, (Pekanbaru: al-Mujtahadah Press, 2014). Hal. 93.
5
Soeharno, Teori Mikroekonomi. ( Yokyakarta: C.V Andi Offset, 2007). Hal,6.
6
Dr. Muhammad Sharif Chaudry, M.A., LLB., PH.D. “Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip Dasar”.
Penerjemah Suherman Rosyidi. (Jakarta: kencana, 2012). Hal, 137.
7
https://www.gramedia.com. “Pengertian Konsumsi: Ciri dan Faktor-faktor”. Kamis, 30 Maret.
8
Walter Benjamin, “Konsumsi Dalam Prespektif Ilmu Ekonomi Islam”. 3 (2019). Hal, 1-9.

2
seseorang maka pemenuhan kebutuhan tersebut tidak dilandasi oleh keinginan, yang hanya
akan mebrikan manfaat semata. Artinya jika yang diinginkan bukan kebutuhan maka
pemenuhan keinginan tersebut hanya akan membrikan kepuasan saja.9

Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi


kebutuhan. Konsumsi meleiputi keperluan, kesenangan, dan kemewahan. Kesenangan
diperbolehkan asal tidak berlebihan, yakni tidak melampui batas yang dibutuhkan oleh
tubuh dan tidak pula melampui batas-batas makanan yang dihalalkan sebagaimana yang
dijelaskan dalam al-Qur’an surah al- A’raf ayat 31 yang berbunyi:10

ْ ِ‫قَا َل فَا ْهب‬


ّٰ ‫ط ِم ْن َها فَ َما َي ُك ْونُ لَـكَ ا َ ْن تَتَ َكب ََّر فِ ْي َها فَا ْخ ُر ْج اِنَّكَ ِمنَ ال‬
َ‫ص ِغ ِريْن‬

"(Allah) berfirman, "Maka, turunlah kamu darinya (surga); karena kamu tidak
sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah! Sesungguhnya kamu termasuk
makhluk yang hina”.

Konsumsi bagi seorang Muslim bukan hanya sekedar perantara untuk menambah
kekuatan dalam menta’ati Allah, yang ini memiliki indikasi positif dalam kehidupannya.
Seorang Muslim tidak akan merugikan dirinya di dunia dan di akhirat, karena memberikan
kesempatan pada dirinya untuk mendapatkan dan memenuhi konsumsinya pada tingkat
melampui batas, membuatnya sibuk mengejar dunia dan menikmati kesenangan dunia
sehingga melupakan tugas utama nya dalam kehidupan ini. 11

Dalam prespektif ekonomi Syari’ah, konsumsi bukan hanya sekedar memenuhi


kebutuhan induvidu, tetapi lebih jauh berimplikasi terhadap kesedaran berkenaan dengan
kebutuhan orang lain. Oleh karenanya dalam konteks adanya keizinan untuk
mengkonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah, sekaligus terpikul tanggung jawab untuk
memberikan perhatian terhadap keperluan hidup orang-orang yang tidak punya, baik yang
tidak meminta (al-Qani), maupun yang meminta (al-Mu’tar), bahkan untuk orang-orang
yang sengsara (al-Bas) dan fakir miskin.12

Konsumsi adalah aktivitas ekonomi yang sangta vital abgi kehidupan manusia.
Konsumsi adalah fitrah manusia untuk mempertahankan hidupnya. Jika manusia berada
dalam fitrah yang suci, maka manusia sadar bahwa konsumsi memiliki keterbatasan baik
dari segi kemampuan harta maupun yang apa yang akan dikonsumsi sesuai dengan
keterbatasannya.13

Dari pernyataan-pernyataan yang sudah kami uraikan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa Konsumsi dalam Islam adalah sebagai bentuk penggunaan terhadap komoditas
yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, serta harus sesuai dengan prinsip-
prinsip dalam ekonomi Syari’ah itu sendiri.

 Dari beberapa pengertian tentang konsumsi dalam ekonomi konvensioanl dan


konsumsi dalam ekonomi syari’ah yang sudah kami uraikan diatas, maka
dapat disimpulkan perbedaan antara konsumsi ekonomi konvensional dan
konsumsi ekonomi syari’ah yakni, seorang muslim akan mendapatkan
kepuasan lebih apabila mengkonsumsi barang halal daripada barang haram.
Sedangkan konsumsi dalam ekonomi konvensional yang tidak mengatur halal
haramnya suatu barang atau jasa.

9
Sri Wahyuni, “Teori Konsumsi Dan Produksi Dalam Prespektif Islam”. Jurnal Akuntabel. Vol, 10. No, 1.
(2013).
10
Abdul Rahim, Ekonomi Islam Prespektif Muhammad SAW. (Jember: Stain Jember Press, 2013). Hal, 92-93.
11
Abdul Aziz, “Etika Bisnis Prespektif Islam”: Implementasi Etika Islam Untuk Dunia Usaha. (Bandung: Al-
Beta, 2013). Hal, 160.
12
Amiur Nuruddin, Dari Mana Sumber Hartamu. (renungan Tentang Bisnins Islam Dan Ekonomi syari’ah).
(Sumatra: Erlangga,2022). Hal, 313-315.
13
Abdul Aziz, “Etika Bisnis Prespektif Islam”. Hal, 158.

3
B. MASLAHAH KONSUMSI

Maslahah merupakan sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menolak


kemudharatan.14maslahah menurut Imam al-Syathubi merupakan sifat atau kemampuan
barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar kehidupan manusia di
muka bumi ini. 15

mashlahah bagi manusia disebut kebutuhan/needs, dan semua kebutuhan ini harus
dipenuhi, usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.
Seseorang dalam melakukan pemenuhan terhadap keinginan, seorang konsumen sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Faktor-faktor kebudayaan: Kebudayaan, Sub-budaya, Kelas social.


2. Faktor-faktor sosial, yang terdiri dari kelompok referensi, keluarga, peran dan
status.
3. Faktort pribadi: umur dan tahapan dalam siklus hidup, pekerjaan, keadaan
ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri.
4. Faktor-faktor psikologi: motivasi, persepsi, proses belajar, kepercayaan dan
sikap.

Keempat faktor tersebut sangat berpengaruh bagi seorang konsumen dalam


mengambil keputusan untuk melakukan konsumsi guna memenuhi keinginannya, dan dalam
proses pengambilan keputusan untuk pembelian suatu barang atau jasa spesifik yang terdiri
dari urutan kejadian yaitu pengenalan masaalah, pencarian informasi, keputusan pembelian
dan perilaku pasca pembelian.16

Seseorang dalam melakukan konsumsi, nampaknya tidak dapat dipisahkan antara


kebutuhan dan keinginan, karena keduanya jika tidak dipenuhi akan menimbulkan efek yang
sama yaitu adanya kelangkaan dalam ekonomi, sehingga ekonomi konvensional menyamakan
antara keduanya. Upaya seseorang dalam menggunakan potensi waktu dan dana atau uang
adalah untuk memenuhi kebutuhannya, karena semua manusia memiliki kebutuhan yang
tidak dapat diabaikan yang dalam ekonomi disebut dengan kebutuhan primer, sekunder dan
pelengkap atau dalam ekonomi Islam dikenal dengan daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.17
Kebutuhan primer atau daruriyat, merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi.
Kebutuhan hajiyat atau sekunder merupakan keperluan yang dibutuhkan manusia untuk
mempermudah dalam kehidupan dan menghilangkan kesulitan maupun kesempitan.
Sedangkan untuk tahsiniyat atau primer merupakan tuntutan muru’ah (moral), dan itu
dimaksudkan untuk kebaikan dan kemuliaan.

C. PERILAKU KONSUMSI DALAM EKONOMI SYARI’AH

Konsumsi merupakan salah-satu kegiatan ekonomi dengan tujuan mengurangi atau


menghabiskan manfaat suatu barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Konsumsi pada
dasarnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam sistem
perekonomian, konsumsi memiliki peranan penting yakni mendorong terjadinya produksi dan
distribusi.perilaku konsumsi dalam ekonomi Islam berdasarkan pada prinsip-prinsip dalam

14
Prof. Dr. Ahmad Qorib, M.A. dan Dr Isnaini Harahap, M.A, “Penerapan Maslahah Mursalah Dalam
Ekonomi Islam”. Jurnal “Analytica Islamica”. Vol, 5. No, 1. (2016). Hal, 56.
15
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006). H, 62.
16
Nugroho J. Setiadi, Perilaku Konsumen, Perspektif Kontemporer pada Motif, Tujuan dan Keinginan
Konsumsi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 10-14.
17
Mustafa Edwin Nasution, op.cit. hal, 67.

4
ekonomi Syari’ah.18 Ada tiga perilaku konsumsi dalam ekonomi Syari’ah, yaitu sebagai
berikut:

1. Seimbang dalam konsumsi

Islam mewajibkan kepada pemilik harta agar menafhkan sebagian hartanya


untuk kepentingan diri, keluarga dan fisabilillah. Islam mengharamkan sikap kikir. Di
sisi lain juga mengharamkan sikap boros dan mengahamburkan harta.19inilah bentuk
keseimbangan yang diperintahkan dalam al-Qur’an yang mencerminkan sikap
keadilan dalam konsumsi. Seperti yang diisyaratkan dalam Q.S. Al-Isra (17): 29.

ِ ‫ط َها ُك َّل ْالبَس‬


ُ ْ‫ْط فَتَ ْقعُدَ َملُ ْو ًما َّمح‬
‫س ْو ًرا‬ ْ ‫س‬ ُ ‫َو ََل تَجْ َع ْل يَدَكَ َم ْغلُ ْولَةً ا ِٰلى‬
ُ ‫عنُقِكَ َو ََل ت َ ْب‬

"Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan
(pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela
dan menyesal."

2. Membelanjakan harta pada bentuk yang dihalalkan dan dengan cara yang baik

Islam mendorong serta memberi kebebasan kepada induvidu agar


membelanjagakan hartanya untuk membeli barang-barang yang baik ndan halal dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Kebebasan itu diberikan dengan ketentuan tidak
melanggar batas-batas suci serta tidak mendatangkan bahaya terhadap keamanan
kesejahteraan masyarakat dan Negara.20 Sesuai dengan hal ini Abu al-A’la al-
Maududi menjelaskan bahwa Islam menutup semua jalan bagi manusia untuk
membelanjakan harta yang mengakibatkan kerusakan akhlak di tengah masyarakat,
seperti judi yang hanya memperturutkan hawa nafsu. Dalam Q.S. Al-Maidah (5): 88
ditegaskan :

ْ ْۤ ‫ّٰللاَ الَّ ِذ‬


َ‫ي اَ ْنـت ُ ْم بِ ٖه ُمؤْ ِمنُ ْون‬ َ ‫ّٰللاُ َح ٰل ًًل‬
ّٰ ‫ط ِيبًا َّو اتَّقُوا‬ ّٰ ‫َو ُكلُ ْوا ِم َّما َرزَ قَ ُك ُم‬

"Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki
yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-
Nya."

3. Larangan bersikap Israf (royal), dan Tazbir (sia-sia)

Adapun nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam konsep konsumsi adalah


pelarangan terhadap sikap hidup mewah.21 Gaya hidup mewah merupakan perusak
induvidu dan masyarakat, karena menyibukkan manusia dengan hawa nafsu,
melalaikannya dari hal-hal yang mulia, dan akhlak yang luhur. Sikap hidup

18
Dewi Maharani dan Taufik Hidayat, “Rasionalitas Muslim: Perilaku Konsumsi Dalam Prespektif Ekonomi
Islam”. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam. vol, 6. No,3. (2020). Hal, 410.
19
Yusuf al Qardhawi, Daur Al-Qiyam Wa Al-Akhlaq Fi Al-Iqtishad Al-Islami. (Kairo: Maktabah Wahnah, t.t).
hal, 217.
20
Afzalur Rahman, Ekonomic Doktrines Of Islam. ter, Soeroyo dan Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam.
(Yokyakarta: Darma Bakti Wakaf, 1985), jilid II, hal. 18-20.
21
Yusuf al Qardhawi, Daur Al-Qiyam Wa Al-Akhlaq Fi Al-Iqtishad Al-Islami. (Kairo: Maktabah Wahnah, t.t).
hal, 227.

5
mewah biasanya diringi oleh sikap hidup yang berlebihan. Dalam Q.S. Al-A’araf
(7): 31. Allah telah memperingatkan akan sikap ini:

َ‫ٰيبَنِ ْۤ ْي ٰادَ َم ُخذ ُ ْوا ِز ْينَتَ ُك ْم ِع ْندَ ُك ِل َمس ِْج ٍد َّو ُكلُ ْوا َوا ْش َرب ُْوا َو ََل تُس ِْرفُ ْوا ۚ اِنَّهٗ ََل ي ُِحبُّ ْال ُمس ِْر ِفيْن‬

"Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap
(memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh,
Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan."

D. PRINSIP-PRINSIP KONSUMSI DALAM EKONOMI SYARI’AH

Dalam hal konsumsi, al-Qur‟an memberi petunjuk yang sangat jelas dan mudah
dipahami, al-Qur‟an mendorong untuk menggunakan barang-barang yang baik (halal) dan
bermanfaat serta melarang untuk hidup boros dan melakukan kegiatan konsumsi untuk hal-
hal yang tidak penting, al-Qur‟an juga melarang untuk bermewah-mewahan dalam hal
pakaian ataupun makan, sesuai dengan firman Allah surat al-Baqarah : 168.

‫شي ْٰط ِن ۚ اِنَّهٗ لَـ ُك ْم َعد ٌُّو ُّم ِبيْن‬


َّ ‫ت ال‬ َ ‫ض َح ٰل ًًل‬
ُ ‫ط ِيبًا ۚ َّو ََل تَتَّ ِبعُ ْوا ُخ‬
ِ ‫ط ٰو‬ ُ ‫ْٰۤيا َ يُّ َها النَّا‬
ِ ‫س ُكلُ ْوا ِم َّما فِى ْاَلَ ْر‬

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Disini Islam memerintahkan agar manusia dalam mengkonsumsi segala sesuatu di


dunia ini terbatas pada barang atau jasa yang baik dan halal yang telah disediakan oleh Allah
kepada mereka. Mereka juga diperintahkan agar tidak mengikuti langkah-langkah syaitan
yang berusaha menggoda manusia untuk mau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan
Allah.22

Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa dalam hal pemanfaatan nikmat dan karunia Allah
SWT harus dilakukan secara adil dan seimbang sesuai dengan prinsip syari’ah, sehingga
selain nantinya akan mendapatkan manfaat dari segi material, juga merasakan kepuasan dari
segi spiritual.

Islam memperbolehkan kepada manusia untuk menikmati berbagai karunia kehidupan


dunia yang diberikan oleh Allah SWT, seperti dalam firman-Nya Q.S. al-A’araf : 32.

‫ُ ْل ٰطنًا‬ ِ ‫ي ِبغَي ِْر ْال َح‬


ُ ‫ـق َواَ ْن ت ُ ْش ِر ُك ْوا بِا ّّٰٰلِ َما لَ ْم يُن َِِّ ْل بِ ٖه‬ َ ‫اَل ثْ َم َوا ْلبَـ ْغ‬
ِ ْ ‫طنَ َو‬
َ ‫ظ َه َر ِم ْن َها َو َما َب‬ َ ‫ي ْالـفَ َوا ِح‬
َ ‫ش َما‬ َ ِ‫قُ ْل اِنَّ َما َح َّر َم َرب‬
َ‫ّٰللاِ َما ََل ت َ ْعلَ ُم ْون‬ ُ
ّٰ ‫َّوا َ ْن تَقُ ْول ْوا َعلَى‬

"Katakanlah (Muhammad), "Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji


yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang
benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia
tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah
apa yang tidak kamu ketahui."

22
Lilik Nurjannah, “Analisis Terhadap Pemikiran Yusuf Qardawi dan Afzalur Rahman tentang Konsep
Konsumsi Dalam Islam” (Skripsi Strata Satu, STAIN Ponorogo, 2011), 19-20

6
Islam mengajarkan kepada kita agar dalam mengeluarkan (membelanjakan) harta,
tidak berlebihan dan juga tidak kikir atau pelit, karena sifat berlebih-lebihan merupakan sifat
yang akan merusak jiwa, harta, dan juga memberikan efek negatif terhadap masyarakat.
Sedangkan kikir atau pelit merupakan sikap yang dapat menahan harta untuk tidak
dikeluarkan meskipun untuk kebutuhan yang penting. Seperti dalam firman Allah surat al-
Furqan ayat 67.

‫َوا لَّ ِذيْنَ اِذَ ْۤا ا َ ْنفَقُ ْوا لَ ْم يُس ِْرفُ ْوا َولَ ْم َي ْقت ُ ُر ْوا َوكَا نَ َبيْنَ ٰذلِكَ قَ َوا ًما‬

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan,


dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.”

Salah-satu pakar Ekonomi Muslim Muhammad Abdul Mannan menawarkan lima


prinsip konsumsi dalam ekonomi Islam atau ekonomi Syari’ah diantaranya:

1. Prinsip keadilan, mengandung pengertian bahwa dalam berkonsumsi tidak boleh


menimbulkan kedzaliman baik bagi induvidu yang bersangkutan maupun bagi orang
lain.
Dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darah, daging binatang
yang telah mati sendiri, daging babi, daging anjing, dan daging binatang yang ketika
disembelih diseruhkan nama selain nama Allah dengan maksud dipersembahkan
sebagai qurban untuk memuja berhala atau Tuhan-tuhan lain, dan persembahan bagi
orang-orang yang dianggap suci atau siapa pun selain Allah.23

2. Prinsip kebersihan, mengandung makna yang sempit dan luas. Makna yang sempit
berarti barang yang dikonsumsi harus bersih dan sehat (bebas dari penyakit) yang bisa
diindera secara konkrit. Makna yang luas berarti harus bersih dari larangan syara’.

3. Prinsip kesederhanaan, mengandung maksud sesuai dengan kebutuhan dan tidak


berlebih-lebihan karena ini merupakan pangkal dari kerusakan dan kehancuran baik
bagi induvidu maupun masyarakat.

4. Prinsip kemurahan hati, mengandung maksud tindakan konsumsi seseorang harus


bersifat ikhlas dan bukan dipaksakan serta mempertimbangkan aspek sosial seperti
pemberian sedekah.

5. Aspek moralitas, mengandung arti bahwa perilaku konsumen muslim harus tetap
tunduk pada norma-norma yang berlaku dalam Islam.

Dengan demikian, ia akan merasa kehadiran Iilahi pada waktu memenuhi keinginan-
keinginan fisiknya. Hal ini penting karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai
kebahagian hidup material dan spritual24

23
Ibid. Hal,45.
24
Muhammad Abdul Mannan, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam. (Yokyakarta: Bhakti Wakaf,, 1997). Hal, 9.

7
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Konsumsi adalah kegiatan mengurangi atau menghabiskan nilai guna sutau barang
atau jasa, baik secara sekaligus maupun secara berangsur-angsur untuk memenuhi kebutuhan
hidup.
Konsumsi adalah aktivitas ekonomi yang sangat vital bagi kehidupan manusia.
Konsumsi adalah fitrah manusia untuk mempertahankan hidupnya jika manusia berada dalam
fitrah yang suci, maka manusia sadar bahwa konsumsi memiliki keterbatasan.

Perbedaan antara komsumsi ekonomi konvensional dan konsumsi ekonomi syari’ah


ialah seorang muslim akan mendapatkan kepuasan lebih apabila mengkonsumsi barang halal
daripada barang haram. Sedangkan konsumsi dalam ekonomi konvensional tidak mengatur
halal haram nya suatu barang atau jasa.

Mashlahah bagi manusia di sebut kebutuhan, dan semua kebutuhan ini harus
dipenuhi, usaha pencapaian tujuan itu adalah salah-satu kewajiban dalam beragama.

Ada tiga perilaku konsumsi dalam ekonomi syari’ah yaitu: (1). Seimbang dalam
konsumsi, (2). Membelanjakan harta pada bentuk yang dihalalkan, (3). Larangan bersikap
royal dan sia-sia.

Terdapat tiga dasar prinsip dalam ekonomi syari’ah yaitu : (1). Prinsip halal, (2).
Prinsip kebersihan dan menyehatkan, (3). Prinsip kesederhanaan.

Muhammad Abdul Manan menawarkan lima prinsip konsumsi dalam ekonomi


syari’ah yaitu: (1). Prinsip keadilan, (2). Prinsip kebersihan, (3). Prinsip kesederhanaan, (4).
Prinsip kemurahan hati, (5). Prinsip moralitas.

B. SARAN

Semoga kedepannya kita sebagai konsumen saat bermu’amlah atau melakukan


kegiatan jual beli dapat mengikuti prinsip-prinsip dalam ekonomi syari’ah, serta perilaku
dalam ekonomi syari’ah.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mannan Muhammad, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam. (Yokyakarta: Bhakti
Wakaf, 1997).

Aziz Abdul, “Etika Bisnis Prespektif Islam”: Implementasi Etika Islam Untuk Dunia
Usaha. (Bandung: Al-Beta, 2013).

Benjamin Walter, “Konsumsi Dalam Prespektif Ilmu Ekonomi Islam”. 3 (2019).

Chaudry Dr. Muhammad Sharif, M.A.,dkk. “Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip


Dasar”. (Jakarta: kencana, 2012).

Iliyas Rahmat, “Konsep Maslahah Dalam Konsumsi Ditinjau Dari Prespektif


Ekonomi Islam”. Jurnal, “Prespektif Ekonomi Darussalam”. Vol, 1. No, 1. Maret 2015.

Mujahidin Akhmad, Ekonomi Islam 2, (Pekanbaru: al-Mujtahadah Press, 2014).

Maharani Dewi, dkk. “Rasionalitas Muslim: Perilaku Konsumsi Dalam Prespektif


Ekonomi Islam”. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam. vol, 6. No,3. (2020).

Mannan Muhammad Abdul. Teori Dan Praktek Ekonomi Islam. (Yokyakarta: Bhakti
Wakaf,, 1997).

Nuruddin Amiur, Dari Mana Sumber Hartamu. (renungan Tentang Bisnins Islam
Dan Ekonomi syari’ah). (Sumatra: Erlangga,2022).

Nasution Mustafa Edwin, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam. (Jakarta: Kencana


Prenada Media Group, 2006).

Nurjannah Lilik, “Analisis Terhadap Pemikiran Yusuf Qardawi dan Afzalur Rahman
tentang Konsep Konsumsi Dalam Islam” (Skripsi Strata Satu, STAIN Ponorogo, 2011).

Qardhawi Yusuf al, Daur Al-Qiyam Wa Al-Akhlaq Fi Al-Iqtishad Al-Islami. (Kairo:


Maktabah Wahnah, t.t).

Qorib Prof. Dr. Ahmad, M.A, dkk. “Penerapan Maslahah Mursalah Dalam Ekonomi
Islam”. Jurnal “Analytica Islamica”. Vol, 5. No, 1. (2016).

Rahim Abdul. Ekonomi Islam Prespektif Muhammad SAW. (Jember: Stain Jember
Press, 2013).

Rahman Afzalur, dkk. Ekonomic Doktrines Of Islam, dan Doktrin Ekonomi Islam.
(Yokyakarta: Darma Bakti Wakaf, 1985).

Soeharno, Teori Mikroekonomi. ( Yokyakarta: C.V Andi Offset, 2007).

9
Setiadi Nugroho J, Perilaku Konsumen, Perspektif Kontemporer pada Motif, Tujuan
dan Keinginan Konsumsi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010).

Septiana Aldila. “Analisis Perilaku Konsumsi Dalam Islam.” Jurnal, Dinar I. No,2.
Eds, (2015).

Wahyuni Sri, “Teori Konsumsi Dan Produksi Dalam Prespektif Islam”. Jurnal
Akuntabel. Vol, 10. No, 1. (2013).

https://www.gramedia.com. “Pengertian Konsumsi: Ciri dan Faktor-faktor”. Kamis,


30 Maret.

10

Anda mungkin juga menyukai