Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KONSEP KONSUMSI
EKONOMI ISLAM

DOSEN PENGAJAR

Dr. H. Imron Zabidin, MA

Disusun Oleh :

1 Retno Dwi Rahayu 11180000123


2 Sefita Dinda Dwisuci 11180000338

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDONESIA


2021
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya kami
mampu menyelesaikan tugas resume ini guna memenuhi tugas mata kuliah
Ekonomi Islam.

Mengutip buku Konsep Ilmu Ekonomi (2020) terbitan Kemdikbud, pengertian


Ekonomi Islam atau Ekonomi Syariah secara umum adalah ilmu yang
mempelajari perilaku manusia dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidup
dengan berdasarkan syariat/nilai-nilai ketuhanan.

Dan kami selaku kelompok 12 telah menyusun makalah materi petemuan 12


Ekonomi Islam mengenai “ Konsep Konsumsi” yang dapat diselesaikan tepat
waktu.

Kami sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat dan
edukasi mengenai Konsep Konsumsi di dalam Mata Kuliah Ekonomi Islam.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca untuk kemudian makalah kami ini dapat kami
perbaiki dan menjadi lebih baik lagi.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya. Kami sadar bahwa makalah
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk
itu, kepada dosen pengampu kami meminta masukannya demi perbaikan pe
mbuatan makalah kami di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik
dan saran dari para pembaca.

Jakarta, 9 Desember 2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ada ungkapan yang terkenal dalam sistem ekonomi Kapitalis bahwa


“konsumen adalah raja”. Ungkapan ini digunakan untuk memberi dorongan
agar dalam memberikan pelayanan posisi konsumen ditempatkan sebagai
“Raja”. Sisi kepuasan konsumen dijadikan perhatian yang utama, sehingga
jangan sedikitpun kebutuhannya terabaikan, yang mengakibatkan timbulnya
kekecewaan. Dalam batas tertentu, teori ini mungkin mengandung kebenaran.
Akan tetapi bila ditelusuri lebih dalam, konsumsi dalam perspektif ekonomi
Konvensional ini dipahami nampaknya sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan.
Pandangan ini meniscayakan bahwa segala keinginan konsumen ditempatkan
sebagai tujuan dan arah segala aktifitas perekonomian. Bahkan boleh jadi
melalui teori ini hakikat kebahagiaan manusia tercermin dalam kemampuan
mengkonsumsi segala apa yang dinginkan, akibatnya timbullah keserakahan,
penipuan, korupsi dan lain sebagainya yang pada gilirnnya bermuara kepada
terpenuhinya semua keinginan.
Dalam perspektif ekonomi islam, konsumsi bukan hanya sekedar memenuhi
kebutuhan individu, sebagai konsumen dalam rangka memenuhi perintah Allah,
tetapi lebih jauh berimplikasi terhadap kesadaran berkenaan dengan kebutuhan
orang lain. Oleh karenanya dalam konteks adannya keizinan untuk
mengkonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah, sekaligus terpikul tanggung
jawab untuk memberikan perhatian terhadap keperluan hidup orang-orang
yang tidak punya, baik yang tidak meminta maupun yang meminta, bahkan
untuk orang-orang yang sengsara dan fakir miskin. Konsumsi pada hakikatnya
adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Konsumsi
meliputi keperluan, kesenangan dan kemewahan. Kesenangan atau keindahan
diperbolehkan asal tidak berlebihan, yaitu tidak melampaui batas yang
dibutuhkan oleh tubuh dan tidak pula melampaui batas-batas makanan yang
dihalalkan sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-A’raf ayat 31
yang berbunyi.
Konsumsi bagi seorang muslim hanya sekedar perantara untuk menambah
kekuatan dalam menaati Allah, yang ini memiliki indikasi positif dalam
kehidupannya. Seseorang muslim tidak akan merugikan dirinya di dunia dan
diakhirat, karena memberikan kesempatan pada dirinya untuk mendapatkan
dan memenuhi konsumsinya pada tingkat melampaui batas, membuatnya sibuk
mengejar dan menikmati kesenangan dunia sehingga melalaikan tugas
utamanya dalam kehidupan ini. Dalam Islam, tujuan konsumsi bukanlah konsep
unilitas melainkankemaslahatan (maslahah). Konsep unilitas sangat subjektif
karena bertolak belakang pada pemenuhan kepuasan atau wants, dan konsep
maslahah relatif lebih objektif karena bertolak pada pemenuhan kebutuhan
atau needs. Maslahah di penuhi berdasarkan pertimbangan rasional normatif dan
positif, maka ada kriteria yang objektif tentang suatu barang ekonomi yang
memliki maslahah ataupun tidak. Adapun unility ditentukan lebih subjektif
karena akan berbeda antara satu orang dengan orang lainnya.

Dalam komsumsi mangasumsikan bahwa konsumen memilih barang dan


jasa yang memberikan maslahah. Hal ini sesuai dengan rasionalaitas Islam bahwa
setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang diperolahnya.
Keyakinan bahwa ada kehidupan dan pembalasan yang adil di akhirat serta
informasi yang berasal dari Allah adalah sempurna akan memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap kegiatan konsumsi. Demikian pula dalam hal
perilaku konsumsi, seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan
berkah suatu kegiatan yang di hasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen
merasakan adanya manfaat suatu kegiatan konsumsi ketika ia mendapatkan
pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau material. Di sisi lain, berkah
akan di perolehnya ketika ia mengonsumsi barang dan jasa yang dihalalkan
oleh shari’at Islam. Islam membolehkan seseorang muslim untuk menikmati
berbagai karunia kehidupan dunia, tidak seperti sistem kerahiban yang ada
dalam ajaran kristiani, sistem pertapaan Persia, ajaran Samsara Hindu dan
lainnya yang membekukan kehidupan dan manghambat kemajuan peradaban.
B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah, adapun rumusan


masalah dalam pembahasan ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan Konsep Konsumsi?


2. Apa hubungan antara konsumsi dan pendapatan?
3. Apa saja prinsip-prinsip dan fungsi konsumsi dalam ekonomi islam?
4. Bagaimana keseimbangan konsep konsumsi?
5. Apa saja dampak nilai-nilai Islam dalam konsumsi?

C. TUJUAN

Dari rumusan masalah diatas dapat dirumuskan beberapa tujuan


pembahasan. Adapun tujuannya yakni sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian Konsep Konsumsi.
2. Mengetahui hubungan antara konsumsi dan pendapatan.
3. Mengetahui saja prinsip-prinsip konsumsi dalam ekonomi islam.
4. Mengetahui saja fungsi konsumsi dalam ekonomi islam.
5. Mengetahui bagaimana keseimbangan konsep konsumsi.
6. Mengetahui apa saja dampak nilai-nilai Islam dalam konsumsi.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konsep Konsumsi

2.1.1 Pengertian Konsumsi

Dalam pendekatan ekonomi Islam, konsumsi adalah permintaan sedangkan


produksi adalah penawaran atau penyediaan. Perbedaan ilmu ekonomi
konvensional dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara
pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui
kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi konvensional. Islam
adalah agama yang ajarannya mengatur segenap perilaku manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam
mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatankegiatan konsumsi yang
membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam
mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku
konsumsi yang sesuai dengan ketentuan alQur’an dan as-Sunnah ini akan
membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya. Syari’at
Islam menginginkan manusia mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Imam
Shatibi menggunakan istilah maslahah, yang maknanya lebih luas dari sekedar
utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah
merupakan sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-
elemen dan tujuan-tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini.
Menurut Imam Al-Ghazali mengatakan ada lima kebutuhan dasar yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan manusia dan kesejahteraan masyarakat tergantung
pada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan, yaitu:

1. Kehidupan atau jiwa (al nafs),


2. Properti atau harta (al-mal),
3. Keyakinan (al-din),
4. Intelektual (al-aql),
5. Keluarga atau keturunan (al-nasl).

Untuk menjaga kontinuitas kehidupan, maka manusia harus memelihara


keturunannya (al-nasl/posterity). Meskipun seorang muslim meyakini bahwa
horizon waktu kehidupan tidak hanya menyangkut kehidupan dunia melainkan
hingga akhirat, tetapi kelangsungan kehidupan dunia amatlah penting. Kita harus
berorientasi jangka panjang dalam merencanakan kehidupan dunia, tentu saja
dengan tetap berfokus kepada kehidupan akhirat. Oleh karenanya, kelangsungan
keturunan dan keberlanjutan dari generasi ke generasi harus diperhatikan. Ini
merupakan suatu kebutuhan yang amat penting bagi eksistensi manusia.
2.1.2 Hubungan antara Konsumsi dan Pendapatan

Dalam buku Teori Ekonomi dan Penerapannya di Asia (1981) karya Dr


Mubyarto, setiap pertambahan pendapatan akan menyebabkan pertambahan
konsumsi dan pertambahan tabungan.Keynes menekankan bahwa bagi suatu
perekonomian tingkat pengeluaran konsumsi oleh rumah tangga bervariasi secara
langsung dengan tingkat pendapatan disposable dari rumah tangga tersebut.
Hubungan antara konsumsi dan pendapatan ini dikenal dengan fungsi konsumsi
dan secara umum ditulis dengan persamaan sebagai berikut (Nanga, 2001).
Hubungan antara besarnya konsumsi dan pendapatan disebut sebagai fungsi
konsumi. Fungsi konsumsi adalah fungsi yang menunjukan hubungan besarnya
konsumsi dengan pendapatan. Sedangkan hubungan antara besarnya tabungan dan
pendapatan disebut sebagai fungsi tabungan. Fungsi tabungan menunjukkan
hubungan besarnyan tabungan dengan pendapatan.

2.1.3 Prinsip Konsumsi Dalam Islam

Menurut Mannan (2012: 101) ada lima prinsip dalam melakukan kegiatan
konsumsi yang dideskripsikan sebagai berikut:
1. Prinsip Keadilan

Syariat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari rezeki
secara halal dan tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan minuman, yang
terlarang adalah darah, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi,
daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain Allah. (QS. Al-
Baqarah: 173)

2. Prinsip Kebersihan

Syariat yang kedua ini tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an maupun
Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor
ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang
diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari semua
yang diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.
3. Prinsip Kesederhanaan

Prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makanan dan minuman


adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara
berlebihan.

4. Prinsip Kemurahan Hati


Dengan menaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita
memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan
hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan
yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang
kuat dalam tuntutan-Nya, dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang menjamin
persesuaian bagi semua perintah-Nya.
5. Prinsip Moralitas
Bukan hanya mengenai makanan dan minuman langsung tetapi dengan
tujuan terakhirnya, yakni untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai moral dan
spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum
makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan. Dengan
demikian ia akan merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan-
keinginan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan
nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia.

2.1.4 Fungsi Konsumsi

1) Menghabiskan atau Mengurangi nilai Guna Suatu Barang


Hal-hal yang termasuk ke dalam klasifikasi mengurangi nilai guna suatu
barang dan jasa secara sekaligus adalah barang-barang yang habis pakai atau tidak
barang-barang yang tidak dapat bertahan lama. Yaitu seperti makanan dan
minuman. Karena jika tidak dihabiskan dalam waktu sekaligus, maka bahan-
bahan tersebut akan rusak, basi, dan kadaluarsa sehingga tidak memiliki nilai
guna lagi.

2) Mengurangi Nilai Guna Suatu Barang dan Jasa Secara Bertahap


Hal-hal yang termasuk ke dalam klasifikasi mengurangi nilai guna suatu
barang dan jasa secara bertahap adalah misalnya penggunaan barang yang tidak
habis dalam jangka waktu singkat. Yaitu seperti mobil, motor, pakaian, furniture
rumah tangga seperti meja, kursi, lemari, dan sebagainya. Untuk mengurangi nilai
guna barang-barang tersebut memerlukan waktu yang cukup lama dan berta
3) Pemenuhan Kebutuhan Jasmani dan Rohani
Adanya tujuan utama dalam sebuah kegiatan pada konsumsi manusia adalah
untuk memenuhi kebutuhan fisik dan mental mereka. Kebutuhan fisik seperti
minum atau makan, olahraga dan lainnya. Sambil melakukan kebutuhan spiritual
seperti hiburan, membaca, ibadah, buku dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan
dengan memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani kita, beban yang ada di tubuh
serta pikiran kita akan lebih diringankan. Dalam buku Apotek Rabbani: Kiat Sehat
Jasmani & Rohani ini akan dijelaskan mengenai kiat-kiat dari Al-Qur’an dalam
mengobati hati dan jasmani.

4) Sebagai Titik Awal dan Akhir Kegiatan Ekonomi


Perilaku konsumsi masyarakat juga menempati posisi penting dalam
kegiatan ekonomi karena berperan sebagai titik awal sekaligus titik akhir kegiatan
tersebut. Seseorang yang menginginkan ponsel baru, misalnya, akan membeli
ponsel tersebut dan memulai suatu transaksi dalam kegiatan ekonomi. Setelah
ponsel dimiliki dan keinginannya terpenuhi, kegiatan ekonomi pun otomatis
berakhir pada titik itu.

2.1.5 Keseimbangan Konsumen

Dalam teori perilaku konsumen, terdapat istilah keseimbangan konsumen


atau konsumen ekuilibrium. Dilansir dari Lumen learning, keseimbangan
konsumen adalah kombinasi barang dan jasa yang memaksimalkan utilitas
(kepuasan) total individu. Keseimbangan konsumen terjadi saat ia merasa dalam
kepuasan maksimum sehingga tidak berniat mengubah tingkat konsumsinya.

Keseimbangan menjadi prinsip penting dalam ajaran Islam yang kemudian


dapat dikembangkan menjadi dasar rancang bangun ekonomi Islam. Untuk
menjelaskan konsep keseimbangan konsumen yang bersumber dalam al-Qur’an,
tulisan ini akan menggunakan pendekatan integral (unitied approuch) yang
digagas oleh Muhammad Anas Zarqa terutama dari tulisannya, Islamiation of
Economics: The Concept and Metodology. Menggunakan pendekatan unity
approuch yang digagas Anas Zarqa’, nampak cukup relevan untuk memahami
surat al-Furqan ayat 67 perspektif ekonomi. Ayat ini menjadi indikasi bahwa tidak
ada larangan bagi seorang muslim untuk memiliki kekayaan. Seseorang
hendaknya mampu mengendalikan kekayaan bukan kekayaan yang
mengendalikan manusia. Secara lengkap surat al-Furqan ayat 67 berbunyi :
Dari ayat di atas terdapat kata kunci penting untuk dijadikan landasan dalam
membangun teori consumer equilibrium:

1. Infaq

Istilah infaq itu sangat luas cakupannya, bukan hanya dalam masalah zakat
atau sedekah, tetapi termasuk juga membelanjakan harta, memberi nafkah bahkan
juga mendanai suatu hal, baik bersifat ibadah atau pun bukan ibadah. Termasuk
yang halal atau yang haram, asalkan membutuhkan dana dan dikeluarkan dana itu,
semua termasuk dalam istilah infaq. Jadi orang yang beli minuman keras yang
haram hukumnya bisa disebut mengifaqkan uangnya. Orang yang membayar
pelacur untuk berzina, juga bisa disebut menginfaqkan uangnya. Demikian juga
orang yang menyuap atau menyogok pejabat juga bisa disebut menginfaqkan
uangnya.

2. Israf

Kata infaq merupakan bentuk kata benda dari asrafa-yusrifu yang berarti
alkhuruj ‘an al-had (keluar dari batas). Kata israf dalam al-Qur’an disebut
sebanyak 23 kali dengan konteks yang berbeda-beda seperti tindakan berlebihan
berkait dengan makanan dan minuman, berlebihan terhadap diri sendiri,
bersedekah, berperang dan kekuasaan.

3. Qatr

Kata qatr ada bentuk kata benda dara qatara-yaqturu bermakna terlalu hemat
dalam membelanjakan harta. Kata ini adalah lawan dari kata israf yang juga dapat
mengandung maksud memberi kurang dari apa yang dapat diberikan sesuai
dengan keadaan pemberi dan penerima (Shihab, 2002: 533). Kata ini juga
disepadanakan dengan kata bukhl atau bakhil dalam bahasa Indonesia. Secara
lebih luas kedua kata ini bisa berarti menahan dari memperoleh atau
mengeluarkan dari apa yang sewajarnya dan mencukupi.

4. Qawam

Kata ini dalam tarkib ayat merupakan tanshish dara kalimat “apabila mereka
menafkahkan hartanya tidak berlebihan dan tidak pula kikir”. Maksud dari kata itu
adalah larangan sikap melampaui batas (ifrath wa tafrith), yaitu berlebihan dan
kikir dan sikap ini disebut tawassuth (pertengahan) atau ‘adl (adil).
Pengertian qawam menurut al-Qurtubi telah dijelaskan oleh al-Qur’an sendiri
dalam surat al-Isra’ ayat 29:

Qawam menjadi kata kunci dalam tulisan ini untuk membangun teori
tentang consumer equilibrium (keseimbangan konsumen) dalam ekonomi Islam
sebagai telah jamak dikenal dalam ekonomi konvensional. Sebagaimana telah
dijelaskan tentang alasan konsumen memilih suatu barang, maka dalam Islam
harus dilakukan modifikasi dan penambahan yaitu :

a) Barang yang digunakan berinfak harus dalam kategori halal dan thayib. Dalam
Islam konsumen dibatasi oleh aturan-aturan syariat, ada beberapa barang yang
di haramkan sehingga tidak bisa di konsumsi. Karenanya konsumen hanya
boleh mengonsumsi barang-barang halal baik proses maupun barangnya.
Barang-barang yang thayib juga harus di masukkan, sebab belum tentu barang
yang halal itu thayib. Contoh, mengonsumsi rokok. Manfaat yang di dapatkan
lebih kecil ketimbang kerugian yang di terima.

b) Konsumen harus membelanjakan hartanya sesuai dengan kebutuhan dan


kemampuan yang di miliki. sebagaimana di jelaskan dalam surat athThalaq
(65) ayat 67 dan al-Baqarah 195 dan Isra’: 29: c

c) Membelanjakan harta tidak hanya untuk keperluan dunia semata, melainkan


juga turut membelanjakan harta di jalan Allah SWT dan di niatkan untuk
mendapatkan ridha dari-Nya sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Isra’ ayat
26 dan surat al-Furqan ayat 67.

d) Konsumen muslim akan mempunyai tingkat konsumsi yang lebih kecil di


bandingkan dengan konsumen non-muslim. Hal ini di karenakan konsumen
muslim hanya diperbolehkan mengonsumsi barang yang halal dan thayyib saja
serta adanya variabel zakat sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Baqarah
ayat 173: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika di sembelih) di sebut (nama) selain
Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak
menginginkan dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“.
e) Seorang konsumen muslim tidak menumpuk atau menimbun kekayaan melalui
tabungan saja, tetapi harus melakukan investasi yang dapat mengembangkan
atau memacu sirkulasi uang dalam rangka memacu dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Karena tabungan yang tidak di sirkulasikan akan
terkena pengurangan oleh zakat. Sebagaimana dijelaskan dalam surat at-
Taubah ayat 34: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, dan
tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksaan yang pedih.”

f) Konsumen muslim harus mempunyai prinsip lebih banyak tidak selalu lebih
baik (the more isn’t always better). Konsumen harus menyadari bahwa barang
yang sebenarnya halal dan thayib sekalipun, apabila di konsumsi dalam jumlah
yang besar selain mubazir, tentu akan mendatangkan kerugian bukannya
kepuasan. contoh, daging sapi adalah barang yang halal dan thayib, namun
daging sapi dapat mendatangkan kerugian berupa penyakit kolestrol apabila di
konsumsi secara berlebih-lebihan. Sebagaimana di jelaskan dalam surat al-
An’am ayat 141: “Dan Janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.“

2.1.6 Hukum Permintaan dan Penawaran

1. Hukum Permintaan

Secara umum permintaan adalah banyaknya jumlah barang yang diminta


pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan
tertentu. Hukum permintaan menyatakan “bila harga suatu barang naik, maka
permintaan barang tersebut turun, sebaliknya jika harga suatu barang turun
maka permintaan terhadap suatu barang tersebut akan naik”.

Konsep permintaan dalam islam menilai suatu komoditi (barang atau jasa)
tidak semuanya bisa dikonsumsi maupun digunakan, dibedakan antara yang halal
dengan yang haram .Oleh karena itu, dalam teori permintan Islami membahas
permintaan barang halal, sedangkan dalam permintaan konvensional, semua
komoditi dinilai sama, bisa dikonsumsi dan digunakan. QS. Al Maidah: 87-88
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang telah
dihalalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas“.Menurut Ibnu
Taimiyah, permintaan suatu barang adalah hasrat terhadap sesuatu, yang
digambarkan dengan istilah raghbah fil al-syai. Yang diartikan sebagai Jumlah
barang yang diminta.secara garis besar, permintaan dalam ekonomi Islam sama
dengan ekonomi konvensional, namun ada batasan batasan tertentu yang harus
diperhatikan oleh individu muslim dalam keinginannya. Islam mengharuskan
untuk mengkonsumsi barang yang halal lagi thoyyib. Aturan Islam melarang
seorang muslim memakan barang yang haram, kecuali dalam keadaan darurat
dimana apabila barang tersebut tidak dimakan, maka akan berpengaruh pada
kesehatan muslim tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan Ibnu Taimiyah dalam kitab


Majmu’ Fatawa menjelaskan, bahwa hal-hal yang mempengaruhi permintaan
suatu barang antara lain:

1) Keinginan atau selera masyarakat terhadap suatu barang yang berbeda


daan selalu berubah-ubah. Dimana ketika masyarakat telah memiliki selera
terhadap suatu barang maka hal ini akan mempengaruhi jumlah
permintaan terhadap barang tersebut.

2) Jumlah para peminat terhadap suatu barang. Jika jumlah masyarakat yang
menginginkan barang tersebut semakin banyak, maka harga barang
tersebut akan semakin meningkat.

3) Kualitas pembeli (al-mu’awid). Dimana tingkat pendapatan merupakan


salah satu cirri kualitas pembeli yang baik. Semakin besar tingkat
pendapatan, semakin tinggi kualitas manyarakat untuk membeli.

4) Lemah atau kuatnya kebutuhan suatu barang. Apabila kebutuhan terhadap


suatu barang itu tinggi maka permintan terhadap barang itu juga tinggi.

5) Cara pembayaran (tunai atau angsuran).Jika pembelian barang tersebut


dengan transaksi tunai, biasanya permintaannya lebih tinggi.

6) Besarnya biaya transaksi. Apabila biaya transaksi dari suatu barang


rendah, maka permintaan akan meningkat.

2. Hukum Permintaan

Penawaran (supply) dalam ilmu ekonomi adalah banyaknya barang atau jasa
yang tersedia dan dapat ditawarkan oleh produsen kepada konsumen pada setiap
waktu tertentu. Hukum penawaran menerangkan apabila harga sesuatu barang
meningkat, kuantitas barang ditawar akan meningkat dan apabila harga sesuatu
barang menurun, kuantitas barang yang ditawar akan menurun.

Membahas teori penawaran Islami, kita harus kembali kepada sejarah


penciptaan manusia.Bumi dan manusia tidak diciptakan pada saat yang
bersamaan.Dalam memanfaatkan alam yang telah disediakan Allah bagi keperluan
manusia, larangan yang harus dipatuhi adalah “Janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi”.Larangan ini tersebar di banyak tempat dalam Al-
Qur'an dan betapa Allah sangat membenci mereka yang berbuat kerusakan di
muka bumi. Dalam perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma
moral Islam sehingga nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi.
Demikian juga cara untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan
dengan norma moral Islam yang sellau menemaninya ke mana saja dan di mana
saja. Karena itu, semua barang dan jasa yang diproduksi dan ditawarkan ke pasar
mencerminkan kebutuhan riil dan sesuai dengan tujuan syariah itu sendiri
(maqoshidu syariah).

Adapun faktor-faktor yang lain yang mempengaruhi penawaran terhadap


suatu barang:

1) Biaya dan teknologi.

2) Biaya dan teknologi adalah dua konsep yang sangat erat berkaitan satu sama
lain. Yang dimaksud dengan biaya adalah biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksi barang dan jasa mencakup baiaya tenaga kerja, biaya bahan
baku, jika sistem ekonomi konvensional dalam dalam operasionalnya.

3) Teknologi adalah penemuan dan peningkatan teknologi yang diterapkan


untuk menurunkan biaya produksi contohnya adalah penggunaan robot dan
komputer.Jika diterapkan teknologi baru dan sebagainya.

4) Jumlah penjual memiliki dampak langsung terhadap penawaran makin


banyak jumlah penjual yang mampu menjual pada tingkat harga tertentu
makin tinggi penawaran.

5) Dugaan tentang masa depan

6) Aspek dugaan atau ekspetasi teerhadap masa depan mencakup dugaan


mengenai perubahan harga dari barang tersebut. Misalnya, jika penjual
menduga bahwa harga barangnya akan meningkat dimasa depan, ia akan
mengurangi penawarannya pada saat ini. Akibatnya penawarannya berkurang.
Hal ini dilarang oleh nabi, karena seperti nanti yang akan kita lihat, perilaku
ini mengakibatkan harga dipasar melonjak.

7) Kondisi alam.

8) Kondisi alam seperti terjadi banjir, gempa bumi dan sebagainya.Bisa


mengakibatkan penawaran barangbarang tertentu berkurang khususnya
barang-barang hasil pertanian.

Konsep Ekonomi Islam mengenai permintaan dan penawaran ini mirip


sekali dengan ekonomi konvensional, namun terdapat batasan-batasan individu
untuk berperilaku sesuai dengan aturan syariah. Dalam ekonomi Islam, norma dan
moral Islami merupakan prinsip dasar Islam dalam melakukan kegiatan ekonomi,
sehingga teori ekonomi yang terjadi menjadi berbeda dengan teori pada ekonomi
konvensional.

2.1.7 Dampak Nilai-Nilai Islam Dalam Konsumsi

Nilai Islami memiliki pengaruh yang signifikan positif terhadap preferensi


konsumen. Menurut Mannan (1995) dalam konsep maslahah konsumen, konsumsi
dibedakan menjadi dua, yaitu konsumsi yang bertujuan untuk ibadah dan
konsumsi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan seseorang.
Konsumen Muslim memiliki keunggulan dalam memenuhi kebutuhannya tidak
sekedar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi
kebutuhan sosial (spiritual) yang berbahagia. Dalam berkonsumsi, dimana setiap
muslim dianjurkan untuk mengedepankan prinsipprinsip konsumsi dalam Islam,
salah satu diantaranya yakni prinsip/aspek moralitas, yang mengandung arti
bahwa perilaku konsumen muslim harus tetap tunduk pada norma-norma yang
berlaku dalam Islam yang tercermin baik sebelum, sewaktu, dan sesudah
konsumsi.

Anda mungkin juga menyukai