Anda di halaman 1dari 18

ABSTRAK

Konsumsi merupakan faktor vital yang mendasari munculnya aktivitas


produksi dan distribusi. Konsep konsumsi pada sistem ekonomi kapitalis secara
langsung telah menyebabkan perilaku konsumsi masyarakat dunia lebih
cenderung kepada pemuasan keinginan (maximizing satisfaction of wants) dengan
memaksimalkan penggunaan barang dan jasa (maximizing utility) yang cenderung
bebas nilai, padahal konsep konsumsi yang baik dan benar telah di atur dalam
konsep konsumsi ekonomi Islam atau Syariah.
Para pemikir ekonom muslim telah merumuskan bahwa konsep konsumsi
telah di atur sedemikian rupa sesuai dengan norma, etika, dan prinsip dalam
konsumsi. Salah satu tokoh ekonom muslim tersebut adalah Muhammad Abdul
Mannan yang ikut mengatur konsep konsumsi supaya perilaku konsumen
terhindar dari pengaruh pengaruh konsumsi ekonomi barat (kapitalis).

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw
untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan manusia, baik aqidah, akhlak,
ibadah maupun muamalah.  Oleh karenanya berbagai tema telah dibicarakan oleh
al-Qur’an, termasuk persoalan ekonomi.
Seperti dimaklumi, bahwa salah satu persoalan penting dalam kajian ekonomi
Islam ialah masalah konsumsi. Konsumsi  berperan sebagai elan vital atau pilar
dalam kegiatan ekonomi seseorang (individu), perusahaan maupun negara.
Konsumsi adalah bagian akhir dari kegiatan ekonomi, setelah produksi dan
distribusi, karena barang dan jasa yang diproduksi hanya untuk dikonsumsi.
Kajian Islam tentang konsumsi sangat penting, agar seseorang berhati-hati
dalam menggunakan kekayaan atau berbelanja. Mungkin seseorang memiliki
kekayaan melimpah, tetapi apabila kekayaan tersebut tidak diatur pemanfaatannya
dengan baik akan menimbulkan permasalahan bagi yang mengkonsumsinya. Jadi
yang terpenting dalam hal ini adalah cara penggunaan yang harus diarahkan pada
pilihan-pilihan (preferensi)  yang mengandung maslahah (baik dan bermanfaat),
agar kekayaan tersebut dimanfaatkan pada jalan yang sebaik-baiknya agar
bermafaat bagi dirinya sebndiri maupun orang lain
Al-Quran dan hadits memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat jelas
tentang konsumsi, supaya perilaku konsumsi manusia menjadi terarah dan agar
manusia dijauhkan dari sifat yang hina karena perilaku konsumsinya. Perilaku
konsumsi yang sesuai dengan ketentuan Allah dan RasulNya akan menjamin
kehiduan manusia yang adil dan sejahtera deunia dan akhirat (falah).

B. Permasalahan
Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas bahwa kajian Islam tentang
konsumsi sangat penting, agar seseorang berhati-hati dalam menggunakan
kekayaan atau berbelanja dalam berkonsumsi agar tidak berlebih-lebih yaitu yang
sesuai denagn syriah. Oleh karena itu permasalahan yang dikaji di mini riset ini
adalah:
1. Bagaimanakah pola konsumsi yang dilakukan oleh mahasiswa/siswi jurusan
pendidikan ekonomi Universitas Negeri Medan?
2. Bagaimanakah pola konsumsi tersebut apakah sudah sesuai dengan syariah?

C. Tujuan
Tujuan dari penilitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagimana polo konsumsi mahasiswa/i pendidikan
ekonomi
2. Untuk mengetahui sudahkah pola konsumsi yang dilakukan mahasiswa/i
sudah dengan syariah.

II. KERANGKA TEORI


A. Pengertian Konsumsi
Dalam mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan di antara para pakar
ekonom, namun konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi
juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang
melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi
konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara
pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah.
Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah
kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan
kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari
konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli,
menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa
mereka. Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana
manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan
memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya.

B. Urgensi Konsumsi
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian,
karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa kegiatan konsumsi. Oleh karena itu,
kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia.
Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga
mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan.
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya
konsumsi akan mendorong terjadinya produksi (pembuatan produk) dan distribusi
(penyaluran produk). Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda
perekonomian.

C. Tujuan Konsumsi
Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana untuk
beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk
meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan
konsumsi itu bernilai ibadah sehingga manusia mendapatkan pahala. Sebab hal-
hal yang mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub)
kepada Allah, seperti: makan, tidur dan bekerja, jika dimaksudkan untuk
menambah potensi dalam mengabdi kepada Ilahi.
Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang mana
seorang muslim tidak bisa mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan yang
dikehendaki Allah dalam penciptaan manusia, yaitu merealisasikan pengabdian
sepenuhnya hanya kepada-Nya, sesuai firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menghamba kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)”.
Konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan
terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan manusia di dalamnya.
Berdasarkan konsep inilah, maka beredar dalam ekonomi apa yang disebut dengan
teori: “Konsumen adalah raja”. Di mana teori ini mengatakan bahwa segala
keinginan konsumen adalah yang menjadi arah segala aktifitas perekonomian
untuk memenuhi kebutuhan mereka sesuai kadar relativitas keinginan tersebut.
Bahkan teori tersebut berpendapat bahwa kebahagiaan manusia tercermin dalam
kemampuannya mengkonsumsi apa yang diinginkan.

D. Sifat-Sifat Atau Norma Etika Konsumen


Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan
dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain sebagai berikut:
1. Membelanjakan Harta Dalam Kebaikan Dan Menjauhi Sifat Kikir
Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun
atau sekedar dihitung-hitung. Akan tetapi digunakan untuk kemaslahatan manusia
sendiri serta sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta
dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.
2. Tidak Melakukan Kemubadziran
Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-
kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana
seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan
membelanjakannya untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus
diperhatikan adalah:
3. Menjauhi Berhutang
Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan dengan
pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk keadaan
yang sangat terpaksa atau dharurat.
4. Menjaga Asset Yang Mapan dan Pokok
Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya dengan cara
menjual asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi
mengingatkan, jika terpaksa menjual asset maka hasilnya hendaknya digunakan
untuk membeli asset lain agar berkahnya tetap terjaga.
5. Tidak Hidup Mewah dan Boros
Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan.
Hal ini sangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan merusak pribadi-
pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat. Kemewahan dan
pemborosan akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi nafsu
birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma dan etika agama
karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat
karena biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas
miskin. Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah
sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat
dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana
yang dilakukan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat luas.
6. Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-
benar bersifat pribadi.
7. Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan
pemerintah untuk mewujudkan semangat islam.
8. Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya
dilarang oleh agama Islam.
E. Konsep Penting Dalam Konsumsi
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu kebutuhan (hajat) dan
kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah
mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus
mendapatkan manfaat darinya.
Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang
sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?,
ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas
yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka sudah tentu motivasi
yang mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas konsumsi juga harus sesuai
dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan
manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.
1. Kebutuhan (Hajat)
Manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh, akal,
badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan
yang lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah
kebutuhan perut atau jasmani saja, namun, selain akan memberikan pengaruh
terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak pada unsur tubuh yang lain,
misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan setiap makanan yang
kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur tubuh”.
Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak selamanya
sesuatu yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur
tubuh. Maksud hakiki di sini adalah keterkaitan yang positif antara aktifitas
konsumsi dengan aktifitas terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri. Apabila
konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan kerusakan pada salah satu
atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki manusia. Karena
itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras, memakan anjing,
dan sebagainya dan seterusnya.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga
dibebani kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu sebuah aktivitas
berkelanjutan dan terus berkembang yang menuntut pengembangan seluruh
potensinya disertai keseimbangan penggunaan sumber daya yang ada. Artinya,
Islam memandang penting pengembangan potensi manusia selama berada dalam
batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga arti kata kebutuhan dalam
prespektif Islam adalah keinginan manusia menggunakan sumber daya yang
tersedia guna mendorong pengembangan potensinya dengan tujuan membangun
dan menjaga bumi dan isinya.

2. Kegunaan Atau Kepuasan (Manfaat)


Sebagaimana penjelasan kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak
bahkan menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai
perasaan rela yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang.
Rela yang dimaksud di sini adalah kemampuan seorang konsumen untuk
membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga
yang berbeda.
Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di
atas, yaitu pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai
interdependensi antar satu dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang
untuk membeli suatu barang sangat tergantung pada pemasukan yang dimilikinya.
Kesesuaian di antara keduanya akan menciptakan kerelaan dan berpengaruh
terhadap penciptaan perilaku konsumsi itu sendiri. Konsumen yang rasional selalu
membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga
tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.
Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan
terminologi yang dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah
berbeda? Beberapa ayat al-Qur’an  mengisyaratkan bahwa manfaat adalah
antonim dari bahaya dan terwujudnya kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian
ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah barang yang
dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan lebih dari itu,
barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan,
faidah dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya
bisa dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat
merupakan cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal
yang tidak berpotensi mendatangkan dampak negatif di kemudian hari.

F. Prinsip - Prinsip Konsumsi


Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip
dasar, yaitu:
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan
tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara
halal dan tidak bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh
menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta
menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan
tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi.
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169).
Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak
haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang
yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk
dimakan.  Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap
perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.

2. Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat
merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok
untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera.
Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah.
Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau
bahkan merusak.
“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah
memakannya” (HR Tarmidzi). 
Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak
kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera.  Nabi juga mengajarkan agar
tidak meniup makanan:
“Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam
gelas” (HR Bukhari).

3. Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan
pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini
mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung
memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru
menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi
yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien
dan efektif secara individual maupun sosial.
“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7:
31).
Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi
jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan
berpengaruh pada perut.

4. Prinsip Kemurahan Hati


“Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan
minuman untuk manusia” (Qs al-Maidah, 5: 96). 
Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. 
Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan
minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian
kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika
mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena
kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan
yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk
meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah memberikan anugrah-
Nya bagi manusia.

5. Prinsip Moralitas
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai
oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata-mata
memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk
keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral
dan spiritual.  Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum
makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.

G. Kaidah-Kaidah Konsumsi
Konsumen non muslim tidak mengenal istilah halal atau haram dalam
masalah konsumsi. Karena itu dia akan mengkonsumsi apa saja, kecuali jika dia
tidak bisa memperolehnya, atau tidak memiliki keinginan untuk
mengkonsumsinya.
Adapun konsumen muslim berkomitmen dengan kaidah-kaidah dan hukum-
hukum yang disampaikan dalam syariat untuk mengatur konsumsi agar mencapai
kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin, dan mencegah penyelewengan dari
jalan kebenaran dan dampak madharatnya, baik bagi konsumen sendiri maupun
yang selainnya.
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi: Kaidah
Syariah. Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan
konsumsi di mana terdiri dari:
1. Kaidah Akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sebagai sarana
untuk ketaatan/beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai
makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya
diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya. Jika seorang muslim
menikmati rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya, maka demikian itu
bertitik tolak dari akidahnya bahwa ketika Allah memberikan nikmat kepada
hamba-hamba-Nya, maka Dia senang bila tanda nikmat-Nya terlihat pada
hamba-hamba-Nya.
2. Kaidah Ilmiah, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu
tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukam-hukum yang berkaitan
dengannya, apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau
dari zat, proses, maupun tujuannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3. Kaidah Amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang
sebelumnya, maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai
konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami
tersebut, seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia
akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.
4. Kaidah Kuantitas, yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi
dalam sisi kuantitas (jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang
dalam penentuan kuantitas ini memperhatikan beberapa faktor ekonomis,
sebagai berikut:
5. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara
menghamburkan harta (boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak
mubadzir, hemat. Boros dan pelit adalah dua sifat tercela, dimana masing-
masing memiliki bahaya dalam ekonomi dan sosial. Karena itu terdapat
banyak Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengecam kedua hal tersebut,
dan karena masing-masing keluar dari garis kebenaran ekonomi yang
memiliki dampak-dampak yang buruk.
6. Kesesuaian Antara Konsumsi dan Pemasukan, artinya dalam
mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya,
bukan besar pasak daripada tiang.
7. Penyimpanan (Menabung) dan Pengembangan (Investasi),artinya tidak
semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk
kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
8. Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi, yaitu di mana konsumen
harus memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak
terjadi kemudharatan, yaitu:
 Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat
hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan agamanya serta
orang terdekatnya, yakni nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang dapat
mewujudkan lima tujuan syariat (yakni memelihara jiwa, akal, agama,
keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan manusia
tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan,
minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
 Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas
hidup yang lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan
kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi
sebelum kebutuhan primer terpenuhi.
 Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan
kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini
tergantung pada bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder.
 Kaidah Sosial, yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh
dalam kuntitas dan kualitas konsumsi, yakni memperhatikan lingkungan
sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam
masyarakat, di antaranya:
a. Kepentingan Umat, yaitu saling menanggung dan menolong
sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu
anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan merasakan
sakitnya.
b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi
apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat
sorotan di masyarakatnya.
c. Tidak Membahayakan Orang Lain, yaitu dalam mengkonsumsi justru
tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain.
H. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Konsumsi
Pendapatan memainkan yang sangat penting dalam teori konsumsi dan sangat
menentukan tingkat konsumsi. Selain pendapatan, sesungguhnya konsumsi
ditentukan juga oleh factor-faktor lain yang sangat penting, antara lain adalah:
1. Selera.
2. Faktor sosial ekonomi, misalnya: umur, pendidikan, pekerjaan, dan keadaan
keluarga.
3. Kekayaan.
4. Keuntungan atau kerugian capital.
5. Tingkat bunga.
6. Tingkat harga.

III. METODE PENELITIAN


Ditinjau dari jenis datanya pendekatan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan
penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6).
Adapun jenis pendekatan penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif
yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada
sekarang berdasarkan data-data. Jenis penelitian deskriptif dan kualitatif yang
digunakan pada penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi
mengenai transaksi yang terjadi dalam Medan mabel.Penelitian ini dilakukan
pada mahasiswa/i Fakaultas Ekonomi Univeritas Negeri Medan, Kegiatan
penelitian di lakukan secara kondisional.
Objek penelitian dapat dinyatakan sebagai situasi sosial penelitian yang ingin
diketahui apa yang terjadi di dalamnya. Pada obyek penelitian ini, peneliti dapat
mengamati secara mendalam aktivitas (activity) orang-orang (actors) yang ada
pada tempat (place) tertentu (Sugiyono, 2007:215). Obyek dari penelitian ini
adalah mahasiswa/i fakultas ekonomi jurusan pendidikan ekonomi Universitas
Negeri Medan.Subjek penelitian merupakan sumber data yang dimintai
informasinya sesuai dengan masalah penelitian.
Adapun yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subjek dari
mana data diperoleh (Suharsimi Arikunto, 2002:107). Untuk mendapat data yang
tepat maka perlu ditentukan informan yang memiliki kompetensi dan sesuai
dengan kebutuhan data (purposive). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana konsumsi yang terjadi dalam mahasiswa/i fakultas ekonomi apakah
sudah sesuai dengan syariah.
Burhan Bungin (ed) (2003: 42), menjelaskan metode pengumpulan data
adalah“dengan cara apa dan bagaimana data yang diperlukan dapat dikumpulkan
sehingga hasil akhir penelitian mampu menyajikan informasi yang valid dan
reliable”. Suharsimi Arikunto (2002:136), berpendapat bahwa “metode penelitian
adalah berbagai cara yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data
penelitiannya”.
Cara yang dimaksud adalah wawancara.Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Metode Wawancara. Wawancara adalah cara menghimpun bahan keterangan
yang dilakukan dengan tanya jawab secara lisan secara sepihak berhadapan
muka, dan dengan arah serta tujuan yang telah ditetapkan. Anas Sudijono
(1996: 82) ada beberapa kelebihan pengumpulan data melalui wawancara,
diantaranya pewawancar dapat melakukan kontak langsung dengan peserta
yang akan dinilai, data diperoleh secara mendalam, yang diinterview bisa
mengungkapkan isi hatinya secara lebih luas, pertanyaan yang tidak jelas bisa
diulang dan diarahkan yang lebih bermakna.Wawancara dilakukan secara
mendalam dan tidak terstruktur kepada subjek penelitian dengan pedoman
yang telah di buat. Teknik wawancara digunakan untuk mengungkapkan data
tentang bagaimana transaksi yang terjadi dalam toko tersebut dan pengeluran
yang dilakukan tersebut.
2. Instrumen Penelitian. Suharsimi Arikunto (2002: 136), menyatakan bahwa
instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih
baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah
diolah. Berdasarkan teknik pengumpulan data yang digunakan, maka instrumen
penelitian ini menggunakan panduan wawancara.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Pola Konsumsi Mahasiwa/i Jurusan Pendidikan Ekonomi Universitas
Negeri Medan
Begitu banyak kebutuhan seseorang atau mahasiswa/i yang jauh dari orang
tua yang harus memenuhi semua kebutuhan yang di perlukannya melalui uang
bulanan atau minggu yang diberi oleh orang tuanya atau kiriman dari orang
tuanya mereka harus dapat membelanjakan uang seoptimal mungkin walaupun
terkadang mereka juga sering melakukan hura-hura atau belanja yang berlebihan
tanpa memikirkan seberapa banyak pengeluaran mereka dan terkadang meraka
harus berbohong kepada orang tuanya, jadi dari wawancara yang kami lakukan
dengan 20 mahasiswa/i pendidikan ekonomi, mereka membelanjakan uang
bulanan atau mingguan yang mereka terima yaitu untuk di belanjakan sebagai
berikut:
1. Bayar uang kos,
2. Uang buku,
3. Membeli beras,
4. Bayar keriting,
5. Ongkos transportasi kekampus,
6. Print tugas,
7. Membeli kepeluan mandi dan mencuci,
8. Membeli alat kecantikan,
9. Dan sebagian ada yang menggunakanya untuk nonton bioskop, beli baju dan
makan-makan atau nongkrong dengan teman-temanya
10. Dan sebagiannya lagi juga ada yang menyisihkan uangnya untuk keperluan
mendadak.
Jadi data yang kami dapat yaitu pengeluaran-pengeluaran yang mereka
lakukan hanya sekitar 60% yang syariah baik yang dari mahasiswa/i muslim atau
non muslim, yang dimana dalam membelanjakan uang mereka sudah sesuai
dengan sifat norma dan etika konsumsi dalam islam, yang dimaksud uang yang
mereka dapat dari orang tua mereka yang kami dapat dari wawancara yaitu
1.000.000 - 1.500.000 dan itu mereka belanjakan yang terutama untuk keperluan
kuliah dan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dan ada juga yang
menabungkanya atau menyisihkan untuk berjaga-jaga.
Dan sekitar 40% mahasiswa/i yang kami wawancarai tidak sesuai dengan
syariah baik yang dari mahasiswa/i muslim atau non muslim, yang dimana mereka
sering membelanjakan uangnya dengan mendahulukan keperluan yang tidak
penting seperti belanja baju,nonton bioskop dll, sedangkan uang buku atau
keperluan kuliah lainya belum meraka penuhi dan terkadang uang yang diberi
oleh orang tua mereka setiap bulanya kuaang dari jumlah yang diberi, contoh dari
wawancara yang kami dapat uang bulanan yang merka terima sebesar 1.000.000-
1.500.000 dan 1.500.000-2.000.000, dan pengeluaran yang mereka lakukan bisa
sampai sekitar 2.200.000 atau lebih. Jadi tidak semua mahasiswa/i pendidikan
ekonomi yaitu syariah. Yang dikarenakan pergaulan atau perteman yang ada.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Simpulan
Dengan hasil dari wawancara dari mahasiswa/siswi pendidikan ekonomi
hanya sekitar 60% yang syariah dan 40% yang tidak syariah , jadi dari data
tersebut kita ketahui bahwasanya belum semua mahasiswa baik muslim atau non
muslim belum sesuai dengan konsumsi islam, baik dari sifat dan norma etika
konsumsi islam dan prinsip-prisip konsumsi islam dan akibat dari konsumsi
mereka yang tidak sesuai dengan syariah mereka sampai melakukan perbuatan
yang tidak terpuji yaitu dengan membohongi orang tua mereka sendiri.

B. Saran
Dengan kita mengetahui konsumsi yang syariah dan tidak syariah maka
kedepannya kita dapat memperbaiki pola konsumsi kita yaitu yang sesuai dengan
syariah. Agar kita tidak termasuk orang yang hina dan orang yang tidak
mempunyai sikap terpuji dengan berkonsumsi yang berlebih-lebihan. Jadi,
semoga kita menjadi orang yang pandai dalam menggunakan atau membelanjakan
pendapatan atau jajan yang kita terima dari orang tua.
DAFTAR PUSTAKA

Almizan. 2016. Konsumsi Menurut Ekonomi Islam dan Kapitalis. Padang: Jurnal
Lembaga Keuangan dan Perbankan. Vol. 1, No. 1.

Bahri, Andi. 2014. Etika Konsumsi Dalam Perspektif Ekonomi Islam. Parepare:
Jurnal Studia Islamika. Vol. 11, No. 2.

Ilyas, Rahmat. 2016. Etika Konsumsi dan Kesejahteraan Dalam Perspektif


Ekonomi Islam. Bangka Belitung: Jurnal Ekonomi. Vol. 1, No. 1.

Putriani, Yolanda Hani dan Afina Shafawati. 2015. Pola Perilaku Islami
Mahasiswa Muslim Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Airlangga
Ditinjau Dari Tingkat Religiusitas. Surabaya: Jurnal Ekonomi. Vol. 2, No.
7.

Rozaini, Noni dan Qomar Al Barawi. 2018. Ekonomi Syariah. Medan:


Madenatera.

Septiana, Aldila. 2015. Analisis Perilaku Konsumsi Dalam Islam. Madura: Jurnal
Studia Islamika. Vol. 1, No. 2.

Anda mungkin juga menyukai