Anda di halaman 1dari 10

PRINSIP KESEDERHANAAN DALAM EKONOMI ISLAM DI ERA

GLOBALISASI

Heni Andriani
Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri Antasari
Banjarmasin
Email: andrianih0@gmail.com

Abstract

This paper aims to explain the principle of simplicity in Islamic economics in the
era of globalization. The principle of simplicity in Islamic economics, the point is
that in consuming we should avoid being excessive or wasting wealth for nothing.
However, in the current era of globalization where there are various advances in
science and technology that have begun to affect the mindset and lifestyle of
humans, causing many changes. Humans tend to behave consumptively, because
they compete to follow trends without prioritizing their needs.

Keywords: Principle, Economic Verse, Islamic Economic.


Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan tentang prinsip kesederhanaan dalam


ekonomi islam di era globalisasi. Prinsip kesederhanaan dalam ekonomi islam,
maksudnya adalah dalam berkonsumsi hendaknya kita menghindari sikap
berlebihan atau menghamburkan harta tanpa guna . Akan tetapi, di era globalisasi
sekarang Dimana terdapat berbagai kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi
yang mulai mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup manusia, sehingga banyak
menimbulkan sebuah perubahan. Manusia cenderung berperilaku konsumtif ,
karena mereka bersaing untuk mengikuti trend tanpa mementingkan kebutuhan
mereka.

Kata Kunci: Prinsip, Ayat Ekonomi, Ekonomi Islam

1
A. Pendahuluan (Introduction)

1.1 Latar Belakang


Pada saat ini, kita telah memasuki era globalisasi. Dimana terdapat berbagai
kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi yang mulai mempengaruhi pola pikir
dan gaya hidup manusia, sehingga banyak menimbulkan sebuah perubahan.
Manusia cenderung berperilaku konsumtif , karena mereka bersaing untuk
mengikuti trend tanpa mementingkan kebutuhan mereka.
Dalam Islam, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia diatur dan
dimanfaatkan atas dasar kesejahteraan , bukan hanya sekedar keinginan. Ada dua
tipe pengeluaran dalam islam, yaitu pengeluaran yang dilakukan seorang muslim
untuk memenuhi kebutuhan duniawinya dan keluarga (pengeluaran dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan dunia namun memiliki efek pada pahala diakhirat). Dan
pengeluaran yang dikeluarkan semata-mata bermotif mencari kebahagiaan di akhirat.
Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk
mempermudah kegiatan ibadah kepada Allah. Karena apabila kita mengkonsumsi
sesuatu dengan niat untuk memelihara kesehatan serta meningkatkan energi dalam
tubuh untuk ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi itu
bernilai ibadah yang dengannya manusia akan mendapatkan pahala. Karena hal-hal
yang mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri kepada Allah,
seperti: makan, tidur dan bekerja, jika dimaksudkan untuk menambah potensi dalam
mengabdi kepada Ilahi. Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai sarana
wajib yang seorang muslim tidak bisa mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan
yang dikehendaki Allah dalam penciptaan manusia, yaitu merealisasikan
pengabdian sepenuhnya hanya kepada-Nya.
Dari hal tersebut pentingnya pembahasan mengenai bagaimana prinsip
kesederhanaan dalam ekonomi islam, agar kita tidak terpengaruh akan gemerlap
dunia serta keinginan semata yang tidak memberi manfaat untuk kehidupan akhirat
kita.

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana prinsip kesederhanaan dalam ekonomi Islam?
2. Bagaimana tantangan menerapkan prinsip kesederhaan di era globalisasi?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana prinsip kesederhanaan dalam ekonomi Islam.
2. Untuk mengetahui tantangan dalam menerapkan prinsip kesederhaan di era
globalisasi.
1.4 Kajian Teoritik
Prinsip (dari kata principia) berarti permulaan, titik awal yang darinya lahir
hal-hal tertentu. Prinsip dapat juga diartikan asas atau kebenaran yang menjadi
pokok dasar berpikir dan bertindak.

Kata “Sederhana” dalam Kamus Besar bahasa Indonesia diartikan :bersahaja,


tidak berlebih-lebihan (hidupnya selalu), dalam arti lain berarti pertengahan, tidak
banyak pernilik. Sifat yang melekat pada orang yang sederhana disebut dengan
“Kesederhanaan”.

Globalisasi adalah adanya saling ketergantungan antara satu bangsa dengan


bangsa lain, antara satu manusia dengan manusia lain melalui perdagangan,
perjalanan, pariwisata, budaya, informasi, dan interaksi yang luas sehingga batas-
batas negara menjadi semakin sempit.1

B. Metode Penelitian/Metode Kajian (Research Methode)


Penelitian ini terfokus pada penelitian kepustakaan (library research) atau studi teks.
Maka penelitian ini akan lebih memusatkan perhatian pada pengkajian-pengkajian terhadap
teks, dan termasuk jenis penelitian kualitatif. Sumber data terdiri dari data primer, yakni
Kitab Suci AlQur’an, yang dalam hal ini digunakan untuk menelusuri ayatayat al-Qur’an
yang membicarakan prinsip kesederhanaan dalam ekonomi islam.

C. Hasil dan Pembahasan (Finding Research)

1
Giddens, A. 1990. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press.
3
1. Prinsip Kesederhanaan dalam Ekonomi Islam
Prinsip Ekonomi dalam Islam adalah melakukan segala aktivitas ekonomi dengan
para pelaku ekonomi memegang teguh prinsip-prinsip dasar, yaitu Prinsip ilahiyah dimana
dalam ekonomi Islam kepentingan individu dan masyarakat memiliki hubungan yang
sangat erat sekali yaitu asas keselarasan, keseimbangan dan bukan persaingan , sehingga
akan menciptakan kegiatan ekonomi yang adil. Semua aktivitas manusia termasuk
ekonomi harus selalu bersandar kepada tuhan dalam prinsipnya. Secara garis besar ekonomi
Islam memiliki beberapa prinsip dasar yaitu Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber
pengaplikasianya.
Dalam bidang ekonomi atau Mu’malah al-Qur’an mengajarkan bagaimana cara
menjalankan kehidupan sehari-hari-hari dengan pola hidup yang sederhana. Manusia harus
menyadari bahwa pemilik yang sebernarnya atas segala sesuatu yang ada di langit maupun
di bumi adalah milik Allah SWT. Kelak setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban
atas apa yang dititipkan oleh Allah kepadanya.2 Sesuai dengan firman Allah dalam (QS al-
Anfal [8]:28).

Terjemahan: Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan
dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.
Prinsip kesederhanaan dalam ekonomi islam, maksudnya adalah dalam berkonsumsi
hendaknya menghindari sikap berlebihan karena sifat ini sangat dibenci oleh Allah SWT.
Konsumsi berlebih-lebihan merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal tuhan, hal
ini dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau (menghambur-
hamburkan harta tanpa guna) berarti menggunakan harta dengan cara yang salah, yakni,
untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar
hukum atau dengan cara yang tanpa aturan.3 Tabdzir juga berarti menghambur-hamburkan
kekayaan yang telah dianugerahkan hanya untuk memuaskan kebutuhan yang tidak

2
Novi Indriani Sutepu, prilaku konsumsi islam di indonesia, dosen FEB Universitas Syiah Kuala,
Jurnal Prespektif Ekonomi Darussalam, Vol 2 nomor 1 maret 2016
3
Monzer Kahf, The Islamic Economis: Analytical Study of the Functioning of the Islamic Economic
System, (Plainfield, Indiana: The Muslim Students' Association of the United States and Canada :1979), 24.

4
dihalalkan, keinginan yang haram yang tidak bermoral, seperti mabuk-mabukan, berjudi
dan lain sebagainya.4
Hidup sederhana adalah prilaku yang disesuaikan dengan keadaan dan realitas yang
ada. Prilaku atau gaya hidup ini mementingkan pemenuhan kebutuhan pokok (primer)
seperti pendidikan yang cukup, kesehatan jasmani dan rohani, tempat tinggal yang layak,
serta penunjang kebahagiaan dasar yang dibutuhkan. Kebutuhan erat kaitannya dengan
berbagai barang konsumsi yang setiap hari kita butuhkan untuk melangsungkan kehidupan.
Menurut As-Syathibi, rumusan kebutuhan disebut dengan istilah Maqhasid Syari’ah. Yaitu
yang berkaitan erat dengan keselamatan dan kesejahteraan umum yang meliputi
pemeliharaan 5 (lima) hal, yang disusun berdasarkan skala prioritasnya, yaitu:5
1. Hifdzu al-Din (menjaga/memelihara agama)
2. Hifdzu al-Nafs (menjaga jiwa)
3. Hifdzu u al-‘Aql (menjaga akal)
4. Hifdzu al-Nasl/al-’Irad (menjaga keturunan)
5. Hifdzu al-Mal (menjaga harta, baik dalam kepemilikan maupun dalam
pencariannya).
Berdasarkan skala-prioritas urgensi kebutuhan hidup seperti diuraikan di atas,
memunculkan tingkatan-tingkatan maslahah yang dibagi atas tiga bagian yaitu:6

1) Al-Maslahah al-Dharuriyyah adalah kebutuhan yang paling mendasar bagi


kehidupan manusia, dan karena itu wajib ada dan dilaksanakan sebagai syarat
mutlak terwujudnya kehidupan itu sendiri, jika hal yang bersifat dhorurot ini tidak
terwujud, niscaya kehidupan manusia akan punah. Oleh sebab itu kelima hal dasar
yang berupa pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta menjadi bagian
dari kemaslahatan ini.

2) Al-Maslahah al-Hajiyyah adalah segala hal yang menjadi kebutuhan primer manusia,
agar dapat hidup bahagia dan sejahtera baik di dunia maupun di akhirat, serta dapat
terhindar dari berbagai kesengsaraan. Jika kebutuhan primer ini tidak diperoleh,

4
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam jilid 2, terj. Soeroyo,dkk. (Jakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1995), 59.
5
Hamka Haq, Al-Syathibi AspekiTeologisiKonsepiMaslahahiDalamiKitab al-Muwafaqat, (Jakarta:
Erlangga, 2007), 95.
6
Haq , Al-Syathibi AspekiTeologisiKonsepiMaslahahiDalamiKitab al-Muwafaqat, hal. 103-105.

5
maka kehidupan manusia pasti akan mengalami kesulitan (masyaqat) meski tidak
sampai menyebabkan kepunahan.

3) Al-Maslahah al-Tahsiniyyah, merupakan kebutuhan hidup komplementer dan


sekunder yang berguna untuk menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia itu
sendiri. Jika kemaslahatan tahsiniyyah ini tidak dapat terpenuhi, maka kemaslahatan
hidup manusia akan terasa kurang sempurna dan kurang nikmat, meskipun tidak
menyebabkan kesengsaraan dan kepunahan hidup.

Perintah untuk hidup sederhana terdapat dalam (QS al-Maidah [5]:87).

Terjemahan : Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan apa yang
baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Hidup sederhana bukan berarti harus hidup dalam kemiskinan, melainkan sikap hati
yang selalu merasa puas atas nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah kepada
kita, selalu bersyukur, serta menghindar dari sikap-sikap yang berlebihan. Dalam istilah
modern, hidup sederhana dapat dilakukan dengan menerapkan gaya hidup yang
“minimalis”. Artinya, membeli barang-barang atau mengonsumsi makanan yang sesuai
kebutuhan, tidak berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan, dan menghindari kesenangan
materiil semata.

Ada beberapa prinsip-prinsip hidup sederhana, antara lain sebagai berikut:

1) Islam melarang hidup bermewah-mewahan


Islam melarang umatnya untuk berlaku bermegah-megahan atau Tarf, yakni sebuah
sikap berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan dalam menikmati keindahan dan
kenikmatan dunia. Bermewah mewahan akan menjadikan manusia cenderung lalai dari
beribadah dan menunaikan kewajibannya.

Dalam tafsir Fi Zhila’il Qur’an dijelaskan bahwa sesungguhnya kamu akan ditanya
tentang nikmat-nikmat itu, dari mana kamu peroleh?, kemana Kamu belanjakan?, apakah

6
kamu peroleh dengan ketaatan, dan dipergunakan untuk ketaatan atau kan diperoleh dengan
jalan maksiat lalu dihabiskan untuk kemaksiatan?.7

Atau sebagaimana Qorun dan pengikutnya yang Allah benamkan kedalam perut bumi
karena tidak mau berinfak dan menganggap rizki yang telah Allah berikan adalah hasil
kerja kerasnya sendiri. Dikisahkan Qorun dengan mengenakan pakaian mewah dan dengan
membawa pawai yang besar keluar rumah untuk memamerkan segala kemewahan yang ia
miliki.8 Orang-orang yang menyaksikan kemegahan yang di tampilkan oleh qorun tertipu
oleh gemerlapnya harta dan menginginkan kehidupan dan perhiasan dunia dan betapa
mereka tecengan dengan semua itu. Namun setelah mereka melihat azab yang ditimpakan
Allah kepada Qorun, barulah mereka sadar akan pedihnya azab akibat hidup bermegah-
megahan.

2) Tidak Boros, Berlebih-lebihan dan Tabdzir


Islam melarang perbuatan boros atau berlebih-lebihan (israf) dan mubazir (tabdzir).
Pemborosan berarti menggunakan harta untuk hal-hal yang melanggar hukum dan
melanggar syariat. Sementara mubadzir ialah membelanjakan harta tidak sesuai dengan
yang dibenarkan. hutang, kita harus kehilangan aset pokok kita, seperti rumah, kendaraan
atau bahkan kebun yang notabenenya adalh sumber penghasilan kita.

3) Larangan berperilaku Kikir


Kikir adalah sikap mental yang enggan mengeluarkan sebagian harta yang wajib
dikeluarkan, seperti membayar zakat, memberi nafkah keluarga, mengeluarkan infaq dan
sedeqah.9
4) Perintah untuk menjadi umat pertengahan

2. Tantangan menerapkan prinsip kesederhanaan dalam ekonomi Islam di era


globalisasi

Gaya hidup mewah adalah perusak individu dan masyarakat, karena menyibukan
manusia dengan hawa nafsu, melalaikannya dari hal-hal yang mulia dan akhlak yang luhur.
Disamping itu, membunuh semangat jihad. Ali Abd ar-Rasul juga menilai dalam masalah

7
Sayyid Qutb, Tafsil fi zhilalil qur’an, Jilid 12 ( Jakarta: Gema Insani, 2001) hal. 332
8
Dr.Hamid Ahmad Ath-Thahir, Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an (Jakarta: Ummul Qura2018) hal. 658
9
Glasee, Cyn‟i, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996), hal 190.

7
ini bahwa gaya hidup mewah (israf) merupakan faktor yang memicu terjadinya dekadensi
moral masyarakat yang akhirnya membawa kehancuran masyarakat tersebut.10

Semakin tinggi sebuah peradaban, maka masyarakat semakin terkalahkan oleh


kebutuhan fisiologik karena faktor-faktor psikologis. Selera, keangkuhan, motivasi untuk
pamer, dan sebagainya merupakan variabel yang dominan dalam menentukan bentuk
konkrit dari kebutuhan fisiologik. Peradaban materialistik barat telah menghancurkan
kesederhanaan dari kebutuhan konsumsi masyarakat.11

Menurut F. Lotfizadeh ada banyak variabel psikologis dan variabel sosial yang efektif
yang dapat memandu dan mempengaruhi keputusan konsumsi seseorang. Salah satu
variabel tersebut adalah budaya yang merupakan dasar dari perilaku konsumsi individu.
Budaya memiliki banyak variabel dan variabel paling penting dari budaya tersebut adalah
agama. Variabel ini dianggap sebagai variabel yang memiliki kekuatan untuk mengarahkan
seseorang sepanjang hidupnya, dalam agama Islam dikatakan bahwa agama merupakan
jalan hidup (way of life).12

Apabila manusia banyak dikendalikan oleh unsur hati dan ruhnya yang suci, maka
perilaku yang etis dan religius akan selalu tampak dalam kehidupan sehari-hari, kedamaian,
dan kemakmuran yang menjadi dambaan semua manusia di dunia ini akan selalu tercipta.
Sebaliknya jika nafsu yang mendominasi maka keserakahan merajalela, kehancuran
mengancam stabilitas kehidupan sosial.13

Oleh Karena itu, dalam menghadapi tantangan di era globalisasi. Sebagai manusia,
kita harus mampu mengatur serta mengendalikan hawa nafsu agar tidak bermegah-megahan,
berlebih-lebihan serta berperilaku sombong.

D. Penutup

Dalam bidang ekonomi atau Mu’malah al-Qur’an mengajarkan bagaimana cara


menjalankan kehidupan sehari-hari-hari dengan pola hidup yang sederhana. Manusia harus
menyadari bahwa pemilik yang sebernarnya atas segala sesuatu yang ada di langit maupun

10
Rozalinda, Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2014 ) h. 109.
11
Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, 45.
12
F. Lotfizadeh, “Religion and Family Structure: Two Factors Affecting on Consumer Decision Making Styles
in Iran, Int. J. Manag. Bus. Res., 3 (2), 2013,111-119.
13
Muhammad, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007): 77.

8
di bumi adalah milik Allah SWT. Prinsip kesederhanaan dalam ekonomi islam, maksudnya
adalah dalam berkonsumsi hendaknya menghindari sikap berlebihan karena sifat ini sangat
dibenci oleh Allah SWT. Konsumsi berlebih-lebihan merupakan ciri khas masyarakat yang
tidak mengenal tuhan, hal ini dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf
(pemborosan) atau (menghambur-hamburkan harta tanpa guna) .

Adapun tantangan dari berprinsip hidup sederhana di era sekarang adalah kita harus
mampu mengendalikan hawa nafsu agar tidak bermegah-megahan, berlebih-lebihan serta
berperilaku sombong. Wallahu a’ lam bishawab.

E. Daftar Pustaka (Bilioghrapy)

Giddens, A. 1990. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press.


Sutepu, Novi Indriani, prilaku konsumsi islam di indonesia, dosen FEB Universitas Syiah
Kuala, Jurnal Prespektif Ekonomi Darussalam, Vol 2 nomor 1 maret 2016
Kahf, Monzer, The Islamic Economis: Analytical Study of the Functioning of the Islamic
Economic System, (Plainfield, Indiana: The Muslim Students' Association of the
United States and Canada :1979), 24.
Rahman, Afzalur, Economic Doctrines of Islam jilid 2, terj. Soeroyo,dkk. (Jakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 1995), 59.
Haq, Hamka, Al-Syathibi AspekiTeologisiKonsepiMaslahahiDalamiKitab al-Muwafaqat,
(Jakarta: Erlangga, 2007), 95.

Qutb, Sayyid, Tafsil fi zhilalil qur’an, Jilid 12 ( Jakarta: Gema Insani, 2001) hal. 332
Ahmad Ath-Thahir, Dr. Hamid, Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an (Jakarta: Ummul
Qura2018) hal. 658
Cyn‟i, Glasee, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996), hal 190.
Rozalinda, Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2014 ) h. 109.
Abdul Mannan,Muhammad, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, 45.
F. Lotfizadeh, “Religion and Family Structure: Two Factors Affecting on Consumer
Decision Making Styles in Iran, Int. J. Manag. Bus. Res., 3 (2), 2013,111-119.
Muhammad, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007): 77.

9
10

Anda mungkin juga menyukai