GLOBALISASI
Heni Andriani
Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri Antasari
Banjarmasin
Email: andrianih0@gmail.com
Abstract
This paper aims to explain the principle of simplicity in Islamic economics in the
era of globalization. The principle of simplicity in Islamic economics, the point is
that in consuming we should avoid being excessive or wasting wealth for nothing.
However, in the current era of globalization where there are various advances in
science and technology that have begun to affect the mindset and lifestyle of
humans, causing many changes. Humans tend to behave consumptively, because
they compete to follow trends without prioritizing their needs.
1
A. Pendahuluan (Introduction)
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana prinsip kesederhanaan dalam ekonomi Islam?
2. Bagaimana tantangan menerapkan prinsip kesederhaan di era globalisasi?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana prinsip kesederhanaan dalam ekonomi Islam.
2. Untuk mengetahui tantangan dalam menerapkan prinsip kesederhaan di era
globalisasi.
1.4 Kajian Teoritik
Prinsip (dari kata principia) berarti permulaan, titik awal yang darinya lahir
hal-hal tertentu. Prinsip dapat juga diartikan asas atau kebenaran yang menjadi
pokok dasar berpikir dan bertindak.
1
Giddens, A. 1990. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press.
3
1. Prinsip Kesederhanaan dalam Ekonomi Islam
Prinsip Ekonomi dalam Islam adalah melakukan segala aktivitas ekonomi dengan
para pelaku ekonomi memegang teguh prinsip-prinsip dasar, yaitu Prinsip ilahiyah dimana
dalam ekonomi Islam kepentingan individu dan masyarakat memiliki hubungan yang
sangat erat sekali yaitu asas keselarasan, keseimbangan dan bukan persaingan , sehingga
akan menciptakan kegiatan ekonomi yang adil. Semua aktivitas manusia termasuk
ekonomi harus selalu bersandar kepada tuhan dalam prinsipnya. Secara garis besar ekonomi
Islam memiliki beberapa prinsip dasar yaitu Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber
pengaplikasianya.
Dalam bidang ekonomi atau Mu’malah al-Qur’an mengajarkan bagaimana cara
menjalankan kehidupan sehari-hari-hari dengan pola hidup yang sederhana. Manusia harus
menyadari bahwa pemilik yang sebernarnya atas segala sesuatu yang ada di langit maupun
di bumi adalah milik Allah SWT. Kelak setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban
atas apa yang dititipkan oleh Allah kepadanya.2 Sesuai dengan firman Allah dalam (QS al-
Anfal [8]:28).
Terjemahan: Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan
dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.
Prinsip kesederhanaan dalam ekonomi islam, maksudnya adalah dalam berkonsumsi
hendaknya menghindari sikap berlebihan karena sifat ini sangat dibenci oleh Allah SWT.
Konsumsi berlebih-lebihan merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal tuhan, hal
ini dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau (menghambur-
hamburkan harta tanpa guna) berarti menggunakan harta dengan cara yang salah, yakni,
untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar
hukum atau dengan cara yang tanpa aturan.3 Tabdzir juga berarti menghambur-hamburkan
kekayaan yang telah dianugerahkan hanya untuk memuaskan kebutuhan yang tidak
2
Novi Indriani Sutepu, prilaku konsumsi islam di indonesia, dosen FEB Universitas Syiah Kuala,
Jurnal Prespektif Ekonomi Darussalam, Vol 2 nomor 1 maret 2016
3
Monzer Kahf, The Islamic Economis: Analytical Study of the Functioning of the Islamic Economic
System, (Plainfield, Indiana: The Muslim Students' Association of the United States and Canada :1979), 24.
4
dihalalkan, keinginan yang haram yang tidak bermoral, seperti mabuk-mabukan, berjudi
dan lain sebagainya.4
Hidup sederhana adalah prilaku yang disesuaikan dengan keadaan dan realitas yang
ada. Prilaku atau gaya hidup ini mementingkan pemenuhan kebutuhan pokok (primer)
seperti pendidikan yang cukup, kesehatan jasmani dan rohani, tempat tinggal yang layak,
serta penunjang kebahagiaan dasar yang dibutuhkan. Kebutuhan erat kaitannya dengan
berbagai barang konsumsi yang setiap hari kita butuhkan untuk melangsungkan kehidupan.
Menurut As-Syathibi, rumusan kebutuhan disebut dengan istilah Maqhasid Syari’ah. Yaitu
yang berkaitan erat dengan keselamatan dan kesejahteraan umum yang meliputi
pemeliharaan 5 (lima) hal, yang disusun berdasarkan skala prioritasnya, yaitu:5
1. Hifdzu al-Din (menjaga/memelihara agama)
2. Hifdzu al-Nafs (menjaga jiwa)
3. Hifdzu u al-‘Aql (menjaga akal)
4. Hifdzu al-Nasl/al-’Irad (menjaga keturunan)
5. Hifdzu al-Mal (menjaga harta, baik dalam kepemilikan maupun dalam
pencariannya).
Berdasarkan skala-prioritas urgensi kebutuhan hidup seperti diuraikan di atas,
memunculkan tingkatan-tingkatan maslahah yang dibagi atas tiga bagian yaitu:6
2) Al-Maslahah al-Hajiyyah adalah segala hal yang menjadi kebutuhan primer manusia,
agar dapat hidup bahagia dan sejahtera baik di dunia maupun di akhirat, serta dapat
terhindar dari berbagai kesengsaraan. Jika kebutuhan primer ini tidak diperoleh,
4
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam jilid 2, terj. Soeroyo,dkk. (Jakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1995), 59.
5
Hamka Haq, Al-Syathibi AspekiTeologisiKonsepiMaslahahiDalamiKitab al-Muwafaqat, (Jakarta:
Erlangga, 2007), 95.
6
Haq , Al-Syathibi AspekiTeologisiKonsepiMaslahahiDalamiKitab al-Muwafaqat, hal. 103-105.
5
maka kehidupan manusia pasti akan mengalami kesulitan (masyaqat) meski tidak
sampai menyebabkan kepunahan.
Terjemahan : Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan apa yang
baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Hidup sederhana bukan berarti harus hidup dalam kemiskinan, melainkan sikap hati
yang selalu merasa puas atas nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah kepada
kita, selalu bersyukur, serta menghindar dari sikap-sikap yang berlebihan. Dalam istilah
modern, hidup sederhana dapat dilakukan dengan menerapkan gaya hidup yang
“minimalis”. Artinya, membeli barang-barang atau mengonsumsi makanan yang sesuai
kebutuhan, tidak berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan, dan menghindari kesenangan
materiil semata.
Dalam tafsir Fi Zhila’il Qur’an dijelaskan bahwa sesungguhnya kamu akan ditanya
tentang nikmat-nikmat itu, dari mana kamu peroleh?, kemana Kamu belanjakan?, apakah
6
kamu peroleh dengan ketaatan, dan dipergunakan untuk ketaatan atau kan diperoleh dengan
jalan maksiat lalu dihabiskan untuk kemaksiatan?.7
Atau sebagaimana Qorun dan pengikutnya yang Allah benamkan kedalam perut bumi
karena tidak mau berinfak dan menganggap rizki yang telah Allah berikan adalah hasil
kerja kerasnya sendiri. Dikisahkan Qorun dengan mengenakan pakaian mewah dan dengan
membawa pawai yang besar keluar rumah untuk memamerkan segala kemewahan yang ia
miliki.8 Orang-orang yang menyaksikan kemegahan yang di tampilkan oleh qorun tertipu
oleh gemerlapnya harta dan menginginkan kehidupan dan perhiasan dunia dan betapa
mereka tecengan dengan semua itu. Namun setelah mereka melihat azab yang ditimpakan
Allah kepada Qorun, barulah mereka sadar akan pedihnya azab akibat hidup bermegah-
megahan.
Gaya hidup mewah adalah perusak individu dan masyarakat, karena menyibukan
manusia dengan hawa nafsu, melalaikannya dari hal-hal yang mulia dan akhlak yang luhur.
Disamping itu, membunuh semangat jihad. Ali Abd ar-Rasul juga menilai dalam masalah
7
Sayyid Qutb, Tafsil fi zhilalil qur’an, Jilid 12 ( Jakarta: Gema Insani, 2001) hal. 332
8
Dr.Hamid Ahmad Ath-Thahir, Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an (Jakarta: Ummul Qura2018) hal. 658
9
Glasee, Cyn‟i, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996), hal 190.
7
ini bahwa gaya hidup mewah (israf) merupakan faktor yang memicu terjadinya dekadensi
moral masyarakat yang akhirnya membawa kehancuran masyarakat tersebut.10
Menurut F. Lotfizadeh ada banyak variabel psikologis dan variabel sosial yang efektif
yang dapat memandu dan mempengaruhi keputusan konsumsi seseorang. Salah satu
variabel tersebut adalah budaya yang merupakan dasar dari perilaku konsumsi individu.
Budaya memiliki banyak variabel dan variabel paling penting dari budaya tersebut adalah
agama. Variabel ini dianggap sebagai variabel yang memiliki kekuatan untuk mengarahkan
seseorang sepanjang hidupnya, dalam agama Islam dikatakan bahwa agama merupakan
jalan hidup (way of life).12
Apabila manusia banyak dikendalikan oleh unsur hati dan ruhnya yang suci, maka
perilaku yang etis dan religius akan selalu tampak dalam kehidupan sehari-hari, kedamaian,
dan kemakmuran yang menjadi dambaan semua manusia di dunia ini akan selalu tercipta.
Sebaliknya jika nafsu yang mendominasi maka keserakahan merajalela, kehancuran
mengancam stabilitas kehidupan sosial.13
Oleh Karena itu, dalam menghadapi tantangan di era globalisasi. Sebagai manusia,
kita harus mampu mengatur serta mengendalikan hawa nafsu agar tidak bermegah-megahan,
berlebih-lebihan serta berperilaku sombong.
D. Penutup
10
Rozalinda, Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2014 ) h. 109.
11
Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, 45.
12
F. Lotfizadeh, “Religion and Family Structure: Two Factors Affecting on Consumer Decision Making Styles
in Iran, Int. J. Manag. Bus. Res., 3 (2), 2013,111-119.
13
Muhammad, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007): 77.
8
di bumi adalah milik Allah SWT. Prinsip kesederhanaan dalam ekonomi islam, maksudnya
adalah dalam berkonsumsi hendaknya menghindari sikap berlebihan karena sifat ini sangat
dibenci oleh Allah SWT. Konsumsi berlebih-lebihan merupakan ciri khas masyarakat yang
tidak mengenal tuhan, hal ini dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf
(pemborosan) atau (menghambur-hamburkan harta tanpa guna) .
Adapun tantangan dari berprinsip hidup sederhana di era sekarang adalah kita harus
mampu mengendalikan hawa nafsu agar tidak bermegah-megahan, berlebih-lebihan serta
berperilaku sombong. Wallahu a’ lam bishawab.
Qutb, Sayyid, Tafsil fi zhilalil qur’an, Jilid 12 ( Jakarta: Gema Insani, 2001) hal. 332
Ahmad Ath-Thahir, Dr. Hamid, Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an (Jakarta: Ummul
Qura2018) hal. 658
Cyn‟i, Glasee, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996), hal 190.
Rozalinda, Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2014 ) h. 109.
Abdul Mannan,Muhammad, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, 45.
F. Lotfizadeh, “Religion and Family Structure: Two Factors Affecting on Consumer
Decision Making Styles in Iran, Int. J. Manag. Bus. Res., 3 (2), 2013,111-119.
Muhammad, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007): 77.
9
10