Abstrak
Teori konsumsi adalah teori dalam ilmu ekonomi yang menjelaskan bagaimana
seseorang memuaskan kebutuhannya dengan membeli atau memakai barang dan
jasa. Didalam Islam teori konsumsi adalah teori yang didasarkan pada kebutuhan,
bukan keinginan. Islam mengajarkan untuk berperilaku proporsional dalam
konsumsi. Tujuan utama dari konsumsi di dalam Islam adalah sebagai sarana untuk
beribadah kepada Allah. Imam Al-Ghazali di dalam karyanya, beliau mengemukakan
banyak konsep mengenai ilmu ekonomi dan konsumsi, yang saat ini menjadi
kiblatnya ekonomi islam modern. Beliau diantaranya mengemukakan konsep
maslahat, atau kesejahteraan sosial atau utilitas ("kebaikan bersama"), sebuah
konsep yang mencakup semua urusan manusia, baik urusan ekonomi maupun urusan
lainnya, dan yang membuat kaitan yang erat antara individu dengan masyarakat.
Sesungguhnya seorang penulis telah menyatakan bahwa Al-Ghazali telah
menemukan sebuah konsep fungsi kesejahteraan sosial yang sulit diruntuhkan dan
yang telah dirindukan oleh ekonom-ekonom modern."Dalam meningkatkan
kesejahteraan sosial, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasi semua
masalah baik yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitas,
kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya ia mendefinisikan
fungsi sosial dalam kerangka hierarki kebutuhan individu dan sosial. Menurut beliau,
maslahah dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan
lima tujuan dasar: (1) agama (al-dien), (2) jiwa (nafs); (3) keluarga atau keturunan
(nasl); (4) harta atau kekayaan (maal) dan (5) akal (aql). Ia menitik beratkan bahwa
sesuai tuntunan wahyu, "kebaikan dunia ini dan akhirat (maslahat al-din wa al-
dunya) merupakan tujuan utamanya."Lalu metode yang digunakan dalam penelitian
ini bersifat deskriptif analitik. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka
(library research) serta sejumlah data dan informasi yang diakses melalui media
masa.
1
PENDAHULUAN
Standar moral suatu perilaku ekonomi didasarkan pada ajaran Islam dan
bukan semata-mata didasarkan atas nilai-nilai yang dibangun oleh
kesepakatan sosial. Dan pada perspektif Islam, rasionalitas ekonomi lebih
dominan pada perspektif konsumen. Sifat-sifat konsumen lebih diperhatikan
dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil.
2
Konsumen rasional dalam ekonomi Islam tidak mengenal istilah israf dan
tabdzir. Perilaku konsumen dalam Perspektif ekonomi Islam adalah tidak
adanya sikap hidup yang berlebih-lebihan (boros) dan tidak pula kikir (Israf)
melainkan adalah ditengah-tengah yang berlandaskan kebutuhan, bukan
karena keinginan seseorang. Perilaku konsumsi dikatakan rasional apabila
dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, sebagaimana dalam Al-
Quran Surat Al-Israa ayat 29.
Tujuan Penulisan
Metode Penelitian
PEMBAHASAN
3
Pola konsumsi terdiri dari tiga, yaitu dharuriyyat, hajiyyat, tahsiniyyat.
Dharuriyyat disebut juga sebagai kebutuhan pokok/dasar, dimana
mengandung 5 elemen kehidupan. Yaitu jiwa, keyakinan, intelektual, harta dan
keturunan atau biasa disebut maqasid syariah. Dalam pemenuhan kebutuhan
dharuriyyat atau kebutuhan dasar ada beberapa syarat yang harus terpenuhi,
yaitu:
Adapun salah satu perilaku konsumen untuk beribadah kepada Allah SWT
adalah dengan memenuhi segala kebutuhan makan, pakaian dan tempat
tinggal dengan cukup/tidak berlebihan sebagai kebutuhan dasar. Karena
dalam mengonsumsi sesuatu, manusia harus mendapatkan 2 manfaat. Yaitu
manfaat untuk dunia dan juga akhirat.
4
Fungsi Dan Peningkatan Utilitas (Fungsi Utility)
Dari kurva indiferen di atas kombinasi titik memiliki tingkat kepuasan yang
sama. Titik A,B,C memiliki tingkat kepuasan yang sama sedangkan titik D dan
5
E memiliki tingkat kepuasan yang sama yang lebih tinggi dari titik A,B, dan C.
Semakin tinggi kurva indiferen maka semakin banyak barang yang
dikonsumsi, sehingga semakin tinggi kepuasan konsumen. Utilitas dikatakan
tinggi apabila utility function berada di sebelah kanan atas. Semakin ke kanan
atas utility function semakin baik. Misalnya, kepuasan yang diperoleh dari
mengkonsumsi dua atau tiga tusuk sate lebih tinggi rasa kepuasannya dari
pada mengkonsumsi setusuk sate.
Dalam Islam cara pikir ini juga ditemukan Rasulullah Saw. Bersabda,”Orang
beriman yang kuat lebih baik dan lebih dicintai dari pada orang beriman yang
lemah.” Dalam hadis lain bermakna, “iri hati itu dilarang kecuali terhadap dua
jenis orang: yaitu orang berilmu yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya,
dan orang yang kaya yang membelanjakan hartanya dijalan Allah.”
Syarat yang harus dipenuhi dalam pemaksimuman nilai guna adalah setiap
rupiah yang dikeluarkan untuk membeli unit tambahan berbagai jenis barang
yang akan memberikan nilai guna marjinal sama besar.
6
Kurva indifference adalah kurva yang menunjukkan konsumsi atau
pembelian barang-barang yang menghasilkan tingkat kepuasan yang sama
pada setiap titiknya. Hal ini menunjukkan bahwasanya seseorang tidak puas
dalam mengkonsumsi hanya pada satu barang, melainkan dia akan merasa
puas jika mengkonsumsi barang yang jumlahnya lebih dari satu meskipun
barang tersebut tidak berkualitas. Pendekatan kurva tersebut menggunakan
asumsi-asumsi yang kedua asumsinya sama dengan asumsi utilitas, dan kedua
asumsi lainnya adalah konsumen memiliki preferensi dan Marginal Rate of
Substitution (MRS) menurun untuk tingkat utilitas tertentu.
Kaidah konsumsi dalam Islam, telah tegas dinyatakan dalam Al-Qur’an dan
Hadits Rasulullah, dijelaskan bahwa seorang muslim akan mencapai tingkat
konsumsi yang baik atau mencapai kepuasan maksimal dalam konsumsi,
apabila konsumsi yang dilakukan sesuai dengan ajaran Islam. Beberapa ayat-
ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan acuan adalah:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi… (QS: Al-baqarah: 168).
“Hai orang-orang yang beriman makanlah di antara rizki yang baik-baik yang
kami berikan… (QS:Al-baqarah: 172).
7
… Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara setan, dan setan
itu sangat ingkar terhadap Tuhan-Nya (QS: Al-Isra: 27).
Tidaklah anak Adam (manusia) memenuhi satu kantung pun yang lebih buruk
dari pada lambungnya (perutnya). Cukuplah baginya beberapa (suap)
makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya, jika memang
demikian maka sepertiga (perutnya) untuk makannya, sepertiga untuk
minumannya dan sepertiga untuk nafasnya. (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban. Al-
Hakim).
Orang-orang yang paling buruk dari umatku adalah orang-orang yang dijejaki
kenikmatan, mereka yang makan dengan bermacam-macam makanan,
berpakaian dengan bermacam-macam busana dan banyak bicara omong
kosong. (HR. Ibnu Abid Dunya, Al-Baihaqi, Ath-Thobroni, Tamam dari Abu
Umamah).
Seorang muslim makan dalam satu usus sedangkan orang kafir makan dalam
tujuh usus. (HR. Muwaffaq Alaih dari Abu Huroiroh).
Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah di atas dapat dijadikan dasar dan
rujukan dalam membangun teori konsumen (secara umum) dan kepuasan
konsumsi serta rasionalits konsumsi (khusus) dalam Islam. Menurut kerangka
Islam, Nata Atmadja menjelaskan, bahwa kepuasan dalam Islam meliputi:
kepuasan konsumtif dan kepuasan kreatif.
8
Kepuasan konsumtif akan menghasilkan kepuasan siap kreasi, sebab
konsumsi yang dilakukan akan memberikan kekuatan fisiknya; sehingga akan
menjadi lebih kreatif; artinya akan memperoleh energi setelah mendapatkan
kepuasan konsumtif sehingga siap untuk berkreasi. Kepuasan optimal dapat
diketahui dari perintah (hadits) nabi, yaitu untuk berhenti makan sebelum
kenyang. Hal ini disebabkan karena pada saat itulah kondisi kreasi dapat
diperoleh. Gambaran kepuasan dan keadaan siap kreasi optimal diperoleh,
dapat digabarkan sebagai berikut.1
Dalam Islam ada tiga hukum yang berlaku dalam konsumsi, yaitu halal,
mubah, dan haram; halal berlaku pada daerah I (orang wajib makan); mubah
berlaku pada daerah II yaitu daerah di mana seseorang harus berhati-hati
dalam makan karena telah mencapai kepuasan optimal; dan makan menjadi
haram jika telah menempati daerah III yaitu bila seseorang telah mencapai
kepuasan maksimum tetapi masih terus menambah barang yang dimakannya:
pada saat makan berada di dU/ dQ = 0 berarti pada saat inilah seseorang telah
mencapai kepausan optimum. Sedangkan bila telah mencapai kepuasan
maksimum, maka harus berhenti makan karena bila melebihi batas-batas
kemampuan konsumsi barang yang semula halal bisa menjadi haram.
BPFE, 2004). h. 96
9
Allah.13 Amalan sholeh tersebut bisa berupa zakat, infaq, dan shadaqah serta
pengeluaran untuk saudaranya yang membutuhkan.
Yj= Jumlah barang ke-j yang direlakan untuk dikonsumsi saudaranya yang
membutuhkan.
Zk= Jumlah barang tahan lama ke-k yang dikonsumsi pada periode tertentu.
a = Jumlah pengeluaran untuk ZIS dan utilitas yang diterima sebagai akibat
dari dikeluarkannya zakat sebagai A.
Optimal Solution
10
𝑈𝑡𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑆𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛𝑎𝑙 𝑥 𝑈𝑡𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑚𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛𝑎𝑙 𝑦
=
ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑥 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑦
𝑀𝑈𝑥 𝑃𝑥
=
𝑀𝑈𝑦 𝑃𝑦
Increasing Utility
11
kanan atas utility function semakin baik. Bentuk utility function yang konveks
menunjukkan adanya diminishing marginal rate of substitution.
Dalam Islam cara pikir ini juga ditemukan. Rasulullah SAW bersabda :
“Orang beriman yang kuat lebih baik dan lebih dicintai daripada orang beriman
yang lemah.” Dalam hadis lain bermakna : “iri hati itu dilarang kecuali terhadap
dua jenis orang, yaitu orang berilmu yang mengamalkan dan mengajarkan
ilmunya, dan orang yang kaya dan membelanjakan hartanya di jalan Allah.”
Jadi dalam konsep Islam pun diakui bahwa yang lebih banyak (tentunya
yang halal) lebih baik. Dalam konsep Islam sangat penting adanya pembagian
jenis barang (atau jasa) antara yang haram dan yang halal. Oleh karena itu,
sangat penting bagi kita untuk menggambarkan hal ini dalam utility function.
Utility function untuk dua barang yang salah satunya tidak disukai
digambarkan dengan utility function yang terbalik seakan diletakkan
cermin.Semakin sedikit barang yang tidak kita sukai memberikan tingkat
kepuasan yang lebih tinggi. Hal ini digambarkan dengan utility function yang
semakin ke kiri atas semakin tinggi tingkat kepuasannya. Barang yang haram
adalah barang yang tidak kita sukai. Semakin banyak barang yang halal berarti
menambah utility sedangkan semakin sedikit barang yang haram berarti
mengurangi disutility. Keadaan ini akan memberikan tingkat kepuasan yang
lebih tinggi.
Budget Constraint
Segala keinginan pasti ada kostrain yang membatasinya, tentu batasan ini
akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan usaha yang dikeluarkan untuk
mendapatkan kostrain yang lebih tinggi. Rasulullah SAW pernah
menggambarkan hubungan antara cita-cita atau keinginan manusia dan segala
hambatan yang mesti dijumpainya. Untuk menjelaskan bagaimana seorang
mukmin berusaha meraih cita-citanya ia membuat gambar empat persegi
panjang. Di tengah-tengah ditarik satu garis sampai keluar. Kemudian beliau
membuat garis pendek-pendek di sebelah garis yang di tengah-tengah seraya
berkata : “Ini adalah manusia dan empat persegi panjang yang mengelilinginya
adalah ajal. Garis yang di luar ini adalah cita-citanya, serta garis yang pendek-
pendek adalah hambatan-hambatannya. Apabila ia dapat menghadapi
hambatan yang satu, maka ia akan menghadapi hambatan yang lain. Dan
apabila ia dapat mengatasi hambatan yang lain, maka ia akan menghadapi
hambatan lain lagi.”
12
Untuk tetap bersemangat melangkah dari setiap hambatannya tersebut,
maka ia mengembalikan sepenuhnya kepada Allah SWT, ia percaya bahwa
tiada sesuatu yang terjadi di alam ini tak lain atas kehendak Allah. Dalam teori
konsumsi, hadist tentang cita-cita dan segala macam hambatan ini bisa kita
gunakan untuk menerangkan tentang batasan seseorang dalam
memaksimalkan utility konsumsinya. Selain faktor norma konsumsi dalam
Islam, keinginan untuk memaksimalkan utility function ditentukan juga oleh
berapa dana yang tersedia untuk membeli kedua jenis barang tersebut.
Batasan ini disebut budget costraint.2
· Zakat; pengenalan zakat pada periode 1(Z1) akan mengurai jumlah uang
(m1) yang di peruntukan C 1 . Bila tidak ada tabungan atau peminjaamn
pada periode satu maka final spending (kosumsi akhir) sama dengan m1
(m1 = FS = C1 + Z1).
Hal.َ71
13
· Rate of profit atau pendapatan bagi hasil (rp); apabila pada periode 1 ada
sebagian m1 yang dialokasikan dalam bentuk tabungan yang
diinvestasikan maka final spending pada periode 2 (FS2) sama dengan
m2 ditambah dengan jumlah m1 yang ditabung ditambah dengan rate of
profit (rp) (FS2 = m2 + (1+ rp) m1)
Y = (C + Infak) + S
Y = FS + S
di mana: FS = C + Infak
14
Seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang
dihasilkan dari kegiatan konsumsi yang dilakukannya. Konsumen akan
merasakan adanya manfaat dari konsumsi ketika kebutuhannya terpenuhi,
sedangkan berkah akan diperoleh ketika ia mengkonsumsi barang dan jasa
yang dihalalkan oleh syariat Islam. Jadi, maslahah adalah segala bentuk
keadaan, baik material maupun non material yang mampu meningkatkan
kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia.
Ada beberapa maslahah yang diterima oleh konsumen ketika
mengkonsumsi barang, di antaranya pertama, Manfaat material, yaitu
diperolehnya tambahan harta bagi konsumen berupa harga yang murah,
diskon, kecilnya biaya, dan lain-lain. Kedua, manfaat fisik dan psikis, yaitu
terpenuhinya kebutuhan baik fisik maupun psikis manusia. Ketiga, manfaat
intelektual, yaitu terpenuhinya kebutuhan akal manausia, seperti kebutuhan
informasi, pengetahuan, ketrampilan, dan lain-lain. Keempat, manfaat
lingkungan, yaitu manfaat yang bisa dirasakan selain pembeli misalnya,
mobil mini bus akan dirasakan manfaatnya oleh lebih banyak orang jika
dibandingkan dengan mobil sedan. Kelima, manfaat jangka panjang, yaitu
terpeliharanya manfaat untuk generasi yang akan datang, misalnya hutan
tidak dirusak habis untuk kepentingan generasi penerus.
Kegiatan konsumsi yang halal dan baik (thayyib) akan membawa berkah
bagi konsumen jika barang yang yang dikonsumsi.
a) Bukan merupakan barang haram.
b) Tidak dilakukan secara berlebihan.
c) Didasari niat untuk mendapatkan ridho Allah.Berdasarkan hal di
atas perilaku konsumsi Islami berbeda dengan konvensional.
Konsumsi Islami akan akan selalu memperhatikan maslahat, dan maslahat
yang paling utama adalah sesuai dengan tujuan syariat Islam (maqasid al-
syar’iyyah) yang mengarah pada perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Menurut Syatibi, maslahah adalah pemilikan atau kekuatan
barang dan jasa yang mengandung elemen-elemen dasar dan tujuan
kehidupan umat manusia di dunia ini.
Syatibi membedakan maslahah menjadi tiga yaitu: kebutuhan (daruriyah),
pelengkap (hajiyah), perbaikan (tahsiniyah). Daruriyah, yaitu sesuatu yang
wajib adanya yang menjadi pokok kebutuhan hidup untuk menegakkan
kemaslahatan manusia. Hal-hal yang bersifat darury bagi manusia dalam
pengertian ini berpangkal pada memelihara lima hal yaitu: agama, jiwa, akal,
kehormatan, dan harta. Dalam hal ini Qardhawi menambahkan satu hal
darury yaitu anak atau keturunan, jadi memelihara satu dari lima hal itu
merupakan kepentingan yang bersifat primer bagi manusia. Hajiyah, ialah
15
suatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat
ringan, lapang dan nyaman dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan
kehidupan. Sedangkan tahsiniyah ialah sesuatu yang diperlukan oleh
norma atau tatanan hidup serta berperilaku menurut jalan yang lurus. Hal
yang bersifat tahsiniyahberpangkal dari tradisi yang baik dan segala tujuan
peri kehidupan manusia menurut jalan yang paling baik. Jadi, semua barang
dan jasa yang memiliki kekuatan untuk memenuhi lima elemen pokok telah
dapat dikatakan memiliki maslahah bagi umat manusia. Beberapa
keunggulan konsep maslahah adalah sebagai berikut:
a. Maslahah bersifat obyektif karena bertolak dari pemenuhan need,
karena need ditentukan berdasarkan pertimbangan rasional
normative dan positif, maka akan terdapat suatu kriteria yang obyektif
tentang apakah sesuatu benda ekonomi memiliki maslahah atau tidak.
Sementara dalam utilitas orang mendasarkan pada kriteria yang
bersifat subyektif, karenanya dapat berbeda di antara orang yang satu
dengan yang lain.
b. Maslahah individual akan terisi dengan maslahah sosial dan tidak
seperti kepuasan individual yang seringkali akan menimbulkan konflik
kepuasan sosial.
c. Konsep maslahah ditekankan pada semua aktivitas ekonomi dalam
suatu masyarakat, tidak seperti pada teori konvensional di mana
kepuasan hanya berkaitan dengan masalah konsumsi dan keuntungan
bersinggungan dengan masalah produksi.
d. Dalam hal ini tidak mungkin membandingkan kepuasan yang
diperoleh orang A pada saat mengkonsumsi suatu makanan yang
baik dengan kepuasan yang didapat oleh orang B yang mengkonsumsi
barang yang sama dalam waktu yang sama.
Konsep maslahah memiliki makna yang lebih luas dari sekadar
utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah
merupakan tujuan hukum syara' yang paling utama. Menurut Imam Ghazali,
maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung
elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi
ini. Ada lima elemen dasar maslahah, yakni: Kehidupan atau jiwa (al-nafs),
Harta benda (al mal), Keyakinan (al-din), Intelektual (al-aql), Keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan
terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah
yang disebut maslahah.
PENUTUP
16
Kesimpulan
17
1. Islam dilaksanakan oleh masyarakat
2. Zakat hukumnya wajib
3. Tidak ada riba dalam perekonomian
4. Mudarobah wujud dalam perekonomian
5. Pelaku ekonomi bersikap rasional dengan memaksimalkan
kemaslahatan.
i. Dalam ekonomi Islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang
tidak bisa diabaikan oleh seorang muslim untuk merealisasikan
tujuan dalam penciptaan manusia, yaitu mengabdi sepenuhnya
hanya kepada Allah untuk mencapai falah.
j. Seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah
yang dihasilkan dari kegiatan konsumsi yang dilakukannya.
Konsumen akan merasakan adanya manfaat dari konsumsi ketika
kebutuhannya terpenuhi, sedangkan berkah akan diperoleh ketika
ia mengkonsumsi barang dan jasa yang dihalalkan oleh syariat
Islam. Jadi, maslahah adalah segala bentuk keadaan, baik material
maupun non material yang mampu meningkatkan kedudukan
manusia sebagai makhluk yang paling mulia.
Daftar Pustaka
Harahap, D. &. (2022). Ekonomi Mikro Islam. Medan: Merdeka Kreasi Group.
Karim, A. (2007). Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Karim, A. A. (2010). Ekonomi Mikro Islam edisi ketiga. Jakarta: Rajawali Pers.
Tom, A. (2019). Hukum Utilitas Dalam Ekonomi Islam. At Tajir (Keuangan dan
bisnis syariah), 14-17.
18