Anda di halaman 1dari 18

TEORI KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM

ALYA NUR AFIFAH1, GINA AMELIA2, MUTIARA3


123 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam Darussalam Martapura
Email : 1nurafifaha147@gmail.com 2ginaamelia0802@gmail.com
3tyara.yya2@gmail.com

Abstrak
Teori konsumsi adalah teori dalam ilmu ekonomi yang menjelaskan bagaimana
seseorang memuaskan kebutuhannya dengan membeli atau memakai barang dan
jasa. Didalam Islam teori konsumsi adalah teori yang didasarkan pada kebutuhan,
bukan keinginan. Islam mengajarkan untuk berperilaku proporsional dalam
konsumsi. Tujuan utama dari konsumsi di dalam Islam adalah sebagai sarana untuk
beribadah kepada Allah. Imam Al-Ghazali di dalam karyanya, beliau mengemukakan
banyak konsep mengenai ilmu ekonomi dan konsumsi, yang saat ini menjadi
kiblatnya ekonomi islam modern. Beliau diantaranya mengemukakan konsep
maslahat, atau kesejahteraan sosial atau utilitas ("kebaikan bersama"), sebuah
konsep yang mencakup semua urusan manusia, baik urusan ekonomi maupun urusan
lainnya, dan yang membuat kaitan yang erat antara individu dengan masyarakat.
Sesungguhnya seorang penulis telah menyatakan bahwa Al-Ghazali telah
menemukan sebuah konsep fungsi kesejahteraan sosial yang sulit diruntuhkan dan
yang telah dirindukan oleh ekonom-ekonom modern."Dalam meningkatkan
kesejahteraan sosial, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasi semua
masalah baik yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitas,
kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya ia mendefinisikan
fungsi sosial dalam kerangka hierarki kebutuhan individu dan sosial. Menurut beliau,
maslahah dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan
lima tujuan dasar: (1) agama (al-dien), (2) jiwa (nafs); (3) keluarga atau keturunan
(nasl); (4) harta atau kekayaan (maal) dan (5) akal (aql). Ia menitik beratkan bahwa
sesuai tuntunan wahyu, "kebaikan dunia ini dan akhirat (maslahat al-din wa al-
dunya) merupakan tujuan utamanya."Lalu metode yang digunakan dalam penelitian
ini bersifat deskriptif analitik. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka
(library research) serta sejumlah data dan informasi yang diakses melalui media
masa.

Kata Kunci : Ekonomi islam, Imam Al-Ghazali, Konsumsi.

1
PENDAHULUAN

Teori konsumsi adalah teori dalam ilmu ekonomi yang menjelaskan


bagaimana seseorang memuaskan kebutuhannya dengan membeli atau
memakai barang dan jasa. Teori konsumsi juga menjelaskan bagaimana
perilaku konsumsi individu dalam perekonomian. Ada beberapa teori
konsumsi, yaitu:

1) Teori konsumsi siklus hidup


2) Teori pendapatan permanen
3) Teori pendapatan relative
4) Teori konsumsi Keynes

Dalam Islam, konsumsi didasarkan pada kebutuhan, bukan keinginan. Islam


juga melarang konsumsi yang berlebihan.

Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk mewujudkan maslahah


duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi adalah terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia, seperti makan, minum, pakaian, perumahan, kesehatan, dan
pendidikan. Maslahah akhirat adalah terlaksananya kewajiban agama seperti
shalat dan haji.

Dalam konsumsi Islam, seorang Muslim akan mendapat kepuasan lebih


apabila mengonsumsi barang halal daripada barang haram. Islam juga
mengajarkan tiga prinsip dasar konsumsi, yaitu konsumsi barang halal,
konsumsi barang suci dan bersih, dan tidak berlebihan.

Perilaku manusia dalam ekonomi Islam tidak hanya didasarkan pada


tendensi pemenuhan kebutuhan dan maksimisasi profit, tetapi
mempertimbangkan kemaslahatan luas menurut garis syari'at Islam.

Standar moral suatu perilaku ekonomi didasarkan pada ajaran Islam dan
bukan semata-mata didasarkan atas nilai-nilai yang dibangun oleh
kesepakatan sosial. Dan pada perspektif Islam, rasionalitas ekonomi lebih
dominan pada perspektif konsumen. Sifat-sifat konsumen lebih diperhatikan
dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil.

Dalam ekonomi konvensional, manusia disebut rasional secara ekonomi


jika selalu memaksimumkan utility untuk konsumen dan keuntungan untuk
produsen. Sedangkan dalam ekonomi Islam, seorang pelaku ekonomi, baik
produsen maupun konsumen, akan selalu berusaha memaksimalkan
mashlahah.

2
Konsumen rasional dalam ekonomi Islam tidak mengenal istilah israf dan
tabdzir. Perilaku konsumen dalam Perspektif ekonomi Islam adalah tidak
adanya sikap hidup yang berlebih-lebihan (boros) dan tidak pula kikir (Israf)
melainkan adalah ditengah-tengah yang berlandaskan kebutuhan, bukan
karena keinginan seseorang. Perilaku konsumsi dikatakan rasional apabila
dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, sebagaimana dalam Al-
Quran Surat Al-Israa ayat 29.

ُ ْ‫ل ْال َبسْطَ فَتَ ْقعُ َدَ َملُ ْو ًما َّمح‬


‫س ْو ًرا‬ ْ ‫س‬
ََّ ‫ط َها ُك‬ َ َ ‫عنُقكََ َو‬
ُ ‫ل تَ ْب‬ َ ‫ل َيدَكََ َم ْغلُ ْولَ َةً ا ٰل‬
ُ ‫ى‬ َ َ ‫َو‬
َْ ‫ل تَجْ َع‬
Artinya: "Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu
dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti
kamu menjadi tercela dan menyesal".

Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui teori konsumsi imam Al-Ghazali.


2. Untuk mengetahui fungsi dan peningkatan utilitas (fungsi utility).
3. Untuk mengetahui kepuasan dan rasionalitas konsumen muslim.
4. Untuk mengetahui pengertian optimal solution.
5. Untuk mengetahui pengertian increasing utility.
6. Untuk mengetahui pengertian budget constraint.
7. Untuk mengetahui pengertian konsumsi interporal dalam islam.
8. Untuk mengetahui pengertian maslahah dan konsumsi.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitik.


Dengan mengkaji fenomena sosial ekonomi yang terjadi. Pengumpulan
data dilakukan dengan studi pustaka (library research) serta sejumlah data
dan informasi yang diakses melalui media masa.

PEMBAHASAN

Teori Konsumsi Imam Al-Ghazali

Konsep konsumsi menurut Al Ghazali di buku Ihya Ulumuddin, konsumsi


harus selalu berorientasi kepada Allah SWT, tidak hanya berorientasi pada
kepuasan saja. Karena konsumsi yang berlandaskan atas dasar nafsu saja akan
terus mendorong manusia untuk berusaha memenuhi keinginan yang tanpa
batas. Sedangkan, mengonsumsi barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan.

3
Pola konsumsi terdiri dari tiga, yaitu dharuriyyat, hajiyyat, tahsiniyyat.
Dharuriyyat disebut juga sebagai kebutuhan pokok/dasar, dimana
mengandung 5 elemen kehidupan. Yaitu jiwa, keyakinan, intelektual, harta dan
keturunan atau biasa disebut maqasid syariah. Dalam pemenuhan kebutuhan
dharuriyyat atau kebutuhan dasar ada beberapa syarat yang harus terpenuhi,
yaitu:

a. Memiliki ilmu pengetahuan dan pemahaman bahwa usaha untuk


mencari nafkah, memenuhi kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya
adalah sesuatu yang maslahah dan memberikan manfaat.
b. Menyimpan sesuatu yang bermanfaat seperti menabung, dengan niat
untuk memelihara harta agar ia bisa beribadah
c. Menjaga dan memelihara diri dari hal yang membahayakan dirinya.
d. Menghilangkan hal-hal yang menyusahkan dirinya, misalnya berobat
ketika ia sakit.

Hajiyyat adalah kebutuhan yang dipenuhi untuk menghilangkan kesulitan


manusia yang sifatnya subjektif. Kebutuhan ini dapat dipengaruhi oleh
lingkungan dan juga keadaan ekonomi.

Tahsiniyyat adalah kebutuhan mewah yang dipenuhi untuk mendapatkan


kenyamanan dan kenikmatan, pemenuhan kebutuhan ini dibutuhkan untuk
melindungi diri dari hinaan orang lain. Pemenuhannya tidak diperbolehkan
untuk melebihi kebutuhan daruriyat dan hajiyyat. Pemenuhan tahsiniyat yang
tidak sesuai kadarnya akan membuat manusia larut dalam kenikmatan dunia
lalu lalai kepada Allah SWT. Pemenuhan ketiga kebutuhan diatas tidak boleh
dalam kadar berlebihan, karena akan mengarah ke arah israf dan tabzir.

Aktifitas konsumsi menurut Al Ghazali juga harus didasari dengan niat


ibadah dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga hati seseorang
tidak akan berpaling kepada harta yang ia miliki lalu membuat lalai dan
berpaling dari Allah. Dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa, manusia
seharusnya memenuhi kebutuhannya saja. Karena jika memenuhi keinginan
maka tidak akan ada ujungnya. Keinginan pada dasarnya memiliki sifat yang
tanpa batas, dan hal ini yang akan menyebabkan manusia akan terus terjebak
dalam urusan duniawi.

Adapun salah satu perilaku konsumen untuk beribadah kepada Allah SWT
adalah dengan memenuhi segala kebutuhan makan, pakaian dan tempat
tinggal dengan cukup/tidak berlebihan sebagai kebutuhan dasar. Karena
dalam mengonsumsi sesuatu, manusia harus mendapatkan 2 manfaat. Yaitu
manfaat untuk dunia dan juga akhirat.

4
Fungsi Dan Peningkatan Utilitas (Fungsi Utility)

Penerapan ilmu ekonomi, tingkat kepuasan (utility function) digambarkan


oleh kurva indiferen (indifference curve). Dalam fungsi utilitas yang biasa
digambarkan adalah utility function antara dua barang (atau jasa) yang
diminati oleh konsumen. Dalam membangun teori utility function, digunakan
tiga aksioma pilihan rasional:

1. Completeness (Lengkap) Dalam aksioma ini dijelaskan bahwa setiap


individu akan menentukan sebuah keadaan yang lebih diminatinya
diantar dua keadaan. Apabila A dan B adalah dua keadaan yang
berbeda, maka individu akan menentukan secara tepat satu diantara
tiga kemungkinan ini:
a) A lebih disukai daripada B
b) B lebih disukai daripada A
c) A dan B sama menariknya
2. Transivity (Konsisten) Pada aksioma ini mengatakan bahwa apabila
seorang individu mengatakan “A lebih diminati daripada B,” dan “B
lebih diminati daripada C,” maka ia pasti akan mengatakan bahwa “A
lebih diminati daripada C.” Sebenarnya aksioma ini hanya memastikan
konsisten internal seorang individu dalam mengambil keputusan.
3. Continuity (Keberlanjutan) Aksioma ini menjelaskan bahwa jika
seorang individu mengatakan “A lebih diminati daripada B,” maka
keadaan yang mendekati A pasti juga lebih diminati daripada B.

Berdasarkan ketiga aksioma diatas, penjelasan tersebut berkaitan dengan


kurva indiferen. Kurva indifferen adalah kurva yang menggambarkan
gabungan dari dua barang yang akan memberikan kepuasan sama besar.

Dari kurva indiferen di atas kombinasi titik memiliki tingkat kepuasan yang
sama. Titik A,B,C memiliki tingkat kepuasan yang sama sedangkan titik D dan

5
E memiliki tingkat kepuasan yang sama yang lebih tinggi dari titik A,B, dan C.
Semakin tinggi kurva indiferen maka semakin banyak barang yang
dikonsumsi, sehingga semakin tinggi kepuasan konsumen. Utilitas dikatakan
tinggi apabila utility function berada di sebelah kanan atas. Semakin ke kanan
atas utility function semakin baik. Misalnya, kepuasan yang diperoleh dari
mengkonsumsi dua atau tiga tusuk sate lebih tinggi rasa kepuasannya dari
pada mengkonsumsi setusuk sate.

Dalam Islam cara pikir ini juga ditemukan Rasulullah Saw. Bersabda,”Orang
beriman yang kuat lebih baik dan lebih dicintai dari pada orang beriman yang
lemah.” Dalam hadis lain bermakna, “iri hati itu dilarang kecuali terhadap dua
jenis orang: yaitu orang berilmu yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya,
dan orang yang kaya yang membelanjakan hartanya dijalan Allah.”

Nilai guna maksimum adalah bersumber dari harga-harga suatu barang. Di


mana harga tiap barang tersebut akan mencapai tingkat yang
memaksimumkan apabila nilai guna marjinal dari setiap barang tersebut
sama. Pada kenyataan yang sebenarnya harga berbagai jenis barang adalah
berbeda dikarenakan pada perbedaan harga tersebut nilai guna
pemaksimuman tidak akan tercapai jika digunakan syarat pemaksimuman
kepuasan.

Syarat yang harus dipenuhi dalam pemaksimuman nilai guna adalah setiap
rupiah yang dikeluarkan untuk membeli unit tambahan berbagai jenis barang
yang akan memberikan nilai guna marjinal sama besar.

Kepuasan maksimum seseorang akan terpenuhi ketika seseorang tersebut


memenuhi kepuasannya secara penuh dengan pendapatan yang dimilikinya,
dimana nilai utilitas marginal dapat terpenuhi ketika suatu barang tertentu di
konsumsi sama dengan nilai marginal utilitas barang lain. Sehingga dapat
diformulasikan:
𝑀𝑈𝐴 𝑀𝑈𝐵 𝑀𝑈𝐶
= = = MU per rupiah pendapatan Dalam mengukur kepuasan
𝑃𝐴 𝑃𝐵 𝑃𝐶
komsumsi seorang konsumen, pendekatan utilitas memiliki suatau
kelemahan, maka Nicholson (1991) menawarkan pendekatan indifference.
Kelemahan pada pendekatan utilitas adalah “tidak adanya alat yang bisa
digunakan untuk mengukur utilitas tersebut dan adanya kesulitan
menerapkan asumsi ceteris paribus dalam analisis”. Untuk itu, kepuasan dapat
diukur dengan menggunakan skala preferensi. Berdasarkan pendekatan ini,
Samuelson (1995) menawarkan ukuran kepuasan dengan kurva indifference.

6
Kurva indifference adalah kurva yang menunjukkan konsumsi atau
pembelian barang-barang yang menghasilkan tingkat kepuasan yang sama
pada setiap titiknya. Hal ini menunjukkan bahwasanya seseorang tidak puas
dalam mengkonsumsi hanya pada satu barang, melainkan dia akan merasa
puas jika mengkonsumsi barang yang jumlahnya lebih dari satu meskipun
barang tersebut tidak berkualitas. Pendekatan kurva tersebut menggunakan
asumsi-asumsi yang kedua asumsinya sama dengan asumsi utilitas, dan kedua
asumsi lainnya adalah konsumen memiliki preferensi dan Marginal Rate of
Substitution (MRS) menurun untuk tingkat utilitas tertentu.

Kepuasan Dan Rasionalitas Konsumen Muslim

Kepuasan konsumsi merupakan bagian dari teori perilaku konsumen.


Seorang konsumen dalam mengonsumsi barang/jasa sehingga memperoleh
kepuasan selalu menggunakan kerangka rasionalitas. Sehingga manusia
rasioanal adalah manusia yang berusaha mencapai kepuasan maksimum
dalam kegiatan konsumsinya.Tujuan konsumsi dalam Islam adalah
memperoleh maslahah terbesar, sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan di
dunia dan akhirat.

Kaidah konsumsi dalam Islam, telah tegas dinyatakan dalam Al-Qur’an dan
Hadits Rasulullah, dijelaskan bahwa seorang muslim akan mencapai tingkat
konsumsi yang baik atau mencapai kepuasan maksimal dalam konsumsi,
apabila konsumsi yang dilakukan sesuai dengan ajaran Islam. Beberapa ayat-
ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan acuan adalah:

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi… (QS: Al-baqarah: 168).

“Hai orang-orang yang beriman makanlah di antara rizki yang baik-baik yang
kami berikan… (QS:Al-baqarah: 172).

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging


bagi, dan binatang yang(ketika disembelih) menyebut nama selain
Allah… (QS: Al-baqarah: 173).

Diharamkan bagimu (makanan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan)


yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang
jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali sempat
disembelihnya… (QS: Al-maidah: 3).

“… Dan janganlah kamu berlebih-lebihan (dalam berkonsumsi). Sesungghnya


Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan” (QS: Al-maidah: 4).

7
… Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara setan, dan setan
itu sangat ingkar terhadap Tuhan-Nya (QS: Al-Isra: 27).

Makanlah dan minumlah, namun jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah


tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS: Al-a’raf: 31).

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-


lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-
tengah antara yang demikian (QS: Al-Furqan: 67).

Adapun hadits Rasulullah yang memberikan petunjuk dan arahan kepada


ummat muslim dalam melakukan konsumsi, di antaranya adalah:

Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bershadaqahlah tanpa kecongkakan


dan berlebih-lebihan karena sesungguhnya Allah suka melihat nikmat-Nya atas
hamba-Nya (HR. Ahmad, Nasai, Ibnu Majah, Al-Hakim, dan dihasankan dalam
shohih Al-Jami’ Ash-Shoghir).

Tidaklah anak Adam (manusia) memenuhi satu kantung pun yang lebih buruk
dari pada lambungnya (perutnya). Cukuplah baginya beberapa (suap)
makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya, jika memang
demikian maka sepertiga (perutnya) untuk makannya, sepertiga untuk
minumannya dan sepertiga untuk nafasnya. (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban. Al-
Hakim).

Jauhilah olehmu berfoya-foya karena hamba-hamba Allah (yang ta’at) itu


bukanlah orang-orang yang berfoya-foya. (HR. Ahmad dan Baihaqi).

Orang-orang yang paling buruk dari umatku adalah orang-orang yang dijejaki
kenikmatan, mereka yang makan dengan bermacam-macam makanan,
berpakaian dengan bermacam-macam busana dan banyak bicara omong
kosong. (HR. Ibnu Abid Dunya, Al-Baihaqi, Ath-Thobroni, Tamam dari Abu
Umamah).

Seorang muslim makan dalam satu usus sedangkan orang kafir makan dalam
tujuh usus. (HR. Muwaffaq Alaih dari Abu Huroiroh).

Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah di atas dapat dijadikan dasar dan
rujukan dalam membangun teori konsumen (secara umum) dan kepuasan
konsumsi serta rasionalits konsumsi (khusus) dalam Islam. Menurut kerangka
Islam, Nata Atmadja menjelaskan, bahwa kepuasan dalam Islam meliputi:
kepuasan konsumtif dan kepuasan kreatif.

8
Kepuasan konsumtif akan menghasilkan kepuasan siap kreasi, sebab
konsumsi yang dilakukan akan memberikan kekuatan fisiknya; sehingga akan
menjadi lebih kreatif; artinya akan memperoleh energi setelah mendapatkan
kepuasan konsumtif sehingga siap untuk berkreasi. Kepuasan optimal dapat
diketahui dari perintah (hadits) nabi, yaitu untuk berhenti makan sebelum
kenyang. Hal ini disebabkan karena pada saat itulah kondisi kreasi dapat
diperoleh. Gambaran kepuasan dan keadaan siap kreasi optimal diperoleh,
dapat digabarkan sebagai berikut.1

Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa kepuasan optimal yang


menghasilkan keadaan siap kreasi maksimal berada pada titik di mana
pertambahan kepuasan yang diperoleh atas pertambahan jumlah barang yang
dikonsumsi sama dengan harga barang.

Dalam Islam ada tiga hukum yang berlaku dalam konsumsi, yaitu halal,
mubah, dan haram; halal berlaku pada daerah I (orang wajib makan); mubah
berlaku pada daerah II yaitu daerah di mana seseorang harus berhati-hati
dalam makan karena telah mencapai kepuasan optimal; dan makan menjadi
haram jika telah menempati daerah III yaitu bila seseorang telah mencapai
kepuasan maksimum tetapi masih terus menambah barang yang dimakannya:
pada saat makan berada di dU/ dQ = 0 berarti pada saat inilah seseorang telah
mencapai kepausan optimum. Sedangkan bila telah mencapai kepuasan
maksimum, maka harus berhenti makan karena bila melebihi batas-batas
kemampuan konsumsi barang yang semula halal bisa menjadi haram.

Berbeda dengan sistem ekonomi konvensional (umum), terkait dengan


perilaku konsumen rasional dalam ekonomi konvensional, perilaku konsumen
muslim rasional mencapai maksimum dalam mengkonsumsi sejumlah barang
atau membelanjakan pendapatannya untuk amalan sholeh sesuai perintah

Muhammad,.َEkonomi Makro Dalam Perspektif Islam,َ(Yogyakarta:َ


1

BPFE, 2004). h. 96

9
Allah.13 Amalan sholeh tersebut bisa berupa zakat, infaq, dan shadaqah serta
pengeluaran untuk saudaranya yang membutuhkan.

Pengeluaran ZIS dan untuk saudaranya inilah yang diyakini akan


memperoleh pahala, imbalan, dan berkah yang lebih besar dan akan
memperoleh pahala dunia dan akhirat. Dengan pertimbangan perilaku dan
keseimbangan konsumen muslim dapat dirumuskan secara matematis fungsi
tujuan muslim rasional sebagai berikut:

U = a + f (Xi, Yj, Zks) dimana:

U = Total utilitas yang dicapai konsumen karena mengkonsumsi barang Xi dan


barang tahan lama Zj.

Xi= Jumlah barang ke-I yang dikonsumsi pada periode tertentu.

Yj= Jumlah barang ke-j yang direlakan untuk dikonsumsi saudaranya yang
membutuhkan.

Zk= Jumlah barang tahan lama ke-k yang dikonsumsi pada periode tertentu.

a = Jumlah pengeluaran untuk ZIS dan utilitas yang diterima sebagai akibat
dari dikeluarkannya zakat sebagai A.

Pendapatan konsumen muslim tidak dibelanjakan semuanya tetapi


sebagian diperuntukan pengeluaran ZIS. Selain itu Islam mengajarkan agar
pengeluaran disesuaikan dengan kebutuhan atau keperluan yang memang
diperlukan menurut prioritasnya dan dilarang untuk menghambur-
hamburkan atau membelanjakannya secara bebas.

Optimal Solution

Sesuai dengan asumsi rasionalitas, maka konsumsi seorang muslim akan


selalu bertindak rasional. Oleh sebab itu, pengambilan keputusan dari seorang
konsumen senantiasa didasarkan pada perbandingan antarberbagai
preferensi, peluang, dan manfaat serta madharat yang ada.

Konsumen yang rasional selalu berusaha menggapai preferensi tertinggi


dari segenap peluang dan manfaat yang tersedia. Konsumen yang rasional
berarti konsumen yang memilih satu kombinasi komoditas yang akan
memberikan tingkat utilitas paling besar. Untuk mencapai tingkat optimalisasi
konsumen, seorang konsumen dibatasi oleh garis anggaran dari
pendapatannya atau berbagai komoditas yang dapat dibelinya. Secara
matematis optimalisasi konsumen dapat diformulasikan sebagai berikut:

10
𝑈𝑡𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑆𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛𝑎𝑙 𝑥 𝑈𝑡𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑚𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛𝑎𝑙 𝑦
=
ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑥 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑦

𝑢𝑡𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑚𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛𝑎𝑙 𝑥 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑥


=
𝑢𝑡𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑚𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛𝑎𝑙 𝑦 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑦

𝑀𝑈𝑥 𝑃𝑥
=
𝑀𝑈𝑦 𝑃𝑦

Dengan demikian, kepuasan maksimum seorang konsumen terjadi pada


titik dimana terjadi persinggungan antara kurva indiferen dengan budget line.
Konsumen akan memaksimalkan pilihannya dengan dua cara :

1. Memaksimalisasi utility function pada budget line tertentu.

Kombinasi Jumlah barang X Jumlah barang Y Pengeluaran


barang yang dikonsumsi yang dikonsumsi total
A 10 30 $50
B 20 20 $60
C 30 40 $70

Berdasarkan tabel di atas pengeluaran total yaitu $70, maka kombinasi


barang C lebih baik dari pada kombinasi A dan B. Kombinasi A lebih
baik daripada B karena A mengkonsumsi barang Y yang lebih banyak
dari B.

2. Meminimalkan budget line pada utility function tertentu


Kombinasi Jumlah barang X Jumlah barang Y Pengeluaran
barang yang yang total
dikonsumsi dikonsumsi
P 50 20 $70
Q 50 20 $60
Untuk mengkonsumsi 50X dan 20Y dibutuhkan uang $60. Oleh
karena itu, kombinasi Q lebih baik dari pada kombinasi P karena
untuk memperoleh P ia harus membayar lebih mahal pada jumlah
yang sama.

Increasing Utility

Semakin tinggi kurva indiferen berarti semakin banyak barang-barang yang


dapat dikonsumsi, yang berarti semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen.
Secara grafis tingkat utilitas yang lebih tinggi digambarkan dengan utility
function yang letaknya di sebelah kanan atas. Bagi konsumen, semakin ke

11
kanan atas utility function semakin baik. Bentuk utility function yang konveks
menunjukkan adanya diminishing marginal rate of substitution.

Dalam Islam cara pikir ini juga ditemukan. Rasulullah SAW bersabda :
“Orang beriman yang kuat lebih baik dan lebih dicintai daripada orang beriman
yang lemah.” Dalam hadis lain bermakna : “iri hati itu dilarang kecuali terhadap
dua jenis orang, yaitu orang berilmu yang mengamalkan dan mengajarkan
ilmunya, dan orang yang kaya dan membelanjakan hartanya di jalan Allah.”

Jadi dalam konsep Islam pun diakui bahwa yang lebih banyak (tentunya
yang halal) lebih baik. Dalam konsep Islam sangat penting adanya pembagian
jenis barang (atau jasa) antara yang haram dan yang halal. Oleh karena itu,
sangat penting bagi kita untuk menggambarkan hal ini dalam utility function.

Utility function untuk dua barang yang salah satunya tidak disukai
digambarkan dengan utility function yang terbalik seakan diletakkan
cermin.Semakin sedikit barang yang tidak kita sukai memberikan tingkat
kepuasan yang lebih tinggi. Hal ini digambarkan dengan utility function yang
semakin ke kiri atas semakin tinggi tingkat kepuasannya. Barang yang haram
adalah barang yang tidak kita sukai. Semakin banyak barang yang halal berarti
menambah utility sedangkan semakin sedikit barang yang haram berarti
mengurangi disutility. Keadaan ini akan memberikan tingkat kepuasan yang
lebih tinggi.

Budget Constraint

Segala keinginan pasti ada kostrain yang membatasinya, tentu batasan ini
akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan usaha yang dikeluarkan untuk
mendapatkan kostrain yang lebih tinggi. Rasulullah SAW pernah
menggambarkan hubungan antara cita-cita atau keinginan manusia dan segala
hambatan yang mesti dijumpainya. Untuk menjelaskan bagaimana seorang
mukmin berusaha meraih cita-citanya ia membuat gambar empat persegi
panjang. Di tengah-tengah ditarik satu garis sampai keluar. Kemudian beliau
membuat garis pendek-pendek di sebelah garis yang di tengah-tengah seraya
berkata : “Ini adalah manusia dan empat persegi panjang yang mengelilinginya
adalah ajal. Garis yang di luar ini adalah cita-citanya, serta garis yang pendek-
pendek adalah hambatan-hambatannya. Apabila ia dapat menghadapi
hambatan yang satu, maka ia akan menghadapi hambatan yang lain. Dan
apabila ia dapat mengatasi hambatan yang lain, maka ia akan menghadapi
hambatan lain lagi.”

12
Untuk tetap bersemangat melangkah dari setiap hambatannya tersebut,
maka ia mengembalikan sepenuhnya kepada Allah SWT, ia percaya bahwa
tiada sesuatu yang terjadi di alam ini tak lain atas kehendak Allah. Dalam teori
konsumsi, hadist tentang cita-cita dan segala macam hambatan ini bisa kita
gunakan untuk menerangkan tentang batasan seseorang dalam
memaksimalkan utility konsumsinya. Selain faktor norma konsumsi dalam
Islam, keinginan untuk memaksimalkan utility function ditentukan juga oleh
berapa dana yang tersedia untuk membeli kedua jenis barang tersebut.
Batasan ini disebut budget costraint.2

Konsumsi Intertemporal Dalam Islam

Konsumsi intertemporal adalah konsumsi yang dilakukan dalam dua waktu,


yaitu masa sekarang (periode pertama) dan masa yang akan datang
(periode kedua).

Monzer Kahfz berusaha mengembangkan pemikiran mengenai konsumsi


intertemporal dalam Islam dengan membuat asumsi sebagai berikut:

1. Islam dilaksanakan oleh masyarakat

2. Zakat hukumnya wajib

3. Tidak ada riba dalam perekonomian

4. Mudarobah wujud dalam perekonomian

5. Pelaku ekonomi bersikap rasional dengan memaksimalkan kemaslahatan

Berlakunya instrument dalam ekonomi islam berdampak kepada perubahan


perilaku konsumsi ekonomi tanpa menggunakan instrument islam. Beberapa
instrument yang dapat mempengaruhi volume jumlah uang yang menentukan
konsumsi periode satu dan dua meliputi:

· Zakat; pengenalan zakat pada periode 1(Z1) akan mengurai jumlah uang
(m1) yang di peruntukan C 1 . Bila tidak ada tabungan atau peminjaamn
pada periode satu maka final spending (kosumsi akhir) sama dengan m1
(m1 = FS = C1 + Z1).

· Infak atau shadaqah; pengeluaran infak atau shadaqah pada periode 1


akan mengurangi m1 yang dialokasikan untuk C1. Tidak ada tabungan
atau peminjaman pada periode 1 maka final spending sama dengan m1.

َKarim,َAdiwarmanَK,َEkonomi Mikro Islam,َEdisiَ4,َPTَRajaGrafindoَPersada,َJakartaَ2012َ


2

Hal.َ71

13
· Rate of profit atau pendapatan bagi hasil (rp); apabila pada periode 1 ada
sebagian m1 yang dialokasikan dalam bentuk tabungan yang
diinvestasikan maka final spending pada periode 2 (FS2) sama dengan
m2 ditambah dengan jumlah m1 yang ditabung ditambah dengan rate of
profit (rp) (FS2 = m2 + (1+ rp) m1)

Dalam konsep Islam, konsumsi intertemporal dijelaskan oleh hadits


Rasulullah s.a.w yang maknanya adalah “yang kamu miliki adalah apa yang
telah kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan”. Oleh karena itu,
persamaan pendapatan menjadi:

Y = (C + Infak) + S

Persamaan ini disederhanakan menjadi:

Y = FS + S

di mana: FS = C + Infak

FS adalah final spending (konsumsi akhir) di jalan Allah.

Maslahah Dan Konsumsi

Secara umum konsumsi didefinisikan sebagai penggunaan barang dan jasa


untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi Islam konsumsi juga
memiliki pengertian yang hampir sama, namun terdapat perbedaan yang
melingkupinya. Perbedaan yang mendasar adalah tujuan pencapaian dari
konsumsi dan cara pencapaiannya yang harus memenuhi kaidah syariah
Islam. Selain itu, paham keseimbangan dalam berbagai aspek juga menjadi
aturan dan kaidah konsumsi dalam sistem ekonomi Islam.Tujuan utama
konsumsi bagi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk
beribadah kepada Allah dengan mengharap ridhoNya.
Sesungguhnya konsumsi selalu didasari niat untuk meningkatkan
stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah, sehingga menjadikan
konsumsi juga bernilai ibadah. Dalam ekonomi Islam, konsumsi dinilai sebagai
sarana wajib yang tidak bisa diabaikan oleh seorang muslim untuk
merealisasikan tujuan dalam penciptaan manusia, yaitu mengabdi
sepenuhnya hanya kepada Allah untuk mencapai falah. Adapun konsumsi
dalam Islam, secara spesifik di arahkan pada keseimbangan dua hal,
yakni pembelajaan guna memenuhi kebutuhan secara lahir dan pembelajaan
guna memenuhi kebutuhan bathin (ukhrawi). Dengan demikian, arah dari
konsumsi bukan hanya untuk kepentingan dunia saja tetapi juga akhirat yang
pada muaranya adalah untuk menggapai kesejahteraan akhirat.

14
Seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang
dihasilkan dari kegiatan konsumsi yang dilakukannya. Konsumen akan
merasakan adanya manfaat dari konsumsi ketika kebutuhannya terpenuhi,
sedangkan berkah akan diperoleh ketika ia mengkonsumsi barang dan jasa
yang dihalalkan oleh syariat Islam. Jadi, maslahah adalah segala bentuk
keadaan, baik material maupun non material yang mampu meningkatkan
kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia.
Ada beberapa maslahah yang diterima oleh konsumen ketika
mengkonsumsi barang, di antaranya pertama, Manfaat material, yaitu
diperolehnya tambahan harta bagi konsumen berupa harga yang murah,
diskon, kecilnya biaya, dan lain-lain. Kedua, manfaat fisik dan psikis, yaitu
terpenuhinya kebutuhan baik fisik maupun psikis manusia. Ketiga, manfaat
intelektual, yaitu terpenuhinya kebutuhan akal manausia, seperti kebutuhan
informasi, pengetahuan, ketrampilan, dan lain-lain. Keempat, manfaat
lingkungan, yaitu manfaat yang bisa dirasakan selain pembeli misalnya,
mobil mini bus akan dirasakan manfaatnya oleh lebih banyak orang jika
dibandingkan dengan mobil sedan. Kelima, manfaat jangka panjang, yaitu
terpeliharanya manfaat untuk generasi yang akan datang, misalnya hutan
tidak dirusak habis untuk kepentingan generasi penerus.
Kegiatan konsumsi yang halal dan baik (thayyib) akan membawa berkah
bagi konsumen jika barang yang yang dikonsumsi.
a) Bukan merupakan barang haram.
b) Tidak dilakukan secara berlebihan.
c) Didasari niat untuk mendapatkan ridho Allah.Berdasarkan hal di
atas perilaku konsumsi Islami berbeda dengan konvensional.
Konsumsi Islami akan akan selalu memperhatikan maslahat, dan maslahat
yang paling utama adalah sesuai dengan tujuan syariat Islam (maqasid al-
syar’iyyah) yang mengarah pada perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Menurut Syatibi, maslahah adalah pemilikan atau kekuatan
barang dan jasa yang mengandung elemen-elemen dasar dan tujuan
kehidupan umat manusia di dunia ini.
Syatibi membedakan maslahah menjadi tiga yaitu: kebutuhan (daruriyah),
pelengkap (hajiyah), perbaikan (tahsiniyah). Daruriyah, yaitu sesuatu yang
wajib adanya yang menjadi pokok kebutuhan hidup untuk menegakkan
kemaslahatan manusia. Hal-hal yang bersifat darury bagi manusia dalam
pengertian ini berpangkal pada memelihara lima hal yaitu: agama, jiwa, akal,
kehormatan, dan harta. Dalam hal ini Qardhawi menambahkan satu hal
darury yaitu anak atau keturunan, jadi memelihara satu dari lima hal itu
merupakan kepentingan yang bersifat primer bagi manusia. Hajiyah, ialah

15
suatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat
ringan, lapang dan nyaman dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan
kehidupan. Sedangkan tahsiniyah ialah sesuatu yang diperlukan oleh
norma atau tatanan hidup serta berperilaku menurut jalan yang lurus. Hal
yang bersifat tahsiniyahberpangkal dari tradisi yang baik dan segala tujuan
peri kehidupan manusia menurut jalan yang paling baik. Jadi, semua barang
dan jasa yang memiliki kekuatan untuk memenuhi lima elemen pokok telah
dapat dikatakan memiliki maslahah bagi umat manusia. Beberapa
keunggulan konsep maslahah adalah sebagai berikut:
a. Maslahah bersifat obyektif karena bertolak dari pemenuhan need,
karena need ditentukan berdasarkan pertimbangan rasional
normative dan positif, maka akan terdapat suatu kriteria yang obyektif
tentang apakah sesuatu benda ekonomi memiliki maslahah atau tidak.
Sementara dalam utilitas orang mendasarkan pada kriteria yang
bersifat subyektif, karenanya dapat berbeda di antara orang yang satu
dengan yang lain.
b. Maslahah individual akan terisi dengan maslahah sosial dan tidak
seperti kepuasan individual yang seringkali akan menimbulkan konflik
kepuasan sosial.
c. Konsep maslahah ditekankan pada semua aktivitas ekonomi dalam
suatu masyarakat, tidak seperti pada teori konvensional di mana
kepuasan hanya berkaitan dengan masalah konsumsi dan keuntungan
bersinggungan dengan masalah produksi.
d. Dalam hal ini tidak mungkin membandingkan kepuasan yang
diperoleh orang A pada saat mengkonsumsi suatu makanan yang
baik dengan kepuasan yang didapat oleh orang B yang mengkonsumsi
barang yang sama dalam waktu yang sama.
Konsep maslahah memiliki makna yang lebih luas dari sekadar
utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah
merupakan tujuan hukum syara' yang paling utama. Menurut Imam Ghazali,
maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung
elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi
ini. Ada lima elemen dasar maslahah, yakni: Kehidupan atau jiwa (al-nafs),
Harta benda (al mal), Keyakinan (al-din), Intelektual (al-aql), Keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan
terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah
yang disebut maslahah.

PENUTUP

16
Kesimpulan

a. Teori konsumsi teori dalam ilmu ekonomi yang menjelaskan bagaimana


seseorang memuaskan kebutuhannya dengan membeli atau memakai
barang dan jasa.
b. Dalam teori konsumsi yang dikemukakan imam Al-Ghazali, beliau ber-
pendapat bahwa, konsumsi harus selalu berorientasi kepada Allah SWT,
tidak hanya berorientasi pada kepuasan saja. Karena konsumsi yang
berlandaskan atas dasar nafsu saja akan terus mendorong manusia
untuk berusaha memenuhi keinginan yang tanpa batas.
Pola konsumsi terdiri dari tiga, yaitu dharuriyyat, hajiyyat, tahsiniyyat.
c. Didalam penerapan ilmu ekonomi, tingkat kepuasan (utility function)
digambarkan oleh kurva indiferen (indifference curve). Dalam fungsi
utilitas yang biasa digambarkan adalah utility function antara dua barang
(atau jasa) yang diminati oleh konsumen. Peningkatan utilitas Kepuasan
maksimum seseorang akan terpenuhi ketika seseorang tersebut
memenuhi kepuasannya secara penuh dengan pendapatan yang
dimilikinya, dimana nilai utilitas marginal dapat terpenuhi ketika suatu
barang tertentu di konsumsi sama dengan nilai marginal utilitas barang
lain.
d. Kepuasan konsumsi merupakan bagian dari teori perilaku konsumen.
Seorang konsumen dalam mengonsumsi barang/jasa sehingga
memperoleh kepuasan selalu menggunakan kerangka rasionalitas.
Sehingga manusia rasioanal adalah manusia yang berusaha mencapai
kepuasan maksimum dalam kegiatan konsumsinya.
e. Semakin tinggi kurva indiferen berarti semakin banyak barang-barang
yang dapat dikonsumsi, yang berarti semakin tinggi tingkat kepuasan
konsumen.
f. Increasing utility
g. Budget constraint Segala keinginan pasti ada kostrain yang
membatasinya, tentu batasan ini akan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan dan usaha yang dikeluarkan untuk mendapatkan kostrain
yang lebih tinggi. Rasulullah SAW pernah menggambarkan hubungan
antara cita-cita atau keinginan manusia dan segala hambatan yang
mesti dijumpainya.
h. Konsumsi intertemporal adalah konsumsi yang dilakukan dalam dua
waktu, yaitu masa sekarang (periode pertama) dan masa yang akan
datang (periode kedua). Monzer Kahfz berusaha mengembangkan
pemikiran mengenai konsumsi intertemporal dalam Islam dengan
membuat asumsi sebagai berikut:

17
1. Islam dilaksanakan oleh masyarakat
2. Zakat hukumnya wajib
3. Tidak ada riba dalam perekonomian
4. Mudarobah wujud dalam perekonomian
5. Pelaku ekonomi bersikap rasional dengan memaksimalkan
kemaslahatan.
i. Dalam ekonomi Islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang
tidak bisa diabaikan oleh seorang muslim untuk merealisasikan
tujuan dalam penciptaan manusia, yaitu mengabdi sepenuhnya
hanya kepada Allah untuk mencapai falah.
j. Seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah
yang dihasilkan dari kegiatan konsumsi yang dilakukannya.
Konsumen akan merasakan adanya manfaat dari konsumsi ketika
kebutuhannya terpenuhi, sedangkan berkah akan diperoleh ketika
ia mengkonsumsi barang dan jasa yang dihalalkan oleh syariat
Islam. Jadi, maslahah adalah segala bentuk keadaan, baik material
maupun non material yang mampu meningkatkan kedudukan
manusia sebagai makhluk yang paling mulia.

Daftar Pustaka

dkk, J. E. (2019). Tinjauan Teori Konsumsi Menurut Al Ghazali . Universitas


Islam Bandung, 423-425.

Hakim, L. (2012). prinsip-prinsip ekonomi Islam. Jakarta: Erlangga.

Harahap, D. &. (2022). Ekonomi Mikro Islam. Medan: Merdeka Kreasi Group.

Ikhlasiyah, T. T. (2018). Teori Konsumsi Dalam syariah Islam. Universitas


Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 1-6.

Karim, A. (2007). Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Karim, A. A. (2010). Ekonomi Mikro Islam edisi ketiga. Jakarta: Rajawali Pers.

Supriadi, W. &. (2013). Ekonomi Mikro Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Tom, A. (2019). Hukum Utilitas Dalam Ekonomi Islam. At Tajir (Keuangan dan
bisnis syariah), 14-17.

18

Anda mungkin juga menyukai