Anda di halaman 1dari 11

Prinsip Dasar Dan Aspek Filosofis Konsumsi Dalam Ekonomi

Syariah

Ahmad Syafi’ul Jazil, S.E


Abdul Barik, S.Pd
Pascasarjana Ekonomi Syari’ah – UIN Kiai Haji Ahmad Siddiq
Email: ahmadjazil.aj@gmail.com

A. PENDAHULUAN
Suatu hal yang penting dalam bidang ekonomi adalah konsumsi.
Konsumsi adalah pengeluaran yang dilakukan seseorang atas barang dan
jasa untuk memenuhi kebutuhan seperti makanan, pakaian, kebutuhan
lainnya, dan berbagai jenis jasa. Namun sebagai konsumen, memiliki
keinginan untuk mencapai kepuasan tak terbatas, dan kepuasan tersebut
dibatasi oleh anggaran.
Salah satu faktor yang menjadi faktor adalah anggaran nominal, dimana
keberadaan kebutuhan primer lebih diutamakan dan mengesampingkan
kebutuhan tersier. Namun, di sisi lain sikap konsumsi dipengaruhi oleh etika
konsumen. Itu juga terpengaruh. Kedua pengaruh tersebut bersifat positif
dan sesuai dengan etika yang dianjurkan dalam Islam. Ketidaktaatan
mengarahkan konsumen pada perilaku yang tidak pantas dan bahkan
kriminal.
Setiap perintah hakikatnya memiliki dampak positif dan manfaat yang
nyata apabila dilaksanakan. Hukum Haram juga berdampak negatif bagi
konsumen. Karena Allah SWT adalah sang pencipta segala makhluk hidup
dan Allah Maha Mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Allah
membuat aturan dalam bentuk syariah, pedoman yang harus diikuti orang,
dan manfaatnya dikembalikan kepada orang itu sendiri.
Dalam teori ekonomi, kepuasan mengkonsumsi sesuatu disebut nilai
guna atau nilai guna. Kepuasan secara terminologi diartikan sebagai
pemenuhan kebutuhan fisik. Dari perspektif ekonomi Islam, kepuasan
dikenal sebagai maslahah dan dipahami untuk memenuhi kebutuhan jasmani
dan rohani. Berdasarkan nilai-nilai syariah, Islam sangat mementingkan
keseimbangan kebutuhan fisik dan non fisik (Rozalinda, 2014).
B. Prinsip Dasar Konsumsi Dalam Ekonomi Islam
Konsumsi dapat diartikan sebagai penggunaan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Konsumsi menurut konvensional
menunjukkan hal yang sama dalam ekonomi Islam, tetapi segala sesuatu di
sekitarnya berbeda. Perbedaan yang paling sederhana di tinjau dari
konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian konsumsi itu
sendiri, sedangkan dalam pandangan ekonomi islam cara pencapaiannya
harus mengikuti pedoman syariah Islam (Pujiyono, 2006).
Definisi konsumsi Abu Abdullah Muhammad Bin AlHasan Bin Farqad Al-
Syaibani memberikan pendapat bahwa ketika seseorang merasa sudah
cukup dengan apa yang dia butuhkan, dia bergegas menuju kebaikan,
sehingga dia dapat lebih berhati-hati untuk mengabdikan dirinya untuk
akhirat. Ia mengatakan itu. Dalam hal ini, umat Islam dapat diartikan
mengkonsumsi dalam kondisi kecukupan (kifaya) daripada kondisi mengemis
(kafafa) (Karim, 2004).
Konsumsi Islam selalu memperhatikan konsep Halal Haram, kewajiban
dan kepatuhan terhadap aturan syariah. Syariah mengatur berkonsumsi
untuk menghasilkan manfaat konsumsi yang optimal dan untuk tercegahnya
penyimpangan dari jalan yang benar dan efek buruk pada diri sendiri dan
lainnya. Kaidah dasar konsumsi Islami adalah:
1. Kaidah syariah, yaitu prinsip yang berkaitan dengan agama yang harus
diperhatikan dalam berkonsumsi, yang terdiri dari:
a. Prinsip aqidah, hakikat konsumsi, merupakan sarana ketaatan/ibadah
sebagai bentuk keyakinan terhadap manusia sebagai makhluk yang
dibebani oleh kekhalifahan, keteraturan di muka bumi, dan dimintai
tanggung jawab oleh Penciptanya.
b. Prinsip ilmu, bahwa jika seseorang ingin mengkonsumsi, ia harus
memiliki pengetahuan tentang barang yang dikonsumsi dan hukum
yang menjadi dasar sesuatu itu legal atau ilegal, baik dari segi isi
maupun proses dan tujuannya.
c. Prinsip amaliah, sebagai hasil dari keyakinan yang diketahui dan
pengetahuan tentang konsumsi Islami. Orang dengan keyakinan yang
jelas dan terinformasi dengan baik hanya mengkonsumsi apa yang
legal dan menahan diri dari apa yang ilegal atau dipertanyakan
2. Kaidah kuantitas, yaitu yang sesuai dengan kuantitas yang diatur dalam
hukum Islam meliputi:
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi sesuatu sesuai dengan kebutuhan.
b. Sesuaikan pendapatan dan pembayaran. Ini berarti pengeluaran Anda
harus sesuai dengan keahlian Anda, bukan ukuran taruhan Anda.
c. tabungan dan investasi. Artinya ada sebagian income yang di gunakan
untuk konsumsi, dan selebihnya disimpan untuk pengembangan
kekayaan yang akan datang
3. Kaidah prioritas, yaitu mendahulukan sesuatu yang lebih penting, agar
tidak terjadi kerugian. Meliputi :
a. primer, yaitu konsumsi pokok yang wajib terpenuhi oleh manusia untuk
hidup di dunia, agamanya, dan tetangganya
b. sekunder, yaitu konsumsi untuk meningkatkan kualitas hidup
c. tertier, yaitu memenuhi konsumsi yang jauh lebih membutuhkan.
4. Asas sosial, yaitu asas yang memperhatikan lingkungan sosial agar
tercipta keharmonisan dalam bermasyarakat
a. Kepentingan umum, yaitu saling bahu membahu dan saling membantu
satu sama lain
b. Keteladanan, yaitu keteladanan dalam konsumsi yang baik. Apalagi jika
menyangkut tokoh dan pejabat tinggi di masyarakat
c. Tidak membahayakan orang, seperti halnya mengkonsumsi sesuatu
yang menimbulkan mudhorot bagi orang lain.
5. Pengaturan lingkungan hidup, khususnya konsumsi, harus bisa sesuai
dengan kondisi penguatan kelestarian sumber daya alam dan tidak
merusak lingkungan (Karim, 2004).
Dari perspektif ekonomi Islam, konsumsi tidak hanya berarti pemenuhan
kebutuhan individu sebagai konsumen, tetapi juga pemenuhan perintah
Allah, tetapi lebih jauh mempengaruhi persepsi kebutuhan orang lain.
Sehubungan dengan adanya izin untuk mengkonsumsi makanan yang
diberikan oleh Allah, Anda bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka yang tidak memilikinya. Atau bahkan bertanya kepada fakir (al-
bas) atau fakir miskin (al-mu'tar) (Nuruddin, 2002).
Konsumsi dalam Islam tidak terlepas dari norma etika dan moral yang
berlaku dalam ekonomi Islam, norma dan moral dalam ekonomi Islam:
1. Dicirikan oleh ketuhanan. Dengan kata lain, kegiatan ekonomi juga
merupakan kegiatan beribadah dan memuji Allah SWT semata. Jadi saat
terlibat dalam kegiatan ekonomi, orang harus mencapai kemakmuran,
tetapi itu hanyalah sebuah tangga, untuk mencapai yang lebih tinggi dan
keabadian. kehidupan di akhirat.
2. Etis. Islam tidak memisahkan ekonomi dari etika dan pengetahuan dari
moralitas. Oleh karena itu, tidak ada kegiatan produksi, distribusi, atau
konsumsi yang tidak terikat oleh ikatan keimanan dan akhlak mulia.
3. Dicirikan oleh kemanusiaan. Sistem ekonomi Islam menyatakan bahwa
fitrah manusia berasal dari ketuhanan.
4. Moderat (seimbang) dan Islam tidak berlandaskan kapitalisme
individualis atau sebaliknya (Qardhawi, 2001).
C. Perilaku Konsumsi Dalam Ekonomi Islam
Kegiatan konsumsi merupakan salah satu kegiatan utama dalam sendi-
sendi organisme. Dalam hal ini, konsumsi yang dimaksud tidak hanya
mengacu pada kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan akan makanan dan
minuman. Namun, konsumsi juga membantu memenuhi kebutuhan sandang
dan papan. Konsumsi harus sistematis sesuai kebutuhan dan anggaran yang
tersedia. Jangan membelanjakan lebih dari yang Anda hasilkan (Septiana,
2015). Beikut penjelasan dalam al-Qur'an surah al-A'raf ayat 31 yang
artinya : "Wahai Anak Adam! Setiap kali kamu memasuki masjid, pakailah
pakaian yang indah, makan dan minum, tapi jangan berlebihan. Sungguh,
Allah tidak menyukai orang yang terlalu berlebihan”.

3
Konsumsi merupakan penggunakan barang dan jasa untuk terciptanya
hidup yang damai. Menurut Miller & Stafford (2010) “Konsumen adalah
seseorang yang membeli atau menggunakan suatu produk.” Tindakan
individu terkait tidak hanya dengan pendapatan, tetapi juga dengan
kesadaran lingkungan dan gaya hidup. Tujuan konsumen adalah untuk
kebutuhan yang terpenuhi, mengurangi kegunaan barang dan jasa, dan
menghasilkan kepuasan (Miller & Stafford, 2010). Seorang konsumen yang
rasional itu menyimpan sebagian harta yang dimiliki untuk konsumsi dan
menggunakan sisanya untuk ditabung. Untuk bisa dikatakan bertindak
rasional ketika mampu memilah semua aspek dan alternatif yang terbaik bagi
mereka (Supratti, 2010). Akan tetapi juga harus memperhatikan lingkungan
ekonomi yang meliputi pendapatan, harga, tabungan, kredit, dan kondisi
ekonomi secara umum. Dalam konsep ekonomi konvensional, konsumsi
adalah proses dan aktivitas dimana seseorang mencari barang dan jasa
untuk memuaskan keinginan mereka (Malhotra, 2010). Memahami cara
konsumen sangat penting dalam pemasaran. Menurut Engel et al. (1995),
perilaku konsumen adalah perilaku yang berkaitan dengan produksi,
konsumsi, dan pengeluaran barang dan jasa, termasuk hasil yang
mendahului dan mengikuti perilaku tersebut. Semua manusia berusaha
membelanjakan pendapatan mereka yang terbatas untuk membeli produk
untuk kepuasan maksimum. Banyak faktor yang mempengaruhi pembelian
suatu produk. Produsen harus mempelajari faktor-faktor yang membuat
program pemasaran mereka lebih berhasil. Antara lain: faktor ekonomi,
psikologis, sosiologis dan antropologis. Teori perilaku konsumen mengkaji
bagaimana orang memilih dengan menggunakan sumber daya yang
tersedia. Perilaku konsumsi identik sebagai perilaku yang mengurangi atau
mengkonsumsi kegunaan suatu barang. Menurut Engel et al. (1995) Perilaku
konsumen adalah perilaku yang berhubungan langsung dengan
mengkonsumsi dan menghabiskan barang/jasa, serta proses sebuah
keputusan yang mendahului dan mengikuti perilaku tersebut (Engel et al,
1995). Konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peran akidah Islam. Peran
keyakinan merupakan ukuran penting karena keyakinan menyampaikan
pandangan dunia yang cenderung membentuk kepribadian individu.
Keyakinan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kuantitas dan kualitas
konsumsi, baik kepuasan material maupun spiritual (Septiana, 2015).
Konsumerisme Islam pada hakekatnya dibangun atas kebutuhan dan
Kepuasan. Secara rasional, orang tidak mengkonsumsi sesuatu apabila tidak
membutuhkan atau menggunakannya. Konsep konsumsi berarti
menggunakan sesuatu untuk kebutuhan yang terpenuhi. Ada banyak norma
penting terkait larangan konsumen, seperti isyraf dan tabzir, serta norma
terkait anjuran infak. Oleh karena itu, seseorang harus mengandalkan
norma-norma yang ditetapkan dalam ajaran Islam untuk memenuhi
konsumsinya. Hal ini karena konsumsi pada hakekatnya adalah pengeluaran
untuk terpenuhi kebutuhan duniawi dan keluarga. Konsumsi dalam tinjauan
Islami selalu berpedoman pada ajaran Islam. Misalnya, kepercayaan
konsumen yang mencakup kebutuhan untuk mempertimbangkan konsumen.
Hadits menyebutkan bahwa sesama umat islam wajib membagikan makanan
dengan tetangganya yang mencium baunya (Misanan, 2012). Konsumerisme
Islam juga mengajarkan kita untuk bermurah hati dalam mempertimbangkan
kondisi lingkungan. Munculnya kegembiraan yang memuaskan kebutuhan
hidup bermasyarakat menimbulkan kecemburuan yang menimbulkan konflik.
Selain memiliki sikap rendah hati, kita juga harus menumbuhkan sikap
mengamati dan memperhatikan kondisi kehidupan orang-orang di sekitar
kita. Dalam hadits tersebut, Nabi menegaskan bahwa seseorang tidak bisa
disebut beriman jika perutnya kenyang dan tetangganya lapar. Hal ini
menunjukkan kepada kita bahwa terdapat suatu kebajikan untuk berbagi
dengan orang lain untuk menerima berkat kekayaan yang kita terima
(Sarwono, 2009).
Konsumerisme Islam, menurut Al-Qur'an dan Hadits harus didasarkan
pada implementasi yang dapat melampaui rasionalitas manusia yang sangat
terbatas ini dan mengintegrasikan keyakinan akan kebenaran. Lebih lanjut,
penekanan dalam konsumsi adalah pengenalan istilah maslahah (Siddiqi,
1972), seperti yang ditunjukkan dalam rumusan berikut :
M =F (1+ βip)ᵟᵞ
M = Maslahah
F = manfaat fisik
Βi = frekuensi aktivitas
p = imbalan per unit
Menurut rumusan di atas, dapat diuraikan bahwa:
a. y = 0 < y < 2; y = 1 atau lebih jika konsumen menyukai maslahah, ᵞ kurang
dari 1 jika tidak suka maslahah. Kemudian itu juga tergantung pada jumlah
pendapatan yang diperoleh masing-masing individu.
b. Preferensi Maslahah dapat memperluas kesukaan dan jangkauan aktivitas
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang ingin
berbagi untuk kebaikan bersama, semakin luas jangkauan kegiatan yang
disukai. Karena apa pun yang diberikan untuk kepentingan tujuan
bersama dapat membawa manfaat dan manfaat yang lebih besar bagi
penerimanya.
c. Y = 0 = tidak terindikasi maslahah = ukuran marjinal maslahah menurun.
Ini terjadi apabila tidak ada sikap kepedulian terhadap orang lain.
d. Saat preferensi maslahah Anda meningkat, maslahah marjinal Anda
menurun lebih lambat. Implikasi lainnya adalah bahwa semakin konsumen
peduli dengan berkah mereka (semakin mereka yakin akan imbalannya),
semakin kecil kemungkinan mereka bosan atau bosan dengan apa yang

5
mereka konsumsi, bahkan jika mereka tidak lagi melihat manfaat fisiknya.
tentang itu.
e. Adanya berkah memperluas jangkauan kegiatan konsumsi. Berkah dapat
diperoleh dengan berbagi kepada sesama dan mereka yang
membutuhkan. Misalnya, jika Anda menerima uang dalam jumlah besar
(biaya aktivitas, penghasilan tambahan, dll.), Anda dapat meneruskannya
ke teman dan tetangga Anda. Itu dimaksudkan untuk berbagi kebahagiaan
dan keberuntungan yang kita terima. Menurut hukum Islam, aturannya
adalah 2,5% dari bagian orang miskin. Insya Allah, ini memperluas
jangkauan konsumsi. Bahkan, Al-Qur'an menyatakan bahwa barang siapa
yang mengeluarkan harta di jalan allah, maka akan di tambahkan
kepadanya.
f. Orang yang memiliki dan menyukai Maslahah mampu berpartisipasi aktif
dalam aktivitas bahkan setelah manfaat fisik dari aktivitas tersebut
berhenti. Pada dasarnya, setelah Anda membagikan keuntungan
(kekayaan), Anda tidak bisa mendapatkan Maslahah secara langsung.
Tetapi perasaan ini adalah sesuatu yang Anda terima setelah
merasakannya dari hati, tanpa meminta imbalan apa pun. Berbagi ikhlas
karena Allah SWT pasti akan menerima pahala dari orang lain. Kita tidak
perlu pamrih atas imbalan tersebut, apabila memiliki ikhlas pasti kita akan
mendapat imbalan dari orang lain (Siddiqi, 1972).
Perilaku konsumen menurut Islam adalah maslahah dan perilaku
konsumen dipengaruhi oleh:
a. kegunaan (utilitas) dari barang maupun jasa
b. konsumen mampu memperoleh barang maupun jasa dan daya beli yang
bersumber dari pendapatan konsumsi dan barang di pasar
c. agama dan adat istiadat. Kecenderungan konsumen untuk membuat
keputusan konsumsi sehubungan dengan pengalaman masa lalu, budaya,
selera dan unsur nilai-nilai seperti agama.
Teori ekonomi kontemporer mengasumsikan bahwa konsumen itu
rasional. Jadi, seseorang tahu apa yang diinginkan. Jika menurut ekonomi
konvensional adalah memaksimalkan kepuasan konsumen (utilitas) dan
keuntungan produsen, maka berbeda dengan sudut pandang ekonomi Islam.
Menurut ekonimi islam produsen maupun konsumsi harus memaksimalkan
dan menghasilkan maslahah (Rianto & Amalia, 2010).
Rasionalitas perilaku konsumen dalam perspektif Islam adalah sebagai
berikut (Afrina, 2019):
a. Perilaku konsumsi dianggap wajar apabila sesuai dengan kebutuhan,
yang di jelaskan dalam QS Al-Isra’ ayat 29
b. Perilaku konsumsi rasional tidak hanya bertujuan untuk duniawi, akan
tetapi juga untuk akhirat yang di jelaskan dalam QS Al-Isra ayat 2
c. Karena rendahnya tingkat konsumsi yang berkaitan dengan Halal, perilaku
konsumsi dikatakan rasional dan umat Islam harus mengkonsumsi secara
halal dan tayyib yang di jelaskan dalam Qs Al-Baqarah ayat 173
d. Perilaku konsumsi secara rasional apabila tidak menimbun kekayaan,
tetapi menginvestasikannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
D. Konsep Kebutuhan Dalam Islam
Konsumerisme Islam pada hakekatnya dibangun di atas dua hal. Imam Al-
Ghozali mengklaim ada kebutuhan dan keinginan benar-benar berbeda.
Kebutuhan, menurut Imam al-Ghazali, berarti memperoleh apa yang
dibutuhkan seseorang untuk mempertahankan kelangsungan hidup yang
baik dan menjalankan fungsi untuk memenuhi tugas sebagai hamba Allah
melalui rajin beribadah. Adalah Keinginan manusia untuk beribadah kepada
Allah adalah sebuah kewajiban dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan
agar kewajiban tersebut dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka hukum
menjadi kewajiban dalam sebuah peraturan.
Agama islam selalu mengajarkan sesuatu yang berkaitan dengan
ketuhananan, dalam hal ini memiliki tujuan utama penciptaan manusia yaitu
ibadah. Dalam kebutuhan tersebut, tuhan memberikan manusia dengan
nafsu, dan kehadiran nafsu tersebut mampu menimbulkan keinginan pada
manusia. Menurut al Syathibi, kebutuhan manusia dalam pandangan Islam di
bagi tiga macam, yaitu (Masykuroh, 2008):
1. Dhoruriyat (primer)
Dharuriyat (primer) adalah Kebutuhan tersebut harus dipenuhi supaya
manusia mampu hidup dengan layak. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi,
kelak kehidupan manusia di dunia dan di akhirat akan terancam.
Kebutuhan ini meliputi, melindungi agama, melindungi jiwa, melindungi
akal, melindungi keturunan, melindungi harta.
2. Hajiyat (sekunder)
Kebutuhan hajiyat atau bisa disebut dengan kebtuhan sekunder. Jika
tidak terlapenuhinya kebutuhan ini, maka tidak menimbulkan terancamnya
keselamatan jiwa manusia, akan tetapi dapat mempersulit manusia dalam
melakukan aktivitasnya secara produktif. Kebutuhan ini memperkuat
kebutuhan Dhoruriyat. Kebutuhan hajiyat merupakan penyokong untuk
meningkatkan, memperkuat dan melindungi tingkatan Dharuriyat. atau
lebih khusus ditujukan untuk meringankan masalah-masalah manusia di
dunia.
3. Tahsiniyah (Tersier)
Kebutuhan tahsiniyah adalah kebutuhan yang tidak harus manusia
miliki, bahkan apabila memiliki kebutuhan tersebut justru memberatkan
bagi umat manusia. Kebutuhan ini muncul setelah terpenuhinya
kebutuhan dharuriyah dan kebutuhan hajiyat dan kebutuhan ini
merupakan kebutuhan pelengkap, seperti halnya rumah yang mewah.

7
E. Utility dan Maslahah
Menurut Mufllih, konsep pemikiran konsumen dalam peran ekonomi
memiliki dua bentuk: utilitas dan maslahah. utility secara bahasa mempunyai
arti berguna, membantu, atau menguntungkan (Muflih, 2006).
Konteks ekonomi menjelaskan utilitas didefinisikan sebagai kegunaan
suatu produk yang didapat konsumen saat mengkonsumsi barang tersebut.
Utilitas dapat dialami sebagai kelegaan dari kesulitan mengkonsumsi barang
tersebut. Untuk alasan ini, utilitas sering diartikan sebagai kepuasan
konsumen. Kepuasan dan utilitas dengan demikian disamakan, meskipun
kepuasan sebenarnya adalah konsekuensi yang disebabkan oleh utilitas
(Rahmawaty, 2011).
Maslahah, di sisi lain, adalah segala bentuk keadaan fisik dan non-fisik
yang dapat mengangkat status yang paling dimuliakan. Dalam konsep Islam
akan mendapatkan kepuasan apabila mengkonsumsi dengan tujuan
maslahah. Mencapai Maslahah adalah tujuan Maqashid Syariah dan harus
menjadi pedoman tujuan konsumsi umat Islam (Fordebi, 2016).
Berikut perbedaan antara Maslahah dan Utility:
1. Prinsip Maslahah harus berkorelasi dengan kebutuhan, sedangkan utility
dikaitkan dengan keinginan.
2. Utility mempuanyi sifat pribadi/seseorang, sedangkan maslahah dapat
dirasakan umum
3. Acuan Maslahah didasarkan pada acuan objektif (kriteria tentang halal
atau baik) sehingga dapat ditenentukan apakah suatu objek ekonomi
memiliki maslahah atau tidak. Sementara utilitas didasarkan pada acuan
yang lebih subyektif, akan tetapi acuan tersebut dapat berbeda antara
individu dengan lainnya.
4. Maslaha individu relatif konsisten dengan maslaha sosial. Sebaliknya,
kepentingan individu dan kepentingan masyarakat seringkali
bertentangan. Jika Maslaha adalah tujuan dari semua pelaku ekonomi
(konsumen, produsen, distributor), maka semua kegiatan ekonomi
manusia, konsumsi, produksi, distribusi, dll, mencapai tujuan
kesejahteraan yang sama. Ini adalah tujuan lain yang harus dicapai
karena berbeda dengan utilitas dalam ekonomi tradisional di mana
konsumen mengukur kepuasan konsumen dan memaksimalkan
keuntungan bagi produsen dan pengecer.
5. Dalam konteks perilaku konsumen, utilitas didefinisikan sebagai konsep
kepuasan konsumen dalam konsumsi barang atau jasa, dan masalah
didefinisikan sebagai konsep pemetaan perilaku konsumen berdasarkan
prinsip kebutuhan dan prioritas.
DAFTAR PUSTAKA
Afrina, D. (2019). “Rasionalitas Muslim Terhadap Perilaku Israf Dalam
Konsumsi Perspektif Ekonomi Islam”. EkBis: Jurnal Ekonomi Dan Bisnis.
Engel, J.F, Blackwell R.D., & Miniard P.W.. 1995. Perilaku Konsumen (Jilid 1
dan 2 Edisi Keenam). Tangerang: Binarupa Aksara.
Fordebi, Adesy. (2016). Ekonomi Dan Bisnis Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada
Hidayat, Muhammad. (2010). Pengantar Ekonomi Syariah. Jakarta: Zikrul
Media Intelektual
Karim, Adiwarman. (2004). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Malhotra, N.K. (2010). Marketing Research: An Applied Orientation (Sixth
Edition). New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Masykuroh, Ely. (2008). Pengantar teori ekonomi. Ponorogo: STAIN Ponorogo
Pres,
Miller, R. LeRoy. & A.D. Stafford. (2010). Economic Education for Consumers
(4e). USA: South-Western Cengage Learning.
Mufllih, Muhammad. (2006). Perilaku Konsumen Dalam Perfektif Ilmu Ekonomi
Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Munrokhim, Misanan. (2012) Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Nuruddin, Amiur. (2002). Dari mana Sumber Hartamu (Renungan tentang
Bisnis Islam dan Ekonomi Syaria). Surabaya: Erlangga
Pujiyono, Arif. (2006). “Teori Konsumsi Islami”. dalam Jurnal Dinamika
Pembangunan, Volume 3, Nomor 2,Desember
Qardhawi, Yusuf. (2001). Norma dan Etika Ekonomi Islam, Penterjemah: Zainal
Arifin, Lc,dkk., Jakarta: Gema Insani Press
Rahmawaty, Anita. (2011) Ekonomi Mikro Islam. Kudus: Nora Media Enterprise
Rianto, Nur & Amalia, Euis. (2010).Teori Mikroekonomi. Jakarta: Prenada
Media Group Muhammad
Rozalinda. (2014). Ekonomi Islam Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas
Ekonomi. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada
Sarwono. (2009). “Analisis Perilaku Konsumen Perspektif Ekonomi Islam”.
Jurnal Inovasi Pertanian. Volume 8, Nomor 1 Bogor: Innofarm.
Septiana, Aldila. (2013). Pengaruh Economics Literacy terhadap Perilaku
Konsumsi yang Dimediasi oleh Nilai-Nilai Budaya Lokal dan Promosi
pada Siswa SMA Negeri Se Kota Pamekasan. Tesis tidak diterbitkan.
Malang: PPs-UM
Septiana, Aldila. (2015). Modul Pengantar Ilmu Ekonomi. Bangkalan: UTM
Press.

9
Septiana, Aldila. (2015). Analisis Perilaku Konsumen: Teori & Praktik dalam
Bidang Pemasaran. Bangkalan: UTM Press.
Siddiqi, Muhammad, Nejatullah. (1972). Some Aspects of the Islamic Economy.
Delhi: Markazi Maktaba Islami.
Suprapti, Ni W.S. (2010). Perilaku Konsumen: Pemahaman Dasar dan
Aplikasinya dalam Strategi Pemasaran. Denpasar-Bali: Udayana
University Press.
11

Anda mungkin juga menyukai