Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan


mekanisme pasar yang tidak berjalan dengan adil sering menimbulkan permasalahan
permasalahan sosial di masyarakat, di antaranya kesenjangan antara si kaya yang makin kaya
dan si miskin yang semakin miskin. Kesenjangan ini merupakan akibat dari tidak terciptanya
keadilan distribusi di masyarakat. Pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru, misalnya,
banyak menimbulkan ketidakadilan dalam ekonomi, di mana kebijakan pemerintah
cenderung berpihak pada elit ekonomi sehingga mendapatkan lebih banyak kemudahan dan
dukungan,1 karena dipandang lebih sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang
pada akhrinya menjadikan alokasi distribusi ekonomi banyak terserap pada kelompok
tersebut. Meskipun pada awalnya diharapkan dapat menetes pada ekonomi rakyat miskin,
sebagaimana yang diperkirakan oleh konsep trickle down effect,2 namun pada kenyataannya
kebijakan tersebut belum dapat mengangkat kemampuan ekonomi rakyat miskin, sehingga
ketimpangan ekonomi semakin tajam,3 terutama ketika muncul permasalah-permasalahan
sosial akibat semakin tingginya. Islam mengajarkan agar harta tidak menumpuk pada
golongan tertentu di masyarakat dan mendorong terciptanya pemerataan dengan tidak
berpihak pada satu kelompok atau golongan tertentu, sehingga proses distribusi dapat
berjalan dengan adil. Ini dapat dilakukan dengan memberikan peluang yang sama bagi
masyarakat untuk mendapatkan harta kekayaan, dan mewajibkan bagi yang mendapatkan
harta berlebih untuk mengeluarkan zakat sebagai kompensasi bagi pensucian dan
pembersihan harta tersebut atas hak orang lain. Pemerataan distribusi merupakan salah satu
sarana untuk mewujudkan keadilan, karena Islam menghendaki kesamaan pada manusia
dalam memperoleh peluang untuk mendapatkan harta kekayaan tanpa memandang perbedaan
kasta maupun warna kulit.

b. Rumusan Masalah

1. Apakah distribusi pendapatan dalam islam itu ?

2. Sebutkan dampak distribusi dalam islam itu ?

3. Apa yang menjadi kebijakan distribusi dalam sistem ekonomi islam ?

4. Sebutkan pengertian distribusi pendapatan dalam konsep negara dan konteks rumah tangga

5. Bagaimana infak dan maksimasi utility ?

6. Apa perbedaan mekanisme pasar dan mekanisme non pasar ?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Distribusi Pendapatan Dalam Islam

Distribusi menjadi posisi penting dari teori ekonomi islam karena pembahasan
distribusi berkaitan bukan saja berhubungan dengan aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial
dan aspek politik. Maka distribusi dalam ekonomi islam menjadi perhatian bagi aliran
pemikir ekonomi islam dan konvensional sampai saat ini. Di lain pihak, keadaan ini berkaitan
dengan visi ekonomi di tengah-tengah umat manusia lebih sering mengedepankan adanya
jaminan pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih baik.

Oleh karena itu dalam distribusi pendapatan berhubungan dengan beberapa masalah :

1) Bagaimana mengatur adanya distribusi pendapatan.

2) Apakah distribusi pendapatan yang di lakukan harus mengarah pada pembentukan


masyarakat yang mempunyai pendapatan yang sama.

3) Siapa yang menjamin adanya distribusi pendapatan ini di masyarakat.

Untuk menjawab masalah ini, islam telah menganjurkan untuk mengerjakan zakat, infaq, dan
shadaqah. Kemudian Baitul Mal membagikan kepada orang yang membutuhkan untuk
meringankan masalah hidup orang lain dengan cara memberi bantuan langsung ataupun tidak
langsung. Islam tidak mengarahkan distribusi pendapata yang sama rata, letak pemerataan
dalam islam adalah keadilan atas dasar maslahah; dimana antara satu orang dengan orang lain
dalam kedudukan sama atau berbeda, mampu atau tidak mampu saling bisa menyantuni,
menghargai dan menghormati peran masing-masing. Semua keadaan diatas akan terealisasi
bila masing-masing individu sadar terhadap eksistensinya di hadapan Allah.

B. Dampak Distribusi Pendapatan Dalam Islam

Distribusi pendapatan merupakan bagian yang penting dalam membentuk kesejahteraan.


Dampak dari distribusi pendapatan bukan saja pada aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial
dan politik. Oleh karena itu islam memberi perhatian lebih terhadap distribusi pendapatan
dalam masyarakat. Maka islam memperhatikan berbagai sisi dari perilaku manusia dalam
memenuhi kebutuhannya, misalnya dalam dalam jual-beli, hutang piutang, dan sebagainya.
Dampak yang di timbulkan dari distribusi pendapatan yang di dasarkan atas konsep islam;

1) Dalam konsep islam perilaku distribusi pendapatan dalam masyarakat merupakan bagian
dari bentuk proses kesadaran masyarakat dalam mendekatkan diri kepada Allah, oleh karena
itu, distribusi dalam islam akan menciptakan kehidupan yang saling menghargai dan
menghormati antara satu dengan yang lain tidak akan sempurna eksistensinya sebagai
manusia jika tidak ada yang lain. Tidak ada upaya utuk membatasi optimalisasi distribusi
pendapatan di dalam masyarakat dengan perbuatan-perbuatan tercela, manipulasi, korupsi,
spekulasi, dan sebagainya sehingga timbul ketakutan, ketidakpercayaan, dan kecurigaan
antara satu dengan yang lainnya.

2) Seorang muslim akan menghindari praktek distribusi yang menggunakan barang-barang


yang merusak masyarakat misalnya minuman keras, obat terlarang, pembajakan, dan
sebagainya sebagai media distribusi. Dalam islam distribusi tidak hanya di dasarkan
optimalisasi dampak barang tersebuat terhadap kemampuan orang tetapi pengaruh barang
tersebut terhadap perilaku masyarakat yang mengkonsumsinya.

3) Negara bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dengan mengedepankan


kepentingan umum dari pada kepentingan kelompok, atau golongan apalagi perorangan. Oleh
karena itu sektor publik yang di gunakan untuk kemaslahatan umat jangan sampai jatuh di
tangan orang yang mempunyai visi kepentingan kelompok, golongan dan kepentingan
pribadi.

4) Negara mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan fasilitas publik yang berhubungan
dengan masalah optimalisasi distribusi pendapatan, seperti ; sekolah, rumah sakit, lapangan
kerja, perumahan, jalan, jembatan dan sebagainya. Sarana tersebut sebagai bentuk soft
distribution yang di gunakan untuk mengoptimalkan sumber daya yang berkaitan. Misalnya,
sekolah akan mencetak manusia yang pandai sehingga bisa memikirkan yang terbaik dari
keadaan umat manusia, rumah sakit menciptakan orang sehat sehingga bisa bekerja dengan
baik, lapangan kerja mengurangi angka kriminalitas dan ketakutan dan sebagainya.

C. Kebijakan Distribusi dalam Sistem Ekonomi Islam

Sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang lahir dari sistem sosial islami yang
diharapkan dapat memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan yang ada. Dengan
kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kemaslahatan dan keadilan dalam ekonomi umat.
Kebijakan distribusi dalam Sistem ekonomi Islam menjunjung tinggi nilai keadilan yang
didasarkan pada konsep distribusi dalam al-Qur’an surah al-Hashr “agar kekayaan tidak
terkumpul hanya pada satu kelompok saja.” ayat tersebut bermaksud untuk menegaskan
bahwa harta benda hendaknya jangan hanya menjadi milik dan kekuasaan sekelompok
manusia. Harta benda harus beredar di masyarakat sehingga dapat dinikmati oleh semua
anggota masyarakat dengan tetap mengakui hak kepemilikan dan melarang monopoli, karena
sejak awal Islam menetapkan bahwa harta memiliki fungsi sosial. ekonomi Islam tidak
membenarkan penumpukan kekayaan hanya pada orang-orang tertentu atau kelompok
tertentu. Bahkan menggariskan prinsip keadilan dan persaudaraan (kasih sayang) pada
konsep distribusinya. Pengelolaan kekayaan tidak dibenarkan hanya berpihak pada golongan
atau sekelompok orang tertentu tetapi juga harus tersebar ke seluruh masyarakat. Sebaliknya
Islam pun tidak memaksa semua individu diletakkan pada tingkat ekonomi yang sama. Agar
kebijakan yang ditawarkan ekonomi Islam dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan
seperangkat aturan yang menjadi prinsip dalam proses distribusi dan institusi yang berperan
dalam menciptakan keadilan distribusi;

1. Prinsip Distribusi dalam Sistem Ekonomi Islam

Ada beberapa prinsip yang mendasari proses distribusi dalam ekonomi Islam yang terlahir
dari al-Qur’an surah al-Hashr: sebagaimana dikemukakan sebelumnya, yakni:

Larangan Riba

Dalam al-Qur’an kata riba digunakan dengan bermacam-macam arti, seperti tumbuh, tambah,
menyuburkan, mengembangkan serta menjadi besar dan banyak. Secara umum riba berarti
bertambah baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Menurut etimologi, kata al-riba>
bermakna za>da wa nama> yang berarti bertambah dan tumbuh, sedangkan secara
terminologi riba definisikan sebagai melebihkan keuntungan dari salah satu pihak terhadap
pihak lain dalam transaksi jual beli, atau pertukaran barang sejenisnya dengan tanpa
memberikan imbalan atas kelebihan tersebut. Pelarangan riba merupakan permasalahan
penting dalam ekonomi Islam, terutama karena riba secara jelas dilarang dalam al-Qur’an.
Jika dihubungkan dengan masalah distribusi, maka riba dapat mempengaruhi meningkatnya
dua masalah dalam distribusi, yakni: petama, berhubungan dengan distribusi pendapatan
antara bankir dan masyarakat secara umum, serta nasabah secara khusus dalam kaitannya
dengan bunga bank. Termasuk di dalamnya antara investor dan penabung. Ini membuktikan
bahwa Islam tidak menginginkan terjadinya eksploitasi sosial dalam berbagai bentuk
hubungan finansial yang tidak adil dan seimbang. Terutama ketika pemilik modal dapat
melakukan apa saja yang dikehendakinya kepada orang lain yang tidak memiliki kemampuan
finansial tanpa mempertimbangkan aspek moral dan keadilan, sehingga tidak tercipta
hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Masalah kedua yang akan timbul adalah
berhubungan dengan distribusi pendapatan antar berbagai kelompok di masyarakat, di
antaranya para pekerja dan pengangguran yang secara riil tidak bekerja, namun memiliki
dana, maka dengan riba pengangguran tersebut akan mendapatkan pendapatan dari
bekerjanya para pekerja. Dalam pengertian lain, pengangguran tipe ini tidak mendapatkan
pendapatan karena ia bekerja, namun mendapat pendapatan karena hartanya yang bekerja.

Keadilan Dalam Distribusi

keadilan dalam distribusi merupakan satu kondisi yang tidak memihak pada salah satu pihak
atau golongan tertentu dalam ekonomi, sehingga menciptakan keadilan merupakan kewajiban
yang tidak bisa dihindari dalam ekonomi Islam. Keadilan dalam distribusi diartikan sebagai
suatu distribusi pendapatan dan kekayaan, secara adil sesuai dengan norma-norma fairness
yang diterima secara universal. Sedangkan keadaan sosial yang benar ialah keadaan yang
memprioritaskan kesejajaran yang ditandai dengan tingkat kesejajaran pendapatan (kekayaan)
yang tinggi dalam sistem sosial. Pemahaman distribusi secara adil dalam konteks syariah
bukanlah distribusi yang ditawarkan sosialis dengan sama ratanya dan kapitalisme dengan
sistem pajak progresifnya. Namun keadilan distribusi yang dimaksud ialah keadilan distribusi
yang dituntun oleh nilai syariah. Tidak bisa dihindari bahwa keadilan dalam distribusi
membutuhkan satu kondisi yang dapat menjamin terciptanya kesempatan yang sama pada
setiap orang di Indonesia untuk berusaha mencapai apa yang diinginkan dengan kemampuan,
namun tidak menuntut kesamaan hasil dari peroses tersebut. Tidak membenarkan perbedaan
kekayaan yang melampaui batas kewajaran serta mempertahankannya dalam batasan-batasan
yang wajar. Upaya tersebut dilakukan dengan tidak hanya mengandalkan mekanisme pasar
yang selama ini dijalankan dalam proses distribusi pendapatan dan kesejahteraan di
Indonesia, tetapi juga dilakukan dengan mengaplikasikan mekanisme redistribusi yang telah
digariskan syariah, seperti adanya instrumen zakat yang merupakan salah satu sarana
mewujudkan keadilan distribusi. Keadilan distribusi dalam ekonomi Islam memiliki tujuan,
yakni agar kekayaan tidak menumpuk pada sebagian kecil masyarakat tetapi selalu beredar
dalam masyarakat. Keadilan distribusi menjamin terciptanya pembagian yang adil dalam
kemakmuran, sehingga memberikan konstribusi ke arah kehidupan yang lebih baik.
Muhammad Shyarif Chaudhry mengemukakan bahwa distribusi ekonomi penting dilakukan
untuk menciptakan kesejahteraan di masyarakat sebagai bagian dari komitmen persaudaraan
dan umat. Untuk menciptakan distribusi yang adil dapat dilakukan dengan merealisasikan
hal-hal yang telah ditetapkan dalam Islam seperti zakat, wakaf, waris dan lain sebagainya.

Mengakui kepemilikan Pribadi

Islam mengakui hak kepemilikan pribadi terhadap harta benda, dan membenarkan pemilikan
harta yang dilakukan dengan cara yang halal merupakan bagian dari motivasi manusia untuk
berusaha memperjuangkan kesejahteraan dirinya dan memakmurkan bumi, sebagaimana
kewajiban bagi seorang khalifah. Sebalikanya, tidak membenarkan penggunaan harta
pribadinya sebebas-bebasnya tanpa batas dan sekehendak hatinya. Kepemilikan terhadap
harta tidak menutup kewajiban untuk tidak melupakan hakhak orang miskin yang terdapat
pada harta tersebut. Dengan menyadari bahwa dalam harta yang dimiliki terdapat hak orang
lain, secara langsung membuka hubungan horisontal dan mempersempit jurang pemisah di
tengah-tengah masyarakat antara si kaya dan si miskin. Bahkan jika dilihat lebih jauh, maka
sesungguhnya pemilik harta merupakan pemegang amanah Allah karena semua kekayaan dan
harta benda pada dasarnya milik Allah dan manusia memegangnya hanya sebagai suatu
amanah yang akan dimintai pertanggung jawabannya atas harta benda tersebut. Jika
kesadaran tersebut telah tumbuh, maka secara langsung akan membentuk pribadi yang tidak
hanya berpikir menciptakan kesejahteraan individual, tetapi juga bertanggung jawab terhadap
terciptanya kesejahteraan pada lingkungan sosial. Pengakuan Islam terhadap hak milik
individu diperkuat dengan jaminan keselamatan harta dengan memberikan hukuman yang
keras terhadap pelaku pencurian, perampokan dan pemaksaan kepemilikan yang tidak
dibenarkan, serta membenarkan pemindahan kepemilikan dengan cara-cara yang dibenarkan
oleh syariah sesuai dengan tujuan akad yang dilakukan.

Larangan menumpuk harta

Islam membenarkan hak milik pribadi, namun tidak membenarkan penumpukan harta benda
pribadi sampai batas-batas yang dapat merusak fondasi sosial Islam. Penumpukan harta
berlebihan jelas bertentangan dengan kepentingan umum yang berimbas pada rusaknya
sistem sosial dengan munculnya klas-klas yang mementingkan kepentingan pribadi. Di
samping itu, penumpukan harta berlebihan dapat melemahkan daya beli masyarakat dan
menghambat mekanisme pasar bekerja secara adil. Apabila terjadi yang demikian, maka
pemerintah dibenarkan, dengan kekuasaannya, untuk mengambil secara paksa harta tersebut
demi kepentingan masyarakat. Kebijakan membatasi harta pribadi dapat dibenarkan dan
dilakukan untuk menjamin terciptanya kondisi sosial yang sehat dan terwujudnya landasan
keadilan distribusi di masyarakat.

D. Distribusi Pendapatan Dalam Konsep Negara

Prisnsip-prinsip ekonomi yang dibangun di atas nilai moral islam mencanangkan


kepentingan distribusi pendpatan secara adil.pada sarjana muslim banyak membicarakan
objektivitas perekonomian berbasis Islampada level Negara terkait dengan,penjaminan level
minimum kehidupan bangsa bagi mereka yang berpendapatan di bawah kemampuan
pemenuhan kebutuhan dasar, Negara wajib bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan materi
bagi lingkungan social maupun individu dengan memaksimalkan pemanfaatan atas sumber
daya yang tersedia. Karena itu Negara wajib mengeluarkan kebijakanyang mengupayakan
stabilitas ekonomi, kesetaraan, ketenaga kerjaan pembangunan social ekonomi dan lain
sebagainya. Negara juga bertanggung jawab atas manejemen.kepemilikan publikyang
pemanfaatannya diarahkan untuk seluruhanggota social, menahbiskan yang baik dan
mencegah yang buruk bagimasyarakat secara umum, memproteksi dan mereservasimoral
komitmen seluruh bangsa

a. Pengelolaan Sumber Daya

Dalam pengelolaan sumber daya, Negara harus mampu mendistribusikan sumber daya yang
ada dengan baik dan maksimal. Kebijakan distribusi menganut kesamaan dalam kesempatan
kerja, pemerataan kesejahteraan dan pemanfaatan lahan yang menjadi sektor publik. Ajaran
islam memberikan otoritas kepada pemerintah dalam menentukan penggunaan lahan untuk
kepentingan publik dan Negara, distribusi tanah kepada sektor swasta, penarikan pajak,
subsidi, dan keistimewaannon monetarylainnya yang unsur legalitasnyadikembalikan kepada
aturan syari’ah.semua keistimewaan tersebut harusdiarahkan untuk memenuhi kepentingan
publikdan pembebasan kemiskinan.

b. Model Ekonomi Politik

Kebijakan ekonomi politik diarahkan untuk melayani kepentingan individu dan umum secara
sekaligus. Model ini menfokuskan kepada keimbangan, harmonisasi dan permanen dari
kedua kepentingan tersebut. Kebijakan ekonomi politk islam juga melayani
kesejahteraanmateri dan kebutuhan spiritual. Kebijakan ini memperhatikan setiap aktivitas
ekonomi individu,selama aktivitas itu berada dalamperencanaan dan orientasihanya kepada
Allah SWT.

Aspek ekonomi politik Islam yang dilakukan oleh para khalifah adalah dalam rangka
mengurusi dan melayani umat. Ada dua hal penting yng harus diperhatikan oleh umat islam
untuk memperoleh kesuksesan system islam dalam distrubusi pendapatan, yaitu;perilaku
konsumsi (mustahik menjadi muzaki) dan pengembangan intermediary system untuk lebih
menyelengggarakan instrument-instrumen kebijakan fiscal dalam islam yang khusus
diproyeksikan untuk distribusi pendapatan.

c. Distribusi Pendapatan Dalam Konteks Rumah Tangga

Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga tidak terlepas dari terminolgi shadaqah.
Pengertian shadaqah di sini bukan berarti sedekah dalam konteks pengertian bahasa
Indonesia. Karena shadaqah dalam kontek terminology Al qur’an dapat dipahami dalam dua
aspek, yaitu: pertama: shodaqah wajibah yang berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah
tangga yang berkaitan dengan instrument distribusi pendapatan berbasis kewajiban. Untuk
kategori ini bisa berarti kewajiban personal seseorang sebagai muslim, seperti warisan dan
bisa juga berarti kewajiban seorang muslim dengan muslim lainnya. Kedua: shadaqah nafilah
(sunnah) yang berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan
instrument distribusi pendapatan berbasis amal karikatif, seperti sedekah.

d. Infak dan Maksimasi Utility

Dalam melakukan distribusi pendapatan yang berkeadilan, dapat saja pemerintah memungut
pajak atau zakat yang wajib di bayar dalam sistem ekonomi konvensional dan dalam sistem
ekonomi syariah. Namun apakah pungutan wajib tersebut akan mengurangi utility dari orang
yang membayarnya atau malah meningkatkan utility-nya, atau bagaimana kita dapat
menerangkan perilaku orang memberikan donasi dalam sistem ekonomi konvensional atau
infaq sedekah dalam sistem ekonomi syariah.

Dalam ekonomi konvensional di kenal dua definisi rasionalitas, yaitu present aim dan self
interst. Dalam definisi present aim yang penting adalah bagaimana mencapai tujuan dengan
efisien tanpa mempermasalahkan tujuannya. Jadi dalam perilaku present aim dominasi
perspektif subyektif sangat tinggi terhadap suatu masalah sehingga timbul kecenderungan
untuk melakukan tindakan- tindakan yang tidak memperimbangkan faktor eksternal; agama,
keluarga, lingkungan dan sebagainya. Misalnya perilaku korup bagi definisi present aim bisa
dikatakan tindakan rasional, karena ia berasionalisasikan dengan keadaan dirinya. Sedangkan
dalam definisi selft interst, motif yang mendorong ia melakukan suatu perbuatan. Perspektif
subyektif dari perilaku ini lebih di dasarkan oleh pertimbangan pribadi yang di pengaruhi
oleh faktor eksternal. Dalam kerangka definisi self interest dapat menerangkan perilaku
pemberanian donasi, infaq, sedekah, dan tindakan menolong lainnya. Amin (IA) yang tidak
saja memikirkan pendapatannya tapi juga memikirkan pendapatan Umar (IU). Secara
matematis fungsi utility (Uf) ialah ; Uf = f (IA. IU)

e. Mekanisme Pasar dan Nonpasar

Secara umum, sistem ekonomi Islam menetapkan dua mekanisme distribusi kekayaan.

a. Mekanisme Pasar

Yakni mekanisme yang terjadi akibat tukar-menukarbarang dan jasa dari para pemiliknya. Di
antara dalil absahnya mekanisme ini adalah firman Allah Swt.:
‫اط ِل َب ْينَ ُك ْم أَ ْم َوالَ ُك ْم تَأ ْ ُكلُوا لَ َءا َمنُوا الَّذِينَ َياأَيُّ َها‬
ِ ‫ارة ت َ ُكونَ أ َ ْن ِإلَّ ِب ْال َب‬
َ ‫ِم ْن ُك ْم ت ََراض َع ْن تِ َج‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kalian (QS al-Nisa’ [4]: 29).

Tidak sekadar diizinkan, Islam juga menggariskan berbagai hukum yang mengatur
mekanisme ini. Di antaranya adalah larangan berbagai praktik yang merusak mekanisme
pasar. Islam, misalnya, melarang praktik penimbunan barang (al-ihtikâr); sebuah praktik
curang yang dapat menggelembungkan harga akibat langkanya barang di pasaran.
Kelangkaan bukan karena fakta sesungguhnya, namun karena rekayasa pemilik barang.
Demikian pula penimbunan emas dan perak. Dalam mekanisme pasar, kedua logam mulia itu
berfungsi sebagai alat tukar (medium of exchange). Sebagai alat tukar, uang memiliki
kedudukan amat strategis. Karena itu, jika uang ditarik dari pasar, maka akan berakibat pada
seretnya pertukaran barang dan jasa, atau bahkan terhenti. Pematokan harga (al-tasy’îr) yang
biasanya dilakukan pemerintah juga dilarang. Kebijakan itu jelas merusak prinsip ‘an
tarâdh[in] (yang dilakukan secara sukarela) antara pelaku transaksi. Padahal merekalah yang
paling tahu berapa seharusnya harga barang itu dibeli atau dijual. Karena tidak didasarkan
pada kemaslahatan mereka, kebijakan ini sangat berpotensi merugikan salah satu atau kedua
belah pihak. Demikian pula praktik penipuan, baik penipuan pada komoditas dan alat
pembayarnya (at-tadlîs) maupun penipuan pada harga (al-ghabn al-fâhisy). Praktik curang itu
juga akan menciptakan deviasi harga. Pada umumnya, seseorang bersedia melakukan
pertukaran barang dan jasa karena ada unsur kesetaraan. Karena itu, harga barang ditentukan
oleh kualitas barang. Namun, akibat praktik at-tadlîs—yakni menutupi keburukan atau cacat
pada komoditas serta menampakkannya seolah-olah baik—barang yang seharusnya berharga
murah itu melonjak harganya.

b. Mekanisme Nonpasar

Yakni sebuah mekanisme yang tidak dihasilkan dari transaksi pertukaran barang dan jasa.
Barang dan jasa mengalir dari satu pihak kepada pihak lain tanpa meminta timbal balik.
Mekanisme bisa diterapkan kepada orang-orang lemah, miskin, dan kekurangan. Dengan
mekanisme tersebut, mereka diharapkan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan lebih
dari itu, mereka dapat bangkit untuk kembali berkompetisi dalam mekanisme pasar dengan
modal dari mekanisme nonpasar itu. Dalam Islam cukup banyak aliran barang dan jasa yang
tidak melalui mekanisme pasar. Di antaranya adalah zakat. Islam mewajibkan orang kaya
membayar zakat. Harta itu kemudian disalurkan kepada delapan golongan, yang sebagian
besarnya adalah orang-orang miskin dan membutuhkan pertolongan. Sebagai sebuah
kewajiban, pembayaran zakat tidak harus menanti kesadaran orang-perorang. Negara juga
harus proaktif mengambilnya dari kaum Muslim (QS at-Taubah [9]: 103), sebagaimana yang
dilakukan Khalifah Abu Bakar. Orang yang menolak untuk membayar zakat beliau perangi
hingga menyerahkan zakatnya. Selain zakat, ada juga infak dan sedekah yang disunnahkan.
Semua jenis pemberian itu dilakukan tanpa mengharap pengembalian. Demikian pula hibah,
hadiah, dan wasiat; termasuk pula pembagian harta waris. Negara juga bisa memberikan
tanah kepada warganya. Dalam fikih, kebijakan itu dikenal dengan iqthâ’.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Distribusi pendapatan dalam islam yang diajadikan batasan kebutuhan adalah maqasidul
Syar’i: agama, diri/personal, akal, keturunan dan harta. Fokus dari distribusi pendapatan
dalam Islam adalah proses pendistribusiannya dan bukan output dari distribusi tersebut. Islam
sendiri menawarkan konsep optimalisasi proses distribusi-redistribusi pendapatan. Konsep ini
menuntut bantuan otoritas dari pemerintah (Negara) dan ada pula yang memang sangat
bergantun pada konsep ketaatan dan karitatif personal (rumah tangga) maupun masyrakat
muslim.

Kebijakan distribusi yang ditawarkan ekonomi Islam dengan tidak berpihak hanya pada salah
satu agen ekonomi, dan diperkuat dengan prinsip-prinsip yang jelas memberikan arahan
bahwa keadilan ekonomi harus ditegakkan. Namun menciptakan keadilan ekonomi akan sulit
terwujud jika tidak melibatkan peran institusi yang ada seperti halnya pemerintah dan
masyarakat. Oleh sebab itu, peran kedua instrumen tersebut sangat dibutuhkan, karena
kebijakan distribusi akan teraplikasikan dengan baik ketika kedua institusi yang ada berkerja.

B. Saran

Kami sadar dalam makalah ini tidak memuat semua hal mengenai Distribusi oleh sebab itu
kami sangat mengharapkan saran dan kritikan demi kesempurnaan makalah ini dan dapat
dijadikan arahan dalam pembuatan makalah selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai