Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

DOSEN PEMBIMBING :

DI SUSUN OLEH :
DESSI YULIA PUTRI
NIM : 182119323

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
BENGKALIS
2021 M/1443H
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan hidayahnya kepada kita semua dan umur yang panjang yang kemungkinan sudah kita
gunakan untuk menuju jalan yang sudah diperintahkannya dan meninggal yang
dilarangnya. Shalawat serta serta salam tidak lupa kita hadiahkan kepada junjungan alam
Nabi Muhammad SAW karena telah membawa kita bersama dari alam kebodohan
hingga alam yang cerdik pandai yang kita rasakan sekarang ini. Alhamdulillah dengan
itu semua penulis akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.

Bengkalis, 30 Maret 2021

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam ................................................. 2
B. Pemikiran Ekonomi Islam: Kilasan Tokoh dan Pemikirannya ................ 4

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ..................................................................................................... 10
B. Saran ............................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dewasa ini kehidupan ekonomi telah menjadi standar kehidupan individu dan
kolektif suatu negara-bangsa. Keunggulan suatu negara diukur berdasarkan tingkat
kemajuan ekonominya. Ukuran derajat keberhasilan menjadi sangat materialistk. Oleh
karena itu, ilmu ekonomi menjadi amat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Namun
demikian, pakar ilmu ekonomi sekaliber Masrhal menyatakan bahwa kehdiupan dunia
ini dikendalikan oleh dua kekuatan besar; ekonomi dan keimanan (agama), hanya saja
kekuatan ekonomi lebih kuat pengaruhnya daripada agama.
Menampilkan pemikiran ekonomi para cendikiawan muslim terkemuka akan
memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, setidaknya ada dua hal. Pertama,
membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam abad klasik dan
pertengahan, dan kedua, memberikan kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik tentang perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini.
Kedua hal tersebut akan memperkaya ekonomi Islam abad klasik dan
pertengahan dan membuka jangkauan lebih luas bagi penyusunan konseptualisasi dan
aplikasinya. Kajian terhadap perkembangan sejarah ekonomi Islam merupakan ujian
empirik yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi. Yang khas dari pemikiran para
cendikiawan Muslim yang dikemukakan oleh Chapra adalah bahwa mereka
menganggap kesejahteraan umat manusia merupakan hasil akhir dari interaksi
panjang sejumlah faktor ekonomi dengan faktor-faktor lain seperti moral, sosial,
demografi dan politik. Semua faktor tersebut berpadu menjadi satu, sehingga tidak
ada satu faktor pun yang dapat memberikan kontribusi optimal tanpa dukungan faktor
yang lain.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, Kami akan membahas mengenai “Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam” dengan rumusan masalah meliputi:
1. Bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi Islam di dunia?
2. Siapa sajakah tokoh pemikiran ekonomi Islam?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam


Sejalan dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap
berpengang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi, konsep dan teori ekonomi dalam
Islam pada hakekatnya merupakan respon para cendekiawan muslim terhadap
berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa
pemikiran ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.
Berbagai praktik dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa
Rasulullah SAW. Dan Al Khulafa Al-Rasyidun merupakan contoh empiris yang
dijadikan pijakan bagi para cendekiawan muslim dalam melahirkan teori–teori
ekonomi. Satu hal yang jelas, fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan
kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan, dan kebebasan, yang tidak lain
merupakan objek utama yang mengispirasikan pemikiran ekonomi Islam sejak masa
awal.
Berkenaan dengan hal tersebut, menurut pendapat Adiwarman Azwar Karim
yag dia kutip dari Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi, sejarah pemikiran ekonomi
islam ada tiga fase, yaitu fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase
stagnasi, berikut penjesannya1:
1. Fase Pertama
Fase pertama merupakan fase abad awal sampai dengan abad ke 5 hijriyah
atau abad ke 11 masehi yang di kenal sebagai fase dasar – dasar ekonomi islam yang
dirintis oleh para fukaha, diikuti oleh sufi dan kemudian oleh filosof. Pada awalnya,
pemikiran mereka berasal dari orang yang berbeda, tetapi di kemudian hari, para ahli
harus mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga disiplin tersebut. Fokus Fiqih
adalah apa yang ditunrunkan oleh syariat dan , dalam konteks ini, para fukaha
mendiskusikan fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbatas pada
pengambaran dan penjelasan fenomena ini. Namun demikian, dengan mengacu pada
Al Qur’an dan Hadits nabi, mereka mengeksplorasi konsep maslahah (Ultility). Dan
Mafsadah (Disultilty) yang terkait dengan masalah ekonomi. Dan sedangkan
Kontribusi Tasawuf terhadap pemikiran ekonomi adalah pada keajegannya dalam
1
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonmi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), edisi ketiga. hlm 10
2
mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, tidak rakus dalam
memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah Swt. Dan secara tetap menolak
penempatan tuntutan kekayaan dunia yang terlalu tinggi. Filosof Muslim, Dengan
tetap berasaskan syariah dalam keseluruhan pemikiranya, mengikuti para
pendahulunya dari Yunani, Terutama Aristotels (367-322 SM) yang fokus
pembahasanya tertuju pada sa’adah (kebahagian) dalam arti luas. Hal ini berbeda
dengan para fukaha yang terfokus perhatianya pada masalah-masalah mikro
ekonomi. Tokoh pemikiran pada fase ini antara lain diwakili oleh Zaid Bin Ali (W.
80H/738 M) Abu Hanifah (W. 150 H/789 M) Abu Yusuf (W. 182 H/789) dan lain-
lain.

2. Fase Kedua
Fase ini di mulai pada abad ke-11 sampai dengan abad ke -15 Masehi dikenal
sebagai fase yang cerrmelang karena menginggalkan warisan intelektual yang sangat
kaya. Para cendekiawan Muslim dimasa ini mampu menyusun suatu konsep tentang
bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya yang
berlandaskan Al Qur’an dan Hadits Nabi. Dan secara bersamaan disisi lain, mereka
menghadapi realitas politik yang ditandai oleh dua hal: Pertama, disintegrasi pusat
kekuasaan Bani Abasiyah dan terbaginya kerajaan ke dalam beberapa kekuasan
regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan(power) ketimbang kehendak
rakyat; Kedua, merebaknya korupsi dikalangan para pengusaha diringi dengan
dekadensi moral di kalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadianya
ketimpagan yang semakin lebar. Pada masa ini, Kekuassaan Islam yang terbentang
dari Maroko dan Spanyol di barat hingga India di timur telah melahirkan berbagai
pusat kegiatan intelektual. Tokoknya antara lain diwakili oleh Al- Ghazali (W
505H/1111M), Ibnu Taimiyah (W 728H/1328M), Al Syatibi (W 790H/1388 M).

3. Fase Ketiga
Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi merupakan
Fase tertutupnya pintu ijtihad (Independent judgement) yang mengakitbatkan fase
ini menjadi fase stagnasi. Pada fase ini, para fuqaha hanya menulis catatan-catatan
para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi
masing masing mazhab. Terdapat sebuah gerakan pembaharu selama dua abad

3
terakhir yang menyeru untuk kembali pada Al-Qur’an dan Hadist nabi sebagai
sumber pedoman hidup. Tokoh pemikir islam pada fase ini diwakili oleh Shah Wali
Allah (W 1176 H/1762 M), Jamaluddin Al-Afgani (W 1315H/1897M).

B. Pemikiran Ekonomi Islam: Kilasan Tokoh dan Pemikirannya


1. Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)
Nama lengkap dari Abu Yusuf adalah Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn
Husein al-Anshori. Beliau lahir di Kufah pada tahub 113 H dan wafat pada tahun
182 H. Abu Yusuf berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab.
Menurut Euis Amalia yang dia kutip dari Abdul Aziz Dahlan, Keluarganya
disebut Anshori karena dari pihak ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum
Anshar..2
Abu Yusuf tertarik untuk mendalami ilmu fiqh. Ia mulai belajar fiqh pada
Muhammad ibn Abdurrahman ibn Abi Laila (w. 148 H; seorang ulama dan
pejabat hakim di Kufah. Selanjutnya ia belajar pada Imam Abu Hanifah, pendiri
mazhab Hanafi. Beliau belajar pada Imam Abu Hanifah selama 17 tahun
Pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid ia memangku jabatan sebagai
Qadi al Qudah (hakim) dan dimintai untuk menlis buku umum yang akan
dijadikan sebagai pedoman dalam administrasi keuangan. Buku tersebut
kemudian dikenal dengan nama kitab al-Kharaj.3
Dalam mukaddimahnya, Abu Yusuf menulis: “telah saya tulis apa yang
telah menjadi permintaan tuan, saya pun telah menjelaskan secara rinci. Oleh
karena itu pelajarilah. Say telah bekerja keras untuk itu dan saya berharap agar
tuan dan kaum muslimin member masukan. Hal itu karena semata-mata
mengharap ridho Allah serta takut akan azab-Nya. Bila kitab ini sudah jelas,
saya berharap agar tuan tidak memungu pajak dengan caracara yang zalim dan
berbuat tidak baik terhadap rakyat tuan.”
Abu Yusuf lebih menyetujui bahwasannya Negara mengambil dari hasil
pertanian dari para penggarap dibandingkan dengan sewa lahan kepada
penggarap.4 Dalam pandangannya, hal ini lebih adil jika diambil dari hasil panen

2
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Depok: Gramata
Publishing, 2010). hlm.115
3
Ibid. hlm 116
4
S.M. Ghazanfar, Medieval Islamic Economic Thought: Filling The “Great Gap” in European Economics,
(Routledge Curzon: 2003), hlm. 13
4
dibandingkan dengan sewa, karena jika dengan sistem sewa baik nantinya panen
berhasil ataupun tidak penggarap tetap wajib untuk membayar. Hal ini yang akan
merugikan penggarap.
Abu Yusuf menantang keras pajak pertanian. Ia menyarankan agar
petugas pajak diberi gaji dan mereka harus selalu diawasi untuk mencegah
korupsi dan praktik penindasan.5 Abu Yusuf menekankan pentingnya prinsip
keadilan, kewajaran, dan penyesuaian terhadap kemampuan membayar
perpajakan, serta perlunya akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Negara.6
Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan publik.

2. Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (132-189 H/750-804 M)


Abu Abdillah Muhammad bin Hasan bin Farqad Asy-Syaibaninlahir pada
tahun 132 H (750 M) di kota Wsith, ibukota Irak pada masa akhir pemerintahan
Bani Umawiyyah. Bersama orangtuanaya, Imam asy-Syaibani pindah ke kota
Kufah yamg ketika itu merupakan salah satu pusat kegiatan ilmiah. Di kota
terssebut, ia belajar fiqh, sastra, bahasa, dan hadis kepada para ulama setempat.7
Dalam mengungkapkan pemikiran ekonomi Imam asy-Syaibani, para
ekonom muslim banyak merujuk pada kitab al-Kasb, sebuah kitab yang lahir
pada abad kedua Hijriyah. Secara keseluruhan, kitab ini mengemukakan kajian
mikro ekonomi yang berkisar pada teori kasb (pendapatan) dan sumber-
sumbernya serta pedoman perilaku produksi dan konsumsi.
Imam asy-Syaibani mendefinisikan al-kasb (kerja) sebagai mencari
perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Setelah membahas kasb fokus
perhatian Imam ay-Syaibani tertuju pada permasalahan kaya dan fakir.
Menurutnya sekalipn banyak dalil yang menunjukan keuatamaan sifat-sifat kaya,
sifat-sifat kafir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan apabila
manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudia bergegas kepada
kebajikan, sehingga mencurahkan kepada urusan akhiratnya, adalah lebih baik
dari mereka.
Asy-Syaibani menklasifikasikan jenis pekerjaan kedalam 4 hal: yakni
ijarah (sewa-menyewa), tijarah (perdagangan). Zira’ah (pertanian) dan shinaah
5
Adiwarman Karim (2004), ibid. hlm.95
6
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Bank Indonesia
(2008), ibid. hlm.107
7
Euis Amalia (2010), ibid. hlm. 135
5
(industry). Ia menilai pertanian sebagai lapangan perkerjaan yang baik, padahal
masyarakat arab pada saat itu lebih tertarik untuk berdagang dan berniaga. Dalam
suatu risalah yang lain, yakni kitab al-asl, asy-syaibani telah membahas masalah
kerja sama usaha dan bagi hasil.8
Secara umum, pandangan-pandang asy-syaibani yang tercermin dari
berbagai karya nya cenderung dengan perilaku ekonomi seorang muslim sebagai
individu.

3. Abu Al-Hasan bin Muhammad bin Habib al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’i 364 H (974 M)
Abu Al-Hasan bin Muhammad bin Habib al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’i
lahir dikota basrah pada tahun 364 H (974 M). Setelah mengawali pendidikannya
dikota Basrah dan Baghdad selama dua tahun, ia berkelana diberbagai negeri
islam untuk menuntut ilmu. Diantara guru-guru Al-Mawardi adalah Al-Hasan bin
Ali bin Muhammad bin Al-fadhl Al-Baghdadi Abu Al-Qasim Al-Qusyairi,
Muhammad bin Al-Ma’ali Al-Azdi, dan Ali Abu Al-Asyfarayini.
Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar madzhab syafi’i ini
dipercaya memangku jabatan Qadhi (hakim) diberbagai negeri secara bergantian.
Setelah itu al-mawardi kembali kekota baghdad untuk beberapa waktu kemudian
diangkat sebagai hakim agung pada masa pemerintahan Al-Qaim bin Amrillah
Al-Abbasi.
Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputi berbagai bidang kajian dan bernilai
tinggi telah ditulis oleh al-mawardi, seperti Tafsir Al-Qur’an al-Karim, al-amtsal wa al-
hikam, al-hawi al-kabir, al-iqna, al-adab ad-dunya wa ad-din, siyasah al-maliki. Nasihat
al-muluk, al-ahkam ash-shultaniyyah, an-nukat wa al-uyun dan Siyasah al-wizarat wa
as-siyasah al-maliki. Dengan mewariskan berbagai karya tulis yang sangat berharga
tersebut. Al-Mawardi meninggal pada awal tahun 450 H (1058 M) dikota baghdad dalam
usia 86 tahun.
Pemikiran Al-Mawardi tentang ekonomi terutama dalam bukunya yang
berjudul al-Ahkam al-Aulhoniyyah dan al-adab ad-dunya wa ad-Din. Buku yang
pertama banyak membahas tentang pemerintahan dan administrasi, berisi tentang
kewajiban pemerintah, penerimaan, dan pengeluaraan negara, tanah (negara dan
masyarakat), hak prerogratif Negara untuk menghibahkan tanah, kewajiban
negara untuk mengawasi pasar, dan lain-lain. Analisis atas kitab ini dengan

8
Ibid. hlm.137
6
karya-karya sebelumnya yang sejenis menunjukkan bahwa Al-Mawardi
membahas masalah-masalah keuangan dengan cara yang lebih sistematis.
Sumbangan utama Al-Mawardi terletak pada pendapat mereka tentang
pembenaan pajak tambahan dan dibolehkannya peminjaman public.
a. Teori Keuangan Public
Teori keuangan publik selalu terkait dengan peran negara dalam
kehidupan ekonomi. Negara dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi
kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya. Permasalahan inipun tidak luput
dari perhatian negara islam. Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan
imamah (kepemimpinan politik keagamaan) merupakan kekuasaan mutlak
(absolut) dan pembentukannya merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya
agama dan pengelolaan dunia.
Dalam perspektif ekonomi, pernyataan Al-Mawardi ini berarti bahwa
negara memiliki peran aktif demi terealisasinya tujuan material dan spiritual. Ia
menjadi kewajiban moral bagi bangsa dalam membantu merealisasikan kebaikan
bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian seperti para pemikir
muslim sebelumnya, al-mawardi memandang bahwa dalam islam pemenuhan
dasar setiap anggota masyarakat bukan saja merupakan kewajiban penguasa dari
sudut pandang ekonomi, melainkan moral dan agama.
Selanjutnya al-mawardi berpendapat bahwa negara harus menyediakan
infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan
umum. Menurutnya ,
“Jika hidup dikota menjadi tidak mungkin karena tidak berfungsinya
fasilitas sumber air minum, atau rusaknya tembok kota, maka negara harus
bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan jika tidak memiliki dana, negara
harus menemukan jalan untuk memperolehnya.”
Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib mengatur dan membiayai
pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan public karena setiap individu tidak
mungkin membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan demikian, layanan
public merupakan kewajiban sosial (fardh kifayah) dan harus bersandar kepada
kepentingan umum. Pernyataan Al-Mawardi ini semakin mempertegas pendapat
para pemikir muslim sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk mengadakan

7
proyek dalam kerangka pemenuhan kepentingan umum. Negara dapat
menggunakan dana Baitul Mal atau membebankan kepada individu-individu yang
memiliki sumber keuangan yang memadai.
b. Perpajakan
Perpajakan sebagaimana trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga
tidak luput dari perhatian al-mawardi. Menurutnya, penilaian atas kharaj harus
berfariasi sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam
membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman dan sistem irigasi.
Lebih jauh ia menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai
faktor-faktor penilaian kharaj. Kesuburan tanah merupakan faktor yang sangat
penting dalam melakukan penilaian kharaj karena sedikit banyaknya jumlah
produksi bergantung kepadanya. Jenis tanaman juga berpengaruh terhadap
penilaian kharaj karena berbagai jenis tanaman mempunyai variasi harga yang
berbeda-beda. Begitupula halnya dengan sistem irigasi. Disamping ketiga faktor
tersebut al-mawardi juga mengungkapkan faktor yang lain, yaitu jarak antara
tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Faktor terakhir ini juga sangat
relevan karena tinggi-rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung pada
jarak tanah dari pasar. Dengan demikian, dalam pandangan al-mawardi keadilan
baru akan terwujud terhadap para pembayar pajak mempertimbangkan setidaknya
empat faktor dalam melakukan penilaian suatu objek kharaj, yaitu kesuburan
tanah, jenis tanaman, system irigasi dan jarak tanah ke pasar.”
Tentang metode penerapan kharaj, al-mawardi menyarankan untuk
menggunakan salah satu dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah
islam, yaitu:
1) Metode Misahah, metode penerapan kharaj berdasarkan ukuran tanah. Metode
ini merupakan Fixed tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami atau
tidak, selama tanah tersebut bisa di tanami.
2) Metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam
metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak masuk dalam penilaian objek
kharaj.
3) Metode Musaqah yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan presentase dari
hasil produksi (proportional tax). Dalam metode ini, pajak dipungut setelah
tanaman mengalami masa panen.

8
Buku yang kedua banyak membahas tetntang perilaku ekonomi muslim
secara individual. Buku ini menyampaikan ajaran-ajaran tasawuf tentang budi
luhur. Individu dalam perekonomian yang meliputi 4 mata pencaharian utama
yaitu: pertanian, peternakan, perdagangan, dan industry. Selain itu, buku ini juga
membahas perilaku-perilaku yang merusak budi luhur, antara lain : ketamakan
dalam menimbun kekayaan dan menurut kekuasaan. Al-mawardi juga membahas
tentang berbagai hukum syari’ah dari mudharabah dalam karyanya al-hawi al-
mudharabah. Beberapa fuqaha tidak memperbolehkan mudharabah, sementara
imam hambali memperbolehkannya9.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah pemikiran ekonomi islam berawal sejak adanya Al-quran dan Hadits,
yaitu pada kehidupan Nabi Muhammad SAW. Sistem Ekonomi di masa Rosulullah
sangat kompleks dan sempurna , meskipun pada masa setelahnya tetap dilakukan
9
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Ekonisika, Yogyakarta, 2003, hlm 75
9
perbaikan. Jenis-jenis kebijakan, baik pendapatan maupun pengeluaran keuangan di
masa Rosulullah lebih terfokus pada masa perang dan kesejahteraan rakyat, tidak
seperti sekarang bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi lebih difokuskan pada
pencarian keuntungan.
Pada masa Khulafa Ar-rasyidun, sistem ekonomi islam dikembangkan oleh
Abu bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Adapun pada Masa-masa
berikutnya, para ekonom muslim mengembangkan konsep-konsep Ekonomi Islam
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. tentu, dengan tetap bersandar pada
Al-quran dan Hadits.

B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, kami menyadari banyaknya kekurangan
di dalam penyusunannya. Maka dari pada itu kami meminta mmaf dan kami
mengharapkan kepada para pembaca, teman-teman dan bapak Dosen untuk
memberikan krtitik dan saran agar mekalah kami ini menjadi lebih baik di masa yang
akan dating. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Ghazanfar, S.M. (2003). Medieval Islamic Economic Thought: Filling The “Great Gap”
in European Economics, Routledge Curzon.
Amalia, Euis. (2005). Sejarah pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik. Jakarta:
Pustaka Asattrus, Cetakan Pertama.

10
Amalia, Euis. (2010). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga
Kontemporer. Depok: Gramata Publishing.
Karim, Adiwarman. (2004). Sejarah Pemikiran Ekonmi Islam, Jakarta: Rajawali Pers,
Edisi Ketiga.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta dan Bank Indonesia. (2008). Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali
Press.
Adityangga, Krishna. (2006). Membumikan Ekonomi Islam, diakses dari
https://adityangga.wordpress.com/2010/02/11/sejarah-pemikiran-ekonomi-
islam-sebuah-kapita-selekta/,
Hidayat, Mohamad. (2010). an Introduction to The Sharia Economic, diakses dari
http://www.academia.edu/4659152/Sejarah_Pemikiran_Ekonomi_Islam,
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Ekonisika, Yogyakarta, 2003, hlm 75

11

Anda mungkin juga menyukai