Anda di halaman 1dari 29

PEMIKIRAN EKONOMI MENURUT YAHYA BIN UMAR, AL-

GHAZALI DAN AL-MAWARDI

Makalah

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

Dosen pengampu : Siti Aminah Caniago, M.Si

Oleh :

1. Tsalatsah Amrina Rosyada (4118142)


2. Kholdaa Anaqoh (4118156)
3. Alfi Rohmawati (4118250)

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2019

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan izin-
Nya kepada para penyusun sehingga makalah yang berjudul “Pemikiran Ekonomi
Menurut Yahya bin Umar, Al-Ghazali dan Al-Mawardi” ini dapat terselesaikan.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah membantu
pembuatan makalah ini, terutama Ibu Siti Aminah Chaniago selaku dosen mata kuliah
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam yang telah membimbing dalam pembuatan
makalah ini.
Makalah ini disusun agar pembaca mengetahui mengenai Pemikiran Ekonomi
Menurut Yahya bin Umar, Al-Ghazali dan Al-Mawardi dan hal-hal yang mencakup
didalam. Kami akan terus berupaya untuk meningkatkan kualitas makalah ini.
Harapan kami, makalah ini dapat memberi kesan positif kepada para pembaca. Masih
terdapat banyak kekurangan didalam makalah ini, sehingga kritik dan saran yang
bersifat membangun diperlukan bagi penyempurnaannya. Penulis berharap walau
dengan segala kekurangannya, makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Semoga Allah SWT meridhai usaha penulis. Amin Ya Robbal ‘Alamin
serta membalas amal baik pihak-pihak yang telah membantu.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Pekalongan, 20 Maret 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ ii


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 5
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 5
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................................................... 5
BAB II..................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 6
A. Pemikiran Ekonomi Menurut Yahya bin Umar .......................................................................... 6
B. Pemikiran Ekonomi Menurut Al-Ghazali ................................................................................. 13
C. Pemikiran Ekonomi Menurut Al-Mawardi ............................................................................... 17
BAB III ................................................................................................................................................. 28
PENUTUP ............................................................................................................................................ 28
A. Kesimpulan ............................................................................................................................... 28
B. Saran ......................................................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 29

iii
4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemikiran ekonomi Islam muncul sejak jaman Rasulullah SAW,
dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kehidupan
masyarakat, setelah itu diganti oleh penerusnya yaitu khaulafaurosyidin serta
khalifah lainnya dalam menata ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam
terbentuk secara berkala dan berdasarkan paradigma Islam. Para
cendekiawan Muslim telah memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi
Islam.
Pemikiran ekonomi Islam dibagi atas dua masa, yaitu masa pemikiran
ekonomi Islam klasik dan masa pemikiran ekonomi Islam kontemporer.
Tokoh pada masa pemikiran ekonomi Islam klasik antara lain, Yahya bin
Umar, Al-Ghazali, Al-Mawardi, dan lain-lain. Pada makalah ini akan dibahas
pemikiran ekonomi Islam pada masa klasik menurut ketiga tokoh tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran ekonomi menurut Yahya bin umar?
2. Bagaimana pemikiran ekonomi menurut Al-Ghazali
3. Bagaimana pemikiran ekonomi menurut Al-Mawardi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran ekonomi menurut Yahya Bin
Umar
2. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran ekonomi menurut Al-Ghazali
3. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran ekonomi menurut Al-Mawardi

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemikiran Ekonomi Menurut Yahya bin Umar


1. Riwayat Hidup
Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf
al-Kannani al-Andalusi ini lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di
Kordova, Spanyol. Ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu.
Pada mulanya, ia singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka
sahabat Abdullah bin Wahab al-Maliki dan ibn al-Qasim. Setelah itu, ia
pindah ke Hijaz dan berguru, di antaranya, kepada seorang Ahli Ilmu
Faraid dan Hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman al-Farisi.1
Dalam perkembangan selanjutnya, ia menjadi pengajar di Jami’ al-
Qairuwan. Pada masa hidupnya ini, terjadi konflik yang menajam antara
Fuqaha Malikiyah dengan Fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan
memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya bin Umar terpaksa
pergi dari Qairuwan dan menetpa di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, yang
berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya, baik dengan cara
memenjarakan maupun membunuh, manjabat Qasi di negeri itu. Setelah
Ibnu ‘Abdun turun dari jabatannya Ibrahim bin Ahmad al-Aglibiu
menawarkan jabatan Qodhi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia
menolaknya dan memilih tetap tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’
al-Sabt hingga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H
(901 M).2

2. Kitab Ahkam al-Suq


Semasa hidupnya, di saping aktif mengajar, Yahya bin Umar
juga banyak menghasilkan karya tulis hingga mencapai 40 juz. Di antara
berbagai karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muntakhabah fi
Ikhtishar al-Mustakhrijah fi al-Malki dan kitab Ahkam al-Suq.3

1
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), hlm. 197.
2
Ibid., hlm. 197-198.
3
Ibid., hlm. 198.

6
Kitab Ahkam al-Suq yang berasal dari Benua Afrika pada abad
ketiga Hijriyah ini merupakan kitab pertama di dunia Islam yang
membahas hisbah dan berbagai hukum pasar.4
Tentang kitab Ahkam al-Suq, Yahya bin Umam menyebutkan
bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh dua persoalan mendasar
yaitu, pertama, hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan
takaran perdagangan dalalm satu wilayah; kedua, hukum syara’ tentang
harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan liberalisasi
harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudharatan bagi
para konsumen.5
Sekalipun tema utama dalam kitab tersebut mengkaji mengenai
persoalan dan problem yang berkaitan dengan pasar, tetapi pada dasarnya
Umar bin Yahya lebih banyak membahas tentang persoalan ihtikar dan
siyasah al-ighraq. Kedua istilah tersebut dalam ilmu ekonomi
kontemporer dikenal dengan monopoly's rent-seeking (ihtikar) dan
dumping policy (siyasahal-ighraq).6
Pembahasannya mencakup yaitu, pertama, pemikiran Yahya bin
Umar tentang ihtikar (monopoly's rent-seeking). Kedua, pemikiran
Yahya bin Umar tentang siyasah al-ighraq (dumping Policy) dan
kebijakan pemerintah. Ketiga, pemikiran Yahya bin Umar tentang pasar,
dalam hal ini ta'sir (penetapan harga) kaitannya dengan peran
pemerintah.7

3. Pemikiran ekonomi
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim kepada Allah swt.
Hal ini berarti bahwa ketakwaan merupakan asas dalam perekonomian
Islam, sekaligus faktor utama yang membedakan ekonomi Islam dengan
ekonomi konvensional.

4
Ibid.,
5
Ibid.,
6
Moh. Subhan, Relevansi Pemikiran Ekonomi Yahya Bin Umar Dalam Perspektif Ekonomi Modern, Jurnal
Ekonomi Syariah, Vol. 1, No. 2, 2017, hlm. 210.
7
Ibid.,

7
Fokus perhatian Yahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum
pasar yag terefleksi dalam pembahsan tentang tas’ir (penetapan harga).
Penetapan harga (al-tas’ir) merupakan tema sentral dalam kitab Ahkam
al-Suq. Terkait dengan hal tersebut, Yahya bin Umar berpendapat bahwa
al-tas’ir (penetapan harga) tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan
berbagai hadits Nabi Muhammad SAW, antara lain:8

Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Telah melonjak harga (di pasar)
pada masa Rasululah SAW. Mereka (para sahaat) berkata: “ wahai
Rasulullah, tetapkanlah harga bagi kami.” Rasulullah menjawab:
“Sesungguhnya Allah-lah yang menguasai (harga), yang memberi
rezeki, yang memudahkan, dan yang menetapka harga. Aku sungguh
berharap bertemu dengan Allah dan tidak seorang pun (boleh)
memintaku untuk melakukan suatu kezaliman untuk melakukan jiwa
dan harta.” (Riwayat Abu Daud) 9

Tampak jelas bahwa Yahya bin Umar melarang kebijakan


penetapan harga (tas’ir) jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-
mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Dengan kata
lain, dalam hal demikian, pemerintah tidak mempunyai hak untuk
melakukan intervensi harga. Yahya bin Umar menyatakan pemerintah
tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal ini10, yaitu:
a. Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentu
yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan
kemudharatan serta merusak mekanisme pasar.11
b. Para pedagang melakukan praktik siyasah al-igraq atau banting
harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak
sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga pasar.12

8
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), hlm.
200.
9
Ibid.,
10
Ibid., hlm.201
11
Ibid.,
12
Ibid.,

8
Pernyataan Yahya bin Umar tersebut jelas mengindikasikan
bahwa hukum asal intervensi pemerintah adalah haram. Di samping itu,
pendapatnya yang melarang praktik tas’ir (penetapan harga) tersebut
sekaligus menunjukkan Yahya bin Umar mendukung kebebasan ekonomi,
termasuk kebebasan kepemilikan. Sikap Rasulullah SAW yang menolak
melakukan penetapan harga juga merupakan indikasi awal bahwa dalam
ekonomi Islam tidak hanya terbatas mengatur kepemilikan khusus, teapi
juga menghormati dan menjaganya. Tentu saja, kebebasan mutlak seperti
yang dikenal dalalm ekonomi konvensional, tetapi kebebasan yang terikat
oleh syariat Islam.
Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga ditentuka
oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (suplay) dan permintaan
(demand). Yahya bin Umar menambahkan bahwa mekanisme pasar itu
harus tunduk kepada kadah-kaidah. Di antara kaidah-kaidah tersebut
adalah pemerintah berhak untuk melakukan intervensi ketika terjadi
tindakan sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulkan
kemudharatan bagi masyarakat, termasuk ihtikar dan dumping.

4. Wawasan Modern Teori Yahya bin Umar


a. Islam secara Tegas Melarang Ihtikar
Yakni mengambil keuntungan di atas keuntungan normal
dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih
tinggi. Dalam hal ini, Rasulullah SAW menyatakan bahwa ihtikar
adalah perbuatan dosa. Para ulama sepakat bahwa illat pengharaman
ihtikar adalah karena dapat menimbulkan kemudharatan bagi umat
manusia. Ihtikar tidak hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi
juga akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain
serta menghambat proses distribusi kekayaan di antara manusia.
Menurut Yahya bin Umar, apabila harga di pasar mengalami
ketidakstabilan karena ulah oknum pedagang, maka pemerintah
sebagai lembaga formal boleh melakukan intervensi terhadap harga
di pasar tersebut, dengan mengembalikan tingkat harga pada
equilibrium price (keseimbangan harga). Tindakan yang bisa
dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi kasus ihtikar tersebut

9
adalah akan menjual barang dagangan hasil timbunan sesuai dengan
harga pasar pada saat itu. Jika dalam penjualan barang tersebut
terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut akan disedekahkan
kepada fakir miskin. Sedangkan pelaku ihtikar hanya berhak
mendapatkan modal pokonya saja. Jadi, tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah dalam kasus tersebut bertujuan untuk memberikan
pembelajaran terhadap pelaku ihtikar. Selanjutnya, pemerintah
akan memberikan teguran kepada pelaku ihtikar agar tidak
mengulangi perbuatannya lagi. Apabila pelaku ihtikar tidak
memperhatikan teguran tersebut, pemerintah berhak menghukum
mereka dengan memukulnya, lari mengelilingi kota dan
memenjarakannya.13
Dari definisi di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
sebuah aktivitas ekonomi baru akan dapat dikatakan sebagai ihtikar
jika memenuhi setidaknya dua syarat berikut: pertama, obyek
penimbunan merupakan barang-barnag kebutuhan masyarakat; dan,
kedua, tujuan penimbunan adalah untuk meraih keuntungan di atas
keuntungan normal.

b. Siyasah al-Ighraq (Dumping Policy)


Berbanding terbalik dengan ihtikar, Siyasah al-Ighraq
(dumping) bertujuan meraih keuntungan dengan cara menjual barang
pada tingkat harga yang lebih rendah dari pada harga yang berlaku di
pasaran. Dengan demikian, ia akan leluasa menentukan harga di
pasar. Perilaku ini secara tegas dilarang dalam Islam karena dapat
menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas. Siyasah al-ighraq
atau banting harga (dumping) dapat menimbulkan persaingan
yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga di
pasar. Dalam kondisi seperti ini pemerintah mempunyai otoritas
untuk memerintahkan para pedagang tersebut agar menaikkan
kembali harga barang sesuai dengan harga yang berlaku di pasar.
Apabila mereka tidak mau mentaati aturan pemerintah, maka

13
Moh. Subhan, Relevansi Pemikiran Ekonomi Yahya Bin Umar Dalam Perspektif Ekonomi Modern, Jurnal
Ekonomi Syariah, Vol. 1, No. 2, 2017, hlm. 211.

10
pemerintah berhak mengusir para pedagang tersebut dari pasar.
Hal ini pernah dipraktekkan Khalifah Umar bin Khattab, ketika
mendapati seorang pedangang kismis yang menjual barang
dagangannya di bawah standar harga di pasar. Maka Khalifah
Umar bin Khattab memberikan pilihan kepada pedagang tersebut,
yaitu menaikkan harga sesuai dengan harga standar di pasar atau
keluar dari pasar.14

c. Dumping Resiprokal
Analisis dumping tersebut memberikan kesan bahwa
diskriminasi harga (price discrimination) akan dapat meningkatkan
perdagangan luar negeri. Namun, bila ditelaah lebih jauh akan tampak
jelas bahwa kesan tersebut tidak selamanya benar. Anggap saja ada
dua perusahaan monopoli yang masing-masing memproduksi barang
yang sama, satu di dalam negeri dan satu lainnya di luar negeri. Untuk
menyerdehanakan analisis ini, diasumsikan bahwa kedua perusahaan
tersebut memiliki marginal cost yang sama. Anggap juga terdapat
beberapa biaya transportasi antara kedua pasar tersebut sehingga, jika
kita memasukkan kemungkinan terjadinya praktik dumping,
pedagangan dapat saja tetap terjadi. Dalam hal ini, setiap perusahaan
akan membatasi jumlah barang yang akan dijual di pasar domestic.
Apabila mampu menjual sejumlah kecil di pasar lan, perusahaan akan
menambah keuntungannya sekalipun harganya lebih rendah dari pada
yang ada di pasar domestic, karena efek negative terhadap harga dari
penjualan yag ada akan terkena pasa perusahaan lain, bukan
perusahaan itu sendiri.15

d. Penetapan Harga
Penetapan harga merupakan tema sentral dalam kitab Al-
Ahkam al-Suq. Imam Yahya bin Umar berulang kali membahasnya di
berbagai tempat yang berbeda. Berkatan dengan hal ini, Imam Yahya

14
Ibid., hlm. 213.
15
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), hlm.
210-211.

11
bin Umar berpendapat bahwa penetapan harga tidak boleh dilakukan.
Lebih jauh, Imam Yahya bin Umar menyatakan bahwa pemerintah
tidak boleh melakukan intervensi pasar. 16
Para pedagang melakukan praktik banting harga (dumping)
yang dapat menimbulkan persiangan yang tidak sehat serta dapat
mengacaukan stabilitas harga pasar. Menurut Yahya bin Umar,
apabila harga di pasar mengalami ketidakstabilan karena ulah
oknum pedagang, maka pemerintah sebagai lembaga formal boleh
melakukan intervensi terhadap harga di pasar tersebut, dengan
mengembalikan tingkat harga pada equilibrium price
(keseimbangan harga). Tindakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah
dalam mengatasi kasus ihtikar tersebut adalah akan menjual barang
dagangan hasil timbunan sesuai dengan harga pasar pada saat itu.
Jika dalam penjualan barang tersebut terdapat keuntungan, maka
keuntungan tersebut akan disedekahkan kepada fakir miskin.
Sedangkan pelaku ihtikar hanya berhak mendapatkan modal
pokonya saja. Jadi, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam
kasus tersebut bertujuan untuk memberikan pembelajaran terhadap
pelaku ihtikar. Selanjutnya, pemerintah akan memberikan teguran
kepada pelaku ihtikar agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Apabila pelaku ihtikar tidak memperhatikan teguran tersebut,
pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukulnya, lari
mengelilingi kota dan memenjarakannya. Menurut, Dr. Rifa’at al-
Aududi, sekaligus mengindikasikan bahwa sesungguhnya Imam
Yahya bin Umar mendukung kebebasan ekonomi, termasuk
kebebasan kepemilikan.

e. Mekanisme Pasar
Kebebasan tersebut juga berarti bahwa harga, dalam
pandangan Imam Yahya bin Umar, ditentukan oleh kekuatan pasar.
Yakni kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Namun, ia menambahkan bahwa mekanisme harga itu harus tunduk

16
Ibid., hlm.201

12
pada kaidah-kaidah.

B. Pemikiran Ekonomi Menurut Al-Ghazali


1. Riwayat hidup
Al-Ghazali lahir pada 1058 H di kota kecil Khorasan bernama
Toos. Nama lengkapnya adalah Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Tusi al-Ghazali. Sejak kecil, Imam al-Ghazali hidup dalam
dunia tasawuf. Ia tumbuh dan berkembang dalam asuhan seorang sufi,
setelah ayahnya yang seorang sufi meninggal dunia, al-Ghazali sangat gila
akan ilmu pengetahuan. Ia mempunya kemauan yang sangat besar untuk
belajar, maka tak heran kalau ia menjadi seorang ilmuwan yang dikenal
dan dihormati. Dimasa mudanya ia belajar ke berbagai negara seperti Mesir,
Bagdad, dan Palestina. 17
Al-Ghazali merupakan sosok ilmuwan dan penulis yang sangat
produktif. Berbagai tulisannya telah banyak menarik perhatian dunia, baik
dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. Para pemikir Barat Abad
pertengahan seperti, Raymond Martin, Thomas Aquinas, dan Pascal,
diisukan banyak dipengaruhi oleh pemikiran al-Ghazali. Al-Ghazali
diperkirakan telah menghasilkan 300 buah karya tulis yang meliputi
berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat, moral, tafsir, fikih, ilmu-ilmu
Al-Quran, tasawuf, politik, administrasi, dan perilaku ekonomi. Namun
demikian, yang ada hingga kini hanya 84 buah. 18

2. Pemikiran ekonomi
Al-Ghazali dikenal memiliki pemikiran yang luas dalam berbagai
bidang. Bahasan ekonominya antara lain meliputi uang, perdagangan,
pembagian tenaga kerja, perilaku konsumsi, dan organisasi masyarakat dalam
perekonomian.19
Al-Ghazali mengibaratkan uang sebagai cermin. Cermin tidak
berwarna, namun dapat merefleksikan semua warna. Begitupun dengan uang,
uang tidak memiliki harga namun dapat merefleksikan semua harga. Uang

17
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.
218.
18
Ibid., hlm. 219
19
Ibid., hlm. 220

13
bukanlah komoditas sehingga tidak dapat diperjualbelikan. Memperjual
belikan uang ibarat memenjarakan uang, sebab hal ini dapat mengurangi
jumlah uang yang berfungsi sebagai alat tukar.20

3. Konsep Uang
Uang merupakan alat tukar yang sah dan masih digunakan sampai
saat ini. Sebelum adanya uang, masyarakat melakukan transaksi dengan cara
barter. Saat ini, uang sangat dibutuhkan oleh manusia, karena tanpa uang,
manusia akan kesulitan dalam bertransaksi.

Dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali


mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi
sebagagai sarana untk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap
tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia
mengibaratkan uang sebagai cermin.21

Oleh karena uang menurut al-Ghazali hanya sebagai standar harga


barang atau benda maka uang tidak memiliki nilai intrinsik. Atau lebih
tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang yang ditunjukkan oleh real
existence-nya dianggap tidak pernah ada. Anggapan al-Ghazali bahwa
uang tidak memiliki nilai intrinsik ini pada akhirnya terkait dengan
permasalahan seputar permintaan terhadap uang, riba, dan jual-beli mata
uang. 22

a. Larangan Menimbun Uang (Money Hoarding)


Menurut al-Ghazali alasan dasar pelarangan menimbun uang
karena tindakan tersebut akan menghilangkan fungsi yang melekat
pada uang itu. Sebagaimana disebutkannya, tujuan dibuat uang
adalah agar beredar dimasyarakat sebagai sarana transaksi dan
bukan untuk dimonopoli oleh golongan tertentu. Bahkan, dampak
buruk dari praktik menimbun uang adalah inflasi.23
b. Riba dan Jual Beli Uang

20
Ibid.,
21
Ibid., hlm.221.
22
Ibid., hlm. 222.
23
Ibid., hlm. 223.

14
Alasan mendasar al-Ghazali dalam mengharamkan riba yang
terkait dengan uang adalah didasarkan pada motif dicetaknya
uang itu sendiri, yakni hanya sebagai alat tukar dan standar nilai
barang semata, bukan sebagai komoditas. Karena itu, perbuatan
riba dengan cara tukar menukar uang yang sejenis adalah tindakan
yang keluar dari tujuan awal penciptaan uang dan dilarang oleh
agama.24
Larangan riba juga terdapat dalam al-Quran, yaitu Surat
Al-Baqarah ayat, 278-279 :

{278( َ‫ي ِمنَ ا ِلربَا ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِين‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
َ ‫َّللاَ َوذَ ُروا َما بَ ِق‬
‫وس َأ ْم َوا ِل ُك ْم ََل‬
ُ ‫سو ِل ِه َوإ ِ ْن تُ ْبتُ ْم َف َل ُك ْم ُر ُء‬ ٍ ‫َفإ ِ ْن َل ْم تَ ْفع َ ُلوا َف ْأ َذ ُنوا ب ِ َح ْر‬
َّ َ‫ب مِن‬
ُ ‫َّللا ِ َو َر‬
279( َ‫ت َْظ ِل ُمونَ َوَل تُ ْظ َل ُمون‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada


Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan
rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.“

Al-Ghazali menulis dalam salah satu bukunya, al-Arbain :


“Siapapun yang melakukan muamalah riba dengan menggunakan
dirham atau dinar, maka ia telah mengkufuri nkmat dan telah
berbuat kezaliman. Hal ini disebabkan karena kedua (logam) ini
diciptakan untuk yang lain dan bukan untuk dirinya sendiri.
Keduanya tidak memiliki tujuan apa-apa. Maka siapa yang
berdagang (jial-beli) dengan keduanya, maka ia telah
menjadikannya keluar hikmah (diciptakannya). Karena mencari
uang untuk tujuan selain dari yang diciptakan adalah kezaliman...”
Beliau tidak saja memperingatkan kaum Muslimin agar jangan

24
Ibid., hlm. 226.

15
menjadikan uang sebagai komoditas, tetapi juga mengancam
dengan bahasa yang sangat keras akan konsekuensi mengkufuri
nikmat Allah. Sesungguhnya tidak terlalu sulit memahami jalur
logika Imam al-Ghazali dalam menjelaskan betapa buruknya teori
yang menjustifikasi bunga sekalipun hal itu diungkapkan jauh
sebelum lahirnya tokoh-tokoh ekonomi Barat semacam Adam
Smith, David Ricardo, Alfred Marshal (1842-1924), Irving Fisher
(1867-1947), John Maynard Keynes (1883-1946) dan lain-lain.25
Salah satu hal yang termasuk dalam kategori riba adalah
jual beli mata uang. Dalam hal ini, al-Ghazali melarang praktik
yang demikian ini. Baginya, jika praktik jual beli mata uang
diperbolehkan maka sama saja dengan membiarkan orang lain
melakukan praktik penimbunan uang yang akan berakibat pada
kelangkaan uang dalam masyarakat. Karena diperjualbelikan,
uang hanya akan beredar pada kalangan tertentu, yaitu orang-
orang kaya. Ini tindakan yang sangat zalim.26
4. Konsep pasar
Pasar merupakan tempat yang dapat mempertemukan penjual dan
pembeli untuk melakukan transaksi serta terjadi proses penentuan harga.
Pasar memiliki peran yang cukup penting bagi dunia ekonomi. Dengan
adanya pasar, masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan barang yang
dibutuhkan. Begitupun bagi penjual, penjual dapat menjual dagangannya di
pasar dan mendapatkan keuntungan untuk terus mengembangkan usahanya
atau untuk memenuhi kebutuhannya.
Menurut al-Ghazali, perniagaan merupakan kegiatan ekonomi yang
sangat penting bagi kehidupan dunia dan agama. Hal ini disebabkan karena
pokok-pokok ibadah dalamajaran Islam berhubungan langsung dengan
kegiatan ekonomi. Sholat misalnya, menuntut terwujudnya industri tekstil;
haji menuntut pembangunan infra struktur seperti transportasi yang aman
dan memadai, komunikasi dan lain-lain; zakat menuntut individu menjadi

25
Ikhwan A. Basri, Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik, (Solo: Aqwam, 2008), hal. 145
26
Nur Chamid, Op. Cit.,

16
orang kaya, karena tanpa kekayaan tidak dimungkinkan adanya kewajiban
mengeluarkan zakat dan seterusnya. 27
Imam al-Ghazali juga menguraikan bagaimana terbentuknya pasar
yaitu ketika muncul dua rukun utama yang saling membutuhkan satu sama
lain, permintaan (demand) dan penawaran (supply). Meskipun gagasan
tentang pasar, bahkan mekanisme pasar dan harga, telah dibahas oleh para
ulama jauh sebelum al-Ghazali, namun dalam banyak karya, beliau turut
memberikan sumbangan dalam aspek ini sangat mendalam dan luas. Padahal
gagasan tentang permintaan dan penawaran dalam literatur ekonomi
konvesional itu sendiri sebenarnya masih sangat baru kira-kira pada abad ke-
19 dan bahkan pada permulaan abad ke-20. Para ekonom pra klasikal belum
berbicara tentang konsep permintaan dan penawaran dalam menentukan
harga. Umunya mereka berbicara tentang ongkos produksi terutama tenaga
kerja dalam menentukan nilai suatu barang. Disamping itu, beliau secara
tidak langsung juga menjelaskan perlunya pengamanan perjalanan dan
pengangkutan barang ke pusat-pusat perniagaan. Faktor keamanan secara
umum dipandang sangat perlu demi kondusifnya iklim perdagangan yang
pada gilirannya akan mempertahankan tingkat kesejahteraan umum
masyarakat. Dan tingkat kesejahteraan ini kan sangat berpengaruh kepada
beribadah kepada Allah.28

C. Pemikiran Ekonomi Menurut Al-Mawardi


1. Riwayat hidup

Abu Al-hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-


BasriAl-Syafi’I lahir dikota Basrah pada tahun 364 H (974M), setelah
mengawali pendidikannya dikota Basrah dan Bahgdad selama dua tahun, ia
berkelana ke berbagai negri islam untuk menuntut ilmu. Diantara guru-guru
al-mawardi adalah al-Hasan bin Ali bin Muhammaad Al-Jabali, Muhammad
bin Adi bin Zuhar Al-Manqiri, Ja’far bin Muhammad bin alFadhl Al-

27
Ikhwan A. Basri, Op. Cit., hlm. 132.
28
Ibid., hlm.134.

17
Baghdad, Abu Al-Qasim Al-Qursyairi, Muhammad bin Al-Ma’ali Al-Azdi
dan Ali Abu Asyfarayini.29

Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar mazhab Syafi’I ini
dipercaya memangku jabatan qadhi (hakim) diberbagai negeri secara
bergantian. Setelah itu, L-Mawardi kembali ke kota Baghdad untuk beberapa
waktu kemudian diangkat sebagai hakim agung pada masa pemerintahan
Khalifah Al-Qaim bi Amrillah Al-Abbasi,30
Sekalipun hidup di masa dunia Islam terbagi kedalam tiga dinasti yang
paling bermusuhan, yaitu Dinasti Abbasiyah di Mesir, Dinasti Umawiyah II
di Andalusia dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, Al-Mawardi memperoleh
pendidikan yang dimata para penguasa di masanya. Bahkan para pengiasa
BaniBuawihi, selaku pemegang kekuasaan pemerintahan Baghdad,
menjadikannya sebagai mediator mereka dengan musuh-musuhnya.
Sekalipun telah menjadi hakim, Al-mawardi tetap mengajar dan
menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi dan
Abu Al-Izz Ahmad bin Kadasy merupakan dua orang dari sekian banyak
murid Al-Mawardi. Sebagian besar karya ilmiah yang meliputi berbagai
bidang kajian dan bernilai tinggi telah ditulis oleh Al-Mawardi, seperti
Tafsir Al-Quran Al-Karim, al-Amtsal wa al-Hikmah, al-Hawi al-Kabir, al-
Iqna, al-Adab ad-Dunya wa ad-Din, Siyasah al-Maliki, Nasihat al-Muluk, al-
Ahkam ash-Shulthaniyyah, An-Nukat wa al-Uyun, dan Siyasah al-Wizarat
wa as-Siyasah al-Maliki. Dengan mewariskan berbagai karya tulis yang
sangat berharga tersebut, Al-mawardi meninggal dunia pada bulan Rabiul
Awwal tahun 450 H (1058M) di kota Baghdad dalam usia 86 tahun.31

2. Pemikiran ekonomi
Pada dasarnya, pemikiran ekonomi Al-mawardi tersebar paling tidak
pada tiga buah karya tulisnya, yaitu kitab al-Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-
Hawi dan , al-Ahkam ash-Shulthaniyyah. Dalam kitab al-Adab ad-Dunya wa
ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang Muslim serta
empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan,

29
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta :Rajawali Pers, 2014). Hlm.300.
30
Ibid., hlm.301.
31
Ibid.,

18
perdagangan dan industry. Di salah satu bagiannya al-Mawardi secara
khusus membahas tentang Mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab.
Dalam kitab , al-Ahkam ash-Shulthaniyyah ia banyak menguraikan tentang
sistem pemerintahan dan administrasi Negara Islam, seperti hak dan
kewajiban pengusa dan rakyatnya, berbagai lembaga Negara, penerimaan
dan pengeluaran Negara, serta intitusi hisbah.
Dari ketiga karya tulis terebut, para peneliti eknomi Islam tampaknya
sepakat bahwa al-Ahkam ash-Sulthaniyyah, merupakan kitab yang paling
komperehensif dalam mempresentasikan pokok-pokok pemikiran ekonomi
Al-Mawardi. Al-Mawardi menempatkan pembahasan ekonomi dan
keuangan Negara secara khusus pada bab 11, 12 dan 13 yang masing-masing
membahas tentang sedekah, harta fai dan ghanimah, serta harta jizyah dan
kharaj.

Analisi komparatif atas karya ini dengan karya-karya sebelumnya


yang sejenis menunjukkan bahwa Al-Mawardi membahas massalah-masalah
keuangan dengan cra yang lebih sistematis dan runtut. Sumbangan utama
Al-Mawardi terletak pada pendapat mereka pada pembebanan pajak
tambahan dan dibolehkannya peminjaman publik.

a. Negara dan aktivitas ekonomi


Teori keuangan publik selalu terkait dengan peran Negara dalam
kehidupan ekonomi. Negara dibutuhkan karena berperan untuk
memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya. Permasalahan
inipun tidak luput dari perhatian Negara islam. Al-Mawardi berpendapat
bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaan)
merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukanya merupakan
suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia.32
Dalam perspektif ekonomi, pernytaan Al-Mawardi ini berarti
bahwa Negara memiliki peran aktif demi trealisasinya tujuan material dan
sepiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi bangsa dalam membantu
merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan
masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.

32
Ibid., hlm. 303

19
Dengan demikian seperti para pemikir muslim sebelumnya, al-Mawardi
memandang bahwa dalam islam pemenuhan dasar setiap anggota
masyarakat bukan saja merupakan kewajiban penguasa dari sudut
pandang ekonomi, melainkan moral dan agama.
Selanjutnya al-mawardi berpendapat bahwa Negara harus
menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi
dan kesejahteraan umum. Menurutnya,

“ jika hidup dikota menjadi tidak mungkin karena tidak


berfungsinya fasilitas sumber air minum, atau rusaknya tembok
kota, maka Negara harus bertanggung jawab untuk
memperbaikinya dan, jika tidak memiliki dana, Negara harus
memnemukan jalan untuk memperolehnya”33

Al-Mawardi menegaskan bahwa Negara wajib mengatur dan


membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik karena
setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan semacam itu.
Dengan demikian, layanan public merupakan kewajiban social (fardh
kifayah) dan harus bersandar kepada kepentingan umum. Pernyataan Al-
Mawardi ini semakin mempertegas pendapat para pemikir muslim
sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk mengadakan proyek dalam
kerangka pemenuhan kepentingan umum, Negara dapat menggunakan
dana Baitul Mal atau membebankan kepada individu-individu yang
memiliki sumber keuangan yang memadai. Lebih jauh ia menyebutkan
tugas-tugas Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga
Negara sebagai berikut :
1. Melindungi agama
2. Menegakkan hukum dan stabilitas
3. Memelihara batas Negara islam
4. Menyediakan iklim ekonomi yang kondusif
5. Menyediakan administrasi public, peradilan, dan pelaksanaan hukum
islam

33
Ibid.,

20
6. Mengumpulkn pendapat dari berbagai sumber yang tersedia serta
menaikannya dengan menerapkan pajak baru jika situasi menuntutnya
7. Membelanjakan dana Baitul Mal untuk berbagai tujuan yang telah
menjadi kewajibanya.
Seperti yang telah disebutkan, Negara bertanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara serta merealisasikan
kesejahteraan dan perkembangan ekonomi secara umum. Sebagai
konsekuensinya, Negara harus memiliki sumber-sumber keuangan yang
dapat membiayai pelaksanaan tanggung jawabnya tersebut. Berkaitan
dengan hal ini, Al-Mawardi menyatakan bahwa kebutuhan Negara
terhadap pendirian kantor lembaga keuangan negara secara permanen
muncul pada saat terjadi transfer sejumlah dana Negara dari berbagai
daerah lalu dikirimkan kepusat.
Seperti pada halnya para pemikir Muslim diabad klasik, al-
Mawardi menyebutkan bahwa sumber-sumber pendapatan Negara islam
terdiri dari Zakat, Ghanimah, Kharaj, Jizyah, dan Ushr. Terkait dengan
pengumpulan harta zakat, al-Mawardi membedakan antara kekayaan
yang tampak dengan kekayaan yang tidak tampak. Pengumpulan zakat
atas kekayaan yang tampak, seperti hewan dan hasil pertanian, harus
dilakukan langsung oleh Negara, sedangkan pengumpulan zakat atas
kekayaan yang tidak tampak, seperti perhiasan dan barang dagangan,
diserahkan kepada kebijakan kaum muslimin.34
Lebih jauh al-Mawardi berpendapat bahwa dalam hal sumber-
sumber pendapatan Negara tersebut apabila tidak mampu memenuhi
kebutuhann anggaran Negara atau terjadi defisit anggaran, Negara
memperbolehkan untuk menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman
kepada public. Secara historis, hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah
Saw. Untuk membiayai kepentingan perang dan kebutuhan social lainnya
dimasa awal pemerintahan Madinah.35
Menurut al-Mawardi, pinjaman public harus dikaitkan dengan
kepentingan public. Nemun demikian, tidak semua kepentingan public
dapat dibiayai dari dana pembiayaan public. Ia berpendapat bahwa ada

34
Ibid., hlm.305.
35
Ibid.,

21
dua jenis biaya untuk kepentingan public, yaitu biaya untuk pelaksnaan
fungsi-fungsi mandatory Negara dan biaya untuk kepentingan umum
dana kesejahteraan masyarakat. Dana pinjaman public hanya dapat
dilakukan untuk pembiayaan berbagai barang atau jasa yang disewa oleh
Negara dalam kerangka mandatory functions. Sebagai gambaran, al-
Mawadi menyatakan bahwa ada beberapa kewajiban Negara yang timbul
dari pembayaran berbasis sewa, seperti gaji para tentara dan biaya
pengadaan senjata. Kewajiban seperti ini harus tetap dipenuhi terlepas
dari apakah keuangan Negara mencukupi atau tidak. Apabila dana yang
ada tidak mencukupi, Negara dapat melakukan pinjaman kepada public
untuk memenuhi jenis kewajiban tersebut.
Dengan demikian, menurut al-Mawardi pinjaman public hanya
memperbolehkan untuk membiayai kewajiban Negara yang bersifat
mandatory functions. Adapun terhadap jenis kewajiban yang bersifat
lebih kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat, Negara dapat
memberikan pembiayaan yang berasal dari dana-dana lain, seperti pajak.
Pernyataan al-Mawardi tersebut juga mengindikasikan bahwa
pinjaman publik dilakukan jika didukung oleh kondisi ekonomi yang ada
dan yang akan datang serta tidak bertujuan konsumtif. Kebijakan
pinjaman publik merupakan solusi terahir yang dilakukan oleh Negara
dalam menghadapi defisit anggaran.

b. Perpajakan
Sebagaimana trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga
tidak luput dari perhatian al-Mawardi. Menurutnya, penilaian atas Kharaj
harus berfariasi sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan
kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis
tanaman dan sisitem irigasi.
Lebih jauh, ia menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut
sebagai faktor-faktor penilaian Kharaj. Kesuburan tanah merupakan
faktor yang sangat penting dalam melakukan penilaian Kharaj karena
sedikit-banyaknya jumlah produksi bergantung kepadanya. Jenis tanaman
juga berpengaruh terhadap penilaian kharaj karena berbagai jenis

22
tanaman mempunyai variasi harga yang berbeda-beda. Begitupula halnya
dengan sistem irigasi.
Disamping ketiga faktor tersebut, al-Mawardi juga
mengungkapkan faktor yang lain, yitu jarak antara tanah yang menjadi
objek kharaj dengan pasar. Faktor terahir ini juga sangat relevan karena
tinggi-rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung pada jarak tanah
dari pasar. Dengan demikian, dalam pandangan al-Mawardi keadilan baru
akan terwujud terhadap para pembayar pajak jika para petugas pemungut
pajak mempertimbangkan setidaknya empat factor dalam melakukan
penilaian suatu objek Kharaj, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman,
system irigaasi dan jarak tanah ke pasar”36
Tentang metode penetapan Kharaj, al-Mawardi menyarankan untuk
mengguanakan salah satu dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam
sejarah islam, yaitu:
1. Metode Misahah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran
tanah. Metode ini merupakan Fixed-Tax, terlepas dari apakah tanah
tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut bisa ditanami.
2. Metode penetapan Kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami
saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak masuk
dalam penilaian objek Kharaj.37
3. Metode Musaqah yaitu metode penetapan Kharaj berdasarkan
presentase dari hasil produksi (proportional tax). Dalam metode ini,
pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa panen.

Secara kronologis, metode pertama yang digunakan umat islam


dalam penerapan kharaj adalah metode Misahah. Metode ini diterapkan
pertama kali pada masa khalifah Umar ibn Khatab berdasarkan masukan
dari para sahabat yang melakukan survey. Pada masa ini, pajak
ditetapkan tahunan pada tingkat yang berbeda secara Fixed atas setiap
tanah yang berpotensi produktif dan memiliki akses keair, sekalipun tidak
ditanami sehingga pendapatan yang diterima oleh Negara dari jenis pajak
ini pun bersifat fixed. Melalui penggunaan metode ini, Khalfah Umar

36
Ibid., hlm. 307.
37
Ibid., hlm 308

23
ingin menjamin pendapatan Negara pada setiap tahunnya demi
kepentingan ekspansi, sekaligus memastikan para petani tidak mengelak
membayar pajak dengan dalih hasil produksi rendah.
Metode yang kedua juga pernah diterapkan pada masa Umar.
Pengenaan pajak dengan menggunakan metode ini dilakukan pada
bebarapa wilayah tertentu saja, terutama di Syiria. Metode yang terahir,
Muqasamah, pertama kali diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah,
Khususnya pada masa dinasti Al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid.

c. Baitul Mal
Seperti yang telah dikemukakan, al-Mawardi menyatakan bahwa
untuk membiayai belanja Negara dalam rangka memenuhi kebutuhan
dasar setiap warganya, Negara membutuhkan lembaga keuangan Negara
(Baitul Mal) yang didirikan secara permanen. Melalui lembaga ini,
pendapatan Negara dari berbagai sumber akan disimpan dalam pos yang
terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya masing-masing.
Berkaitan dengan pembelanjaan harta Baitul Mal, al-Mawardi
menegaskan bahwa jika dana pada pos tertentu tidak mencukupi untuk
membiayai kebutuhan yang direncanakannya, pemerintah dapat
meminjam uang belanja tersebut dari pos yang lain. Ia juga menyatakan
bahwa pendapatan dari setiap Baitul Mal provinsi digunakan untuk
memenuhi pembiayaan kebutuhan publiknya masing-masing. Jika
terdapat surplus, guberbur mengirimkan sisa dana tersebut kepada
pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat atau provinsi yang
memperoleh pendapatan surplus harus mengalihkan sebaggian harta
Baitul Mal kepada daerah-daerah yang mengalami defisit.
Kemudian dilihat dari tanggung jawab Baitul Mal untuk
memenuhi kebutuhan publik. Ia mengklasifikasikan berbagai tanggung
jawab Baitul Mal kedalam dua hal, yaitu :
1. Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang
disimpan di Baitul Mal sebagai amanah untuk didistribusikan kepada
mereka yang berhak.
2. Tanggung jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang
menjadi aset kekayaan baitul Mal itu sendiri.

24
Berdasarkan ketegori yang dibuat al-Mawardi tersebut, kategori
pertama dari tanggung jawab Baitul Mal yang terkait dari pendapatan
Negara yang berasal dari sedekah. Kerena pendapatan sedekah yang
diperuntukan bagi klompok masyarakat telah ditertentukan dan tidak
dapat digunakan untuk tujuan-tujuan umum, Negara hannya diberi
kewenangan untuk mengatur pendaptan itu sesuai apa yang telah
digariskan oleh ajaran islam. Dengan demikian kategori tanggung jawab
yang pertama merupakan pembelanjaan yang bersifat tetap dan minimum.
Kemudian kategori tanggung jawab yang kedua yakni terkait dari
pendapatan Negara yang berasal dari Fai. Menurut al-Mawardi, seluruh
jenis kekayaan yang menjadi milik kaum muslimin secara umum dan
bukan milik perseorangan secara khusus merupakan bagian dari harta
Baitul Mal. Oleh karena itu, pendapatan fai yang diperuntukan bagi
seluruh kaum muslimin tersebut merupakan bagian dari harta Baitul Mal.
Lebih jauh, al-Mawardi mengklasifikasikan kategori yang kedua
ini kedalam dua hal. Pertama, tanggung jawab yang timbul sebagai
pengganti atas nilai yang diterima (badal), seperti untuk pembayaran gaji
para tentara dan pembiayaan pengadaan senjata. Pelaksanaan tanggung
jawab ini menghasilkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh
pemerintah, berapapun besarnya.
Kedua, tanggung jawab yang muncul melalui bantuan dan
kepentingan umum. Al-Mawardi menyatakan bahwa pelaksanaan jenis
tanggung jawab ini berkaitan dengan keberadaan dana Baitul Mal. Jika
terdapat dana yang cukup dari Baitul Mal, maka pelaksanaan tanggung
jawab tersebut menjadi tanggung jawab sosial (fardh kifayah) seluruh
kaum muslimin.
Disamping menetapkan tanggung jawab Negara, uraian al-
Mawardi tersebut juga menunjukan bahwa dasar pembelanjaan publik
dalam Negara islam adalam Maslahah (kepentingan umum). Hal ini
berarti bahwa Negara hanya mempunyai wewenang untuk
membelanjakan harta Baitul Mal selama berorientasi pada pemeliharaan
maslahah dan kemajuannya.

25
Dalam hal pendistribusian pendapatan zakat, al-Mawardi
menyatakan bahwa kewajiban Negara untuk mendistribusikan harta zakat
kepada orang-orang fakir dan miskin hanya pada taraf sekedar untuk
membebaskan mereka dari kemiskinan. Tidak ada batasan jumlah
tertentu untuk membantu mereka karena ‘pemenuhan kebutuhan’
merupakan istilah yang relativ. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sebingga terbebas dari 1 Dinar, sementara yang lain mungkin
membutuhkan 100 dinar.
Disamping itu al-Mawardi berpendapat bahwa zakat harus
didistribusikan diwilayah tempat zakat itu diambil. Pengalihan zakat
kewilayah lain hanya diperbolehkan apabila seluruh golongan mustahik
zakat diwilayah tersebut telah diterimanya secara memadai. Kalau
terdapat surplus, maka mereka yang paling berhak menerimannya adalah
yang terdekat wilayah tempat zakat tersebut diambil.
Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusian
harta Baitul Mal agar berjalan lancar dan tepat sasaran, Negara harus
memberdayakan Dewan Hisbah semaksimal mungkin. Dalam hal ini
salah satu fungsi Muhtasib adalah memperhaikan kebutuhan public serta
merekomendasikan pengadaan proyek kesejahteran bagi masyarakat
umum. Al-mawardi menegaskan,

“jika mekanisme pengadaan air minum kekota mengalami


kerusakan, atau dinding sekitarnya bocor, atau kota tersebut
banyak dilintasi oleh para musafir yang sangat membutuhkan air,
maka Muhtasib (petugas hisab) harus memperbaiki system air
minum, merekonstruksi dinding dan memberikan bantuan
keuangan kepada orang-orang miskin, karena hal ini adalahh
kewajiban baitul Mal bukann kewajiban Masyarakat.”

Disamping menguraikan teori tentang pembelanjaan public,, al-


Mawardi ternyata memahami dampak ekonomi pengalihan pendapatan
melalui kebijakan public. Ia menyatakan:

26
“ Setiap penurunan dalam kekayaan public adalah peningkatan
kekayaan Negara dan setiap penurunan dalam kekayaan Negara
adalah peningkatan dalam kekayaan public.”

Dengan demikian, menurut al-Mawardi pembelanjaan public,


seperti halnya perpajakan, merupakan alat efektif untuk mengalihkan
sumber-sumber ekonomi. Pernyataan al-Mawradi tersebut juga
mengisyaratkan bahwa pembelanjaan public akan meningkatkan
pendapatan masyarakat secara keseluruhan.

27
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Yahya bin Umar merupakan ulama yang bernama lengkap Abu
Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf al-Kannani al-Andalusi ini lahir
pada tahun 213 H dan dibesarkan di Kordova, Spanyol. Beliau
merupakan penulis kitab Al-Ahkam al-Suq, kitab ini berisi tentang
persoalan ihtikar dan siyasah al-ighraq. Kedua istilah tersebut dalam
ilmu ekonomi kontemporer dikenal dengan monopoly's rent-seeking
(ihtikar) dan dumping policy (siyasahal-ighraq). Adapun, Al-Ghazali
lahir pada 1058 H di kota kecil Khorasan bernama Toos. Nama
lengkapnya adalah Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Tusi al-Ghazali. Pemikiran Al-Ghazali antara lain
meliputi uang (konsep uang), perdagangan, pembagian tenaga kerja,
perilaku konsumsi dan organisasi masyarakat dalam perekonomian.
Sementara, Al-Mawardi yang bernama lengkap Abu Al-hasan Ali bin
Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-BasriAl-Syafi’I lahir dikota
Basrah pada tahun 364 H (974M) memiliki sumbangan utama terhadap
pemikiran ekonomi Islam diantaranya tentang negara dan aktivitasnya,
perpajakan dan tentang Baitul Maal.

B. Saran
Demikian pembahasan makalah yang kami susun, semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Penulis menyadari
masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun sangat kami harapkan dalam pembuatan
makalah selanjutnya agar menjadi lebih baik.

28
DAFTAR PUSTAKA

Chamid Nur.2017.Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Subhan Moh. 2017.Relevansi Pemikiran Ekonomi Yahya Bin Umar Dalam


Perspektif Ekonomi Modern. Jurnal Ekonomi Syariah, Vol. 1, No. 2, 2017

Basri A. Ikhwan.2008.Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik.Solo: Aqwam

Azwar Adiwarma Karim.2014.Sejarah Pemikiran Ekonomi

Islam.Jakarta :Rajawali Pers

29

Anda mungkin juga menyukai