Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

Pemikiran Ekonomi Islam Abad ll H/ 8 M ( abu hanifa,abu yusuf,malik bin


anas, assaibani, abu ubaid )

Dosen Pembimbing

Nama : Ahmad Fuad,ME.Sy

Disusun

Oleh

M. Alfani

Nurhikmah ( 601191010028 )
Pendahuluan

Mempelajari sejarah merupakan suatu keharusan bagi setiap orang yang


inginmengetahui kebenaran yang terjadi di masa lampau. Apapun jenis sejarah
itu, baik berkaitan dengan politik, budaya, ekonomi dan lainnya. Banyak hal-
hal yang tidakterekspos secara baik saat seseorang tidak memahami sejarah
yang ada, terutama bagiseorang pembelajar yang mendalami sebuah ilmu.
Berkaitan dengan ekonomi Islam, banyak hal-
hal yang ada di masa Islam dahulu yang baru diketahui dan dipahami olehsegeli
ntir orang yang memang berfokus pada bidang tersebut. Sebagai contoh
setelahmempelajari Abu Yusuf dapat dipahami bahwa teori perpajakan yang
banyak dicetuskanoleh bangsa barat banyak mengambil intisari dari apa yang
dicetuskan oleh Abu Yusuf.Ini merupakan fakta penting terutama bagi kita yang
mempelajari e
Sejarah dan pemikiran Ekonomi Abu Hanifa, Abu Yusuf, Abu
Muhammad bin Al Hasan (Al Syaibani) dan Abu Ubaid

Sejarah dan pemikiran Ekonomi Abu Hanifa, Abu Yusuf, Abu Muhammad

bin Al Hasan (Al Syaibani) dan Abu Ubaid

Kehadiran ekonomi Islam di era kekinian, telah membuahkan hasil

denganbanyak diwacanakan kembali ekonomi Islam dalam teori-teori, dan

dipraktikkannyaekonomi Islam di ranah bisnis modern seperti halnya lembaga

keuangan syariah bank dan non bank. Ekonomi Islam yang telah hadir kembali

saat ini, bukanlah suatu hal yang tiba-tiba datang begitu saja.

Ekonomi Islam sebagai sebuah cetusan konsep pemikiran dan praktik telah

hadir secara bertahap dalam periode dan fase tertentu. Memang ekonomi

sebagai sebuah ilmu maupun aktivitas dari manusia untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya adalah sesuatu hal yang sebenarnya memang ada begitu saja. Karena

upaya memenuhi kebutuhan hidup bagi seorang manusia adalah suatu fitrah.

Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya sudah diawali sejak Muhammad SAW

dipilih menjadi seorang Rasul. Rasulullah SAW mengeluarkan kebijakan-

kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan

penyelenggaraan hidup bermasyarakat, yang kemudian dilanjutkan oleh

penggantinya, Khulafaur Rasyidin serta khalifah selanjutnya dalam menata

ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam telah terbentuk secara berkala sebagai

sebuah subyek interdisipliner sesuai dengan paradigma Islam. Di dalam tulisan-

tulisan para pengamat, Al-Qur’an, ahli hukum/syariah, sejarawan, serta filosof,


sosial, politik, serta moral. Sejumlah cendekiawan Islam telah memberikan

kontribusi yang sangat berharga sejak berabadabad yang lampau.

Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali jejak-jejak pemikiran

munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang

mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu

halal-haram atau berprinsip syariat Islam. Kelangkaan tentang kajian pemikiran

ekonomi dalam Islam sangat tidak menguntungkan karena, sepanjang sejarah

Islam, para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai

gagasan ekonominya sedemikian rupa, sehingga terkondisikan mereka dianggap

sebagai para pencetus ekonomi Islam sesungguhnya.

            Pada kesempatan ini kita akan menbahas para pemikir isalam pada masa

klasik yakni Abu Hanifah, Abu Yusuf, Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan,

dan Abu Ubaid. Para tokoh ini merupakan para pemikir islam dibidang ekonomi

yang sangat handal.

1. Abu Hanifah(80-150 H /699 –767 M)

Biografi Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H/699 M.

Demikianlah menurut riwayat yang masyhur. Nama beliau yang sebenarnya

mulai dari kecil ialah Nu‟man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya

keturunan dari bangsa Persia (Kabul, Afganistan), tetapi sebelum beliau

dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Dengan ini teranglah bahwa beliau
bukan keturunan dari bangsa Arab, melainkan beliau dilahirkan di tengah-

tengah bangsa Persia.

Ia lebih populer dipanggil Abu Hanifah, karena diantara putranya ada

yang dinamakan Hanifah, ini menurut satu riwayat. Dan menurut riwayat yang

lain, sebab ia mendapat gelar Abu Hanifah, karena ia adalah orang yang rajin

melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh melakukan

kewajibannya dalam beragama. Karena perkataan “Hanif” dalam bahasa Arab

itu artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang benar. Dan ada

pula yang meriwayatkan, bahwa sebab ia mendapat gelar dengan “Abu

Hanifah” itu lantaran dari eratnya berteman dengan “tinta”. Karena perkataan

“Hanifah” menurut lughat Irak artinya “dawat” atau “tinta”. Yakni ia di mana-

mana senantiasa membawa dawat guna menulis atau mencatat ilmu

pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya atau lainnya. Dengan demikian

lalu ia mendapat gelar Abu Hanifah.[1]

Karya-Karya Abu Hanifah

Perlu diketahui bahwa Abu Hanifah tidak pernah menulis kitab tentang

mazhabnya. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa Abu Hanifah tidak

menulis kitab secara langsung kecuali beberapa “risalah” kecil yang

dinisbahkan kepadanya, seperti risalah yang dinamakan al-Fiqh al-Akbar dan

al-Alim wa al-Muta‟alim. Walau demikian mazhabnya sangat populer dan

tersebar luas. Ini karena hasil perjuangan murid-murid Abu Hanifah dalam
mengembangkan dan menyebarluaskan pemikirannya terutama

pada istimbath yang ia rumuskan.

Diceritakan bahwa Imam Abu Yusuf merupakan orang yang pertama

menulis beberapa buku berdasarkan mazhab Hanafi dan menyebarkannya ke

berbagai daerah untuk dipelajari. Demikian pula halnya dengan Muhammad ibn

al-Hasan asy-Syaibani banyak menimba ilmu dari Abu Hanifah dan

menyebarkan pemikiran-pemikiran beliau melalui karya-karyanya. Dari

sejumlah sumber, menyebutkan bahwa Abu Hanifah sendiri tidak meninggalkan

karya atau buku yang ditulisnya langsung, kecuali apa yang dinukil oleh para

murid beliau.

Abu Zahrah, menceritakan bahwa penulisan di bidang ushul fiqh untuk

pertama kali disusun oleh murid Imam Abu Hanifah. Hal senada juga

disebutkan oleh pengikut dan para muridnya. Diantara murid Abu Hanifah yang

paling terkenal dan merupakan orang yang pertama menulis buku ushul

fiqh berdasarkan pandangan Abu Hanifah adalah Imam Abu Yusuf (w. 182 H).

Dan karya Abu Yusuf ini pada akhirnya menjadi pegangan mazhab Hanafi,

dalam ushul fiqh.

Menurut penuturan Imam Nadim sebagaimana dikutip oleh Tengku

Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, bahwa Abu Yusuf dan Zufar adalah dua

orang murid yang sangat berjasa dalam merumuskan dan mengembangkan

pemikiran Abu Hanifah dan mazhab ushul Hanafi. Abu Yusuf sendiri banyak


menghasilkan karya-karya yang didasarkan kepada mazhab Hanafi, seperti

kitab az-Zakah, as-Shiyam, al-Faraidh, al-Hudud, al-Kharaj dan al-Jami‟. Dan

diantara karya Abu Yusuf yang terkenal adalah kitab al-Kharaj.

Selain Abu Yusuf dan Zufar, Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani juga

salah seorang murid Abu Hanifah yang terkenal dan berjasa dalam

mengembangkan mazhab Hanafi. Ibn Hasan mengikuti cara-cara istimbath yang

telah dirintis oleh Abu Yusuf berdasarkan pemikiran Abu Hanifah.

Menurut riwayat, bahwa para ulama Hanafiyah (yang bermazhab Hanafi)

telah membagi-bagi masalah fiqh Hanafiyah menjadi tiga tingkatan, yakni;

pertama, masail al-Ushul, kedua, masail an-Nawadhir dan ketiga, al-Fatawa

wa al- waqi‟at.

 Pertama, masail al-Ushul yaitu masalah-masalah yang termasuk zhahir

ar-Riwayah, yaitu pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dan

sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar. Muhammad ibn al-

Hasan asy-Syaibani telah mengumpulkan pendapat-pendapat tersebut yang

kemudian disusun dalam kitab yang bernilai tinggi, Zahir ar-Riwayah.

Kitab-kitab yang termasuk Zahir ar-Riwayah ada enam buah, yaitu

(1) al-Mabsuth atau al-Ashl, (2) al-Jami‟ al-Kabir, (3) al-Jami‟ ash-Shagir,

(4) as-Siyar al-Kabir, (5) as-Siyar ash-Shagir, dan (6) az-Ziyadat. Keenam

kitab tersebut kemudian disusun oleh Hakim asy-Syahid menjadi satu kitab
yang diberi nama al-Kafi. Kitab ini dikomentari atau diberi syarah oleh Syamsu

ad-dhin asy-Syarkhasyi dan dikenal dengan nama al-Mabsuth.

Kedua, masail An-Nawadir yaitu pendapat-pendapat yang diriwayatkan

Abu Hanifah dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam kitab yang

termasuk Zahir ar-Riwayah. Adapun kitab-kitab terkenal yang termasuk an-

Nawadir adalah al-Kaisaniyyat, ar-Ruqayyat, al-Haruniyyat, al-

Jurjaniyyat dan Badai‟ ash-Shanai‟ fi Tartib asy-Syarai‟.

Ketiga, al-Fatawa wa al-Waqi‟at yaitu yang berisi masalah-masalah

keagamaan yang dari istimbath-nya para mujtahid yang bermazhab Imam

Hanafi yang datang kemudian, pada waktu mereka ditanyai tentang masalah

hukum-hukum keagamaan, padahal mereka tidak dapat menjawabnya, lantaran

dalam kitab-kitab mazhabnya terdahulu tidak didapati keterangannya, kemudian

mereka berijtihad guna menjawabnya. Adapun tentang kitab al-Fatawa wa al-

Waqi‟at yang pertama kali ialah kitab an-Nawazil karya Abi al-Laits as-

Samarqandi.

Kitab-kitab yang terkenal susunan ulama

Hanafiah mutaakkhirin diantaranya adalah; jami‟ al-Fushulain, Dharar al-

Hukkam, Multaqa al-Akhbar, Majmu‟ al-Anshar dan Radd al-Mukhtar „ala

Dhar al-Mukhtar yang tekenal dengan hasSelain kitab-kitab fiqh, dalam aliran

Hanafi terdapat kitab ushul al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqhiyah. Kitab-kitab ushul

al-fiqh dalam aliran Hanafi adalah (1) ushul al-Fiqh karya Abu Zaid ad-Duyusi


(w.430 H); (2) ushul al-Fiqh karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 430 H); dan

(3) ushul al-Fiqh karya an-Nasafi (w. 790 H) dan syarah-nya Misykat al-

Anwar.

Selain kitab fiqh dan ushul al-Fiqh, ulama Hanafiah juga membangun

kaidah-kaidah fiqh yang kemudian disusun dalam kitab tersendiri. Diantara

kitab qawaid al-Fiqhiyyah aliran Hanafi yaitu, Ushul al-Karkhi karya al-Karkhi

(260-340 H), Ta‟ziz an-Nazhar karya Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H), Al-

Asybah wa an-Nazha‟ir karya ibn Nujaim (w. 970 H), Majami‟ al-

Haqaiq karya Abu Said al-Khadimi (w. 1176 H), Majallah al-Ahkam al-

Adhiyyah (Turki Usmani, w. 1292 H), Al-Fawaid al-Bahiyyah fi Qawaid wa al-

Fawaid karya ibn Hamzah (w. 1305 H) dan Qawaid al-Fiqh karya Mujaddidi.

[9]

.2. Abu Yusuf (113-182H)

Biografi  Abu Yusuf

Nama lengkapnya Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husein al-

Anshori.Beliau lahir di kuffah pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 182H.

Abu Yusuf berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa arab.

Keluarganya disebut anshori karena daripihak ibu masih memiliki hubungan

dengan kaum anshar. Dibesarkan di kota kufah dan Baghdad yang pada masa

itu merupakan pusat kegiatan pemikiran dan intelektual islam paling dinamis.

Beliau berguru pada salah seorang ulama besar kenamaan yaitu nu’man bin
tsabit yang dikenal dengan nama abu hanifah, pendiri madzhab hanafi. Beliau

belajar pada imam abu hanifah selama 17 tahun. Begitu intensnya hubungan

pribadi dan intelektual ini membuat imam abu yusuf (w. 182/798) mengambil

metode dan cara berfikir gurunya itu dan turut menyebarkan paham fikihnya

selama hidup. Beliau dikenal sebagai orang yang memiliki ketajaman pikiran,

cepat mengerti, dan sangat cepat menghafal hadits. Murid-muridnya yang

sangat terkenal adalah imam ahmad bin hanbal(pendiri madzhab hanbali), imam

yahya bin ma’in (seorang ulama hadits yang sangat tersohor), dan yahya bin

adam (seorang ulama yang menulis karya ilmiah kitab al-kharraj juga.[10]

Abu yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar, seperti

Abu Muhammad Atho bin as-Saib Al-Kufi,Sulaiman bin Mahran AlA’masy,

Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Muhammad

bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al-Hajjaj bin Arthah. Beliau termasuk

ulama yang banyak menggunakan ra’yu (pendapat) seperti yang menjadi ciri

khas dari Fiqih Hanafiyah. Beliau dapat menempatkan kekuatan ra’yu itu dalam

perspektif hadits. Keunikan beliau yang mampu memadukan dua aliran ini

membuatnya terkenal sebagai seorang ulama ahli ra’yu dan hadits. Kedudukan

yang unik ini sebenarnya sulit dicapai tanpa kepenguasaan ilmu yang memadai

baik dari hadits maupun ra’yu.[11]

Beliau seorang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik

ulama, penguasa maupun masyarakat umum. Tidak jarang berbagai


pendapatnya dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai salah

satu bentuk penghormatan dan pengakuan pemerintah atas keluasan dan

kedalaman ilmunya, khalifah dinasti Abbasiyah, Harun Ar-Rasyid, mengangkat

Abu Yusuf sebagai ketua Mahkamah Agung (qadhi al-qudhah). Ketika Abu

Yusuf memangku jabatan sebagai Qadhi al Quddah, beliau diminta oleh

arRasyid untuk menulis buku umum yang akan dijadikan sebagai pedoman

dalam administrasi keuangan. Buku tersebut kemudian dikenal dengan nama

kitab al-kharraj. Beliau telah menetapkan teori ekonomi yang sesuai dengan

syariat islam. 

Karya Abu Yusuf

Salah satu karya Abu Yusuf yang sangat monumental adalah KIitab al-

Kharraj (buku tentang perpajakan). Kitab yang ditulis oleh Abu Yusuf ini

bukanlah kitab pertama yang membahas masalah al-Kharaj atau perpajakan.

Para sejarahwan muslim sepakat bahwa orang pertama yang menulis kitab

dengan mengangkat tema al-Kharraj adalah Mu’awiyah bin Ubaidillah bin

Yasar (W. 170 H), seorang Yahudi yang memeluk agama Islam dan menjadi

sekertaris khalifah Abu Abdillah Muhammad al-Mahdi (158-169 H/ 755-785

M). namun sayangnya, karya pertama di bidang perpajakan dalm islam tersebut

hilang ditelan zaman.

Penulisan kitab al-Kharraj karya Abu Yusuf didasarkan pada perintah dan

pertanyaan khalifah Harun ar-Rasyid mengenai berbagai persoalan perpajakan.


Dengan demikian, kitab al Kharraj ini mempunyai orientasi birokratik karena

ditulis untuk merespon permintaan khalifah Harun ar-Rasyid yang ingin

menjadikannya sebagai buku petunjuk administrasi dalam rangka mengelola

lembaga baitul mal dengan baik dan benar, sehingga Negara dapat hidup

makmur dan rakyat tidak terdzalimi. Sekalipun berjudul al-Kharaj, kitab

tersebut tidak hanya mengandung pembahasan tentang al-Kharaj saja,

melainkan juga meliputi berbagai sumber pendapatan Negara lainnya, seperti

Ghanimah, Fai, Kharraj, ushr, jizyah, dan shadaqah, yang dilengkapi dengan

cara-cara bagaimana mengumpulkan serta mendistribusikan setiap jenis harta

tersebut sesuai dengan syari’ah Islam berdasarkan dalil-dalil naqliyah al-Qur’an

dan Hadist).[12]

Kharaj adalah pajak atas tanah atau bumi yang pada awalnya dikenakan

terhadap wilayah yang ditaklukkan melalui perang ataupun karena pemilikan

mengadakan perjanjian damai dengan pasukan muslim. Ghanimah adalah segala

sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui

peperangan. Harta tersebut biasanya berupa uang, senjata, barangbarang

dagangan, bahan pangan, dan lainnya. Pemasukan dari ghanimah tetap ada dan

menjadi bagian penting dalam keuangan publik. Akan tetapi, karena sifatnya

yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak

tetap bagi Negara. Abu Yusuf mengatakan jika ghanimah didapat sebagai hasil

pertempuran dengan pihak musuh , maka harus dibagikan sesuai dengan paduan
dalam al-qur’an, surat al-anfal ayat 41. Pembagian khumus ini memberikan 1/5

atau 20% dari total rampasan untuk Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang

miskin dan kerabat. Sedangkan sisanya adalah saham bagi mereka yang ikut

peperangan.

Fay adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari harta orang

kafir tanpa peperangan, termasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharraj tanah

tersebut, jizyahperorangan dan usyr dari perdagangan.[13]

Usyr adalah zakat atas hasil pertanian dan bea cukai yang dikenakan

kepada pedagang muslim maupun non muslim yang melintasi wilayah Daulah

Islamiyah, yang dibayar hanya sekali dalam setahun. Untuk pengelolaan zakat

pertanian ditentukan sebagai berikut, jika pengelolaan tanah menggunakan

teknik irigasi ditentukan 5 persen dan jika pengelolaan tanah menggunakan

teknik irigasi tadah hujan ditentukan 10 persen. Bea cukai untuk pedagang

muslim dikenakan 2,5 persen sedangkan untuk orang-orang yang dilindungi

dikenakan 5 persen.

Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim yang hidup

di negara dan pemerintahan Islam sebagai imbalan atas perlindungan hukum,

kemerdekaan, keselamatan jiwa dan harta mereka. Beberapa karya tulisan

beliau yang berpengaruh besar dalam memperbaiki sistem pemerintahan dan

peradilan serta penyebaran madzhab hanafi. Beberapa diantara karyanya adalah


sebagai berikut:13kitab al-atsar, kitab ikhtilaf abi hanifah wa ibn abi laila, kitab

ar-radd ‘ala siyar al-Auza’I, dan kitab al-kharraj.

Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf

Dengan latar belakang sebagai seorang fuqaha beraliran ahl ar-Ra’yu,

Abu Yusuf Cenderung memaparkan berbagai pemikiran Ekonominya dengan

menggunakan perangkat analisis qiyas yang didahului dengan melakukan kajian

yang mendalam terhadap al-Qur’an, hadist Nabi, atsar Shahabi, serta praktik

para penguasa yang shalih. Landasan pemikirannya, seperti yang telah

disinggung, adalah mewujudkan kemaslahatan umum. Pendekatan ini membuat

berbagai gagasannya lebih relevan dan mantap.

Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keungan

publik. Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf

menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang

harus diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Terlepas

dari berbagai prinsip perpajakan dan pertanggungjawaban Negara terhadap

kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara

memperoleh sumber pembelanjaan untuk pembangunan jangka panjang seperti

membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan

kecil.

3.  Abu Ubaid (150-224H)

 Biografi Singkat Abu Ubaid


Abû ‘Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di propinsi Khurasan (Barat Laut

Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari

suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan

wafat tahun 224 H di Makkah.

Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke

Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir,

hadis, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi

mengikuti dari paham tengah campuran). Setelah kembali ke Khurasan, ia

mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr

ibn Mâlik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur)

menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di

Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di

Mekkah sampai wafatnya.

Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudâmah Assarkhâsy

mengatakan, “di antara Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal, Ishâq, dan Abû ‘Ubaid,

maka Syafi’i adalah orang yang paling ahli di bidang fikih (fâqih), Ibnu Hambal

paling wara’ (hati-hati), Ishaq paling huffâdz (kuat hafalannya) dan Abû ‘Ubaid

yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu)”. Sedangkan menurut Ibnu

Rohubah: “kita memerlukan orang seperti Abû ‘Ubaid tetapi dia tidak

 
KESIMPULAN

1.      Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H/699 M.

Demikianlah menurut riwayat yang masyhur. Nama beliau yang sebenarnya

mulai dari kecil ialah Nu‟man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya

keturunan dari bangsa Persia (Kabul, Afganistan), tetapi sebelum beliau

dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Dengan ini teranglah bahwa beliau

bukan keturunan dari bangsa Arab, melainkan beliau dilahirkan di tengah-

tengah bangsa Persia. Beliau meninggal di Baghdad, tahun 150 H, dalam usia

70 tahun.
Abu Hanifa menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, saah satnya
adalah salam ,yaitu suatu bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan
pembeli sepakat bila barang dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu
kontrak disepakati. Salah satu kebijakan Abu Hanifah adalah menghilangkan
ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi.

Anda mungkin juga menyukai