PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Ayat-ayat tentang memenuhi takaran dan timbangan?
2. Bagaimanakah tafsiran ayat-ayat tersebut?
3. Bagaimanakah munasabah ayat-ayat tersebut?
4. Apa sajakah pelajaran yang dapat kita ambil dari ayat-ayat tersebut?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui ayat yang menjelaskan tentang memenuhi takaran dan
timbangan.
2. Untuk mengetahui tafsiran ayat-ayat tersebut.
3. Untuk mengetahui munasabah ayat-ayat tersebut.
4. Untuk mengetahui pelajaran yang dapat kita ambil dari ayat-ayat tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
ُ الو ْز
=takaran/ timbangan ن َ = ال َك ْي َل
=adil القِ ْسطُ= ال َع ْد ُل
Kata al –qisthas atau al-qusthas ada yang memahami dalam arti
neraca, ada juga dalam arti adil. Kata ini adalah salah satu kata assing dalam
hal ini Romawi yang masuk berakulturasi dalam perbendaharaan bahasa arab
yang digunakan al-Quran, demikian pendapat Mujahid yang ditemukan
dalam shahih al-Bukhari. Kedua maknanya yang dikemukakan di atas dapat
dipertemukan, karena untuk mewujudkan keadilan anda memerlukan tolak
ukur yang pasti (neraca/timbangan) dan sebaliknya bila anda menggunakan
timbangan yang benar dan baik pasti akan lahir keadilan. Hanya saja kita jika
kita memahami ayat ini ditunjukkan kepada kaum muslimin, maka
memahami sebagi timbangan lebih tepat dan sesuai. Sedang dalam surat al-
An’am karena ia adalah sindiran kepada kaum musyrikin, maka disana
digunakan kata bilqis yang berarti adil untuk mengisyaratkan bahwa
transaksi yang mereka lakukan bukanlah yang bersifat adil. Demikian Ibn
Asyur.
Penyempurnaan takaran dan timbangan oleh ayat di atas dinyatakan
baik dan lebih bagus akibatnya. Ini karna menyempurnaan takaran atau
timbangan melahirkan rasa aman, ketentraman dan kesejahteraan hidup
bermasyarakat. Kesemuanya dapat tercapai melalui keharmonisan antara
anggota masyarakat, yang antara lain bila masing-masing memberi apa yang
berlebihan dari kebutuhannya dan menerima yang seimbang dengan haknya.
Ini tentu saja memerlukan rasa aman yang menyangkut alat ukur, baik
takaran maupun timbangan. Siapa yang membenarkan bagi dirinya
mengurangi hak seseorang, maka itu mengantarnya membenarkan perlakuan
serupa kepada siapa saja, dan ini mengantar kepada tersebarnya kecurangan.
Bila itu terjadi, maka rasa aman tidak akan tercipta, dan ini tentu saja tidak
berakibat baik bagi perorangan dan masyarakat. Dalam penafsiran ayat al-
Imran 152 al –Imran penulisan antara lain mengemukakan pandangan Thahir
Ibn Asyur tentang penggunaan perintah aufu setelah redaksi ayat
sebelumnya menggunakan bentuk larangan. Ini menurutnya untuk
mengisyaratkan bahwa mereka dituntut untuk memenuhi secara sempurna
timbangan dan takaran sebagaimana difahami dari kata aufu yang berarti
sempurnakan, sehingga perhatian mereka tidak sekedar pada upaya tidak
mengurangi, tetapi pada penyempurnaannya. Apalagi ketika itu alat ukur
masih sangat sederhana. Kurma dan anggurpun mereka ukur bukan dengan
timbangan tetapi takaran. Hanya emas dan perak yang mereka timbangan.
Perintah menyempurnakan ini juga mengandung dorongan untuk
meningkatkan kemurahan hati dan kedermawanan yang merupakan salah
satu yang mereka akui dan bangga sebagai sifat terpuji.
Penggunaan kata idza kiltum atau apabila kamu menakar merupakan
penekanan tentang pentingnya penyempurnaan takaran, bukan hanya sekali
dua kali atau bahkan seringkali, tetapi setiap melakukan penakaran, kecil
atau besar untuk teman atau lawan. Dalam QS. Al-An’am (6): 152 kata
tersebut tidak disebutkan. Hal ini agaknya karena disini perintah tersebut
didahului oleh kata idza /apabila yang mengandung makna isyarat
pengulangan terjadinya sesuatu. Disisi lain ayat ini ditunjukkan kepada kaum
muslimin, sedang ayat al-An’am merupakan sindiran kepada kaum
musyrikin. Seorang muslim dituntut oleh agamanya untuk menyempurnakan
hak orang lain, setiap saat dan sama sekali tidak boleh menganggap remeh
hak itu apalagi mengabaikannya.
Kata ta’wil terambil dari kata yang berarti kembali. Ta’wil adalah
pengembalian. Akibat dari sesuatu dapat dikembalikan kepada penyebab
awalnya, dari sini kata tersebut difahami dalam arti akibat atau kesudahan
sesuatu.