Anda di halaman 1dari 16

TAFSIR AYAT AYAT YANG MEMBANGUN HUKUM WAKALAH DAN

KAFALAH

Dosen pengampu: Tgk Said M. Nur, M.Ag

Disusun

O
L
E
H

FARIZ SYOUQI (21340359)


ADHE REZA FAHZAL (21340355)
HASANUL BASRI (21340361)
FAIZAL (21340357)
FAZIL FAZILAH (21340360)
MUHAMMAD RIZQAN (21340366)
KHAIRUL HIDAYAT (21340362)

HUKUM EKONOMI SYARIAH SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH


UMMUL AYMAN MEURAH DUA, PIDIE JAYA
TAHUN AJARAN
2022/2023
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjadkan kehadirat Allah SWT yang telah menciptakan
alam beserta isinya, yang selalu mencurahkan segala rahmat dan kekuatan-Nya untuk bergerak,
berfikir, dan berkarya dalam menggapai ridho-Nya. Serta rasa syukur yang tiada hentinya
disampaikan atas segala nikmat dan karunia-Nya yang diberikan membuat hidup ini menjadi penuh
dengan warna yang menghiasi kehidupan di dunia. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, sosok penyempurna akhlak yang menjadi rahmatan lil alamin,
kepada keluarganya, sahabatnya, pengikut sampai akhir zaman.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan


makalah ini tidak sedikit hambatan serta kesulitan yang dialami oleh penulis. Namun,
berkat kesungguhan hati dan kerja keras serta dorongan dan bantuan yang dapatkan
dari kerja sama kelompok hingga dengan izin Allah dapat menyelesaikannya. Dan
terkhususnya beribu terima kasih kami ucapkan kepada Tgk said M. Nur, M.Ag yang
merupakan dosen pengampu kami dalam pembelajaran mata kuliah Kajian Tafsir
Mu’amalat. Dengan adanya Ridha dari beliau dan penjelasannya di pertemuan yang
sudah, Makalah dengan judul “Tafsir ayat ayat yang membangun Wakalah dan
kafalah” dapat terselesaikan.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................. ii

DAFTAR ISI................................................................................................................................ iii

BAB I

PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1

A. Latar belakang ................................................................................................................... 1


B. Rumusan masalah ............................................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................... 2

BAB II

PEMBAHASAN .......................................................................................................................... 3

A. Pengertian Wakalah .......................................................................................................... 3


B. Landasan hukum Wakalah ................................................................................................ 4
C. Pengertian Kafalah ............................................................................................................ 8
D. Landasan hukum Kafalah ................................................................................................. 9

BAB III

PENUTUP.................................................................................................................................... 12

A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 12
B. Saran ................................................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak sekali di zaman sekarang permasalah mu’amalah yaitu hubungan manusia per
individu khusunya Wakalah dan Kafalah yang kurang paham bahkan tidak paham sama sekali
hukum dan tatacara melakukan nya, dan yang lebih penting landasan atau dasar hukum
mu’amalah tersebut tidak di pelajari dengan benar maka akan berakibat fatal, yang mana
pertama tadi suatu pekerjaan yang mulia dikarenakan bisa membantu sesama, tetapi dengan
tidak mengetahui landasan hukum benar ditakutkan tidak sesuai yang dianjurkan syariah.
Manusia yang merupakan makhlukat yang mempunyai banyak kelemahan yang sangat
memerlukan bantuan sesama manusa yang lain wakalah sangat berperan penting dalam
kehidupan sehari-hari. Karena wakalah dapat membantu seesorang dalam melakukan pekerjaan
yang tidak dapat dilakukan oleh orang tersebut, tetapi pekerjaan tersebut masih tetap berjalan
seperti layaknya yang telah direncanakan oleh si muwakkil, tidak jauh beda halnya dengan
kafalah. Hukum wakalah adalah diperbolehkan, bisa menjadi sunnah, makruh, haram, atau
bahkan wajib sesuai dengan niat pemberi kuasa, pekerjaan yang di kuasakan atau faktor lain
yang mendasarinya dan mengikutinya. karena wakalah dianggap sebagai sikap tolong-
menolong antar sesama, selama wakalah tersebut bertujuan kepada kebaikan dan melengkapi
syarat syarat dan rukun yang telah ditetapkan, dan juga sangat banyak tafsir alquran dan hadis
tentang landasan hukum mu’amalah ini. Wakalah berupa penyerahan atau memberi
kewenangan dari satu pihak kepihak lain dan harus dilakukan dengan yang telah disepakati
oleh si pemberi hak.
Kata Kafalah secara bahasa berarti dhammu (gabungan), sedangkan secara syara’
kafalah bermakna penggabungan tanggungan seorang kafil dengan tanggungan seorang ‘ashil
untuk memenuhi tuntutan dirinya, atau utang, atau barang, atau suatu pekerjaan. Adapun
kafil adalah orang yang berkewajiban untuk memenuhi tuntunan (menjamin tanggungan)
makful bihi (orang yang ditanggung). Dan ashil adalah orang yang berutang yang akan
ditanggung.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Wakalah ?
2. Apa landasan hukum Wakalah ?
3. Apa pengertian Kafalah ?
4. Apa landasan hukum Kafalah ?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk memahami pengertian Wakalah
2. Untuk mengetahui apa landasan hukum Wakalah
3. Unttuk memahami pengertian Kafalah
4. Untuk megetahui apa landasan hukum Kafalah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakalah

Wakalah mempunyai beberapa pengertian dari segi bahasa, diantaranya adalah


perlindungan (al-hifẓ), penyerahan (at-tafwiḍ), atau memberikan kuasa. Menurut kalangan
Syafi‟iyah pengertian wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-muwakkil) kepada
orang lain (al-wākil) supaya melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bisa di gantikan
(an-naqbalu an-niyabah) dan dapat di lakukan oleh pemberi kuasa. Dengan ketentuan pekerjaan
tersebut di laksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup1.
Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau
mewākilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wākil2. Al-wakalah juga memiliki arti
At-Tafwiḍ yang artinya penyerahan, pendelegasian atau pemberian wewenang3. Sehingga
Wakalah dapat diartikan sebagai penyerahan sesuatu oleh seseorang yang mampu dikerjakan
sendiri sebagian dari suatu tugas yang bisa diganti, kepada orang lain, agar orang itu
mengerjakannya semasa hidupnya4.
Al-wakalah dalam pengertian lain yaitu pelimpahan kekuasaan oleh seseorang yang
disebut sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak ke dua dalam melakukan sesuatu
berdasarkan kuasa atau wewenang yang di berikan oleh pihak pertama, akan tetapi apabila
kuasa itu telah di laksanakan sesuai yang di syaratkan atau yang telah di tentukan maka semua
resiko dan tanggung jawab atas perintah tersebut sepenuh nya menjadi pihak pertama atau
pemberi kuasa.
Manusia tidak mungkin bisa melakukan semua pekerjaan sendirian, semua orang pasti
membutuhkan bantuan orang lain dalam mengerjakan urusannya baik secara langsung maupun
tidak langsung, seperti mewākilkan dalam pembelian barang, pengiriman uang, pengiriman
barang, pembayaran utang, penagihan utang dan lain sebagainya.
Wakalah dalam praktek pengiriman barang terjadi ketika atau menunjuk orang lain atau
untuk mewākili dirinya mengirimkan sesuatu. Orang yang di minta di wakilkan harus

1
Helmi Karim, Fiqh Muamalah (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, Cet. III, 2002), 20.
2
Ahmad Warson Munawwir, Al- Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 1579
3
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2008),120-121
4
Abu Bakar Muhammad, Fiqh Islam (Surabaya: Karya Abbditama, 1995), 163

3
menyerahkan barang yang akan dia kirimkan untuk untuk orang lain kepada yang mewakili
dalam suatu kontrak.
Penerima kuasa (wākil) boleh menerima komisi (al-ujur) dan boleh tidak menerima komisi
(hanya mengharapkan ridho Allah/ tolong menolong). Tetapi bila ada komisi atau upah maka
akad nya seperti akad ijarah/ sewa menyewa. Wakalah dengan imbalan di sebut dengan
wakalah bil -ujrah, bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan al-wakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk
mengerjakan sesuatu, dan perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup5

B. Landasan Hukum Wakalah

Hukum selalu dijadikan landasan setiap kegiatan dalam kehidupan, setiap mua’amalah
pasti tentu ada landasan hukumnya masing masing, begitu halnya Wakalah. Wakalah memiliki
landasan hukum sebagai berikut:
Menitipkan atau mewakilkan sudah sangat dikenal di zaman jahiliyah dan di zaman
Islam. Abdurrahman bin Auf menitipkan keluarganya dan kerbatnya kepada Umayah, orang
yang menjaga mereka di Madinah dengan memberikan imbalan atas apa yang diperbuatnya.
Wakalah (penitipan) adalah akad dalam hal perwakilan. Allah SWT mengizinkan hal itu demi
kepentingan dan demi tegaknya suatu kemaslahatan. Tidak setiap orang mampu menjalankan
semua urusannya kecuali kepentingan orang lain.

a. Dasar hukum Wakalah dari Al quran, sebagai berikut:

Salah satu dasar dibolehkannya wakalah adalah firman Allah SWT yang berkenaan
dengan kisah Ash-habul Kahfi.

1. Surat Al kahfi ayat 19

ِ ‫وَك ٰذلِكَبعثْ ٰن ُه ْمَلِيتس ۤاءلُ ْواَبيْن ُه ْۗ ْمَقالَق ۤا ِٕىل‬


َ‫ٌَم ْن ُه ْمَك ْمَلبِثْت ُ ْۗ ْمَقالُ ْواَلبِثْناَي ْو ًماَاَ ْوَب ْعضَي ْو ْۗمَقالُ ْواَربُّ ُك ْمَاعْل ُمَبِماَلبِثْت ُ ْۗ ْمَفابْعث ُ ْْٓواَاحد ُك ْم‬
‫فَوَلَيُ ْشعِر َّنَ ِب ُك ْمَاحدًا‬ ْ ‫ط‬ ِ ‫ظ ْرَايُّهآَْا ْز ٰكىَطعا ًماَف ْليأْتِ ُك ْمَ ِب ِر ْزق‬
َّ ‫َم ْنهَُو ْليتل‬ ُ ‫ىَالم ِديْن َِةَف ْلي ْن‬
ْ ‫َهذ ِْٓهَاِل‬ ٰ ‫ِبو ِرقِ ُك ْم‬

5
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), 231- 233

4
Artinya:

Dan demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka
sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: “sudah berapa lamakah kamu berada
(disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang
lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah
salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan
hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan
itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan
halmu kepada seorangpun.” (Qs.Al-Kahfi:19)

"fa ib'atsu ahadakum bi wariqikum hadzihi ila al-madinah..". Mengutus salah seorang di
antara mereka agar keluar bawa uang untuk membeli makanan di desa terdekat. Ayat ini
menunjukkan bolehnya akad wakalah, perwakilan dalam transaksi atau jual beli. Yaitu menunjuk
seseorang untuk mewakili melakukan transaksi tertentu.

Dalam hal muamalah maka ayat tersebut diatas membicarakan tentang perwakilan dalam
bertransaksi, ada solusi yang bisa diambil manakala manusia mengalami kondisi tertentu dalam
mengakses atau melakukan transaki yaitu dengan jalan wakalah, menetapkan pekerjaan wakil
berupa perginya ia kepada tempat dimana barang tersebut berada (kota), dikenalkannya alat
pertukaran transaksi yaitu wariq atau uang perak dan ketentuan (sighat) terhadap barang (taukil)
yang akan diadakan serta bolehnya diadakan non-disclossure agreement antara wakil dan
muwakil

2. Surat Annisa’ ayat 35

‫َّٰللاَُبيْن ُهماََْۗا َِّن ه‬


َ‫َّٰللاَكانَع ِل ْي ًماَخ ِبي ًْرا‬ ‫ق ه‬ ِ ِ‫حاَيُّوف‬ ْ ِ‫وا ِْنَخِ ْفت ُ ْمَشِقاقَب ْينِ ِهماَفابْعث ُ ْواَحك ًماَمِ ْنَا ْهلِهَوحك ًماَمِ ْنَا ْهلِهاََۚا ِْنَي ُِّريْدآَا‬
ًَ ‫صَل‬

Artinya:
Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika
keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal.
3. Surat Yusuf ayat 55

5
ٌ ‫ضَاِنِ ْيَح ِف ْي‬
َ‫ظَع ِل ْي ٌم‬ ْ ‫قالَاجْع ْلنِ ْيَع ٰلىَخز ۤا ِٕى ِن‬
ۚ ِ ‫َاَل ْر‬

Artinya:

Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya
aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.”

4. Surat Al Baqarah ayat 283


...َٗ‫َّٰللاَربَّه‬
‫ق ه‬ ِ َّ ‫ض ُك ْمَب ْعضًاَف ْليُؤدَِالَّذِىَاؤْ تُمِ نَامانتهٗ َو ْليت‬
ُ ‫…فا ِْنَامِ نَب ْع‬

Artinya:

"… Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya …"
5. Surat Al Maidah ayat 2
َِ ‫َوَلَتعاونُ ْواَعلىَاْ ِإلثْ ِمَو ْال َعُدْو‬،‫ىَال ِب ِرَوالت َّ ْقوى‬
‫ان‬ ْ ‫وتعاونُ ْواَعل‬

Artinya:

"Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah


tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran."

6. Surat At Taubah ayat 60


Yang membahas masalah pengurus pengurus zakat yang terjadi pewakalahan disana
7. Surat Yusuf ayat 93

َ‫يراَوأْتُونِىَ ِبأ ْه ِل ُك ْمَأجْمعِين‬


ً ‫ص‬ِ ‫ىَهذاَفأ ْلقُوهَُعل ٰىَو ْجهَِأ ِبىَيأْتَِب‬
ٰ ‫يص‬ِ ِ‫ٱذْهبُواََ ِبقم‬
Artinya:
“Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku,
nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku".

b. Dasar hukum Wakalah dari Al hadis, sebagai berikut:

Hadis yang dapat di jadikan landasan dan dasar hukum keshahannya wakalah diantaranya:

َ)‫ارثَِ(رواهَمالكَفيَالموطأ‬ ْ ‫َفز َّوجاهَُم ْي ُم ْونةَ ِب ْنت‬،‫ار‬


ِ ‫َالح‬ ِ ‫س ْولَهللاَِصلَّىَهللاَُعل ْيهَِوآ ِلهَِوسلَّمَبعثَأباَرافِعَور ُجَلًَمِ نَاْأل ْنص‬
ُ ‫ِإ َّنَر‬

"Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi' dan seorang Anshar untuk mengawinkan (qabul
perkawinan Nabi dengan) Maimunah r.a." (HR. Malik dalam al-Muwaththa').

6
َ‫َفإِ َّن‬،ُ‫َدع ُْوه‬:‫َُّٰللاَصلَّىَاللَّهمَعل ْيهَِوآ ِلهَِوسلَّم‬
ِ َّ ‫سول‬ ْ ‫يَصلَّىَاللَّهمَعل ْيهَِوسلَّمَيتقاضاهَُفأ ْغلظَفه َّمَ ِبهَِأ‬
َُ ‫صحابُهَُفقالَر‬ َّ ‫أ َّنَر ُجَلًَأتىَالنَّ ِب‬
ُ ‫َفقالَأ ْع‬.‫َّٰللاََلن ِجدَُ ِإَلََّأ ْمثلَمِ ْنَ ِس ِن َِه‬
َ‫َفإِ َّنَمِ ْنَخي ِْر ُك ْم‬،ُ‫ط ْوه‬ ُ ‫َياَر‬:‫َقالُوا‬.ِ‫ط ْوهَُ ِسنًّاَمِ ثْلَ ِس ِنه‬
ِ َّ ‫سول‬ ُ ‫َأ ْع‬:‫َث ُ َّمَقال‬،ً‫قَمقاَل‬ ْ ‫ب‬
َِ ‫َالح‬ ِ ِ‫لِصاح‬
)‫أحْسن ُك ْمَقضا ًءَ(رواهَالبخاريَع ْنَأبِيَهُريْرة‬

"Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW untuk menagih hutang kepada beliau dengan
cara kasar, sehingga para sahabat berniat untuk "menanganinya". Beliau bersabda, 'Biarkan ia,
sebab pemilik hak berhak untuk berbicara;' lalu sabdanya, 'Berikanlah (bayarkanlah) kepada orang
ini unta umur setahun seperti untanya (yang dihutang itu)'. Mereka menjawab, 'Kami tidak
mendapatkannya kecuali yang lebih tua.' Rasulullah kemudian bersabda: 'Berikanlah kepada-nya.
Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik di dalam
membayar." (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).

Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:

‫طاَح ََّرمَحَلَلًَأ ْوَأحلََّحرا ًما‬ ُ َ‫ص ْل ًحاَح َّرمَحَلَلًَأ ْوَأحلََّحرا ًماَو ْال ُم ْس ِل ُمونَعلى‬
ً ‫ش ُروطَِ ِه ْمَإَِلََّش ْر‬ ْ ‫ص ْل ُحَجائ ٌِزَبيْن‬
ُ ََّ‫َال ُم ْسلِمِ ينَإَِل‬ ُّ ‫ال‬.

"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang


mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram."

Dan ada kaidah fiqh juga yang menyatakan sebagai berikut:


ْ ‫صلَُف‬
‫ِىَال ُمعامَلتَِاْ ِإلباحةَُإَِلََّأ ْنَيدُلََّد ِل ْيلٌَعلىَت ْح ِريْمِ ها‬ ْ ‫األ‬

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang

mengharamkannya.”

Ayat-ayat dan Hadis nabi tersebut menyimpulkan bahwa dalam hal muamalah dapat
dilakukan perwakilan dalam bertransaksi, ada solusi yang bisa diambil manakala manusia
mengalami kondisi tertentu yang mengakibatkan ketidak sanggupan melakukan segala sesuatu

7
secara mandiri, baik melaui perintah maupun kesadaran pribadi dalam rangka tolong menolong,
dengan demikian seseorang dapat mengakses atau melakukan transaki melaui jalan Wakalah.

C. Pengertian Kafalah

Bahwa dalam rangka menjalankan usahanya, seseorang sering memerlukan penjaminan

dari pihak lain melalui akad kafalah, yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil)

kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul

‘anhu, ashil)

Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak

ketiga yang memeneuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain

kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang

pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin6

Al-kafalah menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan za‟mah
(tanggungan). Menurut Sayyid Sabiq yang di maksud dengan al-kafalah adalah proses
penggabungan tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam tuntutan dengan benda (materi) yang
sama baik utang barang maupun pekerjaan.

Menurut syariah, kafalah adalah suatu tindak penggabungan tanggungan orang yang
menanggung dengan tanggungan penanggungan utama terkait tuntutan yang berhubungan dengan
jiwa, hutang, barang, atau pekerjaan. Kafalah terlaksana dengan adanya penanggung, penanggung
utama, pihak yang ditanggung haknya, dan tanggungan. Penanggung atau disebut kafil adalah
orang yang berkomitmen untuk melaksanakan tanggungan. Syarat untuk menjadi kafil adalah
harus baligh, berakal sehat, memiliki kewenangan secara leluasa dalam menggunakan hartanya
dan ridha terhadap tindak penanggungnya. Penanggung utama adalah orang yang berhutang, yaitu
pihak tertanggung. Sebagai pihak tertanggung tidak di syaratkan harus baligh, sehat akalnya,
kehadirannya, tidak pula keridhaannya terkait penanggung, tetapi penanggung boleh dilakukan
terhadap anak kecil yang belum baligh, orang gila, dan orang yang sedang tidak berada ditempat.

6
Dimyaudin Djuwaini, pengantar fiqh muamalah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008, hlm.247

8
Kafil adalah orang yang berkewajiban melakukan Makful bihi (yang ditanggung). Ia wajib
seseorang yang mubaligh, berakal berhak penuh untuk bertindak dalam urusan hartanya, rela
dengan kafalah, sebab segala urusan hartanya berada ditangannya.

Dan yang dimaksud dengan ashil adalah orang yang berhutang, yaitu orang yang
ditanggung. Untuk ashil tidak disyaratkan baligh, berakal, kehadiran dan kerelaannya, tetapi cukup
kafalah ini dengan anak kecil, orang gila dan orang tidak hadir7.

Makful lahu adalah orang yang menghutangkan. Di syaratkan penjamin mengenalnya.


Karena manusia itu tidak sama dalam hal tuntutan, hal ini dimaksudkan untuk kemudahan dan
kedisiplinan. Dan tuntutan untuk itu berbeda-beda. Sehingga tanpa adanya hal itu jaminan
dianggap tidak benar. Dan tidak disyaratkan dikenalnya madmun‟anhu (yang ikhwalnya
ditanggung).

Dan yang dimaksud dengan makful bihi adalah orang, atau barang, atau pekerjaan, yang

wajib dipenuhi oleh orang yang hal ikhwalnya ditanggung (makful anhu).8

D. Landasan Hukum Kafalah

Bahwa agar kegiatan kafalah tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam penafsiran ayat
ayat Alquran, dan Kafalah yang ditunjukkan oleh Allah SWT dibuktikan dalam firmannya sebagai
berikut:

1. Surat Yusuf ayat 66

َ‫َّٰللاَُع ٰلىَماَنقُ ْولَُو ِك ْي ٌل‬ ْٓ َّ ‫َّٰللاَلتأْتُنَّ ِن ْيَ ِبهَْٓا‬


‫َِلَا ْنَيُّحاطَ ِب ُك ۚ ْمَفل َّما ْٓ َٰات ْوهَُم ْوثِق ُه ْمَقال ه‬ ِ ً‫قالَل ْنَا ُ ْرسِلهٗ َمع ُك ْمَحتهىَتُؤْ ت ُ ْو ِنَم ْو ِثق‬
ِ ‫اَمن ه‬
Artinya:

"Ya'qub berucap," Aku tak bakal membiarkan dia (bertolak) bersamamu, sampai kamu
membuat ikrar yang sampai hati kepadaku demi nama Allah, bahwasanya engkau yakin bakal
disuguhkannya kembali padaku. (QS Yusuf: 66)

Sang ayah berkata kepada mereka, "Aku tidak akan membiarkan dia pergi bersama kalian
sebelum kalian memberiku janji yang kuat atas nama Allah, bahwa kalian benar-benar akan
mengembalikan dia kepadaku. Kecuali jika kalian semua terkepung dan tidak menyisakan satupun

7
Abdul Rahman Ghazaly Dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2010. Hlm 202
8
Dimyaudin Djuwaini, pengantar fiqh muamalah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008, hlm.248-250

9
dari kalian, sedangkan kalian tidak sanggup melawannya dan tidak bisa pulang ke rumah." Setelah
mereka memberikan janji yang kuat atas nama Allah, bahwa mereka akan melakukan hal itu ayah
mereka berkata, "Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan. Dan cukuplah kesaksian Allah
bagi kita.

2. Surat Al Maidah ayat 2

َِ ‫َوَلَتعاونُ ْواَعلىَاْ ِإلثْ ِمَو ْالعُدْو‬،‫ىَال ِب ِرَوالت َّ ْقوى‬


‫ان‬ ْ ‫وتعاونُ ْواَعل‬

Artinya:

"Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah


tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran."

Dan untuk lebih memahami lagi permasalahan tentang Kafalah di nyatakan Rasulullah
dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut:

َ‫َفَصلَّى‬،‫ََل‬:‫َه ْلَعل ْيهَِمِ ْنَديْن؟َقالُ ْوا‬:‫َفقال‬،‫يَصلَّىَهللاَُعل ْيهَِوآ ِلهَِوسلَّم ََأ ُتىَ ِبجنازةَ ِليُص ِليَعليْها‬
َّ ‫عنَسلمةَبنَاألكوعَأ َّنَالنَّ ِب‬
َ،ِ‫س ْولَهللا‬ َّ ‫َعل‬:‫َقالَأب ُْوَقَتادة‬،‫َصلُّ ْواَعلىَصاحِ بِ ُك ْم‬:‫َقال‬،‫َنع ْم‬:‫َه ْلَعل ْيهَِمِ ْنَديْن؟َقالُ ْوا‬:‫َفقال‬،‫َث ُ َّمَأُتَىَبِجنازةَأ ُ ْخرى‬،ِ‫عل ْيه‬
ُ ‫يَد ْينُهَُيار‬
‫فصلَّىَعل ْي َِه‬

"Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan.
Rasulullah saw bertanya, 'Apakah ia mempunyai utang?' Sahabat menjawab, 'Tidak'. Maka, beliau
mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, 'Apakah ia
mempunyai utang?' Sahabat menjawab, 'Ya'. Rasulullah berkata, 'Salatkanlah temanmu itu' (beliau
sendiri tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, 'Saya menjamin utangnya, ya
Rasulullah'. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut." (HR. Bukhari dari Salamah bin
Akwa').

Secara pandangan sekilas, wakalah dan kafalah terlihat sama apalagi perbuatan keduanya
tersebut merupakan mu’amalah yang sangat memberi keberuntungan terhadap sesama manusia, sama
sama keduanya suatu perbuatan yang dapat memudahkan satu pihak dengan adanya pihak yang lain.
Tetapi, keduanya memiliki perbedaan yang mana Wakalah ini merupakan akad dimana seseorang
menunjuk orang lain sebagai perwakilan atau menggantikan dirinya dalam mengerjakan suatu perkara.
Apabila perkara tersebut sudah selesai sesuai kesepakatan maka pihak yang di utus menjadi

10
perwakilannya pun sudah terbebas dari akad wakalah tersebut dan dikembalikan kepada pihak yang
diwakilkan. Sedangkan kafalah adalah akad, dimana seorang menjamin atau menanggung orang yang
mempunyai hutang. Disini penjamin dengan orang yang memiliki hutang mempersatukan
tanggungjawab dengan tanggungjawab lainnya dalam hal tuntunan, baik terkait jiwa, utang atau benda.
Dapat disimpulkan, Wakalah cuman mewakilkan melalui pihak lain yang mana tanggungannya masih
milik si yang menyuruhnya, sedangkan Kafalah sendiri memberi atau mengalihkan tanggungan kepada
pihak yang lain.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan mempelajari dan memahami penafsiran dengan baik dan seksama permasalahan
ayat ayat yang membangun tentang Waakalah dan Kafalah insyaallah akad tersebut berjalan dan
bisa di praktekkan sesuai syari’ah.

Dikarenakan perbuatan Wakalah dan Kafalah tersebut merupakan hubungan sesama


makhluk, jika halnya tidak depahami dengan benar dan diketahui akan landasan hukum Wakalah
dan Kafalah tersebut. Dengan juga adanya dalil dalil di atas yang mendasari hukum Wakalah dan
Kafalah di atas, baik yang merupakan dasar dari firman Allah SWT dan segala hadis atau semua
yang pernah dan sudah dipraktekkan Rasulullah pada masanya Insyaallah bisa menjadi pegangan
dasar dan landasan hukum Wakalah dan kafalah tersebut.

B. Saran

Dengan adanya makalah “Tafsir ayat ayat yang membangun hukum Wakalah dan Kafalah”
ini dapat menjadi pedoman dan pembelajaran sedikitmya pemahaman tentang landasan hukum dan
dasar hukum Wakalah dan Kafalah dengan adanya tafsir firman firman Allah SWT. Semoga juga
menjadi panutan untuk pembaca makalah ini yang mana pada awalnya tidak paham sama sekali
tentang landasan dasar hukum Wakalah dan Kafalah, dengan adanya karya tulis ilmiah ini dapat
membantu sedikit banyaknya permasalahan Wakalah dan Kafalah yang di alami para para
pembaca. Berhubung penulis juga masih dalam jenjang kuliah, lebih baiknya juga pembaca untuk
mengunjungi sumber sumber yang lebih kuat dan lebih lengkap.

12
DAFTAR PUSTAKA
Bakar Abu, Fiqh Islam (Surabaya: Karya Abbditama, 1995)

Djuwaini Dimyaudin, pengantar fiqh muamalah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008

Djuwaini, pengantar fiqh muamalah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008.

Karim Helmi, Fiqh Muamalah (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, Cet. III, 2002), 20.

Rahman Abdul Dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2010.

Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Grafindo Persada, 2010)

Syafi’i Muhammad, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2008)

Warson Ahmad, Al- Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997)

13

Anda mungkin juga menyukai