Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FIQH EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

TRANSAKSI JUAL - BELI


Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Ekonomi dan Bisnis Islam

Dosen Pengampu : Nur Huri Mustofa S.Ag., M.Si.

Disusun Oleh:
1. Ipung Setianingsih / 63010180041
2. Anggita March Kasturi / 63010180158

PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019
Abstrak

Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain dalam berbagai
hal, termasuk dalam hal melakukan kegiatan ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya. Manusia tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan hidupnya seorang diri, mengingat
begitu banyak serta beragamnya kebutuhan itu sendiri. Keterbatasan manusia akan mendorong
untuk berhubungan satu sama lain dalam pemenuhan kebutuhannya, baik dengan bekerja sama,
melakukan tukar-menukar barang maupun dengan cara melakukan jual beli dan lain
sebagainya.

Kata kunci: Jual Beli Dalam Islam,


BAB II

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Jual beli (bisnis) dimasyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang dilakukan setiap
waktu oleh semua manusia. Tetapi jual beli yang benar menurut hukum Islam belum
tentu semua orang muslim melaksanakannya. Bahkan ada pula yang tidak tahu sama
sekali tentang ketentutan-ketentuan yang di tetapkan oleh hukum Islam dalam hal jual
beli (bisnis). Di dalam al-Qur’an dan Hadist yang merupakan sumber hukum Islam
banyak memberikan contoh atau mengatur bisnis yang benar menurut Islam. Bukan
hanya untuk penjual saja tetapi juga untuk pembeli. Sekarang ini lebih banyak penjual
yang lebih mengutamakan keuntungan individu tanpa berpedoman pada ketentuan-
ketentuan hukum Islam. Mereka cuma mencari keuntungan duniawi saja tanpa
mengharapkan barokah kerja dari apa yang sudah dikerjakan. Setiap manusia yang lahir
di dunia ini pasti saling membutuhkan orang lain, akan selalu melakukan tolong–
menolong dalam menghadapi berbagai kebutuhan yang beraneka ragam, salah satunya
dilakukan dengan cara berbisnis atau jual beli.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa Definisi Dari Jual Beli?
b. Apa Dasar Hukum Jual Beli?
c. Bagaimana Syarat dan Rukun Jual Beli?
d. Apa Macam-macam Jual Beli?
e. Apa Macam-macam Jual Beli Terlarang?
C. TUJUAN
a. Untuk Mengetahui Definisi Dari Jual Beli
b. Untuk Mengethaui Dasar Hukum Jual Beli
c. Untuk Mengetahui Syarat Dan Rukun Dari Jual Beli
d. Untuk Mengetahui Macam-Macam Dari Kegiatan Jual Beli
e. Untuk Mengetahui Macam – Macam Jual Beli Yang Dilarang Agama Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI JUAL BELI
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu
(akad).1Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual,
mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal albai’ dalam bahasa
Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-syira (beli).
Dengan demikian, kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli2.Sedangkan
menurut istilah yang dimaksud jual beli atau bisnis adalah:
a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan
melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan.
b. Menurut Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi

‫يعشر نذبا ةضواعبم ةيالم كيلتم هنا ةفيرعت فى ليق ام نسح ًاف اعشر اماو‬
‫كيلتموا‬
ً ‫ليام نىثمب ديب ًاتال لىع ةحابم ةعفنم‬
Menurut syara, pengertian jual beli yang paling tepat ialah memiliki sesuatu
harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara, sekedar memiliki
manfaatnya saja yang diperbolehkan syara untuk selamanya yang demikian
ituharus dengan melalui pembayaran yang berupa uang.
c. Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul al-Akhyar
‫هيف نوذء الما هجوال لىع لوبق و بايجبا ف صرتلل ينلباق الم لةبااقم‬
Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab
qobul, dengan cara yang sesuai dengan syara .
d. Syeikh Zakaria al Anshari dalam kitabnya fath Al-Wahab
‫صوصمخ هجو لىع البم الم لة ابقم‬
Tukar-menukar benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan).3
e. Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitabnya Fiqh Sunnah
‫مالداولدا لىع تايكللما لدابتدفيل اللمبا اللما لةدابم ساسا لىع موقي دقع‬
Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling atau memindahkan hak
milik dengan ada penggantinya dengan cara yang diperbolehkan.

1
H. SULAIMAN RASJID, “ FIQH ISLAM”, (Bandung:Sinar Baru Algensindo:2019) Hal 278
2
Shobirin, “Jual Beli Dalam Pandangan Islam”, BISNIS, Vol. 3, No. 2, 2015, Hal 240-241
3
Shobirin, “Jual Beli Dalam Pandangan Islam”, BISNIS, Vol. 3, No. 2, 2015, Hal 242
f. Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang jual beli (bisnis),
diantaranya; ulamak Hanafiyah “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta
(benda)berdasarkan cara khusus (yang di bolehkan) syara’yang disepakati”.
Menurut Imam nawawi dalamal-majmu’ mengatakan “Jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar barang dengan
barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik atas dasar
saling merelakan (Suhendi, 2007: 69-70).4

B. DASAR HUKUM JUAL BELI

1. Landasan Al-Quran

Al bai’ atau jual beli merupakan akad yang diperolehkan, hal ini berlandasan atas
dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Quran, Al-Hadist ataupun Ijma’ ulama.
Diantara dalil-dalil yang terdaat dalam Al-Quran yang memperbolehkan praktik
akad jual beli adalah sebagai berikut QS. An-Nisa (4) Ayat 29:

ِ َ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلب‬
َ ‫اط ِل إِ ََّل أَ ْن تَكُونَ تِج‬
‫َارةً ع َْن ت َ َراض ِم ْن ُك ْم ََو ََل ت َ ْقت ُلُوا‬
‫َّللاَ كَانَ ِب ُك ْم َر ِحي ًما‬
َّ َّ‫س ُك ْم إِن‬َ ُ‫أَ ْنف‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

Ayat ini merujuk pada perniagaan atau transaksi transaksi dalam bermuamalah
yang di lakukan secara bathil, ayat ini mengindikasikan bahwa Allah SWT
melarang kaum muslimin untuk memakan harta orang lain secara batil. Secara
dalam konteks ini memiliki arti yang sangat luas, diantaranya melakukan
transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syara’, seperti halnya melakukan
transaksi berbasis riba (bunga), transaksi yang bersifat spekulatif (maisir,judi)
ataupun transaksi yang mengandung unsur gharar (adanya risiko dalam transaksi)
serta hal-hal lain yang bisa dipersamakan dengan itu.

4
Shobirin, “JUAL BELI DALAM PANDANGAN ISLAM”, BISNIS, Vol. 3, No. 2, 2015, Hal 242
Ayat lain menjelaskan di surat Al-Baqarah ayat 198:

ۖ ‫شعَ ِر ا ْلح ََر ِام‬


ْ ‫َّللاَ ِع ْن َد ا ْل َم‬ ْ َ‫ض ًًل ِم ْن َر ِب ُك ْم فَ ِإذَا أَف‬
َّ ‫ضت ُ ْم ِم ْن ع ََرفَات فَا ْذك ُُرَوا‬ ْ َ‫ح أَ ْن ت َ ْبتَغُوا ف‬ ٌ ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَا‬ َ ‫لَي‬
َ ‫ْس‬
َ‫ََوا ْذك ُُرَوهُ َك َما َهدَا ُك ْم ََوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم ِم ْن قَ ْب ِل ِه لَ ِمنَ الض َِّالين‬

Artinya:

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
tuhanmu.”5

Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa upaya untuk mendapatkan harta
tersebut harus di lakukan dengan adanya kerelaan semua pihak dalam transaksi
seperti kerelaan antara penjual dan pembeli.

2. Landasan Al-Hadist

Disisi lain landasan hukum jual beli dari hadist bahwa Rasulullah Saw bersabda:

)‫ع ْن ت َ َراض (رَوه ابوداَود الترمذى‬ ِ ‫ع َْن اَبِى ه ُْوي َْرةَ رض ع َِن الن ِبى ص م قَا َل َلَيَ ْختَ ِرقَن اِثْ َن‬
َ ‫ان اَِل‬

Artinya: Janganlah dua orang jual beli terpisah, sebelum saling meridhai
(Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi)

Hadits ini merupakan dalil keabsahan jual beli secara umum. Menurut Wahbah
Zuhaili, hadits ini memberikan persyaratan bahwa jual beli harus dilakukan
dengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan transaksi.

3. Ijma’

Adapun mengenai Al Quran dan Hadist, Madzab Imam Syafi‟i menyatakan,


secara asal jual beli di perbolehkan ketika dilaksanakan dengan adanya kerelaan
atau keridhaan kedua pihak atas transaksi yang di lakukan, dan sepanjang tidak
bertentangan dengan apa yang di larang oleh syariah, segala ketentuan yang
terdapat persetujuan anatara sepihak. Ulama muslim sepakat (ijma’) atas
kebolehan jual beli. Ijma’ ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia
berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan
kepemilikan sesuatu itu tidak akan di berikan dengan begitu saja, namun
terdapat kompensasi yang harus di berikan.

5
Q.S Al Baqarah : 198
C. RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
1. Adanya Penjual dan pembeli
Syarat keduanya:
a. Berakal : Keduanya telah cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam hukum islam
dikenal dengan istilah baligh (dewasa) dan berakal sehat.
b. Keduanya melakukan akad atas kehendak sendiri (bukan dipaksa). Karena itu
apabila akad jual beli dilakukan karena terpaksa baik fisik atau mental, maka
menurut jumhur ulama, jual beli tersebut tidak sah.
c. Balig (berumur 15 tahun keatas/dewasa). Adapun menurut madzab hanafi balig
tidak menjadi syarat sah jual-beli. Karena itu, anak dibawah umur tetapi dia
sudah mumayyiz (anak yang dapat embedakan hal-hal yang baik dan yang
buruk) dapat melakukan akad jual beli selama jual beli tersebut tidak
memudharatkan dan mendapatkan ijin atau persetujuan dari walinya.6
d. Keduanya tidak mubazir, yang dimaksud dengan keduanya tidak mubazir yaitu para
pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah manusia yang
boros (mubazir).7
2. Ma’qud alaih (objek akad).
Ma’qud alaih (objek akad) adalah barang yang diperjual belikan. Adapun syarat-
syarat ma’qud alaih, yaitu:
a. Barang yang dijual ada dan dapat diketahui ketika akad berlangsung. Apabila
barang tersebut tidak dapat diketahui maka jual beli tidak sah. Untuk
mengetahuinya barang yang akan dibeli perlu dilihat, kecuali pada jual beli
saham. Jual beli saham adalah jual beli sesuatu yang telah ditetapkan sifat-
sifatnya terlebih dahulu (namun barang belum diserahkan) dengan pembayaran
kontan.
b. Benda yang diperjual belikan merupakan barang yang berharga. Berharga yang
dimaksud dalam konteks ini adalah suci dan halal ditinjau dari aturan agama
islam dan mempunyai manfaat.

6
Qomarul Huda, “FIQH MU’AMALAH”, (Yogyakarta:Teras,2011), Hal 58
7
Q.S An- Nisa’ Ayat 5
3. Lafaz / Ijab dan Qabul

Ucapan atau tindakan yang lahir pertama kali dari salah satu yang berakad disebut
ijab, kemudian ucapan atau tindakan yang lahir sesudahnya disebut qabul. Ijab
adalah perkataan penjual. Contoh : saya jual barang ini sekian. Qabul adalah seperti
kata si pembeli : saya terima (saya beli)dengan harga sekian.8

a. Keadaan ijab dan qabul berhubungan. Artinya, salah satu dari keduanyapantas
menjadi jawab dari yang lain dan belum berselang lama.
b. Hendaklah mufakat (sama) makna keduanya walaupun lafaz keduanya
berlainan. Adanya kesesuaian antara ijab dengan qabul terhadap barang yang
diperjual belikan. Apabila tidak ada kesesuaian harga, berarti tidak ada kesesuaian
antara ijab dan qabul.
c. Ijab qabul dengan tulisan (surat ) dianggap sah jika kedua belah pihak yang berakad
ditempat saling berjauhan satu sama lain atau pihak yang berakad tidak dapat
berbicara.9
D. JENIS JENIS JUAL BELI
1. Jual Beli Murabahah
1) Pengertian Murabahah
Murabahah adalah istilah dalam Fikih Islam yang berarti suatu bentuk jual
beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi
harga barang dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh
barang tersebut, dan tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan.10
2) Landasan Hukum Murabahah
ِ ‫َيا أ َ ُّيهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم َب ْينَ ُك ْم ِبا ْل َب‬
َ ‫اط ِل ِإ ََّل أ َ ْن تَكُونَ ِتج‬
‫َارةً ع َْن ت َ َراض ِم ْن ُك ْم ََو ََل ت َ ْقتُلُوا‬
‫َّللاَ كَانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬
َّ َّ‫س ُك ْم إِن‬َ ُ‫أ َ ْنف‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu: sesungguhnya Allah adalah maha Penyanyang
kepadamu. (QS.An-Nisa’:29) 11

8
H.Sulaiman Rasjid, “FIQIH ISLAM”, (Bandung:CV SINAR BARU), 1986, Hal 265
9
Qomarul Huda, “FIQH MU’AMALAH”, (Yogyakarta:Teras,2011), Hal 56
10
Ascarya, “AKAD & PRODUK Bank Syariah”, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2013) Hal 81
11
QS. An-Nisa Ayat 29
3) Rukun Murabahah
a. Pelaku Akad, yaitu bai’ (penjual) adalah pihak yang memiliki barang
untuk dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan
akan membeli barang
b. Objek akad, yaitu mabi’ (barang dagangan) dan tsaman (harga)
c. Shighah, yaitu Ijab dan Qabul
4) Syarat Murabahah
Syarat pokok murabahah menurut Usmani (1999), antara lain :
a. Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli ketika penjual secara
eksplisit menyatakan biaya perolehan barang yang akan dijualnya dan
menjual kepada orang lain dengan menambahkan tingkat keuntungan
yang diinginkan.
b. Tingkat keuntungan dalam Murabahah dapat ditentukan berdasarkan
kesepakatan bersama dalam bentuk persentase tertentu dari biaya.
c. Semua biaya yang dikeluarkan penjual dalam rangka memperoleh
barang, seperti biaya pengiriman, pajak, dan sebagainya dimasukkan
kedalam biaya perolehan untuk menentukan harga agregat dan margin
keuntungan didasarkan pada harga agregat ini.
d. Murabahah dikatakan sah hanya ketika biaya-biaya perolehan barang
dapat ditentukan secara pasti. Jika biaya-biaya tidak dapat dipastikan,
barang/komoditas tersebut tidak dapat dijual dengan prinsip Murabahah.
5) Bentuk – bentuk akad Murabahah
Bentuk-bentuk akad Murabahah antara lain:
a. Murabahah Sederhana
Murabahah sederhana adalah bentuk akad murabahah ketika penjual
memasarkan barangnya kepada pembeli dengan harga sesuai harga
perolehan ditambahi marjin keuntungan yang diinginkan.
b. Murabahah kepada Pemesan
Bentuk murabahah ini melibatkan tia pihak, yaitu pemesan, pembeli dan
penjual. Bentuk murabahah ini juga melibatkan pembeli sebagai
perantara karena keahliannya atau karena kebutuhan pemesan akan
pembiayaan. Bentuk murabahah inilah yang diterapkan perbankan
syariah dalam pembiayaan.
2. Jual Beli Salam (Jual Beli Pembayaran di Muka)
1) Pengertian Salam
Secara bahasa Salam berasal dari al-i’tha (‫ )اإلءطاء‬dan at-taslif (‫)التسليف‬
keduanya bermakna pemberian. Salam adalah akad jual beli barang pesanan
antara pembeli dan penjual dengan pembayaran dilakukan di muka pada saat
akad dan pengiriman barang dilakukan pada saat akhir kesepakatan. 12
2) Landasan Hukum Salam
a. Al-Quran
َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِدَي ٍْن إِلَ ٰى أَ َج ٍل ُم‬
ُ‫س ًّمى فَا ْكتُبُوه‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.”(QS.Al-Baqarah : 282)13
b. Hadist
Hadis riwayat Ibn Majah : Artinya: Dari Shuhaib ra, bahwasanya
Nabi SAW berkata; ada tiga hal yang padanya berkah yaitu jual beli
tangguh, jual beli muqaradhah (mudharabah) dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan dirumah sendiri bukan
untuk dijual. Hadis riwayat Ibn Majah. Dengan dasar dua dalil ini,
maka transaksi atau jual beli dengan salam dibolehkan. Tujuannya
adalah memperoleh kemudahan dalam menjalankan bisnis, karena
barangnya boleh dikirim belakangan. Jika terjadi penipuan atau
barang tidak sesuai dengan pesanan, maka nasabah atau pengusaha
mempunyai hak khiyar yaitu berhak membatalkannya atau
meneruskannya dengan konpensasi seperti mengurangi harganya.14
3) Rukun Salam
b. Adanya pembeli (musalam)
c. Adanya Penjual (musalailaih)
d. Modal uang (annuqud);
e. Barang (muslam fihi)
f. Serah terima barang ( Ijab Qabul)

12
H. Sulaiman Rasjid, “ FIQH ISLAM”, (Bandung:Sinar Baru Algensindo:2019) Hal 278
13
Q.S Al-Baqarah : 282
14
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam”, Vol. 13, No. 2, 2013, Hal 208
4) Syarat-syarat Salam
a. Ada kerelaan di antara dua belah pihak (penjual dan pembeli) dan tidak
ingkar janji
b. Barangnya menjadi utang bagi si penjual
c. Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan. Berarti pada
waktu yang dijanjikan barang itu harus sudah ada.
d. Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, baik takaran, timbangan,
ataupun bilangannya.
e. Diketahui dan diseutkan sifat-sifat barangnya. Dengan sifat itu, berarti
harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat berbeda. Sifat-sifat
ini hendaknya jelas sehingga tidak ada keraguan yang akan
mengakibatkan perselisihan antara kedua belah pihak (si penjual dan si
pembeli). Begitu juga macamnya, harus pula disebutkan, misalnya
daging kambing, daging sapi atau daging kerbau.
Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Jual beli Salam sebagai
15
berikut:
1. Pertama : Ketentuan tentang pembayaran :
a. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang atau manfaat.
b. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati
c. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
2. Kedua : Ketentuan tentang barang
a. Harus jelas cirri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang
b. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya
c. Penyerahan dilakukan kemudian
d. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
e. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya
f. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.

15
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam”, Vol. 13, No. 2, 2013, Hal 209-211
3. Ketiga : Ketentuan tentang salam paralel.
Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat:
a. Akad kedua terpisah dari akad pertama.
b. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sarih atau jelas
4. Keempat : Penyerahan barang sebelum atau pada waktunya :
a. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan
kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
b. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi
penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
c. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah
dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut
pengurangan harga (diskon)
d. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang
disepakati dengan syarat: kualitas dan jumlah barang sesuai dengan
kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga
e. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu
penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak
menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan. Pertama, Membatalkan
kontrak dan meninta kembali uangnya. Kedua, Menunggu sampai
barang tersedia.
5. Kelima : Pembatalan kontrak
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak
merugikan kedua belah pihak. Dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK)tentang Akuntansi Salam memberikan karakteristik
salam sebagai berikut:
a. Entitas dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu
transaksi salam. Jika entitas bertindak sebagai penjual kemudian
memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan
dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel.
b. Salam paralel dapat dilakukan dengan dua syarat. Pertama, akad
antara entitas (sebagai pembeli) dan Produsen (penjual) terpisah dari
akad antara entitas (sebagai penjual) dan pembeli akhir. Kedua, kedua
akad tidak saling bergantung (ta'alluq).
c. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan
penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat
berubah selama jangka waktu akad. Dalam hal bertindak sebagai
pembeli, entitas dapat meminta jaminan kepada penjual untuk
menghindari risiko yang merugikan.
d. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang
meliputi: jenis, spesifikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya. Barang
pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara
pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau
cacat maka penjual harus bertanggung jawab atas kelalaiannya.
3. Jual Beli Istishna
1) Pengertian Jual Beli Istishna
Istishna’ adalah akad yang berasal dari bahasa Arab artinya buatan. Menurut
para ulama bay’ Istishna’ (jual beli dengan pesanan) merupakan suatu jenis
khusus dari akad bay’ as-salam (jual beli salam). Jenis jual beli ini dipergunakan
dalam bidang manufaktur. Pengertian bay’ Istishna’ adalah akad jual barang
pesanan di antara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran tertentu.
Barang yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran.
Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan
kedua belah pihak.
Jual beli istishna’ mulai dikembangkan oleh mazhab Hanafi. Terdapat
pelarangan akad tersebut jika tidak mencantumkan kontrak penjualan, dimana
hal tersebut sebagai bagian dari rukun jual beli. Kemudian kebolehan akad jual
beli istishna’ didasarkan pada istishan, yaitu kumuman masyarakat yang telah
mempraktikkan jual beli istishna’ secara terus menerus tanpa mengalami
kendala. Dalam fatwa DSN No. 05/DSN-MUI/IV/2000 disebutkan akad jual
beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan
penjual (pembuat, shani).
2) Landasan Hukum Istishna

ِ ‫َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬


‫الربَا‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (QS Al
Baqarah:275)16
3) Rukun Istishna
a. Produsen / pembuat barang (shaani’) yang menyediakan bahan bakunya
b. Pemesan / pembeli barang (Mustashni)
c. Proyek / usaha barang / jasa yang dipesan (mashnu')
d. Harga (saman)
e. Serah terima / Ijab Qabul
4) Syarat Istishna
a. Pihak yang berakal cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk
melakukan jual beli
b. Ridha / keralaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji.
c. Apabila isi akad disyaratkan Shani' hanya bekerja saja, maka akad ini bukan
lagi istishna, tetapi berubah menjadi akad ijarah
d. Pihak yang membuat barang menyatakan kesanggupan untuk mengadakan /
membuat barang itu
e. Mashnu' (barang / obyek pesanan) mempunyai kriteria yang jelas seperti
jenis, ukuran (tipe), mutu dan jumlahnya
f. Barang tersebut tidak termasuk dalam kategori yang dilarang syara' (najis,
haram, samar/ tidak jelas) atau menimbulkan kemudratan.
5) Mekanisme Pembayaran Istishna
Mekanisme pembayaran istishna harus disepakati dalam akad dan dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a. Pembayaran dimuka, yaitu pembayaran dilakukan secara keseluruhan pada
saat akad sebelum aset istishna diserahkan oleh bank syariah kepada pembeli
akhir (nasabah).

16
QS Al Baqarah : 275
b. Pembayaran dilakukan pada saat penyerahan barang, yaitu pembayaran
dilakukan pada saat barang diterima oleh pembeli akhir. Cara pembayaran
ini dimungkinkan adanya pembayaran termin sesuai dengan proses
pembuatan aset istishna.
c. Pembayaran ditangguhkan, yaitu pembayaran dilakukan setelaha set istishna
diserahkan oleh bank kepada pembeli akhir.

Pembiayaan istishna dalam bank syariah dilakukan antara pemesan dan


peneima pesanan. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati diawal akad
dengan pembayaran secara bertahap. Bank syariah sebagai pihak penerima
pesanan, dan nasabah sebagai pihak pemesan. Atas dasar pesanan nnasabah,
maka bank syariah memesan barang tersebut kepada pihak pembat, kemudian
pembuat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan pesanan bank syariah untuk
memenuhi keperluan nasabah.17

6) Konsekuensi Jual Beli Istishna’ Paralel.


Pihak Bank Syari’ah boleh menggunakan jual beli istishna’ paralel, namun
demikian mempunyai konsekuensi sebagai berikut :
a. Bank Syari’ah sebagai kontrak pertama, tetap bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan kewajibannya. Artinya, pihak Bank Syariah tetap bertanggung
jawab atas kesalahan, kelalaian atau pelanggaran yang berasal dari sub
kontrak yang disetujui.
b. Pihak yang menjadi sub kontrak hanya bertanggung jawab kepada pihak
Bank Syariah sebagai pemesan barang. Dia tidak mempunyai hubungan
hukum dengan nasabah atau pengusaha yang memesan barang kepada
pihak Bank Syariah.
c. Pihak Bank Syariah dan sub kontraktor bertanggung jawab terhadap
nasabah atau pengusaha atas kesalahan atau kelalaian yang terjadi.18

17
Drs. Ismail, MBA., Ak., “Perbankan Syariah”, (Jakarta:PT Kharisma Putra Utama), 2011, Hal 146-147
18
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam”, Vol. 13, No. 2, 2013, Hal 214-215
E. JUAL BELI YANG SAH, TETAPI DILARANG
Mengenai jual beli yang tidak diizinka oleh agama, disini akan diuraikan beberapa
contoh perbandingan bagi yang oainnya. Yang menjadi pokok sebab timbulnya
larangan adalah:19
a. Menyakiti si penjual, pembeli, atau orang lain
b. Menyempitkan gerakan pasaran
c. Merusak ketentraman umum

Berikut jual beli yang sah, namun dilarang oleh agama:

1. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan
dia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak
dapat membeli baran itu.
2. Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar
Sabda Rasullulah Saw.
‫عن ابي هر يرة قا ل رسو ل هللا صلى هللا عليه وسلم ال يبع بعضكم على بيع بعض متفق عليه‬

Dari Abu Hurairah,’’Rasulullah SAW telah bersabda,’Janganlah diantara kamu


menjual sesuatu yang sudah di beli oleh orang lain..’’(Sepakat ahli hadist)
3. Mencegat orang-orang yang datang dari desa diluar kota, lalu embeli barangnya
sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga
pasar. Hal ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang,
dan mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai
dipasar.
‫عن ابن عبا س قا ل رسو ل هللا صلى عليه وسلم ال تتلقوا الركبا ن متفق عليه‬

Dari Ibnu Abbas,’’Rasulullah SAW Bersabda’Janganlah kamu mencegat orang2


yang akan ke pasar di jalan sebelum mereka sampai di pasar.’’(Sepakat ahli hadist)

19
H.Sulaiman Rasjid, “FIQIH ISLAM”, (Bandung:CV SINAR BARU), 1986, Hal 284
4. Membeli barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal,
sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat
merusak ketentraman umum.
Sabda Rasulullah:
‫اليحتقر اال خا طئ رواه مسلم‬
‘’Tidak ada orang yang menahan barang kecuali orang yang
durhaka[salah].’’[H.R.Muslim]
5. Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh
yang membelinya
Firman Allah SWT:
‫اإلثْ ِم َوا ْلعُد َْوا ِن‬
ِ ْ ‫َوتَعَ َاونُوا َعلَى ْالبِ ِر َوالت َّ ْق َو ٰى ۖ َو َال تَعَ َاونُوا َعلَى‬
Artinya:
“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”(QS Al-Maidah:2)20

20
QS Al-Maidah:2
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara
tertentu. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan
melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan. Dasar hukum jual beli telah dituliskan dalam ayat alqura, al hadist
maupun ijma.

Didalam akad jual beli haruslah memenuhi rukun dan syarat jual beli, yakni
adanya ijab qabul, adanya ma’qud alaih atau objek yang diperjual belikan, dan
adanya penjual dan pembeli yang berakal dan saling merelakan.

Terdapat dua macam jual beli, yaitu salam adalah jual beli suatu benda yang
disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai,
barangnya diserahkan kemudian untuk waktu yang ditentukan. Yang kedua
istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara penjual
dan pembeli.

Tidak semua akad jual beli sah dan diperbolehkan tetapi ada beberapa jual beli
yang sah namun dilarang untuk dilakukan.

B. SARAN
Diharapkan dengan adanya rukun syarat dan juga landasan-landasan tentang
jual beli, kita dapat melaksanakan akad jual beli sesuai dengan syariat agama
yang telah ditetapkan sehingga bisa mendapatkan manfaat dan keberkahan.
DAFTAR PUSTAKA

Ascarya. AKAD & PRODUK BANK SYARIAH. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Dahlan, Ahmad. Bank Syariah. Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012.

Drs.Ismail, MBA.,Ak. Perbankan Syariah. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2011.

Rasjid, H. Sulaiman. FIQH ISLAM. Bandung: Percetakan Sinar Baru Algensindo Offset Bandung, 2018.

Rasjid, H.Sulaiman. FIQH ISLAM. Jakarta: CV.SINAR BARU BANDUNG, 1986.

Shobirin, “JUAL BELI DALAM PANDANGAN ISLAM”, BISNIS, Vol. 3, No. 2, 2015,

Anda mungkin juga menyukai