Anda di halaman 1dari 51

Ulumul Hadits

Ringkasan Materi Ulumul Hadist

DOSEN PEMBIMBING
Muhammad Ikhwan, M.Sy

DISUSUN OLEH :
Difla Hikmah Aulia
S1.V1.19.19.456

PROGRAM STUDI ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL QUR’AN PAYAKUMBUH
TAHUN PELAJARAN 2020/2021
Ringkasan Ulumul hadist

1. Pengertian dan StukturHadits ,Khabar ,Atsar, dan HaditsQudsi.


Hadis dan Sunnah dalamPandanganMuhaddisun,Ushuliyyah dan Fuqaha

A. Hadits
Hadits (‫ )الحديث‬secara bahasa berarti Al-Jadiid (‫ )الجديد‬yang artinya adalah sesuatu yang
baru; yakni kebalikan dari Al-Qadiim (‫ )الق<<ديم‬yang artinya sesuatu lama. Sedangkan hadits
menurut istilah para ahli hadits adalah :

ٍ ْ‫ أَوْ َوص‬،‫ أَوْ تَ ْق ِري ٍْر‬،‫ أَوْ فِ ْع ٍل‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِم ْن قَوْ ٍل‬
‫ف‬ ِ ُ‫َما أ‬
َ ‫ضيْفُ إِلَى النَّبِ ِّي‬

Adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
baik ucapan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat.1

Hadits Nabi yang lengkap dan jelas terdiri dari sanad, matan, dan Mukharrij (perowi).
Sehingga,  ketiga struktur tersebut bisa dikatakan sebagai tiga unsur (komponen) pokok yang
terkandung didalamnya:
1.      Sanad
        Sanad dari segi bahasa artinya (sandaran, tempat yang bersandar, yang menjadi
sandaran) Sedangkan menurut istilah ahli hadits, sanad yaitu Jalan yang menyampaikan matan
hadits yakni rangkaian para perowi yang memindahkan matan dari premernya. Jalur ini ada
kalanya yang disebut dengan Sanad, ada kalanya karena periwayat bersandar kepadanya dalam
menisbatkan matan kepada sumbernya, dan ada kalanya karena hafidz bertumpu pada “yang
menyebutkan sanad” dalam mengetahui shohih dan dhoifnya suatu hadits. ( silsilah orang-orang
yang menghubungkan kepada matan hadits).
2.       Matan Hadis
       Matan menurut lughat, ialah: tengahjalan, punggung bumi atau bumi yang keras dan
tinggi.
Menurutistilah, ialah:
‫اﻟﻓﺎ ظ اﻟﺤﺪﻴﺚاﻟﺘﻰﺘﺘﻗﻮ ﻢ ﺒﻬﺎاﻟﻤﻌﺎﻨﻰ‬
“ Lafad-lafad hadits yang dengan lafad-lafad itulah terbentuk makna”2
          Kata matan menurut bahasa berarti
‫ماارتفعوصلبمناالرض‬
1
Shalih Al Utsaimin, Mustholah Al Hadits, (Kairo: Maktabah Ilmi, 1994), hlm. 5

2hasbi M. Ash Shiddieqy, Pokok-PokokIlmuDirayahHaditsJilidPertama, (Jakarta: BulanBintang,1987) hal 44


yang berarti tanah yang tinggi dan keras,namun ada pula yang mengartikan kata
matandengan arti kekerasan, kekuatan, kesangatan.
3. Perawi
Perawi adalah orang yang memindahkan hadist dari seorang guru kepada orang lain atau
membukukannya ke dalam suatu kitab hadist. Perawi hadist pertama adalah para sahabat dan
perawi terakhir adalah orang yang membukukannya

B . Sunnah
Sunnah (‫ )السنة‬secara bahasa berarti As-Siirah Al-Muttaba’ah (‫ )السيرة المتبعة‬yang berarti
jalan yang diikuti. Setiap jalan dan perjalanan yang diikuti dinamakan sunnah, baik itu jalan yang
baik maupun jalan yang buruk.

Adapun sunnah menurut istilah para ahli hadits adalah : Segala sesuatu yang dinukil dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik,
kepribadian, maupun perjalanan hidup, baik itu sebelum diutus maupun sesudah diutus.

C. Perbedaan Antara Hadits dan Sunnah


Menurut prespektif ahli hadits, hadits adalah sesuatu yang diriwayatkan dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam setelah kenabiannya. 

Sedangkan sunnah pengertiannya lebih menyeluruh dan lebih umum. Karena sunnah juga
mencakup perjalanan hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sebelum kenabiannya dan
setelah kenabiannya.

D. Khabar
Khabar (‫ )الخ<<بر‬secara bahasa berarti An-Naba’ (‫ )النبأ‬yang berarti kabar atau berita.
Adapun secara istilah khabar ini semakna dengan hadits sehingga memiliki definisi yang sama
dengan hadits. 

Namun, menurut pendapat yang lain menyatakan bahwa khabar ini lebih umum dari pada hadits.
Sehingga definisi khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam dan juga kepada selain beliau. Syaikh Utsaimin mengatakan :

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوإِلَى َغي ِْر ِه‬ ِ ُ‫ْالخَ بَ ُر َما أ‬
َ ‫ضيْفُ إِلَى النَّبِ ِّي‬

Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan
juga disandarkan kepada selainnya.3

E. Pengertian Atsar
3
 Shalih Al Utsaimin, Mustholah Al Hadits, (Kairo: Maktabah Ilmi, 1994), hlm. 5
Atsar (‫ )األثر‬secara bahasa berarti Baqiyyatu Asy-Syaii’ (‫ )بقية الشيء‬yang berarti sisa dari
sesuatu, atau jejak. Adapun secara istilah, atsar adalah :

‫ص َحابِي أَوْ التَّابِ ِعي‬ ِ ُ‫َما أ‬


َّ ‫ضيْفُ إِلَى ال‬

Segala sesuatu yang disandarkan pada sahabat atau tabi’in.4

Adakalanya atsar juga didefinisikan dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun biasanya penyebutannya disandarkan dengan
redaksi “dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam” sehingga penyebutannya seperti ini :

َ ‫َوفِي اأْل َثَ ِر َع ِن النَّبِ ِّي‬


‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬

Dalam sebuah atsar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam . . .

 Muhadditsin
suatu yang sandarkankepada Nabi (ma’ruf) para sahabat (mawquf), dan para ulama salaf

     Ushuliyyun 
Menurut ahli fiqh Khurasan, antara lain Abu al-Qasim al-Fawraniy, sebagaimana dikutip
oleh al-Khasyu'iy al-Khasyu'iy Muhammad al-Khasyu'iy, al-atsar adalah sesuatu yang
diriwayatkan dari shabatibiy.

Jadi menurutahlifiqh Khurasan, al-atsar  adalahsesuatu yang diriwayatkandariselain Nabi Saw.

     Fuqoha     
Atsar adalah perkataan-perkataan Ulama Salaf, Sahabat, Tabi’in dan lain-lain.

F. Hadits Qudsi
Hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam dari Allah ta’ala. Hadits qudsi ini juga terkadang disebut dengan hadits rabbaaniy atau
hadits ilaahiy. Syaikh Utsaimin mengatakan :

4
 Ibid.
َ ‫ َما َر َواهُ النَّبِ ِّي‬:‫ْث ْالقُ ْد ِسي‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن َربِّ ِه تَ َعالَى‬ ُ ‫ْال َح ِدي‬

Hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasllam dari
Tuhannya ta’ala.5

Dengan demikian, hadits qudsi juga merupakan firman Allah ta’ala yang maknanya disampaikan
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, namun redaksi yang disampaikan dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. 

Contoh hadits qudsi :

‫ َوأَنَا َم َعهُ إِ َذا‬،‫ظنِّ َع ْب ِدي بِي‬ َ ‫ أَنَا ِع ْن َد‬:‫يَقُو ُل هَّللا ُ تَ َعالَى‬ :‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ َر‬
َ َ‫ ق‬،ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬
َ ‫ قَا َل النَّبِ ُّي‬:‫ال‬
‫ َوإِ ْن َذ َك َرنِي فِي َمإَل ٍ َذكَرْ تُهُ فِي َمإَل ٍ خَ ي ٍْر ِم ْنهُ ْم‬،‫ فَإ ِ ْن َذ َك َرنِي فِي نَ ْف ِس ِه َذكَرْ تُهُ فِي نَ ْف ِسي‬،‫َذ َك َرنِي‬

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda : Allah ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya Aku di sisi persangkaan hamba-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia mengingat-
Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam dirinya maka Aku mengingatnya di dalam diri-Ku. Dan jika
ia mengingat-Ku di kumpulan orang, maka Aku mengingatnya di kumpulan orang banyak yang
lebih baik dari mereka.

5
Shalih Al Utsaimin, Mustholah Al Hadits, (Kairo: Maktabah Ilmi, 1994), hlm. 5
2. Fungsi Hadis, Posisi hadis dalam proses pembentukan syari’at

A. Fungsi Hadits
1. Fungsi Hadits Terhadap alQur`an

Fungsi al-Hadits terhadap alQur`an yang paling pokok adalah sebagai bayân, sebagaimana
ditandaskan dalamayat: “ keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,. (Qs.16:44)”. Ayat tersebut menunjukkanbahwa
Rasul SAW bertugasmemberikanpenjelasantentang kitab Allah. Penjelasan Rasul itulahyang
dikategorikankepadaalhadîts
Fungsi al-Hadits terhadapal Qur`ân sebagai bayân itu difahami oleh ulama dengan
berbagai pemahaman, antara lain sebagai berikut:
a. Bayan Taqrir

Bayân taqrir ialah al-Hadits yang berfungsi menetapkan, memantapkan, dan mengokohkan apa
yang telah ditetapkan alQur`ân, sehingga maknanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Ayat yang
ditaqrir oleh al-Hadits tentu saja yang sudah jelas maknanya hanya memerlukan penegasan
supaya jangan sampai kaum muslimin salah menyimpulkan.
Contoh: Firman Allah SWT:
ُ‫فَ َم ۡن َش ِه َد ِم ۡن ُك ُما ل َّش ۡه َرفَ ۡليَـصُمۡ ه‬
Barang siapa yang menyaksikan bulan ramadhan maka hendaklah shaum. (Qs.2:185)
Ditegaskan oleh Rasulullah SAW:
َ ‫صُو ُموالِر ُْؤيَتِ ِه َوأَ ْف ِطرُوالِر ُْؤيَتِ ِه‬
Shaumlah kalian karena melihat tanda awal bulan ramadlan dan berbukalah kalian karena
melihat tanda awal bulan syawal. Hr. Muslim.6
Hadits di atas dikatakan bayân taqrîr terhadap ayat al-Qur`ân, karena maknanya sama dengan
alQur`ân, hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya mau pun hukumnya.

b. Bayan Tafsir

Bayân tafsir berarti menjelaskan yang maknanyasamar, merinciayat yang maknanya global atau
mengkhususkan ayat yang maknanya umum. Sunnah yang berfungsi bayân tafsir tersebut terdiri
dari :
1). tafshîl- al-mujmal,
Hadits yang berfungsi tafshîl- almujmal, ialah yang merinci ayat al-Qur`ân yang
maknanya masih global. Contoh:
a) Tidak kurang enam puluh tujuh ayat al-Qur`ân yang langsung memerintah shalat, tapi
tidak dirinci bagaimana operasionalnya, beraparaka’at yang harus dilakukan, serta apa yang
harus dibaca pada setiap gerakan. Rasulullah SAW dengan sunnahnya memperagakan shalat
secara rinci, hingga beliau bersabda:
َ ُ ‫ارأَيتُ ُمنِيأ‬
‫صلِي‬ َ ‫صلُّوا َك َم‬
َ
“Shalatlah kalian seperti kalian melihataku sedang shalat. HR. Jama’ah7
b) Ayat-ayat tentang zakat, shaum, haji pun demikian memerlukan rincian
6
Shahih Muslim, II,762.
pelaksanaannya. Ayat haji umpamanya menandaskan:
‫هّٰلِل‬
ِؕ َ‫واال َح َّج َو ۡال ُعمۡ َرة‬ ۡ ‫َواَتِ ُّم‬
“Sempurnakanlah ibadah haji dan ibadah umrahmu karena Allah”.(Qs.2:196)
Rinciannya ialah pelaksanaan Rasulullah dalam ibadah haji wada’ dan beliau bersabda:
‫ُخ ُذوْ ا َعنِّى َمنَا ِس َك ُك ْم‬
“Ambilah dariku manasik hajimu. Hr. Ahmad, al-Nasa`I, dan al-Bayhaqi”.8.

2. Tabyîn al-Musytarak

Tabyîn al-Musytarak ialah menjelaskan ayat al-Qur`ân yang mengandung kata bermakna
ganda. Contoh: Firman Allah SWT:
‫َو ْال ُمطَلَّقَاتُيَتَ َربَّصْ نَبِأ َ ْنفُ ِس ِهنَّثَالَثَةَقُرُو ٍء‬
“Wanita yang diceraihendaklah menunggu masa iddah selama tiga quru”. (Qs.2:228)
Perkataan Quru adalah bentuk jama dari Qar’in. Dalam bahasa Arab antara satu suku bangsa
dengan yang lain ada perbedaan pengertian Qar’in. Ada yang mengartikan suci ada pula yang
mengarti-kan masa haid.
Mana yang paling tepat perlu ada penjelasan. Rasul SAW bersabda:
‫ضتَا ِن‬َ ‫طَالَقُاألَ َم ِةتَطلِ ْقتَانِ َو ِع َّدتُهَا َح ْي‬
Thalaq hamba sahaya ada dua dan iddahnya dua kali haidl. Hr. Abu dawud, al-Turmudzi,
dan alDaruquthni.9

3. Takhshish Al-’am

Takhshîsh al-’âmialah sunnah yang mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang bermakna
umum. Contoh:
1. Firman Allah SWT:

‫ُح ِّر َم ْت َعلَ ْي ُك ُمال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَ ْح ُمال ِخ ْن ِز ْي ِر‬
“Diharamkan atas mu bangkai, darah dan daging babi”. (Qs.5:3)
Dalam ayat ini tidak ada kecuali, semua bangkai dan darah diharamkan untuk dimakan. Sunnah
Rasulullah SAW mentakhshish atau mengecualikan darah dan bangkai tertentu. Sabda Rasululah
saw:

‫الج َرا ُد َوأَ َّماال َد َمانِفَال َكبِد َُوالطِّ َحا ُل‬ ُ ِ‫ِحلَّ ْتلَنَا َم ْيتَتَانِ َو َد َمانِفَأ َ َّماال َم ْيتَـَتَان‬
َ ‫الحوتُ َو‬
“Telah dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Yang dimaksud dua
macam bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang, sedangkan yang dimaksud dua
macam darah adalah ati dan limpa”. (Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bayhaqi.)10
2. Firman Allah SWT:

‫ضاألُ ْنثَيَ ْي ِن‬ َّ ِ‫وص ْي ُك ُماللهفِىأ َ ْوالَ ِد ُك ْمل‬


ِّ ‫لذ َك ِر ِم ْثلُ َح‬ ِ ُ‫ي‬
 

7
Musnad Ahmad, I, 148. ShahihalBukhari, I, 226. Shahih Ibn Khuzaymah, I,206. Shahih Ibn hibban, V,503.
SunanalDarimi, I,196. Sunan al-Bayhaqi, III, 120.
8
Musnad Ahmad, III,318. SunanalNasa`i, II,245. Sunan al-Bayhaqi, V, 125.
9
Sunan Abi dawud, II,257. SunanalTurmudzi, III,488. Sunan al-Daruquthni, IV, 39.
10
Musnad Ahmad, II, 97. Ibn Majah, II,1073. al-Bayhaqi, I, 254.
Allah mewasiatkan bahwa hak anakmu laki-laki adalah dua kali hak anakmu yang
perempuan.  Qs.4:11
 
Dalam ayat ini tanpa kecuali atau berlaku umum bahwa semua anak mendapat warisan.
Sedangkan keberlakukan hokum tersebut hanya untuk anak yang agamanya sama muslim.
Sunnah Rasul memberikan takhshish atau pengcualian dengan sabdanya:

ْ ‫الَيَ ِرثُال ُم‬.


ْ ‫سلِ ُمال َكافِ َر َوالَال َكافِ ُرال ُم‬
‫سلِ َ<م‬

Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan yang kafir tidak mewarisi seorang muslim. Hr.
al-Bukhari dan Muslim11
 
c. Bayan Tabdila

Bayân Tabdîli alah mengganti hukum yang telah lewat keberlakuannya.Dalam istilah lain
dikenal dengan namanâsihwa al- mansûh. Banyak ulama yang berbeda pendapat tentang
keberadaan hadits atau sunnah men-tabdil al-Qur`ân. Namun pada dasarnya bukan berbeda
dalam menyimpulkan hukum, melainkan hanya terletak pada penetapan istilahnya saja.
Contoh sunnah yang dianggap Bayân Tabdîl oleh pendapat yang mengakuinya ialah
dalam bab zakat pertanian. Dalam ayat alQur`ân tidak diterangkan batasan nisab zakat melainkan
segala penghasilan wajib dikeluarkan zakatnya.
Sedangkan dalam sunnah Rasul ditandaskan:
َ ٍ‫لَ ْي َسفِ ْي َمادُونَ َخ ْم َس ِةأَو َسق‬
ً‫ص َدقَة‬
“Tidak ada kewajiban zakat dari hasil pertanian yang kurang dari lima wasak” .Hr. al-
Bukhari dan Muslim.12
Imam Malik berpendirian bahwa fungsi sunnah terhadap alqur’an adalah sebagai (1)
bayân taqrir, (2) bayân tawdlîh, (3) bayân tafshîl, (4) bayân tabsîth, (5) bayân tasyrî’. Bayân
taqrîr telah dijelaskan pada uraian di atas. Bayân taudlîh, bayân tafshîl telah tercakup
pembahasannya pada bayân tafsîr. Yang perlu dijelaskan adalah bayân tabsîth dan bayân
tasyrî.
Sunnah yang berfungsi sebagai bayân tabsith terhadap al-Qur`ân adalah sunnah yang
menguraikan ayat al-Qur`ân yang ringkas yang memerlukan penjelasan secara terurai.
Contohnya kisah-kisah dalam al-Qur`ân yang ringkas diuraikan oleh sunnah rasul secara
gamblang dan terurai seperti isra mi’raj.
Imam Syafi’I berpendirian bahwa fungsi as-Sunnah terhadap alQur`ân itu adalah
sebagai :
(1) bayân tafshil atau perinci ayat yang mujmal,
(2) bayân takhshish atau pengkhusus yang yang bersifat umum,
(3) bayân ta’yien yaitu menetapkan makna yang dimaksud dari suatu ayat yang
memungkinkan memiliki beberapa makna seperti menjelaskan yang musytarak,
(4) bayân tasyri’ yaitu sunnah yang berfungsi tambahan hukum yang tidak tercantum
dalam al-Qur`ân. Contohnya: dalam alQur`ân telah ditetapkan bahwa yang haram dimakan
itu hanyalah bangkai, darah, daging babi dan yang disembelih bukan karena Allah
(Qs.6:145).Sedangkan dalam beberapa riwayat sunnah diterangkan bahwa Rasul melarang

11
Shahih al-Bukhari, VI, 2484, Shahih Muslim, III, 1233.
12
Shahih al-Bukhari, II,524. Shahih Muslim, II,673.
memakan binatang buas, yang berbelalai, burung menyambar, dan yang hidup di air dan di
darat,
(5) bayân nasakh, yaitu mengganti hukum yang tidak berlaku lagi seperti diuraikan pada
bayântabdil.

B. Hadist sebagai sumber otoritatif hokum islam


Kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua, telah diterima
oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan Sunni tapi juga di
kalanganSyi’ah dan aliran Islam lainnya.

Bila menyimak ayat-ayat al-Qur’an, setidaknya ditemukan sekitar 50 ayat yang secara
tegas memerintahkan umat islam untuk taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya,
diantaranya dikemukakan sebagai berikut:

‫ومااتكمالرسولفخذوهومانھاكمعنھفأنتھوا‬
Artinya: Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa-apa yang
dilarangnya maka tinggalkanlah.

Menurut ulama ayat tersebut memberi petunjuk secara umum yakni semua perintah dan
larangan yang berasaldari Nabi wajib dipatuhi oleh orang- orang yang beriman.Hanya saja
perlu dipertegas bahwa indikasi yang terdapatdalam ayat tersebut diatas, bukan perintah yang
wajib ditaati dan larangan yang wajib ditinggalkan adalah yang disampaikan oleh beliau
dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah.

Pada ayat lain dikemukakan bahwa kehadiran Nabi Muhammad adalah menjadi panutan
yang baik bagi umat islam seperti dalam surat al-Ahzabayat 21 dikatakan :

‫لقدكانلكمفيرسوالللهاسوةحسنة‬
Artinya: Sesunguhnya telah ada pada diri Rasullah teladan yang baik bagimu Ayat
tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhamad adalah teladan hidup bagi orang-orang
yang beriman.

Bagi mereka yang sempat bertemu dengan Rasulullah maka cara meneladaninya dapat
mereka lakukan secara langsung sedang mereka yang tidak sezaman dengan beliau maka cara
meneladaninya adalah dengan mempelajari, memahami dam mengikuti berabgai petunjuk
yang termuat dalam hadis-hadisnya.Menurut mereka ayat tersebut dan yang semakna
dengannya menujukkan bahwa al-Kitab telah mencakup sesuatu yang berkenaan dengan
ketentuan agama.

3. Hadis pada masa Rasulullah, sahabat dan tabi’in

A.Hadist Pada Masa Rasulullah SAW.


Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun awktu
turunnya wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadis. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan
dan kehatian-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya di jelaskan melalui perkataan (aqwal),
perbuatan (af ‘al), dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan di
saksikanoleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasul Saw
merupakn contoh satu-satunya bagi para sahabat , karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan
keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
Kedudukan hadis dalam sumber ajaran Islam adalah yang kedua dan itu telah disepakati
oleh hampir seluruh ulama dan umat islam. Dalam sejarah hanya ada sekelompok kecil dari
kalangan “ulama” dan umat islam yang menolak hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam yang
kedua. Mereka dikenal sebagaiinkar al-sunnah.  

a.      Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadis


Melalui tempat-tempat tersebut Rasul SAW menyampaikan hadis, yang terkadang
disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan
terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka (melalui
musyahadah). Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima
hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan
dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAw.
Ia berkata: “kalau hari ini aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi ,
demikian aku melakukannya .” Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim
utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya
dari sini.
Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan hadis , para sahabat yang datang hanya
beberapa orang saja, baik karena di sengaja oleh Rasul Saw sendiri atau secara kebetulan para
sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang , seperti hadis-hadis
yang di tulis oleh Abdullah Bin Amr Ibnu Al- ‘Ash.Untuk hal-hal yang sebsitif, seperti yang
berkaitan dengan soal keluarga dan kebetuln biologis (terutama yang menyangkut hubungan
suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya.

Tujuan Nabi SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat, di antaranya ialah ; a) karena
ia bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT kepadanya dalam
waktu yang cukup panjang ; b) ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu
peristiwa yang dilihat dan di alaminya sendiri; c) bermaksud meluruskan akidah yang salah atau
tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran islam.
c.       Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis
Diantara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang
memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali . hal ini tergantung kepada beberapa
hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul Saw. Kedua, perbedaan
mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga ,perbedaan mereka karena
berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari mesjid Rasul Saw.
Ada beberapa orang sahabat yang dicatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari
Rasul  Saw dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu antara lain:
a.       Para sahabat yang tergolong kelompok Al- Sabiqun Al- Awwalun (yang mula-mula masuk
islam), seperti Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan Ibnu
Mas’ud . mereka banyak menerima hadis dari Rasul Saw, karena lebih awal masuk Islam dari
sahabat-sahabat lainnya.
b.      Ummahat Al- Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti  Aisyah dan Ummu Salamah.
Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul Saw daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-
hadis yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami-
istri.
c.       Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga menuliskan hadis-hadis
yang di terimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-‘Ash.
d.      Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasu SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada
para sahabat lainnya secar sungguh-ungguh, seperti Abu Hurairah.
e.       Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW banyak bertanya
kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnya Rasul SAW,
seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.

d.        Menghafal dan Menulis Hadis


1.      Menghafal Hadis
Alasan Nabi SAW tidak memperkenankan para Sahabat untuk menulis hadis , salah
satunya adalah karena dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan
Al-Qur’an dengan tidak sengaja.

Petama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah di warisinya
sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua, Rasul SAW banyak memberikan
spirit melalui doa-doanya; ketiga, seringkali ia menjajikan kebaikan akhirat kepada mereka yang
menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.

2.      Menulis Hadis
Seperti pada hadis Abu Sa’id Al-Khudri di atas, ternyata ditemukan sejumlah sahabat
yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis dan memiliki catatan –
catatannya, ialah:
Menurut suatu riwayat diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap
Abdulillah ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW
mereka berkata: “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia,
yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”.
Hadis-hadis yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadis , yang menurut
pengakuannya diterima langsung dari Rasul SAW ketika mereka berdua.Ia meminta kepada
Rasul SAW dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika pidato pada peristiwa futuh Mekkah
sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang di lakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah
terhadap salah seorang lelaki Bani Lais.
Di samping nama di atas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya, yang juga
mengaku memiliki catatan hadis dan di benarkan Rasul SAW .

B.Hadist Pada Masa Sahabat.

Sejarah Perkembangan Hadis di Masa al Khulafa’ al Rashidun


Periodeini juga dikenaldengan zaman al Tathabbutwa al Iqlalmin al
Riwayahyaituperiodepembatasanhadis dan penyedikitanperiwayatan, sebagaimana yang
terlihatdarikebijakan masing-masing para khalifah empat.

1. Masa Abu Bakar al Siddiq


MenurutMuhammad ibn Ahmad alDzahaby dalam kitabnyaTadzkiratul Huffadz fi
Tarjamati Abu Bakar al Siddiq, Abu Bakar al Siddiq adalah sahabat Nabi yang pertama kali
menunjukkan sikap kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadis.13Pernyataan Muhammad ibn
Ahmad alDzahaby ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris
untuk seorangnenek. Suatu ketika ada seorang nenek menghadap khalifah Abu Bakar yang
meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan oleh cucunya. Abu Bakar kemudian menjawab
bahwa dia tidak melihat petunjuk dalam al-Qur’an dan praktek Rasulullah yang memberikan
bagian harta waris kepadanenek. Abu Bakar kemudian bertanya kepada para sahabat, yaitu
alMughirah ibn Syu’bah dan menyatakan bahwa Rasulullah telah memberikan bagian waris
kepada nenek sebesar seperenam bagian. AlMughirah mengaku hadir tatkala Rasulullah
menyampaikan hadis tersebut. Abu Bakar kemudian meminta al-Mughirah untuk menghadirkan
seorang saksi. Lalu Muhammad ibn Maslamah memberikan kesaksiannya atas kebenaran riwayat
yang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut sampai pada akhirnya Abu Bakar menetapkan
bagian seperenam untuk seorang nenek berdasarkan atas hadis yang disampaikan oleh
alMughirah yang diperkuat dengan kesaksian Muhammad ibn Maslamah. 14
Kasus tersebut menunjukkan kepada kita bahwa Abu Bakar bersikap sangat hati-hati
dalam menerima periwayatan hadis meskipun periwayatan hadis tersebut disampaikan oleh
sahabat. Abu Bakar

2. Masa Pemerintahan Umar bin Khattab


 

13
Nu>r al Di>n ‘Itr, Manhaj al Naqd fi> ‘Ulu>m al H{adi>th, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1981), 52.
14
MuhammadMuhammad AbuZahwu, al-Hadi>th wa al-Muhaddithu>n,(Riyadh: alMamlakah al-‘Arobiyah as-
Su’udiyyah, 1404), 69-70.
Begitu juga dengan Khalifah Umar bin Khattab. Dengan demikian periode tersebut
disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar
tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai
urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak
berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti periwayatan, hanya saja Beliau sangat selektif
terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus
dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh
Imam Malik.
Ibnu Qutaibah berkata, sebagai dikutip Ajjajal_Khatib mengatakan Umar bin Al-Khatab adalah
orang yang sangat keras menentang orang-orang yang menghambarkan riwayat hadist, atau
orang yang membawa hadist (khabar) mengenai hokum tertentu tetapi tidak diperkuat dengan
seorang saksi. Umar bin Khatab tidak senang dengan terhadap orang yang memperbanyak
periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan sembrono. Tentu agar kemurnian hadist nabi dapat
terpelihara. Ini tidak berarti bahwa beliau anti periwayatan hadist, Umar r.a mengutus para
ulama’ mengajarkan islam dan sunnah nabi pada penduduk negeri.

3.Masa Pemerintahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib
 
Sikap kehati-hatian sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab, juga diikuti oleh Ustman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak
menerima hadist sebelum yang meriwayatkan itu disumpah. Pada masa ini juga belum ada usaha
secara resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya Al-Qur’an, hal ini disebabkan
karena:
1) Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
2) Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar keberbagai daerah
kekuasaan Islam.

C.Hadist Pada Masa Tabi’in.


 
Sesudah Ali bin Abi Thalibwafat, makaberakhirlah era sahabatbesar dan menyusul era
sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan
pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi
yang masih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya
dalam periwayatan hadis diantaranya ‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58
H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat
73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M) (Mudasir. 1999.94).

Periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang
dilakukan oleh para sahabat, karena mereka mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guru
mereka.Hanya persoalan yang dihadapi oleh kalangan tabi’in yang berbeda dengan yang
dihadapi para sahabat.Sehingga pada masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan
hadis (intisyarAr-Riwayahlla Al Amshar).terdapat beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan
dalam periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis yaitu madinah
Al-Munawarah, Mekah Al-mukaramah,kufah, basrah, Syam, Mesir, magrib dan andalas, yaman
dan khurasan.
Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat yaitu setelah terjadinya perang jamal
dan perang suffin berakibat cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam
menjadi beberapa kelompok. Secara langsung atau pun tidak pergolakan politik tersebut
memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya baik pengaruh yang bersifat
negative maupun yang bersifat positif. Pengaruh yang bersifat negative adalah munculnya hadis-
hadis palsu untuk mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok dan untuk
menjatuhkan posisi awalnnya. Pengaruh yang bersifat positif adalah terciptanya rencana dan
usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya penyelamatan
dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut (Mudasir.
1999.96).

4. Kodifikasi Hadist
Dengandukungan para ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz
memerintahkangubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin
Hazm, untukmengumpulkanhadis yang terdapat pada penghafalAmrahbinti
Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq (keduanya
ulama besar Madinah yang banyakmenerimahadis dan paling
dipercayadalammeriwayatkanhadisdariAisyahbinti Abu Bakar).Di sampingitu,
Khalifah Umar juga memerintahkan Muhammad bin Syihabaz-
Zuhriuntukmengumpulkanhadis yang ada pada para penghafalhadis di Hijaz
(Madinah dan Makkah) dan Suriah.

Di antaranya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah; Malik bin Anas
atau Imam Malik dan Muhammad bin Ishak di Madinah; ar-Rabi bin Sabih, Sa’id
bin Urubah, dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra; Sufyan as-
Sauri di Kufah; Ma’mar bin Rasyid di Yaman; Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i
di Syam (Suriah); Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan (Iran); Hasyim bin Basyir
di Wasit (Irak); Jarir bin Abdul Hamid di Rayy (Iran); dan Abdullah bin Wahhab
di Mesir.Jadi yang dimaksud dengan kodifikasi hadith secara resmi adalah
penulisan hadith nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang disusun menurut
aturan dan sistem tertentu yang diakui oleh masyarakat.

Adapun siapa kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri (W.
123 H), karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadith dalam satu
kitab dan menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana
pernyataannya: ”Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada kami
menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian
beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam
kekuasaannya.Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan
ahli Hadith.Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn
Hazm yang mengkodifikasikan hadithpertama, ditolak oleh banyak pihak, karena
tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke
berbagai wilayah.

Di samping itu syi’ah dan khawarij tidak lepas dari kegiatan tersebut, dan hadits
yang menjadi tumpuan pemalsuan, karena tidak mungkin menambah ayat Al-
Quran, maka sesuatu yang di harapkan untuk di percaya dengan mudah oleh awam
adalah hadits, dan kebetulan hadits tidak tertulis secara jelas seperti Al-Quran.

Sedangakn kitab yang berisi polemik hadits, yang sengaja di susun untuk membuat
sanggahan terhadap kelompok muhaddithin (ahli hadits), ialah kitab yang di tulis
oleh ibn qutaybh, dengan judul mukhtalif al hadits fi al raddi ‘ala a’da’ al-hadits.

Diantara kitab yang disusun pada masa ini adalah kitab Al Mustakhraj, yaitu kitab
hadits yang disusun berdasarkan penulisan kembali hadits – hadits yang terdapat
pada kitab lain kemudian penulis kitab itu mencantumkan sanad dari dirinya.

Demikian pula kitab – kitab Al – Mustadrak, yaitu kitab yang sebagian haditsnya
disusun dengan menyusulkan hadits – hadits yang tidak tercantum dalam suatu
kitab hadits yang lain.

Misalnya al – hakim al – naisaburi (w. 405 H ), penulis kitab Al – Mustadrak ala al


– shahihain yang berisi hadits – hadits yang dinilai shahih yang tidak termuat
dalam kitab Shahih Bukhori dan Shahih Muslim.

Kitab – kitab Al – Zawaid juga termasuk salah satu kitab katagori ini, yaitu kitab
yang disusun dengan menghimpun hadits – hadits tambahan dalam suatu kitab
yang tidak terdapat dalam kitab – kitab lainnya.

Misalnya kitab Al – Misbah Al – Zujajah Fi Zawaid Ibn Majah karya Al –


Bussayri ( w. 840 H ) yang mengandung hadits – hadits yang hanya ditulis oleh Ibn
Majah ( w. 273 H ) dalam kitab susunannya tetapi tidak terdapat dalam lima kitab
hadits yang lain, yaitu Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at
– tirmidzi dan Sunan Al – Nasa’i.

Mengumpulkan hadits – hadits dari berbagai kitab ke dalam satu kitab yang
dilakukan oleh Imam Husain Ibn Mas’ud Al – Baghawi (516 H) dalam kitabnya
mashahib al – Sunnah yang kemudian diseleksi oleh Al Khat Ibn At Thabrizi
dengan kitab misykah al masyabih.

Mentakhrij dari kitab – kitab hadits tertentu, kemudian meriwayatkan dengan


sanad sendiri yang lain sanad yang sudah ada dalam kitab – kitab tersebut,
sebagaimana yang dilakukan oleh Al – Hafidz Abu Awanah (w. 316H) dengan
kitabnya mustakhraj shahih muslim.

e.Menurut pengingkar sunnah, kritik sanad yang terkenal dalam ilmu hadits sangat
lemah untuk menentukan keshahihan hadits dengan alasan sebagai berikut : ●
Dasar kritik sanad itu, yang dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah ‘Ilm al-
Jarh wa al-Ta’dil (ilmu yang membahas ketercelaan dan keterpujian pada
periwayat hadits), baru muncul setelah satu setengah abad Nabi wafat.

5. Ingkar Sunnah
A. Pengertian
Menurutbahasa kata “Ingkar Sunnah” terdiri dari dua kata yaitu “Ingkar” dan yang ‫اَ ْن َك َر یُ ْن ِك ُر‬
‫ إِ ْن َكــا رًا‬Arab bahasa kata dari berasal” Ingkar “Kata”. Sunnah“ mempunyai beberapa arti di
antaranya: tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak
mengetahui sesuatu (antonim kata al-‘irfan, dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam
hati). Firman Allah :

َ‫فَ َد َخلُوا َعلَ ْي ِه فَ َع َرفَهُ ْم َوهُ ْم لَهُ ُم ْن ِكرُون‬


“Lalu mereka (saudara saudara Yusuf) masuk ke (tempat) nya. Maka Yusuf mengenal
mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya kepadanya.(QS.Yusuf (12) :58).

َ‫ْرفُونَ نِ ْع َمةَ هَّللا ِ ثُ َّم يُ ْن ِكرُونَهَا َوأَ ْكثَ ُرهُ ُم ْال َكافِرُون‬
ِ ‫يَع‬
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mengingkarinya dan kebanyakan mereka
adalah orang orang yang kafir. (QS.An-Nahl (16) :83).
B. Sejarah Ingkar Sunnah
Sejarah Ingkar Sunnah terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut :
a. Ingkar Sunnah Klasik
Ingkar Sunnah Klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) yang menolak
kehujjahan sunnah dan menolak sunnah sebagi sumber hukum Islam baik mutawatir atau ahad.
Imam Asy-Syafi’i yang dikenal sebagai Nashir As Sunnah (pembela sunnah) pernah didatangi
oleh orang yang disebut sebagai ahli tentang mazhab teman temannya yang menolak seluruh
sunnah. Ia datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan Asy-Syafi’i secara panjang lebar dengan
berbagai argumentasi yang ia ajukan. Namun, semua argumentasi yang dikemukakan orang
tersebut dapat ditangkis oleh Asy-Syafi’i dengan jawaban yang argumentatif, ilmiah, dan
rasional sehingga akhirnya ia mengakui dan menerima sunnah Nabi.

Kesimpulannya Ingkar Sunnah klasik diawali akibat konflik internal umat Islam yang
dikobarkan oleh sebagian kaum Zindik yang berkedok pada sekte sekte dalam Islam, kemudian
di ikuti oleh para pendukungnya dengan cara saling mencaci para sahabat dan melemparkan
hadits palsu. Penolakan sunnah secara keseluruhan bukan karakteristik umat Islam. Semua umat
Islam menerima kehujjahan sunnah. Namun, mereka berbeda dalam memberikan kriteria
persyaratan kualitas sunnah.(Majid, Abdul Khon.2009.hal 27-40).

b. Ingar Sunnah Modern


Sebab utama pada awal timbulnya Ingkar Sunnah modern ini ialah akibat pengaruh
kolonialisme yang semakin dahsyat sejak awal abad 19 M di dunia Islam.
Al Mawdudi yang dikutip oleh Khadim Husein Ilahi Najasy seorang Guru Besar
Fakultas Tarbiyah Jamiah Ummi Al Qura Thaif, demikian juga dikutip beberapa ahli Hadits juga
mengatakan bahwa Ingkar Sunnah lahir kembali di India, setelah kelahirannya pertama di Irak
masa klasik. Tokoh tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan (w.1897 M), Ciragh Ali (w.1898 M),
Maulevi Abdullah Jakralevi (w.1918 M), Ahmad Ad-Din Amratserri (w.1933M), Aslam
Cirachburri (w.1955M), Ghulam Ahmad Parwez dan Abdul Khaliq Malwadah, Sayyid Ahmad
Khan sebagai penggagas sedang Ciragh Ali dan lainnya sebagai pelanjut ide ide Abu Al Hudzail
pemikiran Ingkar Sunnah tersebut.

C. Pokok-pokok Ajaran Ingkar Sunnah

1) Tidak percaya kepada semua hadits Rasulullah. Menurut mereka hadits itu karangan
Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam.
2) Dasar Hukum Islam hanya Al Qur’an saja.
3) Syahadat mereka :Isyhadu bi anna muslimun.
4) Shalat mereka bermacam macam ada yang shalatnya dua rakaat-dua rakaat dan ada yang
hanya eling saja.
5) Haji boleh dilakukan selama empat bulan haram yaitu Muharram, Rajab, Zulqa’idah, dan
Zulhijah.
6) Pakaian ihram adalah pakaian Arab dan membuat repot. Oleh karena itu waktu
mengerjakan haji boleh memakai celana panjang dan baju biasa.
7) Rasul tetap diutus sampai hari kiamat.
Orang yang meninggal tidak dishalati karena tidak ada
D. Alasan Pengingkar Sunnah
Terdapat dua hal yang menjadi argumen besar para pengingkar sunnah sebagai alasan dan
landasan yang digunakan. Argumen-argumen Naqli dan argumen-argumen non-naqli. (Ismail,
Syuhudi. Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya.1995. Jakarta: Gema
Insani Press.)
1) Argumen-Argumen Naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen naqli tidak hanya berupa ayat-ayat Al-Qur’an saja,
tetapi juga berupa sunnah atau hadits Nabi.
a. Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 89
...)٨٩( َ‫َاب تِ ْبيَانًا لِ ُكلِّ َش ْي ٍء َوهُدًى َو َرحْ َمةً َوبُ ْش َرى لِ ْل ُم ْسلِ ِمين‬
َ ‫ك ْال ِكت‬
َ ‫َونَ َّز ْلنَا َعلَ ْي‬
... Dan Kami turunkan Kitab (Al Quran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.
2) Argumen Non-Naqli

a. Al Qur’an diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad (melalui Malaikat Jibril)
dalam bahasa Arab. Orang orang yang memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu
memahami Al Qur’an secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadits Nabi.
Dengan demikian hadits Nabi tidak diperlukan untuk memahami petunjuk Al Qur’an. (al-
Syafi’i. juz VII, h. 250)
b. Dalam sejarah umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena
umat Islam terpecah pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada
hadits Nabi. Jadi menurut para pengingkar sunnah, haditsNabi merupakan sumber
kemunduran umat Islam; Agar umat Islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan
hadits Nabi.

6.Ulumul hadist(pengertian,sejarah dan cabang-cabang)

A.Pengertian
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya:
‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata
‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”;
sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan
kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” Dengan demikian,
gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau
berkaitan Hadis nabi SAW”.

Menurut para ulama

1. Saeful Hadi Menurutnya Ulumul Hadits adalah suatu ilmu pengetahuan yang membahas
tentang hadits, baik hal tersebut berkaiatan dengan periwayatannya, materi, dan matan
yang dianggap penting karena tidak bisa terpisahkan satu sama lainnya.

2. Ulama Mutaqaddimin Ulumul Hadits adalah suatu ilmu pengetahuan yang selalu
membahas tentang cara persambungan hadits sampai Rasul Muhammad SAW, oleh
karenannya Ulumul Hadits selalu mempelajari hal ihwal para perawinya, keadilan,
kedhabitan, dan dari bersambung tidaknya sanad dan lain sebaginya

B.  Sejarah Perkembangan Ulumul Hadist

Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadist.mereka telah mulai
mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu ddalam menerima hadist, namun
mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut Dasar dan landasan periwayatan hadist di
dalam Islam dijumpai di dalam Al-Qur’an dan hadist Rasul Saw.

Apabila telah dilakukan perbandingan dan terjadi pertentangan antara riwayat perawi itu
dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat dan terpercaya, maka para ulama hadist umumnya
bersikap meninggalkan dan menolak riwayat tersebut, yaitu riwayat dari perawi yang lebih
lemah itu.Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas prakarsa Khalifah
‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, para
ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadist tersebut menerapkan
ketentuan-ketentuan ilmu hadist yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka.

Hal ini terutama karena telah menjadi perubahan yang besar didalam kehidupan umat
Islam, yaitu para penghapal hadist sudah mulai berkurang dan kualitas serta tingkat kekuatan
hapalan terhadap hadist pun sudah semakin menurun karena telah menjadi percampuran dan
akulturasi antara masyarakat Arab dengan non-Arab menyusul perkembangan dan perluasan
daerah kekuasaan Islam.

Kondisi yang demikian memaksa para ulama hadist untuk semakin berhati-hati dalam
menerima dan menyampaikan riwayat, dan mereka pun telah merumuskan kaidah-kaidah dalam
menentukan kualitas dan macam-macam hadist.Hanya saja pada masa ini kaidah-kaidah tersebut
masih bersifat rumusan yang tidak tertulis dan hanya disepakati dan diingat oleh para ulama
hadist di dalam hati mereka masing-masing, namun mereka telah menerapkannya ketika
melakukan kegiatan perhimpunan dan pembukuan hadist.

Yahya bin Ma’in (w. 234 H/848 M) menulis tentang tarikh al-Rijal, (sejarah dan riwayat
para perawi hadist), Muhammad bin Sa’ad (w. 230 H/844 M) menulis al-Thabaqat (tingkatan
para perawi hadist ), Ahmad bin Hanbal (241 H/855 M) menulis al-An’Ilal (beberapa ketentuan
tentang cacat atau kelemahan suatu hadist atau perawinya), dan lain-lain.

Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang
membahas tentang ilmu hadist yang bersifat komprehensif, seperti kitab al-Muhaddits al Fashil
byn al-Rawi wa al-Wa’i oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-
Khallad al-Ramuharmuzi (w.360 H/971 M), Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Abd Allah
Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi (w.405 H/1014 M), al-Mustakhraj ‘ala
Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-Ashbahani (w.430 H/1038
M), al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Tsabit al-Khathib
al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-Jami’ li Akhlaq wa adab al-Sami’ oleh al-Baghdadi (463
H/1071 M).

C. Cabang-cabang Ulumul Hadis


Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah ialah:

a. Ilmu Rijal al-Hadis

Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi`in, mupun dari
angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah
kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri
mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja mereka
memperoleh hadis dan kepada siapa saja mereka menyampaikan Hadis.
b. Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil

Yaitu Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para
perawi dan tentang penta`dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata
yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. Maksudnya al-Jarh (cacat) yaitu istilah
yang digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadis seperti,
pelupa, pembohong, dan sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa
periwayat tesebut cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat seperti ini ditolak, dan hadisnya di
nilai lemah (dha`if). Maksudnya al-Ta`dil (menilai adil kepada orang lain) yaitu istilah yang
digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti, kuat hafalan,
terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mendapat penilaian seperti ini disebut `adil,
sehingga hadis yang di bawanya dapat di terima sebagai dalil agama. Hadisnya dinilai shahih.
Sesuai dengan fungsinya sebagai suber ajaran Islam, maka yang diambil adalah hadis shahih.

c. Ilmu Fannil Mubhamat

Yaitu ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam matan atau di dalam
sanad. Misalnya perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih Bukhory diterangkan
selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al `Asqollany dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.

d. Ilmu Mukhtalif al-Hadis

Yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis secara lahiriah bertentangan, namun ada kemungkinan
dapat diterima dengan syarat. Mungkin dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya
dan lainnya, yang bisa disebut sebagai ilmu Talfiq al-Hadits.

e. Ilmu `Ilalil Hadits

Yaitu ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak keabsahan
suatu Hadis. Misalnya memuttasilkan Hadis yang munqathi`, memarfu`kan Hadis yang mauquf,
memasukkan suatu Hadis ke Hadis yang lain, dan sebagainya. Ilmu yang satu ini menentukan
apakah suatu Hadis termasuk Hadis dla`if, bahkan mampu berperan amat penting yang dapat
melemahkan suatu Hadis, sekalipun lahirnya Hadis tersebut seperti luput dari segala illat.

f. Ilmu Gharibul-Hadits

Yaitu ilmu yang membahas dan menjelaskan Hadis Rasulullah SAW yang sukar di ketahui dan
di pahami orang banyak karena telah berbaur dengan bahasa lisan atau bahasa Arab pasar. Atau
ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui
maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum.

g. Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis

Yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis yang bertentangan dan tidak mungkin di ambil jalan
tengah. Hukum hadis yang satu menghapus (menasikh) hukum Hadis yang lain (mansukh). Yang
datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan dinamakan nasikh. Nasikh inilah
yang berlaku selanjutnya.

h. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadis)

Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi
menuturkan itu. Seperti di dalam Al Qur`an dikenal adalah Ilmu Asbab al-nuzul, di dalam Ilmu
hadis ada Ilmu Asbab wurud al-Hadits. Terkadang ada hadis yang apabila tidak di ketahui sebab
turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak di amalkan.

i. Ilmu Mushthalah Ahli Hadits

Yaitu ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah yang di pakai oleh ahli-ahli
Hadis.

7. Pembagian Hadis
A.Pembagian Hadist dari Segi Kuantitas Perawinya
Pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas perawinya dibagi menjadi tiga
bagian yaitu Mutawatir,Masyhur,Ahad.
1. Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-
turut antara satu dengan yang lain. Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh
banyak orang dalam setiap generasi, sejak generasi shahabat sampai generasi akhir (penulis
kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil untuk berbohong.Sedangkan hadist Mudatsir
menyebutkan bahwa hadits mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang
yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebihdahulu untukberdusta. Sejak awal sanad
sampai akhir sanad pada setiap tingkat (tabaqot).
M. Alawi Almaliki (2006:89) mutawatir menurut etimologi berarti “beriring-iringan”
sedangkan menurut terminology ialah,“Hadis yang diriwayatkan oleh segolongan rowi banyak,
dimana materi hadits tersebut bersifat inderawi, yang menurut pertimbangan rasio, mereka
mustahil melakukan konspirasi kebohongan, dan adanya segolongan rowi banyak itu terdapat
didalam semua tobaqohnya, jika terjadi dari beberapa tobaqoh”.
Suatu hadist baru dapat dikatakan hadist mutawatir, bila hadist itu memenuhi tiga syarat,
yaitu: Pertama: Hadist yang diriwayatkan itu haruslah mengenai sesuatu dari Rasulullah SAW
yang dapat ditangkap oleh panca indera, seperti sikap dan perbuatannya yang dapat dilihat
dengan mata kepala atau sabdanya yang dapat didengar dengan telinga. Kedua: Para rawi (orang-
orang yang meriwayatkan hadist) itu haruslah mencapai jumlah yang menurut kebiasaan (adat)
mustahil mereka sepakat untuk berbohong. Tentang beberapa jumlah minimal para rawi tersebut
terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama, sebagian menetapkan dua belas orang rawi,
sebagian yang lain menetapkan dua puluh, empat puluh dan tujuh puluh orang
rawi. Ketiga: Jumlah rawi dalam setiap tingkatan tidak boleh kurang dari jumlah minimal seperti
yang ditetapkan pada syarat kedua.

Dalam hal ini para ulama bersepakat bahwa syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pemberitaan hadits yang disampaikan oleh para rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
panca indera, baik indera penglihatan maupun pendengaran.
2. Banyak rawi sampai pada jumlah yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk
berdusta.
3. Adanya keseimbangan jumlah rawi di awal thabaqah atau sandaran sanad, di pertengahan
atau selanjutnya, dalam bilangan mutawatir.
Hadis mutawatir terbagi pada tiga bagian, yakni hadist mutawatir lafdzi, hadist mutawatir
ma’nawi dan hadis mutawatir ‘amali yang masing-masing memiliki arti sebagai berikut:
1. Hadist mutawatir lafdzi
2. Hadist mutawatir ma’nawi
3. Hadist mutawatir ‘amali

2. Hadist Masyhur
Hadits masyhur adalah hadist yang di riwayatkan oleh tiga orang atau lebih,serta belum
mencapai derajat Mutawatir.[15] Hadis ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas
dikalangan masyarakat. Ulama Hanafiah mengatakan bahwa hadis masyhur menghasilkan
ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang
menolaknya tidak dikatakan kafir.[16]
Adapun Contoh hadist masyhur adalah sebagai berikut:Hadits ini juga diriwayatkan oleh
Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini ahad. Tetapi sepengetahuan kami, hadits ini masyhur,
yaitu dari jalan Ibnu Umar,

‫ وإقــام‬، ‫ شــهادة أن ال إلــه إال هللا وأن محمد ا رســول هللا‬: ‫ بني اإلسالم على خمس‬:‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وآل وسلم‬
‫ وصوم رمضان‬، ‫ وحج البيت‬، ‫ وإيتاء الزكاة‬، ‫الصالة‬
Artinya:    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘Islam dibangun di atas lima
asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali
Allah dan syahadat bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan sholat, menunaikan
zakat, haji dan puasa ramadhan (dalam riwayat lain puasa ramadhan baru haji).( HR.
Muslim )

15
Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung :CV Pustaka Setia, 1998), hal. 87.
16
Suparta, Munzier..., hal. 111.
3. Hadist ahad
Al-Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa al-wahid atau satu. Dengan demikian
khabar wahid adalah berita yang disampaikan oleh satu orang. Ada juga ulama yang
mendefinisikan hadis ahad secara singkat, yakni hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis
mutawatir, hadis selain hadis mutawatir atau hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga
sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak
samapi kepada qat’i  dan  yaqin.[17]
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan
oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi
hadis mutawatir. Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi
ketentuan maqbul hukumnya wajib, sedangkan golongan Qadariah, Rafidhah dan sebagain ahli
Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib.[18]
Menurut Al-Ma’udi, Hafidz dalam bukunya Ilmu Musthalahah Hadist, yang dimaksud
dengan hadist Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak
mencapai tingkat mutawatir[19]. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhanniy".
Pembagian Hadist Ahad
1. Hadist Masyhur ( Hadist Mustafidz)
Mohammad Ahmad,dkk. menurut etimologi, mashur berarti, “ Yang sudah tersebar atau yang
sudah popular”. Sedangkan menurut terminologi adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga rawi
atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir.
Dari segi ini, maka hadits ahad masyhur terbagi pada:
a. Masyhur di kalangan muhadisin dan lainnya.
b. Masyhur di kalangan ahli ilmu tertentu: ahli fiqih, nahwu, ushul fiqih dll
c. Masyhur di kalangan orang umum
Sedangkan dalam buku karya Munzier Suparta hadits masyhur digolongkan kepada:
1. Masyhur di kalangan ahli hadits
2. Masyhur di kalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama lain, dan di kalangan orang umum
3. Masyhur di kalangan ahli fiqih
4. Masyhur di kalangan ahli ushul fiqih

17
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis ( Jakarata: PT Raja Grafindo Persada,2002 ), hal.107
18
Munzier Suparta.…, hal. 109.
19
Rahman,Fatchur, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung:PT Alma’arif, 1974), hal. 20.
5. Masyhur di kalangan ahli sufi
6. Masyhur di kalangan ulama-ulama arab
7. Dan masih banyak lagi hadits-hadits dan kemashurannya hanya di kalangan tertentu, sesuai
dengan disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing.

2. Hadits ghair Masyhur


a. Hadits aziz
Aziz berasal dari “azza ya’izzu yang berarti la yakadu yujadu atau qalla wa nadir (sedikit atau
jarang adanya), dan bisa berasal dari azza ya’azzu berarti qawiya ( kuat).
b. Hadist Gharib
Dalam kamus al-bisri kata gharib berarti yang asing atau tak dikenal. M. Alawi Almaliki
Gharib menurut etimologi berarti “ Terasing/jauh dari tempat tinggalnya”. Sedangkan menurut
istilah ialah hadits yang asing sebab hanya diriwayatkan oleh seorang perawi, atau disebabkan
oleh adanya penambahan dalam matan atau sanad. Hadits yang demikian disebut gharib karena
keadaannya asing menurut pandangan rawi-rawi yang lain seperti keasingan orang yang jauh dari
tempat tinggalnya.
Mudatsir ulama ahli hadits mendefinisikan hadits gharib adalah hadis yang di riwayatkan
yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang
menyendiri itu imamnya maupun selainnya.
Ibnu hajar mendifinisikan hadits gharib adalah hadits yang pada sanadnnya terdapat
seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi.
Endang Soetari berdasarkan pada bentuk penyendirian rawi, maka terbagilah hadits gharib pada
dua macam:
a.Hadits gharib mutlak, yakni hadits yang terdapat penyendirian sanad mengenai jumlah
personalia rawi
b.Hadits gharib nisbi yakni hadits yang terdapat penyendirian dalam sifat atau keadaan tertentu
seorang rawi: Penyandirian

B. Pembagian Hadist Dari Segi Kualitas


1) Hadist Shahih
Kata shahih berasal dari bahasa arab as- shahih bentuk pluralnya ashihha’ berakar kata
pada shahha, yang berarti selamat dari penyakit. Para ulama mengatakan hadis shahih hadis yang
sanadnya tersambung dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari yang sama, sampai berakhir
pada Rasulullah SAW. atau Sahabat atau Tabi’in bukan hadis yang syadz (kontroversial) dan
terkena ‘illat yang cacat pada penerimaannya. Hadis sahih adalah hadist yang bersambung
sampai kepada nabi Muhammad serta didalam hadis tersebut tidak terdapat kejanggalan dan
cacat.[20]
Definisi hadis shahih:
‫مالم يشتمل على صفاة القبول يعنى ليس هو بصحيح فى االصل وانماارتقى الى درجة الصحيح بجابرالوصورفيه‬
Dalam kamus Al- Bisri karya KH Adib Bisri dan KH Munawwar A. Fattah (1999:401) kata
shahih berarti yang benar atau tepat atau yang sah/ legal.
Sedangkan menurut Endang Soetari AD menyatakan bahwa hadist menurut lughat adalah “
saqim” artinya sehat lawan sakit, haq lawan bathil. Sedangkan menurut istilah menurut ahli
muhadditsin hadist shahih adalah hadist yang dinukil atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.
H Muhammad Ahmad,menyatakan definisi hadist shahih menurut para ahli hadist yaitu, “hadist
shahih adalh hadist yang bersambung-sambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil
dan zabit dsri rawi lain yang juga adil dan zabit sampai akhir sanad, dan hadist itu tidak janggal
dan tidak cacat. Menurut definisi-definisi hadist diatas, suatu hadist dapat dinilai shahih apabila
telah memenuhi syrat dan kiteria sebagai berikut:
1. Rawinya bersifat adil;
Fatchur Rahman (1974: 119) menyatakan bahwa keadilan seorang rawi ,menurut Ibnu’S-
Sam’any, harus memenuhi empat syarat:
a. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat;
b. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun;
c. Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar
dan mengakibatkan penyesalan;
d. Tidak mengikuti pendapat yang salah dari satu madzhab yang bertentangan dengan dasar
syara.

Sebuah hadits dikatakan sahih apabila memenuhi krieria yang meliputi:


20
Subhi As- Shalihin, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009
a) Sanadnya bersambung ialah sanadnya bersambung sampai ke musnad, dalam sifat disebut
hadis yang muttashil dan mausul (yang bersambung),

b) Seluruh periwayat dalam sanad hadist sahih bersifat adil adalah periwayat yang memenuhi
syarat-syarat yaitu beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, memelihara
kehormatan diri,

c) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith, ialah memiliki ingatan dan hafalan yang
sempurna. Dia memahami dengan baik apa yang diriwayatkannya serta mampu menyampaikan
hafalan itu kapan saja di kehendaki,

d) Sanad dan matan hadits yang sahih itu terhindar dari syadz,

e) Sanad dan matan hadis terhindar dari i’llat, i’llat adalah sifat tersembunyi yang mengakibatkan
hadits tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahiriah hadits tersebar dari ‘illat.

Unsur-unsur dhabith adalah:


a. Tidak pelupa
b. Hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya
c. Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan mengetahui makna yang
dapat mengalihkan maksud, bila ia meriwayatkan menurut maknanya saja.
Sanadnya bersambung, matannya marfu’;
Artinya sanadnya selamat dari keguguran. Dengan kata lain bahwa tiap-tiar rawi dapat saling
bertemu dan menerima langsung dari Guru yang memberinya.
Hadist tersebut tidak berillat;
Illat hadis adalah suatu penyakit yang samara-samar, yang dapat menodai keshahihan
suatu hadis
Contoh hadis shahih :
Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : “Setiap sendi tubuh
badan manusia menjadi sedekah untuknya pada setiap hari matahari terbit, kamu melakukan
keadilan diantara dua orang yang berselisih faham adalah sedekah kamu membantu orang yang
menaiki kenderaan atau kamu mengangkat barang-barang untuknya kedalam kenderaan adalah
sedekah, Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah kamu berjalan untuk menunaikan
solat adalah sedekah dan kamu membuang perkara-perkara yang menyakiti di jalan adalah
sedekah.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Klasifikasi Hadist Shahih


Hadist shahih terbagi kepada dua bagian:
1. Shahih lidzatih
H. Muhammad Ahmad definisi hadist shahih lidzatih adalah hadist shahih yang memenuhi
secara lengkap syarat-syarat hadis shahih. Kedlabitan seorang rawi yang kurang sempurna,
menjadikan hadist shahih li-dzatih menjadi turun nilainya menjadi hadist hasan lidzatih.
2. Shahih Lighairih
Hadist shahih lighairih adalah hadist dibawah tingkatan shahih yang menjadi shahih karena
diperkuat oleh hadist-hadist yang lain. Sekiranya hadist yang memperkuat tidak ada, maka hadist
tersebut hanya ada pada tingkatan hadist hasan.

Status Kehujjahan Hadist Shahih


Kedudukan hadist shahih sebagai sumber ajaran islam lebih tinggi daripada hadist hasan
dan hadist dhaif, tetapi dibawah kedudukan hadist mutawatir.
Para ulama menyepakati urutan tingkatan hadist sahih sebagai berikut:
1. Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim;
2. Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari saja;
3. Hadist yang diriwayatkan oleh seorang ulama dengan memakai syarat-syarat yang dipakai
oleh Bukhari dan Muslim( berarti rawi-rawinya terdapat dalam sahih Bukhari dan Muslim).
4. Hadist shahih yang diriwayatkan oeh seorang ulama, dengan memakai syarat-syarat yang
dipakai oleh Bukhari saja.
5. Hadist sahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama dengan memakai syarat-syarat yang
dipakai oleh Muslim sendiri.
6. Hadist sahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama yang terpandang( mutabar).

2) Hadis Hasan

Hasan menurut bahasa berarti sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. H. mudasir
mengemukakan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Hasan berarti yang
baik, yang bagus, jadi hadis hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh
rawi yang adil yang rendah daya hafalnya tetapi tidak rancu dan tidak bercacat. hadis hasan ialah
hadis yang muttasil sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit tetapi kadar
kedhabitannya di bawah kedhabittan hadis sahih dan hadis itu tidak syadz dan tidak pula terdapat
‘illat.

Hadits hasan juga mempunyai kriteria yaitu; a) sanadnya bersambung, b) para periwayat bersifat
adil, c) diantara orang periwayat terdapat orang yang kurang dhabith, dan d) sanad dan matan
hadits terhindar dari kejanggalan, e) tidak ber- illat.

Hal ini disebabkan adanya perbedaan penggolongan hadist hasan sebagai hadist yang
menduduki posisi diantara hadish shahih dan hadist dhaif. Tetapi ada yang me,asukannya
sebagai bagian dari hadist dhaif yang dapat dijadikan hujjah. Menurut sejarah, ulama-ulam yang
mula-mula memunculakan istilah hasan menjadi hadist yang berdiri sendiri adalah At-Turmudzi.
H Mudasir mengemukakan definisi hadist hasan menurut Ath-thibi yaitu, “ Hadist
musnad, (muttasil dan marfu’) yang sanad-sanadya mendekati derajat tsiqah. Atau hadist mursal
yang sanad-sanadnya tsiqah, tetapi pada keduanya ada perawi lain, dan hadist tersebur terhindar
dari syadz( kejanggalan) dan illat (kecacatan).
Melalui definisi tersebut maka tampaklah perbedaan yang jelas antara hadist shahih, hadist
dha’if dan hadist hasan yakni terletak pda kedhlabithan perawinya. Pada hadist hasan,
kedhlabitan perawinya lebih rendah ( tidak begitu baik ingatannya), jika disbanding dengan
hadist hasan.

Macam-Macam Hadist Hasan


Pembagian hadis hasan terdiri dari hasan lidzatih dan hasan lighairih, hadis hasan lidzatih
adalah hadits yang mencapai derajat hasan dengan sendirinya sedikitpun tidak ada dukungan dari
hadis lain dan kalau ada hanya di sebut hadis hasan maka yang dimaksud adalah hadis lidzatih,
sedangkan hadis hasan lighairih adalah hadis yang pada asalnya adalah hadis dhaif yang
kemudian meningkat derajatnya menjadi hasan karena ada riwayat lain yang mengangkatnya.

1. Hadist hasan lidzatih


M. Mudzakir mendefinisikan hadist hasan sebagai hadist yang terwujud atas dirinya sendiri,
yakni karena matan dan para rawinya memenuhi syarat-syarat hadist shahih, kecuali keadaan
rawinya. Sedangkan menurut Fatchur Rahman berpendapat bahwa hadist hasan adalah hadist
yang memenuhi syarat-syarat hadis hasan.
Diantara hadist hasan lidzatih, terdapat sebagian yang masuk dalam tingkatan hasan,
tetapi sebagian lainnya dapat naik pada tingkatan shahih lighairih.

2. Hadist Hasan Lighairihi


Hadist hasan lighairrih adalah hadist yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur-tak nyata
keahliannya-, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tanpak adanya sebab yang
menjadikannya fasik dan matan hadistnyan adalah baik berdasrkan periwayatan yang semisal
dan semakna dri sesuatu segi yang lain.
Kedudukan Hadist Hasan
Tinggi dan rendahnya martabat hadist hasan terletak pada tinggi rendahnya kedlabithan dan
keadilan para perawinya. Hadist hasan yang tinggi derajatnya adalah hadist hasan yang bersanad
Ahsanul-Asanid. Kemudian tingkatan dibawahnya adalah hadist hasan lidzatih dan tingkatan
yang terakhir adalah hadist hasan lighairih.

Meskipun ada hadis dahif yang meningkat menjadi hadis hasan tidak semua hadis dhaif
bisa meningkat menjadi hadis hasan, hadis dhaif yang bisa meningkat menjadi hadis hasan
adalah hadis- hadis yang tidak terlalu lemah seperti hadis maudhu, matruk, dan munkar
derajatnya bisa lebih meningkat, jika hadis diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena
banyaknya kesalahan atau karena mufsiq maka ia bukanlah hadis hasan lighairih. Sebaliknya
hadis daif yang diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena fasiq atau di tuduh berdusta lalu
ada hadits yang juga diriwayatkan oleh  periwayat yang kualitasnya sama maka hadis itu bukan
hanya tidak bisa naik derajatnya menjadi hasan melainkan justru hadis itu berambah dhaif.

Hadis hasan dapat di gunakan sebagai berhujjah dalam menentapkan suatu kepastian
hukum dan ia harus diamalkan baik hadis hasan lidzatih maupun  hasan lighairih, al- Khattabi
mengungkapkan bahwa atas hadis hasanlah berkisar banyak hadis karena kebanyakan hadis tidak
mencapai tingkatan sahih, hadis ini kebanyakan diamalkan oleh ulama hadis. Factur rahman
mengatakan bahwa kebanyakan ahli ilmu dan fuqaha sepakan unuk menggunakan hadis sahih
dan hasan untuk berhujjah bila memenuhi sifat-sifatt yang dapat di terima tetapi ia menegaskan
bahwa kedua-duanya dapa di terima dengan demikian krieria bahwa harus memenuhi sifat yang
dapat di terima bisa saja di hilangkan.
Contohnya : sekiranya aku tidak memberatkan umatku, tentu kuperintahkan mereka
bersiwak menjelang setiap sholat, matan hadis ini memiliki jalur sanad, Muhammad bin Amr,
dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. dan Muhammad bin Amr diragukan
hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya meskipun banyak yang menganggapnya terpecaya
hadis ini bersifat hasan lizatih dan sahih lighairih, karena diriwayatkan pula oleh guru
muhammad dan dari gurunya lagi hadis itu diriwayakan pula oleh Abu Hurairah oleh banyak
orang diantaranya al-A’raj bin Hurmuz dan Sa’id al-Maqbari. At- Tarmizi ia adalah orang yang
pertama kali mengeluarkan hadis hasan.

3) Hadist Dha’if
Secara bahasa, hadits dhaif berasal dari kata dhu’fun berarti hadits yang lemah. Para ulama
memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Secara terminologi
hadis dhaif adalah suatu hadits yang tidak terdapat ciri-ciri ke sahihan dan kehasanan suatu
hadits, sahih tidaknya suatu hadits merupakan hasil peninjaun dari sisi di terima atau ditolaknya
suatu hadits, oleh karena itu hadis ini terdapat sesuatu yang di dalamnya tertolak yang tidak
terdapat ciri-ciri di terimanya hadits ini.[21] Tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya adalah
sama. Endang Soetari AD (2005: 141) menyatakan pengertian hadist dhaif menurut para ulama
muhadditsin, yaitu,” Hadist yang tidak sampai pada derajat hasan”. Atau,” Hadist yang tidak
mengumpulkan sifat-sifat hadist shahih atau sifat-sifat hadist hasan”. H Mudasir (1999: 156)
bahwa pengertian hadist menurut Nur Ad-Din yaitu,” Hadist yang hilang salah satu syaratnya
dari syarat-syarat hadi maqbul ( hadist yang shahih atau hadist yang hasan).
Adapun ciri-ciri hadis daif :
a) periwatnya seorang pendusta atau tertuduh pendusta
b) banyak membuat kekeliruan
c) suka pelupa
d) suka maksiat atau fasik
e) banyak angan-angan

21
 http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html
f) menyalahi periwayat kepercayaan
g) Periwayatnya tidak di kenal
h) penganut bid’ah bidang aqidah
i) tidak baik hafalannya.
Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan
secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya,
Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau
bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya.
1. Dari segi rawi, terdapat kecacatan para rawi, baik mengenai keadilannya maupun
mengenai kedhabithannya;
a) Hadits Matruk, yaitu hadist yang menyendiri dalam periwayatan yang dirawayatkan oleh
seorang yang tertuduh berbuat dusta dalam periwayatan hadist.
b) Hadits fasiq, yaitu kecurangan dalam amal, bukan kecurangan dalam I’tikad dan mereka
berbuat maksiat.
c) Hadits munkar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dalam penerimaan
hapalan hadits dan banyak salah dalam penyampaiannnya.
d) Hadits mu’allal, yaitu hadits yang rawinya banyak purbasangka, yakni salah sangka seolah-
olah hadits tersebut tidak ada cacat dari matan maupun sanadnya.
e) Hadits mudraj, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang menyalahi riwayat orang
kepercayaan dengan membuat ssuatu sisipan baik pada sanad maupun pada matan, mungkin
perkataannya sendiri.
2. Dari segi sanad, dimana terdapat keterputusan sanad atau tidak muttasil, rawi murid
tidak bertemu dengan rawi guru sehingga terdapat inqita (gugur rawi) pada sanad yaitu:
a. Hadits mu’allaq, yaitu hadits yang gugur pada awal sanad
b. Hadits mursal, yaitu hadits yang gugur pada akhir sanadnya, yaitu sesorang setelah tabiin.
Hadits mursal terbagi menjadi 3: mursal jalli yaitu bila pengguran yang telah dilakukan oleh rawi
(tabiin) jelas sekali dapat di ketahui. Mursal shahabi, yaitu pemberitaan sahabat yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Atau menyaksikan apa yang ia beritakan tapi ketika
itu ia masih kecil atau terakhir masuk islam. Mursal khofi, yaitu hadis yang di riwayatkan oleh
tabiin dan yang meriwayatkan sejaman dengan sahabat, tetapi tidak pernah mendengar sebuah
hadispun darinya.
c. Hadis mu’dal yaitu hadis yang gugur rawinya dua orang atau lebih, berturut-turut baik sahabat
bersama tabiin, maupun dua orang sebelum sabahat dan tabiin.
d. Hadis munqati’ yaitu hadis yang gugur seorang perawinya sebelum sahabat di suatu tempat
atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
3. Dari segi matan, yaitu penisbatan hadis tidak pada nabi Muhammad SAW tetapi pada
sahabat (hadis Mauquf) atau pada tabiin (hadis Maqtu)

Contoh hadis Dhaif :


“bahwasannya Rasul wudhu dan beliau mengusap kedua kaos kakinya “ [6]

hadis ini dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al- Audi, seorang rawi yang
masih dipersoalkan. Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif
karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau
matan. Ada Muhaditsin (Ulama Ahli Hadits) yang membagi hadits Dlaif menjadi 42 bagian ada
pula yang membaginya menjadi 129 bagian.

Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya
di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat
yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan
awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang
membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah).
Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai
rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.

Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-
Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:

1. Level Kedhaifannya Tidak Parah. Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak
jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih
atau hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan
hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang
level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal
(keutamaan amal).
2. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih. Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau
dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya.
Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi
dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
3. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya. Maksudnya, ketika
kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan
sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita
masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.[22]

4. Hadist Maudhu’
Mudasir mengemukakan pengertian hadist Maudhu dari segi bahasa yaitu al-maudhu
adalah isim maf’ul yang berarti Al-Isqaathu ( meletakan atau menyimpan), atau al-ifraatu wa
ikkhtilaaqu ( mengada-ada atau membuat-buat), dan at-tarku atau dengan kata lain al- Matruku
yang berarti ditinggalkan.
Sedangkan menurut terminologi, pengertian hadist maudhu adalah Hadist yang
disandarkan kepada Rosululloh SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak
mengatakan dan tidak memperbuatnya. Sebagian menreka mengatakan bahwa yang dimaksud
denagan hadist maudhu adalah hadist yang dibuat-buat.
3. menurut Jumhur Al-Muhaddisun, pemalsuan hadist terjadi pada masa kekhalifahan Ali
Bin Abi Thalib. Menurut mereka hadist-hadist yang telah ada sejak zaman Rosululloh hingga
sebelum terjadinya pertentangan anatat Ali Bin Abi Thalib dengan Muawiyah Bin Abi Sofyan
masih terhindara dari pemalsuan.
Pada masa Ali Bin Abi Thalib terjadi pemalsuan hadist. Pada masa tersebut telah terjadi
perpecahan politik anatara Ali Bin Abi Thalib dengan Muawiayah. Uapay athkim dan tahqiq
tidak mampu meredam pertentangan mereka, bahkan semakin menambah ruwetnya
permasalahan denagna keluarnya senagian pengikut Ali dan membentuk kelompok sendiri.
Golongan terakhir ini kemudian memusuhi Ali, tetapi tidaka hany aitu, golongan tersebut juga
memerangi Muawiyah.
 http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-
22

hasan-dhaif/
Latar belakang Munculnya hadist Maudhu’
Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadist datang bukan hanya dilakukan oleh Umat
Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang orang islam. Ada beberapa motif yang mendorong
mereka membuat hadist maudhu’, diantaranya adalah:pertentangan politik perpecahan umat
islam akibat pertentangan politik antara Ali Bin Abi Thali dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Masing-masing golongan berusaha mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang tertentu,
salah satunya adalah membuat hadist palsu.
usaha kaum Zindiq
Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci Islam, baik sebagai agama maupun sebagai
dasar pemerintahan. Mereka merasa tidaka mungkin melampiaskan kebencian melalui
konfrontasi dan pemlsuan Al-Quran, oleh karena itu mereka mencari cara yang lain untuk
menghancurkan Islam yaitu dengann membuat hadist palsu atau maudhu’.Hammad bin Zaid
mengtakan bahwa hadist yang dibuat oleh kaum Zindiq berjumlah sekitar 12.000 hadist.
Sikap fanatik buta terhadap Bangsa, Suku, Bahasa, Negeri, dan awam.
Kaidah-Kaidah Untuk Mengetahui Hadist Maudhu’
1. atas dasar pengakuan para pembuat hadist palsu. Sebagaiman pengakuan Abu Ismah bin Abi
Maryam bahwa dia telah membuat hadist tentang fadhilah membaca Al-Qur’an, surat demi surat,
Goyas bin Ibrahim, dan lain-lain .
2. maknanya rusak. Ibnu Hajar menerangkan bahasa kejelasan lafal ini dititikbereatkan pada
kerusakan arti sebab periwayatan hadist tidak harus Bil-Lafdzi, tetapi ada yang bil-Ma’na.
3. matannya bertetangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan Al-Quran atau hadist
yang labih kuat atau ijma’.
4. matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang
yang sangat besar atas perkara kecil.
5. perawinya dikenal sebagai pendusta.

C. Sanad
Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad ( ‫)المعتمد‬, yaitu “ yang diperpegangi (yang kuat/
yang bisa dijadikan pegangan”. Atau, dapat juga diartikan :     ‫مـــاارتفع من األرض‬  yaitu “
sesuatu  yang terangkat (tinggi) dari tanah “.
Sedangkan secara terminologi , sanad berarti :
.‫ أي سلسلة الرواة الذين نقلوا المن من مصدره األول‬. ‫هو طريق المن‬
Artinya:“Sanad adalah jalannya matan, ayitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan)
matan dari sumbernya yang pertama”.
Jalan matan tersebut dinamakan dengan sanad adalah karena musnid berpegang
kepadanya katika menyadarkan matan ke sumbernya. Demikian juga, para Huffazh
menjadikannya sebagai pegangan (pedoman) dalam menilai sesuatu Hadis. Apakah shahih atau
Dha’if
Sebagai contoh dari sanad adalah seperti yang terlihat dalam hadis berikut:

‫ عن أنس‬. ‫ عن أبي قالبــة‬.‫ حــدثنا أيــوب‬: ‫ حدثنا عبد الوهــاب الثقفي قــال‬: ‫ حدثنا محمد بن المثنى قال‬: ‫روى اإلمام البخاري قال‬
‫ وأن يحب‬.‫ثالث من كن فيه وجد حالوة اإليمان أن يكون هللا ورسوله أحب إليه مما سواهما‬ : ‫عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
.‫ وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار‬. ‫المرء ال يحبه إال هلل‬

Artinya:“Imam Bukhari meriwayatkan, ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami


Muhammad ibn al-Mutsanna, ia berkata, “telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-Wahhab al-
Tsaqafi, ia berkata, ‘telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi Qilabag, dari Anas, dari
Nabi SAW., beliau bersabda, ‘Ada tiga hal yang apabila seseorang memilikinya maka ia akan
memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain
keduanya, bahwa ia mencintai seseorang hanya karena Allah SWT, dan bahwa ia benci
kembali-kepada kekafiran sebagaimana ia benci masuk ke dalam api neraka’.”
            Pada hadis di atas terlihat adanya silsilah para perawi yang membawa kita sampai kepada
matan hadis, yitu Bukhari. Muhammad ibn al-Mutsanna, ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi, Ayyub,
Abi Qilabah, dan Anas r.a. Ranggakaian nama-nama itulah yang disebut dengan sanad dari Hadis
tersebut, karena merekalah yang menjadi  jalan bagi kita untuk sampai ke matan Hadis dari
sumbernya yang pertama.
8.Perawi Hadist
A.Syarat Perawi
Ada beberapa persyaratan tertentu bagi seorang perawi dalam upaya meriwayatkan hadits,
semua ulama hadits.
Ushul fiqh mensyaratka untuk orang yang dapat kita berhujjah dengan riwayatnya, baik
dia laki-laki ataupun perempuan, syarat-syaratnya tersebut, yaitu :
1. Baligh,
artinya sudah cukup umur ketika meriwayatkan hadits, meskipun ia masih kecil waktu
menerima hadits itu. Karenanya tidak diterima riwayat anak-anak yang belum sampai umur,
mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim dari Umar dan Ali
yaitu: “ diangkat kalam dari tiga orang: dari orang yang gila, yang digagahi akalnya hingga dia
sembuh, dari orang tidur sehimgga dia bangun, dari anak sehingga dia dewasa”.
Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu mempunyai paham dan
pengertian. Dikehendaki dengan sampai umur, ialah sampai umur dengan berakal. Para
mutaakhirien mensyarathkan baligh (sampai umur) dan umur. Para mutaqaddimien
mensyarahkan akal saja. Para ulama tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil
belum menyadari akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anaka kecil menjadi wali
terhadap dirinya dalam urusan keduniaan, maka dalam masalah urusan eakhiratan tentulah lebih
utama.
2. Muslim,
yaitu beragama Islam waktu menyampaikan hadits. Karenanya tidak dapat diterima riwayat
oranbg kafir, walaupun dia bukan orang yang berdusta. Allah menyuruh kita berhati-hati
menerima riwayat orang asik sebagai yang diterangkan dalam surat Al-Hujurat ayat 6.
3. Adil,
dalam kamus bahasa indonesia kata adil diartikan sebagai “ tidak berat sebelah, tidak
memihak, tidak sewenang_wenang, dalam bahasa Arab adil berasal dari kata al-adl masdar dari
kata kerja ‘adala yaitu orang muslim baligh dan berakal yang tidak mengerjakan dosa besar dan
kecil.
4. Dhabith,
Artinya tepat menangkap apa yang didengarnya, dan dihapalnya dengan baik. Sehingga
ketika dibutuhkan, ia dapat mengeluarkan atau menyebutkan kembali.
Dhabith pada lughat, ialah:

“ orang yang mengetahui dengan baik apa yang diriwayatkan, selalu berhati-hati, di lafadh
riwayatnya, jika ia diriwayatkan ari hafalannya dan ia jaga benar-benar kitabnya, jika ia
riwayatkan dari kitabnya, lagi mengetahui mana yang bisa memelaingkan makna dari maksud,
jika ia meriwayatkan dengan ma’na.
Dhabit pada istilah, ialah penuh perhatian perawi kepada yang didengar diketika dia
menerimanya serta memahami apa yang didengar itu hingga ia menyampaikannya kepada orang
lain. Dhabith itu ada dua, 1) dhabith Shadar, yakni menghafal dengan baik, 2) dhabth kitab,
yakni memelihara kitabnya dengan dari kemasukan sisipan ataupun sebagainya.
Jalan mengetahui kedhabitan seseorang ialah mengecek riwayatnya dengan riwayat orang
lain. Jika bersesuaian dengan riwayat orang lain maka diterimalah riwayatnya. Dalam pada itu
perbedaan yang sesekali terjadinya, tidaklah menghalangi kita menerima riwayatnya, jika banyak
terjadi perbedaan dengan riwayat orang lain, tentulah riwayatnya tidak diterima.
5. Tidak syadz,
Artinya hadits yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadits yang lebih kuat atau dengan
Al-qur’an.

Ulama hadits dari kalangan mutaqadimin


(ulama hadits sampai abad ke-3 H) mengemukakan persyaratan yang tertuju kepada
kualitas dan kapasitas perawi sebagai berikut :
1. Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits, terkecuali yang berasal dari orang-orang yang
tsiqah.
2. Orang yang akan meriwayatkan hadits itu sangat memperhatikan ibadah shalatnya, perilaku
dan keadaan dirinya. Apabla shalat, prilaku dan keadaan orang itu tidak baik, riwayat haditsnya
tidak diterima.
3. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang suka berdusta, mengikuti hawa nafsunya
dan tidak mengerti hadits yang diriwayatkannya.
4. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang ditolak kesaksiannya.
Sedangkan kualitas rawi terbagi ke dalalm Sembilan tingkatan yaitu:
1. Perawi yang mencapai derajat yang paling tinggi baik mengenai keadilan maupun mengenai
ke-dhabith-nya.
2. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajat ke-dhabith-an yang
menengah
3. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajajt ke-dhabith-an yang
paling rendah
4. Perawi yang derajat keadilan yang menengah dan derajat ke-dhabithan ynag paling tinggi
5. Perawi yang mencapai derajat menengah dalam keduanya.
6. Perawi ynag mencapai derajat keadilan yang menengah dan derajat ke-dhabith-an yang paling
rendah
7. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling renda dan derajat ke0dhabith-an yang
paling tinggi
8. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dan derajajt ke-dhabith-an yan
menengah
9. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dalam hal keduanya.
Klaifikasi tersebut menunjukkan bahwa kualitas perawi merupakan factor yang sangat
berpengaruh dalam menetapkan kualitas suatu hadits.

B. TAHAMMUL WA AL-ADA'
1. Pengertian Tahammul wa al-Ada’
Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru
dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.Muhammad ‘Ajaj al-Khatib
memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits. Jadi tahammul adalah
proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu.
Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.
Menurut Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.
Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.

At-Tahammulal-Hadist
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala ( ‫ ﺗَ َﺤ ُﻤﻼ‬- ‫ ﻳَﺘ ََﺤ َّﻤ ُﻞ‬- ‫) ﺗ ََﺤ َّﻤ َﻞ‬
yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti
tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan
tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir
mushtholah hadits adalah:

‫ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺗﻠﻘﻰ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﺍﺧﺬﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﻴﻮﺥ‬: ‫ﺍﻟﺘﺤﻢﻝ‬


“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru”.
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahammul adalah “mengambil atau
menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu . Dalam masalah tahammul ini
sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak
yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang
nantinya juga berimplikasi, seperti diungkapkan oleh al Karmani 2 pada boleh dan tidaknya
hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebalikny

2. Syarat-syarat Tahammul wal Ada’ al-hadis


Syarat-syarat Tahammulul-Hadits
Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam hal ini
mayoritas ulama hadits, ushul, dan fiqh memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat
dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
1) Ketahanan ingatan informator ( Dlabitur Rawi)
2) Integritas keagamaan ( ‘Adalah ) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas ( Tsiqatur
Rawi).
3) Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia
meriwayatkan dari segi artinya saja ( bil ma’na ).
4) Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang
dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya
pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan
mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain
adalah:
1) Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
2) Berakal sempurna.
3) Tamyis.

9. Takhrij Hadist
A.Pengertian
a. Secara etimologi

Kata Takhrij berasaldaribahasa Arab (‫ )خرجيخرجخروجاـ‬bermakna menampakkan, mengeluarkan,


menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan. Selainitu takhrij juga bias memiliki arti
samadengan al-istinbath (mengeluarkan), al-tadrib (meneliti), dan al-taujih (menerangkan).
Maknanya juga bisadarimakna al-ikhraj yang samadengan al-ibraz (menjelaskan) dan al-idzhar
(menampakkan).
َ َ‫اِجْ تِ َما ُعا َ ْم َر ْينِ ُمت‬
‫ضا َد ْينِفِى َش ْى ٍء َوا ِح ٍد‬
Artinya: “kumpulanduaperkara yang salingberlawanandalamsatumasalah”

B. Secarater minologi
MenurutJumhur Ulama
ِ ِ‫ ثُ َّمبَيَان َمرْ تَبَت‬.‫َّةالتيأخ َر َج ْتهبِ َسنَ ِده‬
‫هع ْن َد‬ ْ ‫صا ِد ِرهاألصْ لِي‬ ِ ْ‫التَّ ْخ ِر ْي ُجه َُوالدِّاَل لَةعَلىَ َمو‬
َ ‫ض ِعال َح ِديْثفِي َم‬
‫أخ َر َجه‬ َ ‫ـ ِذ ْكرُال ُمؤلِّفِالتييُوْ َج ُدفِي‬,‫ض ِعال َح ِديْث‬
ْ ‫ـ‬:‫ْهاذلكالح ِديْث َكقَوْ لِنا َمثال‬ ِ ْ‫الحا َج ِةال ُم َرا ُدبِالدِّاَل لَةعَلى َمو‬
‫ص ِح ْي ِحه‬
َ ‫البخاريفي‬
“Menunjukkan letak Hadits dalam sumber-sumber yang asli (sumber primer) di mana
diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Haditsdalamsumber-sumber yang asli
(sumber primer) di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits itu bila
perlu .Menunjukkan letak Hadits suatu Hadits berarti menunjukkan sumber-sumber dalam Hadit
situ diriwayatkan.(Al-Bukhori mengeluarkan Hadits dari kitab sahihnya)”
Pengertian Takhrij al-Hadits dari beberapa pengertian, di antaranya ialah:
• Suatu keterangan bahwa hadits yang dinukilkan kedalam kitab susunannya itu terdapat
dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya, penyusun hadits
mengakhiri penulisan haditsnya dengan kata-kata akhrajahul Bukhari artinya bahwa hadits yang
dinukil itu terdapat dalam kitab Jami’us Shahih Bukhari.
• Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi hadits yang tidak diterangkan oleh
penyusun atau pengarang suatu kitab.
.
C. Menurut Para Ahli Hadits
• Menunjukan asal usul hadits dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai
kitab hadits yang disusun Mukhorrijnya langsung, kegiatan takhrij seperti ini sebagaimana yang
dilakukan oleh para penghimpun hadits dari kitab-kitab hadits, misalnyaIbnu Hajar al-‘Asqalani
yang menyusun kitab Bulugh al-Maram.
•Mengemukakan hadits kepada orang banyak dengan menyebutkan peristiwanya dengan
sanad lengkap serta dengan menyebutkan metode yang mereka tempuh, inilah yang dilakukan
para penghimpun dan penyusun kitab hadits, seperti al-Bukhari yang menghimpun kitab hadits
Shahih al-Bukhari
B. UrgensiTakhrijHadits
Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi dalam kitabnya Thuruq
Takhrij Hadits Rasulillah SAW, yang penulis kutip dari buku terjemahan kitab tersebut,
“Metode Takhrij Hadits”, menjelaskan beberapa manfaat takhrij hadits diantaranya :
1.Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dimana suatu hadits
berada, beserta ulama yang meriwayatkannya.
2. Takhrij dapat menambah perbendaharaan sanad hadits-hadits melalui kitab-kitab yang
ditunjukinya. Semakin banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadits, semakin banyak pula
perbendaharaan sanad yang dimiliki.
3. Takhrij dapat memperjelaskeadaan sanad. Dengan membandingkan riwayat-riwayat
hadits yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat itu munqathi’, mu’dal dan lain-lain.
Demikian pula dapat diketahui apakah status riwayat tersebut shahih, dha’if dan sebagainya.
4.Takhrij dapat memperjelas hokum hadits dengan banyaknya riwayatnya. Terkadang
kita dapatkan hadits yang dha’if melalui suatu riwayat, namun dengan takhrij kemungkinan kita
akan mendapatkan riwayat lain yang shahih. Hadits yang shahih itu akan mengangkat derajat
hokum hadits yang dha’if tersebut kederajat yang lebih tinggi.
5.Dengan takhrij kita dapat memperoleh pendapat-pendapat para ulama sekitar hokum
hadits.
6. Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang samar. Karena terkadang kita dapati
perawi yang belum ada kejelasan namanya, seperti Muhammad, Khalid dan lain-lain. Dengan
adanya takhrij kemungkinan kita akan dapat mengetahui nama perawi yang sebenarnya secara
lengkap.
7.Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya melalui
perbandingan diantara sanad-sanad.
8.Takhrij dapat menafikan pemakaian “AN” dalam periwayatan hadits oleh seorang
perawi mudallis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas
ketersambungan sanadnya, maka periwayatan yang memakai “AN” tadi akan tampak pula
ketersambungan sanadnya.
9.Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat
C. Kitab-Kitab Takhrij Hadits
“Kutub At-Takhrij” (buku-buku takhrij), diantaranya adalah :
1. Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab; karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi Asy-Syafi’I
(wafat 548 H). Kitab Al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fiqih madzhab Asy-
Syafi’I karya Abu Ishaq Asy-Syairazi.
2. Takhrij Ahaadits Al-Mukhtashar Al-Kabir li Ibni Al-Hajib; karya Muhammad bin Ahmad
Abdul-Hadi Al-Maqdisi (wafat 744 H)
3. Nashbur-Rayah li Ahaadits Al-Hidyah li Al-Marghinani; karya Abdullah bin Yusuf Az-
Zaila’I (wafat 762 H).
4. Takhrij Ahaadits Al-Kasyaf li Az-Zamakhsyari; karya Al-Hafidh Az-Zaila’I juga. Ibnu
Hajar juga menulis takhrij untuk kitab ini dengan judul Al-Kafi Asy-Syaafi fii Takhrij
Ahaadits Asy-Syaafi.
5. Al-Badrul-Munir fi Takhrijil-Ahaadits wal-Atsar Al-Waqi’ah fisy-Syarhil-Kabir li Ar-
Rafi’I; karya Umar bin ‘Ali bin Mulaqqin (wafat 804 H).

D. Metode Takhrij
1. Dengan cara mengetahui persi pertama (tertinggi).
Perawi pertama terkadang datang dari sahabat bila hadits itu muttashil, terkadang dari tabi’in bila
hadits itu mursal setelah kita mengetahui perawi pertama dalam hadits, baru bisa kita men-
takhrijnya dengan melihat kepada kitab-kitab yang bermetode ini sebagai penunjang, yaitu:
● Kitab-kitab Al-Athrof
Dalam kitab-kitab Al-Athrof ini biasanya pengarang menyusun berdasarkan musnad para
sahabat, disusun nama-nama mereka sesuai dengan urutan huruf mu’jam sedikit sekali penyusun
yang berdasarkan huruf-huruf yang dikaitkan dengan permulaan matan seperti yang dilakukan
oleh Al-hafidz, Samsudin Abu Al-Fadl, Muhammad bin Thahir bin Ahmad Al-Maqdisy, dikenal
dengan Ibnu Al-Qaisarany (w. 507 H) pada kitab “Atha’rab al-Garaid Wa al-Alraf” karangan
Darukhutni, ia menyusunnya berdasarkan mu’jam yang dikaitkan dengan permulaan matan
begitu juga al-Hafidz Muhammad bin Ali bin al-Khusainy bin Hamzah atau dikenal dengan
Samsuddin al-Khusainy (715-765 H) dalam kitab “al-Khasysyafi fi ma’rifat al-athraf”.
● Kitab-kitab Al-Masyanid
Muhammad Abd al-Muhdi Abd al-Qadir menambahkan tentang keistimewaan kitab al-
Masyanid, yaitu :
1) Disusun secara urutan para perawi sahabat atau tabi’in bila mursal.
2) Penyusunan para sahabat ada yang berdasarkan masukannya mereka kepada Islam, ada juga
yang berdasarkan kepada khabilah.
3) Hadits-hadits yang diriwayatkan di bawah para sahabat tidak tersusun secara rapi dalam arti
berserakan, dimaksudksn hanya untuk menjaga keutuhannya saja.
4) Hadits-haditsnya tidak ada dalam kesatuan tingkatan baik itu shahih, hasan, dha’if, tapi
dihimpunnya diantara shhih, hasan, dan dha’if.
5) Tidak menghimpun semua para perawi, tapi dihimpunnya sebagian berdasarkan sejumlah
besar sahabat sebagian lagi berdasarkan sahabat yang memiliki sifat-sifat tertentu.
Kelebihan dan kelemahan metode pertama (perawi tertinggi)
Kelebihannya, yaitu :
a) Cepat menemukan karena pengarang menyebutkan orang-orang yang mentakhrij hadits
tersebut dan kitabnya sehingga tidak menemukan waktu.
b) Bisa membandingkan antara sanad-sanad yang ada.
Kelemahannya, yaitu :
a) Hanya dipakai setelah mengetahui rawi tertinggi.
b) Susunan hadits dibawah perawi merupakan susunan yang banyak, sulit menemukan hadits
yang kita maksud karena hadits-haditsnya disusun berdasar kepada metode yang tidak dapat
memperdekat. Seperti halnya kitab (Tuhfat Al-Asyraf) hadits- haditsnya disusun berdasar
perawi-perawi yang memperjauh apa yang dimaksud.
2. Dengan cara mengetahui Lafadz Hadits
Yaitu mengetahui terdahulu satu lafadz dan hadits yang dimaksud baik itu berupa kata
benda atau kata kerja terkecuali berupa kata bantu (huruf). Para pengarang kitab bermetode ini
memfokuskan kepada lafadz-lafadz yang jarang digunakan (al-gharib).
Kitab-kitab yang terkenal dalam metode ini:
a.Al-mu’jam al-mufahras li al-fadzil hadits an-nabawi karangan orientalis Dr.A.J.Weinsik
wafat 1939 H.
b. Fahras shahih muslim karangan syekh Muhammad fuad Abdul Baiq
c. Fahras sunan Abi Daud karangan ibnu Al-Bayuni yang sebagian lagi buku tersebut
disyarahkan oleh Muhammad khitab al-syubki.
Kelebihan dan kelemahan Al-mu’jam al-mufahras
Kelebihannya, yaitu:
1) Cepat sampai kepada hadits yang di maksud,karna pengarang menentukan letak hadits
yang ada dalam kitab dengan menyebutkan kitab, bab, dan halamannya.
2) Dengan hanya mengetahui bagian dari hadits (lafadznya) bisa sampai kepada hadits
yang di maksud.

Kelemahannya, yaitu :
1) Pemakainya harus mahir dalam seluk beluk bahasa arab supanya mengetahui akar
kata-kata dari suatu kalimat. Seperti mencari lafadz muta’ammi dan tentunya harus di cari dari
akar kata amida.
2) Tidak menyebutkan hadits para sahabat tapi hanya menyebutkan hadits dari setiap
sahabat yang tentunya harus merujuk kembali kepada tempat-tempat letak hadits tersebut yang
sahabatnya sudah pasti.
3) Dengan suatu kalimat terkadang tidak di ketemukan. Meski demikian tetap itu menjadi
kelebihannya.
3. Dengan cara mengetahui awal lafadz matan hadits
Metode ini digunakan ketika telah mengetahui kata-kata pertama dalam matan hadits karena
tanpa hal itu kita akan kehilangan banyak waktu. Kitab-kitab yang bermetode ini hadits-
haditsnya tersusun menurut urutan huruf hijaiyah dari huruf alif dan seterusnya.
Kitab-kitab penunjangnya antara lain:
a. Kitab-kitab yang memuat hadits-hadits terkenal dan beredar luas dari mulut ke mulut.
Kitab-kitab jenis ini banyak sekali seperti yang disebutkan oleh Mahmud Thohan, diantaranya :
Kitab al-Maqasid al-Hasana fi bayanin katsirin minahadits al-mustahirah ala al-sinah. Karangan,
Muhammad bin Abd. Rohman As-Sakhowi (w 902 H).
b. Kitab-kitab yang memuat hadits yang tersusun berdasarkan urutan mu’jam. Pengarang
menyusunnya dari berbagai sumber dengan membuang sanadnya serta disusun berdasarkan
huruf-huruf ensiklopedi, di antaranya yaitu kitab al-jami’al Shogir min Hadits al-Bazir an-
Nadzir, disusun oleh Jalaluddin Abu al-Fadl ‘Abd. al-Rahman bin Abu Bakar Muhammad al-
Khodiri al-Suyuthi al-Syafi’i. (w. 911 H).
c. Kitab kunci dan daftar isi yang disusun untuk kitab-kitab tertentu.
Para Ulama Mutaakhirin mengarang kitab ini berdasarkan huruf ensiklopedi, diantara
kitab ini : Miftah al-Tartib liahadits tarikh al-Khatib karangan Sayyid Ahmad al-Ghomari.
kekurangan metode ini, adalah :
1) Sedikitpun jika ingatan kita terhadap awal hadits berubah akan memungkinkan tidak
sampainya kepada yang dituju seperti hadits idza atakum man tardhouna dinahu wakhulqohu
fazaujuhu.
2) Jika diingatkan hanya lafadz lau atakum, apalagi idza ja’akum maka sangat
menyulitkan pencariannya.
4. Dengan cara mengetahui topik hadits
Metode ini digunakan setelah memahami topik hadis,karena tidak semua orang mampu
menentukan topic hadis pada lagi pada sebagian hadis yang topiknya kelihatan tidak jelas.seperti
hadis
Hadis ini diletakan pada kitab al-iman,kitab tauhid,kitab shalat,kitab zakat,kitab saum,kitab
al-haj.karena topiknya banyak maka harus meliahat dalam setiap topik metode ini memerlukan
kitab-kitab penujang yang tersusun berdasarkan bab-bab dan topik,
Adapun cara menunjukkan lafadz hadits dalam kitab-kitab empat belas sebagai berikut:
a) Al-Sunan. Kitab-kitab sunan terkenal seperti: Sunan Abu Daud karangan sulaiman bin al-
asy’at al-syajastani ( w.275 H).
b) Al-Mushonnafat,contonnya: al-musonnafat bin Abdullah bin Muhammad bin abi syaibah al-
kufi (w.235 H)
c) Al-Muwhaththo’at, contohnya: Al-Muwatho Imam Malik Bin Anas Al-Madani (w.176 H)
d) Al-Mushtakhrojat Alaiha. Yang dimaksud al-mushtakhrojat pada al-sunnan sebab al
mushtakhrojat pada al-mushonafat dan al-muathoa’at.
Kelemahan dan kelebihan metode ini, yaitu :
Kelebihannya : Cukup dengan mengetahui makna hadis, sehingga dapat menyimpulkan topik
yang dimaksud. Metode ini memberikan pendalaman hadis bagi pencarinya sehingga
pembahasan meluas.
Kelemahannya: Kurang memahami makna hadis tidak bisa menentukan topik makna hadis
tersebut dan terkadang tidak sama dugaan si pencari dengan pendapat pengarang tentang
peletakan dikitab tafsir ternyata ada di kitab maghozi.
5. Dengan cara mengetahui keadaan matan dan sanad
Metode ini terlebih dahulu memperhatikan keadaan dan sifat-sifat yang terdapat pada
matan atau sanad hadits, kemudian mencari makhrojnya (sumber takhrij) hadits itu pada kitab-
kitab khusus yang mengklasifikasikan semua hadits yang ada sifat-sifat itu pada matan atau
sanad.
a. Tentang Matan, yaitu :
1) Jika pada matan terdapat gejala-gejala palsu, maka mentakhrijnya dengan melihat
kitab-kitab al-maudhu’at.
2) Jika hadits al-Qudsi maka sumber takhrijnya yaitu kitab-kitab yang menhghimpun
hadits-hadits qudsi.
b. Tentang Sanad
Jika sanadnya mursal maka kitabnya seperti a-marasil karangan Abu Daud Sulaiman bin
Asy’ats al-Sajastani (w. 275 H). jika ada perawi dho’if pada sanad maka kitab-kitabnya seperti
kitab Mizan al-Itidal, karangan Adz-Dzahabi. Jika sanadnya mutawatir maka kitab-kitabnya yang
menghimpun hadits-hadits mutawatir seperti al-Azhar al-Mutanatsiro al-Khabar al-Mutawatiroh
karangan al-suyuthi atau Nudzum al-Mutanatsiroh.
c. Tentang matan dan sanad
Terkadang sifat-sifat tersebut terjadi pada matan dan sanad seperti ada kecacatan dan
kesamaran, jika dijumpai hadits seperti ini maka kitab-kitabnya seperti ‘ilal al-hadits karangan
ibnu Abi Hakim al-Razi’ disusun berdasarkan bab atau kitab al-Asma al-Mubhamah fi al-anba
al-muhkhamah karangan Khatib al-Baghdadi.
Kelemahan atau kelebihan metode ini, yaitu :
1) Kelebihan, cara ini mudah sekali mendapatkannya karena kitab-kitab yang
menghimpun hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat tertentu terlalu sedikit.
2) Kelemahan, karena cakupannya sedikit, maka hadits-hadits yang di takhrijnya sedikit
pula.

10. AL-JARH WA AL-TA’DIL


A.Pengertian
Kalimat ‘al-jarh wa Ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua
kata, yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Al-Jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar, dari kata ‫جر‬
‫ ىجر ح‬-‫ ح‬, yang berarti ‘seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan
mengalirnya darah pada luka itu’. Dikatakan juga (tulisan arab), yang berarti hakim dan yang
lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.
Secara terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang
menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan
gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Adapun ‘at-tajrih’
menyifatinseorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah atas
riwayatnya atau tidak diterima.

Lafadzh al-Jarh, menurut Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan
keadilan dan hapalannya. Men-Jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi
dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang dirawayatkannya.
Adapun rawi dikatan ‘adil adalah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat
menodai agama dan keperawiannya.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa alta’dil suatu
materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang membahas cacat atau adilnya seorang yang
meriwayatkan hadis yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadisnya.

B. Manfaat Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil


Ilmu al-Jarh wa alta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu
dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai
seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji sebagai
seorang yang adil, niscaya periwayatannya dterima, selama syarat-syarat yang lain untuk
menerima hadis terpenuhi.
Apabila kita tidak memahami ilmu al-jarh wa at-ta’dil dan tidak mempelajarinya dengan
seksama, maka akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadist ini dinilai
sama. Padahal, perjalanan hadist semenjak Nabi Muhammad SAW sampai dibukukan adalah
perjalanan yang panjang, dan diwarnai dengan situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah
wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian hadist harus diteliti secara seksama karena terjadi
pertikaian dibidang politik, masalah ekonomi dan lain-lain yang dikaitkan dengan hadist.
Akkibatnya, mereka yang menyandarkan hadist terhadap Rasulullah SAW, padahal yang
diriwayatkannya adalah riwayat yang bohong. Dan mereka melakukan itu untuk kepentingan
golongannya saja.
Jika kita mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan
antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’).
Dengan mengetahui ilmu al-Jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa mnyeleksi mana hadist shohih,
hasan, maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.

C. Metode Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil


Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dua ketetapan.
Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai seorang
yang adil (Bisy-Syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai para ahli ilmu bagi Asy-syafi’I, Ahmad
bin Hambal, dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di
kalangan para ahli ilmu sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya.
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil
yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
a. Seorang perawi yang adil, jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang
menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadist). Oleh
karena itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian
menurut pendapat para fuqaha’ yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam
mentazkiyah seorang rawi.
b. Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan
dan baik orang yang merdeka maupun budak. Selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat
mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan :
a. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi
yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu
lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b. Berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya
dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para
fuqaha sekurang-sekurangnya harus ditarjihkan oleh orang laki-laki yang adil.
Ada beberapa masalah yang berhubungan dengan men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan seorang
rawi, diantaranya apabila penilaian secara mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan ada
kalanya munfasar (disebutkan sebab-sebabnya). Tentang mubham ini diperselisihkan oleh para
ulama, dalam beberapa pendapat, yaitu:
a. Men-ta’dil-kan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat diterima, karena sebab itu
banyak sekali, sehingga kalau disebutkan semuanya tentu akan menyibukkan saja. Adapun men-
tarjih-kan tidak diterima, kalau tidak menyibukkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat
berhasil dengan satu sebab saja. Dan karena orang-orang itu berlainan dengan mengemukakan
sebab jarh, hingga tidak mustahil seorang men-tarjih-kan menurut keyakinannya, tetapi tidak
dalam kenyataan. Jadi, agar jelas apakah ia tercatat atau tidak, perlu disebutkan sebab-sebabnya.
b. Untuk ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu. Karena
sebab-sebab menta’dilkan itu bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedangkan
mentarjihkan tidak bisa dibuat-buat.
c. Untuk kedua-duanya, harus disebutkan sebab-sebabnya.
d. Untuk kedua-keduanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab si jarh dan
mu’addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Di antara sebab munculnya
kriteria mubham dan mufassar karena terjadi perbedaan pemahaman tentang penilaian terhadap
rawi.

Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam menentukannya mengenai jumlah orang yang
dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan rawi. Sebagaimana berikut:
a. Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah.
b. Cukup seorang saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab bilangan
tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadis, maka tidak pula dalam men-ta’dil-kan dan
men-tajrih-kan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
c. Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah
Adapun kalau ke-adalah-annya itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimasyhurkan
oleh ahli-ahli ilmu, tidak diperlukan lagi orang yang men-ta’dil-kan (muzakky = mua’dil).
Seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, dan lain-lain.

D. Syarat-Syarat Bagi Orang Yang Men-Ta’dil-kan dan Men - Tajirh kan


Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainnya,
melainkan harus jelas dahulu sebab-sebab penilaian tersebut. Terkadang, orang yang
menganngap orang lain cacat, malah ia sendiri cacat. Oleh sebab itu, kita tidak boleh menerima
langsung suatu perkataan sebelum ada yang menyetujuinya.
Beranjak dari sikap selektif terhadap sesuatu, ada beberapa syarat bagi orang yang men-
Ta’dil-kan (Mu’addil) dan orang yang men-jarah-kan (Jarih), yaitu:
1. Berilmu pengetahuan,
2. Takwa,
3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosakecil, dan
makruhat-makruhat,
4. Jujur
5. Menjauhi fanatik golongan,
6. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.

E. Pertentangan Antara Al-Jarh dan Al-Ta’dil


Terkadang, pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama
bisa bertentangan. Sebagian men-tajrihkan-kannya, sebagian lain men-ta’dil-kan. Bila
keadaannya seperti itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya.
Dalam masalah ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut:
a.Al-Jarh harus didahulukan secara mutak, walaupun jumlah mu’addil-nya lebih banyak
daripada jarh-nya. Sebab bagi jarih tertentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh
mu’adil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’adil tentang apa yang diberitakan menurut
lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si
mu’adil. Inilah pendapat yang dipegang mayoritas ulama.
b.Ta’dil didahulakan daripada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena
banyaknya yang men-ta’dil-kan bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan.
Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini dapat diterima, sebab yang men-ta’dil. Meskipun lebih
banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang men-tajrih.
c. Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulakan, kecuali dengan
adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai
diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.
d. Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tarjih-kan.
Melihat perbedaan tersebut, sekarang kita bisa mengetahui bahwa konsep ‘mendahulukan jarh
daripada ta’dil’ bukan merupakan konsep yang mutlak, tetapi merupakan konsep dari mayoritas
ulama.

F. Bentuk Lafazh-Lafazh Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil


Lafazh-lafazh yang digunakan untuk mentarjihkan dan menta’dilkan itu bertingkat. Menurut
Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawi, lafazh-lafazh itu disusun secara bertingkat-
tingkat yaitu 4 tingkatan, menurut Al-Hafizd Ad-Dzahaby dan Al-‘Iraqy menjadi 5 tingkatan,
sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu sebagai berikut.
Tingkat pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan
menggunakan lafazh-lafazh yang af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung ungkapan
sejenis, misalnya “Orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hapalannya”.
Tingkatan kedua, memeperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang
menunjukan keadilan dan ke-dahbit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafadz (dengan
mengulangnya) maupun semakna, misalnya “Orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya”.
Tingkatan ketiga, menunjukan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti’kuat
ingatan’, misalnya “Orang yang hafizh (kuat hapalannya)”
Tingkatan keempat, menunjukan keadilan dan kedlabitan, tetapi dengan lafadh yang tidak
mengandung arti kuat ingatan dan adil, misalnya “Orang yang sangat jujur”
Tingkatan kelima, menunjukan kejujuran rawi, tetapi dengan lafazh yang tidak terfaham
adanya kedlabithan, misalnya “Orang yang berstatus jujur”
Tingkatan keenam, menunjukan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut d
iatas yang diikuti dengan lafadh “insya Allah”, atau lafadh tersebut di-tashir- kan (pengicilan
arti), atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya “Orang yang jujur, insya
Allah”.

Anda mungkin juga menyukai