1. Deva Indriana
2. Dikki Aditya Tarigan
3. Ella Wulandari
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana berkat
rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Al-Hukmu bi al-
washilah hukmun bi al-maqashid”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah
Qawaid Fiqihiyah Fil Muamalah yang diampu oleh bapak dosen Heri Siswan, M.H.I Kami
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman dan seluruh pihak yang turut membantu dalam
penyusunan makalah ini, dan khususnya kepada ibu dosen yang telah mengarahkan serta
membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak untuk kami
jadikan pelajaran agar menjadi lebih baik kedepannya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I.....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN....................................................................................................................................3
A. Dasar Qaidah :.................................................................................................................................3
B. Penerapan Qaidah Fiqhiyyah Muamalah.........................................................................................5
BAB III..................................................................................................................................................9
PENUTUP.............................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Perbincangan seputar teori maqâshid syarî‟ah hingga kini masih layak untuk dilakukan
hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana syariat Islam sejalan dengan kemajuan zaman.
Teori maqâshid syarî‟ah Syathibi secara global didasarkan pada dua hal yaitu masalah ta‟lil
(penetapan hukum berdasarkan illat), dan almashâlih wa al-mafâsid (kemashlahâtan dan
kerusakan). Selanjutnya ia menjelaskan cara untuk mengetahui maqâshid dengan enam cara
yaitu: tujuan syariah harus sesuai dengan bahasa arab, perintah dan larangan syarî‟ah dipahami
sebagai ta‟lil (mempunyai illat) dan dzahiriyah (teks apa adanya), maqâshid al-ashliyah (tujuan
asal) wa al-maqâshid al-tabi'iyyah (tujuan pengikut), sukut al-syâri‟ (diamnya syâr‟i), al-istiqra‟
(teori induksi), mencari petunjuk para sahabat Nabi. Untuk operasionalisasi ijtihad al-maqâshidy,
Syathibi mensyaratkan empat syarat sebagai berikut: teks-teks dan hukum tergantung pada
tujuannya, mengumpulkan antara kulliyât al-'âmmah dan dalil-dalil khusus, mendatangkan
kemashlahâtan dan mencegah kerusakan secara mutlak dan mempertimbangkan akibat suatu
hukum.
Secara etimologi, maqâshid syarî‟ah merupakan istilah gabungan dari dua kata:
almaqâshid dan al-syarî‟ah. Maqâshid adalah bentuk plural dari maqshud, qashd, maqshd atau
qushûd yang merupakan derivasi dari kata kerja qashada yaqshudu, dengan beragam makna
seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas, jalan lurus,
tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekurangan.1 Syarî‟ah, secara etimologi bermakna
jalan menuju mata air, jalan menuju mata air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah
sumber pokok kehidupan. Syarî‟ah secara terminologi adalah al-nushûsh al- muqaddasah (teks-
teks suci) dari al-Qur‟an dan al-Sunnah yang mutawâtir yang sama sekali belum dicampuri oleh
pemikiran manusia. Muatan syarî‟ah dalam arti ini mencakup aqidah, amaliyyah, dan
khuluqiyyah.2 Secara terminologi, maqâshid alsyarî‟ah dapat diartikan sebagai nilai dan makna
yang dijadikan tujuan dan hendak direalisasikan oleh pembuat Syariah (Allah swt) dibalik
pembuatan Syariat dan hukum, yang diteliti oleh para ulama‟ mujtahid dari teks-teks Syariah.3
Al-Shathibi membagi maqâshid menjadi dua: tujuan Allah (qashdu al-Syâri‟) dan tujuan
1
mukallaf (qashdu almukallaf). Tujuan Allah (qashdu al- Syâri‟) terbagi menjadi empat bagian:
Pertama; qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i al-syarî‟ah (tujuan Allah dalam menetapkan hukum).
Kedua; qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i alsyarî‟ah li al-ifhâm (tujuan Allah dalam menetapkan hukum
adalah untuk difahami). Ketiga; qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i alsyarî‟ah li al-taklîf bi muqtadlâha
(tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk ditanggung dengan segala
konsekwensinya). Keempat; qashdu al-Syâr‟i fi dukhûli almukallaf tahta ahkâmi al-syarî‟ah
(tujuan Allah ketika memasukkan mukallaf pada hukum syarî‟ah).
Didalam Maqasid Syariah terdapat beberapa kaidah, dan salah satunya adalah Al-Hukmu
bi al-washilah hukmun bi al-maqashid yang akan kami bahas pada makalah ini.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Qaidah :
1. Dalil Al-Qur’an
Al-Qur’an surah al-An’am ayat 108:
َ ُِّوا ٱهَّلل َ َع ْد ۢ ًوا بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم ۗ َك ٰ َذل
ك َزيَّنَّا لِ ُكلِّ أُ َّم ٍة َع َملَهُ ْم ثُ َّم إِلَ ٰى ۟ ُّوا ٱلَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ ِمن دُون ٱهَّلل ِ فَيَ ُسب
ِ
۟ َواَل تَ ُسب
4
Dilarangnya riba, tipuan, zalim karena memiliki kemudharatan kepada pihak-
pihak yang melakukan transaksi, maka perbuatan muamalah itu menjadi terlarang.
Tetapi sebaliknya, jika dilakukan dengan niat menolong orang yang
sedang dalam bahaya (kemudharat-an), Menolong orang yang dalam
kemudharatan adalah wajib. Maka dalam hal seperti ini melakukan perbuatan
muamalah yang asalnya hanya hukum kebolehan berubah menjadi hukum wajib.
Karena muamalah menjadi sarana untuk melakukan perbuatan yang wajib.
Kaedah ini sangat bermanfaat sekali ketika kita ingin memahami halal dan haram.
Misalnya saja tanaman tembakau. Mayoritasnya digunakan untuk bahan baku rokok.
Apakah menanam tembakau dihukumi haram karena rokok itu haram? Syaikh As
Sa’di rahimahullah berkata,
5
َواحْ ُك ْم بِهَ َذا ال ُح ْك ِم لِل َّز َوائِ ِد
ٌَما الَ يَتِ ُّم ال َوا ِجبُ ِإالَّ بِ ِه فَهُ َو َوا ِجب
“Perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka perantara itu
menjadi wajib.”
Contohnya ketika mandi junub, mencuci kaki dikatakan sempurna jika betis juga
dicuci. Sehingga mencuci betis kala mandi menjadi wajib.
Contohnya, sekarang ini jarang sekali anggur secara langsung dijadikan khamar
(minuman keras). Karenanya, hukum menanam anggur tidaklah terlarang karena
sedikit sekali atau jarang yang dijadikan khamar saat ini.
Dalam ayat ini dilarang untuk mencaci maki sesembahan orang musyrik.
Karena dari cacian tersebut nantinya mereka akan mencaci maki Allah. Padahal
mencaci maki Allah itu haram. Dari sini disimpulkan bahwa yang menjadi
perantara pada yang haram, dihukumi haram.
7
Selain sebagai bahan baku rokok, tembakau bisa menghasilkan protein anti
kanker, melepaskan gigitan lintah, obat diabetes dan antibodi, anti radang, penghilang
embun dan obat luka. Dari sini apakah perdagangan tembakau jadi tidak boleh?
Jawabannya, mayoritasnya, tembakau digunakan untuk bahan baku rokok karena
keuntungannya yang diperoleh lebih besar. Sehingga kaedah saddu adz dzaro-i’ berlaku,
yaitu jual beli tembakau tidak dibolehkan.
a) Perantara menuju yang wajib dihukumi wajib. Seperti berjalan menuju shalat wajib
dihukumi wajib.
b) Perantara menuju yang sunnah dihukumi sunnah. Seperti menjenguk orang sakit yang
dihukumi sunnah, maka berjalan menuju hal tersebut dihukumi sunnah.
c) Perantara menuju yang haram dihukumi haram. Seperti perantara menuju syirik besar,
dihukumi haram. Contoh mengagungkan kubur dan tabarruk (ngalap berkah) dengan
kubur yang tidak sampai menyembah kubur, tetap dilarang karena pelarangannya
dengan maksud saddu adz dzaro-i’ (untuk mencegah dari sesuatu yang haram yang
lebih parah).
d) Perantara menuju maksiat dihukumi haram. Seperti perantara menuju zina dengan
berdua-duaan pria dan wanita, dihukumi haram.
8
BAB III
PENUTUP
9
mukallaf yang melakukannya tidak ada niat selain menurut pengertian yang asli,
tetapi jika dilakukan dengan niat yang akan membawa kepada perbuatan yang
dilarang, seperti riba, tipuan, zhalim dan barang yang haram untuk dijual belikan,
Dilarangnya riba, tipuan, zalim karena memiliki kemudharatan kepada pihak-
pihak yang melakukan transaksi, maka perbuatan muamalah itu menjadi terlarang.
10
DAFTAR PUSTAKA
https://tafsirweb.com/2232-quran-surat-al-anam-ayat-108.html
https://rumaysho.com/10130-kaedah-fikih-18-hukum-perantara-sama-dengan-hukum-tujuan.html
11