Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“Al-Hukmu Bi Al-Washilah Hukmun Bi Al-Maqashid”

Disusun untuk memenuhi Tugas mata kuliah

Qawaid Fiqihiyah Fil Muamalah

Dosen Pengampu : Heri Siswan, M.H.I

Disusun oleh :Kelompok 9

Prodi: PS 5A Reguler Pagi

1. Deva Indriana
2. Dikki Aditya Tarigan
3. Ella Wulandari

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYEKH H.ABDUL


HALIM HASAN AL-ISHLAHIYAH BINJAI

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana berkat
rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Al-Hukmu bi al-
washilah hukmun bi al-maqashid”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah
Qawaid Fiqihiyah Fil Muamalah yang diampu oleh bapak dosen Heri Siswan, M.H.I Kami
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman dan seluruh pihak yang turut membantu dalam
penyusunan makalah ini, dan khususnya kepada ibu dosen yang telah mengarahkan serta
membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak untuk kami
jadikan pelajaran agar menjadi lebih baik kedepannya.

Binjai, 5 Desember 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I.....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN....................................................................................................................................3
A. Dasar Qaidah :.................................................................................................................................3
B. Penerapan Qaidah Fiqhiyyah Muamalah.........................................................................................5
BAB III..................................................................................................................................................9
PENUTUP.............................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Perbincangan seputar teori maqâshid syarî‟ah hingga kini masih layak untuk dilakukan
hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana syariat Islam sejalan dengan kemajuan zaman.
Teori maqâshid syarî‟ah Syathibi secara global didasarkan pada dua hal yaitu masalah ta‟lil
(penetapan hukum berdasarkan illat), dan almashâlih wa al-mafâsid (kemashlahâtan dan
kerusakan). Selanjutnya ia menjelaskan cara untuk mengetahui maqâshid dengan enam cara
yaitu: tujuan syariah harus sesuai dengan bahasa arab, perintah dan larangan syarî‟ah dipahami
sebagai ta‟lil (mempunyai illat) dan dzahiriyah (teks apa adanya), maqâshid al-ashliyah (tujuan
asal) wa al-maqâshid al-tabi'iyyah (tujuan pengikut), sukut al-syâri‟ (diamnya syâr‟i), al-istiqra‟
(teori induksi), mencari petunjuk para sahabat Nabi. Untuk operasionalisasi ijtihad al-maqâshidy,
Syathibi mensyaratkan empat syarat sebagai berikut: teks-teks dan hukum tergantung pada
tujuannya, mengumpulkan antara kulliyât al-'âmmah dan dalil-dalil khusus, mendatangkan
kemashlahâtan dan mencegah kerusakan secara mutlak dan mempertimbangkan akibat suatu
hukum.
Secara etimologi, maqâshid syarî‟ah merupakan istilah gabungan dari dua kata:
almaqâshid dan al-syarî‟ah. Maqâshid adalah bentuk plural dari maqshud, qashd, maqshd atau
qushûd yang merupakan derivasi dari kata kerja qashada yaqshudu, dengan beragam makna
seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas, jalan lurus,
tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekurangan.1 Syarî‟ah, secara etimologi bermakna
jalan menuju mata air, jalan menuju mata air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah
sumber pokok kehidupan. Syarî‟ah secara terminologi adalah al-nushûsh al- muqaddasah (teks-
teks suci) dari al-Qur‟an dan al-Sunnah yang mutawâtir yang sama sekali belum dicampuri oleh
pemikiran manusia. Muatan syarî‟ah dalam arti ini mencakup aqidah, amaliyyah, dan
khuluqiyyah.2 Secara terminologi, maqâshid alsyarî‟ah dapat diartikan sebagai nilai dan makna
yang dijadikan tujuan dan hendak direalisasikan oleh pembuat Syariah (Allah swt) dibalik
pembuatan Syariat dan hukum, yang diteliti oleh para ulama‟ mujtahid dari teks-teks Syariah.3
Al-Shathibi membagi maqâshid menjadi dua: tujuan Allah (qashdu al-Syâri‟) dan tujuan

1
mukallaf (qashdu almukallaf). Tujuan Allah (qashdu al- Syâri‟) terbagi menjadi empat bagian:
Pertama; qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i al-syarî‟ah (tujuan Allah dalam menetapkan hukum).
Kedua; qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i alsyarî‟ah li al-ifhâm (tujuan Allah dalam menetapkan hukum
adalah untuk difahami). Ketiga; qashdu al- Syâr‟i fi wadl‟i alsyarî‟ah li al-taklîf bi muqtadlâha
(tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk ditanggung dengan segala
konsekwensinya). Keempat; qashdu al-Syâr‟i fi dukhûli almukallaf tahta ahkâmi al-syarî‟ah
(tujuan Allah ketika memasukkan mukallaf pada hukum syarî‟ah).
Didalam Maqasid Syariah terdapat beberapa kaidah, dan salah satunya adalah Al-Hukmu
bi al-washilah hukmun bi al-maqashid yang akan kami bahas pada makalah ini.

2
BAB II

PEMBAHASAN

“Al-Hukmu Bi Al-Washilah Hukmun Bi Al-Maqashid”


Hukum Perantara Ditetapkan Berdasarkan Kepada Hukum Yang Dimaksud.

A. Dasar Qaidah :
1. Dalil Al-Qur’an
Al-Qur’an surah al-An’am ayat 108:
َ ِ‫ُّوا ٱهَّلل َ َع ْد ۢ ًوا بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم ۗ َك ٰ َذل‬
‫ك َزيَّنَّا لِ ُكلِّ أُ َّم ٍة َع َملَهُ ْم ثُ َّم إِلَ ٰى‬ ۟ ‫ُّوا ٱلَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ ِمن دُون ٱهَّلل ِ فَيَ ُسب‬
ِ
۟ ‫َواَل تَ ُسب‬

َ‫وا يَ ْع َملُون‬۟ ُ‫َربِّ ِهم َّمرْ ِج ُعهُ ْم فَيُنَبِّئُهُم بما َكان‬


َِ

Dan janganlah kamu memaki sembahansembahan yang mereka sembah selain


Allah, 203 karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

2. Dalil Hadis Rasulullah Saw.:


a. Hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Malik bin Anas dari Maimunah
binti Sa’ad:
ُ ‫مَ ً„ًَم ْن حا حو َل ال ِح َمى‬
َ‫ي ْو َش َّك أن َيَق َع فيه‬
Barangsiapa mengembala di sekitar tanah larangan maka ia mendekatkan diri
untuk jatuh ke dalamnya.
b. Hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Amir ra.:
Perkara yang halal itu jelas, yang haram juga jelas, dan antara keduanya
terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar), yang tidak diketahui oleh orang
banyak. Oleh karena itu siapa yang dapat menjauhi syubhat, maka bersihlah
agama dan kehormatannya dari kekurangan. Dan barang siapa terjerumus
didalam perkara syubhat bagaikan seseorang pengembala yang mengembala di
3
sekitar daerah larangan yang hampir-hampir saja masuk dalam daerah itu.
Qaidah fiqhiyyah di atas, yang menetapkan bahwa hukum perantara (washilah)
sebagaimana hukum yang dimaksud, Oleh karena itu, apabila hukum yang
dimaksud adalah haram, maka haram pula hukum perantaranya. Tetapi
sebaliknya apabila hukum yang dimaksud wajib maka wajib pula hukum
perantaranya.
Yang dimaksud washilah adalah perantara atau sarana yang
menyampaikan kepada sesuatu. Dalam hal washilah, Pendapat Ibn al-Rifa’ah
yang menerima dzari’ah, tetapi tergantung pada bentuknya, dalam hal ini, ia
membagi kepada tiga bentuk;
1) Sesuatu yang secara pasti akan membawa kepada yang haram, maka
hukumnya haram pula, dan di sini berlaku penutupan atas dzari’ah ;
2) Sesuatu yang secara pasti tidak membawa kepada yang haram, tetapi
bercampur dengan sesuatu yang dapat membawa kepada yang haram, di sini
diperlukan kehati-hatian dengan memperhatikan kebiasan-kebiasaan
menyangkut hal tersebut, kalau membawa kepada yang haram maka
dilakukan penutupan (dzari’ah), tetapi jika hal tersebut jarang membawa
kepada hal yang haram, tidak perlu dilakukan penutupan sarana, karena kalau
dilakukan, maka sudah dipandang berlebih-lebihan;
3) Sesuatu yang mengandung kemungkinan membawa kepada yang dilarang,
dan dapat pula membawa kepada sesuatu yang boleh, Apabila lebih
cenderung kepada yang haram dilakukanlah penutupan sarana , tetapi jika
lebih cenderung kepada yang boleh, maka dalam hal ini tidak perlu dilakukan
penutupan sarana.
Seseorang melakukan perbuatan muamalah, baik transaksi jual beli, sewa
menyewa, utang piutang, upah mengupah adalah dibolehkan, karena perbuatan itu
adalah termasuk dzari’ah yang diperbolehkan menurut hukum ashl-nya, dan orang
mukallaf yang melakukannya tidak ada niat selain menurut pengertian yang asli,
tetapi jika dilakukan dengan niat yang akan membawa kepada perbuatan yang
dilarang, seperti riba, tipuan, zhalim dan barang yang haram untuk dijual belikan,

4
Dilarangnya riba, tipuan, zalim karena memiliki kemudharatan kepada pihak-
pihak yang melakukan transaksi, maka perbuatan muamalah itu menjadi terlarang.
Tetapi sebaliknya, jika dilakukan dengan niat menolong orang yang
sedang dalam bahaya (kemudharat-an), Menolong orang yang dalam
kemudharatan adalah wajib. Maka dalam hal seperti ini melakukan perbuatan
muamalah yang asalnya hanya hukum kebolehan berubah menjadi hukum wajib.
Karena muamalah menjadi sarana untuk melakukan perbuatan yang wajib.

B. Penerapan Qaidah Fiqhiyyah Muamalah


: ِ‫ِصد َ ِ ُح ْ ٌكم ب‬
ِ ‫ة الح ُكم بالَو ِسْيل ال ْ َمقا‬
Hukum perantara ditetapkan berdasarkan kepada hukum yang dimaksud
1. utang piutang baik pembayarannya dengan cara satu kali pembayaran pada ketika
jatuh tempo. 207 Atau dengan pembayaran sistem kredit (cicilan) adalah perbuatan
muamalah yang hukumnya boleh. Sedangkan hukum riba adalah haram. Apabila
pemberi utang berkata kepada orang yang berutang, “Saya meminta keuntungan dari
utang ini 10 %. Utang piutang seperti ini adalah sebagai sarana terlaksananya riba,
maka hukum utang piutang menjadi terlarang/haram sebagaimana haramnya riba.
2. Jual beli adalah perbuatan yang dibolehkan, sedangkan berbuat zhalim kepada orang
adalah haram. Jika jual beli itu menjadi sarana untuk melakukan perbuatan zhalim,
maka jual beli itu hukumnya haram sebagaimana haramnya perbuatan zhalim.
Misalnya, seseorang penjual yang menjual barangnya mengatakan bahwa barang
yang dijualnya dalam kedaan baik dan untuk menarik serta meyakinkan pembeli ia
mengucapkan sumpah dengan sumpah palsu, berarti ia berbuat zhalim kepada
pembeli. Dengan demikian jual beli dengan sumpah palsu hukumnya haram.

Kaedah ini sangat bermanfaat sekali ketika kita ingin memahami halal dan haram.
Misalnya saja tanaman tembakau. Mayoritasnya digunakan untuk bahan baku rokok.
Apakah menanam tembakau dihukumi haram karena rokok itu haram? Syaikh As
Sa’di rahimahullah berkata,

ِ ‫َو َسائِ ُل األُ ُموْ ِر َكال َمقَا‬


‫ص ِد‬

5
‫َواحْ ُك ْم بِهَ َذا ال ُح ْك ِم لِل َّز َوائِ ِد‬

Hukum perantara sama dengan hukum tujuan

Hukumilah dengan hukum tersebut untuk tambahan lainnya

Kita harus pahami bahwa wasail atau perantara ada tiga macam:

1. Perantara yang mengantarkan pada tujuan secara pasti. Secara sepakat, hukum


perantara sama dengan hukum tujuan. Untuk masalah ini, para ulama
mengungkapnya dengan suatu ibarat,

ٌ‫َما الَ يَتِ ُّم ال َوا ِجبُ ِإالَّ بِ ِه فَهُ َو َوا ِجب‬

“Perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka perantara itu
menjadi wajib.”

Contohnya ketika mandi junub, mencuci kaki dikatakan sempurna jika betis juga
dicuci. Sehingga mencuci betis kala mandi menjadi wajib.

2. Perantara yang mengantarkan pada tujuan namun jarang ditemukan. Secara sepakat,


hukum antara perantara dan tujuan tidaklah sama. Perlu dipahami bahwa sesuatu yang
jarang kemunculannya tidaklah ditoleh syari’at dalam masalah hukum.

Contohnya, sekarang ini jarang sekali anggur secara langsung dijadikan khamar
(minuman keras). Karenanya, hukum menanam anggur tidaklah terlarang karena
sedikit sekali atau jarang yang dijadikan khamar saat ini.

3. Perantara yang biasanya mengantarkan pada tujuan (namun tidak selamanya atau


tidak secara mutlak seperti itu). Inilah yang masuk dalam bahasan saddu adz dzaro-
i’ yaitu perantara (wasilah) pada yang haram tetap dicegah. Apakah untuk masalah ini
berlaku kaedah hukum perantara sama dengan hukum tujuan? Para ulama berselisih
pendapat akan hal ini? Ada yang menganggap tidak termasuk dalam saddu adz
dzaro-i’, sehingga tidak sampai haram. Ulama lainnya menganggap bahwa saddu adz
6
dzaro-i’ berlaku sehingga hukum perantara tersebut sama dengan hukum tujuan.
Alasan pendapat kedua ini adalah:
a. Allah tetap melarang perantara yang biasanya (walau tidak secara mutlak) akan
mengantarkan pada yang haram. Di antaranya dapat dilihat pada firman
Allah Ta’ala,

‫ُون هَّللا ِ فَيَ ُسبُّوا هَّللا َ َع ْد ًوا بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم‬


ِ ‫َواَل تَ ُسبُّوا الَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ ِم ْن د‬

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah


selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am: 108).

Dalam ayat ini dilarang untuk mencaci maki sesembahan orang musyrik.
Karena dari cacian tersebut nantinya mereka akan mencaci maki Allah. Padahal
mencaci maki Allah itu haram. Dari sini disimpulkan bahwa yang menjadi
perantara pada yang haram, dihukumi haram.

b. Berargumen dengan saddu adz dzaro-i’ berarti telah berpegang pada dalil pokok


disamping perantaranya sebagai tambahan juga dilarang. Jadi bukan larangan
pokok saja, namun larangan tambahan pula kita amalkan.

Intinya menurut jumhur (mayoritas ulama), saddu adz dzaro-i’ tetap berlaku,


yaitu segala hal yang biasanya menuju pada tujuan yang haram tetap dilarang. Inilah
pendapat yang lebih kuat. Walau perantara ini sewaktu-waktu tidak menuju pada yang
haram, bisa saja mengantarkan pada suatu yang mubah.

Contohnya tembakau. Memang mayoritasnya, tembakau digunakan sebagai bahan


baku rokok. Kebanyakan yang menanam tembakau pun demikian tujuannya untuk dijual
sebagai bahan baku rokok. Padahal rokok –menurut pendapat terkuat- dihukumi haram
karena bahayanya yang begitu besar, lebih-lebih dilabeli dalam bungkus rokok saat ini
‘rokok itu membunuhmu’. Lihat bahasan “Masih Rokok Akan Haramnya Rokok”.

7
Selain sebagai bahan baku rokok, tembakau bisa menghasilkan protein anti
kanker, melepaskan gigitan lintah, obat diabetes dan antibodi, anti radang, penghilang
embun dan obat luka. Dari sini apakah perdagangan tembakau jadi tidak boleh?
Jawabannya, mayoritasnya, tembakau digunakan untuk bahan baku rokok karena
keuntungannya yang diperoleh lebih besar. Sehingga kaedah saddu adz dzaro-i’ berlaku,
yaitu jual beli tembakau tidak dibolehkan.

Dari kaedah yang kita kaji dapat diturunkan beberapa kaedah:

a) Perantara menuju yang wajib dihukumi wajib. Seperti berjalan menuju shalat wajib
dihukumi wajib.
b) Perantara menuju yang sunnah dihukumi sunnah. Seperti menjenguk orang sakit yang
dihukumi sunnah, maka berjalan menuju hal tersebut dihukumi sunnah.
c) Perantara menuju yang haram dihukumi haram. Seperti perantara menuju syirik besar,
dihukumi haram. Contoh mengagungkan kubur dan tabarruk (ngalap berkah) dengan
kubur yang tidak sampai menyembah kubur, tetap dilarang karena pelarangannya
dengan maksud saddu adz dzaro-i’ (untuk mencegah dari sesuatu yang haram yang
lebih parah).
d) Perantara menuju maksiat dihukumi haram. Seperti perantara menuju zina dengan
berdua-duaan pria dan wanita, dihukumi haram.

8
BAB III

PENUTUP

Qaidah fiqhiyyah di atas, yang menetapkan bahwa hukum perantara


(washilah) sebagaimana hukum yang dimaksud, Oleh karena itu, apabila hukum
yang dimaksud adalah haram, maka haram pula hukum perantaranya. Tetapi
sebaliknya apabila hukum yang dimaksud wajib maka wajib pula hukum
perantaranya.
Yang dimaksud washilah adalah perantara atau sarana yang
menyampaikan kepada sesuatu. Dalam hal washilah, Pendapat Ibn al-Rifa’ah
yang menerima dzari’ah, tetapi tergantung pada bentuknya, dalam hal ini, ia
membagi kepada tiga bentuk;
4) Sesuatu yang secara pasti akan membawa kepada yang haram, maka
hukumnya haram pula, dan di sini berlaku penutupan atas dzari’ah ;
5) Sesuatu yang secara pasti tidak membawa kepada yang haram, tetapi
bercampur dengan sesuatu yang dapat membawa kepada yang haram, di sini
diperlukan kehati-hatian dengan memperhatikan kebiasan-kebiasaan
menyangkut hal tersebut, kalau membawa kepada yang haram maka
dilakukan penutupan (dzari’ah), tetapi jika hal tersebut jarang membawa
kepada hal yang haram, tidak perlu dilakukan penutupan sarana, karena kalau
dilakukan, maka sudah dipandang berlebih-lebihan;
6) Sesuatu yang mengandung kemungkinan membawa kepada yang dilarang,
dan dapat pula membawa kepada sesuatu yang boleh, Apabila lebih
cenderung kepada yang haram dilakukanlah penutupan sarana , tetapi jika
lebih cenderung kepada yang boleh, maka dalam hal ini tidak perlu dilakukan
penutupan sarana.
Seseorang melakukan perbuatan muamalah, baik transaksi jual beli, sewa
menyewa, utang piutang, upah mengupah adalah dibolehkan, karena perbuatan itu
adalah termasuk dzari’ah yang diperbolehkan menurut hukum ashl-nya, dan orang

9
mukallaf yang melakukannya tidak ada niat selain menurut pengertian yang asli,
tetapi jika dilakukan dengan niat yang akan membawa kepada perbuatan yang
dilarang, seperti riba, tipuan, zhalim dan barang yang haram untuk dijual belikan,
Dilarangnya riba, tipuan, zalim karena memiliki kemudharatan kepada pihak-
pihak yang melakukan transaksi, maka perbuatan muamalah itu menjadi terlarang.

10
DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqih Muamalah. Banjarmasih: IAIN Antasari


Banjarmasin

https://tafsirweb.com/2232-quran-surat-al-anam-ayat-108.html

https://rumaysho.com/10130-kaedah-fikih-18-hukum-perantara-sama-dengan-hukum-tujuan.html

11

Anda mungkin juga menyukai