Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, hidayah serta inayahnya kepada kita semua sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Sholawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah
menuntun kita dari jaman Jahiliyah menuju jaman Islamiyah yaitu berupa ajaran
agama Islam.
Laporan ini disusun agar kita mengetahui dan memahami mengenai Kawin
Kontrak Menurut Pandangan Islam. Laporan ini disusun tidak mudah seperti
membalikkan telapak tangan, banyak hambatan-hambatan terutama disebabkan oleh
ketidaktahuan ilmu pengetahuan. Namun dengan segala ikhtiar, kemauan, kerja keras,
motivasi dari pihak-pihak yang terkait, dan atas kehendak-NYA saya dapat
menyelesaikan laporan ini.
Tidak ada gading yang tak retak. Kami menyadari bahwa laporan ini masih
jauh dari kata sempura bahkan masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu saya
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun.
Semoga Laporan yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amin Yarobbalalamin.

Bangkalan, 17 Desember 2014

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN
SAMPUL........................................................................................................................
i
KATA
PENGANTAR.................................................................................................................
......... ii
DAFTAR
ISI....................................................................................................................................
.. iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang..........................................................................................................................
.1
1.1 Rumusan
Masalah.................................................................................................................... 1
1.2
Tujuan.............................................................................................................................
........ 2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Kawin
Kontrak......................................................................................................... 3
2.2. Sejarah Kawin Kontrak Pada Masa Rasullullah
SAW.................................................................... 4
2.3. Landasan Hukum Kawin Kontrak Menurut Undang-Undang Dan Syariat
Islam........................... 7
2.4 Dampak Negatif Dan Positif Adanya Kawin
Kontrak.................................................................... 13
2.5. Sebab-Sebab Diharamkannya Nikah
Mutah.............................................................................. 14

BAB 3 PENUTUP
3.1.
Kesimpulan......................................................................................................................
......... 17
3.2.
Saran................................................................................................................................
........ 17

DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................................................
.... 19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Dengan berjalan waktu fenomena dan segala permasalah yang timbul semakin
kompleks. Banyak permasalahan yang terjadi pada dewasa ini belum atau bahkan
tidak terjadi sama sekali pada zaman Rasulullah SAW. dan para ulama ahli fiqh
lainnya. Sehingga sering sekali terjadi silang pendapat untuk menyelesaikannya.
Dalam kehidupan manusia, pada usia tertentu, bagi seorang pria maupun
seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan lawan jenisnya. Hidup
bersama antara seorang pria dan wanita tersebut tidak selalu ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan biologis, namun juga keinginan mendapat anak keturunannya,
maupun hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka.
Allah menetapkan adanya aturan tentang pernikahan bagi manusia. Tujuannya
untuk menyelamatkan dan mengatur kehidupan manusia. Manusia tidak boleh
berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya. Allah telah
memberikan batas dengan peraturan-peraturannya, yaitu dengan syariat yang
terdapat dalam kitab-Nya dan hadist rasul-Nya dengan hukum-hukum pernikahan.
Pernikahan adalah sunatullah, hukum alam di dunia dan merupakan ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita.
Namun, dewasa ini mulai populer adanya kawin kontrak. Atau dalam istilah
fiqih disebut dengan nikah mutah. Bagaimanakah islam menanggapi fenomena
tersebut? Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai kawin kontrak
menurut sudut pandang Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kawin kontrak?
2. Bagaimanakah sejarah kawin kontrak pada masa Rasulullah SAW?
3. Apa landasan hukum kawin kontrak menurut undang-undang dan syariat
Islam?
4. Apa dampak negatif dan positif kawin kontrak?
5. Apa penyebab dilakukannya kawin kontrak?

C. Tujuan.
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian kawin kontrak.
2. Untuk mengetahui dan memahami sejarah kawin kontrak pada masa
Rasulullah
SAW.
3. Untuk mengetahui dan memahami landasan hukum kawin kontrak menurut
undang-undang dan syariat Islam.
4. Untuk mengetahui dan memahami dampak negatif dan positif adanya kawin
kontrak.
5. Untuk mengetahui dan memahami penyebab dilakukannya kawin kontrak.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kawin Kontrak.


Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata kawin yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin, atau bersetubuh.[Anton Muliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta, Balai Pustaka,1994), 456].
Sedangkan kontrak berarti persetujuan yang bersanksi hukum antara dua
pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan. Kawin kontrak
dalam istilah fiqih dikenal sebagai nikah mutah. Dalam istilah yang lain, nikah
mutah disebut juga nikah sementara (nikah muaqqot) atau nikah terputus (nikah
munqothi).
Menurut Dr. H. Mahjuddin, M.Pd. I, kawin kontrak merupakan tradisi
masyarakat jahiliyah. [ Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah (Jakarta: Kalam Mulia, 2003),
51].Yang pengertiannya menurut Sayyid Syabiq, kawin kontrak adalah adanya
seorang pria mengawini wanita selama sehari, atau seminggu, atau sebulan. Dan
dinamakan muthah karena laki-laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan
melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah
ditentukannya.[ Sayyid Syabiq, Fikih Sunnah 6 (Bandung: PT. Al-Maarif, 1980), 63]
Nikah mutah adalah nikah untuk bersenang-senang dalam masa tertentu.
Misalnya dikatakan oleh walinya, Aku nikahkan engkau dengan Fatimah untuk
sebulan saja.[ M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta : PT
Rajagrafindo Persada,2010), 89].
Perkawinan adalah sunatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan yang
merupakan sunatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat
maslahatnya. Disini, perbedaan tingkat larangan sesuai dengan kadar kemampuan
merusak dan dampak negatif yang ditimbulkannya.
Secara istilah, kawin kontrak adalah pernikahan antara laki-laki dan
perempuan dengan menyebutkan batas waktu tertentu ketika akad nikah, misalnya
satu minggu, satu bulan, satu tahun, dan sebagainya. Apabila telah sampai pada waktu
yang ditetapkan, maka pernikahan itu putus dengan sendirinya tanpa kata thalaq dan
tanpa warisan.[Team Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah, Al Hikmah Fiqih
( Sragen: Akik Pusaka, 2008), 10]. Nikah mutah cenderung bertujuan untuk hiburan,
bersenang-senang, dan melampiaskan hawa nafsu semata.
Dalam nikah mutah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak
waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mutah ini tidak sesuai
dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam
nikah mutah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan.
Oleh karenanya nikah mutah ini dilarang oleh Islam. Dalam hal ini syaikh al-
Bakri dalam kitabnya Ianah at-Thalibinmenyatakan:


.
Kesimpulannya, nikah mutah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mutah
karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun
rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya
merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi
langgengnya pernikahan.
Kawin kontrak dalam Islam disebut dengan istilah nikah mutah. Hukumnya adalah
haram dan akad nikahnya tidak sah alias batal. Hal ini sama saja dengan orang sholat
tanpa berwudhu, maka sholatnya tidak sah alias batal. Tidak diterima oleh Allah
SWT sebagai ibadah. Demikian pula orang yang melakukan kawin kontrak akad
nikahnya tidak sah alias batal, dan tidak diterima Allah SWT sebagai amal ibadah.

B. Sejarah Kawin Kontrak Pada Masa Raulullah SAW.


Jika kita tengok sejarah awal Islam, dimana ketika itu masyarakat jahiliyah
tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita
ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita
ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-
haknya sebagaimana mestinya.
Pada zaman Rasulullah, saat itu Rasulullah mengizinkan tentaranya yang
terpisah jauh dari istrinya untuk melakukan nikah mutah, dari pada melakukan
penyimpangan. Namun kemudian Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan
pembebasan kota Mekah pada tahun 8 H / 630 M.
Nikah mutah diawal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus).
Nikah ini menjadi haram hingga hari kiamat. Demikianlah yang menjadi pegangan
jumhur (mayoritas) sahabat, tabiin dan para ulama madzhab (Shahih Fiqh Sunnah,
2: 99). Dari Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu anhu, ia berkata.
- -
.
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk
melakukan nikah mutah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah.
Kemudian sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami dari
bentuk nikah tersebut. (HR. Muslim no. 1406)
Dalam riwayat lain dari Sabroh, ia berkata bahwa dia pernah ikut berperang
bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat penaklukan kota Mekkah. Ia
berkata:
- - -
- ...
- .
Kami menetap selama 15 hari (kira-kira antara 30 malam atau 30 hari). Awalnya
Rasulullah shallallahualaihi wasallam mengizinkan kami untuk melakukan nikah
mutah dengan wanita... Kemudian aku melakukan nikah mutah (dengan seorang
gadis). Sampai aku keluar Mekkah, turunlah pengharaman nikah mutah dari
Rasulullah shallallahualaihi wasallam. (HR. Muslim no. 1406).
Saat kekhalifahan Ali mulai terdapat perdebatan soal kawin mut'ah antara Sunni dan
Syiah. Sunni mengatakan, kawin mutah telah dilarang oleh Nabi Muhammad
SAW pada berbagai kesempatan. Dan menurut Syiah, Nabi juga pernah
memperbolehkannya dalam berbagai kesempatan. Yang telah menjadi kesepakatan
sejarah, Umar bin Khatthab ra. saat menjabat Khalifah telah melarangnya.
Adapun para ulama berpendapat yang berbeda-beda tentang hukum kawin
kontrak atau nikah mutah diantaranya, ialah Ada pendapat yang membolehkan nikah
mutah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah
direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah:



:
) (! : .

.
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabiin bahwa nikah
mutah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada
sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan
Ibnu Abbas membolehkan nikah mutah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya
ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya
dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya
tersebut. Ia berkata:

inna lillahi wainna ilaihi rajiun, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu
(hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak
menghalalkan nikah mutah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana
halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang
asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah
mutah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram
hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh

Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mutah tersebut tidaklah


kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya
dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih sebagai berikut :

( )
:

Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah
mutah ketika perang Khaibar Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan
Muslim

( )

Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa r.a. berkata: Rasulullah s.a.w.
memperbolehkan nikah mutah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika
ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya HR.
Muslim.

( )
Diriwayatkan dari Rabi bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda:
wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mutah, dan
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya
barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mutah maka segera lepaskanlah, dan
jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian
mutah HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.

Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum


haram bagi nikah mutah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam
melarang nikah mutah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah
mutah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya
tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih
Muslim:

Para ulama sepakat (ijma) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah
mutah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan
hubungan badan.

C. Landasan Hukum Kawin Kontrak Menurut Undang-Undang Dan Syariat


Islam
1. Menurut undang-undang perkawinan di Indonesia.
Kawin kontrak merupakan salah satu jenis perkawinan yang masuk ke dalam
kategori perkawinan yang timpang karena tidak memenuhi ketiga aspek tersebut
melainkan hanya dilakukan berdasarkan nafsu duniawi semata.
Dalam sudut pandang hukum, kawin kontrak pada dasarnya tidak
diperkenankan oleh hukum perkawinan Indonesia yaitu yang terangkum dalam
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 1 Undang-undang
Perkawinan menyatakan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.[Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Yogyakarta:Liberty, 2007), 138].
Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa Perkawinanan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
[Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Yogyakarta: Liberty, 2007), 138].
Ketentuan diatas mengandung pengertian bahwa apabila sebuah
perkawinan dilakukan tidak berdasarkan agama dan kepercayaan dari masing-masing
pihak, maka secara hukum tidak akan diak ui keabsahannya. Ketentuan agama dalam
hal ini tidak hanya diberi pengertian terpenuhinya syarat-syarat konkrit seperti adanya
dua calon mempelai, persetujuan orang tua, maupun mahar, dan lain-lainnya, tetapi
juga harus terpenuhinya tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk
sebuah keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, kawin kontrak bukan merupakan perkawinan yang sah
karena pada dasarnya dilakukan bukan karena adanya tujuan yang mulia untuk
mematuhi perintah Tuhan dan untuk membentuk keluarga yang bahagia, melainkan
hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan yang didasari kepentingan yang bertentangan
dengan hukum perkawinan itu sendiri, misalnya demi memenuhi kebutuhan ekonomi
/hawa nafsu. Selain itu dalam hukum perkawinan dikenal adanya asas pencatatan
perkawinan yang tertuang dalam pasal 2 ayat (2 ) Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 bahwa Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.[ Kementrian Agama, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Humaniora
Utama Press, 1992),18].
Kawin kontrak bukan hanya tidak dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku tetapi proses dari perkawinannya itu sendiri berlangsung
secara diam-diam bahkan tidak banyak orang yang mengetahuinya.
Adapun pengertian sah dalam pandangan para pelaku kawin kontrak hanya
didasarkan pada terpenuhinya persyaratan dua calon mempelai, persetujuan orang
tua, penghulu, dan mahar, sehingga mereka berpikir bahwa secara agama
perkawinan tersebut sah meskipun tidak dicatat.
Ini adalah pemahaman yang keliru karena berdasarkan hukum perkawinan,
perkawinan itu akan sah apabila dicatat oleh lembaga yang berwenang melakukan
pencatatan. Mengenai asas pencatatan ini pun tertuang dalam Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 yang merupakan pelaksanaan dari pasal 2 ayat (2) Undang
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian jika dilihat dari
Syarat-syarat perkawinan yaitu yang termuat dalam pasal 6 ayat (1) yang berbunyi :
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.[ Soemiyati,
Op. Cit., 140].
Kenyataannya, kawin kontrak lebih banyak terjadi bukan berasal dari
persetujuan calon mempelai tetapi terjadi karena paksaan dari orang tua (jika pihak
perempuan) yang karena faktor ekonominya kurang mampu sehingga tega menjual
anak-anaknya sendiri untuk tujuan menyambung hidup. Persetujuan yang
terjadi pada umumnya hanya terucap secara lisan saja berdasarkan paksaan, bukan
karena hati nurani. Dan ini sudah melanggar ketentuan dari tujuan perkawinan itu
sendiri harus didasari oleh kehendak dan tujuan yang baik untuk memenuhi perintah
Tuhan. Sedangkan dari pihak laki-laki sudah jelas tujuannya hanya sebatas pemuas
nafsu biologis semata atau juga tujuan-tujuan lainnya yang hanya berorientasi
pada kepentingan sepihak. Pasal 7 ayat (1) undang-undang perkawinan menyatakan
bahwa Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(Sembilan belas) dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.
Dalam undang-undang Perkawinan dikenal asas bahwa para pihak harus
sudah aqil balig. Aqil dalam hal ini adalah berakal dan balig adalah dewasa
secara fisik.
Banyak pihak yang mengartikan dewasa itu hanya sebagai balig, padahal
kedewasaan itu ditunjang oleh aqil sehingga seseorang tersebut mempunyai akal
untuk berfikir atau mempertimbangkan sesuatu itu apakah benar atau tidak, apakah
berakibat buruk atau tidak.
Demikian pula pada masalah perkawinan, kedua calon mempelai itu dituntut
tidak hanya dewasa secara fisik tetapi juga dewasa secara pemikiran sehingga akan
mampu menjalankan bahtera perkawinannya secara sehat.Jika merujuk pada
keterangan para pelaku kawin kontrak, pada umumnya syarat aqil dan balig itu hanya
dimiliki oleh satu pihak (misalnya dari pihak laki-laki yang rata-rata sudah berusia
dewasa dan memiliki akal untuk mempertimbangkan baik dan buruknya perkawinan
kontrak namun mereka mengabaikan hal tersebut) namun di lain pihak.
Calon mempelai perempuan berusia di bawah 16 tahun atau berusia di atas
enam belas tahun namun belum memiliki kedewasaan yang cukup untuk
mempertimbangkan baik buruknya melakukan kawin kontrak sehingga mereka
menurut saja ketika orang tua memaksanya atau keadaan ekonomi menuntutnya
untuk dilakukan perkawinan komersial tersebut. Oleh karena itu jenis perkawinan ini
sangat bertentangan dengan nilai kepatutan di masyarakat, serta bertentangan dengan
agama dan hukum negara.
Di Indonesia perkawinan adalah sah apabila dilakukan sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing. UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan
hukum islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek
formalnya semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama
menetapkan tentang keabsahan perkawinan sedangkan aspek formal adalah
menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA atau catatan sipil.
Kawin kontrak merupakan sebuah fenomena terselubung dalam masyarakat
sekarang ini. Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan UU No.1 Tahun
1974, karena dalam kawin kontrak yang ditonjolkan hanya nilai ekonomi, dan
perkawinan ini hanya bersifat sementara. Menurut UU No.1 Tahun 1974, perkawinan
haruslah bersifat kekal untuk selama-lamanya.
2. Menurut syariat Islam.
Memang benar bahwa nikah mutah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam,
tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam
kitabnya Syarh Shahih Muslim:







Yang benar dalam masalah nikah mutah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan
kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar,
tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga
hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan
untuk selamanya sampai hari kiamat.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mutah, karena
ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut
perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari
kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah)
bagi para sahabat ketika itu.
Haramnya nikah mutah, menurut Bahtsul Masail DPP Ittihadul Muballighin,
berlandaskan dalil-dalil Hadits Nabi dan juga pendapat para ulama dari empat
madzhab. Dalil dari Hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya
Shahih Muslim menyatakan bahwa:

- -


. (134 / 4 )
Dari Sabrah bin Mabad Al-Juhani, ia berkata: Kami bersama Nabi
Muhammad SAW dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama
saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami
mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang
dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: Ada selimut seperti
selimut. Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan
harinya aku pergi ke Masjid Al-Haram, dan tiba-tiba aku melihat Nabi SAW sedang
berpidato di antara pintu Kabah dan Hijir Ismail. Beliau bersabda: Wahai sekalian
manusia, Aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mutah.
Maka sekarang siapa yang mempunyai istri dengan cara nikah mutah, haruslah ia
menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya janganlah
kalian ambil lagi. Karena Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mutah
sampai hari kiamat. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim , Imam Abu Dawud,
Imam Ibnu Majah, Imam al-Nasai , Imam al- Darimi, Imam Ibnu Syahin).
Dalil Hadits lainnya:



1966 / 5 ) )
Dari Ali bin Abi Tholib r.a. ia berkata kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi
Muhammad SAW melarang nikah mutah dan memakan daging keledai jinak pada
waktu perang Khaibar. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari , Imam al-
Tirmidzi , Imam Malik bin Anas , Imam Ibni Hibban, Imam al-Baihaqi, Imam al-
Daruqutni dan Imam Ibnu Abi Syaibah).
Jadi kawin kontrak atau nikah muthah itu dilarang oleh Islam. Karena dapat
merusak tujuan utama dari perkawinan itu sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam Al-Quran berikut ini:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-
Rum: 21).
Kawin kontrak dalam Islam disebut dengan istilah nikah mutah. Hukumnya
adalah haram dan akad nikahnya tidak sah alias batal. Hal ini sama saja dengan orang
sholat tanpa berwudhu, maka sholatnya tidak sah alias batal. Tidak diterima oleh
Allah SWT sebagai ibadah. Demikian pula orang yang melakukan kawin kontrak
akad nikahnya tidak sah alias batal, dan tidak diterima Allah SWT sebagai amal
ibadah.
Mengapa kawin kontrak tidak sah? Sebab nash-nash dalam Al Qur`an maupun
Al Hadits tentang pernikahan tidak mengkaitkan pernikahan dengan jangka waktu
tertentu. Pernikahan dalam Al Qur`an dan Al Hadits ditinjau dari segi waktu adalah
bersifat mutlak, yaitu maksudnya untuk jangka waktu selamanya, bukan untuk jangka
waktu sementara. Maka dari itu, melakukan kawin kontrak yang hanya berlangsung
untuk jangka waktu tertentu hukumnya tidak sah, karena bertentangan ayat Al Qur`an
dan Al Hadits yang sama sekali tidak menyinggung batasan waktu.

FATWA PARA ULAMA TENTANG NIKAH MUT'AH


1. Ulama Madzhab Hanafi :
a. Imam Al-Sarakhsi berkata:''Nikah mut'ah ini batil menurut madzhab kami''.

b. Imam Al-Kasani berkata: ''Tidak boleh nikah yang bersifat sementara yaitu
nikah mut'ah''.

c. Imam Abu Ja'far Ath-Thohawi berkata; ''Sesungguhnya semua hadis yang


membolehkan nikah mut'ah telah di mansukh (di hapus)''. Beliau juga berkata:
lihatlah umar beliaumelarang nikah mut'ah di hadapan semua sahabat, tanpa ada yang
mengingkari. Ini adalah dalil bahwasanya mereka
mengikuti larangan Umar, dan kesepakatan mereka untuk melarang hal tersebut
adalah hujjah atas di hapusnya kebolehan mut'ah .''

2. Ulama Madzhab Maliki:


a. Imam Malik bin Anas v berkata : ''Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan di
batasi waktu maka nikahnya batil ''.

b. Imam Ibnu Rusyd v berkata ; ''Hadis hadis yang mengharamkan nikah


mut'ah mencapai peringkat yang mutawatir''.

c. Imam Ibnu Abdil Barr v ; ''Adapun semua shahabat ,Thabi'in dan orang-
orang yang setelah mereka mengharamkan nikah mut'ah, di antara mereka
adalah Imam Malik dari Madinah, Abu Hanifah dan Abu Tsur dari Kufah,
Al-Auza'I dari Syam, laits bin Sa'ad dari Mesir serta seluruh ulama hadis.

3. Ulama Madzhab Syafi'I :


a. Imam Asy-Syafi'I berkata : ''Nikah mut'ah yang di larang itu adalah
semua
nikah yang di batasi dengan waktu baik pendek maupun panjang'.

b. Imam Nawawi berkata : ''Nikah mut'ah tidak di perbolehkan, karena


pernikahan itu pada dasarnya suatu akad yang bersifat mutlak, Maka tidak
sah apabila dibatasi dengan waktu.

c. Imam Al-Khothobi berkata : ''keharaman nikah mut'ah semacam


kesepakatan antara kaum muslimin, memang nikah ini di halalkan di awal
masa Islam, Akan tetapi di haramkan pada sa'at haji wada dan demikian
itu terjadi di akhirakhir masa Rasulullah n dan sekarang tidak ada
perbeda'an antar para ulama mengenai keharaman masalah ini kecuali
sedikit dari kalangan orangorang Syiah Rafidhah.

4. Ulama Madzhab Hanbali


a. Imam Ibnu Qudamah v berkata : ''Nikah mut'ah ini batil sebagaimana
ditegaskan oleh Imam Ahmad, beliau berkata : ''nikah mut'ah haram''.

b. Bahkan sebagian ulama menukil ijma tentang keharaman nikah mut'ah


seperti Imam Al-Baghowi sebagaimana di nukil Syaikh Shidiq hasan
khon, Imam Al Qurthubi, Ibnul Al-Arobi dan Sayyid Sabiq.

Majlis ulama pusat telah memfatwakan akan keharaman nikah mut'ah pada
sk fatwa
nomer: kep B-679/MUI /XI/1997.

D. Dampak Negatif Dan Positif Adanya Kawin Kontrak.


1. Dampak Positif.
Selain dampak negatif, nikah mutah pun ternyata juga mempunyai dampak postif.
Dampak positifnya adalah memerlukan seseorang, karena ia khawatir terjerumus
ke dalam fitnah dan salah satu cara pemeliharaan diri dari zina dan perbuatan keji, hal
ini adalah pendapat Jumhur ulama, sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab Al-
Mughni, yaitu Muwaffiquddin Ibnu Qudamah Rahimahullah.

2. Dampak negatif.
a. Kawin kontrak merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum wanita. Jadi
pihak wanita sangat dirugikan.
b. Kawin kontrak mengganggu keharmonisan keluarga dan meresahkan
masyarakat.
c. Kawin kontrak berakibat menelantarkan generasi yang dihasilkan oleh
perkawinan itu.
d. Kawin kontrak bertentangan dengan Undang Undang Perkawinan No.1/1974
pasal 1 dan 2.
e. Kawin kontrak dicurigai dapat menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin.
f. Kawin kontrak sangat potensial untuk merusak kepribadian dan budaya luhur
bangsa Indonesia.
g. Penyia-nyiaaan anak. Anak hasil kawin kontrak sulit disentuh oleh kasih sayang
orang tua (ayah). Kehidupannya yang tidak mengenal ayah membuatnya jauh dari
tanggung jawab pendidikan orang tua, asing dalam pergaulan, sementara mentalnya
terbelakang. Keadaannya akan lebih parah jika anak tersebut perempuan. Kalau
orang-orang menilainya sebagai perempuan murahan, bisakah dia menemukan
jodohnya dengan cara yang mudah? Kalau iman dan mentalnya lemah, tidak
menutup kemungkinan dia akan mengikuti jejakibunya.
h. Kemungkinan terjadinya nikah haram. Minimnya interaksi antara keluarga dalam
kawin kontrak apalagi setelah perceraian, membuka jalan terjadinya perkawinan
antara sesama anak seayah yang berlainan ibu, atau bahkan perkawinan anak dengan
ayahnya. Sebab tidak ada saling kenal di antara mereka.
i. Menyulitkan proses pembagian harta warisan. Ayah anak hasil kawin kontrak lebih-
lebih yang saling berjauhan sudah biasanya sulit untuk saling mengenal.
Penentuan dan pembagian harta warisan tentu tidak mungkin dilakukan sebelum
jumlah ahli waris dapat dipastikan.
k. Pencampuradukan nasab lebih-lebih dalam kawin kontrak bergilir. Sebab disini
sulit memastikan siapa ayah dari anak yang akan lahir.

E. Sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mutah


Sebagaimana telah diketahui bahwa, tujuan diutusnya Rasulullah saw adalah
rahmat bagi seluruh alam, Karena itu, maka Allah swt mengharamkan Nikah Mutah
kerna tidak sesuai dengan misi yang diemban Rasulullah saw. Memang pada mulanya
nikah ini dibolehkan, akan tetapi, hal ini hanya sebatas keringanan bagi Sahabat-
Sahabat Rasulullah saw. Dimana kita ketahui, bahwa jarak antara keislaman mereka
masih dekat dengan kebiasaan-kebiasaan yang mereka tumbuh didalamnya sebelum
datangnya islam.
Keringanan ini juga hanya terjadi dalam peperengan, maka tidak masuk akal
dalam keadaan seperti ini, meminta mereka menahan syahwat mereka dengan
berpuasa. Karena tidak benenar dalam peperengan melemahkan seorang Mujahid
dengan cara apapun dan dalam keadaan apapun. Keadaan inilah yang menjadi dasar
dibolehkannya Nikah Mutah.
Setelah hilangnya sebab-sebab di atas, Allah menghapusnya melalui
firmannya dan Lisan Rasulnya saw. Karena, Nikah Mutah menyusahkan perempuan
dan anak yang lahir dari mereka. Dan setelah diharamkan, tidak ada dari sahabat dan
tabiin yang melakukan itu lagi.
Bila dilihat dari definisi Nikah Mutah, pernikahan seperti ini terjadi
kontradiksi terhadap arti nikah sesungguhnya. Sebab tujuan sebuah pernikahan adalah
suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan diatas landasan
niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya memetik buah kejiwaan
yang telah digariskan Allah swt dalam Al-Qur'an yaitu ketentraman, kecintaan, dan
kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi berkembangnya
keturunan dan kelangsungan hidup manusia [Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum
Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2002. hlm 25].
Seperti Firman Allah SWT [QS.An-Nahl : 76]
Artinya:
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak
dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja
dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu
kebajikanpun. samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan
dia berada pula di atas jalan yang lurus?.QS. An-Nahl : 76
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.QS.An-Nissa : 1
maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang
rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada
pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang
dari padanya Adam a.s. diciptakan.
menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya
kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya
saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
Dalam prinsip-prinsip sebuah pernikahan, Nikah Mut'h, sangat tidak sesuai
dengan nikah yang telah Allah swt syari'atkan. Dimana diketahui bahwa, Nikah
mut'ah dibatasi oleh waktu, dengan demikian, Nikah Mut'ah berakhir dengan
habisnya waktu yang ditentukan dalam aqad atau faskh, sedangkan dalam syari'at,
pernikahan berakhir dengan talak atau meninggal dunia, dengan kata lain tidak
dibatasi oleh waktu.
Selain dibatasi oleh waktu, Nikah Mut'ah juga tidak membatasi jumlah istri
yang boleh dinikahi. Maka boleh bagi seorang pria menikah lebih dari empat orang
istri. Dan ini dapat dilakukan tanpa wali atau tanpa persetujuan walinya, dan dalam
pernikahan ini tidak diperlukan saksi, pengumuman, perceraian, pewarisan dan
pemberian nafkah setelah selesainya waktu yang telah disepakati. Kecuali
sebelumnya telah terjadi kesepakatan atau apabila si perempuan itu hamil.
Bila ditinjau dari segi mudhoratnya (dampak negatif), Nikah Mut'ah
merupakan bentuk pelecehan terhadap kaum wanita, merusak keharmonisan keluarga,
menelantarkan generasi yang dihasilkan dari pernikahan tersebut, menimbulkan dan
menyebarkan penyakit kelamin, meresahkan masyarakat, dan karena tidak diwajibkan
adanya wali dan saksi, bisa jadi, seseorang mengumpulkan antara dua bersaudara,
atau antara anak dan ibunya atau bibinya dan tidak menutup kemungkinan, ia
menikahi anaknya sendiri dari hasil Pernikahan Mut'ah yang dilakukan sebelumnya,
bahkan, bisa jadi ia mengumpulkannya dengan ibunya karena ketidak tahuannya dan
tidak adanya orang yang mengetahuinya.
Dengan demikian, jelaslah bagi kita sebab-sebab diharamkannya Nikah
Mut'ah, selain tidak sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah saw (rahmatan
lilalaamin) dan syari'at yang dibawanya, Nikah Mut'ah juga memiliki banyak
mudhorat (dampak negatif), yang berdampak pada Agama, masyarakat maupun
akhlak, oleh kerna itu, Rasulullah saw mengharamkannya, karena didalamnya
terdapat berbagai macam kerusakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
1. Kawin Kontrak adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan dengan
menyebutkan batas waktu tertentu ketika akad nikah, misalnya satu minggu, satu
bulan, satu tahun, dan sebagainya. Jika massanya sudah selesai, maka dengan
sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.
2. Sejarah kawin kontrak: pada zaman Rasulullah, saat itu Rasulullah mengizinkan
tentaranya yang terpisah jauh dari istrinya untuk melakukan Kawin kontrak, dari
pada melakukan penyimpangan. Namun kemudian Rasulullah mengharamkannya
ketika melakukan pembebasan kota Mekah pada tahun 8 H / 630 M. Kawin kontrak
diawal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Kawin ini menjadi haram
hingga hari kiamat.
3. Kawin kontrak atau nikah muthah haram hukumnya. Karena sangat bertentangan
dengan Al-Quran.
4. Kawin kontrak selain mempunyai dampak negatif, disisi lain ada dampak positifnya.
Tetapi dampak positif ini hanya berlaku pada saat perang pada zaman Rasulullah
karena untuk mmbangkitkan semangat para sahabat yang jauh dari istrinya untuk
jihad dijalan Allah SWT.
5. Jelaslah bahwa kawin kontrak itu hukumnya haram. Maka dari itu, orang yang
melakukan kawin kontrak sesungguhnya bukan menikah secara halal, tapi telah
berbuat zina yang merupakan dosa besar dalam Islam. Nauzhu billahi min dzalik.
Allah SWT berfirman (yang artinya),Dan janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang sangat keji dan suatu jalan yang buruk.
(QS Al Israa` [17] : 32).

B. Saran
Kawin Kontrak merupakan pernikahan yang dilarang oleh Islam. Jadi harus
ditemukan jalan keluar untuk mencegah maraknya kawin kontrak. Solusinya adalah
dengan mengadakan seminar dan penyuluhan mengenai hukum kawin kontrak serta
menjelaskan sebab akibat kawin kontrak. Dengan tujuan tersebut supaya masyarakat
sadar bahwa sebuah perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral.
Hendaklah kita semua dapat memilih jalan yang benar dan dan diridhoi Allah
dalam menyalurkan nafsu seksual kita, yaitu pernikahan yang sah, bukan pernikahan
secara kawin kontrak. Walaupun kawin kontrak itu dapat menghasilkan materi (uang)
dan kenikmatan, tapi ingatlah itu hanya sesaat di dunia yang fana ini. Akibatnya di
akhirat bukanlah surga, melainkan neraka. Camkan sabda Nabi Muhammad SAW,
Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, yaitu
mulut dan kemaluan. (HR Tirmidzi, no 2072, hadits shahih). Wallahu alam.
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.

Kementrian Agama. Kompilasi Hikum Islam. Bandung: Humaniora Utama Press,


1992.

Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah. Jakarta: Kalam Mulia, 2003.


Muliono, Anton. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka,1994Sabiq,
sayyid.
Fikih Sunnah 6. Bandung: PT. Almaarif, 1980.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta:


Liberty, 2007.

Team Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah. Al Hikmah Fiqih. Sragen: Akik
Pusaka, 2008.

Tihami, M. A. dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Sumber lain:

http://ekspresihati.info/renungan/poligami-nikah-siri-dan-kawin-kontrak.html
http://rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3651-bentuk-nikah-yang-terlarang-2-
kawin-kontrak.html
http://www.antaranews.com/news/166046/kawin-kontrak-menyimpang-dari-ajaran-
islam
http://www.kosmaext2010.com/mutah-atau-kawin-kontrak-makalah-teknik-
penulisan-ilmiah.php
http://fitriap09.blogspot.com/2011/05/kawin-kontrak-menurut-pandangan-islam.html
http://yenigaluh.forumotion.com/t376-kawin-kontrak
http://www.maswins.com/2011/09/yang-sebenarnya-tentang-nikah-mutah.html
http://hukum.kompasiana.com/2010/05/20/kawin-kontrakkatakan-tidaksebelum-
menyesal/
http://wawanhermawan90.blogspot.com/2012/01/makalah-kawin-kontrak.html
http://hidayah-cahayapetunjuk.blogspot.com/2013/05/nikah-mutah.html
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest

Anda mungkin juga menyukai