Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH USHUL FIQIH DAN QAWAID FIQIH

TALFI DAN IFTA’

Dosen pengampu:
Miftahu Khairat,S.HI.,M.Sy

Disusun oleh: kelompok 5


Fakia Wani 202241095
Nadia Selvira 202241081

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) LHOKSEUMAWE
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan atas ke hadirat Allah swt yang telah
memberikan hikmah, hidayah, kesehatan serta umur yang panjang, sehingga di
mata kuliah ushul fiqh dan qawaid fiqh Makalah yang berjudul “Talfiq dan
ifta’” ini dapat terselesaikan.
Shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan
alam yakni baginda nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya
dari alam yang jahiliah sampai kealam islamiyah yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Penyusun menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan makalah ini,
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan di masa
yang akandatang.

lhokseumawe, 26 September 2023

penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agama Islam yang diturunkan oleh Allah swt melalui Rasulullah saw agar
menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Rasulullah saw
diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat untuk menjadi petunjuk bagi umat
Islam. Petunjuk-petunjuk tersebut dapat dipahami melalui sunnah Rasul. Sunah Rasul
dipahami oleh para Sahabat dan para Tabi’in dalam persepsi yang berbeda. Maka itu
semua menimbulkan berbagai ajaran dalam Agama Islam. Kemudian para
Imam-imam salaf as-shaleh mencoba untuk menjelaskan kembali itu semua dalam
pandangan mereka yang intinya satu, yaitu ajaran Rasul. Sehingga dari berbagai
pandangan para ulama, maka lahirlah istilah madzhab.
Dalam perkembangannya, timbul permasalahan apakah seseorang boleh untuk
berpindah madzhab atau menggabungkan antara madzhab yang satu dengan yang
lainnya yang disebut dengan talfiq. Kemudian dari kaidah-kaidah yang telah
dirumuskan oleh Imam Madzhab, muncullah permasalahan-permasalahan baru. Oleh
sebab itu, diperlukan adanya fatwa-fatwa atas permasalahan tersebut demi
kemaslahatan bersama. Maka, dalam makalah ini, kami akan membahas tentang
madzhab, talfiq dan segala yang berkaitan dengan fatwa (ifta’).
A. RUMUSAN MASALAH
a. Apa yang dimaksud dengan talfiq dan Ifta’?
b. Bagaimana hukum talfi’?
c. Bagaimana yang dimaksud dengan mufti, mustafti’, fatwa dan berfatwa?

B. TUJUAN
a. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan talfiq dan Ifta’
b. Untuk mengetahui hukum talfi’
c. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan mufti, mustafti’, fatwa dan berfatwa
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Talfiq
Kata Talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau
menggabungkan . Sedangkan menurut terminologi (istilah), Di bawah ini adalah
beberapa makna Talfiq secara istilah di sisi bidang keilmuan Ushul al-fiqh:
Pertama, Talfiq berarti mengerjakan sesuatu dengan cara seperti yg tidak
dikatakan oleh seorang mujtahid, atau dengan kata
Kedua, beramal dalam satu permasalahan dengan menggunakan dua pendapat
bersama-sama atau salah satunya, dengan adanya kesan pendapat yang kedua.
Ketiga, mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat atau lebih sehingga
menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh seseorang atau imam
madzhab manapun .
Keempat, Perbuatan mencampurkan berbagai pendapat madzhab dalam sesuatu
masalah dan tidak terikat dengan pendapat satu madzhab . contoh dari talfiq dalam
segi ibadah, yaitu sebagai berikut:
1. Seseorang berwudlu tanpa menggosok (al-dalku) dengan alasan mengikuti
madzhab imam Syafi’i, setelah itu dia bersentuhan dengan perempuan tanpa
adanya syahwat, lalu dia punya anggapan wudhu’nya tidak batal dengan alasan
mengikuti pendapat imam Malik, kemudian dia pun melakukan shalat. Maka
shalat yang ia lakukan hukumnya batal lantaran dalam wudhu’nya terdapat talfiq.
Dalam arti, jika mengikuti madzhab Syafi’iyyah, wudhu’nya sudah batal karena
menyentuh perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan, jika mengikuti
madzhab Malikiyyah wudhu’nya tidak sah karena tidak melakukan al-dalku atau
menggosok.
2. Seseorang bertaqlid kepada madzhab Syafi`iyyah dengan cukup mengusap
sebagian kepala dalam berwudhu’, kemudian bertaqlid kepada madzhab
Hanafiyyah atau madzhab Malikiyyah yang berpendapat tidak batalnya wudhu’
ketika bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat. Maka praktek
wudhu’ seperti ini untuk menunaikan sholat itu tidak pernah di katakan oleh para
imam madzhab manapun. lain mengambil satu qodliyah (rangkaian) yang
mempunyai kandungan beberapa rukun atau bagian dengan dua pendapat ulama’
atau lebih supaya sampai pada hakikat sesuatu yang tidak ada seorangpun
mengatakannya. Atau mencampur adukkan perbuatan dalam satu qodliyah
(rangkaian) ibadah yang memiliki dua pendapat atau lebih, lalu pada tahap
pelaksanaan mempraktekkan dengan cara yang tak pernah dipilih dan diakui oleh
imam madzhab manapun .

Alhasil kedua contoh di atas tidak dibenarkan menurut syariat Islam karena telah
keluar dari madzhab empat dan akan berdampak menimbulkan madzhab yang
kelima.Sebagian contoh. talfiq dalam segi aktifitas sosial, yaitu sebagai berikut:
1. Seorang laki-laki menikahi perempuan dengan tanpa wali dengan alasan
mengikuti pendapat imam Abu Hanifah, kemudian praktek nikahnya juga tanpa
mengajukan mahar dan tanpa menghadirkan saksi mengikuti pendapat imam
Malik. Contoh talfiq seperti ini tidak diperbolehkan karena menimbulkan bahaya
dan menyalahi kesepakatan para ulama.
2. Membuat undang-undang pernikahan dimana akad nikahnya harus dengan wali
dan saksi dengan alasan mengikuti madzhab Syafi'iyyah, akan tetapi mengenai
sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti madzhab Hanafiyyah yang berpendapat sah
ruju'nya bil fi'li (langsung bersetubuh tanpa ada ucapan ruju’). Contoh talfiq
seperti ini juga tidak diperbolehkan dengan alasan seperti di atas karena
menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama.

B. Ruang Lingkup Talfiq


Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada
masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dhonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg
masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti
masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq . Dikarnakan bertaklid
saja dalam masalah ini tidak dibenarkan apalagi bertalfiq. Serta tidak di perbolehkan
bertalfiq lagi ketika hasilnya akan menghalalkan sesuatu yang jelas jelas
keharamannya dengan adanya nash qoth’i, seperti zina dan minuman keras.
Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang ajang bahasan talfiq di atas,
ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:
1. Hukum yang berdasar pada kemudahan dan kelapangan yang berbeda-beda
sesuai perbedaan kondisi setiap manusia. Hukum-hukum seperti inilah yang
termasuk kemurnian ibadah, karena dalam masalah ibadah seperti ini tujuannnya
adalah kepatuhan dan kepasrahan diri seorang hamba kepada Allah Swt.
2. Hukum yang didasarkan pada sikap wira’i dan ke-ihtiyatan. Hukum-hukum
seperti ini biasanya berkaitan dengan sesuatu yang dilarang Allah Swt karena
membuat mudharat. Dalam hukum ini tidak dibenarkan mengambil kemudahan
dan bertalfiq kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya larangan memakan
bangkai. Dalam hal ini Rasul bersabda : “Segala sesuatu yang aku larang
tinggalkanlah, dan segala yang aku perintahkan kerjakanlah sesuai
kemampuanmu”.
3. Hukum yang didasarkan pada kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia.
Misalnya, pernikahan, had-had dan transaksi sosial ekonomi.

C. Sudut Pandang Ulama Tentang Talfiq


Menanggapi hukum boleh tidaknya talfiq ini, ulama‘ terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu :
Pertama, kelompok yang tidak membolehkan adanya talfiq, kelompok ini diwakili
oleh syeikh Ibnu Abdul Bari, menurut beliau orang awam tidak boleh bertalfiq, karena
hal tersebut hanya akan menghilangkan taklif (pembebanan) hukum yang
diperselisihkan (mukhtalaf fih) oleh para ulama.
Pendapat pertama ini juga diperkuat oleh Imam al-Ghazali. Beliau melarang
praktik talfiq dengan alasan hal tersebut condong pada mengikuti hawa nafsu,
sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya hawa nafsu.
Sehingga setiap perkara harus dikembalikan kepada syari‘at bukan kepada hawa nafsu.
Beliau menyitir ayat al-Quran yang berbunyi :“Jika kamu berselisih paham tentang
suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah Swt”.
Kedua, kelompok yang membolehkan praktik talfiq, diantaranya adalah sebagian
ulama‘ Malikiyah, mayoritas Ashab Syafi‘i serta Abu Hanifah: mereka membolehkan
talfiq dengan alasan bahwa larangan talfiq tersebut tidak ditemukan dalam syara‘,
karenanya seorang mukallaf boleh menempuh hukum yang lebih ringan. Selain itu,
ada hadits Nabi (qauliyah maupun fi‘liyah) yang menunjukkan bolehnya talfiq. Dalam
sebuah hadits yang dituturkan oleh Aisyah, Nabi bersabda:
” Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah,
selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau
adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “. Dalam hadits lain beliau bersabda :
“Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang
mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”. DR. Wahbah Zuhaili juga
sepakat tentang kebolehan talfiq ini, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada
hajat dan darurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang
mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat
Kalau kita lihat beberapa pendapat di atas, ternyata tidak ada qoul (pendapat)
yang membolehkan talfiq secara mutlak. Oleh karena itu, ada beberapa klasifikasi
talfiq yang perlu diperhatikan. Pertama, talfiq batal secara esensi, seperti melakukan
sesuatu yang menyebabkan penghalalan barang yang haram, seperti menghalalkan
khamr, zina dan lainnya. Kedua, talfiq yang dilarang bukan pada esensinya, tetapi
karena faktor eksternal. Dalam kasus kedua ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Mengambil pendapat yang mudah-mudah seperti mengambil pendapat setiap
mazhab yang termudah bukan karena dharurat atau ‘udzur. Hal ini dilarang agar
seseorang tidak melepaskan diri dari pembebanan-pembebanan syar’i.
2. Talfiq tidak boleh berlawanan dengan keputusan hakim.
3. Talfiq tidak boleh mencabut kembali hukum atau keputusan yang telah diikuti
atau disepakati ulama.
Alhasil, demi kemaslahatan, sebenarnya masih ada ruang untuk talfiq. Apalagi
ketika berhadapan dengan kondisi dharurat, maka talfiq menjadi satu-satu pilihan
yang mesti kita tempuh asal jangan sampai bertentangan dengan spirit
syara‘(maqashid al-syari’ah). Yang penting, praktik talfiq bukan sekedar untuk
mengambil kemudahan saja, tetapi bertujuan agar keluar dari jeratan kemudharatan.

D. Jmustifikasi Dalil Syariah Pada Hukum Talfiq


Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidak ada dalil shorih yang
menunjukkan kebolehan atau pelarangan untuk melakukan talfiq. Adapun pendapat
yang mengatakan tidak boleh melakukan talfiq itu bersumber dari apa yg dikatakan
oleh ulama` Ushul di dalam ijma` mereka, dimana mereka beranggapan bahwasanya
dikhawatirkan akan timbulnya pendapat ketiga setelah terjadi perbedaan pendapat
antara dua kelompok madzhab. Maka, menurut mayoritas ulama` berpendapat tidak
boleh memunculkan pendapat yang ketiga ini akan menyalahi sesuatu yang sudah
menjadi kesepakatan ulama` (Ittifaq). Seperti contoh, Iddah (masa penantian) wanita
hamil yg ditinggal mati suaminya, dalam masalah ini ada dua pendapat dimana ulama
yang pertama berpendapat untuk menunggu setelah selesai melahirkan, dan yang
kedua berpendapat untuk menggunakan waktu yang lebih lama diantara kedua waktu
tadi (ab`adu al-ajalain). Maka dalam hal ini tidak boleh memunculkan pendapat yang
ketiga yaitu, penantiannya si perempuan tadi hanya satu bulan saja.
Akan tetapi dakwaan terhadap pelarangan terjadinya talfiq itu tidak absolut adanya,
karena kalau kita mau melihat dengan seksama, permasalahan talfiq itu sendiri baru
dicetuskan oleh para ulama’-ulama’ akhir (Muttakhirun) pada masa masa kemunduran
islam. Atau lebih jelasnya masalah talfiq ini tidak di jumpai pada zaman ulama
terdahulu (Mutaqoddimun), pada masa Rosulullah Saw dan para sahabat, juga pada
masa imam-imam madzhab dan murid muridnya. Pada masa Rosulullah Saw jelas
sekali tidak adanya praktek talfiq, karena pada masa itu masa turunnya wahyu dan
tidak membutuhkan praktik ijtihad di dalamnya. Begitu juga tidak di jumpainya
permasalahan talfiq pada masa Sahabat dan Tabi`in, karena apabila ada seseorang
yang menanyakan tentang suatu masalah kepada mereka, mereka memfatwakan
dengan tanpa keharusan mengikuti pendapat mereka dan tidak juga melemahkan
pendapat mufti yang lain. Demikian juga pada masa imam madzhabempat dan para
sahabat ijtihad lainnya, yang tidak melarang pengikutinya untuk beramal pada
madzhab yang lain, asalkan di setiap mereka mengambil pendapat dari yang lain
dengan disertai pengetahuan perbedaan mereka dalam permasalahan furu`iyyah.

E. IFTA’
1. Pengertian Ifta’
Secara etimologi kata iftâ yang berarti memberi penjelasan, memberi jawaban
dan atau berarti memberi fatwa.iftâ’ itu pada intinya adalah usaha memberikan
penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya. Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan iftâ’ ialah
kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai jawaban atas pertanyaan yang
diajukan.
Menurut ulama Hanafi, ifta’ adalah menjelaskan hukum terhadap suatu
permasalahan (bayan hukm al-mas’alah). Dalam pandangan ulama Maliki, ifta’ adalah
menginformasikan tentang suatu hukum syariat dengan cara yang tidak mengikat
(al-ikhbar bi al-hukm al-shar‘i ‘ala ghayr wajh al-ilzam).
Al-Qaradawi mendefinisikan ifta’ sebagai “menjelaskan hukum syariat tentang
satu persoalan sebagai jawaban terhadap pertanyaan seorang penanya, baik yang jelas
maupun samar, individual maupun kolektif” (bayan al-hukm al- shar‘i fi qadiyyah
min al-qadaya jawaban ‘an su’al sa’il.
Adapun pengertian Ifta 'secara etimologi adalah al-Ibanah (penjelasan), yaitu
memberikan penjelasan kepada orang lain.Atas dasar ini, Ifta' berarti memberikan
penjelasan kepada orang lain yang menanyakan suatau hal. Usamah 'Umar al-Asyqar
menambahkan bahwa ifta' bukan hanya sekedar memberikan penjelasan kepada orang
lain, tetapi juga memberikan pertolongan dan petunjuk kepada orang yang meminta
fatwa (Mustafti), atau menunjukkan jalan yang harus dilalui oleh mustafti untuk keluar
dari permasalahan yang dihadapinya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Allah ketika
menceritakan tentang kerajaan Ratu Saba' ketika menerima surat dari Raja Sulaiman
as.
‫ﻗَﺎﻟَْﺘﯿَﺎأَﯾُﱠﮭﺎاﻟَْﻤَﻸَُﻓْﺘُﻮﻧِﻔِﺄَْﻣﺮﯾَﻤﺎُﻛْﻨُﺘﻘَﺎطَﻌًﺔأَْﻣًﺮا َﺣٮﺘﱠﺘَْﺸَﮭُﺪون‬
"Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku
(ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam
majelis (ku)".
Dalam ayat diatas kata aftuni bukan bermakna memberikan penjelasan terhadap
apa yang ditanyakan Oleh Balqis, tetapi bermakna permintaan nasehat dan
pertimbangan atas suatu perkara yang besar

F. Ketentuan Ifta’
1). Mufti
Artinya orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan dari orang yang
meminta fatwa, atau orang yang memberikan fatwa.Mufti’ atau orang yang memberi
fatwa itu sesungguhnya adalah juga mujtahid atau faqih. Oleh karena itu, segala
sesuatu yang terkait dengan persyaratan seorang muftī pada dasarnya sama dengan
seperti mujtahid atau faqih. Namun demikian, Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana
dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah menyebutkan secara khusus syarat-syarat
seorang mufti, sebagai berikut ini.
1. Seorang Mufti itu hendaklah memiliki niat yang ikhlas. Sekiranya seorang mufti
tidak memiliki niat yang tulus, maka ia tidak akan mendapat cahaya.
2. Mufti hendaklah seorang yang bertindak atas dasar ilmu, penuh santun, sopan,
wibawa dan tenang.
3. Mufti hendaklah seorang yang memiliki kekuatan untuk mengetahui dan
menghadapi persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya
4. Memiliki ilmu yang cukup
5. Mengenal keadaan dan lingkungan atau kondisi sosiologis masyarakatnya.
Akan tetapi secara umum, ulama ushul fiqh mengemukakan persyaratan yang
harus dipenuhi seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan.
Persyaratan tersebut adalah. (1) baligh, berakal dan merdeka; (2) adil; dan (3)
memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk
memberikan fatwa. Berdasarkan persyaratan ini ; seorang mufti tidak harus seorang
laki-laki. Wanitapun boleh menjadi mufti asal memenuhi persyaratan di atas.
2). Mustafti’
Mustafti’ adalah individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau
meminta fatwa. Sebagaimana seorang pemberi fatwa (mufti) harus terpenuhi padanya
sejumlah syarat dan adab, maka peminta fatwa (mustafti) juga ada beberapa adab
yang harus dipenuhi. Di antara adab dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Mustafti harus merupakan orang atau pihak yang tidak mempunyai kemampuan
untuk menetapkan fatwa sendiri. Bagi orang atau pihak yang masuk klasifikasi ini
apabila mengalami atau menghadapi suatu permasalahan yang membutuhkan
jawaban hukum secara syar’i, maka wajib baginya untuk menanyakan kepada
seseorang atau lembaga yang mempunyai kapasitas dan kompetensi untuk
mengeluarkan fatwa terhadap masalah tersebut
2. Mustafti harus meneliti terlebih dahulu apakah orang atau lembaga yang dimintai
fatwa benar-benar mempunyai kompetensi untuk menetapkan fatwa. Hal ini
diperlukan untuk menghindari adanya pemberian fatwa yang tidak dilandasi oleh
dalil-dalil dan argumentasi yang jelas.
3. Mustafti tidak harus mengetahui bahwa fatwa yang akan dikeluarkan adalah
menurut madzhab tertentu. Cukup baginya untuk menjadikan fatwa yang ada
menjadi landasan untuk melaksanakan aktifitasnya.
4. Mustafti apabila mendapati adanya fatwa yang berbeda dari dua mufti atau
lembaga, maka baginya untuk mendahulukan fatwa dari seseorang atau lembaga
yang secara luas diakui lebih berkompeten dalam mengeluarkan fatwa.
5. Mustafti apabila hanya mendapati satu orang atau lembaga yang mempunyai
kompetensi dalam berfatwa dan tidak ada orang atau lembaga lain yang
mempunyai kompetensi untukberfatwa, maka dirinya terikat dengan fatwa yang
dikeluarkan oleh orang atau lembaga tersebut.
6. Jika mustafti mendapati permasalahan yang sama yang pernah difatwakan, maka
terdapat perbedaan di antara para ulama. Pertama, ada yang mengatakan harus
meminta fatwa baru lagi, dengan alasan bahwa boleh jadi pendapat mufti, baik
perorangan atau lembaga, akan berubah seiring dengan perubahan kondisi dan
zaman. Sedangkan pendapat kedua menyatakan tidak harus baginya untuk
menanyakan fatwanya lagi, dengan alasan bahwa fatwa terhadap masalah tersebut
telah ditetapkan, sehingga cukup baginya untuk merujuk fatwa yang telah ada.
7. Mustafti sebaiknya datang sendiri secara langsung kepada mufti. Apabila terpaksa
diwakilkan kepada perantara maka sebaiknya ia langsung mencermati teks
fatwanya, bukan keterangan perantara tersebut, karena dikhawatirkan keterangan
dari perantara tersebut berbeda dengan maksud dari fatwa yang sebenarnya
8. Mustafti seyogyanya berprasangka baik dan berperilaku baik kepada mufti
9. Mustafti seyogyanya tidak menuntut kepada mufti untuk menyertakan dalil dan
argumentasi hukum dalam fatwa yang dikeluarkannya
10. Jika mustafti tidak menemukan mufti di daerahnya ataupun di daerah lain,
sedangkan tidak ada cara lain untuk mengakses pendapat mufti lain dan ia tidak
mempunyai kemampuan untuk mencari hukum sendiri dalam kitab-kitab fiqih,
maka bagi orang atau pihak yang seperti ini dihukumi seperti orang atau pihak
yang belum mendapatkan petunjuk sehingga dalam masalah ini ia tidak terkena
taklif, dengan artian boleh baginya untuk menjalankan aktifitasnya sesuai
ketetapan hatinya.

3). Fatwa
Fatwa adalah jawaban hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang
ditanyakan. Dalam hal ini, ada dua hal penting yang berlu diperhatikan mengenai
fatwa, yaitu :
1. Fatwa bersifat responsive. Ia merupakan jawaban hukum (legal opinion)
yangdikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa (based
on demand). Pada umumnya fatwa dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan
yang merupakan peristiwa atau kasus yang telah terjadi atau nyata. Seorang
pemberi fatwa (mufti) boleh untuk menolak memberikan fatwa tentang peristiwa
yang belum pernah terjadi. Walaupun begitu, seorang mufti tetap disunnahkan
untuk menjawab pertanyaan seperti itu, sebagai langkah hati-hati agar tidak
termasuk orang yang menyembunyikan ilmu.
2. Dari segi kekuatan hukum, fatwa sebagai jawaban hukum (legal opinion) tidaklah
bersifat mengikat. Dengan kata lain, orang yang meminta fatwa (mustafti), baik
perorangan, lembaga, maupun masyarakatluas tidak harus mengikuti isi atau
hukum yang di berikan kepadanya. Hal ini disebabkan bahwa fatwa tidak
mengikat sebagaimana putusan pengadilan (qadha). Bisa saja fatwa seorang mufti
di suatu tempat berbeda dengan fatwa mufti lain di tempat yang sama. Namun
demikian, apabila fatwa ini kemudian di adopsi menjadi putusan pengadilan,
maka fatwa tersebut menjadi hukum positif / regulasi suatuwilayah tertentu.

4). Berfatwa
Berfatwa tidak bisa dilaksanakan oleh sembarang orang, ada syarat-syarat tertentu
seseorang boleh berfatwa, di mana jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka
tidak diperkenankan baginya untuk berfatwa. Sebab fatwa yang dikeluarkan oleh
pihak atau orang yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak dapat dijadikan
pegangan, karena fatwa tersebut dikeluarkan tanpa melalui prosedur dan kriteria yang
disyaratkan. Mengeluarkan fatwa dengan tanpa mengindahkan aturan yang
disyaratkan, maka sama saja membuat-buat hukum (tahakkum) yang dilarang oleh
agama. Oleh karenanya para salaf as-shaleh senantiasa berhati-hati dalam
mengeluarkan fatwa. Misalnya, al-Imam as-Syafi’i ketika ditanya suatu masalah
beliau tidak menjawab. Ketika ditanya kenapa tidak menjawab, beliau berkata :
“ sampai aku yakin apakah sebaiknya aku diam (tidak menjawab) atau menjawabnya.
Diceritaka al-atsram mendengar Imam Ahmad bin Hanbal sering menjawab “tidak
tahu” ketika ditanya tentang suatu masalah. Al-Haistam bin Jamil melihat Imam
Malik ditanya tentang 48 permasalahan, beliau hanya menjawab 32 permasalahan,
dan diantaranya dijawab dengan jawaban “tidak tahu”.
Kehati-hatian salaf as-shaleh dalam menjawab suatu masalah yang diajukan
merupakan cerminan penguasaan ilmu dan kehati-hatian mereka dalam mengeluarkan
fatwa, karena mereka mengetahui secara persis ancaman bagi orang yang
mengeluarkan fatwa tanpa yakin akan dalil-dalilnya.
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, 2001. Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu,
Cet. 2, halaman 427
Amir Syarifuddin, 2001. Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu,
Cet. 2, halaman 429
Aziz Dahlan et.all, (edit). 1996, Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid 5, Jakarta ; PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, halaman 1786
Aziz Dahlan et.all (edit). 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid I, Jakarta ; PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, halaman 326-327
Mahmud Yunus. 1990. Kamus Arab Indonesia. Jakarta ; PT. Hidakarya Agung,
halaman 399. Bandingkan Amir Syarifuddin. 2001. Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT.
Logos Wacana Ilmu, Cet. 2, halaman 427.

Anda mungkin juga menyukai