Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

MUNAKAHAT: ANJURAN MENIKAH, KETENTUAN MEMILIH


JODOH, KHITBAH, MAHAR, WALI, DAN SAKSI

Dosen Pengampu :

Dr. Muzdalifah Muhammadun., M.Ag

Di Susun Oleh :

NUR ALAM 18.0221.011


NUR IHFA SAFAH 18.0221.012
OKTAVIANI 18.0221.013

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

IAIN PAREPARE

2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat

taufik dan hidayahnya kepada kita semua. Dan tak lupa shalawat serta salam kami

haturkan kepada pangkuan baginda Nabi Muhammad Saw. Karena berkat

perjuangan dan usaha beliau kita semua dapat menikmati Islam dengan sebaik-

baiknya.

syukur Alhamdulillah makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya dan di

dalam makalah ini saya akan membahas tentang “Munakahat: Anjuran

Menikah, Ketentuan Memilih Jodoh, Khitbah, Mahar, Wali, dan Saksi” saya

mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dosen mata kuliah yang telah

memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada saya untuk membuat makalah

ini. Dengan rendah hati, saya ingin menyampaikan beribu maaf apabila terjadi

kesalahan dan kekeliruan pada penulisan makalah ini. Saya juga mohon kritik dan

sarannya dalam penyempurnaan makalah inin, karena saya masih tahap belajar.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Pembahasan

BAB II PEMBAHASAN

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya

mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).

Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga

untuk arti akad nikah.

Menurut istilah hukum islam, pernikahan menurut syara’ yaitu akad yang

ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan

perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

Abu yahya zakariya Al-Anshary mendefinisikan, nikah menurut istilah syara’

ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual

dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.

Pernikahan merupakan sunah nabi yang sangat dianjurkan pelaksanaannya

bagi umat islam. Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah, dan sarana paling

agung dalam memelihara keturunan dan memperkuat antar hubungan antar

sesama manusia yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan cinta dan kasih

saying. Bahkan Nabi pernah melarang sahabat yang berniat untuk meninggalkan
nikah agar bisa mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah kepada

Allah,karena hidup membujang tidak disyariatkan dalam agama oleh karena

itu,manusia disyariatkan untuk menikah.

Menurut Zakiah Daradjat, nikah yaitu akad yang mengandung ketentuan

hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau tazwij atau

semakna dengan keduanya. Muhammad Abu Israh memberikan pengertian yang


lebih luas, yang juga dikutip oleh Zakiah Daradjat yang mendefinisikan nikah
merupakan akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan

hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong

menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban

masing-masing. Dibalik anjuran Nabi kepada umatnya untuk menikah, pastilah

ada hikmah yang bisa diambil. Diantaranya yaitu agar bisa menghalangi mata dari

melihat hal-hal yang tidak di ijinkan syara’ dan menjaga kehormatan diri dari

jatuh pada kerusakan seksual.Islam sangat memberikan perhatian terhadap

pembentukan keluarga hingga tercapai sakinah, mawaddah, dan warahmah dalam

pernikahan. Dalam makalah ini, pemakalah akan membahas tentang pernikahan

baik dari segi pengertian, hukum, rukun, syarat, dan lain-lainnya berdasarkan

hadits Nabi.

B. Rumusan Masalah

1. Hadis-hadis apa sajakah yang membahas tentang anjuran menikah

2. Hadis-hadis apa sajakah yang membahas tentang ketentuan memilih jodoh

3. Hadis-hadis apa sajakah yang membahas tentang Khitbah

4. Hadis-hadis apa sajakah yang membahas tentang Mahar

5. Hadis-hadis apa sajakah yang membahas tentang Wali

6. Hadis-hadis apa sajakah yang membahas tentang saksi

C. Tujuan Pembahasan
BAB II

PEMBAHASAN

1. Hadis Tentang Anjuran Menikah

a. Pengertian Nikah

Keluarga adalah bentuk dari miniatur masyarakat. Dimana didalamnya kita

bisa belajar untuk menjadi masyarakat yang baik. Didalam keluarga kita belajar

menjadi pemimpin adil dan bijaksana, belajar menjadi guru, dll. Didalam Agama

Islam suatu keluarga harus didahului oleh suatu ikatan yang sering disebut dengan

pernikahan melalui Ijab Qobul. Pernikahan itu merupakan upacara yang suci yag

harus dihadiri olehkedua calon pengantin. Harus ada penyerahan dari pihak

pengantin putri (Ijab) dan harus ada penerimaan dari pihak pengantin putra atau

disebut juga dengan Qobul Peristiwa bersejarah ini sudah diatur di dalam agama

Islam.1

Banyak ayat-ayat Al-Quran yang membahas tentang pernikahan dan hal-hal

yang terkait dengan pernikahan. Begitu pula dengan hadist-hadist Nabi banyak

yang membahas tentang masalah pernikahan dan hal-hal yang terkait dengan

pernikahan. Tetapi sebelum menanjak kepada masalah pernikahan biasanya 2

orang (sepasang kekasih) saling ta’arufan terlebih dahulu. Biasanya ini dilakukan

untuk saling mengenal asat dengan yang lainnya.

1
Fuad Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami (Yogyakarta : Mitra
Pustaka, 1996) hal.2
b. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut agama islam ialah untuk memenuhi petunjuk

agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia.

Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota kelurga sejahtera,

artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin dikrenakan terpenuhinya kebutuhan

hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahgiaan yakni kasih sayang

antara anggota keluarga. Sebenarnya tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan

menjadi lima yaitu :

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan

b. Memenuhi hajat manusia untuk dapat menyalurkan syahwatnya dan

menumpahkan kasih sayangnya.

c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan

kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang

halal.

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas

dasar cinta dan kasih sayang.2

c. Hadis tentang nikah


a. Hadis Aisyah tentang nikah sebagai sunnah Nabi.

‫ْس ِم ِن ْي‬َ ‫سنَّ ِتي فَلَي‬


ُ ‫س َّن ِت ْي َف َم ْن َل ْم َي ْع َم ْل ِب‬ ِ ‫سلَّ َم‬
ُ ‫النكَا ُح ِم ْن‬ َ ‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ت قَا َل َر‬ ْ َ‫شةَقَال‬َ ‫َع ْن َعا ِئ‬
‫ص ْو َم لَهُ ِو َجا ٌء‬ ِ ‫ط ْو ٍل فَ ْليَ ْن ِك ْح َو َم ْن لَ ْم يَ ِجدْ فَعَلَ ْي ِه بِا‬
َّ ‫لصيَ ِام فَإِ َّن ال‬ َ ‫َوتَزَ َّو ُج ْوا فَإِ نِ ْي ُمكَا ئِ ٌر بِ ُك ُم اْالُ َم َم َو َم ْن َكانَ ذَا‬
ِ ‫(ا َ ْخ َر َجهُ اِ ْبنُ َما َج ْه فِ ْي ِكت َا‬
‫ب النِكا‬

Artinya: Dari Aisyah berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallama


Bersabda: Menikah adalah sunnah-Ku, barang siapa tidak mengamalkan sunnah-Ku
berarti bukan dari golongan-Ku. Hendaklah kalian menikah sungguh dengan jumlah

2
Abdul Rahman Gozali, Fiqh Munakahat (Jakarta :Kencana, 2010) hal 22-24
kalian aku berbanyak-banyakan umat. Siapa memiliki kemampuan harta hendaklah
menikah, dan siapa yang tidak memiliki hendaknya puasa, karena puasa itu
merupakan perisai. (H.R. Ibnu Majah).

b. Penjelasan Hadis

Dari hadits Aisyah menegaskan bahwa menikah merupakan sunnah Nabi

dan siapa saja yang mampu menjalankan pernikahan dan sanggup membina

rumah tangga maka segeralah menikah, karena akan di akui sebagai umat Nabi

Muhammad saw, tapi jika tidak mampu Nabi menganjurkan untuk berpuasa,

karena dengan berpuasa itu bisa menjadi kendali dari hawa nafsu.

Dalam pernikahan, ulama’ syafi’iyah membagi anggota masyarakat

kedalam 4 golongan yaitu:

a. Golongan orang yang berhasrat untuk berumah tangga serta mempunyai

belanja untuk itu. Golongan ini dianjurkan untuk menikah.

b. Golongan yang tidak mempunyai hasrat untuk menikah dan tidak punya

belanja. Golongan ini di makruhkan untuk menikah.

c. Golongan yang berhasrat untuk menikah tetapi tidak punya belanja. Golongan

inilah yang disuruh puasa untuk mengendalikan syahwatnya.

d. Golongan yang mempunyai belanja tetapi tidak berhasrat untuk menikah,


sebaiknya tidak menikah, tetapi menurut Abu Hanifah dan Malikiah di

utamakan menikah.3

3
Teuku Muhammad Harbi As shidiqy, Mutiara Hadits 5. (Semarang :PT. Pustaka Rizki
Putra, 2003) hal 5
c. Hadis Abdullah bin Mas’ud tentang anjuran untuk menikah.

‫ب َم ِن‬ِ ‫ش َبا‬ َّ ‫سلَ َّم َيا َم ْعش ََر ال‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫َع ْن َع ْب ِد الَّرحْ َم ِن ب ِْن َي ِز ْي ِد َع ْن َع ْب ِد هللاِ قَا َل قَا َل لَنَا َر‬
ِ ‫ص ْو ِم َف‬
‫اء‬ َّ ‫صنُ ِل ْل َف ْر جِ َو َم ْن َل ْم َي ْست َِط ْع َف َع َل ْي ِه ِبا ال‬ َ ‫َض ِل ْل َب‬
َ ْ‫ص ِر َواَح‬ ُّ ‫ع ِم ْن ُك ْم ْال َبا َءة َ َف ْال َيت َزَ َّوجْ َف ِئا َّنهُ اَغ‬ َ َ ‫ا ْست‬
َ ‫طا‬
ِ ‫نَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء (اَ ْخ َر َجهُ ُم ْس ِل ٌم فِ ْي ِكت َا‬
)ِ‫ب النِكاَح‬

Artinya: Dari Abdirrahman bin Yazid, Abdullah berkata: Rasulullah


Shallallaahu 'alaihi wa Sallama bersabda pada kami: "Wahai generasi muda,
barangsiapa diantara kamu telah mampu berkeluarga, maka hendaknya ia
menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab puasa
dapat mengendalikanmu." (H.R. Imam Muslim).

d. Penjelasan Hadis

َ ‫ع ِم ْن ُك ْم ْالبَا َءة‬ َ َ ‫( َم ِن ا ْست‬Barang Siapa di antara kamu mampu al baa’ah).


َ ‫طا‬
Perintah pada hadis ini dikhususkan kepada pemuda, karena umumnya dorongan

menikah lebih banyak pada mereka dibandingkan orang tua. Meskipun hal ini

tetap berlaku bagi orang tua maupun kakek-kakek selama sebab tersebut ada pada

mereka.
َ ‫( ْالبَا َءة‬Al Baa’ah). Terkadang dibaca ‘al bah’ dan juga ‘al baa’a’ serta ‘al

baahah. Dikatakan bila dibaca panjang maknanya kemampuan menanggung biaya

nikah, dan bila dibaca tanpa tanda panjang maknanya kemampuan melakukan

hubungan intim. Al Khaththabi berkata, “ Maksud ‘al baa’ah’ adalah nikah.

Asalnya adalah tempat yang disiapkan untuk berlindung. “

Sementara Al Maziri berkata “ Akad terhadap wanita di ambil dari asal kata

“al baa’ah’, karena menjadi kebiasaan seseorang yang menikahi perempuan,

menyiapkannya tempat tinggal.4

4
Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz, Shahih Bukahri/ Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar
(Jakarta:pustaka Azzam, 2008) ha. 20
Menurut ahli bahasa golongan pemuda dalam hadits tersebut adalah

golongan yang belum mencapai tiga puluh tahun. Maka golongan pemuda

tersebut dianjurkan untuk menikah, dengan beberapa ketentuan. Anjuran ini

bukan berarti wajib melainkan sunah. Seperti pendapat Imam Nawawi dalam

kitabnya Shahih Muslim ‘Ala Syarhin bahwa hukum nikah itu dibagi menjadi

empat, yaitu:

a. Laki-laki yang mampu berjima’ dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya

dan keluarganya maka sunah hukumnya untuk menikah

b. Laki-laki yang mampu berjima’ tetapi hanya mampu memenuhi kebutuhan

dirinya sendiri dan tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya maka

makruh hukumnya untuk menikah

c. Laki-laki yang mampu memenuhi kebutuhannya dan keluarganya tetapi tidak

mampu berjima’ maka hukumnya juga makruh untuk menikah

d. Laki-laki yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya

serta tidak mampu berjima’ maka lebih baik menjauhi pernikahan.5

Hadits ini juga menerangkan bahwa Nabi SAW menandaskan, siapa saja

di antara para pemuda yang mempunyai kesanggupan untuk menikah dan

mempunyai penghasilan untuk membelanjai rumah tangga serta berkeinginan

hidup berumah tangga hendaklah menikah, tidak boleh membujang. Mereka yang
tidak sanggup memelihara rumah tangga, atau tidak mempunyai kemampuan

untuk menikah hendaklah dia berpuasa, karena puasa baginya sama dengan

mengebirikan (mensterilkan) diri. Maka tidak halal beristri bagi orang yang

merasa tidak sanggup memberi nafkah atau mas kawin, atau sesuatu hak istri

sebelum dia menerangkan kepada istri tentang keadaannya, dan hendaklah dia

5
Muhyidin an-Nawawi, Shahih Muslim ‘Ala Syarhin Nawawi, (Beirut, Lebanon: Dar al-Kotob al-
Ilmiyah, 1995), hlm. 147-149
menerangkan pula tentang keadaan kesehatan badannya, seandainya dia

mempunyai penyakit yang menghalangi persetubuhan. 6


2. Hadis Tentang Ketentuan Memilih Jodoh

Untuk memilih jodoh. Baik itu untuk laki-laki maupun perempuan. Tetapi

kebanyakan hadist menjelaskan tentang kriteria-kriteria perempuan yang “baik”

untuk di nikahi. Hadist yang terkait dengan hal ini adalah hadist yang

diriwayatkan oleh beberapa perawi hadis yang masyhurdi antaranya adalah Imam

Bukhori :

َّ ‫ي‬
ُ‫َّللا‬ ِ ‫ع ْن أ َ ِبي ه َُري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ ‫س ِعي ٍد َع ْن أ َ ِبي ِه‬
َ ‫س ِعيد ُ ْبنُ أ َ ِبي‬
َ ‫َّللاِ قَا َل َحدَّثَنِي‬ ُ ‫سدَّد ٌ َحدَّثَنَا يَحْ يَى َع ْن‬
َّ ‫عبَ ْي ِد‬ َ ‫َحدَّثَنَا ُم‬
ْ َ‫س ِب َها َو َج َما ِل َها َو ِلدِينِ َها ف‬
‫اظفَ ْر ِبذَات‬ َ ‫سلَّ َم قَا َل ت ُ ْن َك ُح ْال َم ْرأ َة ُ ِل َ ْربَعٍ ِل َما ِل َها َو ِل َح‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫َع ْن ُه َع ْن النَّ ِبي‬
ْ َ‫ِين ت َِرب‬
َ‫ت يَدَاك‬ ِ ‫الد‬

Artinya “ Di cerikan Musadad, diceritakan Yahya dari ‘abdulloh berkata bercerita


kepadaku Sa’id Ibn Abi Sa’id dari Abi Hurairah ra bahwasanya Nabi saw
bersabda wanita dinikahi karena empat perkara. Pertama hartanya, kedua
kedudukan statusnya, ketiga karena kecantikannya dan keempat karena agamanya.
Maka carilah wanita yang beragama (islam) engkau akan beruntung.”(H.R. Imam
Bukhori)7

e. Penjelasan Hadis

1. Syarah Hadist

‫(تربت يدك‬engkau akan beruntung) secara tidak langsung merupakan doa dan

dorongan untuk menjadi kaya, namun jangan melupakan agamanya. Sedangkan

untuk kata ‫سبِ َها َو َج َما ِل َها َو ِلدِي ِن َها‬


َ ‫ ِل َما ِل َها َو ِل َح‬akan lebih di terangkan dalm pembahasan
tentang muhasabah hadist.

2. Analisis Hadis

6
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits Jilid 5, (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 2003), hal. 5-6
7
Software Maktabah tsamilah
Memilih jodoh yang “baik” adalah langkah awal untuk memulai membina

rumah tangga yang diridoi Alloh. Dalam memilih calon pendamping kita perlu

cermat dan memakai kriteria yang benar, agar mendapatkan pasangan yang baik

dan sesuai. Namun hal ini memang gampang-gampang susah. Pasangan hidup

yang menjadi jodoh memang merupakn urusan Tuhan dan sudah menjadi taqdir-

Nya. Tetapi sebagai hamba yang baik kita tidak bisa diam saja menunggu jodoh

itu datang. Kita diwajibkan mencari dan memilih pasangan sesuai dengan aturan

syar’i. Para pencari jodoh sebaiknya selain rasa cinta biasanya tidak terlepas dari 4

unsur yang telah disebutkan diatas.

1. Karena hartanya

2. Karena nasabnya

3. Karena kecantikannya

4. Karena agamanya.

Keempat kriteria di atas bukan lah unsur yang wajib ada, karena semua

manusia di dunia ini tidak ada yang semourna, tetapi 4 kriteria di atas adalah hal-

hal pokok yang sangat menentukan hasil akhir. Dan ke empat unsur diatas adalah

hal yang sangat ideal.

1. Kualitas Hadis

Hadis di atas adalah hadist yang masyhur di kalangan masyarakat awam.

Dalam Kutubus Tsittah sendri terdapat sekitar 8 kali disebutkan. Dengan rincian

dalam kitab Shohih Bukhori terdapat 1 kali, dalam Shohih Muslim terdapat 2 kali,
dalam Sunan Abu Dawud 1 kali, Sunan Turmudzi 1 kali, dalam Sunan Nasai 2

kali dan dalam Sunan Ibnu Majah terdapat 1 kali.8

Dari beberapa kitab yang menyebutkan Hadis ini ataupun dari masing-

masing kitab terdapat perbedaan pada Sanad Hadist. Namun secara maknanya

sama. Menimbang dari runtutan Sanad dari hadis-hadis tersebut dan perawinya

maka bisa disimpulkan bahwa hadist tersebut adalah hadist shohih. Ini di dukung

pula dengan tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa hadist tersebut hadist

Dhoif. Hadis ini pun memenuhi syarat untuk katagori hadist shohih.

2. Asbabul Wurud

Asbabul wurud hadist ini secara mikronya belum ada penjelasan dari beberapa

sumber yang kami baca tentang asbabul wurud yang secara pasti menjelaskan

hadist di atas. Namun secara asbabul wurud makronya hadist diatas

memerintahkan kita untuk lebih berhati-hati dalam memelih pasangan hidup yang

sesuai dengan syar’i.9

3. Hadis Tentang Khitbah(Pinangan)

a. Pengertian Pinangan

Pinangan atau lamaran ialah permintaan seorang laki-laki kepada

perempuan pilihannya agar bersedia menjadi istrinya, baik dilakukan sendiri

8
Software Maktabah Tsamilah

9
Fuad Kauma dan Nipan. Membimbing istri mendampingi suami (Yogyakarta : Mitra Pustaka,
1996) hal.25
secara langsung maupun melalui orang kepercayaannya. Pinangan merupakan

akad nikah. Hal ini dilakukan agar pernikahannya nanti benar-benar berdasarkan

data dan keterangan yang nyata, sehingga kelak tidak terjadi penyesalan atau hal-

hal lain yang tidak diinginkan.

Pinangan bisa dilakukan apabila memenuhi dua syarat:

1. Perempuan yang bersangkutan belum dipinang oleh laki-laki lain secara

syar’i

Perempuan yang telah dipinang secara sah oleh laki-laki lain tidak boleh

dipinang, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW:

‫ع ْن ُه َما كَانَ يَقُو ُل‬


َ ُ‫ّللا‬ ُ َ‫ِث أَنَ ا ْبن‬
َ ‫ع َم َر َر ِض َي‬ َ ‫َح َدثَنَا َم ِكي ْبنُ إِب َْرا ِهي َم َح َدث َ َنا ا ْبنُ ُج َريْج قَا َل‬
ُ ‫س ِم ْعتُ نَافِعًا يُحَد‬

‫ع َلى ِخ ْطبَ ِة أَ ِخي ِه َحتَى يَتْ ُر‬


َ ‫الر ُج ُل‬
َ ‫ب‬ ُ ‫علَى بَي ِْع بَ ْعض َو َل يَ ْخ‬
َ ‫ط‬ ُ ‫سلَ َم أ َ ْن يَ ِبي َع بَ ْع‬
َ ‫ض ُك ْم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫صلَى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫النَ ِبي‬
‫نَهَى‬

ُ‫كَُ ا ْل َخاطِ بُ قَ ْبلَهُ أ َ ُْو يَأْذَنَُ لَهُ ا ْل َخاطِ ب‬

Artinya : Telah menceritakan kepada kami [Makki bin Ibrahim] Telah

menceritakan kepada kami [Ibnu Juraij] ia berkata, Aku mendengar [Nafi’]

menceritakan bahwa [Ibnu Umar] radliallahu ‘anhuma berkata, “Nabi shallallahu

‘alaihi wasallam telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli

saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga

ia meninggalkannya atau pun menerimanya, atau pun ia telah diberi izin oleh sang

peminang pertama.” (Al Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)

a. Penjelasan Hadis

Hanya saja, para ulama berbeda di dalam menafsirkan larangan dalam hadits
di atas, sebagian dari mereka mengatakan bahwa larangan tersebut menunjukkan
keharaman, sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa larangan tersebut

menunjukkan makruh bukan haram. Bahkan Ibnu Qasim dari madzhab Malikiyah

mengatakan : “ Maksud dari larangan hadist di atas, yaitu jika orang yang sholeh

melamar seorang perempuan, maka tidak boleh laki-laki sholeh yang lain

melamarnya juga. Adapun jika pelamar yang pertama bukan laki-laki yang sholeh

( orang fasik ), maka dibolehkan bagi laki-laki sholeh untuk melamar perempuan

tersebut. “10

b. Tidak ada halangan syar’i antara yang dipinang dengan peminang

Yang dimaksud dengan halangan-halangan syar’i antara lain

1. Perempuan yang bersuamai

2. Perempuan yang haram dinikahi (muhrim)

3. Perempuan yang masih menjalani masa iddah, baik karena ditinggal mati

suaminya atau karena dithalaq (dicerai)

2. Kode Etik Meminang

Meminang seseorang perempuan hendaknya dilakukan dengan cara yang

sopan sesuai tuntunan dan adat setempat. Pihak laki-laki sebaiknya diwakili oleh

orang tua atau walinya, demikian pula pihak perempuan. Sedangkan ada beberapa

hal yang perlu diketahui oleh peminang, antara lain:

1. Peminang boleh melihat perempuan yang dipinang

Melihat perempuan yang dipinang berfungsi memberikan jaminan

kelangsungan hubungan suami istri. Hal ini diriwayatkan dalam hadits:

‫ظ ْر اِلَ ْي َهاا‬ ُّ ‫ام َرأَة فَقَا َل النَّ ِب‬


ُ ‫ ا ُ ْن‬:‫ي ص‬ ْ ‫ب‬ َ ‫ش ْعبَةَ اَنَّهُ َخ‬
َ ‫ط‬ ُ ‫ع ِن اْل ُم ِغي َْرةِ ب ِْن‬ َ
‫ الخمسة اال ابا داود‬.‫ح َرى ا َ ْن يُؤْ دَ َم بَ ْينَ ُك َما‬ ْ َ‫فَ ِانَّهُ ا‬

10
Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke - 10 , juz : 2 /3
Dari Mughirah bin Syu’bah, sesungguhnya ia pernah meminang seorang wanita,
lalu Nabi SAW bersabda, “Lihatlah dia, karena sesungguhnya hal itu lebih
menjamin untuk melangsungkan hubungan kamu berdua”. [HR. Khamsah kecuali
Abu Dawud]11

Peminang boleh melihat perempuan yang dipinangnya dengan ketentuan:

a. Si peminang telah benar-benar mantap hendak menikahi perempuan yang

dipinangnya.

b. Bagian yang dilihat bukan aurat perempuan, seperti wajah, telapak tangan dan

telapak kaki, kecuali urat kaki yang berada di atas tumit. Dan apabila peminang

ingin mengetahui anggota badan pinangannya selain wajah, telapak tanggan,

urat besar di atas tumit, hendaknya menanyakan kepada saudara dekatnya.

2. Mengenali sifat-sifat perempuan yang dipinangnya

Melihat perempuan yang dipinangnya, agar dapat mengetahui cantik atau

tidaknya perempuan tersebut. Sedangkan untuk mengetahui sifat-sifat yang

berkenaan dengan akhlak dan ketaatan beribadahnya, bisa ditanyakan kepada

beberapa sahabat atau orang orang dekat yang dipercayainya.

3. Ketika meminang tidak disertai niat untuk membatalkan pinangannya

Pinangan memang baru merupakan pendahuluan sebelum menuju jenjang

pernikahan, tetapi ketika meminang disertai dengan niat coba-coba saja atau niat

hendak jangan sampai dibatalkan saja. Karena itu, sebelum melangsungkan

pinangan hendaknya telah benar-benar mantap berniat hendak menikahinya.

Apabila kemudian hari ternyata ditemukan hal-hal prinsip yang memaksa

pinangannya harus dibatalkan, barulah hal ini boleh dibatalkan.

11
Fuad Kauma dan Nipan. Membimbing istri mendampingi suami (Yogyakarta : Mitra Pustaka,
1996) hlm 28
4. Peminang tidak dibenarkan berjabat tangan sebelum akad nikah

Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Tangan Rasulullah SAW sama sekali belum pernah menyentuk tangan

perempuan ketika mengadakan bai’at. Sesungguhnya bai’at beliau kepada

mereka hanyalah berupa ucapan”. (Al Hadits Riwayat Al Bukhari).

Peminang dilarang menyendiri atau pergi berdua bersama perempuan yang

dipinangnya

Rasulullah SAW bersabda:

“Ingatlah, seseorang laki-laki dilarang menyendiri bersama seseorang

perempuan. Dan perempuan pun dilarang berpergian kecuali bersama

muhrimnya”. (Al Hadits Riwayat Al Bukhari dan Muslim)

“Janganlah sekali-kali seseorang laki-laki menyendiri bersama seseorang

perempuan yang tidak halal baginya, karena orang ketiganya adalah syetan,

kecuali bersama muhrimnya”. (Al Hadits Riwayat Ahmad).12

3. Kode Etik Menerima Pinangan

Setelah kita tahui bersama tentang tata cara meminang dengan baik,

tentunya ada beberapa poin yang harus kita ketahui dalam menerima pinangan

seseorang sebagai antisipasi pihak perempuan agar tidak ada penyesalan

dikemudian hari

Adapun poin-poin yang harus diketahui antara lain:

1. Perempuan melihat dan mengenali sifat-sifat peminang

12
Fuad Kauma dan Nipan. Membimbing istri mendampingi suami (Yogyakarta : Mitra Pustaka,
1996) hlm 38
Untuk mengetahui sebagian dari kriteria peminang, perempuan terpinang

boleh melihatnya dalam batas-batas tertentu.adapun untuk mengetahui hal-hal

yang bersifat pribadi, seperti akhlak dan tingkat ketaatan beragamanya,

kesehatannya, dan lain-lain bisa bertanya kepada beberapa teman dekatnya atau

kepada dokter.

2. Orang tua atau wali berhak memberikan pertimbangan yang baik

Orang tua atau wali perlu mengetahui sifat-sifat peminang, apakah dia

termasuk mimiliki kriteria calon suami yang baik atau tidak. Kemudian

merundingkan atau meminta izin kepada perempuan yang bersangkutan, juga

kepada saudara-saudaranya.

Rasulullah bersabda:

‫سااا ُء ِفااى‬َ ‫سا ْاو َل هللاِر ت ُ ْساتَا ْ َم ُر ال ِن‬


ُ ‫ َيااا َر‬: ُ‫ قُ ْلاات‬:‫ات‬ ْ ‫شاةَ را قَالَا‬ َ ‫عا ِئ‬
َ ‫ان‬ ْ ‫عا‬
َ
. ُ‫ ا َِّن اْل ِب ْكا َار ت ُ ْس اتَا ْ َم ُر فَتَ ْس اتَ ِحى فَتَ ْس ا ُكت‬: ُ‫ قُ ْلاات‬.‫ نَ َع ا ْم‬:‫ضااا ِع ِه َّن قَااا َل‬
َ ‫اَ ْب‬
‫ احمد و البخارى و مسلم‬.‫س َكات ُ َها اِ ْذنُ َها‬ ُ :‫فَقَا َل‬
Dari ‘Aisyah RA ia berkata : Aku pernah bertanya, “Ya Rasulullah, apakah
wanita-wanita itu (harus) diminta idzinnya dalam urusan perkawinan mereka ?”.
Beliau menjawab, “Ya”. Aku bertanya (lagi), “Sesungguhnya seorang gadis
(apabila) diminta idzinnya ia malu dan diam”. Rasulullah SAW menjawab,
“Diamnya itulah idzinnya”. [HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim]

3. Perempuan dilarang menyendiri atau berpergian berdua bersama laki-laki

pinangannya.

Dalam hal ini orang tua atau wali ikut bertanggug jawab, agar perempuan
yang ada dalam pinangan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
agama. Jangan sampai mereka berdua menyendiri tanpa seorang muhrim atau

pergi berdua. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memperhatikan dan mengawasi

gerak gerik mereka dan kedua orang tua atau walinya.13

4. Hadis Tentang Mahar

Mahar atau Mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai

laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari

mempelai perempuan) pada saat . Di Indonesia sebutan mahar hanya terbatas pada

pernikahan an sich. Secara bahasa mahar diartikan nama terhadap pemberian

tersebab kuatnya akad , secara istilah syari`at mahar adalah sebutan bagi harta

yang wajib atas orang laki-laki bagi orang perempuan sebab nikah atau

bersetubuh.14

َ ‫س ْعد أَنَ النبي‬


َ ‫صلَى‬
ُ‫ّللا‬ ِ ‫س ْفيَانَ ع َْن أ َ ِبي ح‬
َ ‫َازم بن دينار ع َْن‬
َ ‫س ْه ِل ب ِْن‬ ُ ‫ثَنَ ََحَد يَحْ َيى َح َدث َ َنا َو ِكيع ع َْن‬
ُ ‫ ا ْن‬:‫سلَ َم قال لرجل‬
‫ظ ْر َولَ ْو َخاتَما ً ِم ْن َح ِديْد‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ

Artinya:

“Telah berkata Yahya, telah berkata Waqi’ dari sufyan dari Abi Hazim bin Dinar

dari Sahal bin Said as-Sa’idi bahwa nabi berkata “Carilah walaupun hanya

berupa cincin besi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Penjelasan Hadis:

Imam Bukhari Meriwayatkan Hadits Di bab ini dari Yahya, dari Waki’, dari

Sufyan, dari Abu Hazim, dari Sahal bin sa’ad. Yahya yang dimaksud adalah Ibnu

Musa seperti ditegaskan Ibnu As-Sakan. Adapun Sufyan adalah Ats-Tsauri.

13
Fuad Kauma dan Nipan. Membimbing istri mendampingi suami (Yogyakarta : Mitra Pustaka,
1996) hlm 41

14
Imam Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Sholeh) bagian dua,
terjemah. K.H. Syarifuddin Anwar & K.H. Mishbah, (Surabaya, Bina Ilmu, 1993 ) Hlm. 128
ُ ‫ ا ْن‬:‫(قال لرجل‬Beliau Bersabda kepada seorang laki-laki, “
‫ظ ْر َولَ ْو خَات َما ً ِم ْن َح ِديْد‬

Menikahlah dengan [mahar] cincin besi”). Ini adalah ringkasan hadis panjang

yang disebutkan sebelumnya. penggalan hadist ini menjelaskan bahwa dalam

pernikahan itu dituntut adanya mahar walau hanya denga sebuah cincin yang

terbuat dari besi. Hal ini mengindikasikan bahwa mahar itu pada dasarnya harus

dengan sesuatu yang bernilai atau bisa dinila dengan uang yang tentunya sesuai

dengan kemampuan suami dan kesepakatan atau persetujuan isteri. Sehingga tidak

ada nash yang mengatur secara pasti tentang ukuran mahar atau jumlah mahar.15

5. Hadis Tentang Wali


Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan
oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh
walinya. Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali
dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong.
Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang
menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim,
sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada
waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria). Wali
dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah
nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali
dalam pernikahan adalah orang yang mangakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah
yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu
hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung
melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.16

15
Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz, Shahih Bukahri/ Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar
(Jakarta:pustaka Azzam, 2008) hal. 400

16
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), hal .65.
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin
pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau
mewakilkannya kepada orang lain. Yang bertindak sebagai wali adalah seorang
laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Seorang wali dalam suatu akad
nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali
(dari pihak perempuan).17
a. Macam-macam wali dan urutannya
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
a.) Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai
wanita dan berhak menjadi wali. Dalam menetapkan wali nasab terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak
adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak membicarakan
sama sekali siapa-siapa yangberhak menjadi wali. Jumhur ulama membaginya
menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah
kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak
perempuan yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah
dan kakek, juga selain dari anak dan cucu.
b.) Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk
bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat
menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai
wali nasab sama sekali.
c.) Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon
suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang
bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang,

17
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Toha Putra, 1978), hal. 456
disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas,
adil, islam dan laki-laki18
6. Hadis tentang Saksi Nikah

Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri

sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang

memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.19

Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi

berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan

dalam sebuah hadits:

‫عدْل‬
َ ‫َي‬ َ َ‫لَ نِكَا َح ِإل‬
ْ ‫بو ِلي َِ َو شَا ِهد‬

“Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang

adil’.

Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam pernikahan.

Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah

nikah. Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya informasi dan

bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa ditempuh melalui

i’lan. Malikiyah membedakan i’lan dengan saksi, dimana i’lan difahami sebagai

media penyambung informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui hadirnya

sosok saksi dalam proses akad nikah. Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan

kehadirannya pada saat aqad, namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah

aqad sebelum suami mencampuri isterinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan

nikah dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakum

kesaksian. Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai

wujud pengamalan mereka terhadap hadis tersebut. Hal ini didasarkan pada

18
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet. 2 (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hal. 25
19
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), hal .61
pandangan Malikiyah, yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah

yang pada waktu itu mengamalkan hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.20

20
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.3 (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2009), hal. 83

Anda mungkin juga menyukai