Disusun Oleh :
1. Musa Andika (1802036087)
2. Inddy Wizalita ZP (1802036119)
Maksud dari kaidah ini setiap ibadah mahdah yang kita laksanakan haruslah ada dalil yang
menunjukkannya, baik itu dari Alquran maupun Hadis (Sunnah) Nabi SAW. Karena ibadah
mahdah tidak sah apabila tanpa ada dalil yang memerintahkannya atau yang menganjurkannya.
Contoh nya seperti shalat wajib lima waktu.
Maksud dari kaidah ini adalah apabila seseorang telah bersuci baik dari hadas besar maupun
kecil, maka tetap ia dalam keadaan suci selama tidak ada hal-hal yang meyakinkan bahwa ia
batal. Contohnya seperti seseorang yang telah berwudhu, dan selama ia tidak merasa yakin akan
batalnya dari wudhu tersebut dan tidak ada pula indikasi-indikasi yang meyakinkan batalnya
wudhu, maka ia tetap dalam keadaan suci.
Bidang ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam, aturan Al-Qur’an dan Al-Hadits lebih
rinci dibandingkan dengan fikih-fikih lainnya. Akibatnya dibidang fikih selain ibadah mahdhah
dan hukum keluarga Islam, ruang lingkup ijtihad menjadi sangat luas dan materi-materi fikih
sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak. Secara etimologis, Mu’amalah berasal dari kata
‘amala - yu’amilu - mu’amalatan, yang bermakna saling bertindak, saling berbuat, saling
mengamalkan. Secara terminologis, muamalah mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti
sempit. Dalam arti luas mu’amalah berarti aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur manusia
dalam kaitannya dengan urusan duniawi/pergaulan sosial. Dan dalam arti sempit, mu’amalah
berarti aturan Allah yang wajib ditaati, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda. Jadi mu’amalah adalah
menyangkut af’al (perbuatan) seorang hamba. Sumber hukum fiqih muamalah terdapat
dalam alqur’an pada surat An nisa’, yaitu:
َّ اض ِم ْن ُك ْم َوَل تَ ْقتُلُوا أ َ ْنفُ َس ُك ْم ِإ َّن
ََّللاَ َكان ِ َيا أَي َها الَّذِينَ آ َمنُوا َل ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم َب ْينَ ُك ْم ِب ْال َب
َ اط ِل ِإَل أَ ْن ت َ ُكونَ تِ َج
ٍ ارةً َع ْن ت ََر
ِب ُك ْم َر ِحي ًما
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu….”. (Q.S An nisa [4]: 29)
Kaidah-kaidah bidang fiqh muamalah, antara lain:
2. ضى الُمت َ َعا ِقدَي ِْن َونَتْ ِي َجتُهُ َما ِإلت َزَ َماهُ ِبالت َّ َعاقُد ْ َ األ
َ ص ُل فِي ال َع ْق ِد ِر
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya
adalah berlaku sahnya yang diakadkan”.
Maksud dari kaidah ini keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu,
transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya, tidak sah
suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa
tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak
merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti
pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
4. صلَ َح ِة
ْ الت َ ْع ِزي ُْر َيد ُْو ُر َم َع ال َم
“Sanksi ta’zir (berat ringannya) tergantung kepada maslahah.”
Sanksi ta’zir erat kaitannya dengan tindak pidana. Sanksi tazir terberat adalah hukuman mati,
sedangkan yang teringan berupa peringatan. Berat ringannya ditentukan dengan pertimbangan
maslahat, menimbang perbuatannya baik kualitas maupun kuantitasnya, pelakunya, orang atau
masyarakat yang jadi korbannya, tempat kejadian dan waktunya, mengapa dan bagaimana si
pelaku melakukan kejahatan.
Dan kaidah lainnya.
3. ت ال َما ل
ِ ضى فِي بي َ َخ
ِ طا ُء القَا
“Kesalahan seorang hakim ditanggung oleh Bait al-mal”
Seorang hakim yang dengan tidak sengaja melakukan kesalah dalam mengambil keputusan
sehingga menyebabkan dia menanggung kerugian harta, maka kerugian tersebut ditanggung oleh
bait al –mal (negara). Karena hakim disini merupakan wakil negara. Contoh: hakim memutus A
bersalah kemudian ternyata terbukti A tidak bersalah, kemudian A menuntuk hakim membayar
kerugian maka jumlah yang harus dibayarkkan tersebut ditanggung negara. Kaidah ini juga
menunjukkan bahwa hakim harus berhati-hati dalam mengambil keputusan.
III. Kesimpulan
a. Kata ibadah berasal dari bahasa arab artinya patuh, tunduk. Dilihat dari segi istilah, ibadah adalah
sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT, baik berupa ucapan
atau perbuatan yang tampak maupun yang sirr yang dilakukan oleh manusia. Dalam istilah lain,
ibadah adalah ketundukan manusia kepada Allah yang dilaksanakan atas dasar iman yang kuat
dengan melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya dengan tujuan
mengharapkan ridha dan ampunan-Nya, termasuk tujuannya ingin masuk surga. Selain itu
beribadah kepada Allah harus dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk mendapatkan pujian dari
orang lain atau maksud-maksud lainnya. Selanjutnya berkaitan dengan mahdhah. Maksud dari
ibadah mahdhah adalah ibadah yang murni hubungan antara manusia dengan Allah. Jenis-jenis
ibadah yang termasuk ibadah mahdhah adalah : wudhu, tayammum, mandi suci dari hadats,
adzan, iqamat, shalat, membaca Alquran, i’tikaf di mesjid, puasa, haji, umrah, tajhiz al-janazah
[penyelenggaraan jenazah]. Terdapat 14 kaidah didalam kaidah ibadah ini.
b. Kaidah yang khusus di bidang ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga) menjadi penting
karena perhatian sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis kepada masalah-masalah
keluarga sangat besar. Hal ini terbukti jumlah ayat yang berhubungan dengan hukum keluarga
menempati nomor dua setelah ibadah mahdhah. Artinya, Al-Qur’an dan Al-Hadis setelah
memberi tuntunan yang cukup untuk pembinaan pribadi muslim dengan ajaran ibadah mahdhah,
kemudian beralih kepada pembinaan kehidupan keluarga muslim yang menjadi unsur terkecil
dalam pembinaan masyarakat dan komunitas muslim. Dalam hukum Islam, hukum keluarga ini
meliputi : pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri (keluarga), dan hibah di kalangan keluarga.
Kaidah-kaidah yang khusus di bidang ini ada 20.
c. Secara etimologis, Mu’amalah berasal dari kata ‘amala - yu’amilu - mu’amalatan, yang
bermakna saling bertindak, saling berbuat, saling mengamalkan. Secara terminologis, muamalah
mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas mu’amalah berarti aturan-
aturan hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi/pergaulan
sosial. Dan dalam arti sempit, mu’amalah berarti aturan Allah yang wajib ditaati, yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan
mengembangkan harta benda. Jadi mu’amalah adalah menyangkut af’al (perbuatan) seorang
hamba. Terdapat 20 kaidah dalam bidang ini.
d. Fikih jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara bahasa
(etimologi) berasal dari lafal faqiha, yafqahu, fiqhan, yang berarti mengerti, atau paham.
Sedangkan pengertian fiqh secara istilah (terminologi) fikih adalah ilmu tentang hukum- hukum
syara’ praktis yang diambil dari dalil- dalil yang terperinci. Adapun jinayah menurut bahasa
(etimologi) adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan.
Sedangkan jinayah menurut istilah (terminologi) adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh
syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya. Terdapat 13 kaidah dalam fiqh
jinayah.
e. Seperti diketahui bahwa fikih siyasah adalah hukum Islam yang objek bahasannya tentang
kekuasaan. Apabila dirinci, fikih siyasah meliputi hukum tata negara, administrasi negara, hukum
internasional dan hukum ekonomi. Apabila dilihat dari sisi hubungan, fikih siyasah berbicara
tentang hubungan antara rakyat dan pemimpinnya sebagai penguasa yang kongkrit di dalam
ruang lingkup satu negara atau antar negara atau dalam kebijakan ekonomi-ekonominya baik
nasional maupun internasional. Kaidah-kaidah dalam Fiqh siyasah ada 12.
f. Dalam Islam Aqdiyah adalah segala sesuatu yang mengatur tentang Hukum-hukum Pengadilan.
Yang dimaksud dengan Hukum disini adalah memisahkan atau mendamaikan dua pihak yang
berselisih yaitu dengan Hukum Allah SWT. Terdapat 13 kaidah dalam bidang ini.
Daftar Pustaka