Anda di halaman 1dari 9

KAIDAH FIQH AL-KHASAH (KAIDAH FIQH KHUSUS)

Di Susun Guna Memenuhi Tugas Dari:


Mata Kuliah: Qawaidul Fiqhiyyah
Dosen Pengampu: Amir Tajrid

Disusun Oleh :
1. Musa Andika (1802036087)
2. Inddy Wizalita ZP (1802036119)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019
I. Latar Belakang
Sebagaimana sudah diketahui bahwa kaidah-kaidah fikih merupakan hal yang penting dalam
menentukan sebuah hukum. Kaidah-kaidah ini disusun oleh para ulama secara praktis disertai
contoh-contoh untuk memudahkan para penuntut ilmu dalam memahami dan melakukan
penetapan bahkan mengambil keputusan hukum dengan cepat dan tepat. Dalam makalah ini
kaidah-kaidah fikih yang khusus akan penulis kelompokkan menjadi beberapa bagian antara lain
dalam bidang ibadah mahdhah, ahwal asy-syakhshiyyah, muamalah, jinayah, siyasah, dan al-
aqdiyah.
Kaidah-kaidah ini pun masih bisa berkembang lagi sesuai dengan perkembangan ilmu hukum
islam dan sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dengan menguasai kaidah-kaidah
fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi
titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebiharif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan
lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih
mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat.
II. Kaidah-Kaidah Khusus
Kaidah-kaidah fikih telah terbagi menjadi beberapa bagian, dari beberapa bagian itu ada yang
namanya kaidah-kaidah khusus, kaidah tersebut menerangkan tentang:

A. Kaidah Fiqh Khusus dalam Bidang Ibadah Mahdhah


Kata ibadah berasal dari bahasa arab artinya patuh, tunduk. Dilihat dari segi istilah, ibadah
adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT, baik berupa
ucapan atau perbuatan yang tampak maupun yang sirr yang dilakukan oleh manusia. Dalam
istilah lain, ibadah adalah ketundukan manusia kepada Allah yang dilaksanakan atas dasar iman
yang kuat dengan melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya dengan
tujuan mengharapkan ridha dan ampunan-Nya, termasuk tujuannya ingin masuk surga. Selain itu
beribadah kepada Allah harus dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk mendapatkan pujian dari
orang lain atau maksud-maksud lainnya. Selanjutnya berkaitan dengan mahdhah. Maksud dari
ibadah mahdhah adalah ibadah yang murni hubungan antara manusia dengan Allah. Jenis-jenis
ibadah yang termasuk ibadah mahdhah adalah : wudhu, tayammum, mandi suci dari hadats,
adzan, iqamat, shalat, membaca Alquran, i’tikaf di mesjid, puasa, haji, umrah, tajhiz al-janazah
[penyelenggaraan jenazah].
Terdapat 14 kaidah didalam kaidah ibadah ini, antara lain:

ِ ‫ص ُل فِى ْال ِع َبادَةِ الت َّ ْوفِ ْي‬


ِ ْ ‫ق َو‬
1. ِ‫اْلتْ َباع‬ ْ َ ‫األ‬
“Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan syari’ah”.

Maksud dari kaidah ini setiap ibadah mahdah yang kita laksanakan haruslah ada dalil yang
menunjukkannya, baik itu dari Alquran maupun Hadis (Sunnah) Nabi SAW. Karena ibadah
mahdah tidak sah apabila tanpa ada dalil yang memerintahkannya atau yang menganjurkannya.
Contoh nya seperti shalat wajib lima waktu.

2. ِ ‫ارة ُ ْاألَحْ دَا‬


ْ‫ث ََل تَت ََوقَّت‬ َ
َ ‫ط َه‬

“Suci dari hadas tidak ada batas waktu”.

Maksud dari kaidah ini adalah apabila seseorang telah bersuci baik dari hadas besar maupun
kecil, maka tetap ia dalam keadaan suci selama tidak ada hal-hal yang meyakinkan bahwa ia
batal. Contohnya seperti seseorang yang telah berwudhu, dan selama ia tidak merasa yakin akan
batalnya dari wudhu tersebut dan tidak ada pula indikasi-indikasi yang meyakinkan batalnya
wudhu, maka ia tetap dalam keadaan suci.

َ ‫س بِ ْال ِعبَادَةِ َو َج‬


3. ‫ب إِتْ َما ُم َها‬ ُ َ‫التَّلَب‬
“Percampuran dalam ibadah mewajibkan menyempurnakannya”.
Maksud dari kaidah ini adalah ada dua macam kemungkinan, yaitu menyempurnakan ibadah
atau berpindah kepada keringanan. Percampuran ini sendiri menyebabkan keserupaan,
kebingungan, dan kesulitan. Kaidah ini menjelaskan bahwa orang yang dalam keadaan demikian
wajib menyempurnakannya. Contohnya, jika seseorang sedang berpuasa ramadhan, kemudian
ingin melakukan perjalanan yang jauh. Ia berpikir, apakah harus tetap ia berpuasa atau
membatalkan puasanya karena bepergian tersebut. Apabila berdasarkan kaidah di atas, maka ia
harus tetap berpuasa.

4. ‫صح‬ َ ‫ت َ ْقدَ ْي ُم ْال ِع َبادَ ِة قَ ْب َل َو ُج ْو ِد‬


ِ ‫س َب ِب َها ََل َي‬
“Tidaklah sah mendahulukan ibadah sebelum ada sebabnya”.
Kaidah ini bermaksud tidak bisa kita mendahulukan suatu ibadah sebelum tiba waktunya,
waktu yang telah ditentukan kapan ibadah tersebut harus dilakukan. Contohnya seperti shalat
lima waktu, jika belum sampai waktunya tidak sah shalat yang dilakukan, kecuali ada hal-hal
tertentu, misalnya menjamak shalat.
dan kaidah-kaidah lainnya .

B. Kaidah Fiqh Khusus dalam Bidang Ahwal Asy-Syakhshiyyah


Kaidah yang khusus di bidang ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga) menjadi penting
karena perhatian sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis kepada masalah-masalah
keluarga sangat besar. Hal ini terbukti jumlah ayat yang berhubungan dengan hukum keluarga
menempati nomor dua setelah ibadah mahdhah. Artinya, Al-Qur’an dan Al-Hadis setelah
memberi tuntunan yang cukup untuk pembinaan pribadi muslim dengan ajaran ibadah mahdhah,
kemudian beralih kepada pembinaan kehidupan keluarga muslim yang menjadi unsur terkecil
dalam pembinaan masyarakat dan komunitas muslim. Dalam hukum Islam, hukum keluarga ini
meliputi : pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri (keluarga), dan hibah di kalangan keluarga.
Kaidah-kaidah yang khusus di bidang ini ada 20, antara lain:

1. ‫ضاعِ التَّح ِْر ْي ُم‬ ْ َ ‫األ‬


َ ‫ص ُل فِي َاْل ْب‬
“Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-
sebab yang jelas dan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad
pernikahan. Contohnya, pemuda dan pemudi haram melakukan seks di luar nikah, akan tetapi
berbeda halnya apabila pemuda dan pemudi tersebut telah melakukan akad nikah, maka menjadi
halal apabila melakukan seks.

2. ِ ‫علَى زَ ْو ِج َها إِ ََّل فِي ُحد ُْو ِدأ َ َو‬


َّ ‫امِر ال‬
ِ‫ش ْرع‬ َ ‫ِلز ْو َج ِة‬ َّ ‫علَى زَ و َجتِ ِه إِ ََّل فِي ُحد ُْو ِد يَ ْم ِس ل‬
َّ ‫ِلز َواجِ َو ََل َح َّق ل‬ َّ ‫ََل َح َّق ل‬
َ ِ‫ِلز ْو ج‬
َّ ‫فِ ْي َما يَ ْمسِى‬
ِ‫الز َواج‬
“Tidak ada hak bagi suami terhadap isterinya kecuali dalam batas-batas pernikahan dan tidak
ada hak bagi isteri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas perintah syariah yang
berhubungan dengan pernikahan”
Kaidah di atas menggambarkan kedudukan yang seimbang antara suami dan isteri yang sama
sebagai subjek hukum yang penuh. Apabila suami memberikan sesuatu sebagai hibah kepada
isterinya atau isteri memberikan sesuatu kepada suaminya, maka seorang pun tidak dapat
mencampurinya. Masing-masing pihak, suami atau isteri tidak boleh menarik kembali hibahnya
setelah penyerahan atau ijab kabul terjadi. Contohnya juga seperti harta isteri yang didapat dari
orang tuanya, maka suami tidak boleh mengambilnya, kecuali atas izin isterinya.

ُ ‫علَ ْي ِه األ ُ ْخ َرى فَ ََل يَ ُج‬


3. ‫وز ال َج ْم ُع بَ ْينَ ُه َما‬ َ ْ‫ُكل ا ْم َرأَتَي ِْن لَ ْو قُد ََّرتْ إحْ دَا ُه َما ذَ ك ًَرا َو ُح ِر َمت‬
Contohnya, haram memadu seorang wanita dengan bibinya, karena apabila bibi itu kita
anggap laki-laki, maka haram dia menikahi keponakannya. Demikian pula memadu seorang
wanita dengan anak perempuan saudara wanita tersebut. Haram pula memadu seorang wanita
dengan perempuan dari anaknya. Haram memadu seorang perempuan dengan saudaranya, karena
apabila salah seorangnya dianggap laki-laki, dia haramkan nikah dengan saudarannya.

4. ‫ق‬ َ ‫النِكَا ُح ََل يُ ْف ِسدُ بِ َف‬


ِ ‫سا ِد الصدَا‬
“Akad nikah tidak rusak dengan rusaknya mahar”
Contohnya, Anton mewakilkan dalam akad nikah dengan menyebut maharnya kemudian si
wakil menambah mahar tadi, misalnya dari 100 gram emas menjadi 150 gram emas, maka
nikahnya tetap sah dan kepada wanita tadi diberikan mahar mitsli.
Dan masih banyak kaidah-kaidah lainnya.

C. Kaidah Fiqh Khusus dalam Bidang Muamalah

Bidang ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam, aturan Al-Qur’an dan Al-Hadits lebih
rinci dibandingkan dengan fikih-fikih lainnya. Akibatnya dibidang fikih selain ibadah mahdhah
dan hukum keluarga Islam, ruang lingkup ijtihad menjadi sangat luas dan materi-materi fikih
sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak. Secara etimologis, Mu’amalah berasal dari kata
‘amala - yu’amilu - mu’amalatan, yang bermakna saling bertindak, saling berbuat, saling
mengamalkan. Secara terminologis, muamalah mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti
sempit. Dalam arti luas mu’amalah berarti aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur manusia
dalam kaitannya dengan urusan duniawi/pergaulan sosial. Dan dalam arti sempit, mu’amalah
berarti aturan Allah yang wajib ditaati, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda. Jadi mu’amalah adalah
menyangkut af’al (perbuatan) seorang hamba. Sumber hukum fiqih muamalah terdapat
dalam alqur’an pada surat An nisa’, yaitu:
َّ ‫اض ِم ْن ُك ْم َوَل تَ ْقتُلُوا أ َ ْنفُ َس ُك ْم ِإ َّن‬
َ‫َّللاَ َكان‬ ِ ‫َيا أَي َها الَّذِينَ آ َمنُوا َل ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم َب ْينَ ُك ْم ِب ْال َب‬
َ ‫اط ِل ِإَل أَ ْن ت َ ُكونَ تِ َج‬
ٍ ‫ارةً َع ْن ت ََر‬
‫ِب ُك ْم َر ِحي ًما‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu….”. (Q.S An nisa [4]: 29)
Kaidah-kaidah bidang fiqh muamalah, antara lain:

َ ‫اْلبَا َح ِة ِإ ََّل أ َ ْن يَد ُ َّل دَ ِل ْي ٌل‬


1. ‫علَى تَحْ ِريْمِ َها‬ ْ َ ‫األ‬
ِ ‫ص ُل في ال ُم َعا َملَ ِة‬
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh,
seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerjasama (mudharabah dan musyarakah) perwakilan,
dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan,
judi, dan riba.

2. ‫ضى الُمت َ َعا ِقدَي ِْن َونَتْ ِي َجتُهُ َما ِإلت َزَ َماهُ ِبالت َّ َعاقُد‬ ْ َ ‫األ‬
َ ‫ص ُل فِي ال َع ْق ِد ِر‬
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya
adalah berlaku sahnya yang diakadkan”.
Maksud dari kaidah ini keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu,
transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya, tidak sah
suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa
tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak
merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti
pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.

َ ِ‫ف فِي مِ ْلك‬


3. ‫غي ِْر ِه بِ ََل إِ ْذنِ ِه‬ َ ‫وز ِأل َ َح ٍد أ َ ْن يَت‬
َ ‫ص َّر‬ ُ ‫ََل يَ ُج‬
“Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si
pemilik harta”
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau wakil dari
pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang
yang dijual.

ِ ‫ال َباطِ ُل ََل َي ْق َب ُل‬


4. َ ‫اْل َجازَ ة‬
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernaha terjadi. Oleh
karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima salah satu pihak. Contohnya, Bank
syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem
bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah
dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan lain
itu mau menggunakan akad-akad yang diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu akad-akad
atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
Dan kaidah-kaidah lainnya.

D. Kaidah Fiqh Khusus dalam Bidang Jinayah


Fikih jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara
bahasa (etimologi) berasal dari lafal faqiha, yafqahu, fiqhan, yang berarti mengerti, atau paham.
Sedangkan pengertian fiqh secara istilah (terminologi) fikih adalah ilmu tentang hukum- hukum
syara’ praktis yang diambil dari dalil- dalil yang terperinci. Adapun jinayah menurut bahasa
(etimologi) adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan.
Sedangkan jinayah menurut istilah (terminologi) adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh
syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya. Terdapat 13 kaidah dalam fiqh
jinayah beberapa kaidahnya antara lain:

1. ‫عقُ ْوبِةَ بِ ََل نَّص‬


ُ ‫ََل َج ِر ْي َمةَ َو ََل‬
“Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa nash”
Dalam hukum islam, suatu perbuatan tidak akan dianggap sebagai sebuah tindak pidana dan
tidak dijatuhi hukuman selama tidak terdapat dalam Al-Quran maupun Al-Hadits. Hal ini berlaku
sejak Rosulullah pindah ke Madinah sekitar 14 abad yang lalu atau pada abad ke-7 M.
Sedangkan dunia barat baru menrapkan hal ini pada abad ke-18 M. Sekarang kaidah ini
diterapkan di sumua negara termasuk Indonesia contoh Pasal 1 ayat (1) KUHP).

2. ‫ص‬ ِ ‫ََل ُح ْك َم ِأل َ ْفعَا ِل العُقَ ََلءِ قَ ْب َل ُو ُر ْو ِد الن‬


“Hukuman-hukuman itu gugur karena syubhat”.
Suatu kasus yang belum bisa dibuktikan secara faktual sebagai suatu tindak pelanggaran,
tersangka tidak bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk memvonis pelaku tindak kriminalitas
(jarimah) seorang hakim memerlukan bukti-bukti obyektif yang meyakinkan.Berarti dari hadis di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa suatu perkara jika terdapat suatu ketidakjelasan, maka bisa
menggugurkan suatu had. Had adalah tuntutan hukum yang ada pada al-Qur’an dan Hadis,
seperti: pencurian, perzinahan dan sebagainya. Jadi berbeda dengan Ta’zir yang mempunyai
pengertian ”Tuntutan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam nash’, seperti: memasuki rumah
lain tanpa izin, mencium isteri orang, memaki orang dan sebagainya.

3. ُ‫ش ْيئًا لزمهُ َردَّهُ أ َ ْو َردَّ قِ ْي َمتَه‬


َ ‫ب‬
َ ‫ص‬ َ ‫ُكل َمن‬
َ ‫غ‬
“Barangsiapa merampas (ghasab) sesuatu, dia harus mengembalikannya atau mengembalikan
senilai harganya.“
Ghasab adalah mengambil dan menguasai hak orang lain dengan maksud jahat. Maka orang
tersebut harus mengembalikan hak orang lain yang dirampasnya atau mengganti dengan
harganya.

4. ‫صلَ َح ِة‬
ْ ‫الت َ ْع ِزي ُْر َيد ُْو ُر َم َع ال َم‬
“Sanksi ta’zir (berat ringannya) tergantung kepada maslahah.”
Sanksi ta’zir erat kaitannya dengan tindak pidana. Sanksi tazir terberat adalah hukuman mati,
sedangkan yang teringan berupa peringatan. Berat ringannya ditentukan dengan pertimbangan
maslahat, menimbang perbuatannya baik kualitas maupun kuantitasnya, pelakunya, orang atau
masyarakat yang jadi korbannya, tempat kejadian dan waktunya, mengapa dan bagaimana si
pelaku melakukan kejahatan.
Dan kaidah lainnya.

E. Kaidah Fiqh Khusus dalam Bidang Siyasah


Kata Siyasah berasal dari kata Sasa. Kata ini dalam kamus Al-Munjid dan lisan Al-’Arab
berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siyasah bisa juga berarti pemerintahan dan politik,
atau membuat kebijaksanaan. Secara terminologis dalam lisan al-Arab, Siyasah adalah mengatur
atau memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada kemaslahatan. Sedangkan di dalam Al-
Munjid di sebutkan, Siyasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing
mereka ke jalan yang menyelamatkan. Siyasah adalah ilmu pemerintahan untuk mengendalikan
tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam negeri dan politik luar negeri serta
kemasyarakatan, yakni mengatur kehidupan atas dasar keadilan dan istiqamah.
Seperti diketahui bahwa fikih siyasah adalah hukum Islam yang objek bahasannya tentang
kekuasaan. Apabila dirinci, fikih siyasah meliputi hukum tata negara, administrasi negara, hukum
internasional dan hukum ekonomi. Apabila dilihat dari sisi hubungan, fikih siyasah berbicara
tentang hubungan antara rakyat dan pemimpinnya sebagai penguasa yang kongkrit di dalam
ruang lingkup satu negara atau antar negara atau dalam kebijakan ekonomi-ekonominya baik
nasional maupun internasional. Kaidah-kaidah dalam Fiqh siyasah ada 12 diantaranya adalah :
1. ‫صلَ َحة‬ ٌ ُ‫الر ِعيَ ِة َمن‬
ْ ‫وط بِال َم‬ َّ ‫علَى‬
َ ‫ف ا َِل َم ِام‬ َ َ‫ت‬
ُ ‫صر‬
“Kebijakan seorang pemimpin kepada rakyatnya tergantung kepada kemaslahatan”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan
rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarga dan kelompoknya. Contoh dalah
hal-hal yang berkaitang dengan kebijakan. Misal dalam uaya pembangunan, membuat irigasi
untuk petani dan membuka lapangan kerja yang padat karya.

2. ‫ْالخِ يَانَةُ َلَتَت َ َج َّزأ‬


“Perbuatan khianat tidak terbagi-bagi”
Apabila seseorang tidak melaksanakan atau khianat terhadap satu amanah yang dibebankan
kepadanya, maka ia harus dipecat dari keseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya.
Contohnya: Seorang pejabat memiliki banyak amanah yang dibebankan kepadanya. Apabila ia
melakukan kesalahan misalnya korupsi, maka ia dipecat dari jabatannya dan semua amanah yang
dibebankan kepadanya lepas. Sebab melanggar salah satu dari amanat yang dibebankan yang
berarti melanggar keseluruhan amanah.

3. ُ ‫ئ فِي العُقُوبَة‬ َ ‫ئ فِي العَ ْف ِو َخي ٌْر م ِْن ا َ ْن يَ ْخ‬


َ ‫ط‬ َ ‫ام أ َ ْن يَ ْخ‬
َ ‫ط‬ َ ‫ا َِّن ا َِل َم‬
“Seorang pemimpin itu, salah dalam memberi maaf lebih baik daripada salah dalam
menghukum”
Kehati-hatian dalam mengambil keputusan sangatlah penting. Jangan sampai keputusan
pemimpin membawa kemudharatan kepada rakyatnya. Jika masih ragu karena belum adal bukti
yang menyakiknkan apakah memberi maaf aau menjatuhkan hukuman, maka memberi maaf jauh
lebih baik. Contohnya: Seorang hakim membebaskan seorang terdakwa yang belum ada bukti
bahwa dia bersalah. Dari pada menjatuhkan hukuman dengan keraguan.
4. ‫صةُ أ َ ْق َوى مِ نَ ال ِوَلَيَ ِة العَا َّم ِة‬َّ ‫ال ِوَلَيَةُ الخَا‬
“Kekuasaan yang khusus lebih kuat kedudukannya daripada kekuasaan yang umum”
Dalam fikih siyasah, ada pembagian kekuasaan sejak zaman ke khalifahan. Pembagian
kekuasaan itu terus berkembang, maka muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam suatu Negara
(eksekuitif, legislative, yudikatif). Maksud kaidah di atas adalah bahwa kekuasaan lembaga-
lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya dari pada lembaga umum. Contohnya: Ketua RT
lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya dari pada kepala desa, wali kelas lebih kuat
kekuasaannya dalam kelasnya dari pada kepala sekolah atau wali nasab lebih kuat kekuasaannya
terhadap anaknya dari pada wali hakim (dalam masalah pernikahan).

F. Kaidah Fiqh Khusus dalam Bidang Al-Aqdiyah


Dalam Islam Aqdiyah adalah segala sesuatu yang mengatur tentang Hukum-hukum
Pengadilan. Yang dimaksud dengan Hukum disini adalah memisahkan atau mendamaikan dua
pihak yang berselisih yaitu dengan Hukum Allah SWT. Kaidah fiqh pada bidang ini antara lain:
1. ِ‫ُح ْك ُم ال َحا كِم فِى َمسا ئ ِل ا ِأل جتِ َها ِد ير فَ ُع الخِ أل َ ف‬
“Hukum yang diputuskan oleh hakim dalam masalah-masalah ijtihad menghilangkan
perbedaan pendapat”
Kaidah ini sesungguhnya berlaku untuk semu pemegang kekuasaan, tetapi menurut al-Qurafi
ini hanya berlaku di bidang peradilan. Maksud kaidah ini adalah jika seorang hakim mengalmi
perbedaan pendapat di kalangan ulama, kemudian dia mentarjih salah satu pendapat, maka
keputusannya harus diterima. Tidak boleh ada yang menolak karena alasan perbedaan pendapat,
dengan syarat bahwa keputusan tersebut sesuai dengan syariat.
2. ِ‫مر ال َما لك‬
ِ ‫ق بأ‬ ِ ‫ا ِأل نفَا ُق بأ َ مر القَا‬
ِ ‫ضى كَا ِأل نفَا‬
“Membelanjakan harta atas perintah hakim seperti membelanjakan harta atas perintah
pemilik”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa keputusan hakim dalam pengadilan wajib ditaati.
Termasuk dalam hal menyita harta. Contoh: keputusan hakim untuk menyuruh koruptor
mengembalikan harta yang diambilnnya sama dengan perintah negara selaku pemilik harta
tersebut.

3. ‫ت ال َما ل‬
ِ ‫ضى فِي بي‬ َ ‫َخ‬
ِ ‫طا ُء القَا‬
“Kesalahan seorang hakim ditanggung oleh Bait al-mal”
Seorang hakim yang dengan tidak sengaja melakukan kesalah dalam mengambil keputusan
sehingga menyebabkan dia menanggung kerugian harta, maka kerugian tersebut ditanggung oleh
bait al –mal (negara). Karena hakim disini merupakan wakil negara. Contoh: hakim memutus A
bersalah kemudian ternyata terbukti A tidak bersalah, kemudian A menuntuk hakim membayar
kerugian maka jumlah yang harus dibayarkkan tersebut ditanggung negara. Kaidah ini juga
menunjukkan bahwa hakim harus berhati-hati dalam mengambil keputusan.

4. ‫على َمن أ َ نكَر‬


َ ُ‫البَيِنَةُ على ال ُمدَّ عِى و اليمِ ين‬
“Bukti wajib diberikan oleh yang menggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang
mengingkari”
Maksud dari kaidah ini bahwa seseorang yang menggugat orang lain maka wajib baginya
menyertakan bukti. Orang yang digugat dapat menolak atau mengingkarinya tetapi diwajibkan
untuk bersumpah, hal ini untuk menghindari adanya dusta dari si tergugat.
Dan lain sebagainya.

III. Kesimpulan
a. Kata ibadah berasal dari bahasa arab artinya patuh, tunduk. Dilihat dari segi istilah, ibadah adalah
sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT, baik berupa ucapan
atau perbuatan yang tampak maupun yang sirr yang dilakukan oleh manusia. Dalam istilah lain,
ibadah adalah ketundukan manusia kepada Allah yang dilaksanakan atas dasar iman yang kuat
dengan melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya dengan tujuan
mengharapkan ridha dan ampunan-Nya, termasuk tujuannya ingin masuk surga. Selain itu
beribadah kepada Allah harus dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk mendapatkan pujian dari
orang lain atau maksud-maksud lainnya. Selanjutnya berkaitan dengan mahdhah. Maksud dari
ibadah mahdhah adalah ibadah yang murni hubungan antara manusia dengan Allah. Jenis-jenis
ibadah yang termasuk ibadah mahdhah adalah : wudhu, tayammum, mandi suci dari hadats,
adzan, iqamat, shalat, membaca Alquran, i’tikaf di mesjid, puasa, haji, umrah, tajhiz al-janazah
[penyelenggaraan jenazah]. Terdapat 14 kaidah didalam kaidah ibadah ini.
b. Kaidah yang khusus di bidang ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga) menjadi penting
karena perhatian sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis kepada masalah-masalah
keluarga sangat besar. Hal ini terbukti jumlah ayat yang berhubungan dengan hukum keluarga
menempati nomor dua setelah ibadah mahdhah. Artinya, Al-Qur’an dan Al-Hadis setelah
memberi tuntunan yang cukup untuk pembinaan pribadi muslim dengan ajaran ibadah mahdhah,
kemudian beralih kepada pembinaan kehidupan keluarga muslim yang menjadi unsur terkecil
dalam pembinaan masyarakat dan komunitas muslim. Dalam hukum Islam, hukum keluarga ini
meliputi : pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri (keluarga), dan hibah di kalangan keluarga.
Kaidah-kaidah yang khusus di bidang ini ada 20.
c. Secara etimologis, Mu’amalah berasal dari kata ‘amala - yu’amilu - mu’amalatan, yang
bermakna saling bertindak, saling berbuat, saling mengamalkan. Secara terminologis, muamalah
mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas mu’amalah berarti aturan-
aturan hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi/pergaulan
sosial. Dan dalam arti sempit, mu’amalah berarti aturan Allah yang wajib ditaati, yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan
mengembangkan harta benda. Jadi mu’amalah adalah menyangkut af’al (perbuatan) seorang
hamba. Terdapat 20 kaidah dalam bidang ini.
d. Fikih jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara bahasa
(etimologi) berasal dari lafal faqiha, yafqahu, fiqhan, yang berarti mengerti, atau paham.
Sedangkan pengertian fiqh secara istilah (terminologi) fikih adalah ilmu tentang hukum- hukum
syara’ praktis yang diambil dari dalil- dalil yang terperinci. Adapun jinayah menurut bahasa
(etimologi) adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan.
Sedangkan jinayah menurut istilah (terminologi) adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh
syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya. Terdapat 13 kaidah dalam fiqh
jinayah.
e. Seperti diketahui bahwa fikih siyasah adalah hukum Islam yang objek bahasannya tentang
kekuasaan. Apabila dirinci, fikih siyasah meliputi hukum tata negara, administrasi negara, hukum
internasional dan hukum ekonomi. Apabila dilihat dari sisi hubungan, fikih siyasah berbicara
tentang hubungan antara rakyat dan pemimpinnya sebagai penguasa yang kongkrit di dalam
ruang lingkup satu negara atau antar negara atau dalam kebijakan ekonomi-ekonominya baik
nasional maupun internasional. Kaidah-kaidah dalam Fiqh siyasah ada 12.
f. Dalam Islam Aqdiyah adalah segala sesuatu yang mengatur tentang Hukum-hukum Pengadilan.
Yang dimaksud dengan Hukum disini adalah memisahkan atau mendamaikan dua pihak yang
berselisih yaitu dengan Hukum Allah SWT. Terdapat 13 kaidah dalam bidang ini.

Daftar Pustaka

Ahmad Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih Islam (kaidah-kaidah hukum Islam dalam


menyelesaikan masalah-masalah yang praktis), ( Jakarta: Kencana, 2007)

Helim, Abdul. 2012. Kumpulan Kaidah Fikih tentang Siyasah/Politik/Kekuasaan..

Permana, Sidiq. 2016. Kaidah-kaidah Khusus Di Bidang Ibadah Mahdhah .

Zarkasi, Ahmad. 2013. Kaidah-Kaidah Fikih Tentang Ahwal Asy-Syakhshiyyah.

Anda mungkin juga menyukai