Anda di halaman 1dari 23

BAB II

JARIMAH QADZAF

A. JARIMAH
1. Pengertian
Menurut bahasa, Jarimah berasal dari akar kata ً‫ر ْي َمة‬
ِ ‫َج َر َم – يَجْ ِر ُم – َج‬
yang berarti “berbuat” dan “memotong”. Kemudian, secara khusus
dipergunakan terbatas pada “perbuatan dosa” atau “perbuatan yang dibenci”.

ِ ,ْ‫ يَج‬-‫ َر َم‬,ْ‫ أَج‬yang berarti “melakukan


Kata jarimah juga berasal dari kata ‫ر ُم‬
sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, keadilan, dan menyimpang dari
jalan yang lurus”.20
Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu definisi yang jelas,
bahwa jarimah itu adalah

‫ْق ْال ُم ْستَقِي ِْم‬


ِ ‫ق َو ْال َع ْد ِل َوالطَّ ِري‬
ِّ ‫ف لِ ْل َح‬
ٌ ِ‫اِرْ تِ َكابُ ُك ِّل َما هُ َو ُمخَال‬
Artinya: Melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran,
keadilan, dan jalan yang lurus (agama).21
Dari keterangan ini jelaslah bahwa jarimah menurut arti bahasa adalah
melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak baik,
dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan
jalan yang lurus (agama).
Menurut istilah, Imam Al-Mawardi mengemukakan sebagai berikut.

ِ ‫ات شَرْ ِعيَّةٌ زَ َج َرهللاُ تَ َعالَى َع ْنهَا بِ َح ٍد أَوْ تَع‬


‫ْزي ٍْر‬ ٌ ‫اَ ْل َج َرائِ ُم َمحْ ظُوْ َر‬
Artinya: Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’,
yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.22

Perbuatan yang dilarang ( ٌ ‫وْ َر‬,,,ُ‫) َمحْ ظ‬


‫ات‬ adakalanya berupa
mengerjakan perbuatan yang dilarang dan adakalanya meninggalkan
20
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam, Cet. ke-1, (Bandung:
Pustaka Setia, 2013), hlm. 14
21
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet. ke-2, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), hlm. 9
22
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 9

1
2

perbuatan yang diperintahkan. Sedangkan lafaz syar’iyah ( ٌ‫شَرْ ِعيَّة‬ ) dalam


definisi tersebut mengandung pengertian, bahwa suatu perbuatan baru
dianggap sebagai jarimah apabila perbuatan itu dilarang oleh syara’ dan
diancam dengan hukuman. Dengan demikian apabila perbuatan itu tidak ada
larangannya dalam syara’ maka perbuatan tersebut hukumnya mubah, sesuai
dengan kaidah yang berbunyi:

َ َ‫اَأْل َصْ ُل فِى اأْل َ ْشيَا ِء اإْل ِ ب‬


‫احةُ َحتَّى يَ ُدلُّ ال َّد لِ ْي ُل َعلَى التَّحْ ِري ِْم‬
Pada dasarnya semua perkara dibolehkan, sehingga ada dalil yang
menunjukkan keharamannya.

Abdul-Qadir ‘Audah menyatakan:

ِ ْ‫ب َعلَى فِ ْعلِ ِه أَوْ تَر‬


ُ ْ‫ ر ٍَّم التَّر‬,‫ ٍل ُم َح‬,‫ك فِ ْع‬
‫ك‬ ُ َ‫فَ ْال َج ِر ْي َمةُإِ َذ ْن ِه َي إِ ْتي‬
ٍ َ‫ان فِع ٍْل ُم َحر ٍَّم ُم َعاق‬
ُ‫اب‬,,َ‫ت اَل َّش ِر ْي َعةُ َعلَى تَحْ ِر ْي ِم ِه َو ْال َعق‬
ْ ‫َص‬ ٌ ْ‫ أَوْ ِه َي فِ ْع ٌل أَوْ تَر‬،‫ُم َعاقَبٌ َعلَى تَرْ ِك ِه‬
َ ‫كن‬
.‫َعلَ ْي ِه‬
Artinya: Jarimah adalah melakukan perbuatan yang diharamkan yang
apabila melakukannya mengakibatkan ancaman sanksi hukum
tertentu, atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang, yang
diancam sanksi hukum tertentu apabila tidak melakukannya atau
dengan kata lain, melakukan atau meninggalkan (perbuatan) yang
keharamannya telah ditetapkan oleh syariat dan adanya ancaman
hukuman tertentu.23

Menurut kamus pengetahuan Islam lengkap, jarimah adalah perbuatan


dosa; tindak pidana; perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan
ditentukan hukumannya oleh Allah, baik dalam bentuk sanksi-sanksi yang
sudah jelas ketentuannya (had) maupun sanksi-sanksi yang belum jelas
ketentuannya oleh Allah (ta’zir).24
Menurut kamus Islam fiqih, jarimah adalah larangan syara’ yang
diancam dengan hukum, baik karena mengerjakan pekerjaan yang dilarang

Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam, … hlm. 15
23

24
Rian Hidayat El-Bantany, Kamus Pengetahuan Islam Lengkap, Cet. ke-1, (Depok:
Mutiara Allamah Utama, 2014), hlm. 241
3

atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan, seperti membunuh, berzina,


dsb.25
Jadi, pengertian jarimah adalah larangan-larangan syara’ (yang apabila
dikerjakan) diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
Lafal had mempunya dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus. Had
dalam arti umum meliputi semua hukuman yang telah ditentukan oleh syara’,
baik hal itu merupakan hak Allah maupun hak individu. Dalam pengertian ini
termasuk hukuman qisas dan diat. Dalam arti khusus had itu adalah hukuman
yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah, seperti hukuman
potong tangan untuk jarimah pencurian, dera seratus kali untuk jarimah zina,
dan dera delapan puluh kali untuk jarimah qadzaf. Dalam pengertian khusus
ini, hukuman qisas dan diat tidak termasuk, karena keduannya merupakan hak
individu. Sedangkan pengertian “ta’zir” adalah hukuman yang belum
ditentukan oleh syara’ dan untuk penetapan serta pelaksanaannya diserahkan
kepada ulil amri (penguasa) sesuai dengan bidangnya.
Menurut hukum Islam hukuman ta’zir adalah hukuman yang tidak
tercantum nash atau ketentuannya dalam al-qur’an dan as-sunnah, dengan
ketentuan yang pasti dan terperinci. Hukuman ta’zir dimaksudkan untuk
mencegah kerusakan dan menolak timbulnya bahaya. Apabila tujuan
diadakannya ta’zir itu demikian maka jelas sekali hal itu ada dalam al-qur’an
dan as-sunnah, karena setiap perbuatan yang merusak dan merugikan orang
lain hukumnya tetap dilarang.
Disamping itu, meskipun hukuman ta’zir itu ketentuannya diserahkan
kepada ulil amri (penguasa), namun dalam pelaksanaannya tetap berpedoman
kepada dasar-dasar yang telah ditetapkan oleh al-qur’an dan as-sunnah dengan
tujuan untuk mencegah manusia, supaya ia tidak membuat kekacauan dan
kerusakan.
2. Pembagian Jarimah

25
M. Abdul Mujieb, dkk. Kamus Istilah Fiqih, Cet. ke-1, (Jakarta: Pt. Pustaka Firdaus,
1994), hlm. 139
4

Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya. Akan


tetapi, secara garis besar kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari
beberapa segi, diantaranya:26
 Ditinjau dari segi berat ringannya hukuman
Dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada
tiga bagian antara lain:
a. Jarimah hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan
oleh syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat). Dengan
demikian ciri khas jarimah hudud itu adalah sebagai berikut.
 Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa
hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas
minimal dan maksimal.
 Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau
kalau ada hak manusia di samping hak Allah maka hak Allah
yang lebih menonjol. Pengertian hak Allah sebagaimana
dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah sebagai berikut.

‫ َولَ ْم‬،‫ ِريَّ ِة‬,,‫ ِة ْالبَ َش‬,,َ‫ا ُّم لِ ْل َج َماع‬,,‫ ُع ْال َع‬,,‫ ِه النَّ ْف‬,,ِ‫ق ب‬
َ َّ‫ا تَ َعل‬,,‫ َم‬:ِ‫ق هللا‬
ُّ ,,‫ َح‬...
ِ َّ‫يَ ْختَصَّ بِ َوا ِح ٍد ِمنَ الن‬
. ‫اس‬
Hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada
masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang.
Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian
hak Allah di sini adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa
dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban
atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh
negara.
Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain sebagai berikut.
 Jarimah zina

26
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 17
5

 Jarimah qadzaf
 Jarimah syurbul khamr
 Jarimah pencurian
 Jarimah hirabah
 Jarimah riddah
 Jarimah Al-Baghyu (pemberontakan)
Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah, dan
pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah semata-mata.
Sedangkan dalam jarimah pencurian dan qadzaf (penuduhan zina)
yang disinggung di samping hak Allah, juga terdapat hak manusia
(individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.
b. Jarimah qisas dan diat
Jarimah qisas dan diat adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman qisas atau diat. Baik qisas maupun diat keduanya adalah
hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan
hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak
masyarakat), sedangkan qisas dan diat adalah hak manusia
(individu). Adapun yang dimaksud dengan hak manusia
sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah sebagai
berikut.27

. ‫اس‬ َ َّ‫ فَهُ َو َما تَ َعل‬:‫ق ْال َع ْب ِد‬


ِ َّ‫ق بِ ِه نَ ْف ٌع خَ اصٌّ لِ َوا ِح ٍد ُم َعيِّ ٍن ِمنَ الن‬ ُّ ‫ َح‬...
Hak manusia adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada
orang tertentu.
Dalam hubungannya dengan hukuman qisas dan diat maka
pengertian hak manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa
dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya.
Dengan demikian maka ciri khas dari jarimah qisas dan diat itu
adalah:

27
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 18
6

 Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah


ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal atau
maksimal;
 Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu),
dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan
pengampunan terhadap pelaku.
Jarimah qisas dan diat ini hanya ada dua macam, yaitu
pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada
lima macam, yaitu
 Pembunuhan sengaja,
 Pembunuhan menyerupai sengaja,
 Pembunuhan karena kesalahan,
 Penganiayaan sengaja, dan
 Penganiayaan tidak sengaja.
c. Jarimah ta’zir
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ta’dib atau member
pelajaran. Ta’zir juga diartikan ar rad wa al man’u, artinya menolak
dan mencegah. Akan tetapi menurut istilah, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam Al Mawardi, pengertiannya adalah sebagai
berikut.28

ِ ْ‫ْز ْي ُرتَأْ ِد يْبٌ َعلَى ُذنُو‬


‫ب لَ ْم تُ ْش ِر ْع فِ ْيهَا ْال ُح ُد وْ ُد‬ ِ ‫َوالتَّع‬
Ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana)
yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah
hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan
kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya.
Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan
hukuman secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak

28
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 19
7

menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir,


melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang
seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.
Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta’zir itu adalah sebagai
berikut.
 Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman
tersebut belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal
dan ada batas maksimal.
 Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.
 Ditinjau dari segi niat
Ditinjau dari segi niatnya, jarimah dapat dibagi kepada dua bagian,
yaitu:29
a. Jarimah sengaja
Masalah sengaja dan tidak sengaja berkaitan erat dengan niat
pelaku. Menurut Muhammad Abu Zahrah, yang dimaksud dengan
jarimah sengaja adalah sebagai berikut.

‫ دًا‬,‫ ْخصُ عَا ِم‬, ‫الش‬


َّ ‫ ُرهَا‬, ‫اش‬ َ ,‫وْ َدةُ ِه َي ْال َج‬, ‫ص‬
ِ َ‫رائِ ُم الَّتِى يُب‬, ُ ‫ال َج َرائِ ُم ْال َم ْق‬,
ْ ,َ‫ف‬
. ‫ُم ِر ْيدًا لَهَا عَالِ ًما بِالنَّه ِْى َع ْنهَا َوبِأَنَّهَا ُم َعاقَبٌ َعلَ ْيهَا‬
Jarimah sengaja adalah suatu jarimah yang dilakukan oleh
seseorang dengan kesengajaan dan atas kehendaknya serta ia
mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diancam
dengan hukuman.

Dari definisi tersebut dapatlah diketahui bahwa untuk jarimah


sengaja harus dipenuhi tiga unsur:
 Unsur kesengajaan,
 Unsur kehendak yang bebas dalam melakukannya, dan
 Unsur pengetahuan tentang dilarangnya perbuatan.
Apabila salah satu dari ketiga unsur ini tidak ada maka perbuatan
tersebut termasuk jarimah yang tidak sengaja.
b. Jarimah tidak sengaja
29
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 22
8

Abdul Qadir Audah mengemukakan pengertian jarimah tidak


sengaja sebagai berikut.
Jarimah tidak sengaja adalah jarimah di mana pelaku tidak
sengaja (berniat) untuk melakukan perbuatan yang dlrang dan
perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat kelalaiannya
(kesalahannya).

Dari definisi tersebut kita melihat bahwa kelalaian (kesalahan) dari


pelaku merupakan faktor penting untuk jarimah tidak sengaja.
Kesalahan atau kekeliruan ini ada dua macam.
 Pelaku sengaja melakukan perbuatan yang akhirnya menjadi
jarimah, tetapi ini sama sekali tidak diniatkannya.
 Pelaku tidak sengaja berbuat dan jarimah yang terjadi tidak
diniatkannya sama sekali. Dalam hal ini jarimah tersebut terjadi
sebagai akibat kelalaiannya atau ketidakhati-hatiannya.
 Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya
Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya, jarimah itu dapat dibagi
kepada dua bagian.30
a. Jarimah tertangkap basah
Pengertian jarimah yang tertangkap basah adalah sebagaimana
yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah sebagai berikut.
Jarimah yang tertangkap basah adalah jarimah di mana
pelakunya tertangkap pada waktu melakukan perbuatan tersebut
atau sesudahnya tetapi dalam masa yang dekat.
b. Jarimah yang tidak tertangkap basah
Yang dimaksud dengan jarimah yang tidak tertangkap basah
adalah sebagai berikut.
Jarimah yang tidak tertangkap basah adalah jarimah di mana
pelakunya tidak tertangkap pada waktu melakukan perbuatan
tersebut, melainkan sesudahnya dengan lewatnya waktu yang
tidak sedikit.

 Ditinjau dari segi cara melakukannya

30
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 24
9

Ditinjau dari segi cara melakukannya, jarimah dapat dibagi kepada


dua bagian.31
a. Jarimah positif
Jarimah positif adalah jarimah yang terjadi karena melakukan
perbuatan yang dilarang, seperti pencurian, zina, dan pemukulan
b. Jarimah negatif
Jarimah negatif adalah jarimah yang terjadi karena meninggalkan
perbuatan yang diperintahkan, seperti tidak mau menjadi saksi,
enggan melakukan shalat dan puasa.
 Ditinjau dari segi objeknya
Ditinjau dari segi objek atau sasaran yang terkena oleh jarimah
maka jarimah itu dapat dibagi dua bagian.32
a. Jarimah perseorangan
Jarimah perseorangan adalah suatu jarimah di mana hukuman
terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi hak perseorangan
(individu), walaupun sebenarnya apa yang menyinggung individu,
juga berarti menyinggung masyarakat. Dengan demikian dalam
jarimah perseorangan, segi perseorangan lebih menonjol.
Jarimah qishash dan diat termasuk ke dalam kelompok jarimah
perseorangan. Oleh karenanya, korban atau walinya dapat
memaafkan pelaku dari hukuman qisas atau diat. Jarimah ta’zir
sebagian ada yang termasuk jarimah perseorangan apabila yang
dirugikan adalah hak perseorangan, seperti penghinaan, penipuan,
dan semacamnya.
b. Jarimah masyarakat
Jarimah masyarakat adalah suatu jarimah di mana hukuman
terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan
masyarakat, walaupun sebenarnya kadang-kadang apa yang
menyinggung masyarakat, juga menyinggung perseorangan. Dengan

31
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 25
32
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 26
10

demikian dalam jarimah masyarakat, segi masyarakat yang terkena


oleh jarimah itu lebih menonjol.
Jarimah-jarimah hudud termasuk ke dalam kelompok jarimah
masyarakat, meskipun sebagian daripadanya ada yang mengenai
perseorangan, seperti pencurian, dan qadzaf (penuduhan zina).
Jarimah-jarimah ta’zir sebagian ada yang termasuk jarimah
masyarakat, kalau yang disinggung itu hak masyarakat, seperti
penimbunan bahan-bahan pokok, korupsi, dan semacamnya. Berbeda
dengan jarimah perseorangan, dalam jarimah masyarakat tidak ada
pengaruh maaf, karena hukumannya merupakan hak Allah (hak
masyarakat).
 Ditinjau dari segi tabiatnya
Ditinjau gari segi watak atau tabiatnya, jarimah terbagi kepada dua
bagian.33
a. Jarimah biasa
Jarimah biasa adalah jarimah yang dilakukan oleh seseorang
tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan politik. Dalam jarimah
biasa faktor pembangkitnya (motif) berupa ide atau pandangan tidak
ada. Jadi motif dilakukannya jarimah biasa adalah biasa-biasa saja,
walaupin kadang-kadang jarimah biasa biasa dilakukan untuk
maksud-maksud politik.
b. Jarimah politik
Muhammad Abu Zahrah mengemukakan pengertian jarimah
politik sebagai berikut.
Jarimah politik adalah jarimah yang merupakan pelanggaran
terhadap peraturan pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah
atau terhadap garis-garis politik yang telah dientukan oleh
pemerintah.

Dengan perkataan lain jarimah politik adalah jarimah yang faktor


pembangkitnya (pendorongnya) adalah suatu ide atau pandangan,
walaupun ide tersebut ide yang menyimpang.
33
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 27
11

3. Unsur-unsur Jarimah
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur untuk jarimah
itu ada tiga macam.
 Unsur formal
Unsur formal yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang
perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.34 Dengan perkataan lain,
tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan adanya suatu
nash. Ketentuan ini dalam hukum positif disebut dengan istilah asas
legalitas. Salah satu kaidah yang penting adalah35
Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hokum bagi perbuatan
orang-orang yang berakal sehat.
 Unsur material
Unsur material yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah,
baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat
(negatif). Dalam jarimah zina unsur materiilnya adalah perbuatan yang
merusak keturunan. Dalam jarimah qadzaf unsur materiilnya adalah
perkataan yang berisi tuduhan zina. Sedangkan dalam jarimah
pembunuhan unsur materiilnya adalah perbuatan yang mengakibatkan
hilangnya nyawa orang lain. Unsur materiil ini mencakup tiga masalah
pokok, yaitu tentang jarimah yang telah selesai, jarimah yang belum
selesai atau percobaan dan turut serta melakukan jarimah.
 Unsur moral
Unsur moral yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf, yakni
orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang
dilakukannya. Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syariat
Islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak
adanya perbuatan yang dikerjakan dengan kemauan sendiri, di mana
orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya. Dalam
syariat Islam pertanggungjawaban itu didasarkan kepada tiga hal:36
34
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 28
35
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 29
36
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 74
12

a. Adanya perbuatan yang dilarang,


b. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan
c. Pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.
Orang yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah
orang yang melakukan kejahaan itu sendiri dan bukan orang lain. Hal itu
didasarkan kepada firman Allah dalam al-quran surat Fushshilat ayat 46
          
  
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuk dirinya dan
barangsiapa yang berbuat kejahatan maka akibatnya atas
dirinya, dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-
hambaNya” (QS. Fushshilat: 46)

Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana


adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang
oleh syara’ atau meninggalkan (tidak mengerjakan) perbuatan yang
diperintahkan oleh syara’. Jadi, sebab pertanggungjawaban pidana adalah
melakukan kejahatan. Apabila tidak melakukan kejahatan maka tidak ada
pertanggungjawaban pidana.
Sebab-sebab hapusnya hukuman ini ada empat macam, yaitu37
a. Paksaan, yaitu suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk
mempengaruhi orang lain agar ia melakukan apa yang diinginkan
olehnya (pemaksa) dengan menggunakan ancaman. Sebagai akibat
dari adanya ancaman tersebut, pihak yang dipaksa tidak mempunyai
pilihan lain, kecuali mengerjakan apa yang diinginkan oleh pihak
yang memaksa. Itulah sebabnya orang yang dipaksa kehilangan
kerelaan (ridha) dan pilihan (ikhtiar).
b. Mabuk, yaitu hilangnya akal sebagai akibat minum minuman keras
atau khamar atau yang sejenisnya.
c. Gila, yaitu hilangnya kemampuan berpikir. Abdul Qadir Audah
memberi definisi gila yaitu “gila adalah hilangnya akal, rusak, atau
lemah.”

37
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas… hlm. 85
13

d. Di bawah umur.

B. JARIMAH QADZAF
1. Pengertian
Seperti yang telah dijelaskan, yang dimaksud jarimah adalah
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan
hukuman had atau ta’zir. Sedangkan qadzaf, asal makna qadzaf adalah
arramyu (melempar), umpamanya melempar dengan batu atau dengan yang
lain.
Firman Allah SWT dalam surat QS. Thaha’ 39 yaitu:
       
        
      
Artinya: Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah
ia ke sungai (Nil), Maka pasti sungai itu membawanya ke tepi,
supaya diambil oleh (Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya. dan aku
telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku;
dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (QS. Thaha’:
39)38

Dan firman Allah SWT.:


      
      
 
Artinya: “Mereka berkata: kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu
dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami disuruh membawa
beban-beban dari perhiasan kaum itu, maka kami telah
melemparkannya dan demikian pula samiri melemparkannya.”
(QS. Thaha: 87)39

Akan tetapi kata arramyu bisa juga berarti kinayah, seperti yang
terdapat dalam surah an-Nur ayat 4, yang berbunyi:
      
      
      

38
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Bandung: Gema Risalah Press),
hlm. 605
39
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya… hlm. 613
14

Artinya:“Dan orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik (berbuat


zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali, dan
janganlah kamu terima kesaksiannya mereka buat selama-lamanya
dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 4)40

Jadi, kata arramyu selain berarti melempar, juga berarti menuduh.


Maka dengan demikian kata arramyu mempunyai arti sama dengan qadzaf.
Kemudian, yang dimaksud qadzaf zina adalah menuduh zina.
Adapun secara terminologis, qadzaf berarti menuduh berzina pihak
lain tanpa bukti yang diterima.41 Menurut Kamus Pengetahuan Islam Lengkap,
qadzaf adalah melontarkan tuduhan zina, menuduh orang lain berzina; qadzif
adalah penuduh; maqdzuf adalah tertuduh atau orang yang dituduh. 42 Ulama
fikih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan qadzaf adalah, “Menasabkan
seorang anak Adam kepada lelaki lain disebabkan zina” atau “Memutuskan
keturunan seorang muslim”.43
Menurut hukum Islam, ada dua jenis qadzaf, yaitu qadzaf yang
pelakunya wajib dijatuhi hukuman hudud dan qadzaf yang pelakunya wajib
dijatuhi hukuman ta’zir. Qadzaf yang pelakunya wajib dijatuhi hukuman
hudud adalah menuduh orang baik-baik (muhsan) berzina atau menafikan
nasabnya. Qadzaf yang pelakunya harus dijatuhi hukuman ta’zir adalah
menuduh orang muhsan atau bukan muhsan dengan selain zina dan menafikan
nasabnya. Mencaci dan mengumpat hukumnya sama dengan qadzaf dan
pelakunya harus dijatuhi hukuman ta’zir.44
Jadi tuduhan zina adalah seseorang yang menuduh berbuat zina kepada
orang lain dengan tuduhan yang jelas atau menafikan nasabnya kapada ayah
atau ibunya.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Qadzaf

40
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya… hlm. 684
41
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, Cet. ke-1, (Jakarta: Amzah, 2016), hlm. 53
42
Rian Hidayat El-Bantany, Kamus Pengetahuan Islam… hlm. 443
43
A. Rahman Ritonga, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. ke-6, (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2003), hlm. 1456
44
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad‘Iy,
Cetakan Pertama, (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998), hlm. 17
15

Qadzaf yang wajib dijatuhi hukuman hudud adalah menuduh orang


baik-baik (muhsan) berzina atau menafikan nasab darinya. Dari sini jelas
bahwa ada tiga unsur tindak pidana qadzaf yang mewajibkan jatuhnya
hukuman hudud:45
 Menuduh berbuat zina atau menafikan nasab
Unsur ini akan terpenuhi jika pelaku menuduh korban berzina atau
menafikan nasabnya, sedangkan ia tidak mampu membuktikan
tuduhannya. Menuduh zina terkadang disertai dengan menafikan nasab si
tertuduh dan terkadang tidak. Orang yang mengatakan “hai, anak zina”
pada seseorang berarti telah menafikan nasab korban dan menuduh
ibunya berbuat zina. Orang yang berkata “hai, pezina” kepada seseorang
berarti telah menuduh berzina tanpa menafikan nasabnya. Menuduh zina
dan mengaitkan hal tersebut dengan ibu korban berarti menafikan nasab
orang yang dituduh. Menafikan nasab berarti menuduh ibu –atau salah
satu ibu– si tertuduh. Siapa saja yang menasabkan seseorang kepada
selain bapaknya atau kakeknya berarti ia telah menuduh ibu atau nenek
korban sebagai pelaku zina. Jika tuduhan bukan mengenai perzinaan atau
penafian nasab, tidak ada hukuman hudud. Contohnya adalah menuduh
seseorang kafir, mencuri, zindik (orang yang menyembunyikan
kekafirannya), meminum minuman keras, memakan riba, mengkhianati
amanah, atau lainnya. Pelaku tuduhan ini hanya dihukum ta’zir. Orang
yang menuduh zina dan menafikan nasab akan dijatuhi hukuman ta’zir
apabila syarat-syarat untuk dijatuhi hukuman hudud tidak terpenuhi.
 Orang yang dituduh harus muhsan
Orang yang dituduh berzina, baik laki-laki maupun perempuan,
harus muhsan. Dalil disyaratkannya ihsan adalah firman Allah SWT.
      
      
      
Artinya:“Dan orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang

45
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy … hlm. 23
16

saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh


kali, ...” (QS. An-Nur: 4)46

     


       
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina),
mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka
azab yang besar.”(QS. An-Nur: 23)47

Menurut sebuah pendapat, yang dimaksud ihsan pada ayat pertama


adalah terjaga dari perbuatan zina. Pendapat lain mengartikannya sebagai
perempuan merdeka. Adapun makna ihsan pada ayat kedua adalah
perempuan merdeka. Al-muhsanāt diartikan sebagai perempuan-
perempuan merdeka, al-gāfilāt diartikan sebagai perempuan-perempuan
yang suci (al-‘afā’if), dan al-mu’mināt diartikan sebgai perempuan-
perempuan muslimah. Dari dua nas ini, para fukaha menyimpulkan
bahwa iman atau Islam, merdeka, dan bersih dari zina adalah syarat-
syarat ihsan.48
Jika salah satu syarat ihsan tidak terdapat pada orang yang dituduh
berzina, penuduh tidak dijatuhi hukuman hudud. Penuduh wajib dijatuhi
hukuman ta’zir jika ia tidak mampu membuktikan kebenaran qadzaf yang
ia buat. Begitu juga ia menuduh orang gila, orang kafir, atau budak
melakukan zina.
 Berniat melawan hukum
Unsur ketiga, yaitu berniat melawan hukum dianggap terpenuhi jika
pelaku menuduh seseorang berzina atau menafikan nasabnya, padahal ia
tahu bahwa apa yang ia tuduhkan tidak benar. Ia dianggap tahu
ketidakbenaran tuduhannya selama ia tidak mampu membuktikan
kebenarannya. Jadi, ketidakmampuan membuktikan kebenaran qadzaf
merupakan indikasi bahwa ia mengetahui ketidakbenaran qadzaf yang ia
perbuat. Ia berhak mengklaim bahwa qadzaf tersebut dibuatnya
46
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya… hlm. 684
47
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya… hlm. 689
48
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy … hlm. 34
17

berdasarkan beberapa sebab yang masuk akal. Ini karena sebelum


menuduh seseorang, ia harus memiliki bukti kebenaran qadzaf tersebut.49
Pelaku qadzaf tidak disyaratkan memiliki niat membahayakan atau
mencelakai orang yang dituduh. Dengan demikian, motivasi yang
mendorong pelaku melakukan qadzaf tidak perlu diperhatikan.
3. Syarat-syarat Qadzaf
Untuk menjatuhkan hukum dera dalam qadzaf terdapat syarat-syarat
yang harus ada. Syarat-syarat tersebut meliputi tiga hal, yaitu syarat-syarat
yang harus ada pada qadzif (yang menuduh zina), syarat-syarat yang harus ada
pada maqdzuf (yang dituduh zina), dan syarat-syarat yang harus ada pada
maqdzuf bih (sesuatu yang dibuat menuduh zina).50

 Syarat yang harus ada pada qadzif


a. Berakal
Penuduh itu orang yang berakal, karena akal merupakan tatanan
taklif. Oleh karena inilah, orang yang gila yang menuduh zina tidak
dikenakan hukuman.
b. Baligh
Penuduh zina itu sudah baligh. Jika seorang anak kecil yang
sedang puber melakukan qadzaf, maka dia dikenai ta’zir yang sesuai
dengan usianya.51
c. Dalam keadaaan ikhtiar, yakni tidak dipaksa dengan pihak lain.
Penuduh zina itu dalam melakukan perbuatannya atas
kehendaknya sendiri. Orang yang menuduh zina karena dipaksa
tidak dikenai hukuman, baik paksaan itu berupa ancaman mati atau
siksaan fisik maupun berupa ancaman bahwa hartanya akan disita
seluruhnya.

49
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy … hlm. 38
50
Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam... hlm. 263
51
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016), hlm. 581
18

Ketiga syarat tersebut merupakan taklif pokok (kena hukum).


Hukum tidak dapat dijatuhkan kepada seseorang yang tidak
memenuhi ketiga syarat tersebut. Jadi, apabila orang gila, anak kecil,
atau orang yang dipaksa menuduh zina kepada orang lain, mereka
tidak dapat dijatuhi hukum dera. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
SAW. bahwa (hukum) tidak dapat dibebankan kepada tiga orang,
yaitu:
 Orang tidur sehingga ia bangun;
 Anak kecil sehingga ia dewasa;
 Orang gila sehingga ia sadar.
Sabda Nabi menyatakan bahwa hukum tidak dapat dibebankan
kepada umatku yang keliru dengan tidak sengaja, lupa, dan yang
dipaksa.
d. Orang yang menuduh itu bukan ayah dari orang yang dituduh, bukan
pula kakek atau neneknya sampai ke atas.52
Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal
berpendapat bahwa jika seorang ayah atau ibu dan keatasnya
melakukan qadzaf terhadap anaknya atau kebawahnya, ia tidak wajib
dijatuhi hukuman hudud. Alasan yang pertama, meskipun hukuman
qadzaf berupa hukuman hudud, ia berkaitan dengan hak-hak
perseorangan. Kedua, qadzaf merupakan hak yang hukumannya
tidak bisa dilaksanakan kecuali ada tuntutan (gugatan) dari orang
yang menuntut sehingga hak dalam masalah qadzaf menyerupai hak
dalam masalah kisas. Karenanya, jika hukuman hudud gugur dengan
adanya syubhat, anak tidak bisa membuat orang tuanya dijatuhi
hukuman hudud. Jika anak tidak boleh menjatuhkan kisas dan
memotong tangan orang tua yang mencuri hartanya, apalagi jika
orang tua melakukan qadzaf atas anaknya, ia pasti tidak dijatuhi
hukuman hudud. Para fukaha meyakini pendapat ini menyatakan
bahwa jika orang tua mengatakan, “hai, anak zina” kepada anak dari
52
A. Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam… hlm. 1457
19

isterinya yang sudah meninggal, si anak tidak berhak menggugat.


Akan tetapi, jika isteri yang sudah meninggal memiliki anak lain dari
suami tersebut, anak yang bukan dari suami tersebut bisa
mengajukan gugatan terhadap ayah tirinya karena hukuman hudud
qadzaf menjadi hak masing-masing orang secara perseorangan.53
 Syarat yang harus ada pada maqdzuf
a. Berakal
Apabila yang berbuat zina itu orang yang kehilangan akal atau
gila, penuduh tidak dapat dijatuhi hukuman dera karena
sesungguhnya hukuman dera itu untuk mencegah terjadinya bahaya
yang diterima dengan sakit hati oleh tertuduh. Padahal, pada orang
gila, tidak akan sakit hati apabila ia dituduh berbuat zina.54
b. Baligh
Maka tidak dihukum had jika yang dituduh adalah anak laki-laki
atau perempuan yang masih kecil. Jika seorang anak perempuan
dituduh berzina yang mana kemungkinan perbuatan itu terjadi
sebelum baligh, maka menurut jumhur ulama, bahwa hal itu
bukanlah qadzaf karena bukan merupakan zina. Jadi tidak ada had
baginya, sedangkan yang menuduh dikenai ta’zir. Imam Malik
berkata, “Sesungguhnya hal itu adalah qadzaf, dan dijatuhi hukuman
hanya bagi penuduh.” Ibnul Mundzir berkata,“Dan Imam Ahmad
berkata tentang anak perempuan yang berumur sembilan tahun,
maka dijilid bagi yang menuduhnya. Begitu juga bagi anak laki-laki
yang masih kecil, jika sudah baligh, maka dipukul wanita yang telah
menuduhnya.”55
c. Islam
Beragama Islam juga termasuk salah satu syarat yang harus ada
pada maqdzuf untuk dapat menjatuhkan hukum dera. Menurut
mayoritas ulama, jika maqdzuf bukan orang Islam, penuduhnya tidak
53
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy... hlm. 25
54
Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam… hlm. 264
55
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah… hlm. 581
20

dapat dijatuhi hukum dera. Kemudian, apabila ada orang Nasrani


atau Yahudi menuduh zina kepada orang Islam yang merdeka, orang
Nasrani atau Yahudi dikenai hukum dera delapan puluh kali.56
d. Merdeka
Maqdzuf harus orang yang merdeka. Apabila maqdzuf itu budak,
baik milik qadzif-nya maupun bukan, qadzif-nya tidak dapat dikenai
hukum dera. Karena martabat budak tidak sama dengan martabat
orang yang merdeka, meskipun qadzaf orang yang merdeka terhadap
budak menuduh zina hukumnya haram. Dalam hal ini, Rasulullah
SAW. menyatakan bahwa, “siapa orang menuduh zina kepada
budaknya, maka kelak di akhirat akan diadakan hukuman dera
baginya, kecuali bila tuduhannya itu benar.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)57
Ulama mengatakan bahwa hukum dera bagi orang merdeka yang
menuduh zina seorang budak hanya ada di akhirat karena di akhirat
hak milik budak sudah tidak ada. Semua manusia, baik yang asalnya
budak maupun merdeka, di akhirat sama derajatnya bagi Allah.
Mereka tidak mempunyai keutamaan, kecuali yang bertakwa. Di
akhiratlah adanya pemerataan balas bagi manusia dalam hal
hukuman dan harga diri atau kehormatan. Orang yang zalim akan
disiksa sebagai balasan dari orang yang dizalimi, kecuali telah
dimaafkan di dunia.
Kemudian, orang yang menuduh zina kepada orang yang
disangka budak, ternyata bukan budak, orang yang menuduh zina
tersebut dikenai hukuman dera. Pendapat ini adalah pilihan Ibnu
Mundzir, meskipun Hasan Basri mengatakan bahwa yang menuduh
zina tidak dikenai hukuman dera.
Dalam masalah orang merdeka yang menuduh zina seorang
budak, Ibnu Hazm berbeda pendapat dengan mayoritas ulama fiqh.

56
Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam… hlm. 264
57
Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam… hlm. 265
21

Ibnu Hazm berpendapat bahwa orang yang merdeka yang menuduh


zina kepada budak tetap dikenai hukuman dera. Menurut Ibnu Hazm,
orang merdeka dan budak tidak ada diskriminasi dalam masalah
qadzaf. Ibnu Hazm mengatakan bahwa tidak ada kehormatan pada
diri budak adalah pendapat dari pikiran lemah. Padahal, sudah jelas
banwa orang mukmin mempunyai kehormatan yang besar.
e. Terjaga kehormatannya.
Yakni, wanita yang dituduh terjaga dari melakukan perbuatan
keji yang dituduhkan kepadanya; baik dia terjaga dari perbuatan keji
maupun tidak; sehingga berangsiapa yang pernah berzina pada awal
usia baligh kemudian bertaubat, kemudian memperbaiki diri,
kemudian dikaruniai umur panjang, lalu ada seseoarng menuduh zina
kepadanya; maka dia tidak dikenakan hukuman had, meskipun hal
ini mengharuskan si penuduh diberi hukuman ta’zir.58
 Syarat-syarat yang harus ada pada maqdzuf bih
Segala pernyataan, baik berupa lisan maupun tuliasan, yang dapat
dikategorikan sebagai tuduhan zina adalah:59
a. Pernyataan dengan kata-kata yang jelas, seperti panggilan, “Hai
orang yang berzina”, atau kata-kata yang dianggap jelas, seperti
pernyataan, “Hai, kamu lahir tanpa bapak.” Pernyataan ini berarti
menuduh bahwa ibu dari orang yang menerima pernyataan telah
berbuat zina;
b. Pernyataan dengan kata-kata sindiran yang jelas arahnya, misalnya
ada dua orang bertangkar. Kemudian, yang satu berkata, “walaupun
aku jelek seperti ini, aku tidak pernah berbuat zina dan ibuku juga
tidak pernah berbuat zina.” Pernyataan seperti ini merupakan
sindiran yang dianggap menuduh zina kepada lawannya dan ibunya.
Imam Malik berkata, “Sesungguhnya ta’ridh yang kuat bisa
menempati posisi tashrih. Karena bukti atau dalil yang cukup –sesuai

58
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah… hlm. 582
59
Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam… hlm. 266
22

adat dan penggunaan- terkadang dapat menempati nash yang sharih,


meskipun lafazh yang ada padanya digunakan tidak sesuai pada
tempatnya. Umar r.a berpendapat seperti ini. Malik meriwayatkan dari
Amrah binti Abdurrahman bahwa dua orang saling mencela pada masa
Umar bin Khathab r.a. salah satu dari mereka berkata, “Demi Allah,
bapakku tidak berzina, dan ibuku juga tidak berzina.” Maka Umar
meminta penjelasan atas hal tersebut. Maka seseorang berkata, “Dia
memuji ibunya dan bapaknya.” Yang lain berkata,“Terkadang bagi ibu
dan bapaknya dipuji dengan selain ini.” Menurut kami engkau
menghukum jilid (cambuk) kepadanya. Maka Umar menjilidnya dengan
80 kali jilid.” [Dishahihkan oleh al-Albani di dalam Irwa al-Ghalil 8/39].
Ibnu Mas’ud, Abu Hanifah, asy-Syafi’i, ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu
Hazm, dan riwayat dari Ahmad berpendapat, bahwa tidak ada had pada
ta’ridh; karena ta’ridh mengandung kemungkinan, dan kemungkinan
adalah syubhat; sedangkan hukuman had tidak boleh dilaksanakan jika
ada syubhat di dalamnya. Akan tetapi Abu Hanifah dan asy-Syafi’i
berpendapat, bagi yang melakukannya dijatuhi hukuman ta’zir.60
Pengarang kitab Raudhah an-Nadiyyah memberi komentar yang
relevan untuk menyingkap kebenaran dalam masalah ini, sebagai
berikut:61
“Yang jelas maksud dari Al-Qur’an surat An-Nur ayat 4 tentang
orang yang menuduh zina adalah orang yang melontarkan ucapan
yang menunjukkan arti tuduhan zina, baik ucapan itu diartikan
menurut bahasa, agama, maupun adat. Di samping itu, situasi dan
kondisi menunjukkan bahwa orang yang melontarkan ucapan itu
bertujuan menuduh zina. Lagi pula, tidak ada tafsiran-tafsiran yang
menunjukkan bahwa ucapan yang dilontarkan itu tidak dimaksud
menuduh zina. Oleh karena itu, ia harus dijatuhi had qadzaf.
Demikian juga, apabila ia melontarkan ucapan yang tidak ada

60
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah… hlm. 583
61
Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam… hlm. 267
23

relevannya dengan tuduhan zina, tetapi ia mengaku bahwa ucapan


tersebuat dimaksud untuk menuduh zina, ia harus di-had.”

Anda mungkin juga menyukai