Anda di halaman 1dari 19

Fiqih muamalah

AKAD SOSIAL

(Hadiah dan Waqaf)

DI SUSUN OLEH:
1. NUR INDAH SARI (90200118011)
2. ZELYKA ZALZABILLAH YANI (90200118010)
3. NURHARIANI FITRAH (90200118026)
4. SRIWANDA. (90200118025)
5. MITA ARISKA (90200118016)

MANAJEMEN A

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
KATA PENGANTAR

               Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, atas berkat rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan penyusunan tugas Fiqh Muamalah tentang akad dalam peersprktif
islam.
               Tugas mata kuliah Fiqh Muamalah tentang Akad dalam karya ilmiah ini kami buat
agar dapat memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Fiqh Muamalah pada semester 4.
Tujuan lain penyusunan tugas ini adalah agar pembaca dapat memahami dan mengetahui
tentang akad dalam ilmu Fiqh Muamalah dalam karya ilmiah sebagaimana yang tertulis dalam
makalah ini.

                         Materi ini kami sajikan dengan bahasa yang sederhana dan menggunakan bahasa
pada umumnya agar dapat dipahami oleh pembaca.Kami menyadari bahwa makalah ini
mungkin terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca.
           
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
            Dalam kehidupan sehari-hari kita sering sekali menjumpai berbagai macam akad yang
dilakukan oleh manusia dalam bermuamalah, baik itu berupa akad pribadi perorangan
maupun akad social. Kali ini yang akan sama-sama kita bahas salah satu dari sekianj banyak
akad dalam islam, yaitu akad social. Dimana akad social ini sangat penting sekali bagi
kehidupan bermuamalah kita, untuk melanjutkan salah satu dari pada berbagai macam roda
perekonomian dalam islam, baik berupa saling memberi jasa, barang dll.
            Allah mengajarakan kita untuk saling tolong menolong sesama umat manusia. Banyak
ayat al-quran yang menganjurkan kita untuk saling membantu sesame manusia bahkan lebih
luas lagi yaitu seluruh dunia. Manusia adalah sebagai makhluk social, tidak mungkin manusia
bisa hidup sendiri tanpa butuh bentuan dari orang lain. Itulah sebabnya manusia diciptakan
saling berpasang-pasangan dll.
            Sebagai mahkluk social kita tidak bisa lepas dengan yang namanya akad ( perikatan,
perjanjian, simpul dll), oleh karena itu Allah sebagai Sang Maha Pengatur telah membuat
peraturan dalam bermuamalah secara social. Allah juga membuat peratuan untuk pengelolaan
harta manusia agar harta tersebut bersih ddan bisa dipergunakan juga untuk membantu orang
lain yang berkesusahan, baik itu berupa zakat, wakaf, hadiah, hibab, shadaqah yang InsyaAllah
akan sama-sama kita bahas dimakalah kita pada hari ini.

B. Rumusan masalah
1. Pengertian Hadiah
2. Rukun dan syarat hadiah
3. Pengertian waqaf
4. Rukun dan syarat waqaf
5. Hukum-hukum waqaf dan hadiah
6. Macam-macam Hadiah dan Waqaf

C. Tujuan Penelitian
            Manusia adalah makhluk yang lemah dan penuh dengan hawa nafsu terhadap sesuatu
yang dicendrunginya, oleh karena itu harus ada beberapa peraturan agar kecendrungan
terhadap barang, benda dll dapat dikontrol dengan baik. Dalam makalah ini kita akan
mempelajari syarat-syarat, rukun-rukun, pengertian dari masing masing cabang akad social,
agar benda/harta yang kita cendrungi tersebut dapat terjaga dengan baik, bersih, dan
mendapat rihda Allah SWT. Karena sesungguhnya Allah hanya akan dekat kepada orang-
orang yang menjaga kebersihan dirinya, hartanya, apapun yang dimilikinya, dengan cara
menyalurkan kepada koridor yang telah Allah tentukan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. HADIAH
1. Pengertian hadiah
Seperti yang dibahas sebelumnya bahwasannya hadiah adalah penyerahan hak
milik harta benda tanpa ganti rugi yang umumnya dikirimkan kepada penerima
untuk memuliakannya.1 Secara sederhana hadiah dapat diartikan sebagai
pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya penggantian dengan
maksud memuliakan.2 Hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan untuk
mengagungkan atau rasa cinta.3 Menurut istilah fikih, hadiah didefinisikan sebagai
berikut:

1. Zakariyya Al-Anshari Hadiah adalah penyerahan hak milik harta benda tanpa
ganti rugi yang umumnya dikirimkan kepada penerima untuk memuliakannya.

2. Sayyid Sabiq Hadiah itu seperti hibah dalam segi hukum dan maknanya. Dalam
pengertian ini, Sayyid Sabiq tidak membedakan antara hadiah dengan hibah
dalam segi hukum dan segi makna. Hibah dan hadiah adalah dua istilah dengan
satu hukum dan satu makna. Sehingga ketentuan yang berlaku bagi hibah
berlaku juga bagi hadiah.

3. Muhammad Qal‘aji Hadiah adalah pemberian sesuatu tanpa imbalan untuk


menyambung talisilaturrahim, mendekatkan hubungan, dan memuliakan. Dalam
pengertian ini, Muhammad Qal‘aji menegaskan bahwa dalam hadiah tidak
murni memberikan tanpa imbalan, namun ada tujuan tertentu yakni ada kalanya
untuk menyambung tali silaturrahim, mendekatkan hubungan, dan memuliakan.
Kalau dipahami, ada titik temu antara ketiga definisi di atas, yakni hadiah adalah
pemberian tanpa imbalan, sama seperti hibah. Sayyid Sabiq menganggap hibah
dan hadiah adalah sama persis, sedangkan Zakariyya Al-Ansari dan Muhammad
Qal‘aji membedakannya. Hibah murni pemberian tanpa imbalan, sedangkan
hadiah bertujuan untuk memuliakan. Mayoritas fuqaha cenderung membedakan
antara hibah dan hadiah. Yang jelas, hadiah merupakan pemindahan pemilikan
atas suatu harta dan bukan hanya manfaatnya. Kalau yang diberikan adalah
manfaatnya sementara zatnya tidak maka itu merupakan pinjaman (i’j>rah).
Karenanya hadiah haruslah merupakan tamli>kan li al-’ayn
(pemindahan/penyerahan pemilikan atas suatu harta kepada pihak lain).

Maka, hadiah merupakan pemberian harta kepada seseorang untuk


membuat senang tanpa adannya paksaan dari keduannya. Adapun yang
menjadi landasan dalam pemberian hadiah yaitu terdapat dalam firman Allah
dalam surah Al-Mudatstsir ayat 6 yang berbunyi:

٦ ‫َوالَ تمَ ◌ۡ نُن تَس◌ۡ تَك◌ۡ ثِ ُر‬

Artinya: “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh


(balasan) yang lebih banyak”.7 Dan sabda Nabi Muhammad SAW yang
berbunyi:

ُ ‫اع لَقَبِْل‬
‫ت‬ ٌ ‫ك َر‬
ُ ‫اع اَ ْو‬
ٌ ‫ذ َر‬ َ ِ‫ى أ‬
ِ ‫لي‬ ِ
َ ‫ت َو لَ ْو اُ ُهد‬
ُ ‫ك َرا ٍع الَ َج ْب‬
ِ ‫لَو دعِيت أِلى‬
ُ ‫ذ َر ٍع اَ ْو‬ َ ُْ ُ ْ
َّ َ
Artinya: “Kalau aku diundang untuk menyantap kaki kambing depan dan
belakang, niscaya aku penuhi dan kalau dihadiahkan kepadaku kaki kambing
depan dan kaki kambing belakang, niscaya aku menerimanya”. (H.R. Turmuzi).
Adapun keutamaan dalam pemberian hadiah dapat dilihat dari efek positif
dalam jiwa penerimanya. Seperti hilangnya rasa dendam dan permusuhan serta
timbulnya kasih sayang antar sesama.

2. Rukun hadiah
Menurut Ulama Hanafiah, rukun hadiah adalah ijab dan kabul sebab keduanya
termasuk akad seperti halnya jual-beli. Dalam kitab Al- Mabsuth, mereka
menambahkan dengan qadbhu (pemegang/penerima). Alasannya, dalam hadiah
harus ada ketetapan dalam kepemilikan.
Adapun yang menjadi rukun dalam hadiah yaitu wahib (pemberi), mauhub lah
(penerima), mauhub (barang yang dihadiahkan), shighat (ijab dan qabul). Wahib
(pemberi) Wahib (pemberi) adalah orang yang memberikan hadiah atau
pemindahan kepemilikan.
1. Wahib (pemberi) hadiah sebagai salah satu pihak pelaku dalam transaksi
hadiah disyaratkan:
a. Ia mestilah sebagai pemilik sempurna atas sesuatu benda yang
dihadiahkan. Karena hadiah mempunyai akibat perpindahan hak milik,
otomatis pihak pemberi hadiah dituntut sebagai sebagai pemilik yang
mempunyai hak penuh atas benda yang dihadiahkan itu.
b. Pihak pemberi hadiah mestilah seorang yang cakap bertindak secara
sempurna (kami>lah), yaitu baliq dan berakal. Orang yang sudah cakap
bertindaklah yang bisa dinilai bahwa perbuatan yang dilakukannya
adalah sah, sebab ia sudah mempunyai pertimbangan yang sempurna.
c. Pihak pemberi hadiah hendaklah melakukan perbuatannya itu atas
kemauan sendiri dengan penuh kerelaan, dan bukan dalam keadaan
terpaksa, orang-orang yang dipaksa menghadiahkan sesuatu miliknya,
bukan dengan ikhtiyarnya, sudah pasti perbuatannya itu tidak sah.

2. Mauhub Lah (penerima)

Karena hadiah itu merupakan transaksi langsung, maka penerima


hadiah disyaratkan sudah wujud dalam artinya yang sesungguhnya ketika
akad hadiah dilakukan. Oleh sebab itu, hadiah tidak boleh diberikan kepada
anak yang masih dalam kandungan. Dalam persoalan ini, pihak penerima
hadiah tidak disyaratkan supaya baliq berakal. Kalau sekiranya penerima
hadiah belum cakap bertindak ketika pelaksanaan transaksi, ia diwakili oleh
walinya.

3. Mauhub (barang yang dihadiahkan)

Mauhub (barang yang dihadiahkan) adalah barang yang dihadiahkan


kepada penerima hadiah. Adapun syarat dalam mauhub (barang yang
dihadiahkan) yang akan diberikan yaitu:
a. Benda yang dihadiahkan tersebut mestilah milik yang sempurna dari
pihak pemberi hadiah. Ini berarti bahwa hadiah tidak sah bila sesuatu
yang dihadiahkan itu bukan milik sempurna dari pihak pemberi
hadiah.
b. Barang yang dihadiahkan itu sudah ada dalam arti yang
sesungguhnya ketika transaksi hadiah dilaksanakan. Tidak sah
menghadiahkan sesuatu yang belum berwujud.
c. Objek yang dihadiahkan itu mestilah sesuatu yang boleh dimiliki oleh
agama. Tidaklah dibenarkan menghadiahkan sesuatu yang tidak boleh
dimiliki, seperti menghadiahkan minuman yang memabukan.
d. Harta yang dihadiahkan tersebut mestilah telah terpisah secara jelas
dari harta milik pemberi hadiah.

4. Shighat (ijab dan qabul)


Dalam pemberian hadiah yang menjadi sasaran ialah kepada shighat dalam
transaksi tersebut sehingga perbuatan itu sunguh mencerminkan terjadinya
pemindahan hak milik melalui hadiah. Ini berarti bahwa walaupun tiga unsur
pertama sudah terpenuhi dengan segala persyaratannya, hadiah dinilai tidak
ada bila transaksi hadiah tidak dilakukan.

3. Syarat-syarat Hadiah

Adapun syarat-syarat hadiah yaitu berkaitan dengan syarat wahib (pemberi


hadiah) dan maudhub (barang). Ulama Hanabilah menetapkan 11 (sebelas) syarat
diantaranya:

1. Hadiah dari harta yang boleh di-tasharruf-kan.

2. Terpilih dan sunguh-sunguh.

3. Harta yang diperjualbelikan.

4. Tanpa adanya penganti.

5. Orang yang sah memilikinya.

6. Sah menerimanya.

7. Walinya sebeum pemberi dipandang cukup waktu.

8. Menyempurnakan pemberian.

9. Tidak disertai syarat waktu.

10. Pemberi sudah sudah mampu tasharruf (merdeka, mukallaf, dan rashid).

11. Mauhub harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan.

Adapun yang menjadi syarat untuk wahib (pemberi hadiah) dan mauhub
(barang) yaitu:
1. Syarat Wahib (pemberi hadiah) Wahib disyaratkan harus ahli tabarru
(derma), yaitu berakal, baliqh, rasyid (pintar).

2. Syarat mauhub (barang)

a. Harus ada waktu hadiah.

b. Harus berupa harta yang kuat dan bermanfaat.

c. Milik sendiri.

d. Menyendiri, menurut Ulama Hanafiah, hadiah tidak dibolehkan terhadap


barang bercampur dengan milik orang lain, sedangkan menurut ulama’
Malikiyah, Hambali dan Syafi’iyah, hal itu dibolehkan.

e. Mauhub terpisah dari yang lain, barang yang dihadiahkan tidak boleh
bersatu dengan barang yang tidak dihadiahkan, sebab akan menyulitkan
untuk memanfaatkan mauhub.

f. Mauhub telah diterima atau dipegang oleh penerima.

g. Penerima memegang hadiah atas seizin wahib.

4. Hukum Hadiah

Saling membantu dengan cara memberikan hadiah dianjurkan oleh Allah SWT
dan Rasul-Nya. Hikmah atau manfaat disyari’atkannya adalah sebagai berikut:

1. Memberi hadiah dapat menghilangkan penyakit dengki, yakni penyakit yang


terdapat dalam hati dan dapat merusak nilai-nilai keimanan. Hadiah dilakukan
sebagai penawar racun hati yaitu dengki. Sebuah hadis yang diriwayatkan Imam
Bukhari dan tirmidzi dari Abi Hurairah r.a Nabi saw bersabda:
ِ‫د ر‬ ِ ِ x‫ن الْه‬ ِ
ْ ‫الص‬
َّ ‫ب َو َح َر‬
ُ ‫ت ذْ ه‬
ُ َ‫ي ة‬
َّ ‫د‬ َ َّ ‫د ْو ا َفأ‬
ُ ‫تـَ َه ا‬
Artinya: “Beri-memberilah َْkamu, karena pemberian itu dapat menghilangkan sakit
hati (dengki) ”.
2. Pemberian hadiah dapat mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai, dan
menyayangi. Abu Ya’la telah meriwayatkan sebuah hadis dari Abi Hurairah bahwa
Nabi Saw bersabda:
َ ‫تـَ َها ُد ْوا‬
‫تحابـ ُ ْوا‬
Artinya :“saling memberi hadiah lah kamu, karena ia dapat menumbuhkan rasa
kasih sayang ”
3. Hadiah atau pemberian dapat menghilangkan rasa dendam, dalam sebuah hadis
dari Anas r.a Rasullah Saw bersabda:
ِx ‫ن‬ ِ
َ‫الْهدَ يَةَتَ ُسلُ ا لسَِّخ ْي َمتة‬
ِْ َّ ‫اد ْوا َفأ‬
ُ ‫ تـَ َه‬Artinya:
”Saling memeberi hadialah kamu, karena sesunguhnya hadiah itu dapat mencabut
rasa dendam.”

5. Macam-macam Hadiah

1. Hadiah dalam perlombaan

Adapun yang dimaksud dengan perlombaan yang berhadiah, ialah perlombaan


yang bersifat adu kekuatan seperti gulat atau lomba lari atau ada keterampilan/
ketangkasan seperti badminton, sepakbola, atau kepandaian seperti main catur.
Pada prinsipnya lomba semacam tersebut diperbolehkan dalam agama, asal tidak
mebahayakan keselamatan badan dan jiwa dan mengenai uang hadiah yang
diperoleh dari hasil lomba tersebut diperbolehkan oleh agama jika dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut :

a. Jika uang/hadiah lomba itu disediakan oleh pemerintah atau sponsor non-pemerintah
untuk para pemenang.

b. Jika uang/hadiah lomba itu merupakan janji dari salah satu dari dua orang yang
berlomba kepada lombanya jika ia dapat dikalahkan lawannya itu.

c. Jika uang/hadiah lomba disediakan oleh para pelaku lomba dan mereka disertai
muhallil, yaitu orang yang berfungsi menghalalkan perjanjian lomba dengan uang
sebagai pihak ketiga, yang akan mengambil uang hadiah itu, jika jagonya menang tapi
ia tidak harus membayar jika jagonya kalah.

2. Hadiah dalam pembelian suatu barang

Hadiah dalam pembelian suatu barang merupakan bentuk pemberian


hadiah yang diharamkan, jika orang yang membeli kupon dengan harga
tertentu, banyak atau sedikit, tanpa ada gantinya melainkan hanya untuk ikut
serta dalam memperoleh hadiah yang disediakan. Namun perlu dingatkan juga,
jika pembeli tersebut membeli dengan tujuan untuk mendapatkan kupon,
sedangkan ia tidak membutuhkan barangnya maka hukumnya haram, karena
kupon dalam hal ini adalah tujuan pembelian dan bukan sebagai pengikut.18
Bahkan hal seperti ini termasuk larangan serius (bagi yang melakukannya
dianggap melakukan dosa besar). Karena, termasuk perbuatan judi yang dirangkai
dengan khamar (minuman keras) dalam al-quran perbuatan ini merupakan perbuatan
keji sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT al-Maidah : 90.19

ِ ‫◌ َع َمـ‬
‫ـل‬ ۡ ‫◌ س مِّن‬ ۡ ‫◌ ل َُُٰٰـم ِرج‬
ۡ ‫◌ أَز‬
ۡ ‫نص ـابُ َوٱل‬ َ َ‫◌ أ‬ ِ ۡ◌‫◌ ُر َوٱل◌ۡ َمي‬
ۡ ‫س ُر َوٱل‬ َ ‫ٰ َٓيأَيـ ُّ ـ َها ٱلَّذ‬
ۡ ‫ِين َءا َمنـ ُـ ٓو ْا إِن ََّما ٱل‬
ۡ ‫◌ َخم‬
ۡ ‫◌ َت ِنبُوهُ لَ َعلَّ ُكم‬
ۡ ‫◌ ُتف‬ ٰ
ۡ ‫◌ َط ِن َفٱج‬ۡ ‫ٱل َّشي‬
َ ‫◌ ل ُـِح‬
٩٠ ‫ُِون‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,


(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan- perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

3. Hadiah sebagai suap atau sogokan

Untuk menghindari misinterpretasi tentang hadiah dan biasanya antara


hadiah dengan sogokan, seperti yang dinyatakan oleh Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,
bahwa di masa Rasulullah Saw. hadiah adalah hadiah, tetapi masa ini hadiah bisa
saja berarti sogokan. Serta untuk membedakan antara hadiah dengan tukar
menukar, maka perlu diketahui bagaimana aturan Islam tentang hadiah dapat
dilihat dalam hadis berikut:

ِ ُ‫لَّ مَ أِ ذ ◌َا أ‬x‫ه َو َس‬xِ ‫لَّي اهللُ عَلَ ْي‬x‫ص‬


ُ‫ه‬x‫أَ لَ عَ ْن‬x‫ا ٍم َس‬x‫تيَ بِطََع‬
ِ
َ ‫ ْولُ اهلل‬x‫ن َر ُس‬ َ ‫ا‬xَ‫ا لَ ك‬xَ‫هُ ق‬x‫ي اهللُ عَ ْن‬
ِ ِ َ‫عَ ْن أ‬
ْ ‫بي ْ ُه َر يـْ َر ةَ َرض‬
ِ ِ ِ ‫ر‬x‫د يَّةٌ ض‬x ِ
ِ x‫ل ه‬x‫ي‬x ِ‫ل وأن ق‬xx‫ك‬ ُ ‫ه‬xِ xِ‫ َحا ب‬x‫ص‬ ِ ِ ِ
ُ‫لَّي اهلل‬x ‫ص‬ َ ‫د ه‬xxَ‫ب بي‬ َ ََ َ َ ْ ْ َ ْ ُ ْ‫و ا َولمَ َيا‬xْ xُ‫كل‬ ْ َ‫دَقَةٌ َق لَ أل‬x ‫ص‬ َ َ‫ل‬x‫ي‬xْ ‫أ ْن ق‬xx‫ةٌ َف‬xxَ‫دَ ق‬x‫ص‬
َ ‫أَم‬
ْ ٌ‫أَهديَّة‬
َ
ِ
‫عَلَ ْيه َو َسلَّمَ َفأَ كَلَ َم َع ُه ْم‬ ْ

Artinya: “Abu Hurairah menyatakan, bahwa Rasulullah apabila diberi makanan,


beliau selalu menanyakan kepada si pemberi hadiah apakah pemberian itu
hadiah atau sedekah. Jika pemberian itu sedekah, Rasul tidak memakannya dan
menyuruh para sahabat untuk memakan hadiah dimaksud. Jika dinyatakan
pemberian itu adalah hadiah, Rasulullah menepukkan tangannya dan makan
bersama sahabat.” (HR. Bukhari ).20 Ketentuan dalam hadis di atas memberikan
aturan agar penerima hadiah tidak hanya bahagia atau senang dengan hadiah
yang bakal diterima, akan tetapi selalu mengidentifikasi hadiah yang diserahkan,
termasuk yang boleh diterima atau tidak.

B. Waqaf
1. Pengertian waqaf
Wakaf berasal dari bahasa Arab “waqafa” yang artinya berhenti atau menahan,
sedangkan secara istilah fikih adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya
dilakukan dengan jalan menahan kepemilikan barang yang diwakafkan tersebut
untuk dimanfaatkan lebih lanjut oleh khalayak umum.

Secara umum Wakaf adalah perbuatan hukum wakif (orang Wakaf) untuk
memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian hartanya baik secara permanen atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya untuk tujuan
keagamaan dan / atau kesejahteraan umum sesuai syariah.

Pengertian waqaf menurut para ahli:

1. Hanafiyah

Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain)


milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada
siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203).

Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf


masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian,
Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan
hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.

2. Malikiyah

Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta


yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan
kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu
tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf
tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang
berhak saja.

3. Syafi‘iyah
Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi
manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak
pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang
dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376)

Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang


kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak
atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi:
1/575).

4. Hanabilah

Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu


menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu
Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-
undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004,

wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan


dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

2. Rukun-rukun Waqaf

1) Orang yang berwakaf (wakif), syaratnya;

a. kehendak sendiri

b. berhak berbuat baik walaupun non Islam

2) Sesuatu (harta) yang diwakafkan (mauquf), syartanya;

a. barang yang dimilki dapat dipindahkan dan tetap zaknya, berfaedah saat diberikan
maupun dikemudian hari

b. milki sendiri walaupun hanya sebagian yang diwakafkan atau musya (bercampur
dan tidak dapat dipindahkan dengan bagian yang lain
3) Tempat berwakaf (yang berhaka menerima hasil wakaf itu), yakni orang yang memilki
sesuatu, anak dalam kandungan tidak syah

4) Akad, misalnya: “Saya wakafkan ini kepada masjid, sekolah orang yang tidak mampu
dan sebagainya” tidak perlu qabul (jawab) kecuali yang bersifat pribadi (bukan bersifat
umum).

3. Syarat-syarat Waqaf

a. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif):


Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah
memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu
kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah
wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah
baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid).
Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak
sah mewakafkan hartanya.

b. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf):

Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi
beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu
mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui
kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan
milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh
orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat
kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).

c. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih):

Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama
tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan
tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau
satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak
tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya
seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi
orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah
orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim,
merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf.
Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-
syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan
menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang
dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan
untuk kepentingan Islam saja.

d. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat:
Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya
(ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu
dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada
syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh
syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka
penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat
lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan
harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap
pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.

3. Hukum-hukum Waqaf

1. Berdasarkan Al-Qur’an & Sunnah


 Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang
menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di
Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi
menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.
 Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di
Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya
telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya
peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan
kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan
sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar
menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar
menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak,
untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu.
Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang
mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya
sebagai sumber pendapatan.”
 Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam
Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu
meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber,
yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan
anak soleh yang mendoakannya.”
2. Berdasarkan Hukum Positif

Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-


undang nomor 41 tahun 2004.

Surah Al-imran ayat ke 92

‫لَنتَنَالُو ْاا ْلبِ َّر َحتَّىتُنفِقُو ْا ِم َّمات ُِحبُّونَ َو َماتُنفِقُو ْا ِمن ش َْي ٍءفَإِنَّاهّلل َ بِ ِه َعلِي ٌم‬
Artinya:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Isi Kandungan:

 Dari segi agama, kebaikan bukan hanya terletak pada shalat dan ibadah. Membantu
orang-orang lemah dan memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat adalah di antara
tugas seorang muslimin.
 Karena Tuhan membandingkan apa yang kita infakkan, maka sebaiknya kita infak
sesuatu yang terbaik dan jangan kita bakhil tentang jumlahnya.
 Syuhada mencapai derajat tertinggi bir (kebaikan). Karena, mereka menginfakkan
modal yang paling besar yaitu jiwanya di jalan Allah.
 Dalam infak, intinya adalah pada kualitas bukannya pada kuantitas, artinya baik
walaupun sedikit.
 Dalam Islam, tujuan infak bukan hanya mengenyangkan perut orang-orang lapar,
melainkan pertumbuhan ekonomi yang menafkahkan juga dimaksudkan.
Menghilangkan keterikatan hati dari mahbub imajinasi dan khayali menyebabkan
mekarnya jiwa kedermawanan dan pengorbanan.
5. Macam-macam Waqaf

a. Waqaf Khairi

Wakaf sejak awalnya ditujukan untuk kepentingan atau kepentingan umum,


bahkan dalam jangka waktu tertentu, seperti menyumbangkan tanah untuk
membangun masjid, sekolah, dan rumah sakit.

b. Ahli Waqaf atau Zurri

Wakaf sejak ditakdirkan untuk individu tertentu atau khusus atau bahkan
akhirnya untuk kepentingan kepentingan publik, seolah-olah itu adalah penerima
wakaf amal telah meninggal, harus diwarisi oleh ahli waris yang menerima wakaf.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Waqaf
Menurut bahasa waqaf berasal dari Waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-
tahbis(tertawan) dan al-man’u (mencegah).
Hadiah
Hadiah adalah pemberian oleh orang berakal sempurna sebuah barang yang
dimilikinya dengan tidak ada tukarnya serta dibawa ketempat yang diberi karena hendak
memuliakannya.

Anda mungkin juga menyukai