Diampu Oleh :
Disusun Oleh :
Atep Setiadi
2.215.11.005
1
Tafsir ayat tentang kafalah
A. Pendahuluan
Disamping itu, fiqh muamalah sebagai disiplin ilmu akan terus berkembang
dan harus berkembang. Perkembangan tersebut sangat tergantung pada
perkembangan manusia dan umat islam khususnya. Dalam hal ini perkembagan
tatana manusiasangat berpengaruh pada perekayasaan fiqh muamalah sehingga
dapat dipubliksikan dalam segala situasi dan kondisi tatanan kehidupan manusia
itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Tafsir Q.s. Ali Imraan Ayat 35
2. Jelaskan Tafsir Q.S. Yusuf Ayat72
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Isi kandungan mengenai Q.S. Ali Imraan Ayat 35
2. Untuk mengetahui Isi kandungan mengenai Q.S. Yusuf Ayat 72
D. Metodologi penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Q.S . Ali Imraan : 37
Allah mengabulkan do' anya dan menerima nadzarnya dengan penerimaan yang
baik.
3
Dalam ayat ini terdapat dalil adanya karamah para wali.
Maryam pun tumbuh dengan baik dan penuh berkah. Alloh menyediakan
untuknya rezeki yang melimpah.
"Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa
yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.
4
Sebuah kalimat yang menggambarkan orang mukmin terhadap tuhannya,
dengan memelihara yang ada diantara dia dan tuhannya, dengan tawadhu dan
merendahkan diri dan membicarakan sesuatu yang rahasia itu , tanpa
menyombongkan dan membanggakan diri, sebagaimana disebutkannya fenomena
keagungan nabi zakariya , sebagai pengantar terhadadap keajaiban berikutnya,
seperti masalah kelahiran Yahya dan kelahiran Isa.
Allah Swt. memberitakan bahwa Dia menerima nazar yang telah diucapkan oleh ibu
Maryam, dan bahwa Dia menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang baik, yakni
menjadikan rupanya cantik dengan penampilan yang bercahaya serta memberinya rahasia
untuk doa yang dikabulkan, dan menitipkannya kepada orang-orang yang saleh dari
hamba-hamba-Nya; dia belajar dari mereka ilmu, kebaikan, dan agama. Disebutkan di
dalam firman-Nya:
Dengan huruf fa yang di-tasydid-kan dan lafaz Zakaria di-nasab-kan karena menjadi
maful, yakni Allah menjadikannya sebagai pemelihara Maryam.
Ibnu Ishaq mengatakan, hal tersebut tidak sekali-kali terjadi melainkan karena Maryam
telah yatim. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa kaum Bani Israil di suatu waktu
mengalami musim paceklik dan kekeringan, maka Zakaria memelihara Maryam sebagai
ayah angkatnya karena faktor tersebut. Pada intinya kedua pendapat tersebut tidak
bertentangan.
5
Menurut pendapat yang lain, Zakaria adalah suami saudara perempuan Maryam. Seperti
yang disebut di dalam sebuah hadis sahih, yaitu:
tiba-tiba Nabi Saw. bersua dengan Yahya dan Isa, keduanya adalah anak laki-laki bibi
(saudara sepupu).
Akan tetapi, adakalanya dapat diselaraskan dengan pengertian apa yang telah dikatakan
oleh Ibnu Ishaq dalam pengertian yang lebih luas. Atas dasar ini berarti Maryam berada
di dalam asuhan dan pemeliharaan bibinya.
Disebutkan di dalam sebuah hadis sahih bahwa Rasulullah Saw. pernah memutuskan
dalam kasus Imarah binti Hamzah bahwa Imarah diserahkan ke dalam pemeliharaan
bibinya yang menjadi istri Ja'far ibnu Abu Talib, dan beliau bersabda:
Bibi sama kedudukannya dengan ibu.
Kemudian Allah Swt. menceritakan perihal kemuliaan dan keteguhan-nya dalam tempat
ibadahnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya
(Maryam). (Ali Imran: 37)
Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Ibrahim An-Nakha'i, Ad-Dahhak,
Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Atiyyah Al-'Aufi, dan As-Saddi mengatakan, makna yang
dimaksud ialah Zakaria menjumpai di sisi Maryam buah-buahan musim panas di saat
musim dingin, dan buah-buahan musim dingin di saat musim panas.
6
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Akan tetapi, pendapat
pertama (yang mengatakan makanan atau buah-buahan) adalah pendapat yang lebih
sahih. Di dalamnya terkandung pengertian yang menunjukkan adanya karamah para wali
Allah, dan di dalam sunnah terdapat banyak hal yang semisal.
Ketika Zakaria melihat makanan tersebut berada di sisi Maryam, maka ia bertanya:
Zakaria berkata, "Hai Maryam, dari manakah kamu memperoleh (makanan) ini?" (Ali
Imran: 37)
Maryam menjawab, "Makanan ini dari sisi Allah." Sesungguh-ya Allah memberi rezeki
kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab."(Ali Imran: 37)
:
" :
. : "
:
. ] [
[
" : . : ]
. : "
" : .
{ "
- -
" : }
{ :
7
} }
.
:
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu
Zanjilah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Luhai'ah, dari Muhammad ibnul
Munkadir, dari Jabir, bahwa Rasulullah Saw. pernah tinggal selama beberapa hari
tanpa makan sesuap makanan pun hingga kelihatan beliau sangat berat. Lalu
beliau berkeliling ke rumah istri-istrinya, tetapi tidak menemukan sesuap makanan
pun pada seseorang di antara mereka. Maka beliau Saw. datang ke rumah Fatimah
(putrinya), lalu bersabda, "Hai anakku, apakah engkau mempunyai sesuatu
makanan yang dapat kumakan? Karena sesungguhnya aku sedang lapar." Fatimah
menjawab, "Tidak, demi Allah." Ketika Nabi Saw. pergi dari rumahnya, tiba-tiba
Siti Fatimah mendapat kiriman dua buah roti dan sepotong daging dari tetangga
wanitanya, lalu Fatimah mengambil sebagian darinya dan diletakkan di dalam
sebuah panci miliknya, dan ia berkata kepada dirinya sendiri, "Demi Allah, aku
benar-benar akan mendahulukan Rasulullah Saw. dengan makanan ini daripada
diriku sendiri dan orang-orang yang ada di dalam rumahku," padahal mereka
semua memerlukan makanan yang cukup. Kemudian Fatimah menyuruh Hasan
atau Husain untuk mengundang Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah Saw. datang
kepadanya, maka ia berkata, "Demi Allah, sesungguhnya Allah telah memberikan
suatu makanan, lalu aku sembunyikan buatmu." Nabi Saw. bersabda, "Cepat
berikanlah kepadaku, hai anakku." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu
ia menyuguhkan panci tersebut dan membukanya. Tiba-tiba panci itu telah penuh
berisikan roti dan daging. Ketika Fatimah melihat ke arah panci itu, maka ia
merasa kaget dan sadar bahwa hal itu adalah berkah dari Allah Swt. Karena itu, ia
memuji kepada Allah dan mengucapkan salawat buat Nabi-Nya. Lalu Fatimah
menyuguhkan makanan tersebut kepada Rasulullah Saw. Ketika beliau Saw.
melihatnya, maka beliau memuji kepada Allah dan bertanya, "Dari manakah
makanan ini, hai anakku?" Fatimah menjawab bahwa makanan tersebut dari sisi
Allah, seraya menyitir firman-Nya: Makanan itu dari sisi Allah. Sesungguhnya
Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (Ali
Imran: 37); Maka Nabi Saw. memuji kepada Allah dan bersabda: Segala puji bagi
Allah yang telah menjadikan dirimu, hai anakku, mirip dengan penghulu kaum
wanita Bani Israil; karena sesungguhnya dia bila diberi rezeki sesuatu (makanan)
oleh Allah, lalu ditanya mengenai asal makanan itu, ia selalu menjawab,
"Makanan itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa
yang dikehendaki-Nya tanpa hisab." Kemudian Rasulullah Saw. memanggil Ali,
8
lalu makan bersama Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain serta semua istri dan
keluarga ahli bait-nya, hingga semuanya merasa kenyang dari makanan itu. Siti
Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa makanan dalam panci itu masih utuh seperti
sediakala, lalu sisanya dapat dikirimkan kepada semua tetangganya. Allah telah
menjadikan keberkahan dan kcbaikan yang banyak dalam makanan itu.
A. Q.S. Yusuf : 72
penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya".1
: Kami kehilangan
: Piala
:Raja
2
: Dan aku menjamin terhadapnya
1
__________, al-Quran al-Karim (DEPAG RI, 2007), 28
2
Ibid
9
2) Tafsir mufradat :
Berarti tempat minum. Ia pasti terbuat dari bahan istimewa, karena milik
Raja.3
Pada mulanya berarti unta, kemudian maknanya berkembang sehingga
mencakup juga pengendara dan barang yang dipikul.4
Tafsir Jalalain :
(Penyeru-penyeru itu berkata, "Kami kehilangan piala) teko (raja dan bagi
siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh hadiah seberat beban
unta) berupa bahan makanan (dan aku terhadapnya) tentang hadiah itu
(menjadi penjamin.") yang menanggungnya.
3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 488.
4
Ibid
5
Sayyid qutb. Tafsir Fidzilail Quran, jilid 4 ,(Jakarta: Gema Insani press, 2000). hlm 301
10
70. Maka tatkala telah disiapkan untuk mereka bahan makanan mereka,
Yusuf memasukkan piala (tempat minum) ke dalam karung saudaranya.
kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan: "Hai kafilah,
Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri".
72. penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya".
Syubah telah meriwayatkan dari Abu Bisyr, dari said ibnu Zubair, dari
Ibnu Abbas, bahwa piala raja adalah tempat minum yang terbuat dari perak,
bentuknya seperti mangkuk. Al Abbas memiliki hal serupa di massa
jahiliahnya.
"Barang Apakah yang hilang dari pada kamu?" penyeru-penyeru itu berkata:
"Kami kehilangan piala Raja, (Yusuf :71-72)
11
Yakni Sa atau alat takarnya.
Dalam hal ini termasuk kedalam bab Daman (Garansi) dan Kafalah
(Jaminan)
3) Kandungan Ayat
a. Pengertian
Al-Kafalah menurut bahasa berarti al-Daman (jaminan), hamalah (beban)
dan zamah (tanggungan). Sedang menurut istilah yang dimaksud dengan al-
Daman (jaminan), hamalah (beban) adalah sebagimana yang dijelaskan oleh
para ulama sebagai berikut:
Menurut madzhab Hanafi al-kafalah memiliki dua
pengertian, pertama :
Kedua,adalah:
12
13
karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, hal ini dilakukan demi
kemudahan dan kedisiplinan.
3) Madmunahu atau makfulanhu adalah orang yang berhutang.
4) Madmun bih atau makfulbih adalah utang, barang atau orang,
disharatkan pada makful bih dapat diketahui dan tetap keadaannya,
baik sudah tetap maupun akan tetap.
5) Lafadz, disharatkan keadan lafadz itu menjamin, tidak digantungkan
kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.7
c. Praktek kafalah dalam ayat
1) Damin:
2) Madmunlah:
3) Madmunahu:
4) Madmun bih:
5) Lafadz :
G. Macam-macam kafalah
Secara umum kafalah terbagi menjadi dua, yaitu kafalah dengan jiwa
dan kafalah dengan harta. Kafalah dengan jiwa dikenal dengan kafalah bi al-
wajhi, yaitu adanya kemestian (keharusan) kepada pihak penjamin (al-kafil, al-
damin atau al-zaim) untuk menghdirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia
janjikan tanggungan (makfullah).
Penanggung (jaminan) yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya.
Orang yang ditanggung tidak mesti permasalahan karena kadalah menyangkut
badan bukan harta. Penanggungan tentang hak Allah, seperti h}ad al-
khamar dan h}ad menuduh zina tidak sah, Nabi bersabda:
) (
Tidak ada kafalah dalam had (HR al-Baihaqi)
Madzhab Shafii berpendapat bahwa kafalah dinyatakan sah denganh
mengh}adirkan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak manusia,seperti
zina dan khadaf karena dua hal tersebut menurut Shafii hak yang lazim. Bila
menyangkut had yang telah ditentukan oleh Allah, maka hal itu tidak sah dengan
kafalah.
7
Hendi Suhendi, Fikih Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 187-191.
14
Ibnu Hazm menolak pendapat tersebut. Menjamin dengan mengh}adirkan
badan pada pokoknya tidak boleh, baik menyangkut masalah harta maupun
masalah had. Sharat apapun yang tidak ada dalam kitabullah adalah batil.
Namun demikian, sebagian ulama membenarkan adanya kafalah
jiwa (kafalah bil al-wajh) dengan alasan bahwa rosulallah pernah menjamin
urusan tuduhan. Namun menurut Ibnu Hazm bahwa hadits yang menceritakan
tentang penjaminan rasul. Pada masalah tuduhan adalah batil karena hadits
tersebut diriwayatka oleh Ibrahim bin Khaitsam bin Arrak, dia adalah daif dan
tidak boleh diambil periwayatannya.
Jika seseorang menjamin akan mengh}adirkan seseorang, maka ia wajib
mengh}adirkannya, bila ia tidak dapat mengh}adirkannya, sedang penjamin masih
hidup atau penjamin itu sendiri berhalangan hadir, menurut madzhab Ma>liki
dan penduduk Madinah, bahwa penjamin wajib membayar utang orang yang
ditanggungnya. Dalam hal ini nabi bersabda:
) (
Penjamin adalah kewajiban membayar
Sedang menurut madzhab Hanafi bahwa penjamin (kafil atau damin) harus
ditahan sampai ia dapat menghadirkan orang tersebut atau sampai penjamin
mengetahui bahwa ashil telah meninggal dunia, dalm keadaan demikian penjamin
tidak berkewajibanmembayar dengan harta, kecuali penjamin mensharatkan
demikian (akan membayarnya).
Menurut Shafii, bila ashil telah meninggal dunia, maka kafil tidak wajib
membayar kewajibannya karenan ia tidak menjamin harta, tetapi menjamin
orangnya dan kafil dinyatakan bebas tanggung jawabnya. 8
Kafalah kedua adalah kafalah harta, yaitu kewajiban yang harus ditunaikan
oleh damin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan berupa harta), kafalah
harta ada tiga macam:
1. Kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi tanggungan
orang lain, dalam hadits Salamah bin Aqwa, bahwa Nabi tidak mau mensholatkan
jenazsah yang mempunyai kewajiban membayar hutang, qatadah berkata:
8
Ibid, 188.
15
Dalam kafalah utang disharatkan sebagai berikut,
a. Hendaklah harga barang tersebut tetap pasa waktu terjadinya transaksi jaminan,
seperti utang qirad, upah dan mahar, seperti orang berkatajuallah barang itu
pada si A dan aku berkewajiban menjamin pembayarannya dengan harga
sekian, maka harga penjualan barang tersebutadalah jelas. Hal ini disharatkan
menuryt madzhab Shafii sementara Abu Hanifa
b. Hendaklah barang yang dijamin diketahui menurut madzhab Shafii dan Ibnu
Hazm, bahwa seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui, sebab
itu pebuatan tersebut adalah gharar. Sementara Abu Hanifa, Malik, dan Ahmad
berpendapat bahwa sesuatu yang tidak diketahui itu boleh.
2. Kafalah dengan menyerahkan benda yaitu kewajiban menyerahkan benda-enda
tertentu yang ada ditangan orang lain seperti mengembalikan barang yang gasab,
dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli, disharatkan materi tersebut
yangdi jamin seperti dalam hasus tersebut, namun bila dilakukan dalam bentuk
jaminan, kafalah batal.
3. Kafalah denga aib maksudnya barang yang didapti berupa harta terjual dan
mendapat bahaya (cacat) karena waktu aygnterlalu lama atau karena hal-hal
lainnya, maka ia (pembawa barang) sebagai jaminan untuk hak membeli pada
penjal, seperti jika bukti barang yang dijual adalah barang milik orang lain atau
barang tersedbut adalah barang gadai. 9
H. Pelaksanaan kafalah
Al-kafalah dapat dilaksanakan dalam tiga bentuk, yaitu (a) munjaz
(tanjiz), (b) mualaq (taqlik), (c) muaqat (taukit), Munjaz (tanjiz) ialah
tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang berkata saya tanggung
si fulan dan saya jaminsi fulan sekarang, lafadz-lafadz yang menunjukkan al-
kafalah menurut para ulama dalah seperti lafad: tahammaltu, takafaltu, domintu,
ana kafil laka, ana za>ngim, hua laka ngindi, hua laka alaiya. Apabila akad
penanggungan terjadi, maka penanggungan itu mengikuti akad utang, apakah
harus dibayar ketika itu, ditangguhkan, atau dicicil, keculi disharatkan ada
penanggungan.
Mualak (taklik) adalah mejamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu seperti
seseoarang bekata jika kamu mengutangkan kepada anakku maka aku akan
membayarnya atau jika kamu ditagih pada A maka aku yang akan
membayarnya seperti firman Allah:
9
Ibid. 192.
16
Dan barang siapa yang dapat mengembalikan piala raja, akan memperoleh
bakan makanan seberat seban unta dan aku menjamin terhadapnya. (QS. Yusuf:
32)
Muqad (taukid) adalah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada
suatu waktu, sepertiucapan seseorang, bila ditagih pada bulan ramad}an, maka
aku akan mengambil pembayaran utangmu, menurut madzhab Hanafi
penganggungan seperti ini sah, tetapi menurut Shafii batal. Apabila akad telah
berlangsung maka Madmunlah boleh menagih kepada kafil (orang yang
menanggung beban) atau kepada madmunanhu atau makfulanhu (yang
berhutang), hal ini dijelaskan oleh ulama jumhur.
I. Pembayaran damin
Apabila orang yang menjamin (damin) memenuhi kewajiabannya dengan
membayar utang orang yang ia jamin, ia boleh meminta kembali
kepada madmunanhu apabila pembayaran itu atas izinnya. Dalam hal ini para
ulama sepakat, namun mereka erbeda pendapat apabila penjamin membayar atau
menunaikan beban orang yang ia jamin tanpa izin orang yang dijamin bebannya.
Menurut ashafiI dan abu hanifa bahwa membayar utang orang yang dijamin
tanpa izin darinya adalah sunah, d}amin tidak punnya hak untuk meminta ganti
rugi kepad orang yang ia minta jamin (Madmun anhu). Menurut madzhab
Maliki, damin berhak menagih kembali kepada Madmunanhu. 10
Ibnu Hazm berpendapat bahwa damin tidak berhak menagih kembali
kepada mad}mun anhu atas apa yang telah ia bayarkan baik dengan
izin Madmun anhu maupun tidak.11 Apabila madmun anhu (orang yang
ditanggung) tidak ada, kafil (damin) berkewajiban menjamin dan tidak dapat
mengelak dari tuntutan kecuali dengan membyar atau orang yang mengutangkan
menyatakan bebas untuk kafil dari utang makfullah (orang yang mengutangkan)
adalah mem-fasekh-kan akad kafalah sekalipun makful anhu tidak rela.
10
Ibid, 191-196
11
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.3 (Semarang: Dar al-Fiqr, 1977), 164.
17
DAFTAR PUSTAKA
__________, al-Quran al-Karim. DEPAG RI. 2007
Abu Yahya Marwan bin Musa. Tafsir Al Qur'an Hidayatul Insan, Jilid 1.pdf www.
Tafsir.web.id
Baru. 2000
Sabiq, Sayid. Fiqh al-Sunnah, Vol. 3. Semarang: Dar al-Fiqr. 1977
Sayyid qutb. Tafsir Fidzilail Quran, jilid 2 ,Jakarta: Gema Insani press, 2000
Sayyid qutb. Tafsir Fidzilail Quran, jilid 4 ,Jakarta: Gema Insani press, 2000
Suhendi, Hendi. Fikih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002
Al imam abul fida Ismail Ibnu Kasir Ad Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3,
18