Anda di halaman 1dari 19

1.

Beberapa definisi dalam ilmu mushthalah hadits

Mushthalahul Hadits adalah :


ilmu tentang dasar dan kaidah untuk mengetahui keadaan seorang perawi dan yang diriwayatkannya
dari segi diterima dan ditolaknya.

Objeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya.

Faidahnya
Membedakan antara hadits-hadits yang shahih dengan hadits-hadits yang sakit (cacat).

Al Hadits ialah
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa perkataan atau
perbuatan atau taqrir atau sifat

Al Khabar ialah
Pengertiannya sama dengan Al Hadits, dengan demikian ia didefinisikan sama seperti al Hadits. ada
juga yang berpendapat Al Khabar sebagai berikut :

Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang selainnya. Dengan
demikian pengertiannya lebih umum dan luas.

Al Atsar, ialah
Suatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in (generasi setelah sahabat).

Terkadang Al Atsar dimaksudkan dengan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam (hadits) apabila dalam satu kalimat ia disertakan kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti
perkataan : Dan dalam Atsar dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits Nabi).

Hadits Qudsi ialah:


Hadits yang diriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya (Allah Subhaanahu wa
Ta’ala).
Hadits Qudsi dinamakan juga Hadits Rabbani dan Hadits Ilaahi

Kedudukan Hadits Qudsi diantara Al Qur’an dan Hadits Nabawi, tidaklah sama karena Al Qur’an
disandarkan kepada Allah Ta’ala baik lafadz dan maknanya. Sedangkan Hadits Nabawi disandarkan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik lafadz dan ma’nanya dan Al Hadits Al Qudsi disandarkan
kepada Allah Ta’ala secara ma’na tidak secara lafadznya dan karena itu tidak bernilai ibadah didalam
membaca lafadznya dan tidak boleh dibaca didalam sholat, dan tidak dinukil secara mutawattir
(keseluruhannya) sebagaimana penukilan Al Qur’an, akan tetapi sebagiannya ada yang shahih, dhaif,
dan maudhu.

Sanad adalah : suatu jalan yang menyampaikan kepada matan atau suatu perantara yang
menyampaikan kepada rawi Hadist.

Matan adalah : Suatu yang akan menyampaikan kepada sanad dari ucapan atau disebut juga redaksi
hadist atau isi hadist

1
Al-Musnad : secara bahasa berarti yang disandarkan kepadanya. Sedangkan Al-Musnad menurut istilah
ilmu hadits mempunyai beberapa arti :

 Setiap buku yang berisi kumpulan riwayat setiap shahabat secara tersendiri.
 Hadits yang sanadnya bersambung dari awal sampai akhir.
 Yang dimaksud dengan Al-Musnad adalah sanad, maka dengan makna ini menjadi mashdar
yang diawali dengan huruf mim (mashdar miimi).

Al-Musnid : orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik dia mempunyai pengetahuan
terhadap hadits atau hanya sekedar meriwayatkan saja.

Al-Muhaddits adalah orang yang berkecimpung dengan ilmu hadits baik secara periwayatan maupun
dirayah, menelaah berbagai riwayat serta keadaan para perawinya.

Al-Hafidh Menurut kebanyakan ahli hadits sepadan dengan Al-Muhaddits. Sedangkan pendapat yang
lain mengatakan bahwa Al-Hafidh derajatnya lebih tinggi dari Al-Muhaddits karena yang dia ketahui
pada setiap thabaqah (tingkatan/kedudukan) lebih banyak daripada yang tidak dia ketahui.

Al Hujjah : Orang yang hapal tiga ratus ribu hadist beserta sanadnya.

Al-Hakim menurut sebagian ulama adalah orang yang menguasai semua hadits kecuali sebagian kecil
yang tidak dia ketahui.

Ashhab As-Sunan : Para ulama penyusun kitab-kitab "Sunan" yaitu: Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i,
dan Ibnu Majah.

2
2. Pembagian Hadits

Menurut Jalan Periwayatannya yang sampai kepada kita

Pertama: Hadits Mutawatir


Al Mutawatir ialah:
Hadits yang diriwayatkan oleh sekumpulan orang yang mustahil mereka sepakat berdusta menurut
adat dan mereka menyandarkannya kepada sesuatu yang nyata.

Pembagian
Al Mutawatir terbagi dua:
1. Mutawatir lafadz dan makna.
2. Mutawatir makna

Mutawatir lafadz dan makna ialah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi yang sama, baik lafadz atau
maknanya.

Mutawatir makna ialah hadits yang telah diriwayatkan oleh para perawi yang sama secara makna saja
dan tiap-tiap hadits mempunyai makna khusus.

Faidah
Faidah hadits mutawatir terbagi dua yaitu:
1. Ilmu artinya sudah dipastikan benar penasabannya kepada orang yang menukil darinya.
2. ‘Amal artinya mengamalkan dari apa-apa yang terdapat didalamnya dengan membenarkan apabila
ia berbentuk khabar (berita) dan merealisasikan apabila ia berbentuk tuntunan.

Kedua: Hadits Ahad


Hadits Ahad ialah lawan dari hadits mutawatir. Yaitu hadits yang sanadnya tidak mencapai derajat
mutawatir.

Hadits Ahad terbagi 3 menurut jalan periwayatannya:


1. Hadits Masyhur : Hadits yang memiliki jalan-jalan periwayatan yang terbatas, lebih dari dua jalan,
dan tidak mencapai derajat mutawatir.
2. Hadits Aziz : hadits yang diriwayatkan hanya oleh dua orang perawi saja.
3. Hadits Gharib : Hadits yang diriwayatkan sendirian oleh se-orang rawi dalam salah satu periode
rangkaian sanadnya.

3
3. Pembagian khabar ditinjau kepada orang yang disandarkan.

Khabar (hadits)terbagi 3 bila ditinjau kepada orang yang disandarkan :

Marfu ialah: Hadits yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terbagi menjadi 2:
Marfu sharih dan Marfu hukum.

Marfu sharih ialah: Hadits yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung
baik perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat atau khuluqnya penciptaannya (akhlaknya).

Contoh perkataan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:


“Barangsiapa yang berbuat amalan yang tidak ada dasar perintahnya dari kami maka ia tertolak”.

Contoh perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa apabila masuk rumahnya ia mulai dengan bersiwak
(gosok gigi)”.

Contoh penetapan (taqrir) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:


Taqrir beliau terhadap jawaban seorang budak perempuan ketika beliau bertanya dimana Allah? dia
menjawab: Di langit. Lalu Rasulallah mentaqrirkan terhadap yang demikian. Dan yang termasuk ini
juga seluruh perkataan atau perbuatan sahabat yang Rasulallah ketahui tapi beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam diam terhadapnya (tidak mengingkari) maka hukumnya marfu sharih dan termasuk taqrir.

Contoh sifat akhlaknya.


Adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling dermawan diantara manusia dan yang
paling berani diantara manusia. Apa-apa yang beliau diminta beliau tidak pernah katakan
jangan/tidak boleh dan beliau selalu berseri-seri, lembut perawakannya luwes dalam perkara jika ada
dua pilihan melainkan beliau memiliki yang paling mudah kecuali kalau dosa maka beliaulah orang
yang paling menjauhinya dibandingyang lain.

Contoh sifat dirinya:


Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang tidak tinggi dan tidak pendek
(sedang) rambutnya sepundak, lebat menutupi dua telinganya, janggutnya rapih dan sedikit beruban.

Marfu hukum ialah: Sesuatu yang dihukumi marfu kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantaranya adalah:

1. Perkataan shahabat apabila tidak bersumber dari pendapatnya (ra’yu) dan bukan tafsiran dan
tidak dikenal sebagai orang yang mengambil cerita isra’iliyat.
Contoh : Perkatan shahabat seperti khabar tentang tanda-tanda kiamat atau keadaan hari
kiamat atau hari pembalasan(ini namanya marfu’ hukum).
Jika bersumber dari pendapatnya (ra’yu) maka dinamakan mauquf. Dan jika berbentuk tafsir
maka hukumnya sama dan tafsirnya dinamakan tafsir mauquf. Dan jika orangnya terkenal
dengan seorang yang mengambil cerita isra’iliyat maka hukumnya tarraddud (saling bertolak
belakang) antara khabar isra’iliyat atau hadits marfu’, maka tidak boleh diyakini sebagai hadits
karena masih diragukan. Seperti Abadalah (orang yang namanya berawalan Abdul) seperti
Abdullah bin Umar bin Khattab dan Abdullah bin Amru bin Al Ash, mereka adalah orang yang
mengambil cerita-cerita isra’iliyat dari Ka’ab dan lainnya.
2. Perbuatan shahabat apabila tidak bersumber dari pendapatnya, seperti shalat khusuf yang
dilakukan Ali dengan ruku’ melebihi dari dua dalam satu raka’at.

4
3. Sahabat menyandarkan sesuatu kepada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak
disebutkan bahwasanya ia tahu hal itu seperti perkataan Asma’ binti Abu Bakar:

“Kami pernah menyembelih seekor kuda pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
Madinah lalu kami memakannya”.

4. Shahabat berkata tentang sesuatu bahwasanya itu termasuk Sunnah seperti perkataan Ibnu
mas’ud

“Termasuk sunnah tasyahhud dipelankan, maksudnya dalam shalat” .

Jika tabi’in yang berkata maka bisa marfu’ bisa mauquf, seperti perkataan Ubaidillah bin Abdullah bin
Atabah bin Mas’ud.

“Yang sunnah,Imam berkhutbah pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha dua kali yang ia selingi dengan
duduk”.

1. Perkataan shahabat,
seperti:
“kami diperitahkan atau kami dilarang atau manusia diperintahkan atau yang semisalnya”
seperti perkataan Ummu ‘Athiyah:
“Kami diperintahkan agar kami mengajak keluar para perawan pada waktu shalat iedul fitri dan
iedul adha”.
Dan perkataannya:
Kami dilarang (para wanita) mengiringi jenazah tetapi tidak dikeraskan larangannya terhadap
kami.
Dan perkataan Ibnu Abbas:
Manusia diperintahkan agar mengakhiri waktu haji mereka di ka’bah.
Dan perkatan Anas:
Kami diberikan batas waktu mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan bulu
kemaluan tidak lebih dari 40 malam.
2. Shahabat menghukumi terhadap sesuatu bahwasanya itu maksiat seperti perkataan Abu
Hurairah tentang orang yang keluar masjid setelah adzan:
“Adapun orang ini telah mendurhaki Abul Qosim ( Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)”.
Begitu pula kalau shahabat menghukumi terhadap sesuatu bahwasanya itu termasuk ketaatan
atau mengatakan sesuatu itu bukan maksiat atau ketaatan karena yang demikian tidak
mungkin dikatakan shahabat melainkan mereka mengetahui nashnya dari nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
3. Perkataan mereka (shahabat) dari shahabat dengan dimarfukan haditsnya atau riwayatnya
seperti perkataan Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata:
“Obat itu ada dalam tiga: Minum madu, jarum bekam dan besi panas (dibakar) dan umatku
dilarang dengan besi panas”
Dan perkataan Sa’id bin al Musayyab dari Abu Hurairah :
“Fitrah itu lima atau lima dari fitrah: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak,
memotong rambut dan mencukur kumis”.
Dan begitu pula perkataan mereka dari shahabat dengan cara penyampaian hadits atau
menerima hadits atau menyandarkan kepadanya dan yang sepertinya karena semua ibarat ini
termasuk hukum marfu’ sharih walaupun tidak secara langsung dalam penyandaran kepada
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi ada dugaan itu dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

5
Mauquf ialah : Hadits yang disandarkan kepada shahabat tetapi tidak ditetapkan baginya hukum
marfu’.
Seperti perkatan Umar bin khatthab:
Islam hancur karena tergelincirnya seorang yang alim, jidalnya orang munafik dengan Al-Quran dan
hukum para imam-imam yang sesat.

Maqthu’ ialah: Perkataan yang disandarkan kepada tabi’in dan orang yang setelahnya (tabiut tabiin).
Seperti perkataan Ibnu Sirin:
Sesungguhnya ilmu ini (sanad) adalah agama, maka lihatlah darimana kamu mengambil dien (sanad)
mu ini.

Dan perkataan Malik:


Tinggalkanlah amalan-amalan yang tidak nampak selama tidak baik untukmu agar engkau kerjakan
secara nampak.

6
4. Pembagian hadits dilihat dari sisi kuat dan lemahnya hadits

Pembagian hadits ahad dilihat dari sisi kuat dan lemahnya sebuah hadits terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Maqbul : sebuah hadits yang mempunyai indikasi kuat kejujuran orang yang membawa khabar
tesebut
2. Mardud (tertolak) : sebuah hadits yang tidak jelas kejujuran orang yang membawa khabar tersebut.

Secara garis besar hadits maqbul terbagi menjadi dua, yaitu shahih dan hasan, dan masing-masing
kelompok ini terbagi lagi menjadi dua kelompok hadits, yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi
serta hasan lidzatihi dan hasan lighairihi. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

Hadits Shahih : Hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil
dan memiliki hafalan yang kuat dari rawi yang semisalnya sampai akhir
sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula memiliki illat.

Sanadnya bersambung adalah: bahwa setiap perawi mengambil hadits secara langsung dari perawi
yang berada diatasnya, kondisi seperti ini dari permulaan sanad sampai akhirnya.

Perawi yang adil adalah : bahwa semua perawinya mempuyai sifat ‘al ‘adalah,’ tidak fasik dan tidak
mempunyai karakter yang tidak beretika.

Al ‘adalah adalah: Potensi (baik) yang dapat membawa pemilik-nya kepada takwa, dan
(menyebabkannya mampu) menghindari hal-hal tercela dan se-gala hal yang dapat merusak nama baik
dalam pandangan orang banyak. Predikat ini dapat diraih seseorang dengan syarat-syarat: Islam,
baligh, berakal sehat, takwa, dan meninggalkan hal-hal yang merusak nama baik.

Memiliki hafalan yang kuat adalah; bahwa setiap perawi mempunyai hafalan yang kuat, baik hafalan
yang ada di dalam dada maupun hafalan yang menggunakan bantuan buku.

Tidak syadz artinya : bahwasanya hadits tersebut tidak syadz (nyeleneh/menyelisihi yang lebih kuat).

Tidak memiliki ‘illat artinya : hadits tersebut tidak cacat. Dan ‘Illat adalah Sebab yang samar yang
terdapat di dalam hadits yang dapat merusak keshahihannya.

Shahih Lidzatihi : hadits yang shahih berdasarkan persyaratan shahih yang ada di dalamnya, tanpa
membutuhkan penguat atau faktor eksternal.

Shahih Lighairihi : hadits yang hakikatnya adalah hasan, dan karena didukung oleh hadits hasan yang
lain, maka dia menjadi Shahih Lighairihi.

Ash-Shahihain : Dua kitab shahih yaitu: Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Asy-Syaikhain : Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.

Hadits Hasan : Hadits yang sanadnya bersambung, yang diri-wayatkan oleh rawi yang adil dan memiliki
hafalan yang sedang-sedang saja (khafif adh-Dhabt) dari rawi yang semisalnya sampai akhir sanadnya,
serta tidak syadz dan tidak pula me-miliki illat.

Hasan Lidzatihi : hadits yang hasan berdasarkan persyaratan hasan yang ada di dalamnya, tanpa

7
membutuhkan penguat atau faktor eksternal.

Hasan Lighairihi : hadits yang hakikatnya adalah dla’if, dan karena didukung oleh hadits dla’if yang lain,
maka dia menjadi hasan Lighairihi.

Sedangkan hadits yang tertolak adalah hadits yang tidak jelas kejujuran orang yang membawa khabar
tersebut. Itu bisa terjadi karena ketiadaan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat sebuah hadits.
Sebab-sebab tertolaknya hadits itu ada banyak, tetapi secara garis besar bisa di klasifikasikan menjadi
dua, yaitu :
      1. Gugur dari sanad
      2. Terindikasi cacat atau tertuduh pada seorang perawi.

Secara keumumam semua itu disebut dengan hadits dla’if.

Hadits Dha'if : Hadits yang tidak memenuhi syarat hadits maqbul (yang diterima dan dapat dijadikan
hujjah), dengan hilangnya salah satu syarat-syaratnya.

Para ulama berbeda pendapat dalam hal mengamalkan hadits dla’if. Adapun pendapat yang dipegang
oleh jumhur ulama adalah bahwasanya dianjurkan mengamalkannya dalam hal fadlailul a’mal, akan
tetapi harus memenuhi tiga syarat sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnu Hajar :
       1. Dla’ifnya tidak parah
       2. Menginduk di bawah ushul yang dapat dijadikan sebagai landasan amal
       3. Ketika mengamalkannya tidak meyakini keotentikan hadits tersebut.

5. Hadits yang tertolak karena sebab gugur dari sanadnya

Yang dimaksud dengan hadits yang tertolak karena gugur dari sanadnya adalah; terputusnya rantai
sanad dengan gugurnya seorang perawi atau lebih baik disengaja oleh sebagian perawi atau tidak
disengaja, gugurnya tersebut baik secara transparan maupun tersembunyi.
Yang masuk kategori hadits yang tertolak karena gugurnya perawi dari sanad adalah sebagai berikut:

· Mu’allaq : (Hadits) yang sanadnya terbuang dari awal sanadnya, satu orang rawi atau lebih secara
berturut-turut, bahkan sekalipun terbuang semuanya. Gambarannya adalah : semua sanad dibuang
kemudian dikatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

· Mursal : (Hadits) yang sanadnya terbuang dari akhir sanadnya, sebelum tabi'in. Gambarannya, adalah
apabila seorang tabi'in mengatakan, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ..." atau
"Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ini dan itu ...".

· Mu’dlal : Hadits yang sanadnya ada dua orang rawi atau lebih yang gugur secara berturut-turut.
Sedangkan I'dhal sendiri adalah terputusnya rangkaian sanad hadits, dua orang atau lebih secara
berurutan.

· Mungqati’ : Hadits yang di tengah sanadnya terdapat perawi yang gugur, satu orang atau lebih,
secara tidak berurutan.

· Mudallas :
Tadlis : Menyembunyikan cela (cacat) yang terdapat di dalam sanad hadits, dan membaguskannya
secara zahir.

8
Tadlis at-Taswiyah ialah, seorang rawi meriwayatkan suatu hadits dari seorang rawi yang dha'if, yang
menjadi perantara antara dua orang rawi yang tsiqah, di mana kedua orang yang tsiqah tersebut
pernah bertemu (karena sempat hidup semasa), kemudian rawi (yang melakukan tadlis disebut
mudallis) membuang atau menggugurkan rawi yang dha'if tersebut, dan menjadikan sanad hadits
tersebut seakan antara dua orang yang tsiqah dan bersambung. Ini adalah jenis tadlis yang paling
buruk.

· Mu’an’an : perkataan seorang perawi : “fulan dari fulan”

‘An’anah adalah Menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafazh ‫( عن‬dari) yang mengisyaratkan
bahwa dia tidak mendengar langsung dari syaikhnya. Ini menjadi illat suatu sanad hadits apabila
digunakan oleh seorang rawi yang mudallis.

· Mu`annan : perkataan seorang perawi : “telah menceritakan kepada kami fulan, bahwa fulan berkata,

6. Hadits yang tertolak karena terindikasi cacat atau tertuduh pada diri seorang rawi

Adapun hadits yang tertolak disebabkan adanya indikasi cacat atau tertuduh pada diri seorang rawi ada
ada sepuluh macam, lima berkaitan dengan al adalah dan lima berkaitan dengan hafalan.

Adapun yang berkaitan dengan al ‘adalah sebagai berikut:


1. Dusta / berbohong
2. Tertuduh berbohong
3. Fasik
4. Bid’ah
5. Jahalah (tidak diketahui)

Sedangkan yang berkaitan dengan hafalan sebagai berikut:


1. Kesalahan yang parah
2. Buruk hafalan
3. Lalai
4. Banyak terjadi kerancauan hafalan
5. Menyelisihi orang-orang yang tsiqah

Akibat sebab-sebab diatas berkolerasi kepada kedudukan hadits. Disini kami coba untuk
mengurutkannya satu persatu.

· AL MAUDHU’.
(Hadits maudhu’/palsu)

Hadits maudhu’ ialah Hadits yang dipalsukan terhadap Nabi.

Hukumnya tertolak dan tidak boleh disebutkan kecuali disertakan keterangan kemaudhu’annya
sebagai larangan darinya.

Metode membongkar kepalsuan hadits dengan cara sebagai berikut:


1. Pengakuan orang yang membuat hadits maudhu’.
2. Bertentangan dengan akal, seperti mengandung dua hal yang saling bertentangan dalam hal
bersamaan,menetapkan keberadaan yang mustahil atau menghilangkan keberadaan yang wajib, dll.
3. Bertentangan dengan pengetahuan agama yang sudah pasti, seperti menggugurkan rukun dari

9
rukun-rukun Islam atau menghalalkan riba’, membatasi waktu terjadinya kiamat atau adanya nabi
setelah nabi Muhammad.

Golongan pembuat hadits palsu


Orang-orang yang termasuk pembuat hadits palsu sangat banyak dan tokohnya yang masyhur adalah:
1. Ishaq bin Najiih al Malathi.
2. Ma’mun bin Ahmad al Harawi.
3. Muhammad bin as Saaib al Kalbii.
4. Al Mughirah bin Said al Kufi
5. Muqathil bin Abi Sulaiman.
6. Al Waqidi
7. Ibnu Abi Yahya.

Sedangkan golongan pencipta hadits palsu diantaranya:

1. Az-Zanadiqah (kaum zindik) ialah orang-orang yang berusaha merusak aqidah kaum muslimin,
memberangus Islam dan merubah hukum-hukumnya. Seperti Muhammad bin Said al Mashlub
yang dibunuh oleh Abu Ja’far al Manshur ia memalsukan hadits atas nama Anas secara marfu’.
Aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelah aku, kecuali kalau Allah berkehendak.
Dan seperti Abdul Karim bin Abu al Aujaa’ yang dibunuh oleh salah seorang amir Abasyiah di
Bashrah dan dia berkata ketika hendak dibunuh:
Aku telah palsukan kepadamu 4000 hadits, aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang
haram.
Dan ada yang berkata bahwa kaum zindik telah membuat hadits palsu terhadap Rasulullah
sebanyak 14.000 hadits.
2. Al-Mutazallif (pencari muka/penjilat) dihadapan para penguasa dan umara seperti: Ghiyats bin
Ibrahim, dia pernah datang kepada al Mahdi yang sedang bermain dengan burung dara lalu ia
menceritan kepadanya hadits Amirul Mu’minin ia bawakan sanadnya sekaligus ia palsukan
hadits terhadap nabi bahwasanya beliau bersabda:
“Tidak ada perlombaan atau permainan kecuali pada telapak kaki onta atau tombak atau
telapak kaki kuda atau sayap (burung dara)”
lalu al Mahdi berkata: Aku telah membebani dia atas itu (membuat Ghiyat bin Ibrahim berbuat
dusta kepadaku untuk mencari muka. Pent). Kemudian dia (al Mahdi) menaruh burung dara
tersebut dan menyuruh menyembelihnya.
3. Al-Mutazallif dihadapan masyarakat dengan menyebutkan cerita-cerita yang aneh untuk
targhib atau tarhib atau mencari harta atau kemuliaan (jah): seperti para pencerita (hikayat)
yang berbicara dimasjid-masjid dan tempat-tempat keramaian dengan cerita-cerita yang
memberikan kedahsyatan dari kisah-kisah yang aneh.
4. Orang-orang yang terlalu bersemangat terhadap agama. Mereka membuat hadits-hadits palsu
tentang keutamaan-keutamaan Islam dan sarana yang menuju kepadanya dan hadits-hadits
juhud terhadap dunia dengan tujuan agar manusia peduli terhadap agama dan juhud terhadap
dunia. Seperti: Abu Ashamah Nuh bin Abi Maryam Qadhi Marwi, ia membuat hadits-hadits
palsu tentang keutamaan surat-surat al quran, surat demi surat dan ia berkata: aku melihat
manusia menjauhkan al quran dan sibuk terhadap fiqh Abu Hanifah dan Maghaazi bin Ishak
oleh karena itu aku buat hadits palsu itu (keutamaan hadits palsu).
5. Orang-orang yang ta’ashub terhadap mazhab atau jalan atau negeri atau yang diikuti (imam)
atau kabilah mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan yang mereka ta’asubkan
dan pujian terhadapnya. Seperti Maisarah bin Abdu Rabah yang mengaku telah membuat
hadits palsu terhadap nabi r sebanyak 70 hadits tentang keutamaan Ali bin Abu Thalib.

10
· Al Matruk : Hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh sebagai pendusta.

· Al Munkar : Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang dha'if dan riwayatnya bertentangan de-
ngan riwayat para rawi yang tsiqah.
Perbedaan antara Syadz dengan munkar adalah; syadz diriwayatkan oleh seorang perawi yang maqbul
sedangkan munkar diriwayatkan oleh seorang perawi dla’if.

· Al Mu’allal : Hadits yang ditemukan ‘illat di dalamnya yang membuat cacat keshahihan hadits
tersebut, meskipun pada dzahirnya terlihat selamat.

· Al Mudraj : Hadits yang di dalamnya terdapat tambahan yang bukan darinya, baik dalam matan atau
sanadnya. Sementara idraj sendiri itu bermakna tambahan (sisipan) pada matan atau sanad hadits,
yang bukan darinya.

· Al Maqlub : mengganti satu lafadz dengan lafadz lain di dalam sanad sebuah hadits atau matannya,
dengan cara mendahulukannya atau mengakhirkanya.

· Al Mudhtharib : Hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi atau lebih dalam berbagai versi riwayat
yang berbeda-beda, yang tidak dapat ditarjih dan tidak mungkin dipertemukan antara satu de-ngan
lainnya.

Mudhtharib (goncang).

· Asy Syadz : Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang pada hakikatnya kredibel, tetapi
riwayatnya tersebut bertentangan dengan riwayat rawi yang lebih utama dan lebih kredibel dari diri-
nya. Lawan dari syadz adalah rajih (yang lebih kuat) dan sering diistilahkan dengan mahfuzh (terjaga).

· Jahalah bi arruwwah : Tidak diketahui secara pasti, yang berkaitan dengan identitas dan jati diri
seorang rawi.

Adapun klasifikasi majhul ada tiga, yaitu


Majhul al-'Adalah : Tidak diketahui kredibelitasnya.

Majhul al-'Ain : Tidak diketahui identitasnya. Yaitu rawi yang tidak dikenal menuntut ilmu dan tidak
dikenal oleh para ulama, bahkan termasuk di dalamnya adalah perawi yang tidak dikenal memiliki
hadits kecuali dari seorang perawi.

Majhul al-Hal : Tidak diketahui jati dirinya.

· Bid’ah : mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Adapun yang memiliki
bukti dari syariat maka bukan bidah walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa. Bid’ah di golongkan
menjadi dua golongan;
ii. Bid’ah yang membuat kafir
iii. Bid’ah yang membuat fasik

11
· Buruk hafalan : sisi salahnya lebih kuat ketimbang sisi benarnya dalam meriwayatkan sebuah hadits.

Istilah-istilah dalam jarhu wa ta’dil

Al jarhu wa ta’dil : Pernyataan adanya cela dan cacat, dan per-nyataan adanya "al-Adalah" dan
"hafalan yang bagus" pada seorang rawi hadits.

At Ta’dil : Pernyataan adanya "al-Adalah" pada diri se-orang rawi hadits.

Al Jarhu : Celaan yang dialamatkan pada rawi hadits yang dapat mengganggu (atau bahkan meng-
hilangkan) bobot predikat "al-Adalah" dan "hafalan yang bagus", dari dirinya.

Tsiqah : Kredibel, di mana pada diri seorang rawi ter-kumpul sifat al-Adalah dan adh-Dhabt (hafalan
yang bagus).

Rawi La Ba`sa Bihi : Rawi yang masuk dalam kategori tsiqah.

Jayyid : Baik

Layyin : Lemah.

Majhul : Rawi yang tidak diriwayatkan darinya kecua-li oleh seorang saja.

Mubham : Rawi yang tidak diketahui nama (identitas)nya.

Mudallis : Rawi yangi melakukan tadlis.

Rawi Mastur : Sama dengan Majhul al-Hal (Rawi yang tidak diketahui jati dirinya).

Perawi Matruk : Perawi yang dituduh berdusta, atau perawi yang banyak melakukan kekeliruan,
sehingga periwayatanya bertentangan dengan periwayatan perawi yang tsiqah. Atau perawi yang
sering meriwayatkan hadits-hadits yang tidak dikenal (gharib) dari perawi yang terkenal tsiqah.

Rawi Mudhtharib : Rawi yang menyampaikan riwayat secara tidak akurat, di mana riwayat yang disam-
paikannya kepada rawi-rawi di bawahnya berbeda antara yang satu dengan lainnya, yang
menyebabkan tidak dapat ditarjih; riwayat siapa yang mahfuzh (terjaga).

Rawi Mukhtalith : Rawi yang akalnya terganggu, yang menye-babkan hafalannya menjadi campur aduk
dan ucapannya menjadi tidak teratur.

12
Rawi yang tidak dijadikan sebagai hujjah : Rawi yang haditsnya diriwayatkan dan ditulis tapi haditsnya
tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil dan hujjah.

Saqith : Tidak berharga karena terlalu lemah (parahnya illat yang ada di dalamnya).
Tadh'if : Pernyataan bahwa hadits atau rawi bersang-kutan dha'if (lemah).
Tahqiq : Penelitian ilmiah secara seksama tentang suatu hadits, sehingga mencapai kebenaran yang
paling tepat.
Tahsin : Pernyataan bahwa hadits bersangkutan ada-lah hasan.
Ta'liq : Komentar, atau penjelasan terhadap suatu poto-ngan kalimat, atau derajat hadits dan sebagai-
nya yang biasanya berbentuk cacatan kaki.
Takhrij : Mengeluarkan suatu hadits dari sumber-sum-bernya, berikut memberikan hukum atasnya;
shahih atau dhaif.
Syahid : Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa-yatkannya bersama para rawi suatu hadits, dari
segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari sahabat yang berbeda.
Syawahid : Hadits-hadits pendukung, jamak dari kata syahid.

Haditsnya layak dalam kapasitas syawahid, artinya, dapat diterima apabila ada hadits lain yang
memperkuatnya, atau sebagai yang me-nguatkan hadits lain yang sederajat dengannya.
Mutaba'ah : Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa-yatkannya bersama para rawi suatu hadits
gharib, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari seorang sahabat yang sama.

Referensi Daftar Istilah:


1. Taisir Mushthalah al-Hadits, Dr. Mahmud ath-Thahhan.
2. Manhaj an-Naqd Fi Ulum al-Hadits, Dr. Nuruddin Ithir.
3. Shahih targhib 2.

13
ILMU RIJAALUL-HADIITS

Sebelum masuk ke pembahasan utama, perlu diketahui apa itu ilmu hadits dirayah. Ilmu hadits
dirayah adalah ilmu yang diketahuinya hakikat riwayat, syarat-syaratnya, hukum-hukumnya,
keadaan perawi dan syarat-syarat mereka, maacam-macam apa yang diriwayatkan dan, apa
yang berkaitan dengannya. Atau secara ringkas : “Kaidah-kaidah yang diketahui dengannya
keadaan perawidan yang diriwayatkan”. Dan perawi adalah orang yang meriwayatkan hadits
dari orang yang ia mengambil darinya. Adapun marwiy adalah hadits yang disampaikan dengan
cara periwayatan, dan yang diriwayatkan ini secara istilah dinamakan dengan matan. Adapun
orang-orang yang meriwayatkannya dinamakan dengan perawi atau Rijal Al-Isnad.

Maka apabila Imam Bukhari berkata misalnya,”Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin
Yahya bin Sa’id Al-Quraisyi, dia telah berkata : Telah menceritakan kepadakami bapakku, dia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Burdah bin Andillah bin Abi Burdah, dari Abi
Burdah, dari Abu Musa radliyallaahu ‘anhu, dia berkata,”(Para shahabat) bertanya : ‘Wahai
Rasulullah, Islam apakah yang paling utama?’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :

‫من سلم المسلمون من لسانه ويده‬

”Barangsiapa yang kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya”.

Orang-orang yang telah disebutkan Imam Bukhari ini – mulai dari Sa’id bin Yahya bin Sa’id
Al-Quraisyi sampai yang paling terakhir yaitu Abu Musa – mereka ini disebut periwayat hadits.
Dan rangkaian mereka disebut sanad, atau rijalul-hadits. Sedangkan sabda beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam : ‫” من سلم المسلمون من لسانه ويده‬Barangsiapa yang kaum muslimin selamat dari
lisannya dan tangannya” adalah yang diriwayatkan atau hadits; dinamakan matan. Dan orang
yang meriwayatkan hadits dengan smua rijalnya yang disebutkan tadi disebut musnid.
Sedangkan perbuatannya ini dinamakan isnad (penyandaran periwayatan).

Dari penjelasan di atas dapat kita kenal istilah-istilah yang sering dipakai sebagai berikut :

- As-Sanad, dalam bahasa artinya menjadikannya sandaran atau penopang yang dia
menyandarkan kepadanya.

- Sanad dalam istilah para ahli hadits yaitu : “jalan yang menghubungkan kepada matan”, atau
“susunan para perawi yang menghubungkan ke matan”. Dinamakan sanad karena para huffadh
bergantung kepadanya dalam penshahihan hadits dan pendla’ifannya.

- Al-Isnad adalah mengangkat hadits kepada yang mengatakannya. Ibnu Hajar


mendefiniskannya dengan : “menyebutkan jalan matan”. Disebut juga : Rangkaian para
rijaalul-hadiits yang menghubungkan ke matan. Dengan demikian maknanya menjadi sama
dengan sanad.

- Musnid adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya.

- Matan menurut bahasa adalah “apa yang keras dan meninggi dari permukaan bumi”.

- Matan menurut para ahli hadits adalah perkataan yang terakhir pada penghujung sanad.
Dinamakan matan karena seorang musnid menguatkannya dengan sanad dan mengangkatnya

14
kepada yang mengatakannya, atau karena seorang musnid menguatkan sebuah hadits dengan
sanadnya. Tadriibur-Raawi halaman 5-6 dan Nudhatun-Nadhar halaman 19).

- Ilmu Rijaalul-Hadiits, dinamakan juga dengan Ilmu Tarikh Ar-Ruwwat (Ilmu Sejarah Perawi)
adalah ilmu yang diketahui dengannya keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya,
wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan
yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.

Ilmu ini berkaitan dengan perkembangan riwayat. Para ulama sangat perhatian terhadap ilmu
ini dengan tujuan mengetahui para perawi dan meneliti keadaan mereka. Karena dari situlah
mereka menimba ilmu agama. Muhammad bin Sirin pernah mengatakan : ”Sesungguhnya ilmu
ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu” (Muqaddimah Shahih
Muslim).Maka dengan ilmu Tarikh Rijaalil-Hadiits ini akan sangat membantu untuk mengetahui
derajat hadits dan sanad (apakah sanadnya muttashil atau munqathi’ ).

Dari Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Isa Ath-Thalaqani dia berkata,”Aku telah berkata kepada Abdullah
bin Al-Mubarak : Wahai Abu Abdirrahman, hadits yang menyebutkan : Sesungguhnya
termasuk kebaikan hendaknya engkau mendoakan untuk kedua orang tuamu bersama doamu,
dan engkau berpuasa untuk mereka berdua bersamaan dengan puasamu”, Maka Abdullah (bin
Al-Mubarak) berkata,”Wahai Abu Ishaq, dari siapakah hadits ini?”. Maka aku katakan : “Ini
dari Syihab bin Khurasy”. Maka dia berkata,”Dia itu tsiqah, lalu dari siapa?”. Aku
katakan,”Dari Al-Hajjaj bin Dinar”. Ia punberkata,”Dia pun tsiqah. Lalu dari siapa?”. Aku
katakan,”Dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda….”. Dia (Abdullahbin Al-
Mubarak) berkata : “Wahai Abu Ishaq, sesungguhnya antara Al-Hajjaj bin Dinar dan Bai
shallallaahu ‘alaihi wasallam terdapat jarak yang sangat jauh. Akan tetapi tidak ada perselisihan
dalam masalah keutamaan sedekah”.

Demikianlah keistimewaan umat kita dan kaum muslimin. Ibnu Hazm berkata,”Riwayat orang
yang tsiqah dari orangtsiqah yang sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
secara bersambung merupakan kekhususan kaum muslimin yang tidak dimiliki oleh semua
agama”.

Dan Tarikh Ar-Rijal (sejaran para perawi) adalah yang membuka kedok para perawi pendusta.
Sufyan Ats-Tsauri berkata,”Ketika menghadapi para perawi berdusta, maka kita menggunakan
ilmu tarikh untuk menghadapi mereka”.

Dari Hafsh bin Ghiyats bahwasannya dia berkata,”Apabila kalian mencurigai atau menuduh
seorang Syaikh, maka hitunglah dia dengan tahun ( = maksudnya : gunakanlah ilmu tarikh).
Yaitu hitunhlah oleh kalian umurnya dan umur orang yang menulis darinya”.

Telah meriwayatkan ‘Ufair bin Mi’dan dan Al-Kula’i, dia berkata,”Datang kepada kami Umar
bin Musa di Himsh, lalu kami bergabung kepadanya di dalam masjid, kemudian dia berkata :
“Telah menceritakan kepada kami Syaikh kalian yang shalih”. Aku katakan
kepadanya,”Siapakah Syaikh kami yang shalih ini, sebutkanlah namanya supaya kami
mengenalnya!”. Lalu dia menjawab,”Khalid bin Mi’dan”. Aku tanyakan kepadanya,”Tahun
berapa engkau bertemu dengannya?”. “Aku bertemu dengannya tahun 108”,jawabnya. “Dimana
negkau menemuinya?”,tanyaku. “Dalam peperangan Armenia”,jawabnya. Maka aku katakan
kepadanya,”Takutlah kepada Allah, wahai Syaikh!! Jangan engkau berdusta, Khalid bin Mi’dan
meninggal pada tahun 104, lalu negkau mengatakan bertemu dengannya 4 tahun setelah

15
kematiannya?. Dan aku tambahkan lagi kepadamu, dia tidak pernah ikut perang di Armenia, dia
hanya ikut memerangi Romawi”.

Dari Al-Hakim bin Abdillah dia berkata,”Ketika datang kepada kami Abu Ja’far Muhammad
bin Abdillah Al-Kusysyi dan menceritakan hadits dari Abd bin Humaid, aku menanyakan
kepadanya tentang kelahirannya, lalu dia menyebutkan bahwasannya dia dilahirkan pada tahun
260. Maka aku katakan kepada para murid kami,”Syaikh ini telah mendengar dari ‘Abd bin
Humaid 13 tahun setekah kematiannya”.

Contoh seperti ini sudah banyak terkumpul dan dibukukan oleh para ulama dalam kitab-kitab
karya mereka. Danberbagai macam buku karya tentang hal itu banyak bermunculan dengan
berbagai tujuan.

Kitab-Kitab tentang Nama-Nama Shahabat Secara Khusus

Ash-Shahabah merupakan jamak dari Shahabi, dan Shahabi secara bahasa diambil dari kata
Ash-Shuhbah, dan ini digunakan atas setiap orang yang bershahabat dengan selainnya baik
sedikit maupun banyak.

Dan Ash-Shahabi menurut para ahli hadits adalah setiap muslim yang pernah melihat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meskipun tidak lama pershahabatannya dengan beliau
dan meskipun tidak meriwayatkan dari beliau sedikitpun.

Imam Bukhari berkata dalam Shahihnya,”Barangsiapa yang pernah menemani Nabi


shallallaahu ‘alaihi wasallam atau melihatnya di antara kaum muslimin, maka dia termasuk dari
shahabat-shahabat beliau”.

Ibnu Ash-Shalah berkata,”Telah sampai kepada kami dari Abul-Mudlaffir As-Sam’ani Al-
Marwazi, bahwasannya dia berkata : Para ulama hadits menyebut istilah shahabat kepada setiap
orang yang telah meriwayatkan hadits atau satu kata dari beliau shallallaahu ‘alaihi wasalla, dan
mereka memperluas hingga kepada orang yang pernah melihat beliau meskipun hanya sekali,
maka ia termasuk dari shahabat. Hal ini karena kemuliaan kedudukan Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam, dan diberikanlah julukan shahabat terhadap setiap orang yang pernah melihatnya”.

Dan dinisbatkan kepada Imam para Tabi’in Sa’id bin Al-Musayyib perkataan : “Dapat dianggap
sebagai shahabat bagi orang yang pernah tinggal bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam setahun atau dua tahun, dan ikut berperang bersamanya sekali atau dua kali
peperangan”. Ini yang dihikayatkan para ulama ushul-fiqh. Akan tetap Al-‘Iraqi
membantahnya,”Ini toadk benar dari Ibnul-Musayyib, karena Jarir bin Abdillah Al-Bajali
termasuk dari shahabat, padahal dia masuk Islam pada tahun 10 Hijriyah. Para ulama juga
menggolongkan sebagai shahabat orang yang belum pernah ikut perang bersama beliau,
termasuk ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat sedangkan orang itu masih kecil
dan belum pernah duduk bersamanya”.

Ibnu Hajar berkata,”Dan pendapat yang paling benar yang aku pegang, bahwasannya shahabat
adalh seorang mukmin yang pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
dan mati dalam keadaan Islam, termasuk di dalamnya adalah orang yang pernah duduk bersama
beliau baik lama atau sebentar, baik meriwayatkannya darinya atau tidak, dan orangyang pernah
melihat beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam walaupun sekali dan belum pernah duduk
dengannya, dan termasuk juga orang yang tidak melihat beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam

16
karena ada halangan seperti buta” (Lihat Shahih Al-Bukhari tentang kutamaan para shahabat, Ulumul-Hadiits oleh Ibnu Shalah
halaman 263, Al-ba’itsul-Hatsits halaman 179, Al-Ishabah 1/4, Fathul-Mughits 4/29. dan Tadriibur-Rawi halaman 396).

Cara Mengetahui Shahabat

1. Diketahui keadaan seseorang sebagai shahabat secara mutawatir.


2. Dengan ketenaran, meskipun belum sampai batasan mutawatir.
3. Riwayat dari seorang shahabat bahwa dia adalah shahabat.
4. Atau dengan mengkhabarkan dirinya bahwa dia adalah seorang shahabat.

Dan diperselisihkan mengenai siapa yang pertama kali masuk Islam dari kalangan shahabat.
Ada yang mengatakan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ada juga yang mengatakan : Ali bin Abi
Thalib. Pendapat lain : Zaid bin Haritsah. Pendapat lain mengatakan : Khadijah binti
Khuwailid. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Khadijah adalah orangyang pertama membenarkan
pengutusan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam secara mutlak.

Ke-’adalah-an Shahabat

Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, semua shahabat itu adalah ’adil, karena Allah ta’ala telah
memuji mereka dalam Al-Qur’an; dan As-Sunnah pun juga telah memuji akhlaq dan perbuatan
mereka, serta pengorbanan mereka kepada rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam baik harta
dan jiwa mereka; hanya karena ingin mendapatkan balasan dan pahala dari Allah ta’ala.

Adapun pertikaian yang terjadi sesudah beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, ada diantaranya
yang terjadi karena tidak disengaja seperti Perang Jamal. Dan ada pula yang terjadi karena
ijtihad mereka seperti Perang Shiffin. Ijtihad bisa salah, bisa pula benar. Jika salah dimaafkan
dan tetap mendapatkan pahala, dan jika benar maka akan mendapatkan dua pahala.

Dan di antara shahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam adalah Abu Hurairah, Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab, Anas bin Malik,
‘Aisyah Ummul-Mukminin, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Jabir bin Abdillah Al-Anshari, dan Abu
Sa’id Al-Khudry (Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Anshary).

Dan di antara mereka ada yang sedikit meriwayatkan, atau tidak meriwayatkan sedikitpun.

Shahabat yang paling terakhir meninggal adalah Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah Al-Laitsi,
meinggal pada tahun 11 Hijriyyah di Makkah.

Kitab-Kitab Terkenal Mengenai Shahabat

a. Kitab Ma’rifat Man Nazala minash-Shahabah Sa’iral-Buldan, karya Imam Ali bin Abdillah
Al-Madini (wafat tahun 234 H). Kitab ini tidak sampai kepada kita.

b. Kitab Tarikh Ash-Shahabah, karya Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 245 H).
Kitab ini juga tidak sampai kepada kita.

c. Al-Isti’ab fii Ma’rifaatil-Ashhaab, karya Abu ‘Umar bin Yusuf bin Abdillah yang masyhur
dengan nama Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Qurthubi (wafat tahun 463 H). dan telah dicetak berulang
kali, di dalamnya terdapat 4.225 biografi shahabat pria maupun wanita.

17
d. Ushuudul-Ghabah fii Ma’rifati Ash-Shahabah, karya ‘Izzuddin Bul-Hasan Ali bin
Muhammad bin Al-Atsir Al-Jazari (wafat tahun 630 H), dicetak, di dalamnya terdapat.7554
biografi.

e. Tajrid Asmaa’ Ash-Shahabah, karya Al-Hafidh Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin
Ahmad Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H), telah dicetak di India.

f. Al-Ishaabah fii Tamyiizi Ash-Shahaabah, karya Syaikhul-Islam Al-Imam Al-Hafidh


Syihabuddin Ahmad bin Ali Al-Kinani, yang masyhur dengan nama Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
(wafat tahun 852 H). Dan dia adalah orang yang paling banyak melalukan pengumpulan dan
penulisan. Jumlah kumpulan biografi yang terdapat dalam Al-Ishaabah adalah 122.798,
termasuk dengan pengulangan, karena ada perbedaan pada nama shahabat atau ketenarannya
dengan kunyah-nya, gelar, atau semacamnya; dan termasuk pula mereka yang disebut shahabat,
namun ternyata bukan.

Penyusunan Kitab Berdasarkan Thabaqat (Generasi)

Di antara penyusun kitab Tarikh Ar-Ruwat, ada yang menyusunnya berdasarkan tingkat
generasi, yang meliputi shahabat, tabi’In, tabi’ut tabi’in, dan orang yang mengikuti mereka
pada tiap generasi. Thabaqat adalah sekelompok perawi yang hidup dalam satu masa. Buku
tersebut terkadang mencakupi perawi hadits secara umum dalam setiap thabaqat tanpa terikat
pada tempat tertentu, dan terkadang pula hanya para perawi yang hidup dalam satu negeri.

Karya terkenal dalam metode thabaqat ini adalah :

a. Kitab Ath-Thabaqat, karya Muhammad bin ‘Umar Al-Waqidi (wafat tahun 207 H). Ibnu
Nadim telahmenyebutkannya dalam kitab Al-fahrasaat. Dan Muhammad bin Sa’ad, juru tulis
Al-Waqidi, dalam bukunya Ath-Thabaqat Al-Kubra banyak menukil dari kitab tersebut.

b. Kitab Ath-Thabaqat Al-Kubraa, karya Muhammad bin Sa’ad (wafat tahun 230 H), dicetak
dalam 14 jilid.

c. Kitab Thabaqat Ar-Ruwat, karya Khalifah bin Khayyath (wafat tahun 240 H).Ibnu Hajar
mengambil darinya, dan terdapat manuskripnya hingga kini.

d. Kitab Ath-Thabaqaat, karya Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi (wafat tahun 261 H) dan
tedapat manuskripnya hingga kini.

e. Kitab Ath-Thabaqat, karya Abu Bakar Ahmad bin Andillah Al-Barqi (wafat tahun 270 H),
mengambil darinya Ibnu Hajar dalam Tahdzib Al-tahdzib.

f. Kitab Thabaqat Al-Muhadditsiin, karya Abul-Qasim Maslamah bin Qasim Al-Andalusi


(wafat tahun 353 H).

g. Kitab Thabaqat Al-Muhadditsiin bi Ashbahan wal Wariidina ‘Alaiha, karya Abu Syaikh bin
Hayyan Al-Anshary (wafat tahun 369 H) dan terdapat manuskripnya hingga kini.

h. Kitab Thabaqaat Al-Muhadditsiin, karya Abul-Qasim Abdurrahman bin Mandah (wafat


tahun 470 H).

18
Banyak karya yang sudah hilang, dan yang sampai ke tangan kita hanya sebagian kecil saja.
Dan yang paling tinggi nilainya adalah kitab Ath-Thabaqat Al-Kubra karya Ibnu Sa’ad.

Dan di antara para penyusun ada yang menulis berdasarkan negeri-negeri, seperti :

a. Tarikh Naisabur, karya Imam Muhammad bin Abdillah Al-Hakim An-Naisabury (wafat
tahun 405 H), dia termasuk kitab yang hilang.

b. Tarikh Baghdad, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Baghdadi yang dikenal dengan Al-
Khathib Al-Baghdadi (wafat tahun 463 H), dicetak, dan dia termasuk kitab yang paling
menonjol dan paling banyak manfaatnya.

c. Tarikh Dimasyq, karya seorang ahli sejarah Ali bin Al-Husain yang dikenal dengan Ibnu
‘Asakir Ad-Dimasyqi (wafat tahun 571 H).

19

Anda mungkin juga menyukai