Anda di halaman 1dari 7

Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut di atas diriwayatkan oleh 40 orang shahabat,

kemudian Imam Nawawi dalam kitab Minhajul muhaddisin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200
shahabat.

Al-Iraqi menyatakan bahwa lafadz hadits itu diriwayatkan oleh lebih dari 70 shahabat tetapi
yang semakna dengan hadits ini telah diriwayatkan oleh 200 orang shahabat, sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh An-Nawawi.

2. Hadits Mutawatir Ma’nawi

Hadits mutawatir ma’nawi adalah :

‫ ما اختلفوا في لفظه ومعناه مع رجوعه لمعنى كلي‬.

Artinya :

“ Hadits yang berlainan bunyi lafadz dan ma’nanya, tapi dapat diambil dari kesimpulan atau
satu ma’na yang umum. “

‫ ما اتفقت نقلته على معناه من غير مطابقة في اللفظ‬.

Artinya :

“ Hadits yang disepakati penukilannya atas ma’nanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafadz. “

Jadi hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits mutawatir yang para perawinya berbeda dalam
menyusun redaksi hadits tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam ma’nanya.

Contoh :

‫ ما رفع صلى هللا عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض إبطيه في شئ من دعائه إال في اإلستسقاء‬.

Artinya :

“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam do’a-do’anya selain dalam do’a
shalat istisqa’ dan beliau mengangkat tangannya, hingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.”

(HR. Bukhari Muslim)


Hadits yang semakna dengan hadits tersebut di atas ada banyak yaitu tidak kurang dari 30 buah
dengan redaksi yang berbeda-beda Antara lain hadits-hadits yang ditakrijkan oleh Imam Ahmad, Al-
Hakim dan Abu Daud, yang berbunyi :

‫ كان يرفع يديه حذو منكبيه‬.

Artinya :

“Rasulullah SAW, mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”

3. Hadits Mutawatir Amali

Hadits Mutawatir. Amali adalah :

‫ما علم من الدين بالضرورة وتواتر بين المسلمين أن النبي صلى هللا عليه وسلم فعله و امر به أو غير ذالك‬

Artinya:

“Sesuatu yang dengan mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah
mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk
melakukannya atau serupa dengan itu.”

Contoh :

Kita melihat di mana saja bahwa shalat zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat)
rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai
sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW. Melakukannya atau memerintahkannya demikian.

Di samping pembagian hadits mutawatir sebagaimana tersebut di atas, ada juga ulama yang
membagi hadits mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadits mutawatir amali
ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadits mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lazfi
dan mutawatir maknawi.

B. Hadits Ahad

I. Pengertian Hadits Ahad

Menurut istilah ahli hadits, ta’rif hadits ahad antara lain adalah :

‫ما لم تبلغ نقلته في الكثرة مبلغ الخبر المتواتر سواء كان المخبر واحدا اوثنين او ثالثة او اربعة او خمسة الى غير ذالك من‬
‫ اإلعداد التى ال تشعر بأن الخبر دخل بها في خبر المتواتر‬.

Artinya :

“Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaanya tidak mencapai jumlah pemberitaan hadits
mutawatir, baik pemberitaan itu seorang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan
seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam
hadits mutawatir.”

Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut :

‫ ما ال يجتمع فيه شروط التواتر‬.

Artinya:

“Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syarat-syarat mutawatir.’

II. Faedah hadits ahad

Para ulama sependapat bahwa hadits ahad tidak memfaedahkan Qat’i, sebagaimana hadits,
mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan
sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau ternyata telah diketahui bahwa hadits
tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk
diamalkan sebagaimana hadits mutawatir.

Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah
memeriksa “Apakah hadits tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah
dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqadkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.

Kemudian apabila telah nyat abahwa hadits itu (sahih atau hasan), hendaklah kita periksa
apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadits
itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya
supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang
terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil,
kita pandang nasikh.

Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang
rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.

Walhasil, barulah kita dapat berhujjah dengan satu hadits, sesudah nyata sahih atau hasannya,
baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.

IV. Kedudukan Hadits Ahad

Bila hadits mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak
demikian halnya hadits ahad. Hadits ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (dhanni)
berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain bahwa hadits ahad mungkin benar berasal dari beliau.

Karena diduga (dhanni) berasal dari Rasulullsh SAW, maka kedudukan hadits ahad, sebagai sumber
ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadits mutawatir. Ini berarti bahwa bila suatu hadits, yang
termasuk kelompok hadits ahad bertentangan isinya dengan hadits mutawatir, maka hadits tersebut
ditolak, dan dipandang sebagai hadits yang tidak berasal dari Rasulullah SAW.
Bila diperinci lebih lanjut, kedudukan hadits-hadits ahad itu berbeda-beda, sejalan dengan
perbedaan taraf dugaan atau taraf kemungkinannya berasal dari Rasulullah SAW. Sebagian hadits-hadits
tersebut lebih tinggi kedudukannya dari sebagian hadits yang lain, kendati semuanya sama-sama
termasuk hadits ahad. Hadits ahad itu ada yang dinilai shahih, ada yang dinilai hasan,dan adapula yang
dinilai dha’if. Kedudukan hadits shahih lebih tinggi daripada hasan, dan kedudukan hadits hasan lebih
tinggi daripada hadits dha’if.

V. Perbedaan Hadits Mutawatir dengan Hadits Ahad

a.Dari segi jumlah rawi, hadits mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya sangat pada
setiap tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil mereka sepakat untuk berdusta,
sedangkan hadits ahad diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan
masih memungkinkan mereka untuk sepakat berdusta.

b.Dari segi pengetahuan yang dihasilkan, hadits mutawatir menghasilkan ilmu qat’i atau ilmu dharuri
bahwa hadits itu sungguh-sungguh dari Rasulullah sehingga dapat dipastikan kebenarannya,
sedangkan hadits ahad menghasilkan ilmu dhanni bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah SAW,
sehingga kebenarannya masih berupa dugaan pula.

c.Dari segi kedudukan, hadits mutawatir sebagai sumber ajaran agama Islam memiliki kedudukan yang
lebih tinggi daripada hadits ahad sebagai sumber ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadits
mutawatir.

d.Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadits mutawatir
mustahil bertentangan dengan keterangan ayat Al-Quran, sedangkan keterangan matan hadits ahad
mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat Al-Quran. Bila dijumpai hadits-
hadits dalam kelompok hadits ahad yang keterangan matan haditsnya bertentangan dengan
keterangan ayat Al-Quran, maka hadits-hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah. Mustahil
Rasulullah mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran.

C. Hadits Masyhur ( Hadits Mustafid )

Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafid
menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi, menurut istilah ilmu hadits, hadits
masyhur dan hadits mustafid itu sama-sama berarti hadits yang sudah tersebar atau tersiar.

Dalam pengertian istilah ilmu hadits, keduanya diberi batasan yang sama, sebagai beikut :

‫ الحديث المشهور او الحديث المستفيض هو الحديث الذي رواه الثالثة فاكثر ولم يصل درجة التواتر‬.

Artinya :
“ Hadits masyhur ( hadits mustafid ) adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih, dan
belum mencapai hadits mutawatir.

Contoh Hadits Masyhur ( Hadits Mustafid ) :

‫ المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬.

( ‫) رواه البخار ومسلم والترمذى‬

Artinya :

“ Rasulullah SAW bersabda, “ Seorang muslim adalah kaum muslimin yang tidak terganggu oleh
lidah dan tangannya. “

( HR. Bukhari Muslim dan Tirmidzi )

Hadits tersebut sejak tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ketingkat imam-imam
yang membukukan hadits (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi) diriwayatkan oleh tidak
kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.

Sebagian ulama, membedakan hadits mustafid dan hadits masyhur, yaitu hadits mustafid adalah
hadits yang diriwayatkan oleh empat orang rawi atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir,
sedangkan hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi.
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, atas segala limpahan rahmat taufiq dan
hidayahnya.Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada
keluarganya, sahabatnya,tabi’ut tabi’n serta kepada hamba-Nya yang istiqomah dijalan yang haq.

Oleh sebab itu kami selaku penyusun makalah “ KLASIFIKASI HADITS : Pembagian Hadits Dari
Segi Kuantitas Sanad “. Mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Kami berharap makalah ini bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi para
pembaca.

Adapun pembahasan yang lebih rinci, insya Allah akan kami bahas pada pembahasan
berikutnya. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini kami mohon ma’af sebesar-
besarnya,karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Dan tidak lupa pula kami mohon
saran dan kritikannya yang membangun demi terciptanya makalah yang lebih baik. Amiin yaa rabbal
‘alamin.

Anda mungkin juga menyukai