Anda di halaman 1dari 11

KLASIFIKASI HADIS DITINJAU DARI SEGI KUANTITAS PERAWI

Diajukan untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah: Ulumul Hadis A
Dosen Pengampu : Dr. Akhmad Sagir, S.Ag, M.Ag

Oleh :

Istiqamah (200103020018)
Muhammad Irgy Fadillah (200103020160)
Nur Rizky Amelia (200103020145)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
BANJARMASIN
2021
A.Pendahuluan
Hadis merupakan sumber sunnah Nabi Muhammad SAW yang menjadi rujukan kedua
dalam kajian hukum Islam setelah al-Qur’an al-Karim. Oleh sebab itu, perlu adanya
pengklasifikasian serta riset tentang hadits mengenai kebenarannya, periwayatannya serta
asbabul wurudnya. Salah satu bentuk pengklasifikasian hadits yang dilakukan oleh para ahli
hadits adalah berdasarkan kuantitas perawinya. Para ulama hadits berbeda pendapat tentang
pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber
berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits
mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang membaginya menjadi dua, yakni hadits
mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur berdiri
sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dilandasi oleh sebagian ulama ushul
seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua
diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun).
Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi hanya
merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits
mutawatir dan ahad.

B.Pembahasan
A. Hadits Mutawatir.
1. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara lughowi istilah mutawatir berasal dari isim fail musytaq dari al-tawatur yang berarti
tatabu’ (datang berturut-turut dan beriringan satu dengan yang lainnya). Seperti dalam Q.S. al-
mu’minun (23) : 44.

‫ث َفُب ْع ًدا لَِّق ْوٍم اَّل يُ ْؤ ِمُن ْو َن‬


َ ۚ ْ‫ٰه ْم اَ َح ِادي‬
ُ ‫ضا َّو َج َع ْلن‬ َ ‫ُكلَّ َما َجاۤءَ اَُّمةً َّر ُس ْوهُلَا َك َّذبُ ْوهُ فَاَْتَب ْعنَا َب ْع‬
ً ‫ض ُه ْم َب ْع‬ ‫مُثَّ اَْر َس ْلنَا ُر ُسلَنَا َتْتَر ۗا‬

44. Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) Rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap


seorang Rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya. Maka Kami perikutkan
sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Dan Kami jadikan mereka buah tutur
(manusia).  Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman.

1
Secara istilah yang dimaksud dengan mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh
banyak periwayat dalam setiap tingkatan satu dengan lainnya dan masing-masing periwayat
tersebut semuanya adil yang tidak memungkinkan mereka itu semuanya sepakat berdusta atau
bohong semuanya bersandar pada panca indra. 1
Hadits mutawatir berada pada tingkatan paling tinggi dalam hal meyakinkan penerima
informasi. Ia sejajar dengan Al-Qur’an, dalam arti sama diriwayatkan secara mutawatir.
Segolongan ulama’ berkata bahwa ilmu (keyakinan) yang diperoleh dari khabar mutawatir sama
dengan keyakinan yang didapati dari melihat dengan mata kepala sendiri. Para ulama’ sependapat
bahwa hadits mutawatir harus diterima sebagai berasal dari Nabi.Daya ikat hadits mutawatir ini
disebut di dalam kitab-kitab bahwa orang-orang Islam.
Hukum hadits Mutawatir
A. Berfaidah keyakinan. Bahwa hadits mutawatir memberi faidah harus diyakini apa
adanya. Ini disebut sebagai ilmu dharuri yang tidak lagi dapat ditawar kebenarannya.
Orang harus meyakini bahwa apa yang diriwayatkan para perawi memang pernah
disampaikan atau dilakukan oleh Rosulullah melihat kuantitas perawi yang tidak
mungkin bersepakat berdusta.
B. Pasti shahih. Maka tidak dibutuhkan pembahasan mengenai hal ihwal
periwayatannya.
C. Wajib meyakini keshahihannya seperti meyakini Al-Qur’an. Bahwa mengingkari
hadits mutawatir dapat menyebabkan kekufuran.
D. Wajib mengamalkannya. Maksudnya, bila disana Nabi menyebut perintah, maka
harus dilaksanakan, sebaliknya bila disana Nabi melarang, maka harus disingkiri.

2.    Syarat-syarat Hadits Mutawatir.


a. Bilangan atau jumlah periwayatnya banyak.
Dalam hal ini para ulama’ berselisih tentang jumlahnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa
paling sedikit adalah 4 orang periwayat berdasarkan pemahaman atas Q.S. al-nur (24):13.

‫ك ِعْن َد ال ٰلّ ِه ُه ُم الْ ٰك ِذبُ ْو َن‬ ۤ ِ ‫لَواَل جاۤءو علَي ِه بِاَربع ِة شهداۤ ۚ َء فَاِ ْذ مَل يأْتوا بِالش‬
َ ‫ُّه َداۤء فَاُو ٰل ِٕى‬
َ ُْ َ ْ َ َ ُ َ َ ْ ْ َ ُْ َ ْ

1
Subhi al-salih, ‘ulum al-hadis wa mustalahuh (Beirut : Dar al-‘ilm li al-malayin, 1977),146

2
13. mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita
bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka itulah pada sisi
Allah orang- orang yang dusta.
Ada yang berpendapat 5, sebagai pemahaman mengertai ayat-ayat yang menerangkan
tentang mula’anah. Ada pendapat lain yang mengatakan minimal 10 periwayat karena dengan
alasan jumlah kurang dari 10 merupakan bilangan satuan. Di samping itu masih banyak yang
berpendapat bahwa mutawatir berjumlah sepuluh, dua belas, dua puluh, empat puluh, tujuh
puluh, bahkan ada yang mengatakan lebih dari tiga ratus perawi.
Banyaknya periwayat dari awal sanad sampai akhir cenderung stabil.Jumlah periwayatnya
imbang masing-masing tingkatan, yaitu tidak gemuk di satu tingkatan sedang ditingkatan lainnya
kecil. Atau dengan kata lain, jumlah periwayatnya dari generasi satu ke generasi yang lainnya
bertambah tidak berubah menjadi sedikit. Tidak adanya kesepakatan mereka untuk berdusta.Oleh
karena itu, isi atau teks hadits yang diriwayatkan diantara mereka nyata atau tidak ada perbedaan
satu dengan yang lainnya. Atau dengan kata lain, mereka tidak berdusta atas yang
disampaikannya merupakan benar-benar dari Rosulullah SAW.
b. Semuanya bersandar pada panca indra.
Persyaratan ini menjadikan hadits mutawatir mencapai derajat yang tiggi karena transmisinya
dilakukan dengan metode al-sama’.  Dalam pandangan ulama’ metode penyampaian hadits
tersebut merupakan metode yang terbaik dalam periwayatan hadits atau kegiatan tahammul wa
al-ada’.  2 
Metode menggunakan selain panca indera tidak dibenarkan, semisal pemikiran manusia
mengenai sesuatu.Contoh angka satu merupakan hasil pengurangan dua dikurang satu, dan lain
sebagainya.
c. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqoh pertama dengan jumlah
   

rawi-rawi dalam thobaqoh berikutnya.


Oleh karena itu, kalau suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya,
kemudian diterima oleh lima orang tabi’in dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang
tabi’it-tabi’in, bukan hadits mutawatir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara
thabaqoh pertama, kedua dan ketiga.

2
Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhatul Mughits fi ilmi musthalah al-hadits, Andalas Surabaya

3
3. Pembagian Hadits Mutawatir.
Para ahli ushul membagi hadits mutawatir kepada dua bagian.Yakni mutawatir lafdzi dan
mutawatir ma’nawi.
- Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat
(mutawatir) dari sisi lafalnya. Lafadz tersebut antara satu dengan lainnya sama dengan
hadits Nabi Muhammad SAW.
Contoh adalah hadits mengenai bacaan ta’awudz:

‫لقد قرأت على عبداهلل بن مسعود فقلت أعوذ بالسميع العليم فقال قل اعوذ باهلل من الشيطان الرجيم قل‬

‫فلقد قرأت على رسول اهلل صلعم فقلت أعوذ بالسميع العليم فقال ىل يا ابن ام عبد قل اعوذ باهلل من الشيطان‬

‫الرجيم هكذا أقرأنيه جربيل عن القلم عن اللوح احملفوظ‬


- Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya berlainan dalam menyusun
redaksi pemberitaanya, tetapi berita yang berlainan tersebut terdapat pesesuaian pada
prinsipnya. Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan kesunnahan mengangkat
tangan ketika berdoa. Hadits ini berjumlah sekitar seratus hadits dengan redaksi yang
berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yaitu keadaan Nabi Muhammad
mengangkat tangan saat berdo’a.

Namun ada ulama yang mengatakan bahwa hadits mutawatir terbagi menjadi tiga, yaitu
dengan menambahkan hadits amali sebagaimana penjelasan Sayyid Abdul majid al-
Ghouri dalam kitabnya “al-Muyassar fi ‘ulum al-Hadits”.

- Hadits mutawatir amali merupakan hadits yang diambil oleh orang-orang, semisal dari
satu bangsa ke bangsa lainnya, dan karenanya tidak membedakan antara satu mukmin
dengan mukmin lainnya seperti shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, haji dan lain-
lain. Semua itu dilakukan berdasar mutawatir amali dari nabi Muhammad SAW,
kemudian diikuti para sahabat hingga sampailah pada era sekarang ini. Keseluruhannya
tidak berbeda dalam pelaksanaan, baik bangsa barat maupun bangsa timur.
Dalam segi perawian hadits mutawatir, ada sebuah contoh metode yang masih terus
dilakukan oleh umat muslim hingga kini. Metode itu biasa disebut dengan musalsal, yaitu

4
meriwayatkan hadits nabi secara mutawatir baik dari segi lafadz, makna dan
pengamalannya.Sebagai contoh ialah musalsal bi a’udzubillahi mina asy-syaithoni ar-
rajim, musalsal bi al-fatihah, musalsal bil buka’ dan musalsal bil musyabakah.

4. Faedah hadits mutawatir


Hadits mutawatir itu memberikan faedah ilmu dhoruri, yakni keharusan untuk
menerimanya dan mengamalkan sesuai dengan yang diberitakan oleh hadits mutawatir tersebut
hingga membawa pada keyakinan qoth’i (pasti).
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawtir oleh sebagian
golongan membawa keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak
menganggap bahwa hadits tersebut mutawatir. Barang siapa telah meyakini ke-mutawatir-an
hadits diwajibkan untuk mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya.Sebaliknya bagi mereka
yang belum mengetahui dan meyakini kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan
mengamalkan hadits mutawatir yang disepakati oleh para ulama’ sebagaimana kewajiban mereka
mengikuti ketentuan-ketentuan hokum yang disepakati oleh ahli ilmu.
Para perawi hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan maupun
kedhobitannya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana telah ditetapkan
di atas, menjadikan mereka tidak munkin sepakat melakukan dusta.

B. Hadits Ahad
1. Pengertian Hadits Ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka khobar ahad atau khobar wahid
berarti suatu berita yang disampaikan oleh orang satu.
Adapun yang dimaksud hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama’,
antara lain:
Hadits ahad adalah khobar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi hadits
mutawatir, baik perowi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang memberikan
pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perowi hadits mutawatir. Ada
juga ulama’ yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat yaitu: hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits mutawatir.

5
Muhammad Abu Zarhah mendefinisikan hadits ahad yaitu tiap-tiap khobar yang yang
diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih yang diterima oleh Rosulullah dan tidak memenuhi
persyaratan hadits mutawatir.
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh
satu, dua, atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadits
mutawatir.Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi terakhir. 3

2. Pembagian Hadits Ahad


Para muhadditsin membagi atau memberi nama-nama tertentu bagi hadits ahad mengingat
banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqot, yaitu hadits masyhur, hadits
aziz, hadits farad dan hadits ghorib.
a. Hadits Masyhur
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan tidak sampai pada batasan
mutawatir.Ibnu Hajar mendefinisikan hadits masyhur secara ringkas, yaitu hadits yang
mempunyai jalan terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas
hadits mutawatir.
Hadits ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat.Ada
ulama’ yang memasukkan seluruh hadits yang popular dalam masyarakat, sekali pun tidak
mempunyai sanad, baik berstatus shohih atau dhi’if ke dalam hadits masyhur.Ulama’
Hanafiah mengatakan bahwa hadits masyhur menghasilkan ketenangan hati, kedekatan
pada keyakinan dan kewajiban untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak
dikatakan kafir. Hadits masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dhaif.Yang
dimaksud dengan hadits masyhur sahih adalah hadits masyhur yang telah mencapai
ketentuan-ketentuan hadits sahih baik pada sanad maupun matannya.

Hadits masyhur terbagi atas


- Masyhur mutlak yaitu hadits yang terkenal baik di kalangan ahli hadits maupun lainnya
semisal:

‫إمنااالعمل بالنيات‬

3
Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, hlm:126

6
- Masyhur muqayyad yaitu hadits yang terkenal antarkalangan ahli hadits saja seperti hadits
Anas

‫قنتشهرابعدالركوعيدعوعلىرعلوذكوان‬
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan adalah apabila telah mencapai
ketentuan hadits hasan, begitu juga dikatakan dhoif jika tidak memenuhi ketentuan hadits
sahih.
Hadits masyhur disebut juga dengan hadits mustafidl.Disebutkan bahwa hadits mustafidl
ialah hadits masyhur yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan.

b. Hadits Aziz
Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini.Sedangkan pengertiannya adalah hadits
yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua.Sebagai contoh ialah hadits “laa yu’minu
ahadukum hatta akuna ahabba ilaihu min waalidihi wawaladihi wannasi ajma’in”.
Diriwayatkan dari Anas oleh dua orang: Qotadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Dan dari
Abdul Aziz kepada Isma’il bin Alayyah dan Abdul Warits.

c. Hadits Ghorib
Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja. Hadits Ghorib terbagi menjadi dua:
yaitu ghorib mutlaq dan ghorib nisbi. Ghorib mutlaq terjadi apabila penyendirian perawi
hanya terdapat pada satu thabaqat.
Hadits ghorib nisbi terjadi apabila penyendiriannya mengenai sifat atau keadaan tertentu
dari seorang perawi. Penyendirian seorang rawi seperti ini bisa terjadi berkaitan dengan
ketsiqahan rawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.
Di banyak kitab-kitab atau buku-buku yang membahas ilmu hadits dijelaskan bahwa tiga
jenis inilah pembagian daripada hadits ahad.Sebagian ulama’ mengatakan bahwa hadits
fard merupakan jenis dari hadits ahad. Namun beberapa lainnya menganggap antara hadits
Fard dan Ghorib sama. Yang membedakan hanya dari segi penyebutannya saja.Beberapa
ahli hadits mengatakan al-fard mendominasi (al-fard al-mutlaq) sementara ghorib
mendominasi (al-fard an-nisbi).

7
Dalam Minhatul Mughits karangan Hafidz Anas dijelaskan bahwa hadits ghorib terbagi
atas dua bagian, mutlak dan nisbi.Mutlak ialah sendirinya hadits sahabat atau tabi’in.Nisbi
ialah selain sahabat dan tabi’in.

3. Hukum Hadits Ahad


Hukum hadits ahad, sebagaimana dikatakan oleh al-hafidz Ibnu Hajar menurut jumhur
ulama ialah dapat diterima dalam artian tidak wajib mengamalkannya.Adapun yang ditolak, yaitu
hadits ahad yang tidak memiliki landasan kebenaran atas pembahasan mengenai tingkah rawi
selain yang pertama, yaitu mutawatir.Semua mutawatir itu diterima karena dijaminnya kebenaran
periwayatannya.
Akan tetapi sesungguhnya wajib mengamalkan sebab diterimanya apabila menemukan di
dalamnya sifat asal diterima, yaitu ditetapkannya kebenaran periwayat (adil dan terpecaya).Atau
asal penolakan yaitu ditetapkannya kebohongan periwayatan, ataupun tidak (yaitu tidak sesuai
dengan kriteria asal sifat diterimanya, tidak dengan asal sifat penolakan. Maka hal ini mencakup
dengan diterima dan ditolak seperti jeleknya hafalan dan dianggap bodoh
- Pertama (diterima) mencakup keyakinan kebenaran riwayat untuk menetapkan kebenaran
pengambilannya, maka boleh mengambilnya.
- Kedua (ditolak) meliputi keyakinan kebohongan cerita. Maka ditolak.
- Ketiga (ditolak/diterima) apabila menemukan alasan (sifat atau tingkah) yang mencakup
satu dari dua jenis kebenaran. Apabila tidak, maka hal ini terhenti. Ketika terjadi
penghentian pengamalan, hadits menjadi seperti ditolak. Bukan sebab ditetapkannya sifat
penolakan, tetapi karena tidak ditemukannya sifat wajib diterimanya hadits tersebut.

C. KESIMPULAN
Hadits mutawatir berada pada tingkatan paling tinggi dalam hal meyakinkan penerima
informasi. Ia sejajar dengan Al-Qur’an, dalam arti sama diriwayatkan secara mutawatir.
Segolongan ulama’ berkata bahwa ilmu (keyakinan) yang diperoleh dari khabar mutawatir sama
dengan keyakinan yang didapati dari melihat dengan mata kepala sendiri. Para ulama’ sependapat
bahwa hadits mutawatir harus diterima sebagai berasal dari Nabi.
Para ahli ushul membagi hadits mutawatir kepada dua bagian.Yakni mutawatir lafdzi dan
mutawatir ma’nawi. Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak

8
periwayat (mutawatir) dari sisi lafalnya. Lafadz tersebut antara satu dengan lainnya sama dengan
hadits Nabi Muhammad SAW. Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya
berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaanya, tetapi berita yang berlainan tersebut terdapat
pesesuaian pada prinsipnya. 
Hadits ahad adalah khobar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi hadits
mutawatir, baik perowi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang memberikan
pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perowi hadits mutawatir. Ada
juga ulama’ yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat yaitu: hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits mutawatir. Para muhadditsin membagi atau memberi nama-nama tertentu
bagi hadits ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqot,
yaitu hadits masyhur, hadits aziz, hadits farad dan hadits ghorib.

DAFTAR PUSTAKA

9
Drs. Octoberinsyah, M.Ag, Imam Muhsin, M.Ag dan M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag, Al
Hadits,  Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta : 2005).
Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadits Nabi Telaah historis dan Metodologis, PT. Tiara Wacana,
(Yogyakarta : 2003).
Mudasir, Ilmu Hadits, Pustaka Setia, hlm:113
Fathur Rahman.1974. Ikhtisar Musthathalah al Hadits. Al Ma’arif: Bandung.hlm.79
Syekh Abdul Majid al-Ghouri. Al-Muyassar fi Ulum al-Hadits.Hlm.33, 34, 35, 209. Daar
Ibn Katsir, Damaskus, Beirut.
Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhatul Mughits fi ilmi musthalah al-hadits, Andalas
Surabaya.

10

Anda mungkin juga menyukai