Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH BERDIRINYA KERAJAAN BANJAR

SERTA BUDAYA LOKAL YANG DIISLAMKAN


Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Islam Kawasan Kalimantan
Dosen Pengampu: Bpk. Ihsanul Arief, M.Ag
Oleh Kelompok 2:
Muhammad Iqbal (200103020191)
Muhammad Irgy Fadhillah (200103020160)
Muhammad Reza Rahmadian (200103020161)
Muhammad Riyadh Qhalbi (200103020118)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
BANJARMASIN
2021
PENDAHULUAN

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ك بِٱ ْْلِك‬
ْ ‫ْمة ىوٱلْ ىم ْوعظىة ٱ ْْلى ىسنىة ۖ ىو ٰىجد ْْلُم بِٱلَِِّت ه ىى أ‬
‫ىح ىس ُن ۚ إِ َّن ىربَّ ى‬
‫ك ُه ىو‬ ‫ى‬ ‫ْٱدعُ إِ ى َٰل ىسبِ ِيل ىربِ ى‬
ِ ِ ِِ ِ
‫ين‬
‫ض َّل ىعن ىسبيلهۦ ۖ ىوُه ىو أ ْىعلى ُم بٱلْ ُم ْهتىد ى‬ ‫أ ْىعلى ُم ِِبىن ى‬
Serulah(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran
yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat
petunjuk.

Masuknya Islam ke Nusantara atau Indonesia yang dibawa oleh para


pedagang Gujarat, ulama sufi dan mubaligh pada sekitar abad XVII
menurut Nurcholis Madjid sudah mengalami apa yang disebut asimilasi
nilai kultural. Di mana proses Islamisasi tersebut lebih menekankan upaya
adaptasi ajaran Islam dengan budaya setempat. Salah satu di antara adanya
adaptasi itu, lenturnya pemahaman Islam dan pengaruh ajaran agama
terdahulu atas Islam, sehingga “Islam lembek” sebagai ungkapan adanya
celah-celah campuraduknya ajaran Islam yang orisinil dengan agama
nenek moyang.

Islam masuk ke Kalimantan Selatan pada masa jauh lebih belakang


dibanding, misalnya, Sumatera Utara atau Avej. Diperkirakan telah ada
sejumlah muslim di wilayah ini sejak awal abad ke-15, tetapi Islamisasi
mencapai momentumnya baru setelah pasukan Kesultanan Demak di Jawa
datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam
perjuangannya dengan kalangan elit istana Kerajaan Daha. Setelah
kemenangannya, Pangeran Samudra memenuhi janjinya untuk beralih
memeluk agama Islam pada sekitar tahun 936 H/1526 M dan diangkat
sebagai sultan yang pertama di Kesultanan Banjar.

Masuknya Islam ke Kalimantan Selatan juga berpengaruh pada aspek


sosio-kultural, yang mana Islam datang dengan menawarkan nilai dan
konsepnya yang universal, kemudian nilai dan konsep tersebut diterapkan
pada budaya lokal sehingga terjadi Islamisasi budaya.

1
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Kerajaan Banjar

Semula Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari Kerajaan Daha yang


beragama Hindu. Pada akhir abad ke-15, Kalimantan Selatan masih
dibawah pimpinan Kerajaan Daha, yang pada saat itu dipimpin oleh
Pangeran Sukarama, ia mempunyai tiga orang anak yaitu Pangeran
Mangkubumi, Pangeran Tumenggung, dan Putri Galuh. Peristiwa
kelahiran Kerajaan Banjar bermula dari konflik yang dimulai ketika terjadi
pertentangan dalam keluarga istana. Konflik terjadi antara Pangeran
Samudera dengan pamannya Pangeran Tumenggung, yang mana Pangeran
Samudera adalah pewaris sah Kerajaan Daha.1

Dikisahkan dalam Hikayat Banjar, ketika Raja Sukarama merasa sudah


hampir tiba ajalnya, ia berwasiat agar yang menggantikannya nanti adalah
cucunya Raden Samudera. Mengetahui keputusan ayahnya ini tentu saja
keempat puteranya tidak menyetujuinya, terlebih Pangeran Tumenggung
yang sangat berambisi terhadap kekuasaan Kerajaan Daha, setelah
Pangeran Sukarama meninggal, jabatan raja dipegang oleh anak tertuanya
yaitu Pangeran Mangkubumi. Karena pada saat itu Pangeran Samudera
masih berumur 7 tahun.

Pangeran Mangkubumi tidak lama berkuasa, ia dibunuh oleh seorang


pegawai istana, ia berhasil dahasut oleh Pangeran Tumenggung. Dengan
meninggalnya Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran Tumenggung naik
tahta menjadi Raja Kerajaan Daha.2 Pada saat itu, Pangeran Samudera
menjadi musuh besar Pangeran Tumenggung, oleh karena itu Pangeran
Samudera memilih untuk meninggalkan istana dan menyamar menjadi
nelayan di Pelabuhan Banjar, namun keberadannya diketahui oleh
diketahui oleh Patih Masih.

1
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia
(Bandung: Al-Ma’arif, 1979), h. 386.
2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 386.

2
Karena tidak mau daerahnya mengantar upeti ke Daha kepada Pangeran
Tumenggung, maka Patih Masih mengangkat Pangeran Samudera sebagai
Raja.3 Patih Masih, walau tak seagung Patih Gajah Mada, ia mampu
mengendalikan pemerintahan dengan teratur dan maju. Patih ini banyak
bergaul dengan Mubaligh Islam yang datang dari Tuban dan Gresik, dari
para Mubaligh inilah ia mendengar kisah tentang Wali Songo dalam
mengemban Kerajaan Demak dan dalam membangun masyarakat yang
adil dan makmur. Bagi Patih Masih, kisah tersebut sangat mengagumkan,
seiring berjalannya waktu, dari pergaulannya ini, ia akhirnya memeluk
agama Islam.4 Atas bantuan Patih Masih, Pangeran Samudera dapat
menghimpun kekuatan perlawanan dan memulai menyerang Pangeran
Tumenggung. Melalui serangan pertamanya, Pangeran Samudera berhasil
menguasai Muara Bahan.

Peperangan terus berlangsung, Patih Masih mengusulkan kepada Pangeran


Samudera untuk meminta bantuan kepada Kerajaan Demak agar dapat
mengalahkan Kerajaan Daha. Sultan Demak (Sultan Trenggono) bersedia
untuk membantu Pangeran Samudera dengan syarat agar Pangeran
Samudera dan seluruh rakyatnya masuk Islam.5 Dengan bantuan dari
Kesultanan Demak, Pangeran Samudera berhasil memperoleh
kemenangan melawan Kerajaan Daha, dan sesuai dengan janjinya, ia
beserta seluruh kerabat keraton dan rakyat Banjar menyatakan diri masuk
Islam.6 Setelah masuk Islam pada tahun 1526 M, seketika itu Kerajaan
Daha berubah menjadi Kerajaan Banjar, dan Pangeran Samudera pun
diberi gelar Sultan Suryanullah atau Sultan Suriansyah, yang dinobatkan
sebagai raja pertama dalam Kerajaan Banjar.7

3
Harun Yahya, Kerajaan Islam Nusantara: Abad XVI Dan XVII (Yogyakarta: Kurnia
Kalam Sejahtera, 1995), h. 72.
4
Saifuddin Zuhri, Sejarah…, h. 392.
5
Saifuddin Zuhri, Sejarah…, h. 220.
6
J.J Ras, Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography (Leiden: The Hague, 1968),
h. 426.
7
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011), h.220

3
B. Sistem Pemerintahan Kerajaan Banjar

Agama Islam merupakan agama resmi Kerajaan, oleh karena itu para
ulama mendapatkan kedudukan yang terhormat dan mulia dalam Kerajaan.
Tetapi selama berabad-abad lamanya hukum-hukum Islam tidak
diutamakan dan belum melembaga dalam pemerintahan karena pada saat
itu belum ada ulama yang mendampinginya. Setelah Sultan Tahmidullah II
berkuasa pada tahun 1761-1801 M, barulah hukum Islam itu melembaga
di Kerajaan Banjar dengan didampingi oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-
Banjari, salah seorang ulama besar yang telah berhasil membina
masyarakat Banjar untuk mengamalkan ajaran Islam.8

Peristiwa ini menimbulkan terjadinya perubahan dalam pemerintahan,


terutama setelah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari datang dari Mekah
dan tiba di Martapura pada tahun 1772 M.9 Ia sangat disegani oleh Sultan
karena kedalaman ilmunya, bahkan Sultan sendiri ketika akan meninggal
dunia berwasiat kepada keturunannya bahwa: “Syekh Muhammad Arsyad
adalah seorang sahabatku dan guruku, maka aku wasiatkan kepada anak
cucuku turun-temurun , janganlah durhaka kepadanya (Syekh Muhammad
Arsyad) dan anak cucu serta zuriatnya.” Hubungan sultan ini diperkuat
lagi dengan ikatan perkawinan, ketika Sultan mengawinkan Syekh
Muhammad Arsyad dengan cucunya Ratu Aminah binti Pangeran Thoha
bin Sultan Tahmidillah.10

Syekh Al-Banjari juga mengusulkan kepada Sultan untuk membentuk


Mahkamah Syari’ah dan disetujui Sultan, yakni suatu lembaga pengadilan
agama.

8
Yusuf Halidi, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Ulama Besar Kalimantan Selatan
Silsilah Raja-raja yang Berkuasa Pada Masa al-Banjari dari Lahir Hingga Wafat (Surabaya: Al-
Ihsan, 1968), h. 25.
9
Azzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994), h. 252.
10
Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Kalimantan Selatan:
Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum, 1980), h. 45.

4
Pengadilan itu dipimpin seorang mufti sebagai ketua hakim tertinggi
pengawas pengadilan umum dan qadhi bertugas mengurusi masalah
hukum waris, pembagian harta dan urusan Mu’amalat (jual-beli). Dengan
kepastian hukum Islam yang diterapkan dalam Kerajaan, segala urusan
dalam masyarakat dapat diselesaikan dalam pengadilan agama yang
mendapat legitimasi dari Kerajaan.

Hukum Islam dijadikan sebagai sumber pokok dalam membuat undang-


undang dan peraturan yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Hukum
yang berlaku berdasarkan Ahlussunnah wal Jamaah mazhab Syafi’i. Qadhi
pertama yang diangkat Sultan ialah cucu Syekh Muhammad Arsyad, yaitu
Muhammad As’ad. Selain mengajar pada lembaga pesantren di dalam
pagar Martapura untuk mendidik para da’i, beliau (Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari) juga banyak mengarang bermacam-macam kitab
sebagai panduan dan tuntunan bagi umat Islam, adapun di antaranya:

1) Ushul Ad-Din;
2) Nuqthat Al-‘Ajlam;
3) Kitab Al-Faraidh;
4) Kitab An-Nikah;
5) Tuhfah Ar-Raghibin;
6) Qaul Al-Mukhtashar;
7) Kanz Al-Ma’rifahl
8) Sabil Al-Muhtadin li At-Tafaqquh fi Amr Ad-Din.

Kitab Sabil Al-Muhtadin merupakan kitab yang dikarang oleh Syekh


Muhammad Arsyad Al-Banjari atas permintaan Sultan Tahmidullah
(Pangeran Nata Dilaga) bin Sultan Tamjidillah. Kitab tersebut ditulis pada
tahun 1193 H dan selesai pada tahun 1195 H (1779-1780 M), baru dicetak
untuk pertama kali dengan serempak pada tahun 1300 H (1882 M) di
Mekkah, Istanbul dan Kairo.

5
Kitab ini sangat terkenal di seluruh Asia Tenggara seperti Filipina,
Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja,
Vietnam, dan Laos, karena kaum muslimin di daerah-daerah tersebut
masih menggunakan bahasa melayu.11

Kedudukan agama Islam sebagai agama Negara terlihat dengan jelas pada
masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah yang memerintah pada
tahun 1825-1857 M, ia mendapatkan gelar Sultan Muda sejak tahun 1782.
Ia mengeluarkan Undang-Undang Negara pada tahun 1835 yang kemudian
dikenal sebagai Undang-Undang Sultan Adam, yang mana dalam Undang-
Undang tersebut terlihat jelas bahwa sumber hukum yang dipergunakan
adalah hukum Islam.12 Oleh karena itu, Kerajaan Banjar disebut sebagai
Kerajaan Islam, dan oleh karena itu pula, orang Banjar dikenal sebagai
orang yang beragama Islam. Dari sudut pandang Islam, otoritas sultan
berasal dari perannya sebagai pelaksana hukum Islam (Syari’ah).

Namun, pergantian kepemimpinan di Kerajaan Banjar terkadang banyak


menimbulkan kekacauan dan pertumpahan darah. Hal ini dikarenakan
adanya persaingan antar pangenran untuk naik tahta menjadi raja. Hal ini
biasanya dimulai dengan adu kekuatan militer hingga perang saudara,
bahkan tidak jarang terjadi saling bunuh antar saudara. Hal tersebut
dikarenakan cara pergantian kepemimpinan berdasarkan keturunan, dan
memang seperti itulah sistem monarki.

11
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Kitab Sabil Al-Muhtadin, terj. M Asywadie
Syukur (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985), h. 2.
12
Undang-Undang Negara, Undang-Undang Sultan Adam, 1835.

6
C. Sistem Sosial-Ekonomi Kerajaan Banjar

Kalimantan Selatan memiliki perairan yang strategis sebagai lalu lintas


perdagangan. Perdagangan di Banjarmasin pada permulaan abad ke-17 M
di monopoli golongan Tionghoa. Kuatnya penarikan lada dari mereka
untuk perdagangan ke Tiongkok mengakibatkan penanaman lada di
Banjarmasin menjadi pesat sekali.

Perahu-perahu Tiongkok datang ke Banjarmasin dengan membawa


barang-barangnya berupa barang pecah belah dan pulang kembali
membawa lada. Pada masa puncak kemakmurannya di permulaan abad ke-
18 M. Terkait perdagangan, lada merupakan komoditi ekspor terbesar
dalam kerajaan Banjar. Perkembangan perdagangan ini menyebabkan
terjadinya perubahan-perubahan politik pemerintahan.

Para penguasa sebagai the rulling class berusaha menguasai tanah yang
lebih luas dalam bentuk tanah apanage, yaitu tanah yang hasilnya
dipungut oleh keluarga raja, dan dijadikan wilayah penguasaan penanaman
lada. Besarnya perdagangan lada menyebabkan melimpahnya kekayaan
bagi golongan politikus dan pedagang, karena mereka memiliki kekuasaan
penuh yang tidak dimiliki oleh rakyat awam.

Dalam kerajaan Banjar, pajak merupakan penghasilan terbesar dan sangat


penting untuk menjalankan roda pemerintahan. Jenis-jenis pajak yang
dipungut dari rakyat, adalah pajak uang kepala, sewa tanah, pajak perahu,
pajak penghasilan intan dan emas. Perekonomian masyarakat banjar terdiri
atas pertanian, nelayan, dan industri.

7
D. Islam dan Budaya Banjar

a) Hari ‘Asyura (10 Muharram) dan Bubur ‘Asyura

Muharram adalah bulan pertama dalam tahun Islam (Hijrah). Sebelum


Rasulullah berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib, penamaan bulan dibuat
mengikuti tahun Masehi. Hijrah Rasulullah memberi kesan besar
kepada Islam sama ada dari sudut dakwah Rasulullah, ukhuwah dan
syi’ar Islam itu sendiri. Karena banyaknya peristiwa-peristiwa yang
menakjubkan di hari tersebut, maka umat Islam dianjurkan untuk
melaksanakan puasa di hari tersebut. Selain disunnahkan berpuasa
puasa, juga disunnahkan untuk berbagi dengan anak yatim dan orang
yang membutuhkan lainnya.

Dalam masyarakat Banjar, masih banyak ditemukan pembuatan bubur


‘Asyura yang dibuat bertepatan dengan tanggal 10 Muharram pada
setiap tahunnya. Dinamakan dengan bubur ‘Asyura, karena di hari
itulah masyarakat Banjar bergotong-royong membuatnya.
Keistimewaan bubur ‘Asyura masyarakat Banjar adalah bahan-bahan
yang digunakan dalam pembuatannya. Konon katanya, bahan-bahan
yang digunakan berjumlah lebih dari 40 buah macam bahan. Biasanya
bubur ‘Asyura terbuat dari beras yang dimasak dengan santan dan
dicampur dengan segala sayur-sayuran. Biasanya masyarakat Banjar
mulai memasak bubur tersebut ketika siang hari dan mulai dibagi-
bagikan ke masyarakat ketika sore hari (sekitar jam 4-5 sore) untuk
dijadikan makanan berbuka puasa. 13

b) Maulidan

Kata maulidan berasal dari bahasa Arab yakni maulid yang berarti hari
kelahiran seseorang. Kemudian kata tersebut dibanjarkan menjadi
maulidan atau muludan.

13
Hasan, “Islam Dan Budaya Banjar Di Kalimantan Selatan”. Ittihad Jurnal
Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 14 No.25 April 2016, h, 82.

8
Maulidan adalah sebuah acara perayaan untuk memperingati hari
lahirnya Nabi Muhammad SAW yang bertepatan pada tanggal 12
Rabi’ul Awwal. Umat Islam merayakannya dengan cara yang berbeda-
beda, sesuai dengan pola kebudayaan masing-masing. Seperti yang ada
di daerah Jawa misalnya di Keraton Yogyakarta, diadakan acara
Grebek dengan dilengkapi acara ritual-ritual Jawa seperti mengarak
benda-benda bersejarah punya sultan, mengarak makanan sampai ke
masjid agung dan selanjutnya makanan tersebut diperebutkan
masyarakat.

Di daerah Kalimantan Selatan khususnya daerah Hulu Sungai (dari


Kabupaten Tapin sampai Kabupaten Tabalong) ada kegiatan yang
sangat mengagumkan, yaitu melaksanakan perayaan tahunan ini satu
bulan penuh yang dibagi per-kampung, supaya tidak terjadi dalam satu
hari bersamaan perayaan maulid dalam satu kampung.

Keunikan tersendiri ialah perayaan maulid dalam satu kampung


dipusatkan di masjid agung. Salah satu masjid yang digunakan sebagai
tempat maulid akbar adalah masjid Keramat Al-Mukarramah yang
berada di Desa Banua Halat, Kecamatan Tapin Utara. Sebelum
dilaksanakan maulid di masjid tersebut, orang kaya yang ada dalam
kampung tersebut mengadakan perayaan maulid sendiri-sendiri dengan
mengundang orang kampung sebelah mereka dan kerabat serta
keluarga mereka di rumah.

Dalam rumah itu dibacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan setelah itu
dilanjutkan dengan pembacaan Maulid Al- Habsyi atau sering disebut
dengan rawi (pembacaan biografi dengan bahasa Arab) yang diselingi
dengan qasidah-qasidah yang menggunakan terbang sejenis marawis.
Setelah selesai semua itu, tuan rumah pun menyuguhkan makanan bagi
yang hadir dalam rumah tersebut.

9
Setelah mereka selesai makan bersama-sama, mereka langsung menuju
ke masjid agung untuk mengikuti maulid akbar yang juga dibacakan
ayat-ayat Al Quran, Maulid Habsyi serta diadakan ceramah agama
oleh kyai setempat atau dengan mendatangkan penceramah dari luar
kota.

Dana yang digunakan untuk acara maulid ini biasanya berasal dari
swadana masyarakat setempat yang dikumpulkan jauh-jauh hari
sebelum acara tersebut dilaksanakan. Biasanya dibentuk kepengurusan
untuk pencarian dana yang akan digunakan dalam acara tersebut.
Selain dalam pencarian dana, mereka juga saling membantu dan
berbagi tugas, ada yang membersihkan masjid, ada yang menjadi
tukang masak, tukang parker dan lain sebagainya demi kelancaran
acara maulid.

Masjid agung dijadikan sebagai tempat maulid karena masjid


mempunyai makna sebagai pemersatu masyarakat, serta alasan
undangan yang berasal dari luar kota dengan mudah menujunya.
Sebagaimana biasanya, dalam maulid yang di masjid agung itu
diadakan acara tahlilan dan ceramah agama yang berkaitan dengan
maulid Nabi dengan tema keselamatan dunia dan akhirat. 14

c) Baayun Maulid

Baayun (mengayun anak) maulid dilaksanakan ketika pembacaan


maulid Nabi saat bacaan yang harus dibaca dalam keadaan berdiri
(mahal al-qiyam). Saat itulah anak diayun-ayun untuk mengharapkan
berkah dari Nabi. Berdasarkan tradisi asalnya, tata cara maayun anak
dalam upacara baayun maulid sebenarnya berasal tradisi bapalas bidan
sebagai sebuah tradisi yang berlandaskan kepada kepercayaan
Kaharingan.

14
Hasan,“Islam”…, h, 83.

10
Dan ketika agama Hindu berkembang di daerah ini maka berkembang
pula budaya yang serupa dengan baayun anak yakni baayun wayang
(didahului oleh pertunjukan wayang), baayun topeng (didahului oleh
pertunjukan topeng) dan baayun madihin (mengayun bayi sambil
melagukan syair madihin).

Ketika Islam masuk dan berkembang, upacara bapalas bidan tidak


lantas hilang, meski dalam pelaksanaannya mendapat pengaruh unsur
Islam. Islam datang tidak langsung menghilangkan tradisi Kaharingan
dan Hindu sebelumnya, tetapi tradisi yang dahulu itu disesuaikan
dengan ajaran Islam dengan tujuan untuk mempermudah Islam masuk
dan berkembang. 15

d) Batampung Tawar

Batampung tawar adalah acara semacam selamatan untuk menyambut


kelahiran seorang anak. Sama halnya dengan acara baayun maulid,
ayunan yang digunakan juga digantungi macam-macam. Nantinya
gantungan yang ada akan diperebutkan oleh orang-orang yang hadir.
Upacara Tepung Tawar sebagaimana dikenal masyarakat Indonesia
dan Malaysia diadopsi dari ritual agama Hindu yang sudah lebih dulu
dianut masyarakatnya.

Ketika para pedagang dari Gujarat dan Hadralmaut membawa ajaran


Islam ke kawasan ini sejak abad ke-7 Masehi, mereka berhadapan
dengan kebiasaan animisme (kepercayaan pada kehidupan roh) dan
dinamisme (kepercayaan pada kekuatan ghaib benda-benda) – yang
direstui agama Hindu – yang sangat kuat di setiap lapisan masyarakat.
Salah satunya adalah upacara Tepung Tawar (disebut juga Tepuk
Tepung Tawar).

15
Hasan,“Islam”…, h, 84.

11
Upacara ini menyertai berbagai peristiwa penting dalam masyarakat,
seperti kelahiran, perkawinan, pindah rumah, pembukaan lahan baru,
jemput semangat bagi orang yang baru luput dari mara bahaya, dan
sebagainya. Dalam perkawinan, misalnya, Tepung Tawar adalah
simbol pemberian do’a dan restu bagi kesejahteraan kedua pengantin,
di samping sebagai penolakan terhadap bala dan gangguan.

Dalam upacara ini, penepung tawar menggunakan seikat dedaunan


tertentu untuk memercikkan air terhadap orang yang ditepung-tawari.
Air tersebut terlebih dahulu diberikan wangi-wangian seperti jeruk
purut, dicelupkan emas ke dalamnya, dan sebagainya. Selanjutnya,
mereka menaburkan beras dan padi yang sudah dicampuri garam dan
kunyit ke atas orang yang ditepungtawari. Akhirnya, mereka
menyuapkan santapan pulut (atau lainnya) ke mulutnya.

Ada anggapan bahwa setiap jenis daun dan benda- benda yang
digunakan mempunyai atau merepresentasi kekuatan ghaib tertentu
yang berfungsi menyelamatkan, menyejukkan, menjaga, dan
sebagainya. Terdapat beberapa varian upacara ini untuk daerah yang
berbeda (seperti Aceh, Melayu, Sambas dan lain-lain), tetapi sumber
dan tujuannya sama. Demikianlah yang dilakukan masyarakat sebelum
Islam datang di nusantara dan demikian pulalah ritual yang sampai
sekarang masih berlangsung dalam agama Hindu.

Karena tidak mampu menghapuskan kebiasaan tersebut, para pembawa


Islam yang terdahulu berusaha memasukkan nilai-nilai Islami ke
dalamnya. Misalnya, acara Tepung Tawar diisi dengan pembacaan
do’a kepada Allah Swt. Mereka menggiring masyarakat untuk
menganggap bahwa Tepung Tawar itu hanya sebatas adat istiadat,
penyebab setiap acara, bukan lagi ritual. Tetapi yang terjadi jauh
panggang dari api. 16

16
Hasan,“Islam”…, h, 85.

12
e) Bapalas bidan

Kelahiran dan kematian adalah siklus kehidupan manusia. Dalam


masyarakat Banjar dalam kelahiran seorang anak akan dimulai dengan
beberapa tradisi salah satunya bapalas bidan. Segera setelah lahir,
tangkai pusat bayi langsung dipotong dan kemudian dibungkus dengan
kunyit bercampur kapur, bayi dimandikan, diwudhui, perutnya diolesi
dengan bedak beras (Alfani Daud, 1997; 230), ubun-ubunnya dikasai
(diolesi) dengan ramuan beras dan garam lalu seluruh tubuhnya dibalut
dengan kain bersih termasuk kedua tanggannya (dibedong). Tembuni
bayi dibersihkan dan dicampurkan dengan garam, ada kepercayaan
masyarakat Banjar apabila tembuni seorang bayi dicampur dengan
garam, maka perkataan-perkataan bayi kelak akan masin
(berpengaruh/penuh dengan hikmah)

Masyarakat Banjar terkenal dengan agamis, terbukti ketika bayi baru


lahir diazankan di telinga sebelah kanan dan diiqamatkan di telinga
sebelah kiri. Masyarakat Banjar biasanya menambahkan surah al-
Inshirah dan surah al- Qadr kemudian ditiupkan dengan pelan ke
telinga bayi. Hal demikian pun mereka lakukan ketika sedang
memandikan bayi sampai bayi berumur 40 hari. Apabila azan maghrib
berkumandang bayi yang sedang berbaring segera diangkat dan
diayun-ayun seraya membacakan surah al-Qadr sebanyak 3 kali dan
kemudian ditiupkan ke telinga bayi dengan niatan bayi tidak diganggu
makhluk ghaib. Masyarakat Banjar juga masih percaya dengan hal
yang berbau mistis seperti terlebih bayi masih berumur di bawah 40
hari maka diletakkan di samping/dekat kepala bayi cermin, surah
Yasin, bawang tunggal, daun jariangau (jeringau) dan jeruk nipis. Hal
itu dimaksudkan agar bayi tersebut tidak diganggu kuyang dan hantu
beranak serta saudara-saudara ghaibnya yang lain. 17

17
Hasan,“Islam”…, h, 86-88.

13
f) Baarwahan Dan Bahaulan

Di kalangan masyarakat Banjar, peristiwa kematian umumnya tidak


selesai dengan dikuburkannya mayat. Ia diiringi dengan berbagai acara
selamatan atau aruh. Yaitu pada hari pertama (manurun tanah), hari
ketiga (manigahari), ketujuh (mamitunghari), kedua puluh lima
(manyalawi), keempat puluh (maampatpuluh), keseratus (manyaratus),
sesudah setahun dan setiap tahunnya.

Dalam acara tersebut selalu ada bacaan Al-Qur’an, shalawat kepada


Nabi serta tahlil yang dihadiakan pahalanya kepada mayat yang
bersangkutan. Dan diakhiri dengan bacaan do’a haul atau doa arwah.
Do’a arwah berisi permohonan kepada Allah agar apa yang dibaca
berupa bacaan Al-Qur’an, shalawat kepada Nabi serta tahlil diberikan
pahala yang besar, dan menghadiahkan pahala tersebut kepada Nabi
Muhammad, kepada orang-orang suci (wali), kepada roh orang tua,
seluruh kaum muslimin dan muslimat serta mukminin dan mukminat
khususnya kepada ruh (biasanya disebutkan namanya dengan jelas atau
juga dalam hati di pembaca do’a). Undangan yang menghadiri acara
ini biasanya (dihari pertama sampai hari keseratus) merupakan kerabat
dari si mayat. Adapun acara haul undangan yang menghadiri lebih
diperluas lagi tidak sekedar dari pihak keluarga si mayat tapi orang
kampung sebelah mereka pun ikut diundang juga.18

18
Hasan,“Islam”…, h, 88.

14
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kerajaan Banjar adalah satu-satunya Kerajaan Islam yang terletak di
Kalimantan Selatan, yang mana ia adalah kelanjutan dari Kerajaan Daha
yang telah ditaklukkan oleh Pangeran Samudera. Kerajaan Banjar berdiri
pada tahun 1526 M dengan Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah)
sebagai sultan pertamanya dan Banjarmasin sebagai ibu kotanya. Agama
resmi dari Kerajaan Banjar adalah agama Islam, oleh karena itulah para
ulama mendapatkan penghormatan dan kedudukan yang layak dari
penguasa. Dengan hal yang demikian, hukum Islam pun dijadikan sebagai
hukum Kerajaan, walaupun tidak semua hukum Islam diterapkan dan
dilaksanakan oleh Kerajaan Banjar. Karena kedatangan dan adanya
intervensi dari penjajah, yakni Belanda, maka Kerajaan Banjar pun
berhasil dihapuskan secara sepihak oleh Belanda pada 11 Juni 1860.
Adapun beberapa budaya lokal yang diislamkan adalah:
a. Acara Hari ‘Asyura (10 Muharram) dan Pembuatan Bubur ‘Asyura;
b. Maulidan;
c. Baayun Maulid;
d. Batampung tawar;
e. Bapalas bidan;
f. Baarwahan dan Bahaulan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Al-Banjari, Syekh Muhammad Arsyad. Sabil Al-Muhtadin. Diterjemahkan oleh


Muhammad Asywadie. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985.
Azra, Azzumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII . Bandung: Mizan, 1994.
Daudi, Abu. Maulana Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari . Martapura:
Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum, 1980.
Halidi, Yusuf. Syekh Muhammad Al-Banjari Ulama Besar Kalimantan Selatan
Silsilah Raja-raja yang Berkuasa Pada Masa al-Banjari dari Lahir
Hingga Wafat . Surabaya: Al-Ihsan, 1968.
Hasan. "Islam dan Budaya Banjar di Kalimantan." Ittihad Jurnal Kopertais
Wilayah XI Kalimantan Vol 14, No. 25 (2016): 82-88.
Ras, J.J. Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography . Leiden: The Hague,
1968.
Yahya, Harun. Kerajaan Islam Nusantara: Abad XVI Dan XVII . Yogyakarta:
Kurnia Kalam Sejahtera, 1995.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam . Jakarta: Rajawali Press, 1997.
—. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2011.
Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia
. Bandung: Al-Ma'arif, 1979.

16

Anda mungkin juga menyukai