Raden Samudera sebagai pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di daerah hilir sungai
barito. Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu. Kampung orang
melayu itu disebut kampung oloh masih yang artinya kampung orang melayu pimpinan Pati Masih.
Lama kelamaan kampung ini berkembang menjadi kota banjarmasih karena ramainya perdagangan
di tempat ini dan banyaknya pedagang yang menetap. Dalam pelarian politiknya, raden Samudera
melihat potensi Banjarmasih dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan kekuatan potensial
untuk melawan kekuatan pusat, yaitu Negara Daha. Kekuatan Banjarmasih untuk melakukan
perlawaann terhadap Negara Daha akhirnya mendapat pengakuan formal setelah komunitas melayu
mengangkat Raden Samudera sebagai kepala Negara.
Pengangkatan ini menjadi titik balik perjuangan Raden Samudera. Terbentuknya kekuatan politik
baru di banjarmasih, sebagai kekuatan politik tandingan bagi Negara Daha ini menjadi media politik
bagi Raden Samudera dalam usahanya memperoleh haknya sebagai Raja di Negara Daha, sedangkan
bagi orang Melayu merupakan media mereka untuk tidak lagi membayar pajak kepada Negara Daha
Setelah menjadi Raja di Banjarmasih, Raden Samudera dianjurkan oleh Patih Masih untuk meminta
bantuan Kerajaan Demak. Permintaan bantuan dari Raden Samudera diterima oleh Sultan Demak,
dengan syarat Raden Samudera beserta pengikutnya harus memeluk agama Islam. Syarat tersebut
disanggupi Raden Samudera dan Sultan Demak mengirimkan kontingennya yang dipimpin oleh
Khatib Dayan. Setibanya di Banjarmasih, kontingen Demak bergabung dengan pasukan dari
Banjarmasih untuk melakukan penyerangan ke Negara Daha di hulu sungai Barito. Setibanya di
daerah yang bernama Sanghiang Gantung, pasukan Bandarmasih dan Kontingen Demak bertemu
dengan Pasukan Negara daha dan pertempuran pun terjadi. Pertempuran ini berakhir dengan suatu
mufakat yang isinya adalah duel antara Raden samudera dengan Pangeran Tumenggung. Dalam duel
itu, Raden Samudera tampil sebagai pemenang dan pertempuran pun berakhir dengan kemenangan
banjarmasih.
Setelah kemenangan dalam pertempuran, Raden Samudera memindahkan Rakyat Negara Daha ke
Banjarmasih dan Raden Samudera dikukuhkan sebagai Kepala negaranya. Pembauran penduduk
Banjarmasih yang terdiri dari rakyat Negara Daha, Melayu, Dayak dan orang jawa (kontingen dari
Demak) menggambarkan bersatunya masyarakat di bawah pemerintahan Raden Samudera.
Pengumpulan penduduk di banjarmasih menyebabkan daerah ini menjadi ramai, ditambah letaknya
pada pertemuan sungai barito dan sungai martapura menyebabkan lalu lintas menjadi ramai dan
terbentuknya hubungan perdagangan. Raden Samudera akhirnya menjadikan Islam sebagai agama
negara dan rakyatnya memeluk agama Islam. Gelar yang dipergunakan oleh Raden Samudera sejak
saat itu berubah menjadi Sultan Suriansyah. Kerajaan Banjar pertama kali dipimpin oleh Sultan
Suriansyah ini.
Kerajaan Banjar yang berdiri pada 24 september 1526 sampai berakhirnya perang Banjar yang
merupakan keruntuhan kerajaan Banjar memiliki 19 orang raja yang pernah berkuasa. Sultan
pertama kerajaan Banjar adalah Sultan Suriansyah (1526 - 1545), beliau adalah raja pertama yang
memeluk Agama Islam. Raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman (1862 - 1905), yang
meninggal pada saat melakukan pertempuran dengan belanda di puruk cahu.
Sultan Suriansyah sebagai Raja pertama mejadikan Kuin Utara sebagai pusat pemerintahan dan
pusat perdagangan Kerajaan Banjar. Sedangkan Sultan Mohammad Seman berkeraton di daerah
manawing - puruk cahu sebagai pusat pemerintahan pelarian
Berikut adalah rincian Raja-raja Kerajaan Banjar sejak berdirinya kerajaan hingga runtuhnya kerajaan
itu :
1526 - 1545 :
Pangeran Samudra yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, Raja pertama yang memeluk Islam
1545 - 1570 :
Sultan Rahmatullah
1570 - 1595 :
Sultan Hidayatullah
1595 - 1620 :
Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan yang dikenal sebagai Pangeran Kecil. Sultan inilah yang
memindahkan Keraton Ke Kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuin yang hancur diserang
Belanda pada Tahun 1612
1620 - 1637 :
Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah
1637 - 1642 :
Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah
1642 - 1660 :
Adipati Halid memegang jabatan sebagai Wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah, Amirullah Bagus
Kesuma belum dewasa
1660 - 1663 :
Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan hingga 1663, kemudian Pangeran Adipati Anum
(Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan kekuasaan ke Banjarmasin=
1663 - 1679 :
Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan memindahkan pusat pemerintahan Ke
Banjarmasin bergelar Sultan Agung
1679 - 1700 :
Sultan Tahlilullah berkuasa
1700 - 1734 :
Sultan Tahmidullah bergelar Sultan Kuning
1734 - 1759 :
Pangeran Tamjid bin Sultan Agung, yang bergelar Sultan Tamjidillah
1759 - 1761 :
Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
1761 - 1801 :
Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa tetapi
memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah
1801 - 1825 :
Sultan Suleman Al Mutamidullah bin Sultan Tahmidullah
1825 - 1857 :
Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman
1857 - 1859 :
Pangeran Tamjidillah
1859 - 1862 :
Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu'mina
1862 - 1905 :
Sultan Muhammad Seman yang merupakan Raja terakhir dari Kerajaan Banjar
Setelah dikalahkannya Sultan Muhammad Seman oleh Belanda pada tahun 1905, praktis seluruh
wilayah Kerajaan banjar jatuh ke tangan Belanda dan Kerajaan Banjar runtuh. Akan tetapi semangat
yang dikobarkan pejuang perang Banjar melalui sumpah perjuangan "haram manyarah waja sampai
kaputing" benar-benar memberikan semangat untuk mempertahankan Kerajaan Banjar. Walaupun
akhirnya jatuh ke tangan belanda juga, kita mesti menghargai perjuangan para pejuang yang telah
mengorbankan segalanya untuk mempertahankan Kerajaan Banjar. Kota Banjarmasin yang sekarang
adalah bukti sejarah hasil perjuangan Sultan Suriansyah dan pengikutnya.
Kehadiran Islam di Kalimantan pada Abad ke 15 tidak lepas dari peranan Sunan Giri dan
Sunan Bonang dari Tuban Jawa Timur
Perang saudara tersebut rupanya dipicu oleh niat jahat Pangeran Tumenggung yang akan
membunuh kakaknya, Pangeran Mangkubumi, yang ketika itu sudah memerintah selama tiga
tahun (1585-1588). Pangeran Samudera yang saat itu masih kecil, diungsikan ke Kuwin,
dekat Banjarmasin, karena saat itu ia sudah diangkat sebagai putra mahkota.
Mahapatih Patih Masih adalah orang kedua pada masa pemerintahan Pangeran Tumenggung.
Ia konon sangat berwibawa dan berjasa menjalankan roda pemerintahan sehingga Daha
terkenal aman, tentram. Namun ia tidak berpihak kepada Tuannya, Pangeran Tumenggung,
melainkan kepada Pangeran Samudera.
Dalam perang saudara itu, Pangeran Samudera mendapat dukungan dari umat Islam,
mereka itu adalah orang-orang Kalimantan yang menjadi santri Sunan Giri dan Sunan
Bonang di Jawa Timur serta pedagang Kalimantan yang sering berniaga ke Tuban dan
Ampel, dan tentara Demak yang datang ke Kalimantan dari Gresik, Tuban, Demak
dan Jepara. Perang saudara ini sangat terkenal dalam sejarah Kalimantan. Penduduk
Kalimantan sudah mengenal Islam sejak berdirinya kerajaan Demak. Karena itu
kemudian mereka berlayar ke Jawa dan belajar agama kepada Sunan Giri di Tuban
dan Sunan Bonang, berkumpul dengan para santri dari Sulawesi dan Maluku.
Pada tahun 1595 Pangeran Samudera di nobatkan sebagai Raja Daha sesuai dengan
wasiat kakeknya, Pangeran Sukarama. Ia kemudian masuk Islam dan berganti nama
menjadi Pangeran Suriansyah dan memindahkan ibukota kerajaan dari Daha ke
Bandar Masih atau Banjarmasin. Sisa kekuasaan dan pemerintahan Pangeran
Tumenggung di Danau Pagang disatukan dengan kerajaan Banjar. Pangeran
Tumenggung dibiarkan melarikan diri, tidak dibunuh dan tidak dipaksa menukar
agamanya.
Sultan Suriansyah memperoleh banyak gelar, antara lain, Panembahan Batu Hirang,
Panembahan Batu Putih, dan Panembahan Marhum. Konon ia meninggal pada tahun
620. sepeninggal Sultan Suriansyah, kerajaan Banjar masih diperintah oleh sebelas
orang Sultan, yaitu Sultan Rahmatullah (1820-1642), Sultan Hidayatullah (1642-1640),
Sultan Musta’id Billah (1650-1678), Sultan Inayatullah (1678-1685), Sultan Sa’dillah
(1685-1700), Sultan Tahlilillah (1700-1745), Sultan Tamjidillah (1745-1778), Sultan
Tahmidillah (1778-1808), Sultan Sulaiman (1808-1825), Sultan Adam Al-Wasi’ Billah
(1825-1857), dan Pangeran Tamjidillah (1657-1859) sebagai Sultan terakhir kerajaan
Banjar, karena sejak 1 Juni 1860 kalimantan di duduki oleh Belanda.
Bahkan Sultan Tahlilillah tercatat sebagai orang yang menemukan Muhammad Arsyad
ketika masih berumur delapan tahun di desa Lu Gabang. Sultan sangat tertarik kepada
anak itu karena kecerdasannya sehingga ia diangkat sebagai anak. Arsyad adalah anak
pasangan Abdullah dan Aminah, kemudian ia disekolahkan sampai ke Mekah dan
Madinah, pulang dari sana, dengan bergelar tuan guru, ia mendirikan pondok
pesantren. Pada masa Sultan Sulaiman, dialah yang kemudian dikenal sebagai maulana
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang lahir pada Kamis 13 Shafar 1122, dan
wafat pada tanggal 6 Syawal 1227.
Al-Banjari menulis beberapa buku agama yang sangat fundamental seperti Tahfatur
Raghibin, Usuluddin, Tasawuf, An-Nikah, Al-Raid, dan Sabilal Muhtadin, yang sangat
terkenal di dunia Islam. Nama Sabilal Muhtadin kemudian diabadikan sebagai nama
Masjid Raya Banjarmasin.
Beliau menurunkan anak cucu yang menjadi penerusnya sebagai ulama, Dai, Mubalig,
dan pengasuh Pondok Pesantren di Pulau Kalimantan.