Anda di halaman 1dari 4

Kesultanan Sumbawa

Kesultanan Sumbawa atau juga dikenal dengan Kerajaan Samawa adalah salah satu dari tiga
kerajaan Islam besar di Pulau Sumbawa. Keberadaan Tana Samawa atau wilayah Sumbawa, mulai
dicatat oleh sejarah sejak zaman Dinasti Dewa Awan Kuning, tetapi tidak banyak sumber tertulis
yang bisa dijadikan bahan acuan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi pada waktu itu.
Sebagaimana masyarakat di daerah lain, sebagian rakyat Sumbawa masih menganut animisme dan
sebagian sudah menganut agama Hindu. Baru pada kekuasaan raja terakhir dari Dinasti Awan
Kuning, yaitu Dewa Maja Purwa, ditemukan catatan tentang kegiatan pemerintahan kerajaan, antara
lain bahwa Dewa Maja Purwa telah menandatangani perjanjian dengan Kerajaan Gowa di Sulawesi.
Perjanjian itu baru sebatas perdagangan antara kedua kerajaan kemudian ditingkatkan lagi dengan
perjanjian saling menjaga keamanan dan ketertiban. Kerajaan Gowa yang pengaruhnya lebih besar
saat itu menjadi pelindung Kerajaan Samawa.

Kerajaan-kerajaan : Seran, Taliwang, dan Jereweh masing-masing merupakan kerajaan asal dari
kerajaan Sumbawa. Raja Samawa yang pertama dari kerajaan (kecil) Sampar Kemulan bernama Maja
Paruwa, dari dinasti Dewa Awan Kuning yang telah memeluk agama Islam. Setelah meninggal, Maja
Paruwa diganti oleh Mas Goa. Mas Goa tidak lama memerintah karena pola pikir dan pandangan
hidupnya masih dipengaruhi ajaran Hinduisme. Pada tahun 1637 Mas Goa digantikan oleh putera
saudara perempuannya, bernama Mas Bantan. Lama pemerintahannya, dari tahun 1675 s.d. 1701.
Mas Bantan adalah putera Raden Subangsa, seorang pangeran dari Banjarmasin.

Setelah Dewa Maja Purwa wafat ia digantikan oleh Mas Goa, yang masih menganut agama Hindu. Ia
dianggap telah melanggar salah satu perjanjian damai dengan Kerajaan Gowa, maka ia terpaksa
disingkirkan bersama pengikut-pengikutnya, kira-kira ke wilayah Kecamatan Utan-Rhee sekarang. Ia
diturunkan dari tahtanya karena mangkir dari kesepakatan pendahulunya dengan Kerajaan Gowa.
Tidak disebutkan apa pelanggaran yang telah dilakukan Mas Goa, namun campur tangan Raja Gowa
di Sulawesi sangat besar. Pemberhentian secara paksa ini terjadi pada tahun 1673 sekaligus
mengakhiri pengaruh Dinasti Dewa Awan Kuning di Sumbawa. Dinasti Awal ;Dinasti Dewa Awan
Koening leng Sampar Samulan [sekarang kec.Moyo Hulu]

Sejarah Kesultanan Sumbawa

 Kedatangan Islam

Diperkirakan agama Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil di Pulau


Sumbawa sekitar 200 tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah ini. Beberapa kerajaan itu
antara lain Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu),
Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa),
Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan
Jereweh.

Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu daripada Pulau Lombok
antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Sumatra, khususnya
Palembang. Selanjutnya runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil
di wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi ini justru memudahkan bagi
proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal pada
abad ke-16, Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang untuk
menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng
Moroangang dari Kerajaan Gowa tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai
kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah: “Adat dan rapang
Samawa (contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya
menjalankan syariat Islam”.

 Dinasti Dewa Dalam Bawa

Prosesi Nginring atau perpindahan Sultan Sumbawa ke-16, Sultan Muhammad Kaharuddin III, dari
Istana Dalam Loka Samawa ke Istana Bala Puti pada tahun 1934.

Prosesi Nginring atau perpindahan Sultan Sumbawa ke-16, Sultan Muhammad Kaharuddin III, dari
Istana Dalam Loka Samawa ke Istana Bala Puti pada tahun 1934.

Istana Bala Puti di Kota Sumbawa Besar yang dibangun pada tahun 1932-1934. Sekarang bangunan
ini menjadi Wisma Praja Kabupaten Sumbawa.

Istana Bala Puti di Kota Sumbawa Besar yang dibangun pada tahun 1932-1934. Sekarang bangunan
ini menjadi Wisma Praja Kabupaten Sumbawa.

Pemberhentian Mas Goa secara paksa pada tahun 1673 mengakhiri pengaruh Dinasti Dewa Awan
Kuning di Sumbawa. Satu tahun berikutnya, pada 1674 Dinasti baru terbentuk dan diberi nama
Dinasti Dewa Dalam Bawa. Saat itu rakyat Sumbawa sudah mulai memeluk agama Islam. Dinasti
Dewa Dalam Bawa ini berkuasa hingga tahun 1958, saat Kesultanan Sumbawa bergabung dengan
Republik Indonesia.

Kerajaan-kerajaan : Seran, Taliwang, dan Jereweh masing-masing merupakan kerajaan vasal dari
kerajaan Sumbawa. Ketiga kerajaan taklukan ini masing-masing memiliki kedudukan yang sederajat
yang disebut Kamutar Telu.[4]

Raja Samawa yang pertama dari kerajaan (kecil) Sampar Kemulan bernama Maja Paruwa, dari dinasti
Dewa Awan Kuning yang telah memeluk agama Islam. Setelah meninggal, Maja Paruwa diganti oleh
Mas Goa. Mas Goa tidak lama memerintah karena pola pikir dan pandangan hidupnya masih
dipengaruhi ajaran Hinduisme. Pada tahun 1637 Mas Goa diturunkan dari tahta oleh rakyatnya,
sebagai penggantinya diangkat Mas Cini. Pada tanggal 24 Desember 1650 Mas Cini kawin dengan
Keraeng Panaikang, puteri raja Tallo . Sejak itu terjadilah hubungan raja-raja Sumbawa dengan raja-
raja Gowa dan Bugis melalui hubungan perkawinan. Mas Cini digantikan oleh saudaranya, Mas
Bantan. Lama pemerintahannya, dari tahun 1675 s.d. 1701. Mas Bantan adalah putera Raden
Subangsa, seorang pangeran dari Banjarmasin.[2]

Sultan Sumbawa yang berkuasa adalah Amas Cini (Dewa Mas Pamayam), setelah itu Amas Gowa
(saudara Amas Cini), yang ketiga Amas Penghulu (saudari Amas Gowa) kemudian menikah dengan
Raden Subangsa (nama lahir: Raden Marabut) dari Kesultanan Banjar.[5]
Tahun 1673, Kompeni (Belanda) mendarat di Sumbawa. Tahun 1674, 12 Juni 1674, Kerajaan
Sumbawa terpaksa menanda tangani perjanjian dengan Kompeni Belanda dan melepaskan haknya
atas Selaparang. Tahun 1702, Raja Mas Bantan menyerahkan Kerajaan kepada puteranya Amas
Madina yang bergelar Muhammad Jalaluddin Syah. Tahun 1723, Sultan Muhammad Jalaluddin dari
Sumbawa menyerang kekuasaan Bali di Selaparang.

Amas Bantan Datu Loka menikah dengan salah satu puteri dari Raja Tallo ke-10 bernama I Mappaijo
Daeng Manjauru Sultan Harun Alrasyid (Halimah Karaeng Tanisanga), melahirkan salah satu putera
terbaik yang pernah berperang ke Selaparang adalah Amas Madina.

Amas Madina adalah Datu Taliwang Sultan Sumbawa dan salah satu putera terbaiknya adalah Datu
Jereweh bernama Dewa Maja Jareweh.

Amas Madina ini menikah dengan I Rakia Karaeng Agangjene (Addatuwang Sidenreng), melahirkan
puteri yang menjadi Sultanah (sultan Wanita pertama) bernama I Masugi Ratu Karaeng Bonto
Parang.

Penguasa pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Sultan Harunnurrasyid I (1674–1702). Ia
kemudian digantikan oleh puteranya, Pangeran Mas Madina, bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin
I yang menikah dengan pute ri Raja Sidenreng dari Sulawesi Selatan yang bernama I Rakia Karaeng
Agang Jene. Setelah wafat, Jalaluddin I digantikan oleh Dewa Loka Lengit Ling Sampar, kemudian
oleh Dewa Ling Gunung Setia. Tidak banyak bukti sejarah yang dapat mengungkapkan berapa lama
keduanya memerintah, tapi diperkirakan mereka memerintah Sumbawa pada tahun 1723-1732.

Pada tahun 1732 kekuasaan atas Kesultanan Sumbawa kembali dipegang oleh keponakan Sultan
Muhammad Jalaluddin I, bergelar Sultan Muhammad Kaharuddin I (1732-1758). Ketika ia wafat,
kekuasaan diambil alih istrinya, I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar Sultanah Siti Aisyah.
Raja wanita ini dikenal sering berselisih paham dengan pembantu-pembantu sultan, sehingga pada
tahun 1761 ia diturunkan dari tahta. I Sugiratu Karaeng Bontoparang sejatinya akan digantikan oleh
Lalu Mustanderman Datu Bajing, namun ia menolak. Lalu Mustanderman Datu Bajing kemudian
menyarankan untuk mengangkat adiknya yaitu Lalu Onye Datu Ungkap Sermin (1761-1762). Setelah
masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda, Kesultanan Sumbawa berhasil
ditaklukkan dan menjadi bagian wilayah Gubernemen Celebes, dan sesuai dengan pembagian
wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan Timor (Timor en Onderhoorigheden)
dengan ibu kota di Sumbawa Besar.

Kekuasaan Belanda pun semakin merajalela. Belanda ikut mengatur keadaan politik di dalam istana,
dan ikut menentukan jalannya pemerintahan. Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba dijadikan satu
dalam bentuk afdeling dengan ibu kota di Sumbawa Besar. Asisten Resident yang pertama adalah
Janson van Ray. Kesultanan Sumbawa dibagi dalam dua onderafdeeling, yaitu Sumbawa Barat dan
Sumbawa Timur.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin III (1833-1931), dibangun Istana Dalam Loka
Samawa. Hal ini sangat dimungkinkan karena Sultan Muhammad Jalaluddin III menjalankan roda
pemerintahan selama 48 tahun. Setelah ia meninggal pada tahun 1931, tahta sultan turun kepada
putra mahkota, yang mendapat gelar Sultan Muhammad Kaharruddin III, yang pada masa
pemerintahannya dibangun Istana Bala Puti yang sekarang menjadi Wisma Praja Kabupaten
Sumbawa. Pada zaman pemerintahannya pula menjadi masa peralihan kolonialisme Belanda kepada
Jepang. Tepat pada bulan Mei 1942, delapan kapal perang Jepang mendarat di Labuhan Mapin di
bawah pimpinan Kolonel Haraichi. Ketika Perjanjian Kalijati ditandatangani tanggal 9 Maret 1942,
organisasi-organisasi Islam di Sumbawa seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad,
mulai mengatur siasat. Sementara itu, tiga kerajaan di Pulau Sumbawa mengambil sikap tegas
menyatakan diri lepas dari kekuasaan Belanda. Kekuasaan Jepang tidak berlangsung lama, karena
setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom, Jepang menyerah kepada Sekutu. Peraktis
kekuasaannya berakhir. Sebelum Belanda kembali masuk, Soekarno dan Mohammad Hatta
memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Anda mungkin juga menyukai