Anda di halaman 1dari 14

Kesultanan Sumbawa

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Kesultanan Sumbawa
Kerajaan Samawa
1674–1958

Lambang

Bendera Lambang

Istana Dalam Loka Samawa di Kota Sumbawa


Besar

Ibu kota Sumbawa Besar


Bahasa Sumbawa
Agama Islam
Bentuk
Monarki Kesultanan
pemerintahan
Sultan
- Sultan
1674–1702
Harunnurrasyid I
- Sultan Muhammad
1931-1975
Kaharuddin III
- Sultan Muhammad
2011-Sekarang
Kaharuddin IV
Sejarah
- Berdirinya Dinasti Dinasty Dewa Awan
Dewa Dalam Koening Pallacca der
Bawa Boegis 1674
- Bergabung dengan 21 Januari
Indonesia 1958.NKRI. 1958

Kesultanan Sumbawa atau juga dikenal dengan Kerajaan Samawa[1] adalah salah satu dari
tiga kerajaan Islam besar di Pulau Sumbawa. Keberadaan Tana Samawa atau wilayah Sumbawa,
mulai dicatat oleh sejarah sejak zaman Dinasti Dewa Awan Kuning, tetapi tidak banyak sumber
tertulis yang bisa dijadikan bahan acuan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi pada waktu
itu. Sebagaimana masyarakat di daerah lain, sebagian rakyat Sumbawa masih menganut
animisme dan sebagian sudah menganut agama Hindu. Baru pada kekuasaan raja terakhir dari
Dinasti Awan Kuning, yaitu Dewa Maja Purwa, ditemukan catatan tentang kegiatan
pemerintahan kerajaan, antara lain bahwa Dewa Maja Purwa telah menandatangani perjanjian
dengan Kerajaan Gowa di Sulawesi. Perjanjian itu baru sebatas perdagangan antara kedua
kerajaan kemudian ditingkatkan lagi dengan perjanjian saling menjaga keamanan dan ketertiban.
Kerajaan Gowa yang pengaruhnya lebih besar saat itu menjadi pelindung Kerajaan Samawa.

Kerajaan-kerajaan : Seran, Taliwang, dan Jereweh masing-masing merupakan kerajaan vasal dari
kerajaan Sumbawa. Raja Samawa yang pertama dari kerajaan (kecil) Sampar Kemulan bernama
Maja Paruwa, dari dinasti Dewa Awan Kuning yang telah memeluk agama Islam. Setelah
meninggal, Maja Paruwa diganti oleh Mas Goa. Mas Goa tidak lama memerintah karena pola
pikir dan pandangan hidupnya masih dipengaruhi ajaran Hinduisme. Pada tahun 1637 Mas Goa
digantikan oleh putera saudara perempuannya, bernama Mas Bantan. Lama pemerintahannya,
dari tahun 1675 s.d. 1701. Mas Bantan adalah putera Raden Subangsa, seorang pangeran dari
Banjarmasin.[2]

Sejarah Kesultanan Sumbawa


Kedatangan Islam

Diperkirakan agama Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil di Pulau


Sumbawa sekitar 200 tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah ini. Beberapa
kerajaan itu antara lain Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung
(Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia
(Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang,
dan Kerajaan Jereweh.

Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu daripada Pulau Lombok
antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Sumatera,
khususnya Palembang. Selanjutnya runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan
kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi
ini justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut,
kemudian pada tahun-tahun awal pada abad ke-16, Sunan Prapen yang merupakan keturunan
Sunan Giri dari Jawa datang untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di
Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari Kerajaan Gowa tahun 1618 atas
Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam
sehingga menghasilkan sumpah: “Adat dan rapang Samawa (contoh-contoh kebaikan) tidak
akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam”.

Dinasti Dewa Dalam Bawa

Prosesi Nginring atau perpindahan Sultan Sumbawa ke-16, Sultan Muhammad Kaharuddin III,
dari Istana Dalam Loka Samawa ke Istana Bala Puti pada tahun 1934.

Istana Bala Puti di Kota Sumbawa Besar yang dibangun pada tahun 1932-1934. Sekarang
bangunan ini menjadi Wisma Praja Kabupaten Sumbawa.

Pemberhentian Mas Goa secara paksa pada tahun 1673 mengakhiri pengaruh Dinasti Dewa
Awan Kuning di Sumbawa. Satu tahun berikutnya, pada 1674 Dinasti baru terbentuk dan diberi
nama Dinasti Dewa Dalam Bawa. Saat itu rakyat Sumbawa sudah mulai memeluk agama Islam.
Dinasti Dewa Dalam Bawa ini berkuasa hingga tahun 1958, saat Kesultanan Sumbawa
bergabung dengan Republik Indonesia.

Raja Samawa yang pertama dari kerajaan (kecil) Sampar Kemulan bernama Maja Paruwa, dari
dinasti Dewa Awan Kuning yang telah memeluk agama Islam. Setelah meninggal, Maja Paruwa
diganti oleh Mas Goa. Mas Goa tidak lama memerintah karena pola pikir dan pandangan
hidupnya masih dipengaruhi ajaran Hinduisme. Pada tahun 1637 Mas Goa diturunkan dari tahta
oleh rakyatnya, sebagai penggantinya diangkat Mas Cini. Pada tanggal 24 Desember 1650 Mas
Cini kawin dengan Keraeng Panaikang, puteri raja Tallo . Sejak itu terjadilah hubungan raja-raja
Sumbawa dengan raja-raja Gowa dan Bugis melalui hubungan perkawinan. Mas Cini digantikan
oleh saudaranya, Mas Bantan. Lama pemerintahannya, dari tahun 1675 s.d. 1701. Mas Bantan
adalah putera Raden Subangsa, seorang pangeran dari Banjarmasin.[2]
Sultan Sumbawa yang berkuasa adalah Amas Cini (Dewa Mas Pamayam), setelah itu Amas
Gowa (saudara Amas Cini), yang ketiga Amas Penghulu (saudari Amas Gowa) kemudian
menikah dengan Raden Subangsa (nama lahir: Raden Marabut) dari Kesultanan Banjar.[5]

Kekerabatan Sultan Banjar dengan Sultan Sumbawa yang memerintah pada tahun 1700
diberitakan dalam laporan pelaut Inggeris dalam buku "Notices of the Indian archipelago &
Sultan Banjar sekitar tahun 1700 adalah Sultan Tahmidillah 1 alias Panembahan Kuning.[7][8]

Tahun 1673, Kompeni (Belanda) mendarat di Sumbawa. Tahun 1674, 12 Juni 1674, Kerajaan
Sumbawa terpaksa menanda tangani perjanjian dengan Kompeni Belanda dan melepaskan
haknya atas Selaparang. Tahun 1702, Raja Mas Bantan menyerahkan Kerajaan kepada puteranya
Amas Madina yang bergelar Muhammad Jalaluddin Syah. Tahun 1723, Sultan Muhammad
Jalaluddin dari Sumbawa menyerang kekuasaan Bali di Selaparang.

Amas Bantan Datu Loka menikah dengan salah satu puteri dari Raja Tallo ke-10 bernama I
Mappaijo Daeng Manjauru Sultan Harun Alrasyid (Halimah Karaeng Tanisanga), melahirkan
salah satu putera terbaik yang pernah berperang ke Selaparang adalah Amas Madina.

Amas Madina adalah Datu Taliwang Sultan Sumbawa dan salah satu putera terbaiknya adalah
Datu Jereweh bernama Dewa Maja Jareweh.

Amas Madina ini menikah dengan I Rakia Karaeng Agangjene (Addatuwang Sidenreng),
melahirkan puteri yang menjadi Sultanah (sultan Wanita pertama) bernama I Masugi Ratu
Karaeng Bonto Parang.

Penguasa pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Sultan Harunnurrasyid I (1674–1702). Ia
kemudian digantikan oleh puteranya, Pangeran Mas Madina, bergelar Sultan Muhammad
Jalaluddin I yang menikah dengan pute ri Raja Sidenreng dari Sulawesi Selatan yang bernama I
Rakia Karaeng Agang Jene. Setelah wafat, Jalaluddin I digantikan oleh Dewa Loka Lengit Ling
Sampar, kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia. Tidak banyak bukti sejarah yang dapat
mengungkapkan berapa lama keduanya memerintah, tapi diperkirakan mereka memerintah
Sumbawa pada tahun 1723-1732.

Pada tahun 1732 kekuasaan atas Kesultanan Sumbawa kembali dipegang oleh keponakan Sultan
Muhammad Jalaluddin I, bergelar Sultan Muhammad Kaharuddin I (1732-1758). Ketika ia
wafat, kekuasaan diambil alih istrinya, I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar Sultanah
Siti Aisyah. Raja wanita ini dikenal sering berselisih paham dengan pembantu-pembantu sultan,
sehingga pada tahun 1761 ia diturunkan dari tahta. I Sugiratu Karaeng Bontoparang sejatinya
akan digantikan oleh Lalu Mustanderman Datu Bajing, namun ia menolak. Lalu Mustanderman
Datu Bajing kemudian menyarankan untuk mengangkat adiknya yaitu Lalu Onye Datu Ungkap
Sermin (1761-1762). Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda,
Kesultanan Sumbawa berhasil ditaklukkan dan menjadi bagian wilayah Gubernemen Celebes,
dan sesuai dengan pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan
Timor (Timor en Onderhoorigheden) dengan ibukota di Sumbawa Besar.
Kekuasaan Belanda pun semakin merajalela. Belanda ikut mengatur keadaan politik di dalam
istana, dan ikut menentukan jalannya pemerintahan. Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba dijadikan
satu dalam bentuk afdeling dengan ibukota di Sumbawa Besar. Asisten Resident yang pertama
adalah Janson van Ray. Kesultanan Sumbawa dibagi dalam dua onderafdeeling, yaitu Sumbawa
Barat dan Sumbawa Timur.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin III (1833-1931), dibangun Istana Dalam
Loka Samawa. Hal ini sangat dimungkinkan karena Sultan Muhammad Jalaluddin III
menjalankan roda pemerintahan selama 48 tahun. Setelah ia meninggal pada tahun 1931, tahta
sultan turun kepada putra mahkota, yang mendapat gelar Sultan Muhammad Kaharruddin III,
yang pada masa pemerintahannya dibangun Istana Bala Puti yang sekarang menjadi Wisma Praja
Kabupaten Sumbawa[9]. Pada zaman pemerintahannya pula menjadi masa peralihan kolonialisme
Belanda kepada Jepang. Tepat pada bulan Mei 1942, delapan kapal perang Jepang mendarat di
Labuhan Mapin di bawah pimpinan Kolonel Haraichi. Ketika Perjanjian Kalijati ditandatangani
tanggal 9 Maret 1942, organisasi-organisasi Islam di Sumbawa seperti Nahdatul Ulama,
Muhammadiyah, dan Al-Irsyad, mulai mengatur siasat. Sementara itu, tiga kerajaan di Pulau
Sumbawa mengambil sikap tegas menyatakan diri lepas dari kekuasaan Belanda. Kekuasaan
Jepang tidak berlangsung lama, karena setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom,
Jepang menyerah kepada Sekutu. Peraktis kekuasaannya berakhir. Sebelum Belanda kembali
masuk, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945.

KERAJAAN SUMBAWA

A. SULTAN MUH.JALALUDDIN III


Kebaradaan Tana Samawa atau Kabupaten Sumbawa, mulai dicatat oleh sejarah sejak
Zaman Dinasti Dewa Awan Kuning, tetapi tidak banyak sumber tertulis yang bisa dijadikan
bahan acuan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi pada waktu itu. Sebagaimana masyarakat
di daerah lain, sebagian rakyat Sumbawa masih menganut animisme dan sebagian sudah
menganut agama Hindu. Baru pada kekuasaan raja terakhir dari dinasti Awan Kuning, yaitu
Dewa Maja Purwa, ditemukan catatan tentang kegiatan kerajaan, antara lain bahwa Dewa Maja
Purwa telah menandatangani perjanjian dengan Kerajaan Goa di Sulawesi. Perjanjian itu baru
sebatas perdagangan antara kedua kerajaan kemudian ditingkatkan lagi dengan perjanjian saling
menjaga keamanan dan ketertiban. Kerajaan Goa yang pengaruhnya lebih besar saat itu menjadi
pelindung kerajaan Samawa’.

Setelah Dewa Maja Purwa wafat ia digantikan oleh Mas Goa, yang masih menganut
ajaran Hindu. Ia dianggap telah melanggar salah satu perjanjian damai dengan kerajaan Goa,
maka resikonya ia terpaksa disingkirkan bersama pengikut pengikutnya kesebuah Hutan, kira-
kira di wilayah Kecamatan Utan sekarang. Pengusiran Mas Goa dan pengikutnya ke wilayah
Utan lebih arif disebut kudeta di zaman sekarang. Ia serta merta diturunkan dari tahtanya karena
mangkir dari kesepakatan pendahulunya dengan Kerajaan Goa. Tidak disebutkan apa
pelanggaran yang telah dilakukan Mas Goa, namun campur tangan Raja Goa di Sulawesi sangat
besar.

Pemberhentian secara paksa ini terjadi pada tahun 1673 M sekaligus mengakhiri
pengaruh Dinasti Dewa Awan Kuning di Sumbawa. Tahun berikutnya 1674 M Dinasti baru
terbentuk dan diberi nama Dinasti Dewa Dalam Bawa’. Saat itu menurut BUK Tana’ Samawa,
rakyat Sumbawa sudah mulai memeluk Agama Islam. Dinasti Dewa Dalam Bawa’ ini berkuasa
hingga tahun 1958.

Luas wilayah kekuasaannya dimulai dari wilayah taklukan Kerajaan Empang hingga
Jereweh. Raja pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Sultan Harunurrasyid I (1674 –
1702). Ia kemudian diganti oleh putranya Pangeran Mas Madina bergelar Sultan Muhammad
Jalaluddin Syah I yang kawin dengan Putri Raja Sidenreng Sulawesi Selatan yang bernama I
Rakia Karaeng Agang Jene.Setelah wafat, Jalaluddin Syah I ini kemudian diganti oleh Dewa
Loka Lengit Ling Sampar kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia. Tidak banyak bahan sejarah
yang dapat mengungkapkan berapa lama keduanya memerintah, tapi diperkirakan selama 10
tahun. Ada fakta yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Datu Gunung Setia, kerajaan
Sumbawa termasuk “ Bala Balong” lenyap dilalap si jago merah pada tanggal 26 Ramadhan
1145 Hijriah (1732 M).

Pada tahun 1733 Kerajaan Sumbawa kembali dipegang oleh keponakan Sultan
Muhammad Jalaluddin Syah I, bernama Muhammad Kaharuddin I (1733-1758). Ketika ia
meninggal, kekuasaan diambil alih istrinya I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar
Sultan Siti Aisyah. Raja wanita ini dikenal sering berselisih paham dengan pembantu raja,
sehingga pada tahun 1761 ia diturunkan dari tahta dan mengharapkan , digantikan oleh Lalu
Mustanderman Datu Bajing, namun ia menolak, dan menyarankan untuk mengangkat adiknya
yaitu Lalu Onye Datu Ungkap Sermin ( 1761-1762 ).

Wilayah Kesultanan/kerajaan Sumbawa ini pada masa pra-Majapahit menjadi wilayah


kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh
Majapahit dengan pusat pengaruh di Taliwang dan Seran, sedangkan masa Islam adalah masa
penaklukkan Kerajaan Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-
Lombok dengan pusat pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawa
besar akibat ancaman pencaplokkan Kerajaan Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde
Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen Selebes,
dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan Timor
dengan ibukota di Sumbawa Besar.

B. ISTANA TUA
Pemerintahannya Lalu Onye, hanya berjalan setahun. Konon karena ia lari dari istana
untuk menghindari perang saudara, atas kekeliruannya menikahi seorang wanita yang telah lama
ditinggalkan berlayar oleh suaminya, Lalu Angga Wasita yang terkenal keperkasaannya. Ia
menyangka Lalu Angga Wasita sudah meninggal karena tidak pernah ada kabar beritanya. Tapi
suatu hari lelaki perkasa itu muncul.

Karena raja merasa bersalah maka ia lari pada malam Selasa, dihari ke 14 bulan
Ramadhan waktu bulan purnama raya. Kepergian Datu Ungkap Sermin itu membuat kursi raja
menjadi lowong. Maka diangkatlah Gusti mesir Abdurrahman, keturunan Raja Banjar. Meski ia
bukan trah Dinasti Dewa Dalam Bawa, tetapi memungkinkan untuk diangkat menjadi raja karena
telah menikah dengan puteri Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I. ia pun diberi gelar
Muhammad Jalaluddin Syah II, dan memegang kekuasaan selama 3 tahun (1762-1765). Ia
mangkat pada tanggal 1 Dzulhijjah 1179 Hijriah ( 1765 Masehi). Untuk menggantinya
diangkatlah putra mahkota yang masih berumur 9 tahun menjadi “raja boneka” yaitu Sultan
Mahmud. Sedangkan yang menjalankan pemerintahan diangkat Dewa Mapeconga Mustafa datu
Taliwang.

Keputusan ini menimbulkan amarah datu Jereweh, karena ia sangat berambisi untuk
menjadi raja. Maka ia berangkat ke Makasar untuk meminta bantuan kompeni (VOC) agar bisa
menciptakan kekacauan di Kerajaan Sumbawa. Sebelum berangkat, datu Jereweh menemui
kerajaan-kerajaan tetangganya dan mempengaruhi mereka supaya ikut mendukung rencananya
dan ikut menandatangani perjanjian dengan VOC sekaligus membatalkan segala hal yang telah
diatur dalam perjanjian Bongaya antara VOC dengan raja Goa yang isinya antara lain VOC tidak
boleh mencampuri urusan perdagangan di kerajaan selatan.
Akhirnya pada tanggal 9 Februari 1765 di Fort Rotterdam ditandatangani perjanjian
antara Cornelis Senklaar Komodour sebagai wakil VOC denga pihiak raja – raja selatan yang
antara lain Sultan Abdul Kadir Muhammad Dzillillah Fil Alam ( raja Bima ), Hasanuddin Datu
Jereweh ( mengatas namakan raja Sumbawa ), Achmad Alauddin Johan Syah (raja Dompu),
Abdurrasyid (raja Sanggar) dan Abdurrahman (raja Pekat).

Perjanjian ini berisi tentang diperkenankannya VOC masuk Sumbawa. Tapi perjanjian ini
kemudian dibatalkan lewat kontrak baru tanggal 18 Mei 1766 berkat keberhasilan diplomasi
utusan kerajaan Sumbawa Dea Tumuseng. Dalam perjanjian ini disebutkan, apabila Sultan
Mahmud dewasa, maka kekuasaan raja akan diserahkan kembali kepadanya.Tapi pada waktu
Sultan Dewa Mepaconga Mustafa sakit pada tahun 1189 H (1775 M), beliau digantikan oleh
Datu Busing Lalu Komak, yang bergelar Sultan Harrunnurrasyid II (1777-1790). Sementara
Sultan Mahmud yang putra mahkota itu tidak pernah diangkat menjadi raja yang sebenarnya,
hingga ia meninggal dunia pada 8 jumadil akhir 1194 H (1780 M) dalam usia 24 tahun.

Pada waktu pemerintahan Harrunnurrasyid II ini telah berhasil diselesaikan penulisan


Kitab Suci Al Qur’an dengan tulisan tangan oleh Muhammad Ibnu Abdullah Al Jawi Negeri
Sumbawa Madzab Safi’i, tepatnya pada 28 Dzulqaidah 1199 H (1784 M).

Sepeninggal Harrunnurrasyid II, tahta kerajaan beralih pada anak perempuannya, yaitu
Sultan Syafiatuddin (1791-1795). Ia kemudian kawin dengan Sultan Bima dan mengikuti
suaminya ke Bima, sekaligus memboyong beberapa harta pusaka kerajaan. ( Sebagian koleksi
harta kekayaan Raja Bima sekarang adalah milik Sultan Syafiatuddin yang dibawa dari
Sumbawa). Karena kejadian itu, maka diputuskan oleh para Menteri Kerajaan untuk tidak lagi
mengangkat wanita sebagai raja.

Sedangkan pengganti Sultan Syafiatuddin adalah putera Sultan Mahmud bernama


Muhammad Kaharuddin II. Pada waktu pemerintahannya inilah Gunung Tambora meletus.
Tepatnya pada hari Selasa, 21 Jumadil Awal 1230 H (1815 M). Pada waktu itu Kerajaan
Sumbawa dilanda hujan debu.

Dalam laporan H. Zolinger disebutkan bahwa sepertiga penduduk mati di pulau


Sumbawa dan sepertiganya lagi pindah ke pulau Lombok. Sedangkan abu yang menggenangi
wilayah kerajaan Sumbawa sampai setinggi lutut. Setahun kemudian Sultam Muhammad
Kaharruddin II pun mangkat pada tanggal 20 Syafar 1231 Hijriah (1816 M). Pemangku kerjaan
selanjutnya diserahkan kepada Nene Ranga Mele Manyurang. Ia pun tidak lama menduduki
singgasana kerajaan, karena pada bulan Rabbiul Awal 1241 Hijriah (1825 M), Nene Ranga yang
sudah tua itu meninggal dunia. Kekuasaan dilanjutkan oleh Abdullah hingga ia meninggal pada
tanggal 87 Muharram 1252 Hijriah (1836 M).

Mulai tahun 1836 sampai 1882, tahta Kerajaan Sumbawa kembali dilanjutkan oleh Putera
Muhammad Kaharuddin II, yaitu Sultan Amrullah. Pada waktu pemerintahannya ini tidak
banyak catatan sejarah yang bisa ditemukan, barangkali karena kerajaan baru mulai bangkit dari
peristiwa meletusnya Gunung Tambora yang sangat dashyat. Sebuah letusan yang konon
menyebabkan langit di Eropa diliputi kabut awan selama dua tahun.

Sultan Amrullah meninggal pada tanggal 23 Agustus 1883, sementara kursi raja
diteruskan oleh Sultan Muhammad Jalaluddin III, cucu Sultan Amrullah. Pada masa ini campur
tangan Belanda sudah terlalu jauh, terutama dalam hal menarik pajak. Akhirnya meledaklah
pemberontakan rakyat, yang membuat Belanda harus mendatangkan bala bantuan dari Makassar,
sebab hampir di setiap tempat timbul amarah rakyat. Namun karena kelemahan dalam bidang
persenjataan, semua bentuk pemberontakan dapat dipatahkan termasuk pemberotakan yang
terjadi di Taliwang yang dilakukan Unru dan kawan-kawan.

Kekuasaan Belanda lewat VOC pun semakin merajalela. Maka dimulailah babak baru,
Belanda ikut bermain politik di dalam istana, dan ikut menentukan jalannya pemerintahan. Pulau
Sumbawa dan Pulau Sumba dijadikan satu dalam bentuk afdeling dengan ibukota di Sumbawa
Besar ( Ibukota Kabupaten Sumbawa sekarang). Asisten Resident yang pertama adalah Janson
Van Ray. Kerajaan Sumbawa dibagi dalam dua ander afdeeling, yaitu Sumbawa Barat dan
Sumbawa Timur.

Dalam pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin III (1833-1931) inilah dibangun


“Istana Tua Dalam Loka”. Hal ini sangat dimungkinkan karena Sultan Muhammad Jalaluddin III
menjalankan roda pemerintahan selama 48 tahun. Ia juga mampu menuruti kehendak Belanda.
Setelah ia meninggal pada tahun 1931, kekuasaan raja turun kepada putra mahkota yang
mendapat gelar Sultan Muhammad Kaharruddin III. Pada zaman pemerintahannya inilah
menjadi masa peralihan kolonialisme Belanda kepada Jepang. Ketika perjanjian Kalijati
ditandatangani tanggal 9 Maret 1942, organisasi – organisasi Islam di Kabupaten Sumbawa
mulai mengatur siasat. Organisasi itu antara lain Nahdatul Oelama, Moehammadiah dan Al
Irsyad. Sementara tiga kerajaan di pulau Sumbawa mengambil sikap tegas, menyatakan diri lepas
dari kekuasaan Belanda. Tepat pada bulan Mei 1942, delapan kapal perang Jepang mendarat di
Labuhan Mapin di bawah pimpinan Kolonel Haraichi, yang ternyata disambut gembira oleh
rakyat. Kekuasaan Jepang tidak berlangsung lama, karena setelah Hiroshima dan Nagasaki
dijatuhi Bom Atom, Jepang menyerah kepada sekutu. Peraktis kekuasaannya berakhir. Sebelum
Belanda kembali masuk, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Agresi Militer Belanda ke Republik Indonesia mengakibatkan Raja Sumbawa


menandatangani sebuah perjanjian politik baru dengan Belanda pada tanggal 14 Desember 1948.
Isinya antara lain menjelaskan tentang sisa-sisa kekuasaan yang masih dikuasai oleh Belanda di
Sumbawa. Kekuasaan tersebut ada tiga, yaitu bidang pertahanan, hubungan luar negeri dan
monopoli atas candu dan garam. Setahun kemudian pemerintah Indonesia Timur berdasarkan
Undang – Undang Nomor 44 tahun 1949 membentuk daerah Statuta Federasi Pulau Sumbawa,
yang ditetapkan oleh Dewan Raja – raja pada tanggal 6 September 1949.

Perubahan system Pemerintahan terjadi lagi dengan membentuk Propinsi Nusa Tenggara
Barat, yang didasarkan pada Undang – Undang Nomor 64 Tahun 1958. Propinsi Sunda Kecil
dibagi menjadi tiga Daerah Swatantra Tingkat I yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat ( NTB) dan
Nusa Tenggara Timur (NTT). Khusus Daerah Swatantra I Nusa Tenggara Barat menjadi enam
Daerah Swantantra Tingkat II, dimana raja sekaligus menjadi Kepala Pemerintahan. Karena itu
otomatis Federasi Pulau dibubarkan. Federasi Pulau Lombok dibubarkan pada tanggal 17
Desember 1958 dan tanggal tersebut hingga sekarang dijadikan sebagai hari lahirnya Propinsi
Nusa Tenggara Barat. Sedangkan Federasi Pulau Sumbawa dibubarkan pada tanggal 22 Januari
1959 dan pada saat itu dilantiklah Sultan Muhammad Kaharruddin III menjadi Pejabat
Sementara Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa. Tanggal itulah yang dijadikan hari
lahir Kabupaten Sumbawa.
C. Nama Raja-Raja Sumbawa
1. Raja-raja yang memerintah di sumbawa , 1674-1958
Dari beberapa sumber diketahui ada sebanyak 17 raja yang pernah memerintah di Sumbawa
dalam kurun waktu dari tahun 1674-1958 M
1. Sultan Hasanurrasyid I 1674-1702 m
2. Sultan Muhammad Jalaluddin I 1702-1723 m
3. Datu Bala Sawo 1723-1725 M
4. Datu Gunung Setia 1725-1732 M
5. Sultan Muhammad Kaharuddin I 1732-1758 M
6. Sultan Siti Aisyah 1759-1760 M
7. Datu Ungkap Sermin 1761-1762 M
8. Sultan Muhammad Jalaludddin II 1762-1765
9. Dewa Mepaconga Mustafa 1765-1776
10. Sultan Harunurrasyid II 1776-1790 M
11. Sultan Shafiyatuddin 1791-1795 M
12. Sultan Muhammaad Kaharuddin II 1795-1816 M
13. Nene Ranga Mele Manyurang 1816-1825 M
14. Mele Abdullah 1825-1836 M
15. Sultan Amrullah II 1836-1882
16. Sultan Muhammad Jalaluddin III 1882-1931 M
17. Sultan Muhammad Kaharuddin III 1931-1958 M
D. SISTEM KEPERCAYAAN
Bukti-bukti arkeologis yang diketemukan di wilayah Sumbawa, berupa sarkofagus,
nakara, dan menhir mengindikasikan bahwa tau Samawa purba telah memiliki kepercayaan dan
bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka. Konsep-konsep tentang
kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara dirinya dengan makrokosmos terus
diwariskan lintas generasi hingga masuknya kebudayaan Hindu-Budha, bahkan paradaban Islam
di Sumbawa kini.

Diperkirakan agama Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil


Sumbawa sekitar dua ratus tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa ini.
Beberapa kerajaan itu antara lain: Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan
Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan
Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk),
Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh.

Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu dari pada Pulau
Lombok antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Melayu,
khususnya Palembang. Selanjutnya runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan
kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi
ini justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut,
kemudian pada tahun-tahun awal di abad ke-16 Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan
Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di
Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas
Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam
sehingga menghasilkan sumpah “adat dan rapang Samawa (contoh-contoh kebaikan) tidak akan
diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam” yang merujuk pada
konsepsi adat bersendikan syarak, dan syarak berazazkan kitabullah.

1. Istana Dalam Loka

Foto: istana dalam loka.

Istana dalam loka berada di kelurahan pekat, istana dalam loka adalah istana yang di buat pada masa
kerajaan sumbawa. Menurut cerita masyarakat setempat istana dalam loka memilik tiang sebanyak 99
batang sesuai dengan jumlah asmaul husna atau asma ALLAH. Dibangun pada tahun 1885 pada masa
Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III. Pada waktu itu Istana Dalam Loka berfungsi sebagai pusat
pemerintahan sekaligus kediaman sultan. Fungsinya berubah setelah sultan pindah ke Istana Bala Puti
pada tahun 1934.

2. Istana bala Kuning


Foto: istana bala kuning.

Salah satu bangunan bersejarah bergaya eropa peninggalan pemerintahan Kesultanan Sumbawa selain
Dalam Loka. Sesuai namanya istana yang dibangun tahun 1942 ini di cat warna kuning yang merupakan
warna lambang kesultanan Sumbawa. Istana Bala Kuning juga tempat menyimpan benda-benda pusaka
Kesultanan Sumbawa berupa lambang kebesaran kesultanan (Parewa Kamutar), piranti upacara
kesultanan (Parewa Tokal Adat Ode), pakaian kebesaran, aneka keris dan senjata pusaka, berbagai jenis
keramik kuno, peralatan makan minum, foto-foto sejarah, Al-Qur’an tulisan tangan Muhammad Ibnu
Abdullah Al Jawi yang dibuat sekitar tahun 1784 dan benda pusaka lainnya.

3. Istana Bala Putih

Foto: istana bala putih.

Istana Bala Puti atau lebih dikenal sebagai Wisma Praja selesai dibangun tahun 1931 oleh Sultan
Muhammad Kaharuddin III. Pembangunan ini menjadi momentum peralihan menuju era pemerintahan
swantantra sultan yang lebih modern. Ini terlihat dari konsep bangunan yang terinspirasi arsitektur
Perancis. Dihalaman istana terdapat sejumlah pohon sawit berusia ratusan tahun sumbangan dari
Kesultanan Deli. Istana Bala Puti menjadi bagian perjalanan sejarah kesultanan Sumbawa dan tokoh-
tokoh besar pendiri bangsa.Tercatat KH Ahmad Dahlan, Gubernur Jenderal Belanda bahkan Soekarno
pernah tiga kali singgah di istana ini. Saat ini istana bala putih dalam proses perbaikin yang di sebabkan
oleh kebakaran.

Anda mungkin juga menyukai