Anda di halaman 1dari 4

Kerajaan Islam di Nusa Tenggara (Kerajaan Lombok dan Sumbawa

Kerajaan Islam di Nusa Tenggara (Kerajaan Lombok dan Sumbawa),- Kehadiran Islam ke


daerah Nusa Tanggara antara lain ke Lombok diperkirakan sejak abad ke-16 M yang diperkenalkan
oleh Sunan Perapen (putra Sunan Giri). Akan tetapi, Islam yang masuk ke Sumbawa mungkin
melalui Sulawesi, melalui dakwah para mubalig dari Makassar antara tahun 1540-1550 M terutama
ke Sumbawa. Di Lombok Islam disebarkan ke Pejanggik, Sokong, Bayang, dan tempat-tempat
lainnya sehingga seluruh Lombok memluk Islam.

Dari Lombok Sunan Perapen meneruskan dakwahnya ke Sumbawa. Pusat kerajaan Islam Lombok
terutama dipusatkan di Selaparang di bawah Pemerintahan Prabu Rangkesari. Pada masa itulah
Selaparang mengalami zaman keemasan dan memegang hegemoni di seluruh Lombok. Hubungan
dengan beberapa negara dikembangkan terutama dengan Demak dan juga dengan para pedagang
dari berbagai negeri. Namun kerajaan Lombok mendapat gangguan dari Kerajaan Gelgel sehingga
sempat melakukan serangan terhadap kerajaan Islam Lombok tetapi masih dapat bertahan.

Ketika VOC berisaha menguasai jalur perdagangan yang jelas bertubrukan dengan kerajaan Gowa
yang segera menutup jalur perdagangan ke Lombok dan Sumbawa dan berhasil menguasai kedua
daerah di Nusa Tenggara. Kerajaan-kerajaan di Sumbawa Barat dimasukkan ke dalam kekuasaan
kerajaan Gowa tahun 1618, Bima ditaklukan pula pada tahun 1633, Selaparang tahun 1640 tunduk,
demikian pula daerah-daerah lainnya sehingga pada abad ke-17 seluruh kerajaan Islam di Lombok
ada dibawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa.

Hubungan kerajaan Gowa dan Lombok dipererat dengan perkawinan seperti Pemban Selaparang,
Pemban Pejanggik, dan Pemban Parwa. Setelah terjadi Perjanjian Bongaya antara Kerajaan Gowa
tanggal 18 November 1667 akibat lumpuhnya peperangan di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin,
giliran kerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara mulai ditekan oleh VOC.

Pusat kerajaan Lombok dipindahkan ke Sumbawa tahun 1673 dengan tujuan untuk dapat
mempertahankkan kedaulatan kerajaan-kerajaan Islam di pulau tersebut dengan dukungan
pengaruh kekuasaan Gowa, karena Sumbawa dipandang lebih strategis daripada pusat
pemerintahan di Selaparang mengingat ancaman dan serangan terhadap VOC terus-menerus
terjadi yang akhirnya daerah-daerah kerajaan Lombok berada di bawah VOC dan raja-raja yang
mengadakan perlawanan ditangkapi kemudian diasingkan ke Maluku.

Kerajaan Sumbawa akhirnya dapat dikuasai VOC tetapi keadaan di kedua kerajaan Lombok dan
Sumbawa tetap tidak akam karena selalu ada pemberontakan yang menentang adanya campur
tangan VOC.

Kerajaan Selaparang adalah salah satu kerajaan yang pernah ada di Pulau Lombok. Pusat
kerajaan ini pada masa lampau berada di Selaparang (sering pula diucapkan dengan Seleparang),
yang saat ini kurang lebih lebih berada di desa Selaparang, kecamatan Swela, Lombok Timur.
Sejujurnya minim sekali yang dapat diketahui tentang sejarah Kerajaan Selaparang, terutama sekali
tentang awal mula berdirinya. Namun, tentu saja terdapat beberapa sumber objektif yang cukup
dapat dipercaya. Salah satunya adalah kisah yang tercatat di dalam daun Lontar yang menyebutkan
bahwa berdirinya Kerajaan Selaparang tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah masuknya
atau proses penyebaran agama Islam di Pulau Lombok

Berdirinya Selaparang[sunting | sunting sumber]


Disebutkan di dalam daun Lontar tersebut bahwa agama Islam salah satunya pertama kali dibawa
dan disebarkan oleh seorang muballigh dari kota Bagdad, Iraq, bernama AsySyaikh As-
Sayyid Nūrurrasyīd Ibnu Hajar al-Haytami. Masyarakat Pulau Lombok secara turun-temurun lebih
mengenal dia dengan sebutan 'Ghaus 'Abdurrazzāq'. Dia inilah, selain sebagai penyebar
agama Islam, dipercaya juga sebagai menurunkan Sulthan-Sulthan dari kerajaan-kerajaan yang ada
di Pulau Lombok.[2] Namun selain dia, Betara Tunggul Nala (Nala Segara) diyakini pula sebagai
leluhur Sulthan-Sulthan di Pulau Lombok.
Betara Nala memiliki seorang putra bernama Deneq Mas Putra Pengendeng Segara Katon
Rambitan yang bernama asli Sayyid 'Abdrurrahman. Dia ini dikenal pula dengan nama Wali
Nyatok, seorang muballigh dan Wali Allah. Kata "Nyatoq" artinya Nyata. Ia disebut sebagai
pendiri Kerajaan Kayangan yang merupakan cikal bakal Kerajaan Selaparang. Namun, karena
ketinggian ilmu tarekatnya (thariqah), maka dia memilih untuk mengundurkan diri dari panggung
Kerajaan Kayangan dan kemudian menetap di desa Rambitan, Lombok Tengah, sebagai penyebar
agama Islam di wilayah ini.[3]Wali Nyatok ini di Pulau Bali terkenal dengan nama Pedanda Sakti
Wawu Rauh atau Danghyang Dwijendra. Adapun di Sumbawa terkenal dengan nama Tuan
Semeru, sedangkan di Pulau Jawa dia bernama Aji Duta Semu atau Pangeran Sangupati. Wali
Nyatoq dikenal juga di Lombok dengan nama Datu Pangeran Djajing Sorga untuk menyebarkan
agama Islam. Ia mengarang kitab Jatiswara, Prembonan, Lampanan Wayang, Tashawwuf dan Fiqh.
Dalam proses menyebarkan agama Islam, salah satu media yang digunakannya adalah Wayang,
sebagaimana yang dilakukan pula oleh Sunan Kalijaga. Adapun bentuk mistik Islam yang
dibawanya merupakan kombinasi (sinkretisme) antara mistisme Islam (Sufisme) dengan salah satu
ajaran filsafat Hindu, yaitu Advaita Vedanta.[4]
Kembali ke soal Kerajaan Selaparang dan Ghaus 'Abdurrazzāq. Tidak diketahui secara pasti kapan
tepatnya dia masuk ke Pulau Lombok. Namun pendapat terkuat menyebutkan bahwa dia datang
ke Pulau Lombok untuk pertama kalinya sekitar tahun 600-an Hijriyah atau abad ke-
13 Masehi (antara tahun 1201 hingga 1300 Masehi). Ghaus 'Abdurrazzāq mendarat di Lombok
Utara yang disebut dengan Bayan. Diapun menetap dan berda'wah di sana. Dia kemudian menikah
dan lahirlahi tiga orang anak, ya'ni Sayyid Umar, yang kemudian menjadi datu Kerajaan
Pujut, Sayyid Amir, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Pejanggik, dan Syarifah Qomariah atau
yang lebih terkenal dengan sebutan Dewi Anjani.[5]
Kemudian Ghaus 'Abdurrazzāq menikah lagi dengan seorang putri dari Kerajaan Sasak yang
melahirkan dua orang anak, ya'ni seorang putra bernama Sayyid Zulqarnain (dikenal juga dengan
sebutan Syaikh 'Abdurrahman) atau disebut pula dengan Ghaos 'Abdurrahman, dan seorang
putri bernama Syarifah Lathifah yang dijuluki dengan Denda Rabi'ah. Sayyid Zulqarnain inilah
yang kemudian mendirikan Kerajaan Selaparang sekaligus pula sebagai Datu (raja) pertama
dengan gelar Datu Selaparang atau Sulthan Rinjani.[6]
Sampai disini sudah terdapat dua versi, yakni antara Nala Segara (Betara Tunggul Nala) dan Ghaus
'Abdurrazzāq yang sama-sama dipercaya sebagai penyebar agama Islam, menjadi cikal bakal
Sulthan-Sulthan Lombok dan pendiri Kerajaan Selaparang. Pertanyaan yang agak menggelitik
kemudian adalah:Tidakkah keduanya memang orang yang sama? Tidakkah yang dimaksud sebagai
Nala Segara itu sebagai Ghaus 'Abdurrazzāq, dan Wali Nyatok adalah Ghaos 'Abdurrahman?. Hal
itu masih dimungkinkan mengingat pada masa dahulu seorang tokoh seringkali menggunakan
nama-nama berbeda ditempat yang berbeda.

Kejayaan Selaparang[sunting | sunting sumber]


Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Laskar lautnya
telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-
1668 Masehi. Namun, Kerajaan Selaparang harus merelakan salah satu wilayahnya dikuasai
Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu direbut sebelum terjadinya peperangan laut. Di
samping itu, laskar lautnya pernah pula mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan
Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan
Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat
ditumpas habis, dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam jumlah yang cukup besar pula.[7]
Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru
untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka, pusat pemerintahan
kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, di sebuah dataran perbukitan, tepat di Desa
Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru
dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan
sekali sapuan pandangan. Dengan demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan
akan segera dapat diketahui. Wilayah ibukota Kerajaan Selaparang inipun memiliki daerah bagian
belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi, bertingkat-tingkat hingga ke
hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.[8]
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami
kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan
kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri
Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi)
daerah ini juga masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian
dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi, putera
mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar Pemban Aji Komala, dilantik
di Sumbawa menjadi Sulthan Selaparang yang memerintah seluruh wilayah Pulau
Lombok dan Sumbawa.[9]

Keruntuhan Selaparang[sunting | sunting sumber]


Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat
yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari bagian barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini
telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang
Asem (Pulau Bali) secara bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di kawasan Kota
Mataram sekarang ini. Kekuatan itu kemudian secara berangsur-angsur tumbuh berkembang
sehingga menjelma menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang berdiri
sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima tahun setelah serangan laut pertama Kerajaan
Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun sebelum serangan ke dua yang dapat ditumpas oleh pasukan
Kerajaan Selaparang.[10]
Namun, bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba adalah
kekuatan asing, yakni Belanda, yang tentunya sewaktu-waktu dapat melakukan ekspansi militer.
Kekuatan dan tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan.
Oleh sebab itu, sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri,
hanya diantisipasi dengan menempatkan laskar kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq
Wirabangsa.[11]
Dalam upaya menghadapi masalah yang baru tumbuh dari bagian barat itu, yakni Kerajaan Gelgel,
dan Kerajaan MataramKarang Asem, maka secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh penting di
lingkungan pusat kerajaan bernama Arya Banjar Getas ditengarai berselisih paham dengan rajanya,
raja Kerajaan Selaparang, soal posisi pasti perbatasan antara wilayah Kerajaan Selaparang dan
Pejanggik. Arya Banjar Getas beserta para pengikutnya kemudian memutuskan untuk meninggalkan
Selaparang dan bergabung dengan sebuah ekspedisi militer Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali)
yang pada saat itu sudah berhasil mendarat di Lombok Barat. Kemudian dengan segala taktiknya,
Arya Banjar Getas menyusun rencana dengan pihak Kerajaan Mataram Karang Asem untuk
bersama-sama menggempur Kerajaan Selaparang.[12] Pada akhirnya, ekspedisi militer tersebut telah
berhasil menaklukkan Kerajaan Selaparang. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1672 Masehi. Sejak
saat itu, Kerajaan Karang Asem menjadi penguasa tunggal di Lombok.

Anda mungkin juga menyukai