Anda di halaman 1dari 27

MERAJUT SIMPUL BUDAYA

SELAYAR PULAU NIAGA NUSANTARA

Oleh
Dr. A. Rasyid Asba
Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Univ. Hasanuddin

Disampaikan Dalam Seminar Sehari


Lawatan Sejarah Tingkat Nasional pada Tanggal 16-21 Agustue 2005

1
MERAJUT SIMPUL BUDAYA
SELAYAR PULAU NIAGA NUSANTARA
Dr. A. Rasyid Asba,1

Asal Usul Penamaan Selayar

Selayar sebagai sebuah pulau, telah lama dikenal, tidak hanya dikenal ketika Kakawin
Negarakertagama (1365) mengungkapkan nama Silajara (Selayar) yang disebut bergandengan
dengan nama Butun, Banggawi, Bontayang, Mangkasara. Tetapi juga nama Selayar juga
diungkapkan berbagai naskah-naskah lokal (lontarak). Dari berbagai sumber (lontarak)
dijelaskan ada tiga versi pengertian Selayar .

1
Dr. A. Rasyid Asba, Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Univ Hasanuddin. Selain itu juga sebagai Tim komisi
Pengembangan Sosial Budaya pada Badan penelitian Daerah Propinsi TK.I Sulawesi Selatan. Makalah
ini di sampaikan dalam Seninar Nasional Lawatan Sejarah ke Pulau Selayar. Tahun 2008 Depdinas.

2
Versi pertama adalah nama Selayar bermula ketika seorang ratu yang cantik jelita dari
Tanah Luwu dengan memakai perahu (wengkang) satu layar dengan mendarat suatu palau
dengan nama Silajara. Menurut epos Galigo ratu yang cantik itu utusan Sawerigading menuju
Tanah Cina. Dalam epos galigo diceritakan bahwa Sang ratu naik perahu mengarungi lautan
yang tidak bertepi dengan diikuti perahu emas beserta dayang-dayangnya.( Lontara Patta
bangung Selayar)
Versi kedua adalah versi yang mendapat pengaruh Gowa dan Melayu yang
mengatakan bahwa nama Selayar di ambil dari kata Se dan Layar. Se adalah satu dan Layar
adalah perahu. Jadi Selayar adalah perahu yang mengunakan satu layar. Hal itu bermula ketika
pedagang-pedagang Melayu mulai membuka perkampungan di Sombaopu , di mana mereka
memanfaatkan Selayar sebagai tempat transit ketika mereka Menuju Ternate.
Versi ketiga berasal dari mitos hikayat Taranate yang mengungkapkan bahwa nama
Selayar diberikan oleh pedagang-pedagang Ternate yaitu ketika Sultan Ternate mengungjungi
Makassar. Konon kabarnya dalam pelayarannya ke Makassar, perahunya terdampar di suatu
pulau yang ia namakan Selayar.Ketiga versi penamaan Selayar di atas memberikan kesan
bahwa Selayar adalah pulau niaga, yang telah lama dikenal baik pedagang Bugis Makassar,
Ternate, Jawa dan Melayu
Jauh sebelum ditemukannya Pulau Selayar telah muncul berbagai kerajaan seperti
Kerajaan Gantaran, Buki, Putabangun, dan Saluk .2 Versi Luwu (Bugis) dalam Epos Galigo
(karya sastra terpangjang di dunia setelah kitab Mahabrata itu) Salayara merupakan hasil
hamparan perahu Sarwerigading yang membatu ketika mereka berlayar menuju Tanah Cina.
Dalam perkembangannya Ketika epos galigo mulai redup ( Tanggilingnna Sanapatie), maka
Selayar mulai mendapat pengaruh Islam, ketika itu Selayara di bawah pengaruh Kerajaan
Ternate, yang selanjutnya pada tahun 1580 Selayar di bawah pengaruh kerajaan Gowa atas

2
Leiden, KITLV. De Indische Gids, 1884. Dalam laporan ini dikisahkan bahwa gaya berpakaian orang Selayar yang
sangat berbeda dengan suku-suku lain di Sulawesi Selatan. Orang Selayar senan berpakaian lebar panjang dari bahan
kain putih. Bajunya berwarna dari bahan sendiri atau kain katun putih yang dililitkan di leher dengan memakai
kancing emas atau perak yang indah. Ketika ada upacara mereka senang memakai selendang dari kain biru tua, dengan
bahan katun yang mahal-mahal dengan memakai kerah bordir yang terbuat dari emas. Pihak laki-laki senang
menggunakan songko, suatu jenis anyaman buatan yang sangat halus dari bulu rusa, kuda, serta daun kelapa. Mereka
senang memakai keris yang dihias dengan emas. Para wali atau Ulama senang memaki selendang yang disampirkan
di pundaknya.

3
permufakatan antara raja Ternate Sultan Baab Ullah dengan raja Gowa ke-9
Tomaparrisikallonna.3
Masuknya Islam di Selayar dijadikan alat peneguh bagi terciptanya mitos baru dari masa
epos Galigo ke masa pengaruh Islam. Pengaruh Ternate tersebut dibuktikan dengan di
Islamkannya raja Gantarang atas anjuran Sultan Baabullah pada akhir abad ke-16, ketiku itu
Kerjaan Gowa belum menerima Islam Sebagai agama resmi kerajaan. Hal tersebut dikisahkan
bahwa ketika utusan raja Gowa mengungjungi Selayar ditemuinya para Gallarang beserta
masyarakatnya telah berduyung-berduyung melaksanakan shalat Ju’mat .4 Ketika Islam
menyatukan bandar-bandar niaga Nusantara, Selayar mulai mendapat pengaruh dari Kerajaan
Ternate. Pengaruh tersebut di buktikan dengan adanya ungkapan hikayat tanah Hitu bahwa
Selayar adalah pintu gerbag Taranate di bagian barat, tempat munculnya cahaya kebenaran, di
mana ketika itu Gowa belum menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan. Namun informasi
tersebut masih perlu diteliti mengingat kerajaan Gowa melalui Datokditiro dalam pengislaman
Selayar juga cukup berperang. Perbenturan antara Gowa dan Ternate dalam Pegislaman Selayar
itu membawa Versi khusus bahwa Selayar adalah Pusat penyebaran Islam. Diceriterakan bahwa
Selayar adalah tempat bersinarnya kebenaran di antara hemogoni kekuasaan Gowa dan
Ternate.
Cerita tersebut ada benarnya mengingat keharuman nama Selayar atas lahirnya mubalig-
mubaligh yang belajar ke Mekah. Dalam naskah lontarak diceritakan bahwa kelompok ulama
Selayar sangat ditakuti oleh Pemerintah Kolonial karena banyak membangkitkan gerakan Pan
Islamisme di Hindia Belanda. Meskipun kebenarnnya masih perlu ditelusuri untuk
mengungkapkan kebesaran tabir historis masyarakat Selayar. Menurut Anton Lukas pada masa
akhir Kolonial Belanda gerakan keagamaan di Selayar paling ditakuti adalah Gerakan Islam
Mahdi Akbar. 5
Dalam hikayat raja-raja Melayu dikisahkan pula bahwa pedagang-pedagang Selayar
pada umumnya sudah memakai pici putih dan mereka sangat patuh mengerjakan Shalat. Pada
3
Lihat Abd. Razak Daeng Patunru. Sejarah Gowa. Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
1963, hal , 16. Dalam tahun 1667 berdasarkan pasal 17 tarkaktat Bongaya , Gowa harus melepaskan
Selayar dan tunduk di bawa pengaruh Kerajaan Ternate
4
Untuk lebih jelasnya lihat Lontarak Selayar milik Mappaiamang Rahim Dalam Mikrofilm Arsip dan
Perpusataakaan Prop. Daerah TK.I Sulawesi Selatan .
5
Lucas , Anton, The Muhdi Akbar Movement: Twentieth Century Religious Change in
Selayar a Paper presented to the KITLV Workshop Trade, Society and Belief in South
Sulawesi and its Maritime World. Leiden KITLV 1987

4
umunya meraka berdagang. Orang Selayar sebagai bangsa pedagang yang terkenal sebagai
pelaut yang menjelajahi kepulauan Nusantara dari Singapura sampai New Guinea. Mereka
membawa barang barang dari pelabuhan ke Pelabuhan serta dari pualau kepulau. Pedagang
Selayar seperti juga orang Madura dari Jawa Timur. Armada dagang Merekar pada tahun 1879
terdiri atas 425 perahu tidak terhitung sejumlah besar perahu kecil yang mengelola perdagangan
di sepanjang pantai barat Sumatra, Jawa sampai Melayu. Ekspor terdiri sebagian besar atas hasil
tanah sendiri seperti kelapa, minyak, kain, jagung, kemiri, katun, kapok, ikan kering, kerang
mengkudu, pinang dan tembikar. Sebaliknya yang diimpor terutama adalah beras, kain Eropa,
barang-barang besi, tembikar dan mata uang tembaga.6

Selayar di bawah Pengaruh Ternate

Masuknya Islam di Selayar membawa pengaruh Kerajaan Ternate semakin kuat.


Pengaruh Ternate menjadikan Islam sebagai roh dalam kehidupan masyarakat Selayar. Hal
tersebut dibuktikan dengan di Islamkannya raja Gantarang atas anjuran Sultan Baabullah pada
prrempatan terakhir abad ke-16, ketiku itu Kerjaan Gowa belum menerima Islam Sebagai
agama resmi kerajaan. Salah satu mitos dengan versi Islam berpengaruh di Selayar bermula
dengan adanya mitos kedatangan Husain Cucu Nabi Muhammad untuk berlayar ke Timur
untuk menemukan sebuah pulau yang sudah lama merindukan masuknya Islam yaitu Selayar.
Setibanya di Selayar Husain menaruh jubahnya di Gantaran dan konon kabarnya Datoditiro
juga belajar Islam dari maulana Husain ketika mereka teransit perahunya di Daerah Hila-Hilah
Bulukumba..
Ketika kerajaan Gowa mulai bangkit dibawah Raja Gowa ke IX Karaeng Tumaparisi

Kallonna (1512-11548) sangat penting artinya terutama bagi sejarah ke Maritiman Indonesia di

Indonesia bagian timur. Karaeng Tumaparisi Kallonna yang menjadikan kerajaan Gowa beralih

6
LihatHeersink, Christiaan.G 1995, “The Green Gold of Selayar A Socio Economic History of an
Indonesia Coconut Island C. 1600 –1950: Perspectives from a Periphery” Academisch Proefschrift
ter Verkrijging van de Graad van Doctor Aan de Vrije Universiteit te Amsterdam.

5
secara formal dari tradisi birokrasi agraria ke tradisi birokrasi maritim. Karena itu Raja Gowa ini

memindahkan pusat kekuasaan dari daerah pedalaman kekawasan pesisir yaitu dari Tamalate ke

Somba Opu di Muara sungai Jeneberang. Perpindahan pusat kekuasaaan dan perubahan tradisi

kerajaan Gowa dari kerajaan agraris ke kerajaan Maritim, ditandai dengan pengankatan Daeng

Pamatte sebagai Sabannare (syahbandar) kerajaan Gowa yang pertama. Ketika Raja Gowa ke XI

Mario Gau Daeng bonto Karaeng Lakiung (Tumpalaangga) berkuasa 158-1566. Kota Somba

Opu pusat perdagangan utama di Indonesia Timur dibangunnya. Selama kurun waktu 1550-1669,

Sombaopu ibukota kerajaan Gowa merupakan salah satu diantara kota dagang utama di Asia

Tenggara, kota-kota dagang lainnya adalah Ayuthia (Siam) 1450-1469, 1620-1688, Pegu 1472-

1581, Malaka 1480-1511, Aceh 1570-1667-, Banten 1600-1680, dan Somba Opu 1548-1669.

( Anthony Reid ; 1992, 41-46)

Munculnya Selayar sebagai pulau niaga tidak terpisahkan dari usaha kerajaan Gowa

membangun diri sebagai kerajaan maritim utama di Indonesia bagian timur. Usaha-usaha itu

dilakukan antara lain adalah menguasai daerah-daerah pedalamam Bugis penghasil beras dan

hasil hutan. Itulah sebabnya terjadi perang atas kerajaan-kerajaan Bugis di pedalaman sejak awal

abad 15. Di samping itu Kerajaan Gowa juga ingin menguasai jalur pelayaran dan perdagangan

Indonesia Timur dan menjadikan Selayar sebagai tempat transit terutama utama bagi perdagang-

pedagang Busis melayu yang pulang pergi ke Ternate.

Dalam rangka mewujudkannya Somba Opu sebagai pusat perdagangan Kerajaan Gowa

berusaha menjalin kerjasama dan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan luar di

Nusantara. Dalam mewujudkan sebagai kerajaan yang kuat, maka tidak ada jalan yang lain yang

dilakukan adalah membangun angkatan perang Tonikale bagi daerah-daerah yang strategis

seperti Selayar.

6
Dalam Meningkatkan ekonomi kerajaan, juga memperdagangkan Budak. Perdagangan

budak ini dianggap penting karena dapat memberi penghasilan yang tinggi pada kerajaan tanpa

perlu bekrja keras. Komoditas perdagangan budak diperoleh sejalan dengan perang penaklukan

dari berbagai kerajaan-kerajaan kecil seperti Tambora, Bima , Tambelu, Taranate , Butun dan

kerajaan-kerajaan di Flores dll. ( Lontarak Bulo-Bulo milik Paliheng Dg. Mangngatta)

Perdagangan budak itu sampai tahun 1669 masih merupakan mata dagangan utama yang

secara formal dikelola oleh kerajaan Gowa dan berbagai kerajaan-kerajaan Bugis. Jaringan

perdagangan ini meliputi Kalimantan Utara, Timur, Selayar, Manggarai, Tanimbar, Sula dan

Alor. Budak-budak dari daerah ini diperdagangkan ke Banjarmasin, ke Palembang, Jambi, Aceh,

Johor, Sukadana, dan Batavia, Perdagangan budak ini dilakukan melalui sistim berter dengan

berbagai produk luar. Cindai dan sutra, dua diantara komoditas barter yang utama. Dalam

Lontarak Gowa Milik Andi Mappanyukki menyebutkan bahwa orang-orang Makassar

memperoleh juga budak dari Buton, Ternate, Kepulauan Sulu dan pulau-pulau sekitarnya. Dalam

naskah ini disebut bahwa pada tahun 1665, ada sekitar 200 armada perahu dagang Makassar

yang dilengkapi persenjataan dan prajurit menjelajah dikepulauan Sulu melakukan “penaklukan”

dan penangkapan penduduk untuk dijadikan budak. Dalam expedisi tahun 1665 orang-orang

Makassar memperoleh lebih seribu orang “Budak.”( H. Sutherland: 1983,264). Akibat

melimpahnya budak di pasaran, terutama yang berasal dari Hindia Belanda Khusunya Indonesia

Timur dan Bali, muncul kecurigaan di Batavia dan menyebarkan issu yang mengarah pelarangan

agar tidak membeli budak dari Makassar dan Bali. Kecurigaan ini berasal dari dugaan bahwa

orang-orang yang diperdagangkan sebagai budak, ternyata bukan budak dalam arti yang

susungguhnya, tetapi orang-orang yang ditangkap secara paksa dengan kekerasan, ditaklukkan,

7
diikat dan dijual sebagi budak, Sekalipun kerajaan Gowa jatuh 1669, tetapi jaringan perdagangan

budak di Makassar masih berlangsung hingga abad ke 19.

Selayar sebagai jalur perdagangan abad ke-16 hingga abad ke -17 tidak lepas dari peran

Makassar (Gowa) sebagai pemegang hemogoni kekuasaan. .Jika ditelusuri sebagai jalur

pelayaran dan perdagangan tradisoinal Sulawesi Selatan, maka di sepangjang pantai didapati

pelabuhan-pelabuhan. Dalam buku Nagarakertagama tentang jaringan pelayaran dan

perdagangan Selayar sebagai kota maritim yang telah berkembang sejak abad ke 14. Bahkan

jauh sebelumnya Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Jawa dan kota Makassar, tidak

hanya jaringan pelayarannya. Kebenaran sumber ini memang masih memerlukan dukungan data-

data historis yang lebih banyak. Namun demikian yang sangat menarik dari informasi

Negarakertagama ialah deskripsinya tentang kota Makassar mengadakan hubungan dengan

Majapahit. Negarakertagama menyebutkan kota-kota dagangan di pantai Selatan semenanjung

pulau Sulawesi, seperti Bantayang (Bantaeng), Luwu ( Luwu ). Negarakertagama menyebutkan

juga pulau Selayar, Buton, Banggae dan Makassar. Pulau-pulau tersebut dinyatakan sebagai jalur

utama ke Timur yang dihubungkan oleh gugusan pulau-pulau Sumba, Solot, Kumir, Galiyao

dengan kepulauan Maluku yang kaya akan rempah-rempah. (Muhammad Yamin, 1945. 56;

Pegeaud, 1960.11.17)

Pelayaran dan perdagangan Jawa ke Makassar juga diperkuat oleh temuan historis

berupa tumpukan kayu kepingan perahu layar niaga dipantai pulau Selayar. Perahu layar yang

diduga milik saudagar Jawa ini, ditemukan di pantai pulau Silayar, berukir indah dengan motif

naga bersayap di bahagian haluan. Disisi lain dihiasi relief kaligrafi indah bertulis amat jelas

"Sultan Abdul Malik Tuban”, apakah perahu itulah yang bernama “Sulatan Abdul Malik

memerlukan penelitian yang mendalam, namun yang jelas adalah Tuban, salah satu diantara kota

8
dagang utama di pantai Utara Jawa. Tuban dapat dianggap ketika itu sebagai satu-satunya bandar

Niaga Islam Jawa yang masih loyal terhadap kerajaan Hindu yang masih berkuasa dipedalamam

Jawa. Sisa/kepingan kapal kayu yang ditemukan dipulau Selayar ini dapat diduga secara pasti

berasal dari sebuah kapal dagang Jawa abad ke XVI-XVII.

Selain kepingan kapal dagan Jawa yang berukir indah di Pulau Selayar, kita juga dapat

memperoleh berbagai informasi dari seritera lisan (Folklore) di Tanjung Bira. Satu

perkampungan industri maritim, pusat pembuatan perahu layar di semenanjung sulawesi Selatan.

Salah satu topik ceritera rakyat Tanjung Bira yang menarik berpusat pada sebuah kuburan

saudagar-saudagar orang Jawa yang disebut “Tumancapi” ri Bira. Salah satu bai syair pujaan

tentang kuburan dari saudagar/niagawan Jawa yang terdampar di Bira, berbunyi :

‘Jawa kelumannyang pale

Siganrai Tamalaja tama ri Butta Gowa

Na tallang ri tangogana bira”

Artinya

Kiranya saudagar Jawa gerangan

Pantas tak takut berlayar ke Tana Gowa

Sayang ia tenggelam di Teluk Bira.

Sebenarnya masih banyak petunjuk yang dapat menerangkan, bahwa jauh sebelum abad

ke 16 telah ada hubungan dagang yang cukup ramai antara pedagang-pedagan Jawa dengan kota-

kota dagang di Pantai pesisir. Selat Sulawesi Selatan dan Indonesia Timur. Seperti misalnya

temuan-temuan Arkeologis berupa kuburan-kuburan pra Islam diberbagai tempat di daerah

pesisir Sulawesi dan Tanah Beru di semenanjung bira sampai Bantaeng, dari pesisir sebelah

Utara Ujung Pandang hingga daerah Pankajene Kepulauan. Temuan-temuan ini memperkuat

9
dugaan sebelumnya, bahwa jauh sebelum abad ke 14 di Pankajene telah berdiri sebuah

pelabuhan dengan dagang utama Siang (Pelras 1977. 252-5). Salah satu peninggalan bukti

sejarah utama yang ditemukan di Pangkajene (siang) dan Bantaeng (Bantayan) adalah “Gold

death masks” penutup muka (topeng) orang mati dari emas. Kedua temuan ini dapat dijadikan

sebagai bukti utama adanya kontak perdagangan daerah-daerah pesisiran tersebut dengan daerah

luar jauh sebelum abad ke 16.

Ketika orang Portugis berkunjung ke Siang sekitar 1540 an, ia telah menemukan suatu

jaringan perdagangan dan pelayaran yang sudah berjalan baik di sana. Jaringan ini sudah berjalan

sejak lama dengan Johor, Pahang dan Patani. Jaringan perdagangan daerah-daerah ini dengan

Siang sudah berjalan sekitan 50 tahun sebelum kedatangan Portugis di Siang (1540) jadi sekitar

tahun 1460 an menjelang akhir abad ke 15. Besar kemungkinan mereka adalah pedagan-pedagan

Islam melayu yang meninggalkan tanah semenanjung pada tahun 1511, setelah Portugis

menguasai Malaka. Jaringan perdagangan ini sebenarnya adalah jaringan lama yang sudah

dirintis jauh sebelumnya oleh pelaut-pelaut (Bajaus) dari Teluk Sulawesi ke Semenanjung

Malaka,

Tome Peres dalam catatan yang dibuatnya tak lama setelah kejatuhan Malaka oleh

Portugis tahun 1511, seperti temuan dalam The Suma Orental of Tome Pires (A Castesao 1944).

Melukiskan tentang aktifitas pelayaran orang Bajoe dan jaringan pelayarannya sebagai berikut :

The island of Macassar are four of five days Journey beyond the island we have describe
(Southern Borneo), on the way to the Maluccas. The island are numerous. It is a large country.
One side goes op to Buton and Madura and the other extends far up north. They are all heathens.
They sya that islands have more than fifty kings. These islands trade with Malaxxa and with
Borneo and with Siam and with all the places between Pahang Siam. They are men more like the
Siamose than other races. Thair language is on its own, difrent from the others. They are
heathhens, robust, great warriors, They have many foodstffs.
These men in theses islands are grater theven than any in he world, and they are powerful
and havee many paraos. They sail about pludering, from their country up to pegu, to the
Maluccas and to Banda, and among all the islands araund Java, and they take women to sea.

10
They have fairs where they dispose of the merchandise they steal and sell the slaves they capture.
They run all around the islans of Sumatra.
They are mainly corsairs. The Javanese call them Bajuus and the Malays call them dihis
and Cala tes. They take their spols to Jumaia, which is near Pahang, whre they sell and have a
fair con tinually.
Those who donnot caay on this kind of robbery come in their large well-built pangajavas
with mercha dise, they bring many foodstuffs very white rice; they bring some gold … they all
wear krisses. They are well built men, They goabout the worild and everyyone fears them,
because no doubt great deal of poison (edweapons) and shool with them selves, but every other
ship in the country they have in their hands, (Pires. 1944; 226-7-451).

Jalur klasik dirintis oleh orang-orang Bajao paling tidak sejak abad ke 14-15. Pedagang-

pedagang Melayu membanjiri dermaga Siang. Merekalah yang berperang aktif mengumpulkan

hal-hasil utama. Sulawesi seperti kayu cendana, berbagai hasil laut, utamanya kulit penyu dan

beras. Perang aktif pedagang-pedagang Melayu ini berlangsung alama sampai medio abd ke 16.

Dalam transaksi perdagangan, tekstil (cindai dan sutra) merupakan alat tukar utama yang sangat

disenangi oleh pribumi di kawasan ini disamping keramik, perluasan dan alat rumah tangga.

Sekalipun kawasan semenanjung Sulawesi Selatan merupakan gudang kramik belum ada

keterangan yang pasti bahwa sebelum abad ke 17 pedagang-pedagang Cina sudah berlayar

langsung ke pelabuhan-pelabuhan penting di Indeonesia Timur. Sumber yang diperoleh hanya

menjelaskan bahwa penyebaran keramik, cindai dan sutra di kota-kota pantai Sulawesi seperti

Makassar yang dibawa langsung oleh pedagang-pedagang Jawa atau Malayu. Jenis mata

dagangan ini terbawa dalam route pelayaran mereka ke daerah rempah di kepulauan Maluku dan

daerah pusat hasil pertanian dan hasil laut di Sulawesi Selatan.

Selain jaringan perdagangan rempah, hasil laut dan beras dalam kurun abad ke 14-15 telh

dikenal pula jaringan perdagangan hasil tambang. Jaringan perdagangan ini tidak hanya terkenal

karena merupakan jalur perdagangan yang sangat tua. Tetapi terkenal karena sifat komoditasnya

yang unik, antara Majapahit dan Luwu. Dari Luwu pedagang-pedagang Jawa mengambil biji

nikel sebagai bahan dasar pembuatan pamor keris yang sangat maju di Majapahit. Jalur

11
perdagangan biji Nikel antara Majapahit dan Luwu dapat dianggap sebagai jalur perdagangan

komodite tambang tertua di Nusantara. (Lihat Rouffer 1904 : 107.8. Noorduyn 1983. 111, atau

Pelras 1981.177).

Ketika kerajaan Gowa mulai bangkit dibawah Raja Gowa ke IX Karaeng tumaparisi

Kallonna. Periode (1512-1548) sangat penting artinya terutama bagi sejarah ke Maritiman

Indonesia Timur. Karaeng Tumaparisi Kallonna (yang juga bernama Karaeng Manguntungi

Daeng Matanre), inilah yang menjadikan kerajaan Gowa beralih secara formal dari tradisi

birokrasi-birokrasi ke tradisibirokrasi Maritim. Dialah yang memindahkan pusat kekuasaan dari

daerah pedalaman kekawasan pesisiran, dari Tamalate ke soma Opu di Muara sungai Jeneberang.

Perpindahan pusat kekuasaaan dan perubahan tradisi kerajaan Gowa dari kerajaan agraris ke

kerajaan Maritim, ditandai dengan pengankatan Daeng Pamatte sebagai Sabannnare

(syahbandar) kerajaan Gowa yang pertama. Ketika Raja Gowa ke XI Mario Gau Daeng bonto

Karaeng Lakiung (Tumpalaangga) berkuasa 158-1566. Kota Somba Opu pusat perdagangan

utama di Indonesia Timur dibangunnya. Selama kurun waktu 1550-1669, Somba Opu ibukota

kerajaan Gowa merupakan salah satu diantara kota dagang utama di Asia Tenggara, kota-kota

dagang lainnya adalah Ayuthia (Siam) 1450-1469, Pegu 1472-1581, Malaka 1480-1511, Aceh

1570-167-, Banten 1600-1680, dan Somba Opu 1548-1669.

4.3. Hubungan Pelabuhan dan Pedalaman

Munculnya pelabuhan Makassar adalah tidak terpisahkan dari usaha kerajaan Gowa

membangun diri sebagai kerajaan maritim utama di Indonesia Timur. Usaha-usaha itu antyara

lain adalah menguasai daerah-daerah pedalamam Bugis penghasil beras dan hasil hutan.

Akibatnya adalah terjadinya perang penaklukkan atas kerajaan-kerajaan Bugis di pedalaman

12
sejak awal abad 15. Di samping itu Kerajaan Gowa juga : menguasai jalur pelayaran dan

perdagangan Indonesia Timur dan menjadikan somba Opu sebagai pelabuhan transito utama bagi

perdagangan rempah dari Maluku. Karena itu Kerajaan Gowa berusaha menjalin kerjasama dan

hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan luar dan menjadikan Somba Opu sebagai kota

internasional. Untuk mewujudkan sebagai kerajaan yang kuat adalah membangun angkatan

perang dan Birokrasi. Di samping itu untuk meningkatkan ekonomi maka kerajaan Gowa juga

memperdagangkan Budak. Perdagangan budak ini dianggap penting karena dapat memberi

penghasilan yang tinggi pada kerajaan tanpa perlu bekrja keras, karena koditas budak diperoleh

sejalan dengan perang penaklukan dari berbagai wilayah di Indonesia Timur.

Sampai tahun 1669 perdagangan budak masih merupakan mata dagangan utama yang

secara formal dikelola oleh kerajaan Gowa. Jaringan perdagangan ini meliputi Kalimantan Utara,

Timur, Manggarai, Tanimbar, sula dan Alor. Budak-budak dari daerah ini diperdagangkan ke

Banjarmasin, ke Palembang, Jambi, Aceh, Johor, Sukadana, dan Batavia, Perdagangan budak ini

dilakukan melalui sistim berter dengan berbagai produk luar. Cindai dan sutra, dua diantara

komoditas barter yang utama, Beberapa sumber menyebutkan bahwa orang-orang Makassar

memperoleh juga budak dari Buton, ternate, Kepulauan Sulu dan pulau-pulau sekitarnya. Dalam

subuah catatan disebut bahwa, ditahun 1665 sekitar 200 armada perahu dagang Makassar yang

dilengkapi persenjataan dan prajurit menjelajah dikepulauan Sulu melakukan “penaklukan” dan

penangkapan penduduk untuk dijadikan budak. Dalam expedisi tahun 1665 orang-orang

Makassar memperoleh lebih seribu orang “Budak” ( Coolhous 1960 – 71.111,526). Karena

melimpahnya budak di pasaran, terutama yang berasal dri Indonesia Timur dan Bali, muncul

kecurigaan di Batavia dan menyebar issu yang mengarah kelarangan agar tidak membeli budak

dari Makassar dan Bali. Kecurigaan itu berasal dari dugaan bahwa orang-orang yang

13
diperdagangkan sebagai budak, ternyata bukan budak dalam arti yang susungguhnya, tetapi

orang-orang yang ditangkap secara paksa dengan kekerasan, ditaklukkan,diikat dan dijual sebagi

budak, Sekalipun kerajaan Gowa jatuh 1669, tetapi jaringan perdagangan budak di Indonesia

timur masih berlangsung hingga abad ke 19.

Dalam kapastiannya selaku pusat perdagangan Indonesia Timur. Kerajaan Gowa

sebenarnya tidak hanya didukung oleh faktor geografisnya sebagai pintu gerbang Indonesia

Timur, tetapi juga karena kekuatan armada lautnya yang mampu mengontrol kawasan

perdagangan seluas itu. Semua ini dapat terjadi karena adanya tradisi kemaritiman orng-orang

Makassar yang sangat jadi karena adanya tradisi kemaritiman orang-orang Makassar yang sangat

tinggi. Dapat dikatakan bahwa smpai saat ini belum asa yang dapat menandingi keahlian

tradisional orang-orang Makassar Bugis dalam bidang insustri semacam itulah mempercepat

terjadinya/adanya pengakuan-pengakuan internasional tentang perang Kerajaan Gowa yang

berpusat di Somba Opu sebagai pusat kegiatan perdagangan Indonesia Timur di abad 16-17.

Dalam Naskah lontarak huruf serang berbahasa melayu milik Imam Bojo disebutkan

bahwa datangnya migram Melayu di tahun 1548 yang dipimpin oleh “Seorang Kapten Kapal

Jawa” yang bernama “Nakhoda Bonang”. Mereka datang dan meminta kepada Raja Gowa

Tunipallangga ( 1548 –1566) agar para pedagang-pedagang asal melayu diizinkan tinggal di

Somba Opu. Mereka juga meminta perlindungan dan jaminan keamanan di kawasan itu, Ada

permintaan Nakhoda Bonang kepada Raja Gowa.

Jangan memasuki halaman kami tanpa seizin kami

Jangan naik ke rumah tanpa seizin kami

Jangan memperlakukan hukuman “Nigayung” pada anak-anak kami

Jangan memperlakukan hukuman Nirappung bila ada diantara kami yang bersalah.

14
Keempat poin merupakan hak teroterikal dan kekebalan diplomatik atas pedagang-

pedagang Melayu yang dikeluarkan oleh kerajaan Gowa abad ke 16 ini dapat menjadi petunjuk

betapa majunya jaringan perdagangan ketika itu. Perjanjian ini juga dapat dianggap sebagai satu

kesepakatan politik dalam diplomasi perdagangan tertua di Indonesia Timur.

Dalam satu dialog ketika perjanjian itu akan disyakan Raja Gowa bertanya kepada

Nakhoda Bonang :

“Berapa jenis (orang) yang kau maksudkan dalam permintaan itu” Nakhoda Bonang,

Semua kami yang bersarung ikat (Ma’lepa baraya) Mereka adalah orang Pahang, orang Petani,

orang Campa, orang Minang, Kabau dan Orang Johor”.

Sejak saat itulah orang-orang Melayu menetap di Makassar. Banyak di antara mereka

kemudian menjadi petinggi di Kerajaan Gowa. Jabatan Syahbandar, Juru tulis, dan penasehat raja

didominasi oleh orang Melayu.

15
Dalam Sumber-sumber lokal juga dikisahkan Selayar pernah di bawah pengaruh Kerajaan
Ternate betapapun singkatnya, juga memberikan pengaruh kekuasaan di daerah ini. Salah satu
contoh adalah perkawinan Amir Hamzah dengan wanita Selayar Daeng Majanang, juga dari para
panglima perang kerajaan Ternate di bawah Kapten Tulubu dan percampuran dara wanita Selayar.
Juga para perompak Tobelo dan Galela yang tidak senang pada Pemerintah Belanda.7
Meskipun ada berbagai unsur yang saling berasimilasi melalui perkawinan,
karakteristi orang Selayar menunjukan suatu bangsa yang mempunyai gaya bahasa, adat dan
kebiasaannya sedikit berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya di Sulawesi Selatan. Namun
perbedaan itu hanyalah didasarkan adanya fariasi benturan budaya dari berbagai etnis yang masuk
di kepulauaan Selayar, terlebih-lebih ketika Selayar dibawah pengaruh Kolonial dan tampil
sebagai Pulau yang terkaya di Hindia Belanda
II
Pada masa Kolonial Afdeling Selayar dibagi menjadi dua 0nderafdeling, yakni
Onderafdeling Selayar dan Bonerate. Onderafdeling Selayar mencakup sebelas daerah seperti
Tanete, Batamata, Buki, Boneya, Benteng, Bontobangun, Balabulo, Laiyolo dan Barang Barang,
Bahuluwang, Tambalongang dan Pulasi digabungkan dengan pulau Kayuwadi. Daerah-daerah
tersebut diperintah oleh seorang kepala distrik dengan gelar galarang, Mereka mendapat gelar
bupati atau opu

7
H.E.D. Engelhard,1884 Dalam Mededeelingen over het Eiland Seleijer” Dalam : BKI
N0.8. hal 263-510.

16
Di 0nderafdeling Bonerate mengcakup enam kepala negeri dengan gelar galarang
yang diangkat atas persetujuan Kontroleeur Bonerate dan Kalau, sementara seorang kepala
dengan gelar punggawa diangkat atas pulau Tanah Jampeya. Pemerintahan Eropa diterapkan oleh
seorang Kontroleur yang langsung menerima perintah dari Guberneur yang berpusat di Makasar
dan dibantu oleh penguasa Kolonial di Bonerate. Pemerintahan pribumi dijalankan oleh bupati
yang dibantu oleh wakil bupati atau Opu malolo, galarang atau kepala nagari atas beberapa
kampung, kepala kampung dan tau toa atau tetua kampung. Antara opu lolo dan galarang di
kabupaten Bontobangun, Buki, Batamata, Boneya dan Balabulo para kepala negari ditemukan
dengan gelar punggawa, sementara di tiga daerah tersebut di Layolo masih ada seorang kepala adat
bergelar Baligau yang pangkatnya kira-kira sama seperti Opu Lolo. Opu Lolo berarti raja muda,
sementara baligau berasal dari gabungan kata bali dan gau yang dianggap sebagai pengganti raja
( Bugis Sullewatang) jika berhalangan dari apa yang dilakukan, jadi raja. Ternyata kedua kata ini
sama, namun setelah berjalan beberapa saat dan karena kurangnya pengetahuan bahasa dan rakyat
muncul kekacauan pengertian, sebagai akibatnya di beberapa kabupaten dua orang itu dibebani
dengan lingkungan kerja sama namun sebutannya berbeda.
Namun perlahan-lahan kekuasaan Baligau ini didesak oleh pemerintah Eropa, untuk
memberikan jalan bagi Opu Lolo sehingga Baligau disamakan dengan punggawa. Haknya di
kabupaten ini dipertahankan, sementara punggawa tidak memiliki hak. Diharapkan karenanya
apabila salah satu fungsi ini apakah Opu Lolo atau Baligau perlahan-lahan akan dihapuskan.
Dahulu masih ada beberapa kabupaten seperti 0nto, yang digabungkan dengan Bata-mata; Mare
Mare dan Gantarang, keduanya digabungkan dengan Boneya; Tabang yang masa lalu disebut 0pa
0pa dan Putabangun, keduanya kini menjadi bagian dari Bontobangun; Bontoboroso digabungkan
dengan Layolo dan akhirnya daerah galarang Pangiliang dan Bua Bua disatukan dengan daerah
galarang Benteng.

Berkat kesabaran penduduk pribumi , pemerintah Belanda menemukan ketenangan


di daerah Selayar . Orang Selayar sifat lunak, patuh dan taat hanya memerlukan pemerintahan
yang maju dan manusiawi untuk mencapai kemakmuran dan pertumbuhan. VOC dari Sultan
Ternate menuntut agar dia bisa menempatkan para perwira di antara penduduk yang patuh dan

17
sesuai di Selayar, yang tidak akan melukai rakyat. Gubernur setidaknya sekali setahun senantiasa
mengunjungi pulau itu karena rakyatnya sangat mendambakan.8
Hampir semua kepala pribumi termasuk bupati, wakil bupati maupun punggawa dan
galarang, bisa membaca dan menulis bahasa Bugis dan Makasar. Sementara sebagian besar bupati
dan wakil bupati menggunakan bahasa Melayu, yang tidak sama dengan rekan-rekan mereka di
seberang (Makassar Bugis). Mengenai hubungan mereka dengan pemerintah diduga bahwa gelar
raja pribumi lebih sesuai bagi mereka daripada bupati atau kepala distrik atau nama apapun yang
lain. baik bupatimaupun kepala rendahan semuanya dipilih di luar campur tangan pemerintah
Belanda. Meskipun ini banyak tergantung pada kebijakan perorangan pejabat yang memerintah,
kondisi luar biasa ini toh telah memberi alasan bagi berkembangnya orang selayar lebih maju dan
demokrat.
Sebagai contoh pemilihan bupati Tatete Baso Daeng Rimaka, kemudian pada putra-
putranya bupati sekarang Sumpikang Daeng Baji dan akhirnya pada tahun 1880 pada bupati
Batamata Bontona Daeng Sullewatang. Alasannya menunjukan bahwa tidak ada aturan khusus
yang mengatur pemilihan para kepala pribumi di wilayah ini, yang tidak diketahui siapa pemegang
hak pilihnya. Misalnya Lapincara, bupati Camba dan Baso Daeng Patinri bupati Bankala, yang
hanya dipilih oleh para kepala adat: Jimpung Daeng Palalo, bupati Tanralili dipilih oleh penduduk
seperti bupati Bontain, Boneya dan Batamata.. Bupati Tanete dipilih oleh para kepala adat dan
bangsawan dan bupati Bira melalui kekuasaan dalam pemerintahan pribumi ( terdiri atas seorang
puwang lolo, seperti amanajambu, karaengtowa, galabira, lembang lohe, lembang keke) ditambah
dengan para kepala berbagai jabatan galarang.
Memang pada setiap pemilihan diajukan dua orang calon namun hampir selalu
salah satunya tampil sebagai pendamping untuk memenuhi tuntutan yang netral. Pengangkatan
bupati dilakukan oleh pemerintah atas petunjuk kepala pemerintah wilayah, yang di tempatnya
mengangkat wakil bupati dan kepala nagari, yang menyerahkan pengangkatan kepala rendahan
kepada kepala Afdeling. Karena pemerintah dalam pemilihan ini tidak jarang memiliki hak veto,
orang sering melihat prinsip berbeda bahwa mereka akan diangkat menjadi bupati, yang
kepentingan pribadinya kadang-kadang tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah.
Sebagai contoh bisa diajukan apa yang terjadi pada bulan 0ktober 1880 dalam pemilihan bupati
Batamata ketika wakil bupati yang rajin dan pandai Bara Daeng Marapung harus mengalah dengan

8
. Ibid

18
seseorang yang suka berjudi dan menghisap candu, teman dari seorang haji yang sangat fanatik,
yang menjadi rekannya.
Gaji dari para bupati Selayar berfariasi sesuai dengan tingginya tingkat
penghasilan daerah masing-masig, misalnya:Kepala daerah Tanete sejumlah f 75 per bulan,
Batamata f 95, Buki f 50, Boneya f 100, Benteng f 60, Bontobangun f 125, Balabulo f 50, Layolo f
80, dan Barang-Barang f 30. Sedangkan gaji wakil bupati dan gallarang berdiri sendiri tidak
menerima gaji dari negara seperti Oderafdeling Bonerate. Para bupati diberikan hak
menggunakan tanah apanase seperti kebun, kolam dsb. Selain itu mereka memiliki rumah dinas
atau rumah pusaka. Namun tanah apanase dianggap sebagai barang warisan sebagai akibat dari
kondisi bahwa sering putra atau kerabat lain yang dekat dari bupati dipilih dan diangkat menjadi
penggantinya. Meskipun tanah apanase atas perintah Gubernur J.A. Bakkers, namun sayang sekali
tidak diukur, atas alasan pemiliknya karena kekurangan uang atau telah digadaikannya.9
III
Kekautan ekonomi Selayar adalah kopra. Terjadi perubahan penting dalam perdagangan
Selayar terjadi pada tahun 1946, ketika masa-masa kesulitan pengangkutan kopra seusai perang.
Para pedagang Selayar yang memiliki perahu berperan besar dalam pengangkutan kopra dari
berbagai pulau. Para pedagang mulai mencari jalan untuk mengakut kopra akibat sulitnya
pengangkutan. Jumlah pengangkutan kopra dari Selayar pehau ke Makassar terus meningkat yaitu
sekitar 20 % sebelum perang naik menjadi sampai 40 % setelah perang. KPM yang sebelumnya
memonopoli pengangkutan antar pulau belum sepenuhnya aktif.. Setelah KPM merubah kebijakan
pengangkutannya, menawarkan potongan harga tajam dan fasilitas tambahan kepada para
pedagang kopra andil perahu dalam pengangkutan kopra mulai menurun yaitu hanya bisa
menguasai sampai 25 % .10

Ketika harga kopra naik pada tahun 1947 para para petani kelapa dengan menjual
kopra ke pasar-pasar, tidak hanya melalui Coprafonds, tetapi juga para pedagang perantara yang
tidak terikat kontrak dengan pihak Copafonds. Dalam kondisi demikian ketika para pedagang
berusaha mengangkut sejumlah kopra ke Makasar, perkapalan KPM tentu saja memiliki
keunggulan. Namun ketika masa NIT mencapai puncaknya para perahu dan KPM sama-sama
9
H.E.D. Engelhard,1884 Dalam Mededeelingen over het Eiland Seleijer” Dalam : BKI
N0.8. hal 263-510.

10
Nederland Handel Maatschappij Makassar 1946

19
bersaing mengangkut kopra. Bahkan kopra dari Selayar pada periode tersebut kapal layar banyak
mengapalkan kopra ke Makassar, yaitu hampir dua kali lipat bila dibandingakan dengan sebelum
perang. Besarnya peluang perahu layar mengankut kopra pada masa NIT disebabkan oleh minimal
dua sebab. Pada masa NIT pemerintah membuka akses sebesar-besarnya bagi banglkitnya
pelayaran rakyat, kedua , para petani kelapa atau pedagang perantara yang luput dari kontrol
pejabat

Di Selayar perkebunan kelapa menciptakan pengaruh besar bagi para haji


Batangmata untuk menghidupkan kembali perkapalan perahu. Armada Batangmata jauh lebih kecil
daripada pulau Bonerate yang terletak di selatan di mana 60 lambo berlayar secara rutin ke
Sumbawa, Flores, Alor, Makasar dan Jawa. Tokoh sentral pemilik perahu Selayar adalah Haji
Eppe, yang bertempat tinggal di Bira, pusat pembuatan perahu . Haji Eppe pindah ke Batangmata
dan setelah mengawini seorang gadis anak pedagang kaya di Selayar . Aktivitas niaga Haji Eppe
yang pernah memiliki 20 perahu berbobot 50 ton dan sebuah gudang dengan daya tampung 36 ton,
bergabung dengan saudara-saudaranya Haji Makki untuk pengapalan kopra ke Makasar, Surabaya.
Opu Batangmata, Baso Bira Daeng Manguntungi sendiri juga memiliki sebuah perahu. Salah satu
tujuan penting perahu mereka adalah Maluku tempat ekspor tekstil dan mengangkut kopra untuk
diekspor ke Singapura.

Tinjauan akhir

Selayar yang kita kenal hingga hari ini adalah suatu pulau yang sangat besar
peranannya sepanjang sejarahnya. Bukan saja dalam berbagai dinamika politik dalam perebutan
kekuasan di Sulawesi Selatan tetapi juga mengcakup politik ekonomi regional di Indonesia bagian
Timur. Pengaruh kerajaan Ternate sangat besar pada saat-saat proses Ilmisasi di Selayar. Gowa
yang merupakan pusat cahaya kebenaran merasa haknya diambil alih oleh Kerajaan Ternate.
Itulah sebabnya berbagai naskah lokal menggambarkan bahwa cahaya kebenaran bukan muncul
dari Ternate dan Gowa, akan tetapi tetapi melalui hubungan langsung dengan dunia Arab.
Dikisahkan bahwa Husain cucu nabi Muhammad pernah mengungjungi langsung pualu Selayar
untuk mengislamkan daerah kepulauaan itu. Lebih lanjut dikatakan bahwa sumber cahaya
kebenaran bukan datang dari Gowa, Ternate tetapi dari Tanah Arab secara langsung. Karena itu
Selayarlah yang menyinari kerajaan Gowa dan Ternate

20
Makassar, 14 Juni 2005

Dr. A. Rasyid Asba, MA

Kontak: Jurusan ilmu Sejarah Unhas

0411- 589-700 - 0813 10301354

DAFTAR PUSTAKA

Arsip Nasional Republik Indonesia, Ikhtisar Keadaan Politik Hindia


Belanda Tahun 1839-1848, Penerbitan sumber-sumber sejarah, Jakarta 1973

Andaya, Leonardd Y, The Kingdom of Johor 1641-1728, London,


1975,

____________,Pandangan Arung Palakka Tentang Desa Dan Perang


Makassar 1666-1669, (ed), Dari Raja ali Haji Hingga Hamka, terjemahan,
Anthony Reid & David Marr, 1983.

21
Abdurrahim dan Wolholff, G.J, “Sejarah Goa”, Bingkisan, Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara, tanpa tahun

Abdul Razak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, Yayasan Kebudayaan


Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1969.
____________, Sejarah Wajo, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan
dan Tenggara, 1964.

Adatrechtbundels, XXXI Celebes, Is-Gravenhage: Martinus Nijhoff,


1929.

Andi Mappanyukki, Lontara Gowa Bone, Koleksi Yayasan


Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Andi Zainal Abidin Farid, Wajo Pada Abad XV-XVI, Tesis Doktor,
UI, 1979.
__________________,“Butir-butir Kata Berhianat Negarawan-
negarawan Bugis-Makassar Tentang Kepemimpinan dan Kesusilaan
Pemerintah Dari Abad ke XV Sampai Abad ke XVII”, Tentang
Kepemimpinan Dan Pemerintahan, (ed), KOPERTI VII, Ujung Pandang
1973.
__________________, Lontara sebagai sumber Sejarah Hukum Adat
Bugis-Makassar”, LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) no. 15
tahun V, 1972.

Chabot, H. Th. 1950. Verwantschap, Stand en Sexe in Zuid-Celebes.


Groningen/Jakarta: J.B. Wolters.

Ch. Pelras, Sulawesi Selatan Sebelum Datangnya Islam Berdasarkan,


Kesaksian Bangsa Asing dalam Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta: Sinar
Harapan, 1983.

Crawford, J. 1820. History of the Indian Archipelago. 3 vols.


Edinburgh: Constable

22
Crawford, J. 1820. History of the Indian Archipelago. 3 vols.
Edinburgh: Constable.

Friedericy, H. J, “De Standen bij de Boegineezen en Makassaren”,


dalam Bijdragen Tot De Taal, Land en volkenkunde in Nederlandsh Indie
deel 90, Martinus Nijhoff, sGravenhage, 1963.

Hamid Abdullah, “Pandangan Hidup Dan Kepemimpinan


Masyarakat Bugis Asli”, Purba, Persatuan Musium Malaysia, Kuala
Lumpur, 1982.

Harry A. Poeze en Pim Schoorl, Excursies in Celebes. KITLV


Uitgeverij Leiden 1991

J.M. Nas, Peter. The Indonesian City. Foris Publications


Holland.1986

Massiara Daeng Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di


Sulawesi Selatan, Jakarta : Yayasan Bhineka Tunggal Ika, 1988.

Mangemba, H.D, Kenalilah Sulawesi Selatan, Jakarta : Timun Mas,


1954, 1956.

Mattulada, LATOA, Tesis Doktor, UI, 1975. Belum diterbitkan.

______________, Menyelusuri Jejak kehadiran Makassar Dalam


Sejarah . Bhakti Baru. 1982.

_______________,“Kepemimpinan Orang Makassar”, Berita


Anthropologi, UI, Jakarta, 1977.

________________,“Pre-Islamic South Sulawesi”, (ed) Dynamics of


Indonesian History, Amsterdam, 1978.

23
________________,“Elite di Sulawesi Selatan”, Perpustakaan Nasional,
No. 2, th. I, 1974.

_______________,“Some Aspect of Macassar-Bugines Historography”,


(ed), Historians of sortheast Asia, OUP, London, 1962.

Noorduyn, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Kristen Indonesia,


1964.

Sartono Kartodirdjo, The Peasant’s Revolt of Banten in 1888, Martinus


Nijhoff, 1966.

________________,“Kepemimpinan Dalam Sejarah Indonesia”,


Perpustakaan Nasional, no. 1, 1974.

________________,“Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan


Kolonia”, Lembaran Sejarah, no. 4, 1969.

Tobing, Ph. O.L, Hukum Pelayaran Dan Perdagangan


Amannagappa, Makassar, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan
Tenggara, 1961.

Paliheng DG. Mangatta, Lontarak Bulo-Bulo Koleksi Pribadi.

Petta Bau, Lontarak Tondong dan Bulo-Bulo, Koleksi pribadi.

Pelras, C. 1981. Celebes-Sud avant I’Islam selon les premiers


temoignages etrangers. Archipel 21: 153-84.

Pires, T. 1515. The Suma Oriental of Tome Pires, trans. Armando


Cortesao. 2 vols. London :Hakluyt Society, 1944.

24
Poelinggoman ,L. Edward” Proteksi dan Perdagangan Bebas Kajian
Tentang Perdagangan Makassar Pada Abad ke-19, Academisch Proefschrift
Vrije Universiteit Amsterdam, 1991

Rasyid,Abdul, “ Produksi dan Kebijakan Ekspor Kopra Makassar”


Tesis Universitas Indonesia, 1992

_________________,1979. Trade and State Power in 16th and 17th


Century South East Asia. Proceedengs of the Seventh IAHA Conference,
Bangkok, 22-26 August 1977 1 : 391-419 Bangkok : International Association
of Historians of Asia.

1980. The Structure of Cities in southeast Asia, Fifteenth to


Seventeenth Centuries. JSEAS 11, 2 : 235-50.

Reid, Anthony ed, Slavery, Bondage dan Dependency In Southeast


Asia. University of Queensland Press,1993

Reid Anthony, Southeast Asia in The Age of Commerce 1450-1680


Yale University 1993.

Sepuluh jalur dilayani oleh KPM dari Makassar. Jalur-jalur itu disediakan
makanan dan bahan bakar. Jalur itu antara lain sepanjang pantai utara Pulau Sulawesi
yaitu Sangirir dan Talaud ( Jalur 19/20), lama perjalannnya dari Makassar memakai

25
waktu dua minggu, jalur juga ke utara melalui Menado dan Ternate ke pantai selatan
Minahasa, Gorontalo dan pantai Teluk Tominit (jalur 18) juga memakai waktu selama
dua minggu. Selain itu adalah sepanjang pantai selatan dan timur Sulawesi melalui selat
Buton, Teluk Tomori, Kolonedale, Banggai sampai Gorontalo (jalur 21) jalur itu
memakai waktu 4 minggu dari Makassar. Jalur yang lain dari Makassar ke Indonesia
Timur Linnya adalah Selayar, Ternate ke pantai utara New Guinea, Manokwari hingga
teluk Humboldt (jalur 31), pelayaran empat minggu lewat Ambon dan Banda menuju
New Guinea Barat, Merauke dan Aru serta kepulauan Tanimbar dan Kisar dekat Timor
(jalur 27/29) lama perjalan dari Makassar ketempat itu memakan waktu 4 minggu.
Selanjutnya sebuah jalur yang memakai waktu perjalanan 2 minggu dari Makassar
adalah kepulauan Sunda Kecil, Bima, Sumba, Endeh sampai Kupang dan Dilly (jalur
24). Selain jalur antar pulau di atas juga terdapat jalur-jalur sepangjang pantai Sulawesi
Selatan seperti jalur yang terletak disebelah utara Makassar (17B, 22) seperti Pare
Pare,Bone, Palima dan Palopo, jalur yang terletakan pesisir Timur Sulawesi Selatan
seperti Jeneponto, Bonthain, Selayar, Bulukumba dan Balangnipa, jalur disebeah barat
( jalur 13) Donggala dan Pare Pare, Mandar pantai timur Borneo Samarinda dan
Balikpapan memakai waktu selama seminggu dari Makassar11 .
Peraturan dinas pelayaran pertama yang diberlakukan bagi perkapalan pada
tahun 1891 hanya menyangkut sebuah jalur yang besar yaitu Maluku dan Makassar (jalur
9 dan 14), yang setiap dua minggu dari Surabaya menuju Makassar, kemudian
berkembang menyinggahi Kupang dan Dilli, Banda, Ternate, Gorontalo. Selain itu
sebuah pelayaran sekali setiap empat minggu (jalur 10) melalui teluk Bone dan di
sepanjang Buton hingga Kendari, dan saat lain lagi (jalur 11) kepulauan Sunda Kecil
sampai Timor; kemudian sebuah pelayaran delapan minggu lewat Ambon dan Banda
menuju New Guinea barat dan kepulauan tenggara serta barat daya (jalur 12) dan sekali
setiap 12 minggu dari Ambon menuju pantai utara New Guinea hingga teluk Humboldt
dan kembali lagi untuk kemudian menuju pantai selatan sampai 141 o BT dekat Merauke
(jalur 13).12
Jalur 10 (sepanjang Teluk Bone, Jampea Selayar , Buton hingga Kendari, secara
bertahap berkembang sampai ke jalur 21 yaitu ke Tombuku , Gorontalo , Kepulauan
11
AND, KPM Makassar. Kode .2.2058.01. no. Inv.89
12
J.C. Westermann, Op-Cit, hal 238

26
Sula dan kepulauan Banggai. . Jalur 12 (Sunda Kecil sampai Timor terus Ambon dan
Banda menuju New Guinea barat) dan Asia Timur tumbuh dengan pesat . Pada tahun
1908 jalur ini dimekarkan menajadi jalur 13a di New Guinea Barat dan pulau-pulau
dekatnya, jalur 13b melalui Ternate di pantai New Guinea Utara sampai Teluk
Humboldts dan ketiganya ditarik dalam pelayaran sekali setiap empat minggu ke
Singapura. Pemekaran itu didarkan atas munculnya berbagai komoditi kopra yang sering
mengalami kesulitan pengkutan13

13
Ibid , hal, 240

27

Anda mungkin juga menyukai