Anda di halaman 1dari 20

Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten

Nama: Dea (191370018)

Jurusan Ilmu Hadits Fakultas Ushuluddin dan Adab

Universitas Islam Negri Sultan Maulana Hasanuddin Banten Tahun 2020

Email: dea13102001@gmail.com
ABSTRAK

Terlebih dulu akan kita ikuti lebih lanjut cerita-cerita Portugis sebelum
membandingkannya dengan cerita anak negeri untuk melihat atau menarik kesimpulancdari
perbandingan-perbandingan. Tentang kerajaan Sunda yang kecil, tetapi sedang berkembang itu,
yang banyak mengeluarkan lada di mana rajanya mencari persahabatan dengan orang Portugis,
telah dapat diceritakan oleh Barbosa (1516).1 Barros pun mengatakan, bahwa setelah direbutnya
Malaka oleh Alfonso d’Alboquerque pada tahun 1511, maka Sangiang Sunda sebagaimana juga
raja-raja Indonesia lainnya, mengadakan hubungan dengan orang Portugis.

Dalam uraian umumnya tentang Sunda ia menceritakan kekhususan-kekhususan yang


berikut. Pendalamannya lebih bergunung-gunung daripada pendalaman Jawa. Pelabuhan-
pelabuhan yang terutama enam jumlahnya, yaitu Chiamo, Xacatra, yang juga disebut Caravam,
Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam, dengan pelabuhan-pelabuhan mana orang Portugis
mempunyai lalu lintas perdagangan.2 Ibu kotanya disebut Daio dan terletak sedikit ke pedalaman.
Ketika Henrique Leme mengunjungi pulau itu, kota itu mempunyai, menurut kepastian orang,
50.000 penduduk dan kerajaan itu mempunyai 100.000 orang tentara. Tetapi oleh karena
peperangan dengan orag Mor, jumlah tersebut sangat berkurang. Negeri itu sangat kaya dengan
bermacam-macam makanan. Penduduknya tidak begitu suka kepada peperangan, tetapi hidupnya
ditekankan kepada penyembahan dewa-dewa mereka. Mereka banyak mepunyai kuil-kuil untuk
menyembah dewa-dewa itu. Mereka itu mush-musuh besar orang-orang Mor, lebih-lebih setelah
mereka ditaklukan oleh seorang Sangue de Pate de Dama.

1
Barbosa, edisi tahun 1867, halaman 368
2
Yang terbanyak nama-nama itu mudah dikenal kembali dan telah pula diidentifikasi oleh Veth (Jaya I, halaman
278).
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam disertasi ini akan dicoba memberikan suatu sumbangan baru kepada pengetahuan
tentang penulisan sejarah Jawa, yaitu dengan jalan menganalisa sebuah kitab sejarah, Sajarah
Banten atau Babad Banten.3 Karena dua sebab kronik ini di pandang dari sudut historis dan
historiografis menarik perhatian. Memang kronik ini merupakan kronik Jawa yang tertua yang
kita kenal, dan sekalipun tentu saja untuk sebagian besar menguraikan sejarah Banten, kronik ini
pun berisikan tradisi-tradisi tentang sejarah yang lebih tua dan tentang kurun zaman di
Islamkannya tanah Jawa, yang kadang-kadang menyimpang dari apa yang dijumpai tentang itu
dalam kronik-kronik lain. Memang tentang ini telah ditunjukkan oleh Dr. Brandes dalam
karangannya “Yogyakarta” di dalam TBG, XXXVII, halaman 426. catatan, dan didalam
Pararaton, halaman 112, catatan.

Arti Sejarah Banten ini kita harapkan sekarang menonjolkannya dengan cara yang berikut
ini. Mula-mula kita akan menguraikan secara luas tentang isi kronik ini. Uraian yang singkat
tentang isi kronik ini telah diberikan oleh Prof. Vreede dalam karyanya “Catalogus van de
Javaansche en Madoereesche handaschriften der Leidsche Universiteitsbibliotheek” halaman
112-119, sedangkan beberapa ikhtisar isi telah diumumkan oleh Dr. Brandes, yaitu dalam
Pararaton, halaman 113-116 dan dalam TBG, XLII dengan judul “Een hofreis naar Mataram
omen bij 1648 A.D.”

Bab kedua akan berisi suatu tinjauan historis atas keterangan-keterangan kronik tentang
sejarah Banten, sedangkan bab terakhir tradisi-tradisi yang secara historis tidak dapat diuji akan
diperbandingkan dengan tradisi-tradisi yang bersamaan dari kronik-kronik lain. Di samping itu,
perbandingan itu akan memberikan juga kesempatan kepada kita untuk mengetahui satu dan
lainnya tentang penulisan sejarah Jawa. Tetapi sebelum kita mulai melaksanakan rencana
tersebut, patutlah terlebih dahulu kita menetapkan waktu ditulisnya serta memberikan ciri kepada
bentuk kronik itu.

3
Dengan “Jawa” dimaksud di sini dan selanjutnya adalah Jawa Baru dengan tidak memasukkan Jawa Kuno dan
Jawa Pertengahan
Dari naskah-naskah Sejarah Banten yag saya ketahui adanya, dapatlah kita teliti naskah-
naskah yang di bawah ini:

A. Naskah kepunyaan Prof. Snouck Hurgronje; dalam pegon (tulisan Arab tanpa harakah);
bentuk tulisannya kuno; sebagian besar permulaannya dan penghabisannya hilang; ternyata
dari catatan Prof. Snouck Hurgronje, diterima pada tahun 1892 dari Bupati Serang pada
waktu itu.
B. Naskah koleksi Brandes no.86, pada Bataviaasch Genootschap; dalam pegon; salinan suatu
naskah yang dipinjamkan pada akhir tahun 1890 dari Banten; isi teksnya sama benar dengan
teks pada A.
C. Naskah kepunyaan Prof. Snouck Hurgronje; dalam pegon; dengan teks yang boleh
dikatakan cacat yang sejalan dengan teks naskah-naskah tersebut di atas; apa yang tidak ada
di situ, untuk sebagian besar ada disini; tetapi naskah ini mempunyai kekurangan-
kekurangan lain; menurut catatan Prof. Snouck Hurgronje diterima pada tahun 189 dari
Bupati Serang pada waktu itu.
D. Naskah kepunyaan saya sendiri; diterima dari Banten dalam pegon; redaksinya juga
berlainan; ternyata dari bait penutupnya, sebuah salinan, dimulai hari Senin 26 Sja’ban
tahun Ehe, menurut sebuah naskah asli dalam tulisan Jawa yang diselesaikan pada hari Rabu
9 Ruwah tahun Be, 1144 H, yaitu 6 Februari 1732.
E. Naskah kepunyaan Prof. Snouck Hurgronje; dalam pegon; menurut catatan Prof. Snouck
Hurgronje sebuah salinan, dibuat pada tahun 1892, menurut sebuah naskah tua dalam tulisan
Jawa; berisi redaksi sama dengan D; tetapi bait penutuf D dengan penanggalan Senin 26
Sja’ban tahun Ehe tidak terdapat di sini, namun ada penanggalan penyelesaian kronik itu.

Sebuah naskah tua Sejarah Banten dalam tulisan Jawa yang dipandang sebagai keramat,
dengan menyesal tak dapat saya teliti. Untunglah, berkat sebuah foto sehalaman naskah itu yang
dimiliki Prof. Snouck Hurgronje, redaksi naskah itu dapat ditetapkan. Menurut halaman itu
naskah tersebut mempunyai redaksi yang sama dengan E. boleh jadi E sendiri merupakan
salinan dari naskah itu, yang tentu adalah naskah asal yang telah diselesaikan pada tanggal 6
Februari 1732.4

4
Naskah Add 12300 British Museum oleh Mr. S. Keyzer disebut “ Geschiedenis van Bantam”, menurut judul Inggris
yang ada di situ, menurut penyelidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Isi Sejarah Banten
Diceritakanlah sekarang tentang seorang yang keramat, yang Bapaknya berasal
dari Yamani dan ibunya dari Bani Israil. Dari Mandarsah ia datang di Jawa, yaitu
Pakungwati, untuk mengIslamkan daerah ini. Ia mempunyai dua orang anak; seorang
perempuan (yang tua), dan seorang laki-laki bernama Molana Hasanuddin. Dengan
anaknya yang laki-laki ia berangkat ke arah Barat, tiba di Banten Girang, lalu terus ke
selatan, ke Gunung Pulosari. Di situ ada perkampungan yang penghuninya persis 800
ajar. Mereka itu dikepalai oleh Pucuk Umun, perkataan mana berarti Panembahan. Pucuk
Umum mengetahui, bahwa ia harus memberikan kedudukannya kepada orang lain, dan
bahwa di Pakuwan tidak ada lagi raja-raja, hanya bupati-bupati saja. Karena itu
menghilanglah ia.
Molana Hasanuddin berkelanalah di hutan-hutan dan di atas Gunung Pulosari, dan
ia pun tibalah di sebuah pertapaan yang ditinggalkan. Ketika bapaknya datang
kepadanya, dikatakan kepadanya, bahwa pertapaan itu adalah pertapaan Brahmana
Kadali. Sesudah memberikan pelajaran kepada anaknya dalam berbagai cabang
pengetahuan Islam dan mempercayakan dia kepada 2 orang jin, Santri namanya, yang tak
dapat dilihat oleh orang lain, kembalilah ia ke Pakungwati. Ke 800 ajar yang karena
lenyapnya pemimpin mereka berada dalam kecemasan, menghadap Molana Hasanuddin
dan mengakui dia sebagai Pucuk Umun mereka, tuan mereka.
Molana Hasanuddin tetap berkeliling, sekali melakukan tapa di Gunung Pulosari,
dan sekali di Gunung Karang dan Gunung Lor. Sekali ia menyebrang ke Panahitan, dan
ditemukannya di laut sebuah gong yang dibawanya serta. Sesudah 7 tahun ia hidup
begitu, ia mendapat kunjungan Bapaknya dari Carebon. Dengan Bapaknya, dibungkus
dan dibawa dalam pakaiannya, ia naik haji ke Mekah. Setelah mereka itu melakukan apa
yang perlu, kembalilah mereka, dan dalam perjalanan mereka singgah di Malangkabo.
Dari raja negeri itu Sunan Gunung Jati mendapat sebilah keris, yang disebut Mundarang,
dan diberikannya keris itu kepada anaknya. Sudah itu ia melanjutkan perjalanannya ke
Carebon, sedangkan anaknya tinggal di Banten.
Sandisastra bertanya, dengan cara bagaimana Sunan Gunung Jati pergi ke Mekah
itu. Sandimaya menjawab, bahwa ia tak seharusnya menanyakan itu tidak ada
diceritakan, bahwa sunan itu melakukan perjalanan hajinya dengan perahu atau sesuatu
yang lain, berkat rahmat Allah setiap perjalanan wali berlalu dengan selamat. Setelah
nasihat terhadap keinginan tahunya ini, menanyakan saja tentang peristiwa-peristiwa
seterusnya.
Hasanuddin memerintahkan para ajar untuk mencari tempat yang baik untuk
menyabung ayam. Sebuah tempat di Gunung Lancar dipilihlah dan dipersiapkan. Banyak
orang datang melihat ke situ, dan begitu juga 2 orang ponggawa dari Pakuwan, bernama,
Ki Jongjo.5 Mereka menganut agama Islam dan bekerja pada Hasanuddin. Waktu itu
Hasanuddin berusia 20 tahun.
Kemudian ia menaklukan Banten Girang, yang untuk kejadian itu diberikan 2
buah sangkala, yaitu brasta gempung warna tunggal dan ilang kari warna lan nagri.
Kemudian disuruhnya para ajar itu kembali ke Gunung Pulosari, karena jika gunung itu
tetap tidak berpenduduk, maka hal itu merupakan tanda bagi keruntuhan Tanah Jawa.
Sebagai pemimpin diangkatnya ajar Panandahan Mepek. Ia sendiri menetap di Banten
Girang, dan memberi pelajaran tentang Islam kepada pengikut-pengikutnya. Setelah
beberapa lama kemudian, datanglah seorang pesuruh dari bapaknya yang mengundang
dia ke Carebon. Sebagai penjaga-penjaga kota selama ia tidak ada itu, ditinggalkannya Ki
Jongjo dan Ki Santri.
Di Carebon para wali duduk bersama-sama. Pangeran Kali Jaga mengusulkan
untuk melamar puteri Sultan Demak bagi Hasanuddin yang ketika itu berusia 27 tahun.
Untuk itu Molana Bagdad mengirimkan Pangeran Panjunan ke Demak. Lamaran tersebut
diterima dengan baik, dan Sultan sendiri datang ke Carebon untuk menjemput bakal
menantunya. Selanjutnya, setelah tiba kembali di Demak, selagi orang menanti waktu
yang membawa kemujuran untuk suatu perkawinan, pernyataan mana oleh penulis kronik
dipakai sebagai pangkal untuk menguraikan tentang arti pelbagai bulan bagi
melangsungkan sesuatu perkawinan - datanglah menyerbu Raja Majapahit. Raja
Majapahit dikalahkan dan ia sendiri gugur. Tetapi juga seorang wali-wali meninggal

5
Jongjo rupanya nama seorang dari kedua ponggawa itu, karena selanjutnya nama itu digunakan sebagai nama
seorang saja. Tradisi yang kemudian telah menceraikan nama itu dan menyebut berturut-berturut sebagai Ki Jong
dan Ki Jo.
dunia dalam pertempuran itu, yaitu Molana Rahmat. Setelah kemudian perkawinan
dilangsungkan, dan kedua mempelai itu selama empat bulan berada di Demak, orang pun
pergi ke Carebon. Hasanuddin, atas usul orang tuanya, dinobatkan menjadi raja dengan
gelar Panembahan Sorasowan, dan kembali bersama penggantinya ke Banten. Atas
permintaan Sunan Gunung Jati, sultan Demak menyuruh orang-orang Majapahit yang
tertangkap di bawah Raden Sepat atau Sapet di Carebon membuat suatu pemakaman
untuk para wali. Yang pertama dimakamkan di situ adalah Pangeran Panjunan.
Hasanuddin melanjutkan pekerjaan peng-Islaman di Banten. Segau singgasananya
ia mempunyai sebuah batu yang besar dan rata, yanhg diduduki Batara Guru Jampang
ketika melakukan tapanya. Demikian tidak bergeraknya ia duduk di batu itu, sehingga
dalam ketunya, ikat-kepalanya, burung-burung emprit (pipit) telah membuat sarangnya.
Sekarang ia telah masuk Islam.
Hasanuddin mendapat seorang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki yang
berturut-turut bernama Ratu Pambayun, Pangeran Yusup dan Pangeran Arya. Ratu
Pambayun dinikahkan dengan seorang saudara misan Molana Bagdad, bernama Ratu
Bagus Angke, yang di tempatkan di Angke. Pangeran Arya diminta oleh Sultan Demak
dan dipercayakan kepada bibinya, Ratu Japara, dan karena itu ia disebut Pangeran Japara.
Selanjutnya, Hasanuddin bersama Ratu Balo dan Ki Jongjio melakukan
perjalanan ke Lampung, Indrapura, Sulebar dan Bengkulu. Raja Indrapura
mempersembahkan seorang anak laki-laki, yang bernama Pangeran Wetan. Dari
Pangeran Ratu (puteri Demak), ia mendapat lagi anak laki-laki yang berikut: Pn.
Sunyararas, Pn. Pajajaran, Pn. Pringgalaya, dan seorang anak perempuan, Ratu Agung,
juga disebut Ratu Kumadaragi, dan dari selir-selirnya: Pn. Wahos, Pn. Lor, Ratu Rara,
Ratu Keben, Ratu Terpanter, Ratu Wetan dan Ratu Biru.
Selanjutnya diceritakan tentang masuk-Islamnya Susuk ing Lontar, dan kemudian
tentang kedatangan Sunan Gunung Jati di Banten.
Sunan Gunung Jati datang bersama Molana Judah. Ia menyuruh anaknya untuk
mendirikan sebuah kota di pantai, dan diberinya petunjuk, di mana dalem (istana), di
mana pasar, dan di mana alun-alun harus dibangun. Terutama sekali watu gigilang tidak
boleh dipindahkan dari tempatnya, karena hal itu berarti jatuhnya negeri itu. Selanjutnya
dianjurkan kepada anaknya untuk menyerang mereka yang tidak percaya di pedalaman
dan untuk mendirikan sebuah pertapaan di Gunung Pinang. Sesudah itu kembalilah ia ke
Gunung Jati, sedangkan Molana Judah tinggal.
Hasanuddin sekarang mengumpulkan rakyatnya. Di antara pemimpin-
pemimpinnya disebut Utama Diraja, Ki Mahapatih, Senapati Demak Bulu Kanduruhan
Pase, Dipati Teguh Sela, Ki Lasakmana, Ki Ketib Panjang Raja, Raja Balo, Ki Danureja,
Sahbandar Keling. Ki Jongjo mengambil tugas untuk menduduki Pakuwan yang
merupakan ekspedisi itu. Putera-putera Panembahan pun turut serta, kecuali Pn. Japara
dan Ratu Bagus Angke (menantu). Yang terakhir ini ditinggalkan untuk menjaga kota. Di
bawah pengawasan Molana Judah tentara itu berangkat dan sepanjang seluruh perjalanan
disertai oleh doa-doanya menuju terus sampai di Parungsiaji atau Parungkiaji tempat
mereka membangun perkemahan. Pemberangkatan itu terjadi pada hari Ahad 1
Muharram, tahun Alip, sangkala, bumi rusak rekeh atau mangke iki.
B. Tinjauan Sejarah
Sebagaimana dapat dilihat dalam bab yang terdahulu, isi Sejarah Banten, yang
membicarakan sejarah tersebut, dimulai dengan kedatangan Hasanuddin dan bapaknya di
Banten. Untuk sesuatu uraian sejarah, hanya bagian terakhir inilah yang dapat dilakukan.
Jadi inilah yang sekarang akan kita bicarakan.
Pada tahun 1522 Jorge d’Alboquerque, gubernur Malaka, mengutus Henrique
Leme dengan hadiah-hadiah yang diperlukan kepada raja Sunda, Raja Samiam namanya,
untuk menjalin hubungan dagang dengan dia. Tiba di pelabuhan Sunda, Henrique Leme
diterima dengan baik oleh raja yang mempunyai kepentingan untuk bersahabat dengan
orang-orang Portugis, baik untuk mendapatkan bantuan dari mereka dalam
perjuangannya terhadap orang Mor (maksudnya orang-orang Islam), maupun untuk
kepentingan perdagangan.
Pada tanggal 21 Agustus 1522 diadakanlah suatu perjanjian: raja Sunda
memberikan izin kepada orang-orang Portugis untuk membangun sebuah benteng; raja
akan memberikan kepada mereka berkapal-kapal lada sebanyak mereka inginkan, sebagai
tukaran barang-barang yang diperlukan oleh negri itu, lain dari itu sebagai pernyataan
persahabatan, dari hari mereka mulai membangun benteng itu, raja akan menghadiahkan
setiap tahun 1.000 karung lada, yaitu 351 sentenar, kepada raja Portugal. Dari pihak anak
negeri, yang menjadi saksi perjanjian itu adalah Mandari Tada, Tamungo Sangue de Pate
dan Bengar, syahbandar Sunda. Kepada ketiga orang ini, yang menjadi orang-orang
terutama dalam negeri itu, raja memberikan perintah supaya mennjukkan kepada
Henrique Leme tempat bagi benteng itu dan bagi tugu peringatan guna menguatkan
perjanjian itu.
Dengan suatu pesta besar, baik dari pihak orang Portugis maupun dari pihak anak
negeri, tugu batu itu dibangun pada muara sungai sebelah kanan di sebuah tempat yang
disebut Calapa. Membangun sebuah tugu peringatan merupakan suatu kebiasaan bagi
orang-orang Portugis, setelah mereka menduduki sebuah daerah yang baru mereka
temukan. Dari perjanjian itu dibuat dua helai turunan, satu untuk Samiam, dan satu yang
juga ditandatangani oleh raja, untuk Leme. Setelah selesai satu dan lainnya, dan kedua
belah pihak telah bertukar-tukaran hadiah, kembalilah Leme ke Malaka. Jorge
d’Alboquerque dengan segera mengirimkan kabar kepada raja Portugal tentang apa yang
telah dilakukannya, yang menurut pandangannya untuk kepentingan Malaka, tanpa
meminta izin terlebih dulu dari raja. Raja Portugal menerima baik hal itu, dan ketika pada
tahun 1524 wakil raja, Conde Almirante (yaitu Vasco dan Gama), akan berangkat ke
India, ia memberikan perintah kepadanya untuk membangun benteng itu dengan segera di
bawah pimpinan Fransisco de Sa, yang turut bersama dengan dia. Akan tetapi wakil raja
itu dengan segera meninggal dunia dan penggantinya Henrique de Menezes, mengangkat
Fransisco de Sa dipecat, karena kewajibannya adalah sesuatu yang lain. Ia menyuruh
persiapkan sebuah armada, yang terdiri dari dua buah galyun, sebuah gale, sebuah
galeota, sebuah caravella, dan sebuah brigantin.
Dengan kapal-kapal ini Fransisco de Sa berangkat. Di tengah pelayaran ia
menyatukan diri dengan Pero Mascarenhas yang sedang dalam perjalanan menyerang
Bintang,6 dan baru setelah ekspedisi itu berakhir (yakni akhir 1526) ia terus ke Sunda.
Oleh karena topan, kapal brigantine di bawah Duarte Coelho tercerai dari kapal-kapal
lainnya dan terkandas di pelabuhan Calapa. Awak-kapal awak-kapalnya dibunuhi oleh
orang-orang Mor (Islam) yang berkuasa di sana sejak beberapa hari, setelah mereka
merebut kota itu dari tangan raja kafir, sahabat orang-orang Portugis. Orang Mor yang
merebut kota itu adalah seorang dari keturunan rendah, namanya Faletehan dan dari
kelahiran Pasai di Sumatra.

6
Maksudnya, Bintan, salah satu pulau di gugusan Kepulauan Riau (penyalin)
Ketika orang-orang Portugis merebut kota ini (yaitu tahun 1521), ia pergi ke
Mekkah, dan di sana selama dua atau tiga tahun melakukan telaah-telaah keagamaan;
setelah itu ia kembali lagi ke Pasai. Karena melihat daerah itu tidak sesuai baginya untuk
menyiarkan Islam oleh karena adanya benteng Portugis di situ, ia pergi ke Japara dan
mengaku sebagai kadi Nabi Muhammad saw. Ia meng-Islamkan raja dan banyak orang
lainnya. Bahkan ia mendapat seorang adik raja sebagai isteri. Dari sana ia berangkat
dengan izin raja ke “Bantam, stad van Sunda” untuk melanjutkan pekerjaan peng-
Islamannya. Ia diterima dengan baik, Kepala pemerintahan kota masuk Islam dan
memberikan kepadanya fasilitas-fasilitas yang perlu untuk menyiarkan agamanya lebih
lanjut. Faletehan yang melihat betapa baik keadaan untuk rencana-rencananya.
Sifat kota itu yang membantu, raja negeri yang berkediaman di pedalaman,
meminta kepada iparnya, raja Japara, untuk mengirimkan istrinya dan beberapa pasukan
kepadanya. Raja Japara mengabulkan permintaan ini dan mengirimkan 2.000 orang.
Ketika tuan rumah Faletehan melihat orang-orang Jawa, ia memberitahukannya kepada
raja. Tetapi Faletehan bertindak dengan cerdasnya, hingga ia menjadi dan tetap menjadi
tuan kota dan negeri itu. Oleh karena itu ketika Francisco de Sa’ tiba di pelabuhan Sunda,
maka bukan saja tidak membicarakan pembangunan sebuah benteng, bahkan ia menderita
beberapa kerugian karena Faletehan, sehinga ia, karena tidak siap untuk berperang,
memutuskan untuk kembali ke Malaka.7
Inilah uraian yang panjang lebar tentang pertemuan-pertemuan pertama antara
orang-orang Portugis dengan Jawa Barat yang disebut mereka Sunda. Cerita ini berasal
dari Barros. Kisah perjalanan Francisco de Sa’ disampaikan pula kepada kita oleh
penulis-penulis Portugis lainnya, yaitu Gastanheda, Correa, Couto, dan Francisco
d’Andrada8, tetapi dengan beberapa perbedaan, yang untuk tujuan tidak penting. Hanya
disini hendaklah diingatkan, bahwa Couto menempatkan peristiwa-peristiwa ekspedisi
yang malang itu secara khilaf di Banten dan bukannya di Calapa, seperti yang dimaksud
oleh penulis-penulis yang lebih tua dengan “pelabuhan Sunda”, dan menurut keempat
orang pengarang ini, Samiam, sahabat orang Portugis, ketika itu telah meninggal dunia.
Hal-hal yang penting dari Barros tentang perjalanan Henrique Leme dibenarkan oleh

7
Barros IV livr. I c. 13.
8
Fern. Lopez de Castanheda, Historia do descobrimento e conquista da India pelos Potugueses, VII cap. 26 dan 3;
Gasp. Correa, Lendas da India, II halaman 727 dan III halaman 92-93
perjanjian yang asli dengan Sangiang,9 dan bagi kita hal ini memberikan kepercayaan
besar kepada ceritanya yang selanjutnya tentang Sunda. Hanya nama-nama anak negeri
perlu mendapat koreksi. Tapi tidak semua nama-nama dapat kita kembalikan kepada
bentuk-bentuk aslinya. Dalam perjanjian itu disebut sebagai para wakil Sangiang,
“mandarinnya” (menteri) yang terutama, yang bernama “mandarym Padam Tumungo”
(Tumenggung), dua orang mandarin lainnya”, dengan nama Ssamgydepaty (Sang
Adipati) dan Bemgar dan syahbandar, Fabyam namanya, beserta banyak orang-orang
utama lainnya.
Terlebih dulu akan kita ikuti lebih lanjut cerita-cerita Portugis sebelum
membandingkannya dengan cerita-cerita anak negeri untuk melihat atau menarik
kesimpulan-kesimpulan dari perbandingan-perbandingan. Tentang kerajaan Sunda yang
kecil, tetapi sedang berkembang itu, yang banyak mengeluarkan lada di mana rajanya
mencari persahabatan dengan orang Portugis, telah dapat diceritakan oleh Barbosa
(1516).10 Barros pun mengatakan, bahwa setelah direbutnya Malaka oleh Alfonso
d’Alboquerque pada tahun 1511, maka Sangiang Sunda sebagaimana juga raja-raja
Indonesia lainnya, mengadakan hubungan dengan orang Portugis. Dalam uraian
umumnya tentang Sunda ia menceritakan kekhususan-kekhususan yang berikut.
Pendalamannya lebih bergunung-gunung daripada pendalaman Jawa. Pelabuhan-
pelabuhan yang terutama enam jumlahnya, yaitu Chiamo, Xacatra, yang juga disebut
Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam, dengan pelabuhan-pelabuhan
mana orang Portugis mempunyai lalu lintas perdagangan.11 Ibu kotanya disebut Daio dan
terletak sedikit ke pedalaman. Ketika Henrique Leme mengunjungi pulau itu, kota itu
mempunyai, menurut kepastian orang, 50.000 penduduk dan kerajaan itu mempunyai
100.000 orang tentara. Tetapi oleh karena peperangan dengan orag Mor, jumlah tersebut
sangat berkurang. Negeri itu sangat kaya dengan bermacam-macam makanan.
Penduduknya tidak begitu suka kepada peperangan, tetapi hidupnya ditekankan kepada
penyembahan dewa-dewa mereka. Mereka banyak mepunyai kuil-kuil untuk menyembah
dewa-dewa itu. Mereka itu mush-musuh besar orang-orang Mor, lebih-lebih setelah
9
Dalam Alguns documentos do Archivo Nacional da Torre do Tombo acerca das navegacoes e conquistas
portuguezas halaman 460-461
10
Barbosa, edisi tahun 1867, halaman 368
11
Yang terbanyak nama-nama itu mudah dikenal kembali dan telah pula diidentifikasi oleh Veth (Jaya I, halaman
278).
mereka ditaklukan oleh seorang Sangue de Pate de Dama. Undang-undang mereka
membolehkan mereka menjual anak-anak lelaki mereka. Wanita-wanitanya tampak baik-
baik rupanya, dan mereka itu di kalangan tinggi sangat suci dalam hal kewanitaan, hal
mana tidak terdapat pada lingkungan yang rendahan. Banyak bihara untuk para wanita
yang ingin memegang teguh kesucian mereka, tetapi lebih didorong oleh alasan-alasan
mencari pujian ketimbang oleh alasan-alasan kesalahan. Orang-orang kalngan tinggi
menaruh puteri-puteri mereka di dalam bihara, jika mereka tak dapat dikawinkan menurut
keinginan mereka. Bagi wanita-wanita dipandang suatu kehormatan, bahwa mereka, jika
suami mereka meninggal dunia, turut mati bersama-sama dengan sang suami. Tetapi jika
mereka takut mati, maka masuklah mereka ke dalam bihara sebagai orang saleh.
Pergantian mahkota turun dari bapak kepada anak laki-laki. Orang sangat bangga
memakai senjata-senjata yang di ukir permai. Hasil terutama negeri itu adalah lada, yang
jumlahnya setiap tahun lebih dari tiga puluh ribu sentenar.12
Akhirnya kita kemukakan cerita petualangan Pinto. Sekali waktu itu ia singgah di
Banten untuk keperluan urusan-urusan dagang, ia terpaksa tinggal beberapa lama disaana,
karena pada waktu itu tidak ada persedian lada. Ketika ia telah dua bukan disitu,
datanglah seorang wanita, Nhay Pombaya namanya, sebagai urusan sultan Demak,
maharaja Jawa, untuk mengundang ipar dan vasalnya, Tagarl, secara pribadi turut serta
bersama dia menyerang Pasuruan. Tanggal 5 januari 1546 berangkatlah raja Sunda
dengan 7.000 orang prajurit. Diantara mereka ada 40 dari 46 orang Portugis yang pada
waktu itu berada di Banten, tertarik oleh janji-janji akan mendapat keuntungan-
keuntungan dagang. Adalah dluar rencana kita untuk memberikan pandangan Pinto yang
panjang lebar tentang perjalanan peang itu. Bagi tuujuan kita cukuplah untuk
mengingatkan, bahwa ekspedisi itu tidak berhasil sama sekali karena kematia sultan
Demak yang ditikam oleh seorang pemegang perisai yang dipermalukan. Pinto masih
turut menyaksikan kekalutan yang terjadi setelah itu, samapi Pate Sidayu- sultan tidak
meninggalkan pengganti yang berhak – dipilih menjadi sultan. Setelah itu ia minta izin
kepada raja sunda untuk kembali ke Banten bersama orang-orang senegerinya yang
masih ada. Sultan memberi mereka beberapa hadia, juga untuk ahli-ahli waris orang-
orang Portugis yang gugur, kemudian diberinya izin untuk kembali.13
12
Barros IV livr. I c. 12.
13
Pinto, Peregrinacao, cap. 172-180.
C. Catatan-catatan Atas Bagian Legenda Sejarah Banten
Setelah penjelasan Sejarah Banten bagian sejarahnya, maka dalam hal ini kita
akan mengadakan suatu perbandingan antara pecahan-pecahan yang diberikan kronik kita
tentang sejarah Jawa yang lebih tua dengan apa yang terbukti tentang itu di dalam buku-
buku sejarah Jawa lainnya. tetapi untuk pengertian yang tepat antara hubungan tradisi-
tradisi itu satu dengan yang lainnya, maka pertama-tama diperlukan suatu wawasan
tentang kronik-kronik atau lebih baik tentang kelompok-kelompok kronik, yang akan
memberikan bahan-bahan perbandingan itu kepada kita. Tentang ini, kecuali tempat-
tempat timbulnya tradisi-tradisi itu sedapat-sedapatnya, juga waktunya pun, haruslah
ditetapkan. Jadi seyogyanya didahului oleh suatu pembicaraan tentang sumber-sumber
bahan perbandingan itu.
Pada akhir salah satu bagian, ada suatu catatan di mana dikatakan, bahwa itu
apakah dimaksudkan hanya bagian yang satu ini atau seluruh naskah, tidak jelas adalah
milik Molana Hasanuddin, kemudian dialihkan kepada Molana Yusup, setelah itu kepada
Pangeran Arya Ranamanggala, setelah itu kepada Sultan Abulmafakhir, kemudian
kepada Pangeran Arya Mandurareja, kemudian kepada Ratu Bagus Arya Wiratmaja,
kemudian kepada Pangeran Arya Wirasmara, kemudian kepada Pangeran Ardi, kemudian
kepada Ratu Bagus Muhammad Sake, “semoga mereka sekalian dikaruniai ampunan oleh
Allah Yang Mahatinggi”.14
Mengherankan, bahwa perpindahan milik ini tidak selalu berlaku dari ayah
kepada putera. Bahkan permulaan pemberitahuan ini dapat dikesampingkan begitu saja,
sekalipun itu diamaksudkan hanya untuk bagian, yang pada akhirnya keterangan itu
terdapat, karena apa yang diceritakan di bagian ini, kisah hidup Sunan Gunung Jati,
sepenuhnya bersifat dongeng. Mungkin beberapa bagian lebih tua ketimbang Sejarah
Banten, sekalipun hal yang demikian itu, karena sifat dongeng yang dikandungnya
agaknya tidak benar. Betapapun juga, kumpulan itu secara keseluruhannya dibuat setelh
Sejarah Banten, setelah 1662/3, karena sebagaimana telah ditunjukkan, Sejarah Banten
merupakan sumber beberapa pecahan itu. Orang-orang yang dikemukakan dalam catatan-
catatan setelah Abul Mafakhir, sebagaimana ternayata dari urut-urutannya dalam silsilah,
sesungguhnya kalau bukan keseluruhannya, untuk sebagian telah meninggal dunia setelah

14
S.B. Rante-rante, halaman 80-81.
1662. Selanjutnya ternyata dari tambahan yang hanya dipakai pada nama-nama mereka
yang telah meninggal dunia, permohonan ampunan kepada Allah, bahwa catatan-catatan
tersebut haruslah ditulis setelah wafatnya Tubagus Muhammad Saleh.
Jika kita berdasarkan fakta bahwa urut-urutan itu berhenti dengan Muhammad
Saleh, boleh menarik kesimpulan, bahwa catatan itu berasal dari pemilik naskah itu
setelah Muhammad Saleh, sedangkan catatan itu tidak lagi diteruskan, maka kita juga
mempunyai batas yang lain, sekalipun hanya secara kira-kira saja. Jika kita ambil sekadar
supaya ada suatu tahun, kurang lebih 1725 sebagai tahun meninggalnya Muhammad
Saleh, cucu Abdul Mufakhir yang meninggal pada 1651, maka Sejarah Banten Rante-
rante haruslah terjadi antara 1662 dan kurang lebih 1725, dari merangkai-rangkaikan
pelbagai bagian yang mungkin dipunyai oleh orang-orang yang disebutkan di atas.
Hal yang berikut ini boleh jadi menunjukkan tuanyan S.B Rante-rante secara
nisbi. Sebagaimana telah seringkali dinyatakan, ada pada S.B. Rante-rante sebuah naskah
tua yang memang merupakan naskah asli dan sebagaimana pula naskah saduran Sejarah
Banten yang terakhir, dipandang sebagai keramat. Jika orang hendak membaca barang
sesuatu daripadanya, maka haruslah ia membakar kemenyan dahulu. Membacanya harus
dengan nada keras dan khidmat. Setelah selesai, orang harus mengadakan selamatan kecil
(sedekah atau hajat), serta makanan serta minumannya telah ditentukan. Dalam pada itu
harus diucapkan do’a tertentu.
Menarik perhatian adalah, bahwa naskah tua S.B. Rante-rante itu dipandang
sebagai lebih keramat ketimbang Sejarah Banten dari tahun 1732. Apakah kekeramatan
yang unggul itu, kecuali karena fakta bahwa naskah yang disebut pertama itu ditulis
dengan huruf Arab (pegon), sedangkan yang disebut kemudian ditulis dengan huruf Jawa,
bukan karena alasan oleh usianya yang lebih tua?
Akhir kita ingatkan, bahwa suatu bagian besar S.B Rante-rante ada versi
Melayunya dengan Judul Hikayat atau Ceritera Hasanuddin, berdasarkan cerita yang
pertama dalam kumpulan itu.
Selanjutnya akan memberikan kepada kita bahan perbandingan naskah-naskah
Carebon, yang dalam bagian terdahulu telah berkali-kali disebut, yaitu Wawancara Sunan
Gunung Jati, Sejarah para Wali, Babad Carebon dan karya dari Pangulu Abdul Kahar.
Judul-juul itu hanya melingkupi isinya buat sebagian, dan bahkan, sebagaimana halnya
seringkali judul-judul dari naskah-naskah bumi putera, sedikit banyak menyesatkan.
Sebenarnya, bagaimanapun juga karya itu membicarakan soal yang sama juga, yaitu
sejarah Carebon. Tepatlah jika karya-karya itu sekali-kali dipandang sebagai redaksi-
redaksi yang berbeda-beda, bentuk-bentuk yang lebih itu, karena orang pada redaksi-
redaksi itu akan berpikir pada suatu persamaan bentuk yang lebih besar daripada apa
yang didapat di sini, dari satu Babad Carebon, satu sejarah Carebon. 15 Pada pokoknya
naskah-naskah itu membicarakan tentang masa perubahan agama di Jawa. Wawacan
Sunan Gunung Jati dan Sejarah para Wali bahkan tidak keluar dari periode itu. Babad
Cerbon melangkah lebih jauh.
Paling jauh melangkah adalah karya Abdul Kahar, yang menceritakan pula
pemerintahan penyelang Inggris. Tambahan pula rencananya pun lain dari ketiga naskah
lainnya. Di bagian yang membicarakan masa yang lebih tua, maka cerita tentang setiap
orang baru didahului oleh silsilah masing-masing. seterusnya karya itu lebih panjang
lebar. Tentang sejarah Mataram dan Banten, misalnya lebih banyak diceritakan
ketimbang oleh Badad Cerbon.
Sebagian terbesar naskah-naskah ini berisi suatu kisah yang bersifat dongeng
tentang Sunan Gunung Jati. Di samping itu diceritakan dongeng-dongeng para wali
lainnya, baik mereka yang setingkat, maupun yang tingkatnya agak kurang.
Jangan dikacaukan Sejarah Para Wali yang disebut di atas dengan Babad Cerbon,
suatu karya lain yang memang sama macamnya yang disebut juga Sejarah Para Wali atau
Wawacan Babad Cerbon. Karya itu dalam bahasa Sunda dan disadur menurut aslinya
dalam bahasa Jawa. Tapi aslinya tak mungkin salah satu dari karya-karya Jawa yang
disebut di atas, untuk itu perbedaannya dalam redaksi dan isi terlampau besar. Tak
mungkin pula saduran tersebut dibuat menurut suatu karya Jawa lainnya yang berjalan
sejajar dengan karya Sejarah Para Wali berbahasa Sunda tersebut, yang berjudul
Wawacan Walang Sungsang. Hubungannya bahkan kebalikannya, karena Wawacan
Walang Sungsang, ternyata berisi ungkapan-ungkapan Sunda, tentulah berdasarkan suatu
karya Sunda. Judulnya menurut orang, yang sebagaimana juga dalam Sejarah Para Wali
bahasa Sunda, di sini menduduki tempat, di dalam naskah-naskah lain diduduki oleh

15
D. van Hinloopen Labberton di dalam NBG, XLVII, Bijlage I.
Kean Santang, putera Siliwangi dan saudara laki-laki Rara Santang, ibu Sunan Gunung
Jati.16
Dari semua naskah ini, hanya karangan Abdul Kahar saja yang dapat ditentukan
waktu penyusunannya. Abdul Kahar memang pangulu Carebon pada kira-kira
tahun1820.17 Penanggalan di bagian muka karya itu, Jum’at 28 Dzulhijjah tahun Alip,
1276 H, yang ternyata dari hari dan tahun windu seharusnya bukan 1276, melainkan 1275
H, yaitu Jum’at 29 Juli 1859, jadi tentunya mengenai tahun dibuatnya sebuah turunan,
tempat naskah-naskah yang dikenal itu.
Akhirnya suatu kelompok kronik yang ketiga, yang di dalamnya dibicarakan
tentang sejarah Jawa yang lebih tua, Babad Tanah Jawi, dalam berbagai macam
bentuknya. Dr. Brandes merupakan orang yang pertama-tama memberikan wawasan
yang tepat tentang sifat kronik-kronik itu, dalam bagian-bagian yang bersifat majemuk
mengenai sejarah yang lebih tua yang sekarang menarik perhatian kita, dalam nisbah
terhadap hasil sastra Jawa yang lain-lain, sedangkan sebelum dia Meinsma telah
menunjukkan jalan untuk menetapkan waktu pembuatannya.18 Atas uraian mereka, kita di
sini akan memberikan beberapa “tambahan dan perbaikan” yang perlu bagi tujuan kita,
tentang berbagai bentuk-bentuk buku sejarah itu dan waktu penyusunan redaksi asli.
Orang-orang Jawa memberikan kepada kronik-kronik ini berbagai nama, seperti
Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram,
Babad Kartasura dan sebagainya, atau juga dengan nama umum Babad Tanah Jawi. Judul
masing-masing tersebut biasanya tidak menyatakan isinya dengan teliti. Naskah yang
menggunakan nama Babad Kartasura, umpamanya berisi pula apa yang dipandang orang-
orang Jawa sebagai sejarah negerinya yang lebih tua. Sedangkan karya lainnya yang
dikeluarkannya dengan nama kembar Babad Pajajaran dan Babad Tanah Jawi, sejauh
yang telah terbit mencapai hingga zaman Kartasura. Dimana berbagai naskah tersebut
membicarakan kurun zaman yang sama maka, baik dalam soal isinya yang apa adanya,
maupun dalam hal gambaran kenyataan-kenyataan, boleh dikatakan bersamaan. Ya,
bahkan kata-katanya pun sama. Perbedaannya terletak terutama sekali dalam bagian-
bagian, yang menceritakan kurun-kurun zaman yang lebih tua, nanti akan ternyata kepada

16
Tentang karya-karya ini diperiksa pula dari naskah-naskah koleksi Sn. H.
17
Menurut Dr. D. A. Rinkes di dalam TBG, LIV, halaman 144.
18
Salinan yang diperiksa oleh Dr. Rinkes dan Hinloopen Labberton diambil dari naskah Prof. Sn. H.
kita, apa sebabnya. Jadi rupanya ada kaitan asal-usul antara kronik-kronik itu. Brandes,
yang telah meminta perhatian kepada yang satu dan yang lainnya, karena itu mengatakan
bahwa patut sekali dianjurkan untuk menamainya dengan nama umum Babad Tanah
Jawi, dan membicarakan tentang berbagai bentuknya. Penamaan itu memang tidak pula
sepenuhnya tepat, demikian diakui Brandes, karena, dalam buku-buku sejarah yang pasti
bersifat setempat pun sebagai Sejarah Banten dan berbagai kronik Carebon, sebagaimana
pula Babad Dipanegara yang disusun oleh Dipanegara sendiri, jadi bermaksud
membicarakan kurun zaman yang kecil saja tentang sejarah Jawa, memuat dongeng-
dongeng tentang sejarah seluruh Jawa yang lebih tua. Tambahan pula, misalnya dalam
kronik Carebon yang dikompilasikan Abdul Kahar, senantiasa banyak perhatian
dicurahkan kepada peristiwa-peristiwa di Banten dan Jawa Tengah. Jika ditinjau baik-
baik, maka Babad Tanah Jawi pun tidak lebih daripada suatu kronik setempat, yang
membicarakan sejarah raja-raja Kartasura dan para leluhur mereka. Karena raja-raja itu
hampir selalu merupakan faktor utama dalam sejarah seluruh Jawa, akan bersifat
mengorek-ngorek kesalahan untuk menolak penamaan umum Babad Tanah Jawi,
“Sejarah Tanah Jawa” kronik yang menceritakan suka-duka mereka.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Tiba diakhir analisa kita tentang Sejarah Banten, izinkanlah kami untuk memandang
kembali jauh ke jalan yang telah kami tempuh, yang oleh Karena sifatnya penelitian, seringkali
liku-liku, dan mengikhtisarkan kesan total kita.

Kita lihat, bahwa naskah-naskah Sejarah Banten yang berisi tiga redaksi kronik itu, yang
tertua dari tahun 1662/63, dan selanjutnya bahwa seluruh cerita sejarah itu disulam kedalam
kerangka suatu cerita, yang tentang pendahuluan dibicarakan zeacar panjang-lebar dan bahwa
cara menggubah demikian itu dalam kepustakaan Seajarah Jawa mempunyai contoh dalam
Babad Kediri. Cerita sejarah yang sebenarnya selalu kembali menjadi dua bagian : yang pertama
menguraikan tradisi-tradisi yang longgar tentang zaman yang lebih tua diseliruh jawa. Yang
kedua membicarakan tentang peristiwa-peristiwa di Banten sejak masuknya agama Islam hingga
zamannya penulis kronik itu, yang pertama jauh lebih ringkas ketimbang yang kedua. Pembagian
yang demikian itu ditunjukan juga oleh buku-buku sejarah yang tidak membatasi dirinya hingga
sejarah tempat atau daerah tertentu yakni : babad Carebon dan babad-babad Jawa Tengah. Dalam
naskah-naskah ini kita telah mengusut persesuaian dengan apa yang diberikan oleh S.B. tentang
kurun-kurun zaman yang lebih tua itu, setelah lebih dulu menyusun kronik-kronik itu secara
urutan waktu, agar nilai perbandingan itu dapat ditonjolkan. Tentang buku-buku Sejarah
Carebon, kita hanya dapat mengatakan, bahwa buku-buku itu dalam bentuk yang kita ketahui,
berasal dari zaman yang sangat baru, sedangkan dari pelbagai redaksi Babad-Tanah jawi, kita
dapat menetapkannya lebih lanjut. Ternyatalah kepada kita, bahwa pelbagai redaksi itu dapat
dibagi ata dua kelompok utama, yang keduanya, sejauh ia mengenai sejarah yang lebih tua,
sampai dengan Mataram, berasal dari sumber yang sama, yakni karya-karya Pn. Adilangu II,
yang dibuat antara 1680 dan 1718. Kepada kelompok redaksi satu, yang resmi, yang kembali
kepada karya pemimpin penulis-penulis istana Pakubowono I, Carik Bajra. Carik Bajra telah
meringkaskan karya-karya Pn. Adilangu II dan ia sendiri telah melanjutkan sejarah itu hingga
meninggalkan Pakubuwo- no I, lanjutan mana, baik olehnya sendiri, maupun oleh seorang atau
beberapa orang pengganti-penggantinya, dikerjakan setelah 1757 dikerjakan hingga 1743,
sambungan-sambungan ini yang seluruhnya atau sebagaian-sebagian dimasukan ke dalam
redaksi-redaksi kelompok kedua, yang berkembang dengan lebih leluasa dan oleh karenanya
mengalami perubahan-perubahan yang lebih besar dalam bentuknya ketimbang redaksi-redaksi
kelompok pertama.

Selanjutnya kita di dalam membanding-bandingkan dengan Sejarah Banten dengan suatu


kumpulan tardisi-tradisi Banten yang kemudian, Sejarah Banten dengan suatu kumpulan tradisi-
tradisi Banten yang kemudian, Sejarah Banten Rante-rante, supaya dengan demikian kita dapat
menunjukkan perkembangan, atau jika kita mau menyebutnya, disimpangkannya tradisi Banten.
Dalam membandingkan-bandingkannya itu kita menemukan kembali boleh dikata semua cerita
Sejara Banten, sekalipun sedikit banyak dalam versi-versi yang menyimpang dalam kronik-
kronik Jawa Tengah dan Carebon. Kita telah memandang tidak perlu untuk mengusut semua
varian yang mungkin, karena, yang demikian itu bagi tujuan kita akan membawa kepada
penjelasan panjang-lebar secara berlebih-lebihan. Kita hanya menunjukkan sambil lalu di sana-
sini kapan berulang-ulangnya dasar-dasar pikiran dalam berbagai cerita. Supaya dapat
memperlihatkan bagaimana sifat bagian babad-babad yang membicarakan kurun-kurun zaman
yang lebih tua, maka sekarang kita akan membicarakan lebih lanjut beberapa cerita itu, yang
disajikan kepada kita sebagai tradisi-tradisi sejarah yang tua.
DAFTAR PUSTAKA

Naskah Add 12300 British Museum oleh Mr. S. Keyzer disebut “ Geschiedenis van
Bantam”, menurut judul Inggris yang ada di situ, menurut penyelidikan.

Barros IV livr. I c. 13.

Fern. Lopez de Castanheda, Historia do descobrimento e conquista da India pelos Potugueses,


VII cap. 26 dan 3; Gasp. Correa, Lendas da India, II halaman 727 dan III halaman 92-93

Dalam Alguns documentos do Archivo Nacional da Torre do Tombo acerca das


navegacoes e conquistas portuguezas halaman 460-461

Barbosa, edisi tahun 1867, halaman 368

Yang terbanyak nama-nama itu mudah dikenal kembali dan telah pula diidentifikasi
oleh Veth (Jaya I, halaman 278).

Pinto, Peregrinacao, cap. 172-180.

S.B. Rante-rante, halaman 80-81.

D. van Hinloopen Labberton di dalam NBG, XLVII, Bijlage I.

Menurut Dr. D. A. Rinkes di dalam TBG, LIV, halaman 144.

Salinan yang diperiksa oleh Dr. Rinkes dan Hinloopen Labberton diambil dari naskah
Prof. Sn. H.

Anda mungkin juga menyukai