Anda di halaman 1dari 32

B.

KERAJAAN MAJAPAHIT

1. Sanggramawijaya Pelanjut Wangsa Rajasa dan Awal Perkembangan


Majapahit

Gugurnya Kertanegara sebagai raja Singasari terakhir bukan berarti berakhir


pula keturunannya dinasti Rajasa, karena ada salah seorang dari wangsa Rajasa yang
berhasil menyelamatkan diri yakni Nararya Sanggramawijaya yang lebih di kenal
dengan sebutan Raden Wijaya dalam Pararaton. Raden Wijaya menurut keterangan
Pararaton dan Nagarakerthagama adalah anak dari Dyah Lembu Tal, cucu dari
Narasinghamurti atau Mahisa Campaka. Dengan demikian ia merupakan keturunan
genelogis dari pendiri Singasari (Tumapel) yakni Ken Arok atau Sri Rajasa Sang
Amurwabhumi dengan Ken Dedes. Selain itu, ia juga merupakan kemenakan dan
menantu dari raja Kertanegara. Menurut keterangan Pararaton Raden Wijaya
memperistri dua putri Kertanegara, sedang menurut sumber prasasti dan keterangan
dari Negarakertagama disebutkan ia memperistri keempat putri Kertanegara.

Kisah awal Sanggramawijaya sebagai penguasa Majapahit di peroleh dari


sumber Pararaton, Kidung Harsa Wijaya. Dan Kidung Panji Wijayakrama. Ketiga
sumber ini menggambarkan secara detail kisah Raden Wijaya sampai berhasil
kembali megakkan kekuasaan wangsa Rajasa setelah berhasil mengalahkan
Jayakatwang raja Kediri lewat strategi memanfaatkan kekuasaan asing, dan dengan
strategi ini pula ia berhasil mengusir kekuatan asing tersebut. Kemenangannya
mengalahkan Jayakatwang dan berhasil mengusir kekuatan asing (tentara TarTar)
dari tanah Jwa, sekaligus menjadikan Majapahit sebagai satu-satunya kekuatan baru
yang berdiri di atas reruntuhan Singasari dan Kediri. Kisah perjuangan Wijaya
(Sanggramawijaya) hingga berhasil membangun kembali kerajaan leluhurnya yang
hancur oleh penghianatan orang-orang dekat Kertanegara (Jayakatwang, Ardaraja,
Wiraraja), diperoleh pula dari sumber prasasti, yaki Prasasti Kudadu tahun 1294, dan
Prasasti Sulamerta 1296. Prasasti Kudadu 1294 merupakan salah satu prasasti yang
memberikan informasi yang paling panjang tentang perkembangan awal dari sejarah
Majapahit secara lengkap, walaupun tidak detail yang di berikan oleh sumber yang
berasal dari karyasastra di atas yakni Pararaton, Kidung Harsa Wijaya dan Kidung
Paji Wijayakrama. Walaupun uraian karyasatra ini lengkap, namun karena berbaur
denga mitos dan legenda, keterangan dari karya sastra ini di nomor duakan.
Sebaliknya untuk mengetahui kisah perjuangan Sanggramawijaya hingga berhasil
menjadi raja dan membangun kerajaan Majapahit lebih mengutamakan sumber
prasasti Pararaton dan Negarakertagama sebagai pelengkapnya.

Prasati Kudadu di keluarkan oleh Kertarajasa Jayawardhana, isinya adalah:


“Memperingati pemberian anugrah raja keada pejabat desa (rama) di Kudadu
menjadi daerah Swantantra. Karena ia telah berjasa memberi perlindungan dan
bantuan bagi raja pada waktu beliau belum menjadi raja, dengan nama Nararya
Sanggramawijaya. Pada saat beliau sampai di desa kudadu karena di kejar musuh.
Beliau sampai mengalami hal demikian, karena dahulu raja Kertanegara yang telah
wafat di alam Siwa Budha di serang oleh raja Jayakatwang dari Glang-Glang yang
berlaku sebagai musuh, menjalankan hal yang sangat tercela, menghianati sahabat dan
mengingkari janji hendak membinasakan raja kertanegara di Tumapel.

Ketika tentara Sri Jayakatwang sampai di Jasun Wungkal, Sri Kertanegara


memberi perintah kepada sang Prabu (Nararya Sanggramawijaya dan Ardaraja untuk
menanggulangi tentera musuh Jayakatwang). Adapun Ardaraja itu adalah menantu
Sri Kertanegara, tetapi juga putra Sri Jayakatwang. Sang Prabu dan Ardaraja
meningglkan Tumapel. Ketika sampai di desa Kedung Peluk, sang prabu bertemu
dengan musuh, musuh dilawan, kalah dan melarikan diri.tidak di ketahui berapa
jumlah korban yang jatuh. Tentera sang Prabhu terus maju menuju lembah, namun
tidak ada musuh yang di temui karena semua mundur tanpa memberikan perlawanan
kepada tentera pengawal. Sang Prabhu menuju kearah barat melewati Batang menuju
kea rah desa Kapulungan.di situ bertemu dengan musuh dan berperanglah pasukan
baginda di sebelah Kapulungan. Musuh dapat di kalahkan, musuh melarikan diri dan
banyak yang luka parah, serta gugur. Pasukan sang Prabu bergerak lagi dan sampai di
desa Rambut Carat. Tidak lama kemudian, datanglah musuh dari arah barat. Terjadi
lagi pertempuran. Musuh mengalami kekalahan besar dan kemudian lari dengan
meninggalkan banyak korban. Kelihatannya musuh telah habis dan mengundurka diri.
Tetapi pada waktu itu, kelihatan panji-panji musuh melambai-lambai di arah timur
Haniru, merah dan putih warnanya. Melihat panji-panji itu, sekatika itu Ardaraja
mendadak menyarukan senjatanya dan pasukannya bubar, bertindak curang, lari kea
rah Kapulungan dengan maksud khianat. Itulah permulaan dari rusaknya pasukan
sang prabhu, namun karena beliau sangat taat kepada sri kertanegara, itulah sebabnya
ia tetap bertahan di Rambut Cacat, tetapi kemudian bergerak mundur ke utara desa
Pamotan Apajeg di seberang utara sungai.

Pasukan Sri baginda pada waktu itu ber kekuatan kira-kira enam ratus orang
banyaknya. Keesokan harinnya datanglah musuh mengejarsang Prabhu. Sang Prabu
berbalik melakukan perlawanan, tetapi karena pasukan beliau banyak yang lari
menyelamatkan diri meninggalkan sang Prabhu. Sang Prabu cemas karena tidak
bersenjata. Dan Khawatir kalau-kalau sampai kehabisan anak buah lalu berunding
dengan para pembantunya. Sang Prabu bermaksud pergi ke Terung untuk berunding
dengan kepala desa Terung Rakryan Wuru Agraja, yang di angkat sebagai akuwu
(kepala desa), oleh mendiang Sri Kertanegara dengan harapan memperoleh bantuan
daripadanya untuk mengerahkan penduduk desa di sebelah timur dan timur laut
Terung. Bersukacitalah pengikut-pengikut sang prabu mendengar keputusan tersebut.
Pada malam hari, sang prabu berangkat menuju Kulawan, karean takut kalau-kalau di
kejar oleh musuh, karean jumlah musuh terlalu besar. Setibanya di Kulawan, bertemu
dengan musuh, maka di kejarlah sang Prabu, dalam kejaran musuh sang Prabu lari ke
utara mengungsi menuju Kambangsari. Tetapi di kambangsaripun beliau bertemu
dengan musuh, di kejarlah beliau, larilah sang prabu ke utara dengan menyebrangi
sungai dengan segenap pasukannya yang masih tinggal, berenang dengan tergopoh-
gopoh. Banyak di antara pengikut beliau mati tenggelam hanyut di bawa air dalam
penyebrangan itu, sebagian terkejar oleh musuh dan mati di tombak musuh. Yang
selamat lari bercerai-berai tak tahu ke mana tujuannya. Tinggal duabelas orang
pengikut yang melindungi beliau.

Waktu fajar baginda sampai di desa Kudadu, dalam keadaan lapar, lelah letih
dan sedih beriba hati, tiada harapan untuk hidup. Sungguh berat penderitaan, yang
menimpa beliau.tetapi ketika beliau sampai di rumah kepala desa Kudadu, beliau di
sambut dengan sungguh-sungguh dan penuh dengan rasa hormat seperti terbukti dari
persembahannya berupa jamuan makan, minum, dan nasi yang di hidangkan oleh
kepala desa Kudadu kepada beliau. Kepala desa Kudadu mencarikan tempat
persembunyian, agar jangan sampai dapat di ketahui musuh sang Prabu. Akhirnya ia
menunjukkan jalan dan mengiringkan beliau sampai daerah Rembang dalam
perjalanan beliau mengungsi ke Madura seperti yang beliau inginkan. Demikianlah
perhatian dan perlakuan kepala desa Kudadu yang penuh rasa kasih terhadap sang
Prabhu, sngguh mengahrukan dan membangkitkan rasa terimakasih dalam hati
sanubari sang Prabhu. Kini beliau telah menjadi raja, menjadi pelindung jagat seolah-
olah dewa yang turun dari surga, tidak boleh tidak ingin membalas budi kepada
siapapun yang berbuat baik kepada beliau…

Demikianlah kisah tersesatnya Wijaya sampai di desa Kudadu, seperti yang


termuat di dalam sambhada prasasti Kudadu. Prasasti lain yang juga menyinggung
kisagh pelarian Wijaya tetapi amat singkat yaitu Prasasti Sukamerta yang berangka
tahun 1296. Isi prasasti ini

Memperingati desa Sukamrta kembali menjadi daerah swatantra, atas


permohonan panji patipati Mpu Kapat yang hendak menirukan perbuatan ayahnya
yakni panji patipati. Permohonan itu di kabulkan oleh raja Kertarajasa Jayawardhana
karena Panji Patipati telah memperlihatkan kesetiaan dan kebaktian yang luar biasa
kepada raja, dengan ikut mengalami duka nestapa.pada waktu iti beliau harus
mengungsi, melarikan diri dari kejaran musuh, masuk hutan, naik gunung,
menyebrangi sungai dan laut. Panji Patipati tidak berpisah dari sisi baginda,
menjalankan segala perintah, di kala hujan membawakan paying, di kala gelap
membawa obor. Dan pada waktu baginda menyerang negeri penjahat yang telah
menghianati raja Kertanegara, Panji Patipati ikut juga.

Disebutkannya dalam prasasti di atas, bahwa Wijaya menyebrangi laut, tentu


yang di maksud ketika Wijaya menyebrang menuju Madura menemui Arya Wiraraja
sebagaimana disebutkan dalam prasasti kudadu. Di Madura Wijaya diterima dengan
baik oleh Arya Wiraraja, yang kemudian mengusahakan agar Wijaya dapat di terima
menyerahkan diri kepada Jayakatwang di Kediri. Wijaya akhirnya mendapat
kepercayaan penuh dari raja Jayakatwang, sehingga pada waktu Wijaya minta daerah
hutan terik untuk di jadikan pertahanan terdepan dalam menghadapi musuh yang
menyerang melalui sungai Brantas, permintan ini di kabulkan. Daerah Terik di buka
oleh Wijaya dengan bantuan dari Wiraraja, menjadi desa dengan nama Majapahit.
Kisah mengenai berdirinya Majapahit pararaton, Kidung Panji Wijayakrama, dan
Kidung Harsa Wijaya menguraikannya dengan panjang lebar tentang asalmula nama
Majapahit. Namun karena sumber-sumber itu merupakan karya sastra maka tidak
keseluruhan ceritetanya di ambil dalam penulisan sejarah Majapahit. Secara fakta
bahwa nama Majapahit mungkin sekali berdasarkan kenyataan di sana banyak
tumbuhan pohon maja. Majapahit yang baru di buka, Wijaya berusaha untuk
menggambil hati penduduknya terutama orang-orang yang datang dari Tumapel dan
Daha.

Diam-diam Wijaya memperkuat diri sambil menunggu saat yang tepat untuk
menyerang Kediri. Di Madura Adipati Wiraraja sudah bersiap-siap pula dengan
orang-orangnya untuk datang membantu ke Majapahit. Bertepatan dengan selesainya
persiapan untk mengadakan perlawanan terhadap raja Jayakatwang, pada tahun 1293
datanglah bala tentera Khubilai Khan yang di kirim untuk menyerang Singasari
menyambut tantangan raja Kertanegara yang telah menganiaya utusannya, Meng-
Ch’I tahun 1289. Dalam pararaton, Nagarakerthagama Kidung Harwijaya dan Kidung
Panji Wijayakrama di kenal dengan sebutan tentera Tartar. Dalam sejarah dinasti
Yuan dan catatan pimpinan armada tentera Mongol dinyatakan bahwa tahun 1292
Kaisar Shih Tsu (Khubilai Khan) memberi perintah mengumpulkan 2000 orang
tertera untuk di kirim ke Jawa di bawah pimpinan Shih-pi, Ike Mese (Iheh-mi-shih)
dan Kau Hsing. Tentera Tartar berangkat ke Jawa bulan kesembilan dengan pesan
khusus Khubilai Khan kepada panglima perangnya bahwa,

Jika kamu sampai di Jawa, katakana kepada rakyat dan tenteranegara Jawa,
bahwa sejak dahulu Kaisar Cina mempunyai hubungan baik dengan Jawa, dengan
saling mengirim utusan. Tetapi belakangan ini hubungan itu memburuk akibat
perlakuan yang tidak wajar terhadap utusan Kaisar yang bernama Meng-Ch”I oleh
raja Jawa. Katakana secara tegas bahwa kamu datang untuk menghukum raja Jawa
atas tindakan itu.

Dalam bulan pertama tahun 1293 armada Tartar ini sudah sampai di pulau
Bitung. Di sana mereka berunding mengatur siasat. Iheh-mi-shih berangkat terlebih
dahulu menundukkan raja-raja kecil di Jawa dengan jalan damai. Dua orang panglima
yang lain berangkat dengan pasukan induk menuju pulau Karimunjawa, dan dari sana
ke Tuban. Di Tuban semua pasukan bertemu lagi, kemudian di atur siasat penyerbuan
ke Daha. Shih-pi dengan seperdua pasukan pergi dengan kapal ke Sedayu, dari sana
ke muara Kali Mas. Iheh-Mi-Shih dan Kau-hsing memimpin pasukan darat berkuda
menyerbu ke pedalaman.

Kedatangan pasukan Tartar ini di dengar oleh Wijaya, hal ini merupakan
suatu kesempatan yang baik sekali untuk menerapkan strateginya untuk mengalahkan
Jayakatwang. Ia dengan cepat mengirim utusan kepada panglims pasukan Cina
dengan membawa pesan bahwa ia bersedia tunduk di bawah kekuasaan Kaisar dan
mau menggabungkan diri dengan pasukan Cina untuk menggempur Daha. Dalam
Kidung Harsa Wijaya di sebutkan bahwa, strategi ini di tempuh karena atas nasehat
Arya Wiraraja yakni bersikap menyerah kepada Kaisar, dan memberitahukan bahwa
raja Kertanegara telah meninggal dan penggantinya adalah Jayakatwang dari Kediri.
Penyerahan Wijaya ini di terima dengan senang hati oleh panglima pasukan Cina.

Pada permulaan bulan ketiga semua pasukan Cina sudah berkumpul di muara
Kali Mas. Di situ ada angkatan laut Daha yang selalu siap menghadapi musuh dari
luar. Maka pertempuran berkobar. Tentera Daha dapat di kalahkan, dan lari
meninggalkan kapal-kapalnya. Lebih dari 100 buah besar jatuh ke tangan Tentera
Cina. Sebagian pasukan Cina diperintahkan tetap berjaga-jaga di Kali Mas, sebagian
yang lain menyerbu ke Daha. Tetapi sebelum mereka berangkat ke pedalaman, datang
utusan Wijaya yang memberitahukan bahwa ia akan di serbu oleh pasukan Daha dan
minta bantuan pasukan. Iheh-Mi-Shih diperintahkan untuk membantunya. Pasukan di
bawah Iheh-mi-shih berangkat ke Canggu sedang sebagian pasukan di bawah Kau
Hsinglangsung menuju Majapahit. Tanggal 7 bulan ke tiga pasuka Daha menyerbu
Majapahit dari tiga jurusan, tetapi dapat di halau oleh pasukan Cina. Baru pada
tanggal 15 bulan ke tiga pasukan Cina menyerbu Daha. Sebagian pasukan naik
perahu menuju hulu sungai Brantas. Iheh-mi-shih dengan sebagian pasukan
menyerbu dari arah timu, sedangkan Kau-Hsing menyerbu dari arah barat. Wijaya
dan pasukannya mengikuti dari arah belakang pasukan Cina. Pada tanggal 19 bulan
ketiga mereka telah sampai di depan pintu gerbang kota Daha. Jayakatwang telah siap
menghadapi penyerangan ini dengan kekuatan 100.000 orang pasukan. Tentera Cina
menyerbu dalam tiga gelombang. Pertempuran berkobar dengan dahsyatnya dari
pukul 6.00 pagi sampai pukul 14.00 siang. Akhirnya pasukan Daha mundur masuk ke
dalam kota dengan meninggalkan korban 5.000 orang gugur dalam pertempuran.
Pasukan Cina segera mengepung kota Daha dari segala jurusan. Sore harinya
Jayakatwang keluar menyerahkan diri. Ia di tawan dengan seratus orang anggota
kerabat dan pejabat-pejabat tinggi kerajaan. Menurut kitab Pararaton dan Kidung
Panji Wijayakrama di sebutkan bahwa Jayakatwang di bawa oleh panglima pasukan
Cina ke benteng pertahanan mereka di Hujung Galuh, dan di tawan di sana. Di dalam
penjara raja Jayakatwang sempat mengubah kekawin yang di berinama Wukir
Polaman, dan sesudah itu ia meninggal. Anak Jayakatwang yang dalam berita Cina di
sebut His-la-pati His-la-tan-pu-ho (sulit untuk di samakan dengan Ardaraja dalam
ejaan Jawa kuno)melarikan diri ke pegunungan, tetapi dapat di kejar dan di bawa ke
Daha sebagai tawanan.

Setibanya Kau Hsing kembali di Daha, ia tidak menemukan Wijaya di sana,


karena oleh Iheh-mi-shih dan Shih-pi ia di perolehkan kembali ke Majapahit untuk
mempersiapkan upeti yang akan dii sembahkan kepada Kaisar. Ia di kawal oleh dua
orang opsir dan 200 tentera Cina. Namun dengan tipu muslihat Wijaya dapat
membunuh dua opsir itu dan menyerang pasukan pengawalnya itu di tengah jalan.
Kemudian Wijaya dengan pasukannya menyerang pasukan Cina di Daha dan di
Canggu. Meskipun pasukan Cina memberi perlawanan yang kuat, namun lebih dari
3000 orang dapat di binasakan oleh pasukan Wijaya. Sisa pasukan Cina terpaksa lari
meninggalkan pulau Jawa.dengan banyak kehilangan anggota pasukannya yang gugur
dalam pertempuran. Peristiwa ini terjadi tanggal 31 Maret 1293.

Dari uraian di atas, tampaknyakedadangan tentera Tartar di manfaatkan oleh


Wijaya untuk mencapai cita-cita membangun kembali kerajaan leluhurnya yang telah
hancur oleh serangan Jayakatwang tahun 1292. Kekuatan asing ini di pakai untuk
menghancurkan Daha yang sangat kuat bila di bandingkan dengan kekuatan
Majapahit sendiri yang relative baru berdiri. Sebaliknya di saat kekuatan musuh
lengah, dan lelah dalam peperang yang memakan tenaga yang dan waktu yang lama
tentera Cina tidak mampu menghadapi serangan tentera Majapahit yang datang
dengan sangat tiba-tiba dan tidak di perkirakan karena mereka semula bersahabat.
Akibatnya pasukan Cina walaupun besar jumlahnya dan kuat tetapi karena dalam
kondisi kelelahan, terus-menerus berperang akhirnya tidak mampu mempertahankan
diri dan terpaksa melarikan diri meninggalkan Jawa. Keberhasilan Wijaya
menjalankan strategi ini membawa ia ke puncak tapuk pemerintahan dengan
menobatkan dirinya sebagai raja Majapahit pertama dengan gelar Sri Kertarajasa
Jayawarddana. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan Wijaya menjadi raja
Majapahit terjadi pada tanggal 15 bulan kartika tahun 1215 saka (12 Nopember
1293). Sedang menurut Kertagama dan Pararaton Wijaya menjadi raja tahun 1294,
dan prasasti Kudadu tahun 1294, menyatakan Wijaya telah menjadi raja. Walaupun
Kidung Harsa Wijaya karya sastra Kidung sangat muda namun pernyataan tahun
mulai menjadi raja lebih mendekati kebenaran, karena tidak mungkin begitu ia
menjadi raja langsung memberikan hadiah penepatan desa sima. Kemungkinan
setekah ia menjadi raja dan keadaan tenang, barulah raja melimpahkan anugrah
kepada orang-orang yang di anggap yang telah berjasa dalam perjuangan beliau
sampai ke atas tahta kerajaan.

Satu hal yang menarik perhatian dari prasasti Kudadu, Nararya Sanggrama
Wijaya menyebut dirinya cucu Narasingamurti dan menantu Kertanegara. Ini
mengandung makna bahwa Wijaya adalah pelanjut dari dinasti Rajasa dan kerajaan
Majapahit adalah juga merupakan kelanjutan dari kerajaan Singhasari (Tumapel)
yang di bangun oleh Ken Arok.

Kertarajasa Jayawardhana menjadi raja di damping oleh keempat putri


Kertanegara sebagai permaisuri yaitu, (1) Sri Parameswari Dyah Dewi
Tribhuaneswari; (2) Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendradwita; (3) Sri Jayendradewi
Dyah Dewi Pradnyaparamita; dan (4) Sri Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri. Agak
berbeda dari penjelasan di atas, Pararaton dan kitab-kitab Kidung menyebutkan hanya
dua orang. Hal ini dapat pahami kemungkinan setelah Kediri jatuh dan di kuasai
kembali oleh Wijaya, keempat putri Kertanegara termasuk putri tawanan dari keratin
Singhasari di boyong ke Majapahit, dan semua putri Kertanegara di peristri oleh
Kertarajasa Jayawarddhana, termasuk putri yang di kawinkan kepada Ardaraja.
Dalam prasasti Balawi di sebutkan keempat putri Kertanegara merupakan prakrti dari
Bangli, Malayu, Madhura dan Tanjungpura. Dengan demikian keempat putri di
anggap merupakan simbol dari keberhasilan Majapahit menguasai keempat daerah
tersebut di atas.

Berdasarkan keterangan dari prasasti Balawi dan Sukamerta, perkawinan


Kertarajasa dengan Parameswari Tribhuwana menurunkan seorang putra bernama
Jayanegara yang di ngkat sebagai putra mahkota dengan Kediri (Daha) sebagai
lungguhnya. Berbeda halnya dengan keterangan dari Nagarakerthagama di katakana
ibu Jayanegara adalah Sri Indreswari nama lain dari keempat putri di atas. Sebaliknya
Pararaton menyebutkan bahwa Jayanegara sama dengan Kalagemet anak kertarajasa
dari perkawinannya dengan putri Malayu, Dara Petak. Namun karena sumber prasasti
lebih dapat di percaya maka keterangan dalam kedua prasasti di atas di anggap lebih
tepat, karena sudah menjadi tradisi pada kerajaan-kerajaan Jawa, bahwa yang berhak
menggantikan menjadi raja adalah putra/putri mahkota yakni putra/putri dari
Parameswari bukan dari selir.

Menurut keterangan dari Nagarakertagama bahwa dengan Gayatri


Kertarajasa memperoleh dua orang putri, yaitu yang sulung bernama
Tribhuwanotunggadewi Jayawisnuwardhani yang menjadi raja di Jiwana (Bhre
Kahuripan), dan yang bungsu bernama Rajadewi Maharajasa menjadi raja di Daha
(Bhre Daha). Keterangan ini sulit di komparasinya dengan prasasti Balawi, karena
bagian terakhir dari lempengan kedua di sebutkan bahwa baginda di iringi oleh
putrinya dari…Nama putrid an ibunya berada pada lempengan berikutnya
(lempengan III) yang hilang. Karena itu keterangan Negarakerthagama ini
menimbulkan keraguan, sebab keterangan dari prasati Balawi di atas di sebutkan
Jayanegara menjadi putra mahkota dengan Daha sebagai daerah lungguhnya sehingga
jelas ia bergelar Bhre Daha, namun dalam Nagarakerthagama disebutkan Rajadewi
sebagai Bhre Daha. Kemungkinan setelah Jayanegara menjadi raja di Majapahit,
Rajadewilah yang menggantikan menjadi penguasa di Daha (Bhre Daha).

Setelah beberapa lama Kertarajasa menjadi raja, tentera yang di kirim


Kertanegara dalam rangka tugas mewujudkan cakrawala mandala kembali dari
tugasnya dengan membawa hasil gemilang. Banyak raja-raja Nusantara yang tunduk
dan memberi upeti. Raja Malayu mempersembahkan dua orang putri, Dara Petak dan
Dara jingga. Pararaton menyebutkan bahwa Dara Petak di peristri Kertarajasa yang
melahirkan Kalagemet. Sedang Dara Jingga di kawinkana dengan seorang “dewa”
beranak Tuhan Janaka yang bergelar Sri Marmadewa dan kemudian menjadi raja di
Malayu dengan gelar abhiseka Aji Matrolot. Oleh para ahli nama ini di
identifikasikan denagan Adityawarman. Kidung Harsa Wijaya menyebutkan, bahwa
sebelum di kawinkan dengan seorang dewa, Dara Jingga di peristri oleh Kertarajasa.
Tetapi karena putri ini tidak senang tinggal di Majapahit dan sesalu rindu akan tanah
airnya, ia kemudian di kirim kembali ke Malayu.

Pengikut-pengikut kertarajasa yang banyak berjasa dalam perjuangannya


untuk mewujudkan Majapahit di berikan kesempatan untuk menikmati hasil
perjuangannya dan diangkat menjadi pejabat tinggi dalam pemerintahan. Dari
pengikut-pengikut Kertarajasa yang di sebutkan dalam Pararaton dan kitab-kitab
Kidung, ada beberapa yang di jumpai dalam prasasti-prasasti, yaitu Wiraraja sebagai
mantri mahawiradikara (dalam prasasti Kudadu), Pu Tambi(Nambi) sebagai rakryan
mapatih, dan Pu Sora sebagai rakryan apatih di Daha (dalam prasasti sukamerta).
Kedudukan Nambi merupakan kedudukan tinggi dalam hirarakhi pemerintahan
Majapahit., sedang Sora menduduki tempat ke dua. (Gajah Mada juga sebelum
menjadi orang nomor satu setelah raja ia menjabat patih di Daha sebagai tempat ia
magang dalam karier politiknya). Sumber lain menyebutkan bahwa Lawe di angkat
sebagai amanca nagara di Tuban dan Adhipati di Datara. Pemumpin pasukan
Pamalayu di jadikan panlima perang dengan mendapat nama Kebo Anabrang. Tetapi
rupa-rupanya adapula yang merasa tidak puas dengan kedudukan yang di perolehnya.
Ini merupakan sumber terjadinya pemberontakan dalam dua dasawarsa pertama dari
sejarah kerajaan yang baru berdiri ini. Pertama Rangga Lawelah yang menyatakan
rasa tidak puasnya terhadap raja,mengapa bukan dia sendiri atau Sora yang di jadikan
patih di Majapahit tetapi Nambi, padahal ia merasa lebih berjasa, gagah berani dan
perwira daripada Nambi.

Pengangkatan Nambi menjadi patih dan bukan orang lain, tentulah


berdasarkan pertimbangan yang bersumber dari kitab-kitab penuntun yang ada, antara
lain kitab Nawamatya, yang berisi uraian tentang pejabat-pejabat kerajaan, kewajiban
mereka, dan syarat-syarat apa yang harus di penuhi untuk dapat di angkat dalam
jabatan tertentu. Dalam kitab itu, antara lain di katakana bahwa seorang patih
hamangkubhumi tidak hanya gagah berani dalam peperangan, tetapi juga harus
paham segala cabang ilmu pengetahuan, adil, bijaksana, pandai berdiplomasi,
membina persahabatan, mementingkn kepentingan orang lain, tidak takut di kritik,
dan lain sebagainya. Sedang menurut sebuah sumber menyebutkan bahwa Rangga
Lawe seorang yang cepat marah dan kasar tabiatnya. Atas dasar pertimbangan itu,
kemungkinan Kertarajasa tidak mengangkat Lawe yang menjadi patih
hamangkubhumi melainkan Nambi yang lebih bijaksana.

Ketidakpuasan Lawe ini, di tunjukkan dengan mengambil sikap ia pulang ke


Tuban dan menghimpun kekuatan. Usaha Wiraraja untuk menginsafkannya tidak
berhasil. Dalam kemelut ini muncullah seorang tokoh bernama Mahapati yang
menjadi biang keladi semakin meruncingnya kemelut ini. Dialah yang mengadukan
bahwa Rangga Lawe ingin melakukan pemberontakan kepada Majapahit, sehingga
terjadilah perang besar. Peristiwa perang besar ini terjadi tahun 1295 Dalam
peperangan ini Rangga Lawe gugur di bunuh oleh Kebo Anabrang, tetapi kemudian
kebo Anabrang di bunuh oleh Lembu Sora, karena ia tidak tahan melihat kematian
sahabatnya dalam duka nestapa. Peristiwa pembunuhan Kebo Anabrang ini di jadikan
alasan oleh Mahapatih untuk menyingkirkan Sora dengan menganjurkan kepada raja
agar Sora di berikan hukuman akibat perbuatannya tersebut. Raja sangat berat hati
menjatuhkan hukuman, karena melihat jasa-jasa Sora yang demikian besar di masa
lalu. Namun berkat muslihat Mahapati, akhirnya ia dapat memaksakan timbulnya
perang antara pasukan raja dengan pasukan Lembu Sora tahun 1295-1300. Dalam
perang ini Lembu Sora dan pengikut-pengikutnya, Juru Demung dan Gajah Biru
gugur. Kisah peperangan ini secara rinci di tulis Dalam Kidung Sorandaka. Dalam
Pararaton pemberontakan Juru Demung terjadi secara terpisah yakni tahun 1302 dan
terbunuh pada tahun 1313, sedang Gajah Biru memberontak tahun 1314 dan gugur.
Berikutnya Nambi menjadi sasaran intrik Mahapati. Melihat Mahapati semakin
mendapat kepercayaan dari raja dan, Nambi tahu bahwa jabatannya menjadi tujuan
intrik politik Mahapati, Nambi mengambil jalan menyingkir dari Majapahit dengan
minta ijin kepada raja untuk pergi ke Lumajang menengok Ayahnya (Arya Wiraraja)
yang sedang sakit.
Namun, sementara raja Kertarajasa Jayawarddhana meninggal tahun 1309.
Dan ia di candikan di Antahpura dalam wujud arca Jina dan di Samping dekat Blitar
dalam bentuk arca Siwa. Ia kemudian di gantikan oleh putra Mahkota Jayanegara.

2. Raja-Raja Majapahit Setelah Kertarajasa Jayawarddhana

2.1 Jayanegara 1309-1328


Sebelum menggantikan Kertarajasa menjadi raja, Jayanegara
berkedudukan sebagai yuwaraja di Daha. Ia naik tahta menggantikan ayahnya
tahun 1309, dan menurut sebuah prasastinya yakni Tahanaru ia memakai
nama
Masa pemerintahan Jayanegara keadan politik Majapahit tidak stabil,
karena ia di dorong oleh srentetan pemberontakan-pemberontakan yang
merupakan kelanjutan dari ketidak puasan di masa pemerintahan ayahnya,
akibat intrik dan hasutan Mahapati yang lebih di percaya oleh raja daripada
para pembantu-pembantunya yang setia dan telah berjasa di masa lalu. Seperti
di jelaskan di atas, Nambi menjadi sasaran intrik politik Mahapati, setelah
ayahnya (Arya Wiraraja) meninggal tahun 1311 ia tidak mau kebali ke
Majapahit bahkan ia membangun perbentengan di Pajarakan. Melihat hal ini
tentera Majapahit menyerbu Pajarakan tahun 1316, menghancurkan benteng
pertahanan Pajarakan dan membunuh Nambi dengan semua pengikutnya.
Tahun 1318 menyusul pemberontakan Semi dan Kuti tahun 1319.
Semi dan Kuti adalah dua dari tujuh dharmaputra Majapahit yakni Pangsa,
Wedang, Yuyu, Tanca, an Banyak. Dari ketujuh dharmaputra ini adalah
pejabat-pejabat yang di beri anugrah oleh raja karena telah berjasa. Mereka
berdua gugur dalam perang juga karena asutan fitnah Mahapati. Rupanya
setelah terjadi dua peristiwa besar ini yang membuat raja pernah tersingkir
dari istana, membuat raja sadar akan kekeliruannya sangat mempercayai
Mahapati yang berhati jahat yang berambisi memburu jabatan patih
hamangkubhumi. Mahapati kemudian di tangkap dan di bunuh.
Dalam peristiwa pemberontakan Kuti ini, muncul seorang tokoh, yang
dalam perkembangan sejarah Majapahit sangat berperan penting, yakni
Gajaah Mada. Pada saat pemberontakan Kuti, ia berkedudukan sebagai
seorang anggota pasukan pengawal raja (bekel bhayangkari). Berkat siasat
Gajah Mada yang di kenal dalam peristiwa Bebander, raja dapat di
selamatkan, dan Kuti dapat di bunu. Atas jasanya ini, raja memberi anugrah
kepada Gajah Mada setelah amukti palapa selama dua bulan, yakni
mengangkatnya sebagai patih di Kahuripan. Pararaton memberi keterangan
tentang peristiwa Bebander sebagai berikut.
Ketika Kuti belum mati, raja akan pergi sendiri ke Bebander. Ia pergi
pada waktu malam, tidak ada yang tahu, hanya orang-orang bhayangkari
mengiringkannya. Semua yang dapat giliran menjaga pada waktu raja pergi
itu, banyaknya lima belas orang. Pada waktu itu Gajah Mada menjadi kepala
Bhayangkari dan kebetulan juga sedang memnerima giliran menjaga, itulah
sebabnya ia mengiringi raja pada waktu raja pergi dengan menyamar. Lamalah
raja tinggal di Bebander. Adalah seorang pengalasan, ia memohon ijin akan
pulang ke rumahnya, tetapi ia tidak di ijinkan oleh Gajah Mada, karena jumlah
pengiringnya sangat sedikit.ia memaksa pulang, lalu di bunuh oleh Gajah
Mada, karena kalau-kalau ia nanti memberitahu bahwa raja bertempat tinggal
di rumah kepala desa Bebander, sehingga ra Kuti dapat mengetahui.
Masa pemerintahan Jayanegara, hubungan Majapahit dengan Cina
telah mulai pulih kembali seperti pada abad IV-VIIIM. Menurut berita Cina
utusan dari Jawa datang setiap tahun ke Cina, yakni antara tahun 1325-
1328.utusan yang datang tahun 1325 menyebutkan raja yang memerintah di
Jawa di sebutkan bernama Cha-ya-na-ko-nai yang merupakan ucapan Cina
untuk Jayanegara.
Dalam catatan perjalanan Ordorico de Pordenone tahun 1321 ada
disebutkan bahwa ia pernah singgah di Jawa dan menceritakan bahwa Raja
Jawa mempunyai tujuh orang raja taklukan. Istananya penuh dengan hiasan
emas, perak dan permata. Khan yang Agung dari Cathay sering bermusuhan
dengan raja Jawa, tetapi selalu dapat di kalahkan oleh raja Jawa. Pulau Jawa
amat padat penduduknya dan menghasilkan rempah-rempah.
Selama 19 tahun pemerintahan Jayanegara, tidak banyak
meninggalkan sumber sejarah berupa prasasti, hanya ada berupa prasasti yang
di keluarkan olehnya yakni prasasti Tuhanaru, prasasti Blambangan dan
prasasti Blitar I. prasasti Tuhanaru 1245 Saka (13 Desember 1323) berisi
penetapan kembali desa Tuhanaru dan Kusambyan sebagai daerah Swatantra
atas permohonan Dyah Makaradhwaja. Permohonan tersebut di kabulkan oleh
raja karena Dyah Makaradhwaja di anggap sebagai anak oleh raja. Maksud di
anggap anak ini tidak jelas, karena tidak ada sumber lain yang menjelaskan
tentang masalah ini. Tetapi yang jelas setelah Jayanegara wafat yang naik
tahta adalah adik perempuannya (anak Dyah Gayatri dengan Kertarajasa)
yakni Tribhuwanatunggadewi. Ini berarti Jayanegara tidak mempunyai anak.
Prasasti Blambangan hanya ada satu lempengan saja di temukan,
isinya memperingati penetapan daerah Blambangan sebagai daerah perdiakan,
karena para rama daerah Belambangan tetap menunjukkan kebaktiannya
kepada raja dan membantu tegaknya kedudukan raja di atas singghasana,
menghancurkan kejahatan di dunia, dan menghapuskan jaman Kaliyuga.
Prasasti Blitar di pecahkan oleh batu alam, tetapi keadaannya sudah
aus sehingga sulit di baca. Angka tahunnya 1246 Saka (5 Agustus 1324),
menyebut gelar abhiseka Jayanegara sebagai Sri Sundarapandyadewa nama
Maharajabhiseka Sri Wisnuwangsa….
Berdasarkan keterangan dari kedua prasasti, dan keterangan dari
Pararaton di atas pada masa pemerintahan Jayanegara, kondisi politik di
Majapahit tidak stabil, akibat adanya intrik-intrik di dalam kraton maupun
karena berkembangnya ketidak puasan orang-orang dekat jayanegara
sebagaimana keterangan dalam Pararaton yang berakhir dengan meninggalnya
Jayanegara akibat perbuatan orang dekatnya yakni di bunuh oleh Tanca
seorang tabib istana, salah satu dari tujuh dharmaputra, ketika ia disuruh
mengobati bisul yang di deritannya. Perbuatan Tanca ini di ketahui oleh Gajah
Mada ia lalu di bunuh oleh Gajah Mada. Peristiwa itu terjadi tahun 1328 dan
ia kemudian di candikan di dalam pura di Sila Petak dab di Bubat dalam
wujud arca Wisnu dan Sukhalila dalam wujud Amoghasiddhi. Pararaton
menjelaskan secara panjang lebar tentang kematian Jayanegara oleh Tanca
yang di katakana bahwa Tanca melakukan pembunuhan ini karena ia sangat
marah dan kesal, sebab Jayanegara telah menggauli istrinya.

2.2 Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani 1328-1350


Sebelum menggantikan menjadi raja, Tribhuwanotunggadewi,
menjabat raja di Kahuripan (Bhre Kahuripan). Ia di nobatkan menjadi raja
Majapahit dengan gelar abhiseka Tribhuwanotunggadewi
Jayawisnuwarddhani. Ia kawin dengan Cakradara atau Cakreswara raja
Singhasari (Bhre Singhasari) dengan gelar Kertawarddhana. Berdasarkan
keterangan dari prasasti Trawulan I (Canggu) tahun 1280 saka (7 Juli 1358)
Kertawarddhana adalah keturunan dari Wisnuwarddhana dari Singhasari.
Naiknya Tribhuwanotunggadewi sebagai raja menggantikan Jayanegara ada
dua pandangan. Pandangan pertama, Jayanegara tidak berputra, karena itu
kekuasaan di kembalikan kepada anaknya Kertanegara sebagai pelanjut
kekuasaan Kertanegara yakni Dyah Gayatri Parameswari Kertarajasa, tetapi
karena Gayatri menjadi bhiksuni maka kekuasaan di serahkan kepada anaknya
yakni Tribhuwanotunggadewi Jayawisnuwarddhani. Itu pulalah sebabnya
prasasti-prasasti Tribhuwanotunggadewi memakai kata makamanggalya
seperti halnya Kertanegara semasih Seminingrat menjadi raja. Pendapat
kedua, bahwa sesuai dengan tradisi yang berlaku pada dinasti raja-raja jawa
setiap putra maupun putri dari parameswari berhak atas tahta. Jayanegara dan
Tribhuwanotunggadewi sama-sama putra dan putri dari parameswari, karena
itu keduanya memiliki hak yang sama atas tahta. Oleh karena Jayanegara
lebih tua (kakaknya), Jayanegaralah yang lebih berhak. Tetapi, karena tidak
mempunyai putra, tahta jatuh ke tangan Tribhuwanatunggadewi, sebab
sebelum menjadi raja sesungguhnya ia telah berkedudukan sebagai
kumararaja (juvaraja) di Kahuripan (Bhre Kahuripan). Dengan demikian
Tribhuwanatunggadewi menjadi raja bukan atas nama (makamanggalya)
ibunya, Gayatri. Namun demikian sampai sekarang belum ada bukti yang
mampu menjelaskan mengapa tahun 1350 ketika Gayatri meninggal
Tribhuwanatunggadewi tidak memerintah terus, namun sebaliknya tahtanya di
serahkan kepada anaknya, Hayam Wuruk yang sudah dewasa. Hal yang sama
berlaku juga, Hayam Wuruk dalam prasastinya juga memakai kata
makamanggalya. Adiknya Rajadewi Maharaja kawin dengan Kudamerta yang
menjadi Bhre Wengker dengan nama Wijayarajasa.
Berdasarkan keterangan dari Negarakertagama, di ketahui bahwa pada
masa pemerintahan Tribhuwanotunggadewi kembali terjadi pembrontakan,
yang di kenal dengan sebutan pristiwa Sadeng dan Keta tahun
1331.pemberontakan ini dapat di padamkan oleh Gajah Mada. Keberhasilan
Gajah Mada memadamkan pemberontakan Sadeng menyebabkan ia kemudian
di angkat menjadi mapatih hamangkubhumi di Majapahit. Peristiwa
pemberontakan ini, oleh Pararaton di kisahkan dengan panjang lebar, bahwa
ketika peristiwa ini meletus yang menjadi hamangkubhumi di Majapahit
adalah Arya Tadah, tetapi beliau dalam keadaan sakit. Ia meminta kepada
Gajah Mada agar mau di calonkan sebagai patih hamangkubhumi
menggantikan nya, karena ia dalam keadaan sakit. Namun Gajah Mada
menolak, dengan alasan sebelum ia berhasil menyelesaikan tugasnya
memadamkan pemberontakan di Sadeng itu. Ia kemudian berangkat ke
Sadeng, tetapi ra Kembar telah mendahului perintah berangkat ke Sadeng.
Pembangkangan ra Kembar ini dapat di selesaikan setelah ratu sendiri yang
turun tangan.
Lanjut dalam Pararaton di sebutkan, bahwa setelah peristiwa Sadeng,
Gajah Mada di angkat menjadi mapatih hamangkubhumi dan ketika ia di
angkat menjadi mapatih hamangkubhumi dan mengucapkan sumpah palapa,
suatu peristiwa yang terkenal dalam sejarah Indonesia Kuno, di hadapan ratu
dan para pembesar kerajaan, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum ia
dapat menundukkan Nusantara yaitu, Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru,
Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tamasik (Singapura). Apakah
peristiwa ini benar-benar historis atau tidak, tidak dapat di pastikan, karena
tidak ada sumber lain yang memberitakannya. Kata Palapa telah banyak
menimbulkan berbagai tafsiran, dapat berarti “ apa yang dapat di ambil”,
“hasil”, atau “anugrah raja”. Dengan demikian, Gajah Mada tidak mau
menerima anugrah raja setelah peristiwa Sadeng ini. Tetapi hal ini kurang
tepat karena dalam Pararaton jelas di sebutkan Gajah Mada angabehi setelah
peristiwa Sadeng, sama halnya denga peristiwa Bebander (Kuti) ia melakukan
amukti palapa selama dua bulan, lalu ia di angkat menjadi patih di Kahuripan
(lihat uraian di atas).
Peristiwa lain yang membuat nama Gajah Mada mencuat ialah
keberhasilannya menaklukkan Bali pada tahun 1343. Raja Bali yang
memerintah pada saat itu yakni Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten dan
seluruh keluarganya dapat di bunuh. Raja ini di kenal dalam prasasti
Langgaran atau Langgayan tahun 1338.
Keadaan Majapahit (Jawa)pada abad XIV atau sekitar tahun 1349,
diperoleh pula dari catatan perjalanan pedagang Cina bernama Wang-Ta-
Yuandalam bukunya Tao-ichih-lueh yang di terjemahkan oleh W.W. Rockill,
bahwa She-p’o sangat padat penduduknya, tanahnya subur, dan banyak
menghasilkan padi, lada, garam, dan burung kakak tua, yang semuanya
merupakan barang utama. Banyak terdapat banguanan indah di She-p’o. dari
luar, She-p’o mendatangkan mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan
barang dari besi. Mata uang di buat dari campuran perak, timah putih, timah
hitam, dan tembaga. Banyak daerah yang mengakui kedaulatan She-p’o antara
lain beberapa daerah di Malaysia, Sumatra, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Timur, dan beberapa daerah di Indonesia bagian timur.
Menurut keterangan dari Nagarakerthagama, tahun 1334 lahirlah puta
mahkota yang bernama Hayam Wuruk yang di sertadi munculnya gejala alam
berupa gempa bumi, hujan abu, guntur dan kilat bersambungan di udara
sebagai akibad meletusnya gunung Kampud. Setelah Hayam Wuruk dewasa,
Tribhuanatunggadewi mengundurkan diri dari tahun 1350, dan mengangkat
Hayam Wuruk, anaknya menjadi raja Majapahit. Lanjut dari keterangan
Pararaton dan Nagarakerthagama di ketahui pada tahun 1362 atas perintah
Tribhuwanotunggadewi Hayam Wuruk melaksanakan upacara Sradddha
untuk memperingati duabelas tahun wafatnya Rajapatni, Dyah Dewi
Tribhuwaneswari.
Pada tahun 1372 Tribhuwanotunggadewi wafat, dan didharmakan di
Panggih, bernaman Pantarapurwa. Di Panggih diketemukan sebuah
reruntuhan percandian, kemungkinan merupakan pedharmaan
Tribhuwanotunggadewi yang di sebut Pantarapurwa tersebut.

2.3 Hayam Wuruk 1350-1385


Hayam Wuruk di nobatkan sebagai raja pada tahun 1350 dengan gelar
abhiseka Sri Rajasanagara, dan di kenal juga dengan Bhra Hyang Wekasing
Sukha. Sebelum di nonatkan sebagai raja Majapahit, di masa pemerintahan
ibunya ia telah menjadi raja Kumara (raja muda) dengan daerah Jiwana
sebagai daerah lungguhnya. Dalam menjalankan pemerintahan ia dibantu oleh
patih hamengkubhumi Gajah Mada yang sudah mengabdikan dirinya sebagai
patih hamengkubhumi sejak masa pemerintahan Tribhuwanotunggadewi atas
jasanya telah berhasil menumpas pemberontakan Sadeng.
Berkat bantuan Patih Gajah Mada Hayam Wuruk berhasil membawa
Majapahit ke puncak kejayaannya. Seperti halnya raja Kerthanegara dengan
politik perluasan cakrawala mandala atau nusantara atau dwipantara, Gajah
Mada juga ingin melaksanakan politik nusantara-nya yang di centuskan pada
saat ia mengucapkan sumpah palapa tahun 1331 di hadapan ratu
Tribhuwanotunggadewi dan para pembesar istana lainnya. Dalam rangka
mewujudkan ideologo politiknya ini, satu persatu daerah-daerah yang belum
tunduk di naungan panji-panji Majapahit ditaklukkannya dan di persatukan di
bawah panji Majapahit.
Berdasarkan keterangan dari Nagarakertagama, dapat di ketahui
bahwa daerah-daerah yang berhasil di kuasai dan berasa di bawah panji
Majapahit sangat luas, yang meliputi hamper seluas daerah Indonesia (NKRI)
sekarang. Yakni, daerah-daerah di Sumatra bagian Barat sampai ke kepulauan
Maluku dan Irian bagian Timur. Bahkan pengaruhnya meluas sampai ke
beberapa Negara-negara tetangga di wilayah Asia tenggara. Tetapi rupanya
politik nusantara ini, berakhir di laksanakan smapai tahun 1357 dengan
terjadinya peristiwa Bubat (pasundan-bubat)yakni perang antara orang Sunda
dengan Majapahit. Namun Pararton masih menyebutkan adanya ekspedisi
Majapahit ke Dompu dalam tahun 1357, bersamaan dengan adanya peristiwa
di Bubat ini. Bahkan dalam Nagarakerthagama juga menyebutkan
penundukkan Dompo di pimpin oleh Mpu Nala.
Peristiwa di Bubat ini, diawalai oleh keinginan Hayam Wuruk untuk
menjadikan putri raja Sunda, Dyah Pitaloka sebagai Parameswarinya. Atas
dasar kesepakatan kedua belah pihak, raja Sunda dengan Putri Dyah Pitaloka
dan para pembesar istana berangkat ke Majapahit untuk melangsungkan
pernikahan putri Sunda tersebut. Sesampainya di wilayah Majapahit,
rombongan pasundan ini berdiam di Bubat menunggu jemputan dari Hayam
Wuruk. Tetapi Gajah Mada tidak setuju dengan cara tersebut, malah
sebaliknya dia berkeinginan agar putri itu di pesembahkan sebagai tanda
pengakuan Pasundan atas supremasi Majapahit. Jelas para pembesar Pasundan
tidak bisa menerima perlakuan dan sikap Gajah Mada ini. Oleh karena tidak
ada kata sepakat, tempat kediaman orang-orang Sunda di Bubat akhirnaya di
kepung oleh tentera Majapahit sehingga meletuslah perang besar di Bubat
yang menyebabkan semua orang Sunda mati terbunuh dan membunuh diri,
dan gagal lah pernikahan tersebut. Peristiwa di Bubat ini di kemukakan
panjang lebar oleh Pararaton dan Kidung Sundayana, tetapi tidak di sebutkan
di dalam Negarakertagama. Hal ini dapat di maklumi karena
Nagarakertagama merupakan karya puja sastra, dan peristiwa di Bubat
merupakan aib (tidak mengenakkan) Hayam Wuruk dan tidak menunjang
kebesaran Majapahit di bawah Hayam Wuruk serta di anggap sebagai suatu
kegagalan politik cakrawala mandala-nya Gajah Mada dalam menundukkan
Sunda.
Setelah peistiwa di Bubat ini, menurut Pararaton Gajah Mada amukti
palapa (di sisni diartikan menikmati istirahat), mengundurkan diri dari jabatan
sebagai patih hamangkubhumi. Beberapa waktu kemudian dia aktif kembali
dalam pemerintahan, tetapi tidak banyak di ketahui tentang pelaksanaan
selanjutnya tentang gagasan politik nusantaranya setelah peristiwa di Bubat.
Dalam Nagarakertagama ada di sebutkan bahwa raja Hayam Wuruk pernah
menganugrahkan daerah sima kepada Gajah Mada, yang kemudian di beri
nama dharma kasogatan Madakaripura.daerah ini di abad XVI berkembang
menjadi desa sima yang luas, terbukti dari catatan perjalanan penulis italia
Antonio Piggafetta yang mengikuti perjalanan Magelhaes dengan kapal
Victoria pada tahun 1522 berlabuh di Timor dan mendengar mengenai kota-
kota di Jawa, diantaranya Gagiamada, yang dapat di artikan atau di samakan
dengan Madakaripura. Rupanya di tempat inilah Gajah Mada menetap selama
ia mukti palapa.
Sebagaimana di jelaskan di atas, calon istri Hayam Wuruk meninggal
dalam peristiwa di Bubat, karena itu kemudian Hayam Wuruk kawin dengan
Paduka Sori(saudara sepupunya), putri Bhre Wengker Wijayarajasa dengan
Bhre Daha Rajadewi Maharajasa, bibi Hayam wuruk.
Peristiwa-peristiwa penting lainnya dimasa pemerintahan Hayam
Wuruk yang berkaitan dengan kegiatan budaya dan ekonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dapat di ketahui dari keterangan
Nagarakertagama. Bahwa hasil semua pemungutan pajak di pergunakan untuk
kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat Majapahit dalam berbagai
bidang. Untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan dalam bidang
pertanian, raja telah memerintahkan pembanagunan bendungan-bendungan
dan saluran-saluran pengairan dan pembukaan tanah-tanah pertanian dan
perladangan baru. Di beberapa tempat di sepanjang sungai-sungai besar di
bangun tempat-tempat penyebrangan yang memberikan kemudahan bagi lalu-
lintas antar daerah.
Hayam Wuruk juga sangat memperhatikan keadaan daerah-daerah
kerajaan oleh karena itu, beberapa kali ia melakukan perjalanan kenegaraan
meninjau wilayah kerajaan Majapahit di sertai oleh para pembesar kerajaan
Majapahit. Kekawin Negarakerthagama mencatat perjalann Hayam Wuruk ke
pajang pada tahun 1351, ke daerah Lasem tahun 1354 , ke daerah pantai laut
selatan (Lodaya)tahun 1357. Kemudian ke Lumajang pada tahun 1359 dan
daerah Titib dan Sempur pada tahun-tahun berikutnya. Daerah Blitar
dikunjungi pada tahun 1361, dan tahun 1363 Hayam Wuruk mengunjungi
Simpingan sambil meresmikan sebuah candi yang baru selesai di pindahkan.
Peristiwa penting lainnya yang terjadi pada masa pemerintahan Hayam
Wuruk ialah penyelenggaraan pesta dalam rangka upacara sraddha yang
agung untuk memperingati duabelas tahun meninggalnya Rajapatni. Upacara
tersebut di laksanakan dengan sangat meriah dan hikmad dalam bulan
Badrapada, tahun 1362 atas perintah ibunda Tribhuwanotunggadewi. Uraian
tentang upacara sraddha ini, disamping di muat dalam Nagarakertagama, juga
terdapat dalam karya sastra Tan Akung, Banawa Sekar.
Sekembalinya dari perjalanan ke Simping Hayam wuruk mendengar
Gajah Mada sakit. Tidak lama setelah itu, yakni tahun 1364 patih
hamangkhubhumi Gajah Mada meninggal, setelah lebih dari tiga puluh tahun
mengabdikan dirinya untuk kebesaran dan kejayaan Majapahit. Hayam wuruk
dan seluruh kerajaan Majapahit sangat berduka cita. Kepergian Gajah Mada
merupakan suatu kehilangan yang amat besar bagi Majapahit.
Untuk mengisi kekosongan pemerintahan sepeninggal Gajah Mada,
Hayam Wuruk mengundang Panom Narendra yakni sebuah Dewan
pertimbangan raja yang terdiri dari Sembilan orang yakni terdiri dari Hayam
Wuruk, Sri Kerthawarddhana(ayah raja), Rani Tribhuwanotunggadewi(ibu
raja), Rajadewi Maharajasa(bibi raja), dan suaminya Wijayarajasa,
Rajasaduhiteswari(adik raja), dan suaminya Singhawarddhana,
Rajasaduhuttendudewi (adik raja), dan suaminya Singhawarddhana, dan
suaminya Raden Larang (Bhre Matahun),untuk merundingkan masalah
penggantinya Gajah Mada. Uasaha mengganti Gajah Mada telah di lakukan
tetapi tidak pernah berhasil dan mampu menggantikan peran yang pernah di
mainkan oleh Gajah Mada dalam pengabdiannya kepada Majapahit. Akhirnya
raja memutuskan jabatan patih Hamangkubhumi sepeninggal Gajah Mada di
kosongkan, dan untuk menjalankan pemerintahan, Hayam Wuruk mengangkat
aryyatmaraja Pu Tandingmenjadi wrddhamantri, sang arrya wiramandalika
Pu Nala di angkat menjadi mancangara, dan patih Dami di angkat menjadi
yuwamantri. Masa pemerintahan Hayam Wuruk tanpa patih Gajah Mada
hanya berlangsung selama tiga tahun terdapat kekosongan tidak ada patih
hamangkubhumi, kemudian Gajah Enggon di angkat menjadi patih
hamangkubhumi tahun 1371 dan meninggal tahun 1398. Kemudian menyusul
pada tahun 1389 Hayam Wuruk meninggal, tempat pedharmaanya tidak di
ketahui. N.J.Krom memperkirakan pendharmaan Hayam wuruk adalah di
Paramasukhapuradi Tanjung yang juga di jadikan tempat pedharmaan
cucunya, Bhre Tumapel (Bhre Hyang Wekasing Sukha II).

2.4 Wikramawarddhana (Bhre Hyang Wisesa)1389-1400


Sepeninggal Hayam Wuruk tahta kekuasaan di duduki oleh
Wikramawarddhana (Bhre Hyang Wisesa), keponakan dan menantu Hayam
Wuruk, karena kawin dengan Putrinya, yakni Kusumawarddhani. Dengan
demikian Wikramawarddhana menjadi raja karena perkawinannya dengan
putri mahkota Kusumawarddhani. Wikramawarddhana adalah anak dari Dyah
Nrttaja Rajasaduhiteswari, adik raja yang kawin dengan Bhre Paguhan
Singhawarddhana.
2.5 Suhita 1400-1447 dan Perang Suksesi Kekuasaan (Paregreg)
Wikramawarddhana mulai memerintah tahun 1389. Ia memerintah
selama duabelas tahun dan pada tahun 1400 ia mengundurkan diri dari
pemerintahan, karena menjadi seorang pendeta (bhagawan), dan mengangkat
anaknya, Suhita untuk menggantikan menjadi raja Majapahit. Menurut
Pararaton, Suhinta adalah anak ke dua Wikramawarddhana, anak pertamanya
seorang laki-laki bernama Bhre Tumapel yang lebih di kenal dengan Bhra
Wekasing Sukha II. Dialah yang sesungguhnya berhak menggantikan menjadi
raja, tetapi karena dia telah meninggal tahun 1389, sebelum ia dinobatkan
menjadi raja.
Naiknya Suhita menjadi raja Majapahit inilah yang menjadi pangkal
timbulnya kericuhan di Majapahit berupa adanya pertentengen dalam suksesi
kekuasaan di Majapahit antara Wikramawarddhana dengan Bhre Wirabhumi,
yang merupakan anak selir Hayam Wuruk. Dilihat dari tradisi-tradisi kerajaan
di jawa yang berhak menjadi raja adalah putra/putri dari parameswari bukan
anak selir. Namun semasih Hayam Wuruk menjadi raja, Bhre Wirabhumi di
beri kekuasaan di ujung timur wilayah Majapahit yakni di Blambangan. Ia
tidak setuju dengan pengangkatan Suhita sebagai raja Majapahit, dan tahun
1401 pecahlah persengketaan antara Bhre Wirabhumi dengan
Wikramawarddhana yang memuncak dalam bentuk perang besar yang di
kenal dengan perang Paregreg. Pada awal perang Wikramawarddhana
menderita kekalahan, tetapi berkat bantuan Bhre Tumapel, Bhra Hyang
parameswara berhasil mengalahkan Bhre Wirabhumi dan ia lalu melarikan
diri naik perahu. Kemudian Raden Gajah mengejarnya dan berhasil
menangkap dan memenggal kepalanya tahun 1406. Raden Gajah di dalam
Pararaton di sebutkan menjabat ratu angabhayadengan gelar Bhra Narapati di
masa Pemerintahan Wikramawarddhana.
Peristiwa Paregreg ini, di catat juga dalam berita Cina yang berasal
dari jaman dinasti Ming (1368-1643). Di dalam buku sejarah dinasti Ming
(Ming-Shih), jilid ke 324, di sebutkan bahwa
Setelah kaisar Ch’eng-tsu naik tahta pada tahun 1403 ia mengadakan
hubungan diplomatic dengan raja Jawa (Majapahit). Ia mengirimkan utusan
kepada raja “bagian barat”, Tu-ma-pen, dan raja “bagian timur’, put-ling-ta-
ha (Pa-ling-da-ha). Pada tahun 1405 Laksamana Cheng-ho memimpin sebuah
armada perutusa ke Jawa, dan pada tahun berikutnya ia menyaksikan kedua
raja Majapahit tersebut saling berperang. Disebutkan kerajaan bagian timur
mengalami kekalahan dan istananya di rusak. Bahwa pada saat terjadi perang
di antara dua kerajaan tersebut, utusan Cina sedang berada di kerajaan
Majapahit bagian timur, bahkan serangan kerajaan bagian barat ini telah
menyebabkan ikut terbunuhnya sebanyak 170 orang-orang Cina.
Walaupun Bhre Wirabhumi telah meninggal, tetapi pertentangan
antara keluarga tidak menghilang, bahkan menjadi benih konflik dan balas
dendam yang berlarut-larut. Hal ini tampak pada tahun 1533 Raden Gajah
dipersalahkan karena telah membunuh Bhre Wirabhumi. Pemerintah Suhita
berakhir tahun 1447, karena meninggal dunia, dan dicandikan di Singhajaya
bersama-sama dengan suaminya Bhra Bhatara Hyang Parameswari (Aji
Ratnapangkaja) yang meninggal tahun 14

2.6 Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya 1447-1456


Oleh karena Suhita tidak mempunyai Putra, sepeninggalnya tahta
kekuasaan Majapahit di duduki oleh adiknya Bhre Tumapel Dyah
Kertawijaya. Pada awal masa pemerintahannya, yakni tahun 1447 ia
mengeluarkan prasasti Wringinpitu, yang isinya pengukuhan daerah perdikan
dharma (dharmasima) Rajasakumarapura di Wringinpitu yang telah di
tetapkan sebelunnya oleh neneknya Sri Rajasaduhiteswari Dyah Nrttaja, untuk
memuliakan Sri Paduka Parameswara Sang mokta ring Sunnyalaya. Di dalam
prasasti itu, ia bergelar Wijayaparakramawarddhana.
Masa pemerintahannya tidak lama, pada tahun 1451 ia meninggal dan
didharmakan di Krtawijayapura.

2.7 Bhre Pamotan (Sri Rajasawarddhana) atau Sang Sinagara 1453-1466


Sepeninggal Kertawijaya, Bhre Pamotan menggantikan menjadi raja
Majapahit dengan gelar Sri Rajasawarddhana. Dikenal pula dengan sebutan
Sang Sinagara. Asal-usul raja ini tidak di ketahui dengan jelas, karena
kurangnya sumber yang memberikan keterangan keterangan tentang raja ini.
Pada prasasti Wringinpitu, Rajasawarddhana disebutkan urutan ke tiga
sesudah raja, dan pada tahun 1447 ketika prasasti ini dikeluarka oleh
Kertawijaya, ia berkedudukan sebagai Bhatara Ring Kahuripan. Berdasarkan
keterangan Pararaton Rajasawarddhana adalah saudara raja Kertawijaya.
Sedang B.J.O. Schrieke berpendapat mungkin ia anak atau menantu raja
Kertawijaya yang kawin dengan putrinya Bhre Daha. Dengan demikian, pada
masa pemerintahan Kertawijaya. Rajasawarddhana telah mempunyai
kedudukan yang tinggi dan penting di kerajaan Majapahit, artinya ia
merupakan kerabat raja.
Berdasarkan keterangan Pararaton, disebutkan bahwa pada waktu
menjadi raja, Kertarajasawarddhana berkedudukan di Keling-Kahuripan.
Dengan demikian, kemungkinan raja tidak berkedudukan di ibukota
Majapahit, tetapi telah di pindahka ke Keling-Kahuripan. Kemugkinan
pemindahan pusat pemerintahan ini, untuk menjauhkan diri dari suasana
konflik yang tiada reda di antara keluarga bangsawan Majapahit.
Rajasawarddhana memerintah selama tiga tahun, meninggal tahun 1453
didharmakan di Sepang.
Menurut Pararaton, sepeninggal Rajasawarddhana, selama tiga tahun
(1453-1456) Majapahit mengalami kekosongan, tanpa ada seorang raja yang
memerintah (interregnum).sebab-sebab terjadinya interregnum tidak di
ketahui dengan jelas. Kemungkinan akibat konflik yang panjang dalam rangka
memperebutkan kekuasaan di Majapahit. Akibat konflik yang berkepanjangan
ini, membuat kedudukan Majapahit sebagai Negara payung bagi kerajaan-
kerajaan nusantara melemah.

3. Raja-Raja Majapahit Akhir


3.1 Girisawarddhana
Setelah interregnum selama tiga tahun, pada tahun 1456 tampilah
Dyah Suryawikrama Girisawarddhana menaiki tahta kerajaan Majapahit. Ia
salah seorang anak dari Dyah Kertawijaya, yang semasa pemerintahan
ayahnya menjadi raja di daerah Wengker (Bhatara ing Wengker). Di dalam
Pararaton disebutkan nama gelarnya ialah Bhatara Hyang Purwawisesa. Ia
memerintah selama sepuluh tahun. Tahun 1466 ia meninggal dan di
dharmakan di Puri.
Tampilnya Dyah Suryawikrama Girisawarddhana sebagai raja
Majapahit di anggap sebagai peletak dasar kekuasaan wangsa Girisa atau
Girindra di Majapahit. Lebih-lebih pada masa pemerintahan
Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya tahun 1474, diketemukan banyak tokoh
yang menmakan dirinya Girindrawarddhana (lihat uraian di bawah). Hal ini
menimbulkan pandangan bahwa di Majapahit telah muncul dinasti baru yang
menggantikan wangsa rajasa yang diawali oleh Sanggramawijaya. Pandangan
ini di motori oleh N.J.Krom bahwa dinasti rajasa yang berkuasa di Majapahut
telah di kalahkan oleh dinasti Girinda dari Daha (Kediri). Anggapan Krom ini
bertolak dari prasasti Ranawijaya yakni prasasti Jiwu I’ yang menyebutkan
penyelenggaraan upacara sraddha oleh Ranawijaya untuk memperingati
duabelas tahun meninggalnya Paduka Bhatara ing Dahanapura, yang oleh
Krom diidentifikasikan dengan tokoh Bhre Daha, yang dalam Pararaton di
sebutkan memerintah pada tahun 1437-1467. Lanjut Krom mengemukakan
bahwa Bhre Daha (Bhatara ing Dahanapura) yang di maksud tidak lain
adalah ayah Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya yang sesungguhnya
meinggal tahun 1474 bukan tahun 1464 sebagaimana tertulis ole Pararaton.
Sehingga tahun 1468 tepat setelah duabelas tahun Ranawijaya menjadi raja ia
melaksanakan upacara sraddha. Atas dasar titik tolak ini, Krom berpendapat
setelah tahun 1478 Kerajaan Majapahit berhasil dikalahkan oleh Kediri di
bawah wangsa Girindrawarddhana. Dengan kata lain Krom berpendapat
bahwa Ranawijaya raja Kediri (Daha)lah yang berhasil mengalahkan
Majapahit.
Anggapan Krom ini, dari segi politik kurang tepat, karena
sebagaimana di ketahui di bawah Majapahit terdapat banyak penguasa-
penguasa di daerah (Paduka Bhatara)yang bertindak sebagai raja-raja kecil di
daerah lungguhnya. Raja-raja kecil ini sebagaimana tradisi yang berlaku, tidak
lain berasal dari keluarga-keluarga dekat dari yang berkuasa di Majapahit.
Berdasarkan keterangan ini, berarti raja-raja daerah tidak lain merupakan
wilayah kekuasaan Majapahit secara keseluruhan. Hal ini memang demikian
kenyataanya seperti telah di uraikan di atas misalnya raja KediriDyah Dewi
adalah bibi Hayam Wuruk, demikian juga yang di Kahuripan tidak lain
merupakan daerah propinsi Majapahit dan para penguwasanya masih
merupakan keluarga raja-raja Majapahit atau wangsa rajasa atau
Girindrawangsa yang didirikan oleh Ken Angrok Sri Rengah Rajasa. Dengan
demikian, munculnya nama wangsa Girindra atau Girisa bukanlah bersal dari
luar keluarga Majapahit (wangsa rajasa)melainkan meripakan pergantian
nama wangsa karena nama wangsa rajasa sudah kehilangan pamor (tuah),
sudah di anggap tidak memperoleh sinar illahi akibat tumbuh konflik internal
keluarga yang menyebabkan terjadi peristiwa pembunuhan atau perang
Paregreg dalam seksesi kekuasaan. Untuk kontinyuitas sejarah, nama dinasti
harus di ganti dengan nama dinasti baru yang sesungguhnya tidak jauh
berbeda dengan makna semula. Demikian juga ibukota kerajaan harus di
pindahkan, karena ibukota yang lama tidak mampu memancarkan sinar illahi,
kepada kerajaan-kerajaan daerah (Nusantara). Meredupnya Majapahit sebagai
pusat sinar illahi sejalan dengan semakin lemahnya penguwasa Majapahit
sebagai payung kerajaan nusantara. Oleh karena itu pulalah pengganti dinasti
rajasa yakni Suryawikrama Girisawardhana meindahkan pusat kekuasaan dari
Wilwatika ke Kahuripan. Pemindahan ibukota ke Kahuripan dengan wangsa
baru dianggap sebagai suatu kelahiran baru dari sebuah kerajaan dengan
dinasti yang memerintah juga dinasti baru. Dengan demikian, masa pralaya
berlalu dan kembali kemasa Kertayuga. Dilihat dari nama wangsa girisa
merupakan kelanjutan dari rajasa, sebab dari makna dari kedua kata itu sama
saja, yakni rajasa raja-isa artinya penguasa gunung (isa), Girisa-giri-isa atau
giri-indra juga berarti penguasa (raja) gunung. Atau dengan kata lain Girisa
dan Girindra tidak lain sebuta lain untuk Siwa sebagai Dewa Mahadewa
(penguasa), dalam arti pemakai nama tersebut merupakan pemuja Siwa atau
penganut agama Hindu.

3.2 Bhre Pandan Salas (Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana)


1466-1478
Sepeninggal Girisawarddhana, naik Bhre Pandan Salas dengan gelar Dyah
Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana. Sebelum ia menjadi raja
Majapahit ia menjadi raja daerah di Tumapel (Bhatara ing Tumapel).
Pararaton menyebutkan bahwa ia hanya memerintah selama dua tahun,
kemudian menyingkir meninggalkan kratonnya. Berdasarkan prasasti
Pamintihan yang di keluarkan olehnya pada tahun 1473 ternyata sampai tahun
itu ia masih menjadi raja Majapahit. Bahkan di dalam prasastinya ia
disebutkan sebagai sri maharajadiraja yang menjadi pemimpin raja-raja
keturunan tuan agung (sri giripatiprasutabhupatiketubhuta), selain itu di
sebutkan pula sebagai “penguasa tunggal di tanah Jawa”
(jawabhumyekadhipa). Di dalam manggala kekawin Siwaratrikakalpa
gubahan Mpu Tanakung, ia disebutkan pula sebagai seorang raja yang
memang sudah sepantasnya menjadi keturunan wangsa Girindra (tan lyan sry
adisuraprabhawa sira bhupati sapala Girindrawangsaja). Dengan demikian
berita Pararaton menyebutkan masa pemerintahan Bhre Pandan Salas selama
duadua tahun tidak benar, tetapi berita tentang penyingkirannya dari istana
memang benar. Penyingkiran dari keratin ini di karenakan serangan dari Bhre
Kertabhumi, yang ingin merebut kekuasaan Majapahit. Dari Pararaton
diketahui Bhre Kertabhumi adalah anak bungsu dari sang Sinagara
(Rajasawarddhana).
3.3 Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya 1378-1518
Sepeninggal Bhre Pandan Salas, kedudukannya sebagai raja Majapahit
di gantikan oleh anaknya, Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Ranawijaya,
sebelum menjadi raja Majapahit, ia pernah menjadi raja daerah Kling (
Bhatara ing Kling). Pada masa awal pemerintahannya ia masih tetap
berkedudukan di Kling, karena itu prasasti-prasasti yang dikeluarkannya, ia
sering disebut sebagai Paduka Sri Maharaja Bhatara I Kling, di samping di
sebut sebagai Paduka Sri Maharaja Sri Wilwatikta Janggala Kediri
Prabhunatha.
Sebagai raja Majapahit yang berkedudukan di Kahuripan, Ranawijaya
berusaha menyatukan kembali kerajaan Majapahit yang terpecah-pecah akibat
konflik danperang suksesi di antara keluarga raja. Dalam rangka mewujudkan
usahanya, tahun 1478 ia menyerang Bhre Kertabhumi yang berkedudukan di
Majapahit. Sebagaimana di jelaskan di atas, Bhre Kertabhumi berhasil
menduduki Majapahit dan mengusir Pandan Salas, ayah Ranawijaya dari
Majapahit.perang Ranawijaya melawan Majapahit diseutkan pula dalam
prasasti yang di keluarkannya yakni, prasasti Jiwu I tahun 1486, yang
merupakan prasasti pengukuhan anugrah raja yang berupa tanah di
Trailokyaputri kepada seorang brahmana termuka, Sri Brahmaraja
Ganggadhara yang telah berjasa kepada raja pada waktu perang melawan
Majapahit sedang naik turun. Dalam peperangan ini, Ranawijaya berhasil
merebut kembali kekuasaan atas Majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi,
Bhre Kertabhumi sendiri gugur di Kedaton. Peristiwa gugurnya Bhre
Kertabhumi di Kedaton di sebutkan pula dalam Pararaton.
Di awal pemerintahan nya Ranawijaya dibantu oleh seorang rakryan
apati, bernama Pu Walan, namun di akhir masa pemerintahannya ia di
dampingi oleh seorang patih bernama Udara. Dari babad Tanah Jawi
diperoleh keterangan bahwa patih Udara adalah anak dari patih Wahan, yang
semula sebagai adipati di Kediri. Sebagai seorang patih ia sangat berpengaruh
di dalam pemerintahan di kerajaan Majapahit, dan kekuasaanya sangat besar.
Dalam kitab Suma Oriental,Tome Pires menyebutnya dengan nama Pate
Udara atau Pate Andura (Pate Amdura). Bahwa walaupun ia berkedudukan
sebagai seorang patih (vio rey), dan panglima (capitam moor), namun sangat
besar kekuasaanya, sehingga ia, dianggap seperti raja. Melihat kekuasaan
demikian besar, kemungkinan ia menjabat sebagai patih hamangkubhumi
seperti halnya kedudukan Gajah Mada pada masa pemerintahan
Tribhuwanotunggadewi dan Hayam Wuruk.
Sebuah diantara prasasti-prasasti yang keluarkan oleh
Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya menyebutkan pula nama seseorang
tokoh yang bernama Girindrawarddhana yang lain, yakni Girindrawardhana
Sri Singhawarddhana Dyah Wijayakusuma. Selain itu, di dalam prasati ini ia
disebutkan pula sebagai Paduka Sri Maharaja Bhatare Kling. Tidak ada
sumber lain yang mengkonfirmasi tentang masalah ini. Kemungkinan
keduanya ada hubungan keluarga, kemungkinan sebagai kaka-adik, karena
keduanya disebutkan sebagai bhatarai Kling. Sebaliknya di samping sebagai
bhatarai Kling. Ranawijaya disebut juga sebagai Paduka Sri Maharaja Sri
Wilwatiktapura, Janggala Kadiri Prahunatha. Atas dasar keterangan ini, dapat
diduga bahwa Dyah Wijayakusuma adalah pengganti Ranawijaya di Kling,
setelah Ranawijaya menjadi raja di Majapahit.
Nama Girindrawarddhana juga sudah muncul pada masa pemerintahan
Wijayaparakrama (Dyah Kertawijaya), dengan nama kecilnya Dyah
Wijayakarana. Nama ini di sebutkan dalam prasasti Wringinpitu yang di
keluarkan oleh Kertawijaya tahun 1447, Dyah Wijaya Karana di sebutkan
pada urutan ke tigabelas sesudah urutan raja. Dengan demikian pada masa
akhir Majapahit penguasa-penguasa daerah maupun yang berkuasa di
Majapahit telah mengganti nama wangsa rajasa dengan Girindrawangsa atau
Girisawangsa sebagai usaha untuk menyelamatkan Majapahit dari
kehancuran, atau untuk menunjukkan kesinambungan (kontinyuitas) sejarah
dinasti dan kerajaan Majapahit menurut konsep kosmogoni Hindu.

4. Runtuhnya Kerajaan Majapahit


Sebagaiman uraian di atas, Majapahit sebagai payung dan sebagai pusat sinar
Illahi bagi kerajaan-kerajaan nusantara mulai meredup sebagai akibat tidak adanya
orang kuat, setelah meninggalnya Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Lebih-lebih
tidak adanya putra mahkota sebagai pengganti raja, membuka kesempatan untuk
munculnya perebutan kekuasaan dengan menggunakan kekerasan senjata, yang di
kenal dengan perang Paregreg. Perang suksesi kekuasaan ini berlanjut cukup lama,
sehingga membuat kekuatan Majapahit semakin melemah, bahkan munculnya
pusat-pusat kekuasaan baru yang berasal dari penguasa-penguasa di daerah yang
tidak lain adalah para keluarga dekat raja sendiri yakni paman, ipar, kemenakan
dan menantu. Persaingan antara penguasa daerah ini membawa akibat Majapahit
terpecah-pecah. Misalnya dengan adanya Majapahit Barat dan Majapahit Timur.
Di Majapahit Barat sendiri terjadi pula persaingan antara penguasa daerah di Daha
dengan di Kahuripan atau di Wengker dan dengan daerah yang lainnya.
Selain itu, dari segi ekologi ternyata kota Majapahit ternyata telah mengalami
perkembangan yang demikian pesat, dengan kepadatan penduduk yang cukup
tinggi. Akibatnya ekologi Majapahit menjadi rusak, karena hutan penyangga
kelangsungan kehidupan manusia sudah rusak yang membawa akibat timbulnya
bencana alam berupa banjir atau wabah penyakit atau bencana kelaparan. Ini dapat
di lihat hasil penggalian arkeologi menunjukkan sumur-sumur penduduk sangat
dalam, adanya kolam penampungan air di Trowulan, menunjukkan Majapahit
mengalami krisis air. Kondisi yang demikian ini membawa dampak bagi
kehancuran Majapahit sebagai pusat kekuasaan di nusantara. Kemungkinan lain
kehancuran Majapahit adalah akibat dari bencana alam banjir yang menyebabkan
pula hingga kini tentang letak pusat kekuasaan Majapahit tidak di ketemukan
bekas-bekasnya.
Berdasarkan tradisi, bahwa kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan pada
tahun 1478. Keruntuhan kerjaan Majapahit itu, disimpulkan dalam sebuah
candrasangkala sirna-ilang-kertining bhumi atau 1400 Saka (1478 M), juga
disebutkan faktor penyebab keruntuhan Majapahit karena serangan kerajaan
Semak yang sudah Islam. Namun dari bukti-bukti berupa prasasti yang
diketemukan, ternyata pada tahun itu Majapahit belum runtuh, masih berdiri
hingga tahun 1486. Raja yang berkuasa hingga tahun 1486 adalah Dyah
Ranawijaya yang bergelar Girindrawarddhana bahkan disebutkan pula sebagai
seorang Sri Paduka Maharaja Sri Wilwatiktapura Janggala Kadiri Prabhunatha.
Bahkan berita Cina dari dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan adanya
hubungan diplomatic antara Jawa (Majapahit) dengan Cina pada Tahun 1499.
Demikian juga Rui de Brito Gubernur Portugis di Malaka dan laporannya kepada
raja Manoel tahun 1514, disebutkan pada waktu itu di Jawa masih ada raja kafir
yaitu raja Sunda dan Jawa (Majapahit). Penulis Italia Duarte Barbosa pada tahun
1515 memberitakan bahwa di pedalaman Jawa masih ada raja kafir yang sangat
berkuasa. Dengan demikian, atas dasar berita Portugis dan Italia tersebut sampai
abad XVI M. kerajaan Majapahit masih ada. Barulah pada tahun 1522,
berdasarkan berita dari penulis Italia Atonio Pigafetta memberikan kesan bahwa
pada saat itu kerajaan Majapahit telah tiada. Menurut Pigefetta, Majapahit pada
waktu itu hanya merupakan salah satu kota di antara kota-kota besar yang ada di
Jawa. Bahkan lanjut berdasarkan pemberitaan Pigefetta, bahwa pati Unus adalah
raja Majapahit, dikatakan pula bahwa semasih hidup ia merupakan raja yang
paling berkuasa. Sedang sumber lain Pati Unus 1518-1521adalah penguasa Demak
yang memerintah tahun 1518-1521.
Atas dasar keterangan di atas, berarti telah menjadi pergeseran kekuasaan di
Majapahit antara tahun 1518-1521, yakni Majapahit telah dikuasai oleh Demak di
bawah Pati Unus. Dengan kata lain Majapahit telah di kuasai oleh kekusaan Islam
sejak Pati Unus menjadi raja Demak. Sebelumnya di bawah Sultan Demak yakni
Raden Patah, yakni Demak pernah juga menyerang Majapahit, tetapi kekuasaan
Majapahit tidak hancur sama sekali, karena pusat kekuasaan Majapahit di
pindahkan ke Daha. Peralihan kekuasaan di Majapahit dari hindu ke penguasa
Islam dalam Babad Taanah Jawi, Serat Kanda, dan Serat Darmagundul di
gambarkan secara tersamar. Misalnya dalam Babad Taanah Jawi dan Serat
Kanda disebutkan bahwa raja-raja Demak menyatakan dirinya anak raja
Brawijaya, raja Majapahit. Bahkan dalam Purwaka Caruban di sebutkan dengan
jelas bahwa Raden Patah sultan pertama Demak adalah anak Brawijaya
Kertabhumi. Dengan demikian serangan demak terhadap Majapahit tidak terlepas
dengan kelanjutan dari perang saudara di antara keluarga bangsawan Majapahit
dalam memperebutkan kekuasaan di Majapahit. Sebagaimana di ketahui dalam
uraian di atas, raja Kertabhumi berhasil merebut kekuasaan di Majapahit dengan
menyingkirkan Bhre Pandan Salas dari kedaton tahun 1468. Tetapi tahun 1478
Ranawijaya anak Bhre Pandan Salas berhasil merebut kembali kekuasaan
Majapahit dari Bhre Kertabhumi. Bahkan Bhre Kertabhumi gugur di kedaton.
Peristiwa gugurnya Bhre Kertabhumi inilah di maksudkan sebagai runtuhnya
Majapahit dengan candra sangkala sirna-ilang kertaning bhumi (1400 Saka atau
1478M). akan tetapi para penulis tradisi telah mengaburkan kenyataan-kenyataan
sejarah tersebut dengan mengatakan bahwa Majapahit runtuh tahun 1478 (1400
Saka) karena di serang oleh Demak di bawah pimpinan Raden Patah.
Dengan demikian penguasaan Majapahit oleh Demak bukanlah terjadi pada tahun
1400 Saka (1478 M) dan bukan pula di lakukan oleh Raden Patah terhadap prabhu
Brawijaya Kertabhumi. Penguasaan Majapahit oleh Demak dilakukan oleh Adipati
Unus anak Raden Patah sebagai tindakan balasan terhadap Girindrawardhana
Dyah ranawijaya yang telah mengalahkan (membunuh) neneknya, Bhre
Kertabhumi.

5. Struktur Pemerintahan dan Birokrasi Kerajaan Majapahit


Kerajaan majapahit merupakan kerajaan kuno yang memberikan informasi
agak lengkap tentang struktur pemerintahan dan birokrasi kerajaanya. Dari bahan-
bahan keterangan yang di peroleh, Majapahit telah memiliki susunan pemerintahan
dan birokrasi yang teratur. Struktur pemerintahan dan birokrasi kerajaan Majapahit
tidak banyak berubah dari model struktur pemerintahan dan birokrasi kerajaan-
kerajaan sebelumnya. Informs yang lengkap tentang struktur pemerintahan
Majapahit terutama di masa kejayaan di bawah Hayam Wuruk dapat di peroleh
dari Nagarakertagama maupun sumber prasasti. Dalam perkembangan nya setelah
Hayam Wuruk tidak banyak mengalami perubahan.
Struktur pemerintahan kerajaan majapahit mencerminkan kekuasaan yang
bersifat tutorial dan disentralisasi dengan birokrasi yang rinci dan rapi. Landasan
dasar susunan pemerintahan dan birokrasi kerajaan Majapahit adalah kosmogono
Hindu-Budha. Berdasarkan konsep ini, seluruh kerajaan Majapahit merupakan
replica dari jagat raya, dan Majapahit disamakan dengan dewa tertinggi yang
bersemayam di puncak Mahameru. Sedang wilayah kerajan Majapahit yang terdiri
atas Negara-negara daerah disamakan dengan tempat tinggal para dewa Lokapala
yang terletak di keempat penjuru mata angin. Di dalam prasasti Tuhanaru 1323,
kerajaan Majapahit di lambangkan sebagai sebuah prasada dengan raja Jayanegara
sebagai wisnwatara dan Rake Mapatih sebagai pranala-nya, dan seluruh mandala
pulau jawa sebagai punpunan-nya, pulau Madura dan Tanjungpura dianggap
sebagai angsa-nya. Demikian pula dalam prasasti Jayapatra yang berasal dari
Hayam Wuruk. Raja Hayam wuruk disamakan sebagai sebuah patung Siwa, dan
patih Gajah Mada diumpamakan sebagai sebuah pranala.
Raja sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas politik tertinggi
dan menduduki puncak hirarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan raja
dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat raja diberi
kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi kerajaan. Para putra mahkota sebelum
menjadi raja biasanya diberi jabatan yuwaraja atau kumararaja sebagai latihan
karier. Putra mahkota yang berasal dari parameswari biasanya diberi daerah
lungguh(lihat bagan 4 di bawah).
Bagan 4
Struktur Kerajaan Majapahit

B C
C

D B B D
A B

B
C C

Keterangan:

A. Pusat kerajaan Majapahit sebagai symbol pusat Makrokosmos, atau di sebut


juga sebagai prasada dengan raja Majapahit sebagai Dewa yang berstana di
puncak gunung Mahameru.
B. Daerah-daerah bawahan dekat dengan pusat kekuasaan (ada di wilayah Jawa)
yang di perintah oleh kerabat raja sebagai dewalokapala yang melindungi
kerajaan (alam makrokosmos).
C. Daerah-daerah vassal yang ada di luar Jawa sebagai benteng pertahanan
menghadapi serangan dari.
D. Daerah-daerah sahabat (mitra stata)

Demikian misalnya dalam prasasti Sukamerta yang di lakukan oleh


Kertarajasa tahun 29 Oktober 1296, menyebutkan pada waktu itu Jayanegara telah
dinobatkan sebagai kumararaja dan berkedudukan di Daha. Juga dalam prasati
Parapancapura di masa pemerintahan Tribhuwanotunggadewi disebutkan bahwa
sebelum dinobatkan sebagai raja Majapahit, Hayam Wuruk telah diangkat
menjadi kumararaja yang berkedudukan di Jiwana. Sedang pada waktu Hayam
Wuruk menjadi raja, putrinya Kusumawarddhani pernah pula dinobatkan menjadi
kumararaja dan berkedudukan di Kabalan.

Selain itu, dikenal pula birokrasi yang di sebut Dewan Pertimbangan


Kerajaan yang merupakan panon narendra yang di sebut Bhatara Saptaprabhu,
tugasnya memberikanpertimbangan-pertimbangan kepada raja. Anggota-
anggotanya terdiri para sanakk keluarga raja. Keberadaan lembaga ini
pertamakali diketahui dari prasasti tahun 27 April 1351 yang dikeluarkan oleh
rakryan mapatih Mpu Mada, juga di sebutkan dalam Kidung Sundayana dengan
sebutan Saptaprabhu, dan di dalam Kekawin Nagarakertagama dengan sebutan
Panom Narendra.

Di bawah raja Majapahit terdapat raja-raja daerah (paduka bhatara) yang


masing-masing memerintah di sebuah Negara daerah. Mereka ini biasanya
merupakan saudara atau kerabat dekat raja yang memerintah. Dalam hubungan
tugas kerajaan mereka dibebani tugas dan tanggung jawab untuk mengumpulkan
penghasilan kerajaan dan penyerahan upetikepada kebendaharaan kerajaan, dan
juga meliputi fungsi pertahanan wilayah (sebagai sabuk pengaman). Para raja
daerah ini dapat menjalankan pemerintahan di daerahnya dengan struktur yang
hampir sama dengan struktur pemerintahan di kerajaan pusat, tetapi dalam sekala
yang lebih kecil dan sempit. Oleh karena itu mereka berhak juga mengangkat
pejabat-pejabat birokrasi di bawahnya.

Dalam prasasti-prasasti biasanya para paduka bhatara disebutkan ikut


mengiringi perintah raja. “…sahacarita mwang ajna paduka bhatara ring …”
atau “…inuring denyajna paduka bhatara ring…”. Perintah itu kemudian
diturunkan kepada para pejabat yang disebut Rakryan Mahamantri Katrini dan
diteruskan kepada pejabat-pejabat yang ada di bawahnya yaitu Rakryan Mantri
ri pakiran-kiran, para Dharmmadhyaksa, dan para Dharmma-upapatu.

Rakryan Mahamantri Katrini biasanya dijabat oleh para putra raja. Mereka
itu terdiri dari tiga orang, yaitu Rakryan Mahamantri i Hino, Rakryan
Mahamantri I Halu, Rakryan Mahamantri i Sirikan. Diantara ketiga Mahamantri
ini tampaknya Rakryan Mahamantri i Hino merupakan yang tertinggi dan
terpenting kedudukannya, karena ia mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan raja bahkan, ia dapat pula mengeluarkan piagam-piagam berupa prasasti
seperti tampak dalam uraian-uraian di atas.

Rakryan Mahamantri ri Pakira-kiran adalah sekelompok pejabat tinggi yang


merupakan sebuah “Dewan Mentri” yang berfungsi sebagai badan pelaksana
pemerintahan. Badan ini biasanya terdiri dari lima orang pejabat, yaitu: Rakryan
Mahapatih atau Patih Hamengbhum, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung,
Rakryan Rangga, dan RakryanKanuruhan. Kelima pejabat ini (para tanda
rakryan) pada jama Majapahit disebut Sang Panca ring Wilwatika atau disebut
juga Mantri Amancanagara. Diantara kelima tanda rakryan ini, Rakryan
mapatih merupakan yang terpenting kedudukannya. Ia menduduki tempat
sebagai Perdana Mentri atau Mentri Utama (Mantri Mukya), yang bersama-sama
raja dapat menjalankan kebijaksanaan pemerintahan. Karena kedudukannya
itulah ia memimpin sebuah “badan Pelaksana Pemerintahan” yang disebut
Eswapuri Kamantryaning Amatya ring Sanagara. Patih Hamangkubhumi disebut
juga Apatih ring Tiktawilwadhika. Hal ini untuk membedakannya dengan jabatan
patih yang ada di daerah, yang biasa di sebut Sang Mapatih atau Rkryan
Mapatih saja. Di dalam Nawanatya disebutkan tugas-tugas para Rakryan Mantri
tersebut. Selain lima pejabat di atas, dari beberapa sumber sejarah Majapahit,
misalnya prasasti Kudadu, prasasti Sukamrta, dan Bendosari masih dapat di
ketahui adanya sejumlah pejabat tinggi lainnya yang dapat di golongkan pula
kedalam kelompok Rakryan Mantri ri Pakirakiran. Pejabat-pejabat tersebut
jumlahnya cukup banyak. Diantara lainnya ialah: Sang Wrddhamantri,
Yuwamantri, Sang Aryadhikara, Sang Aryyatmaraja, Mantri Wagmimaya,
Mantri Kesadhari, dan Rakryan Juru.

Lembaga birokrasi lainnya,adalah Dharmmadhyaksa, merupakan pejabat


tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan fungsi yuridiksi keagamaan. Ada dua
Dharmmadhyaksa yaitu Dharmmadhyaksa ring Kasaiwan, untuk urusan agama
Siwa dan Dharmmadhyaksa ring Kasogatan utuk urusan agama Budha. Masing-
masing Dharmmadhyaksa ini dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
sejumlah pejabat keagamaan (Dharmma-uppatti) yang di beri sebutan Sang
Pamegat (Samgat). Pejabat ini jumlah nya cukup banyak, terdiri dari Sang
Pamegat i Tirwan, Sang Pamegat i Kandamuhi, Sang Pamegat i Manghuri, Sang
Pamegat i Jambi, Sang Pamegat i Pamwalan, Sang Pamegat i Kandangan
Atuha, Sang Pamegat i Kandangan Rare, Sang Pamegat i Panjangjiwa, Sang
Pamegat i Lekan, Sang Pamegat i Tanggar, Sang Pamegat i Pandlegan, dan
Sang Pamegat i Tigangrat. Namun dalam prasasti nama-nama pejabat ini di
sebutkan paling banyak sebanyak tujuh buah, hal ini dapat di lihat dalam prasasti
Sukamerta, prasasti Sudateka, prasasti Trawulan, prasasti Bendosari, prasasti
Wringinpitu dan Nagarakerthagama. Dan pada jaman Hayam Wuruk dikenal
adanya tujuh uppatti yang di sebut uppatti Sapta (lihat Nagarakerthagama X.3).
ketujuh uppatti tersebut adalah: Sang Pamegat i Tirwan, Sang Pamegat i
Kandamuni, Sang Pamegat i Manghuri, Sang Pamegat i Kandangan Atuha, dan
Sang Pamegat i Kandangan Rare.

Dari beberapa buah prasasti Majapahit yang memuat daftar Dharmma-


uppatti dapat diketahui bahwa, para pejabat tersebut masih dikelompokkan ke
dalam dua golongan, yaitu golongan untuk urusan agama Buddha dan golongan
untuk agama Siwa misalnya untuk agama Buddha Sang Pamegat i Kandangan
Atuha, dan Sang Pamegat i Kandangan Rare, yang termasuk golongan agama
Siwa ialah Sang Pamegat i Tirwan, Sang Pamegat i Kandamuni, Sang Pamegat i
Manghuri, Sang Pamegat i Pamwalan, dan Sang Pamegat i Jambi. Diantara
uppatti itu ada juga yang menjabat urusan sekte-sekte tertentu misalnya
Bhairuapaksa, Saurapaksa, dan Siddhantapaksa. Dari Kitab Sanghyang
Kahamayanikan di ketahui pula adanya sekte-sekte agama Buddha yang di sebut
Sang Wadisisya Bhagawan Kapila, Sang Wadiknakabhakasisya, Sang
Wadiwesnawa,sakara dan Wahyaka. Di samping berkedudukan sebagai pejabat
keagamaan para uppatti itu dikenal pula sebagai kelompok para cendekiawan,
dan di kenal pula sebagai kelompok bhujangga.

Selain para pejabat birokrasi yang telah disebutkan di atas, masih terdapat
pula sejumlah pejabat sipil dan militer yang lainnya. Mereka itu, ialah para
kepala jawatan (tanda),para nayaka, pratyaya, dan para drawyahaji, yang
merupakan pejabat-pejabat sipil, para pengalasan, senapati, suranlani sebagai
pejabat-pejabat militer yang bertugas pula sebagai pengawal raja dan penjaga
lingkungan kraton (bhayangkari). Dari Kitab Prati Raja Kapakapa, dapat
diketahui ada 150 mantri dan 1.500 pejabat-pejabat rendahan yang terdiri dari
para tanda, Waohaji, panji andaka, dan kajineman.

Anda mungkin juga menyukai