KESULTANAN CIREBON
MAKALAH
Disusun oleh:
2018
KERAJAAN ISLAM DI SUNDA
KESULTANAN CIREBON
1
Anwar Kunia dan Moh. Suryana, Sejarah (Jakarta: Ghailia Indonesia, 2007), 86.
2
Walangsungsang adalah putra sulung dari Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi dan Permaisuri Subang
Larang. Dalam perannya membangu kekuatan Islam di Cirebon, beliau membangun Dallem Agung
Pakungwati dan menjabat sebagai kuwu Cirebon kedua dengan gelar Pangeran Caruban/Cakrabumi.
(Lihat Aria, 1972: 12).
3
Susanto Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah) (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), 9.
4
Cai berasal dari bahasa Sunda yang berarti air, dan rebon berarti udang kecil. Dalam penggunaannya,
kata cai disingkat menjadi ci sehingga menjadi ci-rebon.
5
Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2009), 73.
6
Warkum Sumitro, Mujaid Kumkelo dan Anas Kholis, Politik Hukum Islam: Reposisi Eksistensi Hukum
Islam dari Masa Kerajaan Hingga Era Reformasi di Indonesia (Malang: Universitas Brawijaya Press,
2014), 58.
1
Tanggal 14 Kresnapaksa bulan Caitra tahun 1367 Saka atau 4 Muharam 849
H atau 8 April 1445 M pemukiman baru dibangun oleh Ki Samadullah atau
Pangeran Walangsungsang dan Ki Gedeng Alang-alang dengan dibantu kurang
lebih 52 orang. Pemukiman dinamakan Caruban atau Cerbon.7 Ki Gedeng Tapa
sendiri adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Kuwu atau
kepala desa Caruban pertama yang di angkat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-
alang. Sebagai Pangraksabumi atau walinya diangkatlah Raden Walangsungsang.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki
Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar
Pangeran Cakrabuana.8
Selanjutnya Pangerang Walangsungsang atau Ki Cakrabumi atau Adipati
Cakrabuana membangun lagi pemukiman rumah baru di Lemah Wunguk yang
diberi nama Pakungwati. Sedangkan nama yang terkenal keluar Cirebon. 9 Sehingga
pangeran Cakrabuana dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon.
Seusai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana kemudian disebut Haji
Abdullah Iman, sekaligus tampil sebagai Raja Cirebon pertama (... -1479) yang
memerintah dari Keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada
penduduk Cirebon.10
Sejak tahun 1470 M, sejak datangnya Syarif Hidayatullah ke Pakungwati
(Cirebon), maka Pakungwati menjadi semakin maju dengan nafas ruh Islam di
dalamnya. Menjelang tahun 1479 M, Adipati Cakrabuana atau Syekh Abdul Iman
mengundurkan diri, kemudian kedudukannya digantikan oleh Syarif Hidayatullah,11
yang merupakan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari perkawinannya dengan
Syarif Abdullah dari Mesir.12 Dan tak lama kemudian Syarif Hidayatullah
mengumumkan berdirinya kota Cirebon dengan Pakungwati sebagai pusatnya.13
7
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda (Bandung: Pustaka, 1995), 50.
8
Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara., 73.
9
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 50.
10
Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara., 73.
11
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 50.
12
Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara., 73.
13
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 50.
14
Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara., 73.
15
Rohmat Kurnia, Tempat dan Peristiwa Sejarah di Jawa Barat (Bandung: Sarana Pancakarya Nusa,
2009), 23.
2
kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon. Untuk memperkuat
hubungan dengan kesultanan Demak, dilakukan dengan pernikahan putra putri
kedua kesultanan yaitu Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana,
Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun, pangeran Bratakelana dengan
Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan), dan Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir
(Pangeran Sabrang Lor) menikah pada 1511 yang menjadi Sultan Demak kedua
pada 1518.17
Syarif Hidayatullah juga diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan
Cirebon dan Kesultanan Banten serta menyebar Islam di Jawa Barat, seperti
Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.18 Tahun 1500
M, kerajaan Demak resmi berdiri, dan tak lama kemudian Cirebon menyatakan diri
sebagai negara kerajaan merdeka dibawah pemerintahan Syarif Hidayatullah
dengan gelar Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata
Agama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah saw. atau Susuhunan
Cirebon atau Susuhunan Jati atau Pandita Ratu. Kerajaan Cirebon diperintah atas
dasar falsafah demokrasi dan taqwa kepada Allah yang selaras dengan kebudayaan
dan kepribadian masyarakat setempat berazas Nurnya Illahi yaitu: Rabbana atina
fiddunya khasanah wa filakhirati wakina ‘adzabannar. Kemudian dalam
menjalankan pemerintahannya Syarif Hidayatullah berpegang pada: Watamasak
bilqur’anil ‘adhim ‘ala sirathil lahil mustakim, guna mewujudkan masyarakat yang
digambarkan dalam al-Qur;an yaitu: Thayyibatun warabbun ghafur.19
Ruh Islam yang terpancar dari kerajaan Cirebon di bawah pemerintahan
Syarif Hidayatullah mengharumkan nama Tatar Sunda (Jawa Barat), lebih-lebih
setelah ia diangkat oleh para wali menjadi ketua Wali Songo, setelah wafatnya
Sunan Ampel pada tahun 1418. Dalam rangka penyebaran Islam, Syarif
Hidayatullah kadang harus pergi dalam waktu agak lama, untuk itu ia mengangkat
Musanudin (Syekh Benthong) menjadi pimpinan Tajung Ciptarasa di Amparan Jati,
dengan tugas tambahan mengawasi semua pondok pesantren bawahan Cirebon dan
mewakilinya menjadi imam atau khatib di Masjid Agung Cirebon.20
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) membangun sarana di pusat
kerajaan baik untuk kepentingan pemerintah ataupun untuk syiar agama. Sunan
Gunung Jati memperluas kompleks Keraton Pakungwati dan membangun alun-alun
di depan keraton tersebut. Pada tahun 1489 M juga membangun masjid agung yang
diberi nama Masjid Sang Cipta Rasa, masjid ini berlokasi di kiri keraron sebelah
16
Sobana Hardjasaputra dkk, Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20)
(Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011), 57.
17
Yoseph Iskandar, Sejarah Jawa Barat (Bandung: Geger Sunten, 2005), 56.
18
Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hidu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara
(t.tp.: PT LkiS Pelangi Aksara, 2005), 72.
19
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 51.
20
Ibid.
3
barat alun-alun.21 Sunan Gunung Jati memperluas Keraton Pakungwati dengan
menambahkan ornamen-ornamen dinding dari porselin buatan Tiongkok atau Cina.
Hiasan tersebut berasal dari istri Sunan Gunung Jati yang bernama Ong Tien yang
kemudian berganti nama menjadi Nyi Ratu Rara Sumanding.22
Syiar Islam ke wilayah Kuningan telah dilakukan dengan cara persuasif, di
wilayah Luragung Islam sudah terbangun baik pada tahun 1481 M, dengan
penguasa Ki Gede Luragung pada 1 September 1488 M. Syaruf Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati) menjadikan putra Ki Gede Larugung yang bernama Pangeran
Kuningan atau yang oleh masyarakat Kuningan dikenal dengan nama Sangkuku,
diangkat sebagai Depati Kuningan (Gubernur Kesultanan Cirebon untuk wilayah
Kuningan).23
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar
Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahaten, Syarif
Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya
dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja, namun juga melawan hawa
nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahaten dan
pucuk umum (penguasa) Wahaten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahaten
terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari Prabu Jaya Dewata atau
Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah Wahaten Pasisir
dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahaten Girang.24
Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak sangat mencemaskan
Jaya Dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putra mahkota
Surawisesa menghubungi Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika
itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.25
Pada tahun 1521, Jaya Dewata mulai membatasi pedagang Muslim yang akan
singgah di pelabuhab kerajaan Sunda, hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh
Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak
perdagangan dengan para pedagang Muslim. Namun upaya tesebut kurang
mendatangkan hasil yang memuaskan, karena pada kenyataannya pengaruh Islam
jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan
pengaruh Isla, mulai memasuki daerah pedalaman kerajaan Sunda. Pada tahun ini
juga kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang
21
Sobana Hardjasaputra dkk, Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20).,
65.
22
Sangupri Bochari dan Wiwi Kuswiyah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon (Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, 2001), 27.
23
______ , West Java Miracle Sight: A Mass Of Verb Scene Information (Jakarta: MPI Foundation, 2005),
52.
24
Edi Suhardi Ekajati, Etti R.S dan Abdurrahman, Carita Parahiyangan (Bandung: Yayasan
Pembangunan Jawa Barat, 1991), 39.
25
Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java, from Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with
Royal Center of Bogor, Over 1000 Years of Propsperity and Glory (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
2007), 58.
4
memiliki kepentingan yang sma dengan kerajaan Sunda, Jaya Dewata memutuskan
untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi
kekuatan pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.26
Pada tahun 1521 M setelah dikabarkan wafatnya Prabu Siliwangi, beberapa
daerah menyatakan diri lepas dari Pajajaran, diantaranya kerajaan Galuh, Talaga,
Dermayu, Luragung dan lain sebagainya. Tahun 1522 M Pangeran Surawisesa
dinobatkan menjadi raja Pajajaran menggatikan Prabu Siliwangi dengan gelar Ratu
Sanhiang. Ia segera mengadakan pembenahan yang ternyata kurang berhasil. Hal
ini terbukti pada tahun 1526 M kabupaten Banten berhasil direbut oleh pasukan
Islam dibawah pimpinan Senopati Fatahillah atau Fadhilah Khan, yang
menjalankan perintah Sultan Demak dengan dukungan kerajaan Cirebon.27
Fatahillah mengungkapkan rencanaya untuk menyerang Portugis di Sunda
Kelapa, rencana Fatahillah mendapatkan dukungan dari kesultanan Demak, Sultan
Trenggana yang melihat kedekatan kerajaan Sunda dengan Portugis sebagai
ancaman kemudian juga turut merencanakan serangan ke Sunda Kelapa.28 Pada
tahun 1527 M Senopati Fatahillah memimpin pasukan Islam gabungan Demak-
Cirebon-Banten menyerang bandar pelabuhan Sunda Kelapa dan berhasil
menguasainya. Nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta dan ia sendiri jadi
bupatinya bergelar Pangeran Jayakarta yang secara administratif dibawah kerajaan
Cirebon tetapi secara praktis menjalankan kekuasaan kesultanan Demak.29
Pada saat menyerang Sunda Kelapa, pasukan Fatahillah hanya menghadapi
Syahbandar Sunda Kelapa yaitu Wak Item dan dua puluh anggotanya. Wak Item
tewas dan tubuhnya ditenggelamkan di laut, kemudian Fatahillah
membumihanguskan perkampungan yang ada disana termasuk perkampungan yang
didiami tiga ribu orang Muslim Betawi, yang pemukimannya beada di wilayah
Mandi Ranca, yang sekarang masuk wilayah Pasar Ikan, Jakarta. Fatahillah
kemudian membangun istana dengan tembok tinggi di sisi barat Kali Besar,
masyarakat Muslim Betawi yang rumahnya beada didekat istananya diusir dan
rumahnya dibumihanguskan. Sunda Kelapa akhirnya dapat dikuasai sepenuhnya
pada 22 Juni 1527 M.30
Perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh (Galuh)
bermula dari permintaan kerajaan Rajagaluh yang mengharuskan kesultanan
Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya yang secara langsung
menjadikan kesultanan Cirebon sebagai negara bagian dari kerajaan Rajagaluh.
Duta pertama yang dikirim oleh Prabu Cakraningrat (raja Galuh) adalah depati
(gubernur) Kiban atau pada masyarakat Cirebon dikenal dengan nama Arya Kiban
(depati Palimanan), rombongan pimpinan depati Kiban berulang kali berusaha
26
Ibid.
27
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 52.
28
Haydr Suhardy, Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta: National Geographic Indonesia, 2015), 50.
29
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 53.
30
Rizki Ridyasmara, Mengkritisi Peran Fatahilah di Jayakarta (Jakarta: Era Muslim, 2008), 79.
5
memasuki wilayah kota Cirebon namun sealu ditolak dan hanya beberapa yang
diizinkan untuk memasuki kota Cirebon, mereka yang memasuki kota Cirebon
kemudian memeluk agama Islam.31
Duta kedua yang dikirim Prabu Cakraningrat adalah demang Dipasara yang
membawa pesan agar kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Galuh sebagai
pusatnya. Demang Dipasara tidak berhasil memasuki kota Cirebon dikarenakan
rombongannya bertemu dengan depati Kuningan dan pasukannya memintanya
untuk kembali ke Galuh dengan membawa pesan agar Galuh tunduk kepada
kesultanan Cirebon.32
Perang Palimanan terjadi, tidak lama setelah kepulangan Ki Demang
Singagati (duta yang dikirim Pangeran Depati Kuningan), yang membawa pesan
penolakan dari Prabu Cakraningrat untuk memeluk Islam dan menggabungkan diri
dengan kesultanan Cirebon. Prajurit dari kedua kerajaan kemudian mendapatkan
bantuan kekuatan, prajurit Depati Kiban mendapat bantuan dari pasukan induk
kerajaan Galuh dibawah pimpinan Sanghyang Gempol, sementara prajurit Pangeran
Depati Kuningan mendapat bantuan dari pasukan induk kesultanan Cirebon
ditsmbsh 700 orang pasukan kesultanan Demak yang pada saat itu sedang berada di
kesultanan Cirebon.33 Pada tahun 1528 M pasukan Islam Cirebon berhasil merebut
kerajaan Galuh yang pada waktu itu dibawah pemerintahan Prabu Cakraningrat,
putra dari Prabu Jayaningrat (adik Prabu Siliwangi).34
dua tahun kemudian yaitu tahun 1530 M, kerajaan Talaga (lrtaknya di jalan
menuju Majalengka) berhasil dikuasai, waktu itu kepala daerah Talaga adalah
pucuk umum Talaga, dan daerah lainnya yang berhasil dikuasai kerajaan Cirebon
adalah daerah Dermayu (Indramayu) yang pada waktu itu kepala daerahnya adalah
Prabu Indrawijaya.35
Pasca pertempuran di Kalapa (Jakarta) pada tahun 1527 M, para prajurit dari
kesultanan Cirebon dan kerajaan Pajajaran masih terlibat pertempuran di
pedalaman hingga beberapa tahun. Akhirnya pada tanggal 24 paro terang bulan
Asada tahun 1453 Saka36 atau 12 Juni 1531 M ditandatanganilah perjanjian
perdamaian diantara keduanya. Pada masa itu yang menjadi raja di kerajaan
Pajajaran adalah Prabu Surawisesa sementara kesultanan Cirebon dipimpin oleh
Syarif Hidayatullah yang diwakilkan kepada anaknya Pangeran Mohammad Arifin
(Pangeran Pasean).37 Isi dari perjanjian tersebut diantaranya adalah
1. Pengakuan atas kedaulatan masing-masing kerajaan dan untuk tidak saling
menyerang
31
Sulaiman Sulendraningrat, Sejarah Cirebon (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), 20.
32
______ , West Java Miracle Sight: A Mass Of Verb Scene Information., 53.
33
Sulaiman Sulendraningrat, Sejarah Cirebon., 22.
34
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 54.
35
Ibid.
36
Yoseph Iskandar, Sejarah Jawa Barat., 57.
37
______ , Penyebaran Islam di Daerah Galuh sampai dengan Abad ke-17 (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat, 2010), 89.
6
2. Pengakuan bahwa kedua kerajaan adalah sederajat dan bersaudara (sama-sama
merupakan ahli waris dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi atau Prabu
Jayadewata).38
38
Yoseph Iskandar, Sejarah Jawa Barat., 57.
39
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 54.
40
Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara., 74.
41
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 54.
42
Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara., 74.
43
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 54.
44
Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara., 74.
45
Heru Erwantoro, “A Brief History of The Kingdom of Cirebon”, Patanjala, 4 (Mei, 2012), 177.
46
Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara., 74.
47
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 55.
7
Pada masa Panembahan Ratu I di Cirebon tidak terjadi masalah apapun. Hal
yang demikian itu terjadi karena kondisi Cirebon pada masa itu sangat kondusif.
Kerajaan Sunda sudah tidak menjadi ancaman lagi bagi eksistensi Kesultanan
Cirebon. Demikian pila denga Kerajaan Banten. Pada masa itu Banten masih tetap
konsisten memandang Cirebon sebagai sumber pertama eksistensi kesultanannya.
Selain itu, terjalin hubungan yang erat dengan Kerajaan Pajang dan juga hubungan
sagang dengan luar negeri berjalan lancar. Pelabuhan-pelabuhan sebagai aset
Kesultanan Cirebon yang amat penting terjaga keamanannya sehingga kapal-kapal
dagang asing makin banyak yang singgah untuk melakukan transaksi dengan
masyarakat Cirebon.48
Namun demikian, pada masa Panembahan Ratu I Kesultanan Cirebon tidak
lagi melebarkan wilayahnya ke daerah-daerah lain, karena pada waktu itu posisi
Cirebon terjepit diantara dua kerajaan besar, yaitu Banten di barat dan Mataram di
timur. Cirebon bisa saja diruntuhkan baik oleh Banten maupun oleh Mataram
mengingat kekuatan angkatan bersenjata keduanya lebih kuat dari Cirebon. Akan
tetapi kedua kerajaan tersebut masih menghormati Cirebon. Banten menghormati
Cirebon sebagai tahta leluhurnya, yaitu Sunan Gunung Jati, sedangkan Mataram
memandang Cirebon sebagai guru dan keramat.49
Tahun 1640 M Panembahan Ratu I wafat, yang menggantikannya adalah
Pangeran Adipati Anom. Masa pemerintahannya ditandai dengan semakin
menurunnya kekuasaan sebagai raja bedaulat penguasa daerah karena sistem
politiknya lebih berorientasi ke Mataram.50 Pangeran Adipati Anom kemudian
digantikan oleh cucu Panembahan Ratu I yang bernama Raden Rasmi dan bergelar
Panembahan Adiningkusuma atau bergelar Panembahan Ratu II, setelah meninggal
dunia, ia lebih dikenal dengan Panembahan Girilaya karena dimakamkan disebuah
bukit bernama Girilaya yang letaknya disebelah timur Wonogiri, Yogyakarta.51
Pada masa pemerintahan Panembahan II, Cirebon mengalami masalah politik.
Raja Mataram yaitu Amagkurat I yang juga mertuanya meminta agar Panembahan
Ratu II membujuk Banten untuk bersahabat dengan Mataram dan mau
menghentikan serangannya terhadap Belanda. Panembahan Ratu II mau tidak mau
menuruti kemauan Amangkurat I. Ian beberapa kali berkunjung ke Banten untuk
membujuk sultan Ageng Tirtayasa agae mau bergabung dengan Mataram dan
menghentikan serangan ke Belanda, tetapi usahanya itu gagal. Bahkan Sultan
Ageng Tirtaysa mengajaknya untuk bergabung dengan Banten daripada dengan
48
RH Unang Sunardjo, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-
1809 (Cirebon: t.p., 1996), 44.
49
Edi Ekadjati, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat (Bandung:
Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, 1991), 78.
50
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 55.
51
Tedjasubrata, Sejarah Tjirebon Kawedar Bahasa Daerah Yjirebon (Tjirebon: t.p, 1966), 112.
8
Mataram. Sultan Ageng Tirtayasa juga memperingatkan bahwa Mataram dapat
mengancam Kedaulatan Cirebon.52
Kegagalan Panembahan Ratu II didalam membujuk Banten membawa akibat
yang fatal. Amangkurat I merasa kecewa dan menganggap Panembahan Ratu II
telah bersekutu dengan Banten. Pada tahun 1662 Amangkurat I mengunsang
Panembahan Ratu II ke Mataram untuk menghadiri upacara penghormatan.
Panembahan Ratu II bersama kedua putranya yaitu Pangeran Martawijaya dan
Pangeran Kartawijaya datang ke Matram. Sesampainya di Mataram dan setelah
upacara penghormatan itu selesai, Panembahan Ratu II beserta kedua anaknya tidak
diperbolehkan pulang ke Cirebon. Di Mataram Panembahan II dengan kedua
putranya menjadi tahanan politik meskipun demikian Panembahan Ratu II tetap
diakui sebagai raja Cirebon.53
Selama Panembahan Ratu II dan kedua putranya berada di Mataram,
pemerintahan sehari-hari di Cirebon dipegang oleh putra ketiganya, yaitu Pangeran
Wangsakerta yang tidak ikut serta ke Mataram. Dalam menjalankan roda
pemerintahannya, Pangeran Wangsakerta selalu diawasi secara ketat oleh orang-
orang Mataram yang ditugaskan Susuhunan Amangkurat I. Hal demikian jelas
menunjukkan bahwa Cirebon sudah kehilangan kedaulatannya. Pada tahun 1667
Panembahan Ratu II meninggal dunia dan dimakamkan di Girilaya. Sepuluh tahun
kemudian sekitar 1677, Raden Trunojoyo mengadakan serangan besar-besaran
terhadap keraton Matram. Serangan itu bukan saja berhasil menduduki ibukota
Mataram, melainkan juga dapat membebaskan kedua Pangeran Cirebon dari
cengkraman Sunan Amangkurat I. Selanjutnya kedua Pangeran Cirebon dibawaoleh
Raden Trunojoyo ke Kediri. Dari Kediri kedua Pangeran diambil oleh utusan Sultan
Ageng Tirtayasa ke Banten.54
Dibanten Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat kedua pangeran itu sebagai
sultan Cirebon dan menetapkan wilyahnya dan rakyatnya masing-masing. Pangeran
Martawijaya menjadi Sultan Sepuh dan Pangeran Karyawijaya menjadi Sultan
Anom. Sedangkan Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Cirebon
tapi tanpa memiliki wilayah kekuasaan dan keraton secara formal. 55 Pada tahun
1670 M Panembahan Sepuh dan Panembahan Anom ikut melibatkan diri dalam
kemelut perebutan kekuasaan di Mataram, dan paa tahun 1678 M setelah kembali
dari Mataram mereka membawa gelar Sultan.56 Adapun kekuasaan di Cirebon
selanjutnya terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya dengan gelar Sultan Sepuh
Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
52
RH Unang Sunardjo, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-
1809., 53-54.
53
Nina Herlina Lubis, Sejarah Tatar Sunda (Bandung: t.p., 2003), 196.
54
Atja, Tjarita Purwakara Tjaruban Nagari (Jakarta: Ikatan Karyawan Museum, 1988), 10.
55
Edi Ekadjati, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat., 93.
56
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 56.
9
2. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya dengan gelar Sultan Anom Abil
Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
3. Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran
Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).57
Gabungan ketiganya merupakan Kesultanan Cirebon.58 Setelah pembagian
tersebut, pergantian kedudukan dari para sultan selanjutnya berjalan lancar dampai
pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803). Pada saat itu mulai muncul
bibit-bibit perpecahan karena salah seorang purtanya, yaitu Pangeran Kanoman,
ingin memisahkan diri untuk membangun kesuktanan sendiri dengan nama
Kesultanan Kacirebonan.59
57
Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara., 75.
58
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 56.
59
Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara., 76.
60
Nina Herlina Lubis, Sejarah Tatar Sunda., 197.
61
Heru Erwantoro, “A Brief History of The Kingdom of Cirebon”, Patanjala, 4 (Mei, 2012), 180.
10
kedudukan diantara ketiganya. Sultan Sepuh pada posisi paling atas, kemudian
Sultan Anom pada posisi kedua, dan Panembahan Cirebon pada posisi ketiga.62
Selain mengatur masalah kedudukan para sultan, perjanjian juga mengatur
tentang banyak hal, seperti yang berhubungan dengan jalannya pemerintahan dan
yang berhubungan dengan rakya. Dari berbagai perjanjian itu, secara tidak langsung
para penguasa Cirebon menerima dan mengakui pengaruh kekuasaan Kompeni
Belanda. Keadaan Cirebon makin parah dan penguasa-penguasa Cirebon sudah
tidak bisa berbuat banyak. Kondisi itu semakin rumit setelah Sultan Sepuh I
meninggal dunia pada tahun 1697. Harta benda kasepuhan dibagi dua kepada
Pangeran Dipati dan Pangeran Aria Adiwijaya, namun mengenai siapa penguasa
yang paling utama di Cirebon, kembali menimbulkan pertentangan yang sengit
sehingga mengundang kembali pihak kompeni untuk menjadi penengah.63
Melalui berbagai perjanjian, lambat laun Cirebon jatuh ke tangan Kompeni
Belanda dan pada tahun 1681 Kompeni Belanda berhasil menanamkan
dominasinya secara penuh. Hal yang demikian dapat dilihat dari perjanjian antara
Cirebon dengan Kompeni Belanda tanggal 7 Januari 1681. Adapun isi perjanjian
tersebut adalah:
1. Kompeni memperoleh hak monopoli impor pakaian, kapas, dan opium.
2. Kompeni memperoleh hak monopoli ekspor komoditas seperti lada, kayu,gula,
beras, dan produk-produk lain yang dikehendaki oleh Kompeni.
3. Tanaman lada yang diusahakan di Cirebon diatur oleh Kompeni dan Kompeni
juga yang menentukan harganya.
4. Pelayaran pribumi harus mendapatkan lisensi dari VOC dan sangat dibatasi.64
Dari isi perjanjian tersebut, jelaslah bahwa secara politis maupun militer,
Cirebon telah berada di bawah dominasi Kompeni Belanda. Kota Cirebon beada di
bawah kontrol Kompeni Belanda. Adapun para penguasa Kesultanan Cirebon pada
kondisi semacam itu hanyalah berperan sebagai perantara antara kompeni dengan
masyarakat pedesaan di pedalaman. Namun demikian, pihak kompeni masih belum
puas dengan keadaan itu, karena pihak keraton ternyata masih mempunyai kekuatan
ekonomis agraris. Untuk itulah pihak kompeni pun akhirnya berhubungan langsung
dengan masyarakat sehingga pihak keraton Cirebon kehilangan sumber daya
ekonominya.65
Dengan demikian, sumber ekonomi kesultanan Cirebon baik di pelabuhan
maupun di pedalaman dikuasai sepenuhnya oleh pihak kompeni. Benteng VOC
menjadi pusat perdagangan sedangkan keraton berhenti dari aktifitas perdagangan.
Keraton akhirnya hanya bisa melakukan aktifitas di bidang kesenian, kerohanian,
gaya hidup, dan upacara-upacara keraton yang adiluhung. Cirebon terpuruk dan
62
Edi Ekadjati, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat., 81-82.
63
Heru Erwantoro, “A Brief History of The Kingdom of Cirebon”, Patanjala, 4 (Mei, 2012), 180.
64
Nina Herlina Lubis, Sejarah Tatar Sunda., 201.
65
Heru Erwantoro, “A Brief History of The Kingdom of Cirebon”, Patanjala, 4 (Mei, 2012), 181.
11
akhirnya pada tahun 1809, Gubernur Jenderal Daendels menghapus kekuasaan para
Sultan Cirebon.66
Waktu terus berjalan, peristiwa demi peristiwa terus terjadi, pada saatnya
kelak, setelah dibawah perlindungan (kekuasaan) Belanda kesultanan Cirebon
dibagi dalam empat kekuasaan yaitu: Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan dan
Kaprabon. Dilihat dari segi peninggalan sejarah Islam di Tatar Sunda (Jawa Barat),
keraton-keraton (istana-istana) yang ada di Cirebon bisa dikatakan masih dalam
keadaan utuh sampai pada saat sekarang, dan bangunan lainnya adalah Masjid
Agung Keraton Kasepuhan (Masjid Agung Cirebon), Masjid Panjunan dan Kuil
Dewi Belas Kasih (Klenteng Tiao Kak Sie).67
Hikmah
1. Berdasarkan uraian di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa,
a. Peradaban suatu kesultanan atau pemerintahan, tergantung dari kecakapan
penguasa setempat.
b. Perdamaian antar kubu harus dilakukan agar tercapai kesejahteraan
bersama.
2. Menambah wawasan tentang salah satu bukti islamisasi di Sunda, khususnya
Kesultanan Cirebon.
3. Memahami pola pemikiran masyarakat terdahulu, sehingga bisa dijadikan
bahan pertimbangan dalam membuat keputusan.
66
Nina Herlina Lubis, Sejarah Tatar Sunda., 201-203.
67
Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda., 58.
12
DAFTAR PUSTAKA
______ . Penyebaran Islam di Daerah Galuh sampai dengan Abad ke-17. Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat, 2010.
______ . West Java Miracle Sight: A Mass Of Verb Scene Information. Jakarta: MPI
Foundation, 2005.
Atja. Tjarita Purwakara Tjaruban Nagari. Jakarta: Ikatan Karyawan Museum, 1988.
Ekajati, Edi Suhardi, Etti R.S dan Abdurrahman. Carita Parahiyangan. Bandung:
Yayasan Pembangunan Jawa Barat, 1991.
Hardjasaputra, Sobana dkk. Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 hingga
Pertengahan Abad ke-20). Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi
Jawa Barat, 2011.
Kunia, Anwar. dan Moh. Suryana. Sejarah. Jakarta: Ghailia Indonesia, 2007.
Kurnia, Rohmat. Tempat dan Peristiwa Sejarah di Jawa Barat. Bandung: Sarana
Pancakarya Nusa, 2009.
13
Mulyana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hidu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara
Islam di Nusantara. t.tp.: PT LkiS Pelangi Aksara, 2005.
Sumitro, Warkum, Mujaid Kumkelo dan Anas Kholis, Politik Hukum Islam: Reposisi
Eksistensi Hukum Islam dari Masa Kerajaan Hingga Era Reformasi di Indonesia.
Malang: Universitas Brawijaya Press, 2014.
Tedjasubrata. Sejarah Tjirebon Kawedar Bahasa Daerah Yjirebon. Tjirebon: t.p, 1966.
Zahorka, Herwig. The Sunda Kingdoms of West Java, from Tarumanagara to Pakuan
Pajajaran with Royal Center of Bogor, Over 1000 Years of Propsperity and
Glory. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2007.
Zuhdi, Susanto. Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi
Ilmiah). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997.
14