Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Pemukiman


Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung,
baikyang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian dan tempat kegiatan mendukung
prikehidupan dan penghidupan.
Permukiman adalah perumahan dengan segala isi dan kegiatan yang ada di
dalamnya. Berarti permukiman memiliki arti lebih luas daripada perumahan yang
hanya merupakan wadah fisiknya saja, sedangkan permukiman merupakan
perpaduan antara wadah (alam, lindungan, dan jaringan) dan isinya (manusia yang
hidup bermasyarakat dan berbudaya di dalamnya). (Kuswartojo, 1997 : 21)
Permukiman secara luas mempunyai arti perihal tempat tinggal atau segala
sesuatu yang berkaitan dengan tempat tinggal dan secara sempit dapat di artikan
sebagai suatu daerah tempat tinggal atau bangunan tempat tinggal. Permukiman
adalah proses memukimi atau proses menempat tinggali (Hadi Sabari Yunus,
1989).
Bentuk permukiman antara desa satu dengan desa lain mempunyai
perbedaan. Perbedaan tersebut terjadi karena faktor geografi yang berbeda.
Secara umum permukiman pedesaan berbentuk memusat, linier, terpencar, dan
mengelilingi fasilitas tertentu.
2.1.1 Pola Permukiman
Pola Permukiman adalah kekhasan distribusi fenomena
permukiman di dalam ruang atau wilayah, dalam hal ini didalamnya di bahas
tentang bentuk- bentuk permukiman secara individual dan persebaran dari
individu-individu permukiman dalam kelompok (Yunus, 1989).
Secara garis besar pola persebaran permukiman berbentuk
pola permukiman mengelompok dan pola permukiman menyebar. Pola
persebaran permukiman mengelompok tersusun dari dusun-dusun atau
bangunan-bangunan rumah yang lebih kompak dengan jarak tertentu,
sedangkan pola persebaran permukiman menyebar terdiri dari dusun-dusun
atau bangunan-bangunan rumah yang tersebar dengan jarak tertentu
(Hudson F.S dalam Agus Dwi Martono,1996).
Persebaran permukiman di wilayah desa-kota pembentukannya
berakar dari pola campuran antara ciri perkotaan dan perdesaan. Terdapat
beberapa perbedaan mendasar antara pola permukiman di perkotaan dan di
perdesaan. Dalam hal ini wilayah permukiman di perkotaan yang sering
disebut sebagai permukiman, memiliki keteraturan bentuk secara fisik, artinya
sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah jalan. Sedangkan
karakteristik kawasan permukiman penduduk desa ditandai oleh
ketidakteraturan bentuk fisik rumah dengan pola cenderung mengelompok
membentuk perkampungan (Su Ritohardoyo, 2000).
Persebaran permukiman sangat menentukan terhadap pola
permukiman, dalam hal ini ada tiga variasi persebaran yaitu
1. Mengelompok (clustered), apabila permukiman-permukiman tersebut
cenderung berkelompok pada satu atau dua bagian tempat,
2. Acak (Random), apabila tidak ada susunan tertentu. pada sebuah
persebaran,
3. Seragam (Uniform), apabila permukiman permukiman tersebut
jaraknya sama atau sama jauhnya dengan tetangganya.

2.1.2 Pola Permukiman yang Dominan Di Indonesia


Permukiman penduduk sangat tergantung pada keadaan alamnya sehingga
persebarannya di permukaan bumi berbeda-beda. Dilihat dari bentuknya, pola
atau peta persebaran permukiman menurut Bintarto dapat dibedakan sebagai
berikut.
a. Bentuk Pemukiman Mengelilingi Fasilitas Tertentu
Bentuk pemukiman ini berada di dataran, mengolah dan memiliki
fasilitas umum berupa mata air, waduk, danau, dan lain-lain.

Bentuk pemukiman mengelilingi fasilitas tertentu


b. Bentuk Permukiman Memanjang Mengikuti Alur Sungai
Bentuk permukiman ini umumnya terdapat di daerah/plain yang
susunan desanya mengikuti jalur-jalur arah sungai.

c. Bentuk Permukiman Memanjang Mengikuti Jalur Jalan Raya


Penyebaran permukimannya di kanan kiri jalur jalan raya. Pada
masa kini manusia lebih senang memilih pola mengikuti jalan raya.

Bentuk permukiman memanjang mengikuti jalur jalan raya


d. Bentuk Permukiman Memanjang Mengikuti Garis Pantai
Permukiman ini umumnya berada di pesisir laut. Penduduk di
daerah ini sebagian besar bermata pencaharian di sektor perikanan.

Bentuk permukiman memanjang mengikuti garis pantai


e. Bentuk Permukiman Terpusat
Bentuk permukiman yang memusat umumnya terdapat di desa,
yaitu pada wilayah pegunungan dan dihuni oleh penduduk yang
berasal dari satu keturunan yang sama.
Biasanya semua warga masyarakat di daerah itu adalah keluarga
atau kerabat. Dusun-dusun yang terdapat di desa yang bentuknya
terpusat biasanya sedikit, yaitu sekitar 40 rumah.

Bentuk permukiman yang terpusat


2.1.3 Persebaran Lokasi Permukiman Desa
Pemilihan tempat tinggal pasti mencari lokasi yang baik, strategis, aman,
bebas banjir, warganya rukun, dan lain-lain. Seorang ahli sosiologi pedesaan
bernama Pane H. Landis mengemukakan tipe persebaran lokasi pemukiman
(desa) yang dibedakan sebagai berikut.
a. The Arranged Isolated Farm Type
Tipe desa yang penduduknya bermukim di sepanjang jalan utama desa
yang terpusat pada pusat perdagangan dan lahan pertanian berada di sekitar
permukiman.
Masing-masing unit keluarga terisolasi. Jarak antara satu rumah dengan
rumah yang lain tidak terlalu jauh. Pola permukiman di sepanjang sungai dan
pantai merupakan contoh desa tipe ini.
b. The Pure Isolated Type
Tipe desa yang penduduknya tinggal tersebar secara terpisah dengan lahan
pertanian dan masing-masing berpusat pada suatu pusat perdagangan. Tipe ini
terjadi di daerah yang tanahnya memiliki tingkat kesuburan tidak sama.
c. The Nebulous Farm Tupe
Tipe desa yang sebagian besar penduduknya tinggal bersama di suatu
tempat dengan lahan pertanian di sekitarnya. Sebagian kecil penduduk tersebar
di luar permukiman pokok.
Sebenarnya the nebulous farm sama dengan tipe the farm village, tetapi
karena terlalu padatnya permukiman itu, ada beberapa penduduk yang
terkumpul di luar permukiman pokok.

2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Permukiman


Keberadaan suatu permukiman dapat mempengaruhi berkembangnya
suatu wilayah, dan sebaliknya kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah
dapat mempengaruhi berkembangnya permukiman. Permukiman berkaitan
secara langsung dengan kehidupan dan harkat hidup manusia, faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan permukiman cukup banyak, antara lain
faktor geografis, faktor kependudukan, faktor kelembagaan, faktor swadaya dan
peran serta masyarakat, faktor keterjangkauan daya beli, faktor pertanahan,
faktor ekonomi dan moneter. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap
pembangunan perumahan adalah disebabkan oleh perubahan nilai-nilai budaya
masyarakat. (Sumber: “Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, Nomor 12.April
1994)
Sedangkan menurut Siswono, ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan permukiman yang dapat dilihat dari 9 aspek,
antara lain: letak geografis, kependudukan, sarana dan prasarana, ekonomi dan
keterjangkauan daya beli, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi,
kelembagaan, dan peran serta masyarakat. (Sumber: Siswono, dkk)
1. Faktor geografi
Letak geografis suatu permukiman sangat menentukan keberhasilan
pembangunan suatu kawasan. Permukiman yang letaknya terpencil dan sulit
dijangkau akan sangat lambat untuk berkembang. Topografi suatu kawasan
juga berpengaruh, jika topografi kawasan tersebut tidak datar maka akan
sulit bagi daerah tersebut untuk berkembang. Lingkungan alam dapat
mempengaruhi kondisi permukiman, sehingga menambah kenyamanan
penghuni permukiman.
2. Faktor Kependudukan
Perkembangan penduduk yang tinggi, merupakan permasalahan
yang memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pembangunan
permukiman. Jumlah penduduk yang besar merupakan sumber daya dan
potensi bagi pembangunan, apabila dapat diarahkan menjadi manusia
pembangunan yang efektif dan efisien. Tetapi sebaliknya, jumlah penduduk
yang besar itu akan merupakan beban dan dapat menimbulkan
permasalahan bila tidak diarahkan dengan baik. Disamping itu, penyebaran
penduduk secara demografis yang tidak merata, merupakan permasalahan
lain berpengaruh terhadap pembangunan perumahan.
3. Faktor Kelembagaan
Faktor lain yang berpengaruh terhadap pembangunan perumahan
adalah perangkat kelembagaan yang berfungsi sebagai pemegang
kebijaksanaan, pembinaan, dan pelaksanaan baik sektor pemerintah
maupun sektor swasta, baik di pusat maupun di daerah. Secara keseluruhan
perangkat kelembagaan tersebut belum merupakan suatu sistem terpadu.
Menurut UU No. 5 Tahun 1979, Pemda memegang peranan dan mempunyai
posisi strategis dalam pelaksanaan pembangunan perumahan. Namun
unsur-unsur perumahan di Tingkat Daerah yang melaksanakan program
khusus untuk koordinasi, baik dalam koordinasi vertikal maupun horisontal
dalam pembangunan perumahan, masih perlu dimantapkan dalam
mempersiapkan aparaturnya.
Termasuk didalamnya adalah kebijaksanaan yang mengatur
kawasan permukiman, keberadaan lembaga-lembaga desa, misalnya
LKMD, Karang Taruna, Kelompok wanita dan sebagainya.
4. Faktor Swadaya dan Peran Serta Masyarakat
Dalam rangka membantu golongan masyarakat yang berpenghasilan
rendah, menengah, tidak tetap, perlu dikembangkan pembangunan
perumahan secara swadaya masyarakat yang dilakukan oleh berbagai
organisasi non-pemerintah. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa
masyarakat yang berpenghasilan tidak tetap serta amat rendah dan tidak
berkemampuan tersebut mampu membangun rumahnya sendiri dengan
proses bertahap, yakni mula-mula dengan bahan bangunan bekas atau
sederhana, kemudian lambat laun diperbaiki dengan bangunan permanen
bahkan ada pula beberapa rumah yang sudah bertingkat. Faktor swadaya
dan peran serta masyarakat atau aspek sosial tersebut juga meliputi
kehidupan sosial masyarakat, kehidupan bertetangga, gotong royong dan
pekerjaan bersama lainnya.
5. Sosial dan Budaya
Faktor sosial budaya merupakan faktor internal yang mempengaruhi
perkembangan permukiman. Sikap dan pandangan seseorang terhadap
rumahnya, adat istiadat suatu daerah, kehidupan bertetangga, dan proses
modernisasi merupakan faktor-faktor sosial budaya. Rumah tidak hanya
sebagai tempat berteduh dan berlindung terhadap bahaya dari luar, tetapi
berkembang menjadi sarana yang dapat menunjukkan citra dan jati diri
penghuninya.
6. Ekonomi dan Keterjangkauan Daya Beli
Aspek ekonomi meliputi yang berkaitan dengan mata pencaharian.
Tingkat perekonomian suatu daerah yang tinggi dapat meningkatkan
perkembangan permukiman. Tingkat perekonomian suatu daerah akan
mempengaruhi tingkat pendapatan seseorang. Makin tinggi pendapatan
sesorang, maka makin tinggi pula kemampuan orang tersebut dalam
memiliki rumah. Hal ini akan meningkatkan perkembangan permukiman di
suatu daerah. Keterjangkauan daya beli masyarakat terhadap suatu rumah
akan mempengaruhi perkembangan permukiman. Semakin murah harga
suatu rumah di daerah tertentu, semakin banyak pula orang yang membeli
rumah, maka semakin berkembanglah permukiman yang ada.
7. Sarana dan Prasarana
Kelengkapan sarana dan prasarana dari suatu perumahan dan
permukiman dapat mempengaruhi perkembangan permukiman di suatu
wilayah. Dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai dapat
memudahkan penduduknya untuk beraktivitas sehari-hari. Semakin lengkap
sarana dan prasarana yang tersedia maka semakin banyak pula orang yang
berkeinginan bertempat tinggal di daerah tersebut.
8. Pertanahan
Kenaikan harga lahan sebagai akibat penyediaan kelangkaan lahan
untuk permukiman, menyebabkan timbulnya slum dan squatter.
9. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat meningkatkan
perkembangan perumahan dan permukiman. Dengan diciptakannya
teknologi-teknologi baru dalam bidang jasa konstruksi dan bahan bangunan
maka membuat pembangunan suatu rumah akan semakin cepat dan dapat
menghemat waktu. Sehingga semakin banyak pula orang-orang yang ingin
membangun rumahnya. Hal ini akan meningkatkan perkembangan
permukiman.

Amos Rapoport (1983) juga menyatakan bahwa permukiman dapat dilihat


sebagai suatu bentang lahan budaya (cultural landscape feature) terutama
permukiman tradisional yang wujud fisiknya sangat besar kaitannya dengan
budaya, dimana ciri-cirinya adalah:
1. Di dalamnya terdapat hubungan/kaitan antara berbagai elemen dan juga
sifat dan elemen-elemen tersebut, termasuk antara lingkungan binaan
dengan lingkungan alami.
2. Mempunyai ciri dan karakteristik yang khas, umumnya mengandung
budaya yang spesifik.
3. Tidak dirancang oleh seorang perancang. Perancangan merupakan suatu
konsep yang lebih luas yang merupakan perwujudan dan keputusan-
keputusan dan pilihan-pilihan manusia, sebuah pilihan diantara berbagai
alternatif yang memungkinkan.
4. Terdapat sifat-sifat spesifik dan pilihan-pilihan tersebut yaitu didasarkan
atas hukum yang berlaku, merefleksikan budaya pada kelompoknya.
5. Merupakan sistem pilihan dan gaya hidup, meliputi pilihan-pilihan
bagaimana menentukan material, waktu dan sumber-sumber simbolik.
6. Bentang budaya misalnya permukiman adalah merupakan sebuah produk
dan sistem pilihan tersebut.
7. Konservasi-preservasi dan bentang budaya yang merupakan suatu
tingkatan dan kualitas lingkungan. Konservasi dan prisip-prinsip dalam
bentang budaya tradisional dapat diterapkan dalam rancangan yang baru.
8. Kualitas lingkungan, yang menyangkut persepsi (terkait dengan
psikologikal, sosio kultur) dan standar (terkait dengan studi fisik dan
lingkungan).

2.2 Pemukiman Tradisional


2.2.1 Arsitektur Tradisional
Arsitektur sebagai produk kebudayaan akan mencerminkan peradaban
masyarakat setempat. Pada kebudayaan yang bertahan karena nilai-nilainya
tetap dipegang dan diturunkan antar generasi, akan tercermin pada tampilan
arsitektur lingkungan binaannya. Wujud fisik kebudayaannya dikenal sebagai
arsitektur tadisional. Arsitektur tradisional kerap dipadankan dengan
Vernakular Architecture, Indigenous, Tribal (Oliver dalam Martana, 2006),
Arsitektur Rakyat, Anonymus, Primitive, Local atau Folk Architecture
(Papanek dalam Wiranto, 1999). Juga disebut sebagai Arsitektur Etnik
(Tjahjono,1991).
Istilah-istilah tersebut diatas saling terkait dan pada penggambarannya
sulit dipisahkan satu sama lain. Beberapa persamaannya adalah karakter
spesifik yang merujuk pada budaya masyarakat, keterkaitan yang dalam dengan
lingkungan alam setempat (lokalitas), serta bersumber dari adat yang
diturunkan antar generasi dengan perubahan kecil.
Menurut Oliver (2006) arsitektur vernakular (dalam bahasan ini akan
disebut sebagai arsitektur tradisional) dibangun oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan khusus dalam pandangan hidup masing-masing
masyarakat. Kebutuhan khusus dari nilai-nilai yang bersifat lokal ini
menimbulkan keragaman bentuk antar daerah. Kekhasan dari masing-masing
daerah tergantung dari respon dan pemanfaatan lingkungan lokalnya yang
mencerminkan hubungan erat manusia dan lingkungannya (man &
enfironment).
Jadi keragaman arsitektur tradisional mencerminkan besarnya fariasi
budaya dalam luasnya spektrum hubungan masyarakat dan tempatnya. Karakter
kebudayaan dan konteks lingkungannya menjadi fokus bahasan arsitektur
tradisional. Nilai-nilai yang cocok dan dapat memenuhi kebutuhan
dipertahankan dan menjadi tradisi yang diturunkan dari ayah ke anak. Tradisi
ini akan tetap dipertahankan bila mempunyai makna, baik praktis maupun
simbolis.

2.2.2 Arsitektur Tradisional Bali


Arsitektur Tradisional merupakan bagian dari kebudayaan dimana
kelahirannya dilatarbelakangi oleh norma-norma agama, adat kebiasaan dan
juga keadaan alam setempat. Arsitektur Tradisional adalah sebuah perwujudan
ruang yang berfungsi untuk menampung segaka aktivitas manusia yang
diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya dengan dan atau tanpa adanya
perubahan didalamnya. ( Arsitektur Tradisional Daerah Bali; 10)
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005,
Arsitektur Tradisional Bali memiliki arti sebagai sebuah tata ruang dimana
pembangunannya didasarkan atas nilai dan norma-norma baik yang tertulis
maupun tidak tertulis yang akan diwariskan secara turun menurun. Sementara
Arsitektur Non Tradisional Bali adalah arsitektur yang tidak menerapkan
norma-norma arsitektur tradisional Bali secara utuh tetapi menampilkan gaya
arsitektur tradisional Bali. ( Perda Prov. Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung )

2.2.3 Karakteristik Pola Tata Ruang Permukiman Tradisional


Ruang-ruang terbentuk karena kegiatan/aktifitas masyarakat, menurut
Ronels dalam Sasongko (2005), sistem kegiatan dilihat dari pola perilaku
digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1. Sistem kegiatan rutin yakni aspek kegiatan utama individu meliputi
pergi belanja. ke kantor dan sebagainya
2. Sistem kegiatan berlembaga, yakni kegiatan kelembagaan baik swasta
maupun pemerintahan yang difokuskan pada particular point
3. Sistem kegiatan yang menyangkut organisasi dari pada proses-
prosesnya sendiri yang menyangkut hubungan yang lebih kompleks
dengan berbagai sistem kegiatan lain baik dengan perorangan,
lembaga/kelompok tercipta lingkungan (pertanian yang sangat banyak
dalam satu sistem saja).

2.2.4 Karakteristik Permukiman Tradisional


Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang
masih memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai
kepercayaan atau agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat
tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah
(Sasongko 2005). Menurut Sasongko (2005), bahwa struktur ruang
permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas
sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan
jaringan atau lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan binaan mungkin
secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan orientasi saja
tetapi juga objek nyata dari identifikasi.
Dalam arsitektur Sasak, bangunan tradisionalnya juga memiliki bagian
dan fungsinya tersendiri. Menurut Saptaningtyas (2006:14) faktor yang dinilai
sangat penting dalam perencanaan dan pembangunan arsitektur tradisional
Sasak adalah skala dan ukuran bangunan yang diperhitungkan dengan sangat
teliti. Selain skala, ketepatan jumlah hitungan dari ukuran masing-masing unit
rumah juga menjadi perhatian utama, karena dipercaya ada pengaruhnya
terhadap kehidupan penghuninya yang menyangkut keselamatan, kabahagiaan,
kemujuran, rejeki dan lain sebagainya.
Bahkan menurut Habraken dalam Fauzia (2006:32), ditegaskan bahwa
sebagai suatu produk komunitas, bentuk lingkungan permukiman merupakan
hasil kesepakatan sosial, bukan merupakan produk orang per orang. Artinya
komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri permukiman yang berbeda pula.
Perbedaan inilah yang memberikan keunikan tersendiri pada bangunan
tradisional, yang antara lain dapat dilihat dari orientasi, bentuk, dan bahan
bangunan serta konsep religi yang melatarbelakanginya. Keunikan tersebut
sekaligus menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Oleh karena itu
Koentjaraningrat (1987) menjelaskan bahwa benda–benda hasil karya manusia
merupakan wujud kebudayaan fisik, termasuk di dalamnya adalah permukiman
dan bangunan tradisional.

2.3 Desa Bali Aga


2.3.1 Pengertian Desa Bali Aga
Desa Bali Aga (Bali Pegunungan) adalah desa tradisional tertua di Bali.
Penduduk aslinya merupakan nenek moyang orang Bali yang berasal dari
keluarga besar Autronesia dan diperkirakan telah masuk ke Bali “dua abad” SM
(Ir. Sri Mulono,1978).
Menurut Swasthawa Dharmayudha (1995,35), “Desa Bali Aga” memiliki
ciri-ciri:
 Pemerintahan desa dipimpin secara berkelompok, contohnya desa-desa di
Kintamani atau Bangli Pegunungan, pemerintahan desa dipimpin oleh
Kubayan, Kebau, dan Senggukan.
 Tidak mengenal kasta
 Mengenal adanya tanah-tanah Drue Desa.

Menurut penelitian beberapa ahli, masyarakat Bali Aga tersebar di seluruh


Bali umumnya berada di daerah pegunungan seperti di Kintamani, yaitu Desa
Trunyan, Desa Batur, Desa Sukawana, Desa Kedisan, Desa Kintamani, Desa
Bayung Gede, Abang, Dausa, Manik Liyu dan lain-lainnya. Beberapa sumber
prasasti yang menyebutkan keberadaan Desa Bali Aga di Kintamani adalah
sebagai berikut:
 Prasasti Sukawana Al menyebutkan adanya fungsi uang yang disebut
“mesaka dan mekupang”
 Prasasti Sembiran (1065 M) menyebutkan kegiatan pelayanan yang
disebut “banyaga”
 Prasasti Sukawana AI menyebutkan adanya sistem pertanian / irigasi yang
disebut huma dan pariak yang berarti sawah dan tegalan.
 Prasasti Sabatin AI (890 M) terdapat kata-kata “Undagi Iancang, Undagi
Bata, dan Undagi Pengaran” yang artinya tukang pembuat perahu, tukang
membuat batu, dan tukang terowongan air.
 Prasasti Turunan, Trunyan (914 M) menyebutkan pajak kepada raja dan
persembahan untuk bhatara
 Prasasti Bwahan (994 M) berisi putusan raja tentang perkara antar Desa
Kedisan dan Bwahan, agar dipisahkan.

2.3.2 Arsitektur Desa Bali Aga


Arsitektur Bali Aga diperkirakan telah ada pada jaman Bali Kuno
(sebelum datangnya Empu Kuturan). Bentuk-bentuk rumah pada jaman ini
adalah rumah-rumah sederhana yang disebut kubu, bentuk rumah semacam ini
masih banyak terdapat di daerah Bali pegunungan dan masih dapat dilihat
sampai sekarang. Umumnya dalam satu rumah terdapat banyak fungsi.
Masyarakat pada jaman tersebut dikenal sebagai masyarakat Bali Aga (Bali
Asli), yaitu masyarakat Bali yang kurang mendapat pengaruh Hindu Majapahit
dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga umumnya mendiami desa-
desa di daerah pegunungan (I Gusti Ngr. Bagus, 1979).
Seperti dijabarkan oleh Made Geria, dalam Prasejarah dan Klasik di Bali,
ada pun ciri khas pola permukiman Bali Aga adalah sebagai berikut:
1. Rumah adatnya berupa rumah tampul roras. Tampul berarti adegan = tiang
rumah (J. Kersten S.V.D., 1994 dalam Prasejarah dan Klasik di Bali). Roras
= 12, jadi yang dimaksudkan adalah rumah dengan menggunakan
konstruksi tiang penyangga sebanyak keseluruhan 12 buah.
Seperti hunian di Desa Bayung Gede memiliki tiga massa bangunan yang
merupakan pakem tradisional dan warisan ratusan tahun yang lalu.
Bangunan tersebut antara lain Lumbung, Bale Pegaman, dan Paon/Dapur.
Masing-masing bangunan berbentuk persegi panjang dan memiliki empat
tiang kayu sebagai penyangga atap. Apabila dijumlahkan, maka jumlah
keseluruhan tiang menjadi 3 bangunan x 4 tiang = 12 tiang.
2. Pola pemukiman yang diterapkan, yaitu pola linier (linier pattern) dengan
struktur rumah berderet tanpa adanya tembok pembatas antara rumah yang
satu dengan yang lainnya. Halaman rumah tampak menyatu dengan rumah-
rumah di sekitarnya.
3. Di samping adanya kompleks desa induk, juga ada daerah-daerah yang
menyebar membentuk sublingkungan yang berjauhan yang dihubungkan
dengan jalan setapak ke desa induk.
Dalam penataan masing-masing wilayah mempunyai kekhasan seperti di
Desa Tenganan dengan plaza berpola khusus, plaza dengan pola melingkar
sisi di Desa Julah, dan plaza dengan lorong-lorong ke arah tepi di Desa
Bugbug, Desa Bayung Gede memiliki kekhasan yang serupa dengan desa
tradisional lainnya di Bali.
4. Kiblat atau arah bangunan perumahan ke arah tempat yang lebih rendah,
dalam artian tempat yang lebih tinggi selalu dijadikan tempat yang
disucikan/diutamakan (hulu).
5. Arah hadap rumah tidak langsung ke jalan utama, tetapi melalui jalan-jalan
kecil yang ada di depan rumah (gang).
6. Faktor yang menonjol adalah faktor kondisi alam, nilai utama pada arah
gunung (puncak tertinggi sebagai orientasi bersama).
7. Pola lingkungan mendekati pola linier dengan lintasan-lintasan jalan yang
membentuk pola lingkungan yang sesuai dengan transis lokasi kemiringan
dan lereng-lereng alam.
8. Konsepsi yang dikenal, yaitu Tri Loka (Tiga Dunia) dalam pelaksanaan
pengaturan struktur pekarangan, yang terkait dengan kepercayaan adanya
pandangan bahwa dunia atau alam semesta tersusun atas tiga bagian, yaitu
Bhur, Bwah, Swah. Dalam diri manusia, pandangan ini menjelma ke dalam
konsep Tri Angga (Tiga Badan) yang dapat terlihat dari pembagian daerah
secara horizontal, yaitu bagian utama (hulu) tempat bangunan suci, halaman
tengah, dan halaman luar.
9. Penataan ruang tidak berlaku secara horizontal, namun vertikal, dalam
penentuan kesucian tempat diukur dari ketinggian yang diposisikan sebagai
tempat yang disucikan. Konsep pengaturan secara vertikal ini berpola juga
pada pembagian ruang di dalam rumah tampul roras, penempatan para-
para yang strukturnya dibuatkan paling atas sebagai tempat pemujaan yang
disucikan.
10. Bangunan tampul roras dibuat di kawasan yang terisolir di daerah balik
pegunungan terkait dengan aspek lingkungan yang tujuannya untuk alasan
keamanan karena pada dasarnya masyarakat Bali Aga ingin
mempertahankan dirinya, tidak mau tunduk kepada Majapahit. Hal ini
terkait juga dengan keberadaan tempat pemujaan di dalam rumah, ada
dugaan sengaja dibuat demikian untuk menjaga keamanan masyarakat
penganut budaya Bali Aga agar tidak menimbulkan kecurigaan orang di
sekitarnya.
11. Rumah dibuat dengan atap rendah dan minim ventilasi.
12. Struktur bangunan tampul roras, terdiri atas beberapa bagian yang umunya
terdiri dari:
 Bebaturan, terdiri dari jongkok asu sebagai pondasi tiang.
 Dinding. Masing-masing wilayah memiliki ciri khas tersendiri
disesuaikan potensi daerah yang dimiliki.
 Tiang. Struktur dan keberadaannya hampir sama dengan daerah dataran
yang umumnya disebut saka.
 Pementang, balok yang membentang di tengah pengikat jajaran tiang
fungsinya membentang dan menstabilkan lambang (balok di sekeliling
rangkaian tiang tepi).
 Raab (atap), sebagian besar dibuat dari bahan-bahan alam, alang-alang
dan sirap bamboo.
 Keseluruhan konstruksi rangka membentuk satu kesatuan stabilitas
struktur yang estetis dan fungsional. Hubungan elemen-elemen
konstruksi dikerjakan dengan sistem pasak tali ikatan.

Penduduk Bali Aga dulunya merupakan penduduk dengan kepercayaan


animisme dan dinamisme. Namun pengaruh Majapahit pada abad ke-14 melalui
Patih Gajah Mada dengan agama Siwa Budha-nya yang berkepentingan
memasukan agama tersebut berhasil memepengaruhi penduduk Bali dataran
rendah. Namun, beberapa penduduk yang berkeyakinan berbeda melarikan diri
ke daerah pegunungan kemudian mendirikan permukiman yang tidak
terpengaruh oleh keyakinan Bali dataran rendah. Secara perlahan Agama Siwa
Budha yang kemudian bertransformasi menjadi Agama Hindu Bali berhasil
mempengaruhi seluruh kawasan Bali termasuk desa tradisionalnya.

2.3.3 Ciri- ciri Desa Bali Aga


Desa Bali Aga (Bali Apanaga) , yaitu desa-desa tua yang masih kuat
memegang sistem dan adat-istiadatnya serta tidak atau hanya sedikit
terpengaruh Majapahit. Desa-desa tradisional yang tergolong desa Bali Aga
melipui:
 Desa Trunyan

 Desa Tenganan

 Desa Asak

 Desa Sembiran

 Desa Pinggan

 Desa Pengotan dll.

1. Ciri-ciri Kehidupan Budaya dan Masyarakat


 Ciri kehiduoan komunal, yaitu corak kebersamaan/gotong royong
seperti ngopin, seke meApanaga, upacara kematian, upacara
keagamaan, membuat rumah dan lain-lain.
 Hubungan yang sejajar antara anggota masyarakat.
 Tidak adanya sistem kasta secara vertical, pengelompokan masyarakat
menjadi 2 bagian yaitu kasta laki-laki dan kasta perempuan.
 Susunan pengurus lulu ampad yang berarti batas antar pengurus sesuai
dengan tegak/posisi seperti Kubayan Tengen (kanan) dan Kubayan
Kiwa (kiri).
 Penguburan dalam bentuk kuburan batu dalam bentuk keranda atau
sarkofagus.
 Penguburan terbuka di Desa Trunyan.
 Roh leluhur didewakan seperti datonta di Desa Trunyan.
 Adanya berbagai aliran seprti Agama Bayu, Agama Shynbru, Agama
Kala, Agama Brahma, Agama Indra dll.
 Adanya konsep luan dan teben yang lebih cocok dengan konsep punden
berundag seperti di Desa Trunya. Terdapat 2 setra/kuburan yait orang
mati biasa di utara dan irang mati tidak biasa di selatan. Sehingga
terbentuk permukiman dengan konsep hulu dan teben “rwa bhineda”.

2. Sistem Peralatan dan Mata Pencaharian


 Sistem peralatan hidup dan teknologi seperti kapak, perimbas, serut dan
sebaginya.
 Sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi : masa berburu dan
bercocok tanam
3. Sistem Kekerabatan
 Dikenal kerabat dekat dan jauh.
 Dikenal ada kasta laki-laki dan perempuan.
 Dikenal ada batih atau keluarga inti.
4. Sistem Organisasi
 Adanya wadah yang disebut dengan hulu ampad yaitu keterlibatan
setiap keluarga dalam kegiatan adat dan agama.
 Adanya kelompok disamping desa yang disebut dengan banua dan
gebog seperti di Pura Penulisan.
5. Sistem Politik
 Bersifat fleksibel.
 Tidak meninggalkan tradisi nenek moyang.
 Bersifat musyawarah.
6. Sistem Hukum
 Sudah dikenal seperti yang disebutlan dalam prasasti “Bale Agung
Kintamani” tentang larangan menebang kayu seperti majegau, kapes
dll. Bagi pengalu harus membayar cukai.
7. Sistem Perkawinan
 Adanya larangan kawin dengan keluarga dekat dan mempunyai
hubungan darah baik kesamping maupun ke atas.
8. Bahasa
 Tidak mengenal adanya sor singgih bahasa. Tidak ada perbedaan bahasa
antara orang tua dan anak.

9. Kesenian
 Adanya seni gerak (tari) seperti rejang, baris, baris gede dll.
10. Sistem Pengetahuan
 Bersifat statis dipengaruhi oleh dokmatisme yaitumeneriman apa
adanya.
 Dalam hubungan pertanian mengenal ilmu astronomi seperti bulan
bulan kasi, karo, ketiga, kapat, kelima, keenem, kapitu, kaulu, kasanga,
kadasa, desta dan sada.
11. Sistem Religi
 Percaya dengan kekuatan gaib dan roh leluhur. Orang yang memiliki
posisi penting dalam keagamaan seperti: Kubayan, Jro Bahu,
Penambing dan Pengulung.
BAB III
TINJAUAN OBJEK

3.1 Informasi Umum mengenai Desa Timbrah


Lokasi : Bagian dari Desa Pertima, Kecamatan Karangasem,
Kabupaten Karangasem. Terletak + 7 km dari ibukota
kecamatan dan kabupaten serta + 85 km dari ibukota propinsi
serta berada pada ketinggian + 500 dpl
Luas Wilayah : 872,599 Ha

Batas Wilayah Desa


Utara : Desa Pakraman Asak dan Desa Pakraman Subagan
Selatan : Desa Pakraman Perasi
Barat : Desa Pakraman Bugbud dan Desa Pakraman Tenganan
Timur : Desa Pakraman Jasri/Jasi

Gambaran dan batas wilayah Desa Pakraman Timbrah


Dari sisi wilayah, desa ini secara umum merupakan karang ayahan desa.
Dari sisi struktur sosial, Desa Pakraman Timbrah terdiri dari tiga pauman,
enam banjar dan tiga pemaksan, dengan rincian sebagai berikut:
a. Pauman, terdiri dari: Pauman Timbrah Desa, Pauman Timbrah Beji,
Pauman Timbrah Manak Yeh dan Pauman Timbrah Lambuan.
b. Banjar, terdiri dari: Banjar Kaja Kauh, Banjar Kaja Kangin, Banjar
Kelod Kangin, Banjar Tengah, Banjar Sesabu Desa dan Banjar
Sesabu Tamiu (Banjar Taman Sari; untuk warga pendatang)
c. Pemaksan, terdiri dari: Pemaksan Kaler, Pemaksan Tengah dan
Pemaksan Kelod Kangin.

Krama atau anggota dari pauman, banjar dan maksan/pemaksan ini


terkadang saling bersilangan, namun secara umum keterkaitan diantara
ketiganya adalah sebagai berikut (wawancara: Wija, 2015):
a. Krama atau warga Pauman Desa umumnya berdomisili di Banjar
Kaja Kauh dan merupakan krama dari Pemaksan Kaler - Krama atau
warga Pauman Beji umumnya berdomisili di Banjar Tengah dan
merupakan krama dari Pemaksan Tengah (bersama-sama dengan
krama Pauman Manak Yeh)
b. Krama atau warga Manak Yeh umumnya berdomisili di Banjar Kaja
Kangin dan merupakan krama dari Pemaksan Tengah (bersama-
sama dengan krama Pauman Beji)
c. Krama atau warga Pauman Lambuan umumnya berdomisili di
Banjar Kelod Kangin dan merupakan krama dari Pemaksan Kelod
Kangin

Anda mungkin juga menyukai