Anda di halaman 1dari 192

Pinandita Sanggraha Nusantara

Buku Pedoman Praktis


Upakara
(Banten) dalam
Upacara Yajna

Yayasan Dharma Pinandhita


Buku Pedoman Praktis
UPAKARA (BANTEN) DALAM
UPACARA YAJNA

Diterbitkan oleh: Yayasan Dharma Pinandita


Disusun oleh: TIM POKJA PSN

Gambar sampul oleh:


Cecep Irfan

118 x 180mm, xiv + 174 hal

ISBN: 978-602-14516-0-1
TIM PENYUSUN
BUKU PEDOMAN PRAKTIS
Tentang
UPAKARA (BANTEN) DALAM UPACARA YAJNA

Penasehat :
Ida Padanda Gde Putra Sidemen.
Ida Padanda Gde Oka Jelantik..
Ida Padanda Oka Kemenuh.
Ida Padanda Gde Pasuruhan Sidemahan.
Ida Padanda Gde Panji Sogata.
Ida Padanda Gde Parama Sudiksa.
Ida Padanda Istri Gde Pasuruhan Sidemahan.

Pelindung :
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat.
Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI.
Ketua Umum Pinandita Sanggraha Nusantara.

Tim Penyusun :
Pinandita Wayan Rajin (Ketua)
Pinandita Drs. I Wayan Ardana (Wakil ketua)
Pinandita Wayan T. Wijana S.Ag (Sekretaris)
Pinandita Drs. I Dewa Putu Japa (Anggota)
Pinandita Ida Bagus Suryana (Anggota)
Pinandita I Gusti Putu Rindi (Anggota)
Ibu Ni Putu Nurastuti Mulyadi (Anggota)
Ibu Ni Gusti Ayu Oka Suastini (Anggota)
Ibu Ni Wayan Wartiniasih S.Ag (Anggota)
Ibu Ni Made Soka S.Ag (Anggoa)
Ibu Ida Ayu Kade Harnikawati (Anggota)
Kata Pengantar

Om Swastiastu.

Dalam ajaran agama Hindu disebutkan bahwa


tujuan hidup manusia sesungguhnya adalah un­
tuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia
lahir bathin (Moksartham Jagadhita). Guna me­
wu­judkan tujuan hidup dimaksud, dibutuhkan
suatu landasan keimanan (sradha) dan ketakwaan
(bhakti) kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa. Melalui dasar landasan keimanan
(sradha) dan ketakwaan (bhakti) inilah, manusia
berusaha mempersembahkan dan menghaturkan
sesuatu yang terbaik, termulia dihadapan Sang­
hyang Widhi Wasa lewat pengorbanan yang tulus
dengan niat hati yang suci berupa upakara/upacara
(yajna).

v
Upacara/Upakara (Yajna) ini merupakan
media yang paling penting dalam mewujudkan
rasa keagamaan itu. Upakara/Upacara (Yajna)
akan membawa alam pikiran kita pada suasana
keagamaan yang murni, mengandung simbol-
simbol yang penuh makna. Dalam Buku Pedoman
Praktis tentang Upakara (Banten) dalam upacara
Yajna ini, mudah-mudahan akan memberikan
suatu sumbangsih berupa pemikiran dari team
penyusun dengan suatu harapan dapat dijadikan
acuan bagi para Pemangku (Pinandita), para Sarati
Banten dan juga umat Hindu Indonesia.
Mudah-mudahan buku ini akan memberikan
manfaat, walaupun masih banyak terdapat keku­
rangannya, namun kami sangat mengharapkan
saran dan kritiknya bagi kesempurnaan dari buku
ini.

Om Santi, santi, santi, Om


Jakarta, Mei 2012.

Penyusun

(Pinandita I Wayan Rajin )


Ketua Team Pokja PSN

vi
Sambutan:
Ketua Pinandita
Sanggraha Nusantara

Om Swastiastu.

Buku Pedoman Praktis tentang Upakara (Ban­


ten) dalam upacara Yajna, merupakan buku pe­do­m­
an yang tentunya dapat dipergunakan sebagai bahan
acuan bagi para Pemangku (Pinandita), Sarati Banten
dan juga umat Hindu di dalam membuat upakara
(banten) sesuai dengan tingkatannya. Sebagai ke­
tua Pinandita Sanggraha kami sangat berterima
ka­sih kepada team penyusun, yang diketuai oleh
Jro Mangku Wayan Rajin, mudah-mudahan buku
pedoman ini akan memberikan manfaat bagi para
pe­mangku (pinandita), sarati banten dan juga umat
Hindu didalam mendalami tentang bebantenan.
Tentunya ini merupakan langkah maju yang
di­
perankan oleh Pinandita Sanggraha dalam hal

vii
pembinaan kepada umat, melalui upakara/upa­
cara (yajna). Kami menyadari bahwa apa yang telah
dilakukan oleh team penyusun merupakan sum­
bangan pemikiran yang tentunya sangat bergu­na bagi
perkembangan agama Hindu.
Dengan menyadari berbagai kekurangan yang
ada dalam buku pedoman praktis tentang upa­ka­
ra (banten) dalam upacara yajna, kamipun sangat
mengharapkan saran-saran yang bersifat membangun
bagi menyempurnaan dari buku ini. Sebagai ketua
Pinandita Sanggraha, kami mengucapkan selamat
semoga sukses selalu.

Om Santi, santi, santi, Om

Jakarta, Mei 2012.

PINANDITA SANGGRARA NUSANTARA


KETUA UMUM

Pinandita Ir. I Gusti Made Ngurah Suyadnya M.Sc, S.g

viii
Sambutan:
Om Swastyastu.

Dewasa ini, umat Hindu Indonesia telah me­


nunjukkan kemajuan yang cukup berarti, baik da­
lam pemahaman dan penghayatan ajaran agama
Hindu (Tattwa), maupun pengamalan ajaran Hindu
dalam bentuk pelaksanaan acara (khususnya upa­
cara yajna), masih nampak adanya keragaman dan
kurangnya pemahaman akan makna dari sebuah
upakara (banten). Maka dari itu, adanya satu pe­
do­man yang dapat menjadi acuan bagi umat Hindu
sungguh sangat dibutuhkan, sehingga di te­ ngah
keragaman itu terdapat satu pedoman yang me­ng­
ikat keragaman tersebut.
Kami menyambut baik atas diterbitkannya
Buku Pedo­ man Praktis tentang Upakara (Banten)
Dalam Upacara Yajna oleh Pinan­ dita Sanggraha
Nusan­tara (PSN). Terlebih lagi di dalam buku pe­
doman ini juga dilengkapi dengan pengertian ten­
tang Upakara-Upacara Yajna dan makna yang
terdapat dalam setiap upakara (banten), sehingga
umat sedharma akan semakin yakin dan mantap
dalam melaksanakan upacara Yajna.

ix
Kepada Tim Penyusun, saya sampaikan rasa
hormat dan terimakasih serta penghargaan yang
setinggi-tingginya atas segala pemikiran dan sum­
bangsihnya bagi kemajuan umat Hin­du Indonesia.
Kami yakin buku ini sangat bermanfaat bagi umat
Hindu pada umumnya dan bagi para Pinandita dan
Sarati Banten pada khususnya.
Demikian Sambutan Saya, Semoga Hyang
Widhi Wasa menganugerahkan kesehatan dan keba­
hagiaan agar kita dapat melaksanakan sedharma
sebagai wujud bakti kepada agama, masyarakat,
bangsa dan negara.

Sekian dan terimakasih


Om Santih, Santih, Santih

Jakarta, Mei 2012

Ketua Umum
Mayjen TNI (Purn) S.N. Suwisna

x
Sambutan:

OM Suastyastu,

Mengawali sambutan ini, kami mengucapkan


rasa angayubagya atas suweca Hyang Widhi yang
telah memberikan kertha waranugrahaNya, buku
Pe­doman tentang Manggala Upacara Yadnya dalam
menyelesaikan/memuput upakara-upacara yadnya
selesai disusun oleh Pinandita Sanggraha Nusantara.
Kami sangat menghargai segala usaha dan
kerja keras Sanggraha Pinandita, dalam upayanya
mewujudkan Buku Pedoman Praktis yang nantinya
dapat dijadikan acuan bagi Pemangku maupun
Sarati Banten (tukang banten) dalam menyiapkan
upakara (Banten) yang akan digunakan pada setiap
upacara Yadnya (Dewa Yajna, Manusa Yajna, Pirtra
Yajna, dan Butha Yajna). Kita perlu menyadari
bahwa dalam menyiapkan suatu upacara Yajna
diperlukan suatu penyatuan persepsi/pandangan,
yang berkaitan dengan upakara (banten) agar
tidak mengundang penafsiran yang memaknai
keanekaragaman bentuk upacara yang ada. Mudah-

xi
mudahan dengan terbitnya Buku Pedoman Praktis
tentang Upakara (Bebantenan) dalam upacara
Yadnya dapat memberikan manfaat yang berarti bagi
seluruh umat Hindu.
Akhirnya kami menyampaikan terimakasih dan
memberikan apresiasi kepada Sanggraha Pinandita,
karena berkat jerih payah dan pengabdiannya, buku
ini dapat dipersembahkan kepada pembaca dan juga
umat Hindu. Semoga Hyang Widhi Wasa/ Tuhan
Yang Maha Esa, selalu asung waranugraha kepada
kita semua.

OM Shanti Shanti Shanti OM

Jakarta, Mei 2012


Direktur Jenderal

Prof. DR. IBG Yudha Triguna, MS


NIP. 19580417 198403 1 003

xii
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................... iii


Sambutan Ketua Umum
Pinandita Sanggraha Nusantara ........................... v
Sambutan Ketua Umum
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat............vii
Sambutan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Hindu
Kementerian Agama RI........................................ix
Daftar Isi...............................................................xi

I. PENDAHULUAN ...........................................1

II. PENGERTIAN UPAKARA-


UPACARA/YAJNA ..........................................7

xiii
III. UPAKARA (BANTEN) DAN MAKNA
SIMBOLISNYA ..............................................15

IV. TINGKATAN UPAKARA-


UPACARA/YAJNA ........................................35

V. BEBERAPA JENIS UPAKARA (BANTEN)


YANG UMUM...............................................43

VI. UPAKARA (BANTEN) PESAKSI ..................51

VII. UPAKARA (BANTEN) TATABAN ...............83

VIII. UPAKARA (BANTEN) SOR .......................93

IX. STRUKTUR UPAKARA (BANTEN)


DALAM UPACARA YAJNA.........................115

X. P E N U T U P.............................................171

xiv
B A B
1

Pendahuluan

I. Latar Belakang.

Kebenaran sejati yang terkandung dalam Weda


tidak akan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari,
bila kebenaran sejati itu tidak diterapkan menja­
di “Acara Dharma” atau penerapan kebenaran
agama dalam tradisi kehidupan sehari-hari,
sehingga merupakan bagian yang integral dalam
diri manusia dan masyarakat. Acara Dharma”
merupakan bentuk pelaksanaan ajaran agama
Hindu yang di dalamnya tercermin kegiatan yang
bersifat praktis, bagaimana seharusnya manusia
menunjukkan rasa kasih dan bhaktinya kepada
Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa,

1
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

kepada alam semesta dan juga kepada sesama


manusia, leluhur dan juga orang-orang suci.
Dalam Kitab Bhagawad Gita III.10 menye­
butkan: “Saha-yajnah prajah srstva purovaca
prajapatih anenaprasavisyadhvam esa vo ‘stv ista-
kama-dhuk”. Artinya: Sesungguhnya sejak dahulu
dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia
melalui yajna, berkata dengan (cara) ini engkau
akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang
memenuhi keinginanmu (sendiri). Sloka tersebut
menjelaskan bahwa Tuhan dalam menciptakan
dunia (ciptaan) dilakukan dengan maha yajna
dengan mempergunakan dirinya sebagai cikal
bakal. Kemudian beliau bersabda biarlah dunia ini
menjadi sapi perah untuk memenuhi keinginanmu.
Bila mengacu kepada sloka tersebut, jelas bahwa
yajna-lah yang menjadi dasar hubungan Tuhan
Yang Maha Esa (prajapati), manusia (praja) dan
alam (kamadhuk). Manusia akan dapat mencapai
kebahagiaan hidup apabila mampu melakukan
hubungan yang harmonis berdasarkan yajna
(ritual, korban suci) kepada Sanghyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud bhakti
yang tulus, kepada sesama manusia dan dirinya
dalam wujud pengabdian, dan kepada alam
lingkungan dalam wujud pelestarian alam dengan
penuh kasih sayang.
Agama Hindu menyebutkan bahwa tujuan
hidup manusia sesungguhnya adalah untuk

2
Pendahuluan

mendapatkan suatu kebahagiaan hidup lahir


dan bathin (Moksartham Jagadhita). Tujuan hi­
dup tersebut hanya dapat diperoleh melalui
suatu usaha dan kerja keras yang dilandasi oleh
keyakinan/keimanan dan ketakwaan/bakti ke
hadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa.
Atharva Veda XII.1.1 menyebutkan bahwa
untuk menciptakan suatu keseimbangan didalam

3
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

pencapaian dari tujuan hidup itu, manusia


hendaknya selalu melakukan kebajikan, berbuat
baik dan benar dengan selalu bersikap jujur, setia
kepada tugas dan kewajiban, mentaati norma-
norma hukum yang berlaku, menyucikan diri lahir
bathin dengan melakukan pengendalian diri serta
berdoa yang disertai bakti persembahan berupa
korban suci yang tulus dan ihklas.
Berangkat dari ajaran bakti yang dituangkan
dalam kitab Atharva Veda XII.1.1 tadi, diperlukan
suatu pemahaman akan makna dan arti khusus,
dalam mencari jalan yang terdekat untuk
berkomunikasi/kontak bathin dengan Sanghyang
Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, sebagai bentuk
pengakuan dan persaksian diri, salah satunya
adalah bakti persembahan berupa korban suci
yang tulus ihklas melalui upakara dan upacara
yajna.

2. Permasalahan.

Dalam masyarakat manusia, yang senantiasa


mengalami perubahan dan perkembangan sesuai
dengan tempat, waktu dan keadaan, cara-cara yang
ditempuh dalam menunjukkan rasa cinta kasih
dan bhakti, tentunya disesuaikan pula dengan
format budaya yang terkandung dalam komunitas
umat Hindu di Indonesia. Mengingat umat Hindu

4
Pendahuluan

saat ini lebih banyak yang berasal dari etnis Bali,


maka untuk memberikan tuntunan praktis tentang
upakara (bebantenan) dalam upacara yajna sangat
diperlukan. Tujuannya agar dapat memberikan
suatu pedoman tentang bagaimana umat Hindu
dapat menyiapkan sarana upakara (bebantenan)
dalam bentuk yang sederhana, dengan selalu
memahami struktur upacara dan pengertian dasar
yang terkait dengan Panca Yajna.

3. Ruang lingkup bahasan.

Buku Pedoman Praktis tentang Upakara


(Bebantenan), merupakan dasar pedoman bagi
para Pinandita/Pemangku Pura dan juga Sarati
Banten, dalam pembuatan upakara (bebantenan)
yang dipergunakan pada setiap upacara keagamaan
(Panca Yajna). Tujuannya agar para Pinandita/
Pemangku Pura dan Sarati Banten, memiliki
kesamaan langkah dalam pelaksanaan pembuatan
upakara (bebantenan), bagi umat Hindu di luar
Bali dengan selalu memperhatikan pada desa, kala,
patra dan kesucian.
Adapun ruang lingkup batasan materinya
meliputi: Latar belakang, permasalahan, ruang
lingkup bahasan, pengertian Upakara-Upacara/
Yajna, Upakara (Banten) dan makna simbolisnya,
tingkatan Upakara dalam upacara yajna, beberapa

5
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

jenis upakara (banten) yang umum, upakara


(banten) pesaksi, upakara (banten) Tataban, upa­
kara (banten) Sor, struktur upakara (banten)
dalam upacara yajna dan penutup.

Pelaksanaan persembahyangan

6
B A B
2

Pengertian Upakara-
Upacara/Yajna

4. Pengertian Upakara-Upacara/Yajna.

Upakara dan Upacara merupakan bagian


dari ajaran agama Hindu yang sering disebut
dengan “Yajna”. Yajna berasal dari kata “Yaj”
yang artinya”korban suci”. Korban suci yang
dimaksud adalah suatu korban yang dilandasi
pengabdian, cinta kasih dengan niat hati yang
suci dan tulus ihklas. Yang dimaksudkan dengan
tulus ihklas dengan tidak mengikatkan diri pada
hasil. Sedangkan Upakara itu sendiri berasal dari
kata “Upa” yang artinya berhubungan dengan, dan
“Kara yang berarti perbuatan/pekerjaan/tangan.
Jadi pengertian Upakara disini berarti segala

7
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan/


pekerjaan/tangan, yang pada umumnya berbentuk
materi, seperti daun, bunga, buah-buahan, air,
dan api, sebagai kelengkapan dari suatu upacara.
Kemudian Upacara berasal dari kata “Upa” yang
artinya berhubungan dengan, dan kata “Car” yang
berarti gerak, kemudian mendapat akhiran “a”,
merubah kata kerja menjadi kata sifat yang artinya
gerakan. Jadi upacara adalah sesuatu yang ada
hubungannya dengan gerakan (pelaksanaan) dari
suatu yajna.
Upakara dan Upacara adalah salah satu bagian
dari pelaksanaan yajna sebagai dasar pengembalian
tiga hutang manusia (Tri Rna). Weda mengajarkan
bahwa Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
Esa, menciptakan alam semesta ini berdasarkan
yajna. Karena itu manusia yang bermoral akan
merasa berhutang kepada Sanghyang Widhi/Tuhan
Yang Maha Esa. Leluhur/Orang tua, dan Para Maha
Rsi, yang telah memberikan kehidupan, tuntunan
serta pengetahuan suci sehingga seseorang mampu
untuk hidup, berbuat dan berkarya dijalan Tuhan.
Umat Hindu di Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari mengamalkan ajaran agamanya melalui
simbolisasi pemaknaan terhadap berbagai sarana
prasarana sebagai kelengkapan dari suatu upacara
keagamaan. Dan ini merupakan bentuk aktivitas
ke beragamaan yang dapat menjangkau semua
tingkat kemampuan umat untuk memahami akan

8
Pengertian Upakara-Upacara/Yajna

nilai-nilai spiritualnya. Oleh karena itu Upakara-


Upacara/Yajna memberikan wahana pendakian
secara bertahap kepada setiap umat Hindu yang
melaksanakan upacara yajna tersebut. Pendakian
bertahap yang dimaksud adalah pendakian
menuju tahapan kerohanian yang semakin hari
semakin meningkat. Dalam kitab Smrti manawa
Dharma Sastra menyatakan bahwa pelaksanaan
yajna itu harus disertai dengan ketulusan hati dan
keyakinan diri, sebab pada hakekatnya dengan
beryajna seseorang dapat menolong dirinya untuk
mencapai tingkat hidup yang lebih sempurna.

“Craddhayestam ca purtam ca, nityam


kuryuda tandritah, craddhakrite hyaksaye te
bhawatah swagatairdhanaih”.

Artinya:
Ia hendaknya tanpa mengenal jerih payah,
selalu menghaturkan upacara-upacara korban
serta melakukan pekerjaan-pekerjaan amal yang
dilaksanakan penuh kepercayaan kepada Tuhan,
sebab persembahan dan pekerjaan amal dilakukan
dengan kepercayaan dan dengan uang yang
didapat secara halal, mendapatkan pahala yang tak
henti-hentinya.

Sloka tersebut menjelaskan bahwa yajna


merupakan korban suci yang dipersembahkan

9
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

kepada siapa pun yang patut menerimanya,


dimana pemberian itu disertai dengan ketulusan
hati, cinta kasih dan kepercayaan yang membathin
demi kesejahteraan bersama dan kedamaian abadi.

5. Dasar pelaksanaan upakara-upacara/yajna.

Hakikat hidup dan kehidupan manusia tidak


dapat dipisahkan satu sama lain, karena hidup dan
kehidupan seseorang tergantung daripada hidup
dan kehidupan dengan sesamanya. Itulah yang
menyebabkan setiap insan hamba Tuhan yang
sadar akan kehidupannya sebagai umat beragama
untuk selalu ingin berkorban, saling tolong
menolong dan saling memberi secara timbal balik.
Tingginya tarap kehidupan manusia ditandai oleh
budi pekertinya, tingkah laku dan pengorbanannya
demi kepentingan umum dan kesejahteraan
dunia, bahkan sampai rela mengorbankan jiwa
raganya. Dan ini dilakukannya dengan ketulusan,
keihklasan dan dengan niat hati yang suci demi
kesentosaan serta dengan lebih meningkatkan
kwalitas sradha dan baktinya kepada Yang Maha
Kuasa/Sanghyang Widhi Wasa. Dalam kitab Weda
Smrti Manawa Dharma Sastra menyebutkan:

10
Pengertian Upakara-Upacara/Yajna

“Agnon prastha hutih samyang, adityam


upastistate, adityayate wretir, wreste rsnam tatah
pryah”.

Artinya:
Persembahan yang dipersembahkan ke dalam
api suci, akan mencapai matahari, dari matahari
turunlah hujan, dari hujan maka tumbuhlah
makanan, dari makanan mahkluk hidup men­
dapatkan hidupnya.

Sloka tersebut menjelaskan bahwa dari ma­


kananlah manusia dapat mempertahankan hidup­
nya, makanan tumbuh karena adanya pancaran
sinar matahari yang mengakibatkan menguapnya
titik-titik air di samudera, yang kemudian turun
menjadi hujan. Demikian siklus kehidupan ini,
yang selalu dilandasi oleh adanya pengorbanan
yang tulus ihklas (yajna).

6. Tujuan melakukan yajna.

Semua perbuatan tentu memiliki tujuan,


tanpa tujuan semua perbuatan ibarat perahu
tanpa kendali sehingga terombang-ambing
tidak menentu. Begitu pula halnya dengan kita
melakukan yajna, sudah barang tentu memiliki
tujuan, yang pasti disini adalah dalam rangka

11
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

menciptakan suatu kehidupan yang bahagia, dan


sejahtera, lahir maupun bahtin. Dalam kitab Weda
Smrti Manawa Dharma Sastra VI.35 menyebutkan
bahwa pikiran (manas) baru dapat ditujukan
kepada kelepasan setelah manusia membayar
hutang moral (Rna), yakni kepada Tuhan/
Sanghyang Widhi Wasa, Orang tua/Leluhur, dan
kepada Para Maha Rsi. Untuk membayar hutang
moral tersebut, manusia memiliki kewajiban moral
pula untuk membayarnya melalui korban suci
(yajna). Hutang moral kepada Tuhan/Sanghyang
Widhi Wasa di wujudkan dalam bentuk Dewa
yajna dan Bhuta yajna, hutang moral kepada
Orang tua/Leluhur di wujudkan dalam bentuk
Pitra yajna dan Manusa yajna, sedangkan hutang
moral kepada Para Maha Rsi di wujudkan dalam
bentuk Rsi yajna.
Di samping itu pula tujuan kita melaksanakan
upakara-upacara/yajna, pertama: sebagai pengeja­
wantahan ajaran agama, melalui bentuk simbol-
simbol (niyasa) agar mudah dipahami, dihayati,
dan dilaksanakan oleh umat Hindu dalam
rangka meningkatkan kemantapan diri didalam
pelaksanaan kegiatan keagamaan itu sendiri.
Kedua, sebagai ungkapan rasa terima kasih, karena
pada hakikatnya manusia tidak dapat lepas dari
ketergantungan dengan yang lain. Ada tiga jenis
ketergantungan manusia, yakni ketergantungan
manusia dengan Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa

12
Upakara (Banten) dan Makna Simbolisnya

yang telah menciptakan kehidupan, memelihara


dan memberi kebutuhan hidup. Kemudian
ketergantungan kepada orang tua/leluhur yang
telah melahirkan, mengasuh dan membesarkannya,
selanjutnya ketergantungan yang ketiga adalah
ketergantungan kepada para Maha Rsi yang
telah memberikan ilmu pengetahuan suci
untuk membebaskan manusia dari kebodohan,
keterbelakangan menuju suatu kehidupan yang
sejahtera dan bahagia lahir bathin. Kemudian
tujuan yang ketiga kita melaksanakan upakara-
upacara/yajna adalah untuk meningkatkan
kwalitas diri melalui proses penyucian diri
dengan menumbuhkan rasa keihklasan dengan
mengurangi keakuan, dalam bentuk abyakala,
prayascita dan lain sebagainya. Dan tujuan
keempat adalah meningkatkan kesucian bhuwana
agung dan bhuwana alit, melalui upacara Caru,
Tawur Agung dan penglukatan.

13
Halaman ini sengaja dikosongkan
B A B
3

Upakara (Banten)
dan Makna Simbolisnya

7. Landasan Filosofis dan Methologis Banten.

a. Makna Banten. Banten atau bebantenan


merupakan ciri khas yang unik bagi masyarakat
Hindu di Bali, dan ini dikaitkan dengan daya cipta
masyarakat setempat, yang memiliki nilai religius,
magis, yang mengandung nilai budaya seni dan
adat. Banten membuat orang menjadi terpesona
karena daya seni yang ditampilkannya dengan
berbagai keindahan dalam penataan sebuah karya
spiritual, sebagai sarana untuk mendekatkan diri
penyembah dengan yang disembah yakni Tuhan
Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa. Dalam
kitab Bhagawad Gita disebutkan bahwa

15
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Dunia mengalir dari tubuhKu. Dunia Aku


jadikan dengan pengorbanan diriKu. Manusia
Aku jadikan atas dasar hukum yajna, karena itu
manusia wajib melakukan yajna. Barang siapa
tidak melakukan yajna adalah dosa. Yajna yang
paling mulia adalah penyerahan diri sepenuhnya
hanya kepada Ku.
Pernyataan inilah yang kemudian meng­ ge­
rakkan kegiatan keagamaan dalam bentuk upakara
(banten). Banten atau bebantenan sesungguh­nya
dalam penataannya merupakan perwujudan Manu
(manusia) yang dikorbankan kepada Tuhan/
Sanghyang Widhi Wasa. Karena itu pula, dalam
mempersembahkan banten kehadapan Tuhan/
Sanghyang Widhi Wasa, disusun atas dasar konsep
triangga, sehingga ada banten yang berkedudukan
sebagai utama angga atau hulu (kaja atau kangin),
kemudian madia angga atau bagian badan (tengah)
dan nista angga atau bagian kaki yakni diteben
(kelod kauh).
Dalam filsafat Sankhya disebutkan bahwa
dunia terdiri dari dua unsur yakni purusa dan
pradana (prakerti). Purusa merupakan jiwa
alam semesta, sedangkan pradana atau prakerti
merupakan unsur jasmani yang terdiri dari unsur
Panca Maha Bhuta dan Panca Tan Matra. Konsepsi
ini pula yang melandasi dalam pembuatan banten
khususnya dilihat dari unsur-unsur banten,
terutama untuk banten yang berfungsi sebagai

16
Upakara (Banten) dan Makna Simbolisnya

hulu atau linggih Sanghyang Widhi Wasa misalnya


banten Suci, Catur atau Dewa-dewi, dan Daksina.
Mengingat banten merupakan perwujudan
dari manusia, maka dengan demikian banten
memiliki makna sebagai simbol penyerahan diri
manusia secara totalitas, yang didasari ketulusan
hati dan niat yang suci. Hal ini tercermin dari
tatuasannya (potongannya), yang menunjukkan
keindahan seni yang ditampilkan, menyimbolkan
perasaan cinta kasih dan bakti yang demikian
agungnya sehingga melahirkan getaran hati dan
pikiran untuk mempersembahkan yang terbaik
dan termulia kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/
Sanghyang Widhi Wasa sebagai pemberi anugrah
berupa kesejukan kepada sang pemuja. Dunia
ini tercipta karena adanya unsur purusa dan
pradana (prakerti). Pradana (prakerti) sebagai
unsur jasmani terdiri dari unsur Panca Maha
Bhuta yakni dari unsur apah, teja, pretiwi, bayu
dan akasa. Kelima inilah yang membentuk unsur-
unsur banten terutama untuk banten hulu (lingga
Sanghyang Widhi Wasa). Dari kelima unsur inilah
kemudian berkembang menjadi berbagai bentuk
unsur. Unsur kehidupan dalam air (apah) ada dua
jenisnya, yakni air tawar dan air laut. Mahkluk
hidup diair tawar misalnya ikan nyalian, lele,
yuyu, udang, kakul dan sebagainya, sedangkan
yang hidup diair laut ikan teri (gerang), teripang,
ikan pari (be pai). Unsur kehidupan dalam tanah

17
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

(pertiwi), misalnya kacang-kacangan dan ini


termasuk jenis pala gantung, sedangkan umbi-
umbian tergolong jenis pala bungkah. Ke­ mu­
dian yang mewakili unsur akasa, adalah bi­natang
buruan, sedangkan yang mewakili unsur teja, ada­
lah asap, dupa dan lain-lain. Semua di­susun demi­
kian indahnya yang samar-samar meng­ gam­bar
Manu atau manusia. Dalam memilih unsur-unsur
tersebut sebagai bahan banten tidak terlepas dari
prinsip nama dan rupa.
Karena banten merupakan wujud Manu
atau manusia, maka dalam menata unsur-un­sur
materinyapun hendaknya disesuaikan, mi­sal­­­nya
dapat dilihat pada banten gebogan, kaki­nya di­
simbolkan dengan dulang atau bo­kor­an, badan­
nya disimbolkan dengan raka-raka, jajan, penek
dan ayam panggangnya, sedangkan kepalanya
disimbolkan dalam bentuk jejahitan berupa kepet-
kepetan. Sehingga dalam menempatkan atau
meletakkan ayam panggang, tidak boleh dipuncak
banten gebogan melainkan pada bagian badan
dekat dengan dulang (bokoran). Jadi, bila kita
perhatikan secara seksama dari ketiga bagian yang
menggambarkan kaki, badan dan kepala (hulu)
yang ditandai dengan canang pelausan atau kepet-
kepetan, maka dalam penggunaan kembangpun
hendaknya dipilih yang dapat memberikan aroma
yang demikian harum, seharum hati sang pemuja
dalam melakukan bakti persembahan. Sekecil

18
Upakara (Banten) dan Makna Simbolisnya

apapun banten itu adalah symbol penyerahan


diri secara totalitas. Dalam penyusunannya tetap
memperhatikan tercerminnya ketiga bagian itu
seperti, menyimbolkan kepala, badan dan kaki
dengan konsep Triangga dalam peletakannya.

b. Konsep Triangga dalam menata banten


sorohan. Jika banten itu merupakan suatu unit
(sorohan) besar, penyusunan mengikuti konsep
Triangga. Dengan demikian ada banten yang
menempati posisi atau kedudukan sebagai banten
utama angga atau hulu (kepala), ada banten
menempati posisi sebagai madia angga atau badan
dan ada banten yang menempati posisi nista angga
atau bagian kaki. Dalam membentuk susunan
banten ini, tidak terlepas dari konsep harmonisasi.
sebagai wujud manu yang baik dan benar serta
cantik, tampan, menarik serta mempesona. Dengan
demikian prinsip keharmonisan inilah yang
dipakai dasar untuk menentukan besar kecilnya
bagian-bagian dari banten tersebut. Misalnya jika
banten yang berfungsi sebagai kepala hanya berupa
daksina, maka banten bagian badan cukup berupa
pras, ajengan, canang ketipat dan segehan (Pejati).
Contoh lain misalnya jika banten hulunya berupa
banten suci, maka bagian badannya berupa banten
sorohan tumpeng pitu, ditambah dengan tebasan
5 macam dan segehan.Hal ini menurut desa
(lingkungan sang yajamana) kala (saat upacara

19
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

dalam arti jenis yajna seperti upacara tiga bulanan,


ngotonin dan sebaginya) patra (kemampuan sang
yajamana). Banten-Banten yang dikategorikan
sebagai Banten hulu sering pula disebut Banten
linggih Sanghyang Widhi Wasa (Linggastana) atau
symbol stana Tuhan adalah sebagai berikut:
1) Paling kecil berupa canang sari.
2) Daksina.
3) Suci.
4) Dewa-Dewi.
5) Catur

Banten linggih (hulu) ini menyimbolkan


banyak sedikitnya manifestasi Hyang Widhi yang
kita undang atau diharapkan hadir dalam upacara
tersebut dan tidak terlepas dari tujuan upacaranya
dengan harapan semua Dewa sebagai manifestasi
Hyang Widhi Wasa memberikan anugrah. Da­
lam konsep Hindu kekuatan atau sakti Hyang
Widhi Wasa diwujudkan sebagai seorang Dewi,
misalnya dalam hubungan penganugrahan ilmu
pengetahuan beliau diwujudkan dalam wujud atau
prabawa sebagai Dewi Saraswati, demikian pula
dalam hubungannya dengan pertanian kekuatan
atau sakti beliau diwujudkan sebagai Dewi Sri dan
lain sebagainya.
Disinilah fleksibilitas banten, sehingga ada
banten yang besar sorohannya (unitnya) misalnya
mecatur ada juga hanya tingkat tegteg daksina.

20
Upakara (Banten) dan Makna Simbolisnya

Dari segi hakekat tidak berbeda, kehadiran para


Dewa sebagai manifestasi Tuhan sangat ter­ gan­
tung dari tempat yang disediakan, tempat itu
ditentukan oleh jenis banten. Makin besar ban­
ten hulunya, menandakan makin banyak tem­
pat duduk (Linggasatana) bagi manifestasi beliau
yang hadir. Jenis banten hulu juga akan me­
nentukan atau berpengaruh kepada besar kecil­
nya banten ayaban. Karena jika undangannya
banyak jelas hidangannya juga harus banyak,
termasuk para pengiring beliau (prakanggo dan
pengerencangnya), karena itu semakin besar
jenis bantennya maka segehannya juga besar atau
banyak sehingga tercipta keharmonisan. Banten
yang dikategorikan sebagai badan atau sering juga
disebut banten ayaban:
1) Canang ajengan atau Canang raka atau Canang
ketipat.
2) Pengulap Pengambean (Sorohan)
3) Pulagembal.
4) Pulagembal Bebangkit.

Banten yang dikategorikan sebagai kaki atau


sering disebut banten sor adalah:
1) Nasi sego.
2) Nasi kepel.
3) Segehan pancawarna.
4) Nasi wong-wongan.
5) Segehan agung.

21
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

6) Gelar sanga.
7) Caru dari tingkatan Eka sata sampai Tawur
Agung.

Banten ini dipersembahkan kepada para bala


ancangan, iringan, prakanggo Ida Bhatara. Ini
dipersembahkan setelah selesai mempersembahkan
banten kepada para Dewa yang diharapkan hadir
atau yang memiliki hari khusus. Hal yang perlu
diperhatikan dalam memilih unsur-unsur Panca
Maha Bhuta untuk bahan banten diharapkan
mengikuti konsep dasar nama dan rupa.

c. Konsep dasar Nama dan Rupa dalam


Banten. Dalam konsep Nama dipakai hukum aso­
siasi (hubungan) antara bunyi (ucapan) de­ngan
makna. Artinya unsur-unsur alam yang dapat
dipakai untuk suatu bahan banten adalah apabila
memiliki hubungan asosiasi antara sebutan atau
bunyi dengan makna yang dimaksud dari unsur
itu, misalnya penggunaan daun (don) kayu sisih,
daun (don) kayu tulak sebagai unsur banten
biyakala, memiliki makna menyisihkan (dari kata
sisih menjadi nyisihang artinya ngediang) dan
menolak (tulak) semua kotoran atau pengaruh
negative yang ada dalam tubuh manusia yang
diwujudkan dalam wujud bhuta kala. Demikian
juga misalnya dalam penggunaan banten
Pengulapan, Pengambean, Penyeneng. Kata ini

22
Upakara (Banten) dan Makna Simbolisnya

memiliki asosiasi dengan tujuan dan maknanya


ialah memanggil dengan menggerakkan tangan
(Ngulap), menjemput atau menyongsong dengan
memegangnya (Ambe), lalu beliau duduk atau
berstana (Nyeneng) dengan senang. Dengan
kata lain banten tersebut memiliki makna nuhur
Ida Bhatara agar turun dari luhuring akasa dan
berstana ditempat yang telah disediakan (Daksina,
Suci di Parhyangan atau Kahyangan sakti).

Konsep dasar nama ini juga berlaku pada


nama-nama banten tebasan yang dipersembahkan
kehadapan Hyang Widhi Wasa seperti tebasan
sidhapurna maknanya apa yang kita kerjakan
semoga memperoleh kesempurnaan, sesayut
bhatara ngadeg maknanya agar beliau hadir dan
berstana kemudian menyaksikan, menerima segala
persembahan manusia dan akhirnya memberikan
anugrah keselamatan karena itu dilengkapi dengan
sesayut sidhapurna tadi. Demikian juga dalam
banten tebasan yang diperuntukkan bagi manusia
pada upacara otonan seperti tebasan bayu rauh,
tebasan bagia stata, tebasan dirgayusa, tebasan
pemepek bayu dan sebagainya. Semua mengandung
makna sesuai dengan tujuan dari upacara tersebut
yakni supaya sanghyang Atma yang keluar dari
tubuh agar kembali kedalam tubuh, agar manusia
selalu memperoleh kesejahteraan, kebahagian,
kesenangan dan panjang umur.

23
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Dalam banten Bebangkit juga dipakai


prinsip nama, seperti banten Guru, kurenan,
ancak, bingin, jan lawang dan sebagainya. Guru
melambangkan mohon kasihnya Hyang Widhi,
sebagaimana seorang bapak yang memberi
perlindungan dan kasih sayangnya kepada anak.
Dalam persepsi masyarakat sering kata Guru ini
diasosiasikan dengan guru pengajian sehingga
banten guru ini jumlah tumpengnya dua dengan
pengertian guru dan murid alasannya ada guru ada
murid. Padahal maknanya adalah Bhatara Guru
dengan Saktinya. Tetapi ada juga yang membuat
tumpeng guru hanya satu berarti yang dimaksud
adalah Bhatara Guru saja. Demikian halnya
makna banten kurenan adalah mohon kerukunan,
kedamaian, kebahagiaan dan kemakmuran di
dunia nyata maupun diakhirat karena berkaitan
dengan banten janlawangan, bahwa pembebasan
atman itu dilakukan secara bertahap sebagaimana
diajarkan dalam yoga seperti naik tangga (jan)
pada akhirnya akan sampai ketujuan (lawangan).
Masih banyak contoh lain yang bisa dilihat dari
nama unsur-unsur suatu unit (sorohan) banten.

d. Konsep dasar Rupa (bentuk atau warna)


dalam banten. Penggunaan dalam konsep dasar
Rupa (bentuk atau warna) dalam memilih unsur-
unsur penyusunan banten misalnya tampak pada
banten daksina, suci, catur, dan tebasan. Pada

24
Upakara (Banten) dan Makna Simbolisnya

Daksina misalnya terdapat kelapa, telor, pisang


kayu, tingkih, beras, bija ratus, tampak, dan
peselan. Banten daksina adalah baten hulu atau
linggih Ida Bhatara atau wujud badan kasar (unsur
jasmani), karena itu daksina meng­gambarkan
badan alam makrokosmos (prakerti). Sebagai
badan alam makrokosmos maka unsur-unsur
badan tersebut adalah srebeng (sok daksina)
sebagai kulit luar dari badan, kelapa sebagai
hulu (kepala)nya, karena bentuknya menyerupai
kepala, sebab ada bentuk seperti mata, mulut
dan hidung dalam hulu kepala itu. Kemudian
diperkuat dengan mithologi bahwa kelapa itu
tidak lain adalah wujud makro kosmos atau alam
jagat raya karena berasal dari kepala Dewa Brahma.
Telor sebagai jantung atau papusuh, karena
bentuknya menyerupai jantung, tinggih sebagai
ungsilan, karena bentuknya menyerupai ungsilan,
pangi symbol sebagai hati juga karena bentuknya
sama atau menyerupai hati dan jika dilihat dari
warna mewakili warna hati. Pisang kayu sebagai
tulang karena bentuknya seperti tulang iga. Bija
ratus sebagai jeroan (usus). Kemudian tampak
sebagai symbol cakra berputar (manggiling) yang
melambangkan hukum alam yang selalu bergerak,
menggerakkan alam semesta agar bergerak sesuai
hukum alam termasuk kewajiban beryajna juga
harus mengikuti hukum alam. Sebagaimana
disebutkan dalam kitab Bhagawad Gita: Bahwa

25
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

alam ini Aku jadikan atas dasar kerja (yajna),


tanpa kerjaKu alam ini akan binasa. Semua
mahkluk di alam ini harus mengikuti dan taat
serta tunduk kepada atau hidup atas dasar
hukum alam ini. Dan tak seorangpun terbebas
dari hukum alam.
Peselan, yang terdiri dari lima jenis daun
buah-buahan berdasarkan warna yakni mewakili
warna putih, merah, kuning, hitam, manca warna,
menggambarkan panca dewata. Pemilihan jenis
daun peselan ini berdasarkan ketersediaan daun itu
ditempat. Karena itu tidak harus sama jenis daunnya
dengan ditempat lain tetapi yang ditekankan
adalah mewakili lima warna. Seperti daun (don)
duren, wani, itu semua melambangkan putih
dipilih salah satu sesuai dengan ketersediaan daun
tersebut ditempat itu. Pemakaian daun peselan ini
memiliki makna mengharapkan kehadiran Panca
Dewata (Hyang Widhi Wasa sebagai penguasa
alam raya dalam lima manifestasinya) hadir dan
berstana di daksina untuk menyaksikan dan
menganugrahkan kerahayuan. Pemaknaan di atas
diperkuat dengan adanya puja pengeredanaan
untuk daksina seperti: kelapa pinaka hulu, taluh
pinaka papusuh, srembeng pinaka kulit, bijaratus
pinaka jroan ….dst.
Demikian juga canang sari, unsur intinya
adalah porosan. Dilihat dari sudut rupa (warna)
maka base (mewakili warna hitam) adalah symbol

26
Upakara (Banten) dan Makna Simbolisnya

Bhatara Wisnu, buah (mewakili warna merah)


symbol Bhatara Brahma, pamor/kapur (mewakili
warna putih) symbol Bhatara Siwa. Jadi canang
sari merupakan simbolik kehadiran Hyang Widhi
Wasa dalam manifestasinya sebagai Brahma, Wisnu
dan Siwa. Karena itu canang sari selalu diletakkan
paling atas sebagai kepala dari persembahan itu.
Canang sari yang benar harus ada porosan dan
wadah lengis atau coblong pamor, sebab wadah
lengis dan coblong pamor menyimbolkan muka
atau kepala dan bunga serta pudak harum sebagai
hiasan kepala.
Demikian pula jika kita perhatikan unsur-
unsur pembentukan jejahitan dari banten tebas­
an ini dilihat dari rupa (bentuk) akan lebih
mem­ perkuat makna bahwa banten tebasan itu
bermakna penglukatan, pembersihan, atau pele­
buran atau penebusan sehingga menjadi lebih
suci dan selamat. Misalnya alas tebasan (kulit
sesayut) bentuk jahitannya bundar di tengahnya
berbentuk bundar. Ini melambangkan Cakra.
Cakra adalah senjata Dewa Wisnu. Dewa Wisnu
adalah symbol air atau penguasa air suci (ingat
ceritra pemutaran gunung Mahameru dimana
dewa Wisnu berhasil menguasai tirtha amrta dari
para raksasa). Air adalah symbol pembersihan,
penglukatan, anganyuntaken sarwa sebel, leteh
gering. Dan kemudian sampaian tebasan meng­
gunakan sampian nagasari bentuknya juga bundar,

27
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

di tengahnya berlubang, jumlah daun nya adalah


delapan lambing penguasa alam (astadikpala). Di
samping itu sampian nagasari juga sama dengan
cakra, symbol dewa Wisnu dan symbol penguasa
air suci. Maknanya mohon kehadiran dewa asta­
dik­pala (penguasa penjuru angin) dan kemaha­
kuasaan beliau untuk membersihkan, ngelukat
manusia atau menolak segala kekuatan negative
yang mungkin datang mengganggu manusia. Nasi
dalam sesayut dibentuk dalam bentuk tumpeng
(semua banten sesayut tandingan nasinya pastilah
berbentuk tumpeng, walau ada berbentuk lain
tetapi maknanya berbeda). Tumpeng adalah sym­
bol gunung. Gunung adalah symbol rumah dewa,
gunung juga adalah symbol sumber air suci,
karena mata air berasal dari gunung, gunung juga
adalah symbol kemakmuran, kesejahteraan dan
keselamatan. Jadi tumpeng bermakna memohon
kepada Hyang Widhi dan manifestasinya untuk
membersihkan, menganugrahkan keselamatan,
kesejahteraan, dan melebur segala dosa yang telah
atau pernah diperbuat yang tanpa disadari oleh
manusia. Demikian juga banten suci dan catur
konsep dasar nama dan rupa ini diberlakukan.
Penambahan unsur variasi tertentu pada
banten tebasan, selain unsur pokok diatas akan
memberi nama baru terhadap banten tebasan
tersebut. Penggunaan telor itik dalam banten

28
Upakara (Banten) dan Makna Simbolisnya

memiliki makna penting dan arti yang berbeda-


beda sesuai bentuk dan tujuan banten tersebut.
Misalnya telor bebek dalam banten suci dan catur
menyimbolkan sebagai dewa Guru seperti apa yang
ditulis dalam lontar Widhi Tattwa, taluh pinaka
Guru, uyah pinaka Bhatara Baruna, komak pinaka
Bhatara Aswin. Dalam banten Guru piduka telor
bebek bermakna sebagai symbol Guru dalam hal
ini Bhatara Guru. Tujuan banten ini tidak lain
mohon pengampunan atas segala kesalahan dan
dosa yang telah dilakukan tanpa disadari, karena
Bhatara Guru adalah manifestasi Hyang Widhi
Wasa sebagai dewa yang penuh kasih sayang dan
pengampun.

8. Arti dan fungsi upakara (banten).

Seperti telah diketahui bahwa upakara


mempunyai bentuk dan nama yang sangat banyak
dengan susunannya cukup rumit jika dilihat secara
sepintas, apalagi bila tidak dipahami secara rinci
yang akan membuat kita semakin bingung, Suatu
contoh dalam hal membuat upakara (banten)
canang, apakah itu canang genten, canang sari,
canang gantal, canang pengraos maupun lainnya.
Begitupun halnya dengan upakara (banten) sayut,
ada sayut pengambean, sayut sida karya, sida

29
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

purna dan lain sebagainya. Yang patut untuk kita


ketahui dan perhatikan disini adalah bagaimana
menyusun jenis materinya dan kegunakan dari
upakara (banten) tersebut serta tingkat upacara
yang akan dibuat.
Namun secara umum upakara (banten)
memiliki arti dan fungsinya dalam kita melakukan
bakti persembahan, antara lain:
a. Upakara (banten) merupakan cetusan hati,
untuk menyatakan rasa terima kasih baik itu
kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa, maupun manifestasiNya.

b. Upakara (banten) adalah sebagai alat kon­


sentrasi dari pikiran kita untuk memuja
Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
Esa. Sebagai suatu contoh bilamana seseorang
tengah membuat atau menyusun upakara
(bebantenan) maka ia akan membayangkan
kemana akan dibawa atau kepada siapa upakara
(banten) tersebut akan dipersembahkan. Oleh
karena itu wajar, bila orang tua menasehati agar
pada waktu membuat banten tidak melontarkan
kata-kata yang tidak mengenakkan, marah-
marah dan lain sebagainya.

c. Upakara (banten) sebagai perwujudan dari


Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
beserta manifesatsiNya dan juga orang yang

30
Upakara (Banten) dan Makna Simbolisnya

akan di-upacarai, misalnya daksina palinggih,


ke­wa­ngen, puspa (sekah) sanggah urip dan
lain sebagainya.

d. Upakara (banten) dapat dipergunakan seba­


gai alat penyucian, misalnya dengan mem­
per­
gunakan banten prayascita, durmanggala,
byakala, penyeneng dan pesucian serta lain
sebagainya.

9. Etika dalam membuat Upakara Yajna.

Karena upakara adalah merupakan perwu­


judan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
Esa, maka disebut Widhi Widana dan Beliau adalah
maha suci karena itulah seorang pembuat upakara
yajna (banten) sebagai sarati atau tukang banten
harus menyucikan diri terlebih dahulu antara lain:

a. Sang pembuat upakara(banten) sebelumnya


harus melaksanakan penyucian diri secara
ritual yaitu berupa pewintenan (upanayana).

a. Setiap akan membuat upakara (banten), harus


berbuat suci laksana terlebih dahulu seperti
mandi lengkap kemudian menggunakan pa­
kaian adat dan metirtha.

31
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

c. Bila membuat upakara (banten) dengan ukur­


an madya atau utama hendaknya sang pem­
buat upakara (bantenj), membuat banten pe­
jati terlebih dahulu sebagai permakluman ke
hadapan tukang banten (Sanghyang Tapeni).

d. Untuk menghindari upakara (banten) itu


terkena cuntaka, maka rambut haris di sisir rapi
guna menghindari jatuhnya seuntai rambut
pada upakara (banten) tersebut.

e. Pada saat membuat upakara (banten) harus


penuh pengendalian diri terutama dalam hal
berbicara jangan sampai mengeluarkan pem­
bicaraan yang bersifat wakcapala, wakpurusia
dalam arti mencaci maki karena hal itu dapat
mengakibatkan cuntaka pada upakara (banten).

32
Upakara (Banten) dan Makna Simbolisnya

f. Pada saat membuat upakara (banten) hati-


hati jangan sampai tangan terluka dan menge­
luarkan darah yang kemudian menimpa
upakara (banten) tersebut, hal ini dapat me­
nyebabkan cuntaka pada upakara (banten).

g. Apabila seorang wanita sedang menstruasi


sama sekali tidak diijinkan membuat upakara
(banten) karena keadaan tersebut dikatakan
sebel kandelan dan akan mengakibatkan cun­
taka pada upakara (banten).

h. Pada saat membuat upakara (banten) hati-hati


jangan sampai diganggu oleh anak-anak karena
hal ini dapat menyebabkan cuntaka pada upa­
kara (banten) disebut pawaka buta angrare.

i. Pada waktu membuat upakara (banten) dalam


hal ini metanding sang pembuat banten (sarati)
harus melakukan brata dalam hati yaitu tidak
diperkenankan bicara (mona brata), karena si­
kap itu menunjukkan pelaksanaan ajaran raja
yoga.

j. Setelah selesai merangkai atau menanding upa­­


kara (banten) hati-hatilah pada waktu pe­na­­
taannya, jangan sampai bolak-balik karena upa­
kara tersebut memiliki ketentuan Tri Angga.

33
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

k. Setelah tertata baik, upakara (banten) tersebut


diperiksa kembali untuk dapat mengetahui
apakah ada kekurangannya.

Didalam lontar “Tapeni Yajna” menyebutkan


antara lain:
“Ih sira sang umara Yajna, rengenan pewarah
mami sang Tapeni, yan sira lumaris angreka
yajna, elingaken denta sapari lampah Tapeni,
wruhakna rumuhun den Budi nirmala, aja sira
tan pipeka ring angga, apan hana panca cuntaka
angawe keletuhing ikang yajna luirnia: kebebesin
dening rambut, cuntaka ikang yajna, wakcepala,
cuntaka ikang yajna, kebebesan rah, cuntaka
ikang yajna, kesanggra den won glare, ngaran buta
angrare ngawe cuntaka ikang yajna, ika wenang
karegepaning dening sang umara yajna, yan tan
resik muah pingit sira ring widhi widana tan sida
karya, palaning tan nemu rahayu”.

34
B A B
4

Tingkatan Upakara-
Upacara/Yajna

10. Tingkatan upakara-upacara/yajna.

Dalam pelaksanaan yajna, keihklasan meru­


pakan kata kunci untuk mencapai keberhasilan
dan mendapatkan kepuasan rohani. Besar kecilnya
upacara diatur dalam tingkatan-tingkatan yang
telah ditentukan dalam kitab Mpu Lutuk dan
disesuaikan pula menurut tempat, waktu dan
keadaan serta kesucian (desa, kala, patra dan
kesucian). Dalam kitab/lontar Mpu Lutuk lebih
menekankan mengenai besar kecilnya upakara
(banten) di Sanggah Surya, sedangkan dalam kitab/
lontarWraspati kalpa mengatur tentang banten
ayaban di balai pesambyangan dan Bhagawan

35
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Yogis Wara menjelaskan tentang upakara (banten)


lembaran. Adapun mengenai tingkatan upakara/
upacara.yajna dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
a. Kanistama (kecil/sederhana): Artinya yang
pokok-pokok/prinsip saja atau yang harus
ada dan tidak boleh tidak ada. Pada tingkat
Kanistama menggunakan Tirtha Penglukatan
dan Sanggar Surya rong satu (Tutuan). Tingkat
Kanistama (kecil/sederhana) ini dibagi dalam
tiga bagian.
1) Kanistamaning Kanistama yakni upacara
yang paling kecil dari tingkatan upacara
terkecil. Disanggar pesaksi (Surya) memakai
Pras Daksina.
2) Madyaning Kanistama yakni upacara yang
lebih besar dari tingkatan upacara yang
terkecil. Disanggar pesaksi (Surya) memakai
banten Suci.
3) Utamaning Kanistama yakni upacara yang
lebih besar dari tingkatan upacara yang
tergolong madyaning nista. Disanggar
pesaksi (Surya) memakai Dewa - Dewi.

b. Tingkat Madhyama (sedang/menengah): Arti­


nya Upakara/bantennya merupakan pengem­
bangan dari yang prinsip sehingga menjadi
lebih besar dari Kanistama. Pada tingkatan
ini menggunakan pedudusan alit dan Catur
Kumba. Sanggar Suryanya Rong Satu (Tutuan).

36
Tingkatan Upakara-Upacara/Yajna

Tingkat Madhyama (sedang/menengah) ini


dibagi pula tiga bagian.
1) Kasnistamaning Madhyama yakni upacara
yang paling kecil dari tingkatan upacara
yang menengah. Disanggar pesaksi (Surya)
memakai Dewa-Dewi.
2) Madyaning Madhyama yakni upacara
yang lebih besar dari tingkatan upacara
yang tergolong Kanistamaning Madhyama.
Disanggar pesaksi (Surya) memakai Catur
rebah.
3) Utamaning Madhyama yakni upacara yang
lebih besar dari tingkatan upacara yang
tergolong Madyaning Madhyama. Disang­
gar pesaksi (Surya) memakai Catur Niri
dan banten dibawah/sor sanggar pesaksi
menggunakan Caru lantaran memakai
Angsa.

c. Tingkat Utama (Besar): Artinya Upakara (ban­


tennya) merupakan pengembangan juga pe­
nam­ bahan dari Tingkat Madyama sehingga
menjadi lebih besar lagi. Pada Tingkat Utama
menggunakan Pedudusan Agung dan Sanggar
Surya Rong Tiga (Tawang).Tingkat utama
(yang paling besar/utama) juga dibagi dalam
tiga bagian.
1) Kanistamaning Utama yakni upacara yang
paling kecil dari tingkatan upacara yang

37
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

besar/utama. Disanggar pesaksi (Surya)


sama dengan yang ada pada tingkatan
upacara Utamaning madya.
2) Madyaning Utama yakni upacara yang lebih
besar dari tingkatan upacara yang tergo­
long madyaning utama. Disanggar pesaksi
(Surya) memakai Catur Muka, sedangkan
banten dibawah sanggar pesaksi (Surya)
menggunakan Caru lantaran memakai
Kambing.
3) Utamaning Utama yakni upacara yang
lebih besar diantara upacara-upacara yajna
lainnya. Disanggar pesaksi (Surya) memakai
Catur Kumba, sedangkan banten dibawah/
sor sanggar pesaksi (Surya) menggunakan
Caru lantaran memakai Kerbau.

Pada umumnya upacara apapun yang


dilaksanakan oleh umat Hindu selalu berpedoman
pada tingkatan-tingkatan upacara yang telah
ditentukan. Besar atau kecil bukan berarti yang
besar dan utama itu yang baik, dan sebaliknya,
akan tetapi upakara (banten) yang besar itu
memerlukan materi yang banyak, sedangkan
dalam upacara yang kecil memerlukan bahan
materi yang sedikit bahkan mungkin sangat
sederhana, seperti hanya dengan dupa, bunga,
dan air. Dan juga bukan upakara (banten) yang
besar akan mendapatkan pahala yang besar, atau

38
Tingkatan Upakara-Upacara/Yajna

sebaliknya akan tetapi semuanya tergantung dari


keihklasan, kesucian dan niat hati yang luhur.
Disamping itu pula tingkatan upacara yang ada,
dan tertuang dalam kitab/lontar Mpuk Lutuk
merupakan suatu ukuran yang tentunya disesuai
dengan kemampuan atau strata sosial dari masing-
masing orang dalam masyarakat.
Dalam tingkatan upakara dan upacara
yang ada dan tertuang dalam lontar Mpu Lutuk
tersebut diatas maka batasan yang menjadi
kewenangan para Pemangku (Pinandita)
dalam menyelesaikan upacara-yajna, menurut
Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-Aspek Agama Hindu, menyebutkan
adalah sampai dengan medudus alit, sesuai
dengan tingkat pewintenannya dan juga atas
penugrahan sang Nabe. Bila kita mengacu pada
Keputusan Kesatuan Tafsir Maha Saba PHDI,
maka pengertian pedudusan alit adalah sampai
tingkat Utamaning Kanistama, yakni upacara
yang lebih besar dari tingkatan upacara terkecil
dimana di Sanggar Pesaksi (Surya) memakai
Banten Suci dan Dewa Dewi. Dan ini sesuai yang
tertuang dalam lontar Mpu Lutuk. Sedangkan
pengertian pedudusan agung adalah upacara
tingkat Madyaning Madyama, yakni upacara yang
lebih besar dari tingkat Kanistamning Madhyama,
dimana di Sanggar pesaksi (Surya) menggunakan
banten Dewa-Dewi, dan juga banten Catur. Pada

39
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

tingkatan ini, dilaksanakan oleh para Sulinggih


atau Pandita.
Dalam Buku Pedoman Praktis tentang Upakara
(Banten) dalam Upacara Yajna yang diterbitkan
oleh Pinandita Sanggraha Nusantara Pusat, meng­
ambil tingkatan Madyaning Kanistama. Hal
ini berkaitan dengan batas kewenangan yang
dibolehkan untuk dilaksanakan oleh Pinandita/
Pemangku Pura, dan ini diharapkan akan menjadi
acuan dan pedoman bagi umat Hindu yang ada di
luar Bali.

40
Beberapa Jenis Upakara (Banten) yang Umum

Pajegan

Pelinggih Jero Gede

41
Halaman ini sengaja dikosongkan
B A B
5

Beberapa Jenis
Upakara (Banten)
Yang Umum

11. Janis upakara (banten) yang umum dan sering


dipergunakan dalam menghaturkan persembahan
kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa adalah canang. Canang adalah upakara
(banten) yang sangat sederhana, dipakai dalam
berbagai upacara baik besar maupun kecil,
sebagai wujud bakti sang pemuja. Ada beberapa
jenis canang yang sering dipergunakan dalam
pelaksanaan suatu upacara yakni:

a. Canang Genten.
Canang ini dibuat dengan menggunakan alas
berupa taledan atau ceper, yang disusun de­
ngan perlengkapan : pelawa (daun-daunan),

43
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

porosan, bunga yang dialasi dengan jahitan dari


janur berbentuk tangkih atau kojong , dapat
pula berbentuk bundar yang sangat indah yang
disebut dengan “Uras-sari”. Bila memungkinkan
dapat pula ditambah dengan pandan harum,
wangi-wangian dan sesari (uang). Walaupun
perlengkapan dari banten ini sangat sederhana
namun semua unsur memiliki makna sim­
bolis, sebagai contoh jejahitan/tetuwasan/
rering­gitan, melambangkan kesungguhan hati.
Pela­wa atau daun-daunan, melambangkan ke­
tenangan jiwa, sirih lambang Wisnu, kapur
melambangkan Siwa, pinang adalah lambang
Brahma, sedangkan bunga melambangkan
ketulusan, dan wangi-wangian sebagai alat
un­tuk membawa pikiran kearah kesejukan,
ketenangan, dan kesegaran hati.

b. Canang Buratwangi.
Canang ini bentuknya seperti Canang Genten,
yang ditambahkan dengan Burat wangi dan
dua macam lenga wangi. Ketiga perlengkapan
tersebut dialasai dengan tangkih atau kojong.
Ada beberapa cara untuk membuat burat wangi
dan lenga wangi. Burat wangi dibuat dari
beras dan kunyit yang dihaluskan kemudian
dicampur dengan air cendana atau majegau.
Lenga wangi (minyak wangi) ada dua macam,
yang berwarna keputih-putihan dibuat dari

44
Beberapa Jenis Upakara (Banten) yang Umum

menyan, malem (sejenis lemak pada sarang


lebah), yang dicampur dengan minyak kelapa.
Sedangkan yang berwarna kehitam-hitaman
dibuat dari minyak kelapa yang dicampur
dengan kacang putih, komak dan ubi atau
keladi yang digoreng sampai gosong lalu
dihaluskan. Burat wangi dan Lenga wangi
adalah melambangkan Sambu, sedangkan yang
lainnya seperti cendana lambang Paramasiwa,
majegau lambang Sadasiwa, dan menyan
melambangkan Siwa. Upakara (banten) ini
dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti
Purnama, Tilem, Hari suci Saraswati dan juga
dipakai melengkapi upakara (banten) yang
lebih besar.

c. Canang Sari.
Bentuk dari upakara (banten) ini sedikit ber­
beda dengan banten canang yang lain. Canang
ini dibagian bawahnya bisa ber­ ben­tuk ceper
atau taledan dan bisa juga berbentuk bundar.
Pada bagian ini terdapat kelengkapan berupa
pelawa, porosan, tebu, kekiping (sejenis ja­
jan dari tepung beras), pisang emas atau seje­
nisnya, dan beras kuning yang dialasi dengan
tangkih. Dapat pula ditambah dengan burat
wangi dan lenga wangi. Sedang bagian atasnya
barulah diisi dengan beraneka bunga diatur
sedemikian indah yang dialasi uras sari atau

45
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

sampian uras. Disamping perlengkapan yang


ada, juga dilengkapi dengan sesari (uang).
Perlu juga dijelaskan bahwa tebu, keki­ping,
pisang emas disebut raka-raka yang me­
lam­bangkan Sanghyang Widiadara-widia­
dari. Pisang emas melambangkan Sang­hyang
Maha­dewa, tetapi pisang secara umum me­
lam­bangkan Sanghyang Kumara, se­dang­kan
tebu melambangkan Sanghyang Brahma. Ca­
nang sari ini sering dipergunakan untuk per­
sembahan pada upacara-upacara pio­dalan, dan
dapat pula dipergunakan pada hari-hari suci
lainnya seperti Purnama Tilem.

d. Canang Tadah Sukla.


Adapun mengenai bentuk dari canang ini, ham­
pir sama dengan canang genten, akan tetapi
ada yang penambahan unsur kelengkapannya
yakni ditambah pisang kayu yang mentah,
kacang komak, kacang putih, ubi dan keladi.
Semua unsur kelengkapan tersebut digoreng,
dan tiap-tiap jenis dialasi dengan sebuah tang­
kih/kojong. Penggunaannya hampir sama
dengan Cang burat wangi dan sering pula di­
per­gunakan bersama-sama untuk melengkapi
banten Suci dan Dakdisa pelinggih.

e. Canang Pengraos.
Dasar dari canang ini adalah taledan yang sisi-

46
Beberapa Jenis Upakara (Banten) yang Umum

sisinya diisi pelekir yakni bentuk hiasan segi


tiga. Pada tiap sudutnya diisi sebuah kojong
yang berisi : pinang, gambir, tembakau dan
kapur, sedang ditengahnya diletakkan beberapa
lembar daun sirih dan kadang-kadang di­leng­
kapi pula dengan rokok. Diatasnya di­ susuni
dengan sebuah taledan atau ceper, diisi tangkih
berisi beras kuning dan minyak wangi. Dan
paling ataa canang cari atau canang burat
wangi.

f. Canang Meraka.
Alasnya bisa dengan menggunakan sebuah
ceper atau tamas, diisi tebu, pisang, buah-
buahan lainnya, berisi pula beberapa jenis
jajan, dan sebuah sampian yang disebut de­
ngan Sri kekili, dibuat dari janur berbentuk
kojong diisi pelawa, porosan serta bunga.
Dalam penggunaan Canang Meraka ini dapat
dilengkapi dengan Canang Genten. Apabila
bahan-bahan perlengkapan seperti buah-buah­
an dan jajan-jajan diperbanyak serta disusun
sedemikian rapi disebut Gebogan.

g. Canang Rebong.
Alasnya menggunakan sebuah dulang yang
ke­
cil. Dibagian tengah dulang dipancangkan
sebatang pohon pisang yang tidak begitu besar
untuk memudahkan menancapkan bunga yang

47
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

telah ditusuk dengan lidi disusun melingkari


batang pisang yang ada. Selanjutnya diisi
sesrodan dari janur (bentuk hiasan dari janur
yang menggelayut ke bawah disekitar sisi-
sisi dulang). Adapun perlengkapan lainnya
adalah beras kuning, air cendana, lenga wangi,
burat wangi, yang masing-masing dialasi
dengan tangkih. Disamping itu terdapat pula
4 buah kojong yang berisi tembakau, pinang,
dan lekesan yakni dua lembar daun sirih
yang di oleskan gambir dan kapur kemudian

48
Beberapa Jenis Upakara (Banten) yang Umum

digulung serta diikat dengan benang. Dapat


pula ditambah dengan beberapa batang rokok
yang ditusuk dengan lidi dan ditancapkan pada
batang pisang. Dibagian ujung atau puncak dari
batang pisang tersebut ditaruh satu atau tiga
cili dari janur, paku pipid dan hiasan lainnya,
sehingga menambah keindahan.

h. Canang Oyodan.
Canang ini menggunakan sebuah wakul atau
dapat pula dengan alas sebuah dulang. Ditaruh
perlengkapan seperti pada canang rebong,
kemudian ditambah dengan sebuah tumpeng,
nyayah gula kelapa (campuran ketan, injin,
beras merah, beras putih, kelapa yang disisir,
dan gula yang dicampur menjadi satu kemudian
dinyanyah). Diatasnya diisi bunga dan hiasan
dari rangkaian janur.

i. Canang Pesucian (Pembersihan).


Alasnya berbentuk ceper diisi tujuh jenis alat-
alat pembersihan (pesucian) antara lain :
1) Sisig (pembersih gigi) dibuat dari jajan be­
gina/rengginang yang dibakar hangus dan
arangnya dihaluskan.
2) Ambuh (bahan keramas) dibuat dari daun
kembang sepatu yang disisir halus atau
dapat diganti dengan asam maupun kelapa/
santan.

49
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

3) Kekosok putih (lulur putih), dibuat dari


tepung beras.
4) Tepung tawar, terbuat dari campuran daun
dapdap, beras dan kunyit/kunir.
5) Wija/Sesarik, terbuat dari beras yang dicuci
bersih dan dicampur dengan air cendana.
6) Tetebus, dibuat dari benang warna putih
atau benang tukelan.
7) Minyak kelapa atau minyak wangi.

Masing-masing bahan dialasi dengan sebuah


tangkih, diatasnya diisi Canang Payasan (ben­
tuk alasnya seperti tangkih diisi rangkaian
janur yang disebut payasan) dilengkapi dengan
pelawa, porosan, bunga dan wewangian. Ca­
nang ini dipergunakan untuk upacara-upacara
penyucian/menyucikan.

50
B A B
6

Upakara (Banten)
Pejati/Pesaksi

12. Upakara/Banten Pejati adalah sarana


yang dipergunakan sebagai pernyataan atau
permakluman dari pelaksanaan suatu yajna
sesuai dengan tujuannya dan juga merupakan
persaksian kepada Sanghyang Widhi Wasa. Kata
Pejati berasal dari “Jati” yang artinya “Sungguh-
sungguh”. Jadi ukapara/banten Pejati ini adalah
untuk menyatakan kesungguhan hati dari Sang
Yajamana atau yang mempunyai Karya untuk
memohon restu agar dalam pelaksanaan Yajna itu
mendapat tuntunan maupun lindungan sehingga
Yajna yang dilaksanakan berjalan lancar tanpa
halangan. Adapun mengenai Upakara/Banten
Pejati ini terdiri dari:

51
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

a. Pras :
Banten Peras adalah nama banten yang sering
dipergumakam sebagai kelengkapan upakara
(banten) yang lain. Upakara (banten) peras ini
me­miliki suatu tujuan agar segala keinginan akan
mendapat keberhasilan atau kesuksesan. Dalam
lontar “Yajna Prakerti”, disebutkan bahwa banten
peras merupakan lambang dari Sanghyang Triguna
Sakti. Sedangkan kata peras itu sendiri berarti
sah atau resmi, sehingga penggunaan dari banten
peras ini mengandung arti agar upacara yajna yang
dilaksanakan resmi atau syah ( prasida) secara
spiritual, tanpa banten peras maka upacara yajna
tidak syah atau resmi (tan prasida).
Adapun perlengkapan yang diperlukan dalam
menyusun dan mengatur banten peras adalah
sebagai berikut:
Sebuah alas (taledan) yang terbuat dari janur
atau slepan berbentuk segi empat dan boleh juga
berbentuk bujur sangkar. Ada dua macam taledan
yang perlu kita ketahui dalam pembuatan alas dari
banten peras ini:
1) Diberi dua buah sibah atau bingkai yang
dipasang diatas dan dibawahnya.
2) Diberi empat buah sibah atau bingkai yang
dipasang diatas, dibawah dan disamping kanan
dan kiri.

52
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

Di atas taledan ini kemudian diletakkan kulit


peras, yang terbuat dari lima lembar janur atau
slepan yang telah dijahit menjadi satu , kemudian
diatas kulit peras yang telah diletakkan pada alas
(taledan) tersebut dengan sedikit beras, base tam­
pelan dan benang tukelan. Pada bagian depan
diletakkan dua buah tumpeng lengkap dengan
rerasmen (lauk-pauk) yang terdiri dari kacang-
kacangan yang telah digoreng, sambal dan saur
serta lauk (telur, ayam, teri). Ada juga yang di
isi dengan terung, kemangi, mentimun dan lain
sebagainya. Sedangkan dibagian belakang tumpeng
di isi buah-buahan (pisang, mangga, salak, jeruk,
apel dan lain sebagainya). Di atas buah-buahan di
isi dengan kue-kue/penganan dan diatas kue-kue/
penganan diletakkan sebuah sampiyan peras yang
dilengkapi porosan, bunga dan wangi-wangian.

b. Daksina.
Daksina adalah nama sebuah upakara
(banten), yang mengandung unsur yang sangat
lengkap sesuai dengan yang tertuang dalam kitab
Pancamaweda Bhagawad Gita IX sloka 26 yang
menyebutkan bahwa:

“Pattram Puspam Phalam Toyam yo me,


bhaktya prayacchati tad aham bhaktyu-upahrtam
asnami prayatatmanah”.

53
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Artinya:
Siapa pun yang dengan kesujudan memper­
sembahkan pada Ku daun, bunga, buah, dan
air, dan persembahan itu didasari oleh cinta dan
keluar dari hati yang suci, Aku terima.

Sloka tersebut menjelaskan bahwa segala


bentuk sujud bakti dengan mempersembahkan
daun, bunga, buah dan air yang merupakan unsur
dari kehidupan ini, dengan dilandasi cinta kasih,
dan dari hati yang suci serta ketulusan semuanya
akan sampai pada tujuannya, yakni kepada Ida
Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Ada empat macam unsur yang terdapat
dalam Banten Daksina, yakni pertama adalah
unsur pattram atau daun, yakni daun kelapa
(janur dan slepan), daun sirih, daun-daunan dari
pohon kayu-kayuan. Kedua, adalah unsur puspam
(bunga) segala macam bunga terkecuali ada
beberapa bunga yang tidak boleh dipergunakan
seperti bunga sari konta, tulud nyuh, dan mitir.
Adapun ketiga macam bunga ini menurut lontar
Aji Janantaka, tidak mendapat penglukatan dari
Dewa Siwa, sehingga tidak boleh dipergunakan
untuk upacara Dewa Yajna, tetapi untuk upacara
Pitra Yajna boleh dipakai. Ketiga adalah unsur
phalam (buah- buahan) seperti kelapa, pisang,
pinang, kemiri, pangi, dan lain-lain. Telor dan juga

54
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

uang dapat dimasukkan dalam pengertian buah,


sebab telur merupakan buah perut sedangkan uang
adalah buah karya atau pegae (bahasa bali). Dan
yang keempat adalah unsur toyam (air). Toyam
atau air dimaksud adalah air yang bersih atau
toya anyar dan air yang telah dipujai (diberikan
mantra) disebut “Tirtha”.

Beberapa perlengkapan (unsur) yang terdapat


dalam banten Daksina, yakni:
a. Wakul daksina atau bebedogan.
Wakul daksina atau bebedogan ini terbuat dari
janur atau slepan, bentuknya bulat, sebagai
tempat seluruh perlengkapan (unsur) daksina
ditempatkan yakni Tampak dara, Benang
tukelan, Beras, Base tampelan, Telur itik yang
mentah, kelapa yang telah dikuliti, bija catur
Gantusan, Pelawa pesalan, Kemiri, Pangi,
Pisang, Kojong, Uang kepeng, dan Canang.
Wakul daksina atau bebedogan ini merupakan
simbol dari kebulatan hati dan pikiran kita
untuk melaksnakan upakara/upacara (yajna)
ke hadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa.

b. Tampak dara.
Tampak dara adalah sebuah jejahitan dari
janur atau slepan yang dibuat bentuk silang

55
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

menyerupai tanda (+). Bentuk ini merupakan


lambang dari swastika yang memiliki simbol
keseimbangan atau keharmonisan.

c. Benang tukelan.
Benang ini sering disebut dengan benang bali,
karena dibuat khusus untuk dipergunakan
sebagai sarana upacara. Benang tukelan ini
dibentuk atau diatur melingkar dibawah kelapa
dan ini merupakan simbol dari akar, yang
menghubungkan alam pikiran manusia dengan
sang pencipta yakni Sanghyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa.

d. Beras.
Penggunaan beras disini diletakkan diatas
benang tukelan, banyaknya disesuaikan apakah
satu genggam atau satu gelas kecil. Beras me­
rupakan bahan pokok untuk makanan bagi
manusia, yang menyimbolkan kemakmuran.

e. Base tampelan.
Base adalah nama lain dari daun sirih. Base
tampelan ini dibuat dari dua lembar daun
sirih, yang pembuatannya satu lembar dipakai
sebagai alas dan satu lembar lagi diolesi kapur
dan pinang, kemudian di lipat dua dan djahit
dengan piting (semat) menjadi satu dengan
daun sirih yang dipakai sebagai alas. Base

56
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

tampelan ini tidak lain adalah simbol dari


perwujudan rasa bakti.

f. Telur itik yang metah.


Penggunaan telur itik yang mentah sebagai
perlengkapan (unsur) dalam daksina, lebih
didasari pada hewan tersebut yang memiliki
sifat yang bijaksana (sattwam). Hal ini dapat
kita saksikan bahwa hewan ini dapat hidup di
tiga tempat, yaitu di darat, diair dan diudara.
Disamping itu kehidupan itik sangat penuh
persaudaraan dengan sesama, rukun serta selalu
bekerjasama. Selain itu itik dapat memilah dan
memilih makanannya dengan tepat dan cepat
walau bercampur lumpur. Penggunaan telur
itik disini lebih diutamakan karena getaran
atau gerakannya yang merupakan lambang dari
sifat dari Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa yang tak pernah diam, sehingga telur
itik merupakan simbol gerak atau kehidupan.

g. Kelapa.
Penggunaan buah kelapa dalam kelengkapan
sarana upakara/banten menurut lontar
“Siwagama”, dimana kelapa merupakan simbol
dari kepala Dewa Brahma yang disimpan
didalam tubuhnya. Kemudian Bhatara Guru
mengambilnya dan dibawa ke selatan menuju
pinggiran gunung Kampud dekat laut, akhirnya

57
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

lama kelamaan tumbuhlah menjadi kelapa.


Dalam lontar “Aji Sangkhya”, alam semesta
disebutkan terbagi dalam empat belas lapisan,
yakni tujuh lapisan bawah atau pertiwi dan
tujuh lainnya adalah lapisan atas atau angkasa.
Tujuh lapisan bawah atau pertiwi disebut
dengan Sapta Patala yang terdapat dalam kelapa
terdiri dari:
1) Air kelapa sebagai lambang mahatala.
2) Isinya kelapa yang lembut sebagai lambang
tala-tala
3) Isi kelapa sebagai lambang tala
4) Lapisan pada isi kelapa sebagai lambang
antala
5) Lapisan isi yang keras dari kelapa sebagai
lambang sutala.
6) Lapisan tipis paling dalam dari kelapa
sebagai lambang nitala
7) Batok kelapa sebagai lambang patala.

Kemudian tujuh lapisan atas atau angkasa


disebut Sapta loka terdiri dari:
1) Bulu batok kelapa sebagai lambang bhur
loka.
2) Serat saluran dari kelapa sebagai lambang
bhwah loka
3) Serat serabut basah dari kelapa sebagai
lambang swah loka

58
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

4) Serabut basah dari kelapa sebagai lambang


maha loka
5) Serabut kering dari kelapa sebagai lambang
jnana loka
6) Kulit serat basah dari kelapa sebagai
lambang tapa loka
7) Kulit serat kering dari kelapa sebagai
lambang satia loka

h. Bijaratus.
Bija ratus berasal dari kata bija artinya biji
dan ratus yang berarti paduan. Jadi bija ratus
disini berarti paduan dari jenis biji-bijian. Ada
lima jenis biji-bijian yang digunakan dalam
pembuatan bija ratus ini yakni:
1) Biji godem berwarna hitam
2) Biji jawa berwarna putih
3) Biji jagung nasi berwarna merah
4) Biji jagung biasa berwarna kuning
5) Dan biji jali-jali berwarna brumbun.

Semua jenis biji-bijian tersebut lalu dicampur,


kemudian dibungkus dengan daun pisang
kering yang disebut keraras. Bija ratus ini
mewakili Panca Dewata.

i. Pelawa peselan. Pelawa peselan menggunakan


lima jenis daun-daunan dari lima macam

59
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

pohon yakni: Salak, Duku, Manggis, Mangga


dan Durian. Adapun kelima jenis daun-daunan
ini mewakili lima warna pula yakni:
1) Daun salak mewakili bermacam-macam
warna (brumbun)
2) Daun dukuh mewakili warna kuning
3) Daun manggis mewakili warna merah
4) Daun mangga mewakili warna hitam
5) Daun durian mewakili warna putih.

Semua jeniis daun-daunan ini kemudian


digulung kecil-kecil selanjutnya diikat menjadi
satu.

j. Kemiri.
Penggunaan kemiri dalam kelengkapan banten
daksina disini lebih ditunjukan pada segi
warna yang putih-suci. Tetapi ada juga yang
menggambarkan bahwa kemiri melambangkan
jakun.

k. Pangi.
Pangi, bila ditinjau dari segi warna mewakili
warna merah, sedangkan dalam tetandingan
daksina menggambarkan dagu.

l. Kojong.
Jejahitan dari daun janur atau slepan yang
dibuat sedemikian rupa, sehingga berbentuk

60
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

kojong dan didalamnya biasanya ditaruh uang


kepeng bolong.

m. Uang kepeng bolong.


Uang kepeng biasa dipergunakan sebagai
kelengkapan suatu upakara/upacara dan me­
rupakan lambang dari sarining manah, se­ring
pula dipergunakan sebagai penebus ke­ku­rang­
an dari upakara/upacara yang ada. Disamping
itu juga biasanya digambarkan sebagai
windu.

n. Pisang.
Pisang yang dipergunakan biasanya pisang
kayu yang masih mentah sebanyak dua buah.
Pisang kayu dalam lontar tegesing sarwa banten
disebut sebagai lambang adanya atau memiliki
pikiran untuk berbuat kebaikan lahir maupun
bathin. Dibeberapa literatur disebutkan pula
bahwa pisang disini menggambarkan jari.
o. Canang Genten.
Banten ini dapat dipergunakan pada upacara-
upacara, baik yang besar maupun kecil, bah­
kan selalu dipergunakan untuk melengkapi
sesajen-sesajen yang lain. Perkataan Genten
bermakna masih suci, baik dan belum ternoda.
Ada beberapa unsur kelengkapan dari banten
ini antara lain:

61
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

1) Palawa (daun bunga) sebagai lambang kete­


nangan dan kesucian hati.
2) Reringgitan dari janur, melambangkan ke­
sung­guhan hati.
3) Sirih pada porosan melambangkan Sang­
hyang Wisnu.
4) Kapur pada porosan melambangkan Sang­
hyang Iswara.
5) Pinang pada porosan melambangkan Sang­
hyang Brahma.
6) Tali porosan sebagai lambang pemersatu
dari ketiga unsur (sirih, kapur, dan pinang),
sebagai penunggalan Sanghyang Brahma,
Wisnu dan Iswara.
7) Bunga sebagai perlambang kesucian hati,
sedangkan pandan arum dan wangi-wangi­
an sebagai pemberi sentuhan kearah ke­
sucian.

Jenis-jenis Daksina.
Daksina dibedakan atas lima macam, yang
didasari oleh jumlah dari buah kelapa yang di­
pergunakan. Kelima jenis daksina dimaksud:
1) Daksina alit/kecil.
Isinya hanya mempergunakan satu butir
buah kelapa saja. Daksina ini banyak sekali
penggunaannya, baik menyertai banten yang
lain sebagai pelengkap maupun digunakan
sendiri-sendiri sebagai daksina lepas.

62
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

2) Daksina Pekala-kalaan.
Isi daksina dilipat gandakan menjadi dua butir
buah kelapa dengan ditambah dua buah tingkih
dan dua buah pangi. Dakisna ini digunakan
pada waktu upacara perkawinan dan untuk
upacara bayi/ membuat peminyak-penyepihan.
3) Daksina Krepa.
Isinya dilipatkan menjadi tiga kali atau peng­
gunaan kelapa tiga butir. Penggunaan dari
dak­sina ini agak jarang kecuali ada penebusan
otonan atau mebayuh otonan.
4) Daksina Gede.
Isinya dilipatkan menjadi empat kali atau dengan
menggunakan kelapa 4 butir. Penggunaan dari
daksina ini pada tingkatan upacara yang lebih
besar yakni dengan menggunakan Suci Gede.
5) Daksina Galahan atau Pemopog.
Isinya dilipat gandakan menjadi lima kali
atau menggunakan butir kelapa. Daksina ini
biasanya digunakan untuk menebus ke­ ku­
rangan-kekurangan pada waktu membuat upa­
cara yang besar, sebagai pemogpog (membayar
kekurangan-kekurangan).

Fungsi Daksina.
Daksina dalam banten pejati berfungsi se­
ba­gai tapakan atau linggih, atau stana dari Sang­
hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa,
yang akan dihadirkan pada waktu pelaksanaan

63
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

upacara. Selain sebagai tapakan , daksina dalam


kelompok banten yang lain berfungsi sebagai
persembahan untuk menyampaikan rasa terima
kasih kepada Pandita dan Pemangku (Pinandita)
yang telah membantu dalam pelaksanaan upacara.
Kitab Pancamaweda Bhagawad Gita XVII.13
menyebutkan: “Vidhi-hinam asrstannam, mantra
hinam adaksinam, sraddha-virahitam yajnam,
tamasam paricaksate”, yang artinya: …..Yajna
yang dilakukan tanpa aturan (bertentangan),
dimana makanan tidak dihidangkan, tanpa mantra
dan sedekah serta tanpa keyakinan dinamakan
tamas. Sloka tersebut menjelaskan bahwa bila
seseorang melakukan yajna hendaknya benar-
benar memenuhi syarat-syarat antara lain: Sesuai
menurut aturan (Viddhisastra), diadakan sedekah
makanan, Upacara diantar dengan mantra,
memberi daksina kepada pendeta yang memimpin
upacara, dan orang yang melaksanakan yajna
hendaknya benar-benar yakin dan percaya.

c. Ajuman.

Ajuman adalah sebuah banten yang diper­


gunakan dalam setiap upacara, yang berfungsi
sebagai suguhan berupa nasi/persembahan ma­
kanan kehadapan Sanghyang Widhi Wasa dengan
berbagai manifestasiNya. Dibeberapa tempat di

64
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

Bali banten ajuman ini sering pula disebut sodan,


rerayunan atau ajengan.
Mengenai alasnya dapat dipergunakan te­
le­
dan. Tamas, ceper yang agak besar. Diatas
taledan atau tamas, atau ceper tersebut di isi dua
buah penek. Penek adalah nasi yang berbentuk
bundar, yang bagian atas dan bawahnya datar. Di
sebelah penek tersebut di isi dengan rerasmen,
dan dibelakangnya di isi dengan buah-buah serta
diatas buah-buah ini ditaruh kue-kue/penganan.
Kemudian diatas kue-kue/penganan tersebut
diletakkan sebuah sampiyan kepet-kepetan atau
sampiyan pelaus.

d. Tipat kelanan.

Tipat kelanan berasal dari dua buah kata


yakni tipat dan kelanan. Tipat artinya ketupat dan
kelanan berarti enam (akelan). Jadi Tipat kelanan
disini mengandung maksud ketupat sebanyak
enam buah yang diikat menjadi satu, yang
diletakkan pada sebuah alas ( taledan. tamas atau
ceper). Disampingnya di isi rerasmen memakai
telur atau ikan dengan menggunakan tangkih,
sedangkan di bagaian belakangnya ditaruh
buah-buahan, kue-kue/penganan. Dan diatasnya
diletakkan sampiyan kepet-kepetan atau pelaus.

65
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

e. Penyeneng.

Dasarnya taledan berisi tiga buah tumpeng,


kojong rangkadan, dilengkapi raka-raka (buah-
buahan, kue-kue dan lauk pak) sampiannya
sampian jeet guak, penyeneng dan canang.

f. Canang Sari.

Bentuk dari upakara (banten) ini sedikit


berbeda dengan banten canang yang lain. Canang
ini dibagian bawahnya bisa berbentuk ceper
atau taledan dan bisa juga berbentuk bundar.
Pada bagian ini terdapat kelengkapan berupa
pelawa, porosan, tebu, kekiping (sejenis jajan
dari tepung beras), pisang emas atau sejenisnya,
dan beras kuning yang dialasi dengan tangkih.
Dapat pula ditambah dengan burat wangi dan
lenga wangi. Sedang bagian atasnya barulah
diisi dengan beraneka bunga diatur sedemikian
indah yang dialasi uras sari atau sampian
uras. Disamping perlengkapan yang ada, juga
dilengkapi dengan sesari (uang). Perlu juga
dijelaskan bahwa tebu, kekiping, pisang emas
disebut raka-raka yang melambangkan Sanghyang
Widiadara-widiadari. Pisang emas melambangkan
Sanghyang Mahadewa, tetapi pisang secara umum
melambangkan Sanghyang Kumara, sedangkan

66
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

tebu melambangkan Sanghyang Brahma. Canang


sari ini sering dipergunakan untuk persembahan
pada upacara-upacara piodalan, dan dapat pula
dipergunakan pada hari-hari suci lainnya seperti
Purnama Tilem.
Biasanya banten pejati dilengkapi dengan
pesucian, yakni banten yang berfungsi sebagai
pembersihan. Pesucian ini menggunakan sebuah
ceper berisi alat-alat yang berfungsi sebagai
penyucian terdiri dari: Kekosok dibuat dari tepung
beras ada yang berwarna putih dan ada yang
kuning dicampur kunir/kunyit, Bahan keramas
yakni kelapa diparut atau daun kembang sepatu
yang di iris halus, Sisig adalah sejenis alat untuk
membersihkan gigi dibuat dari jaja gina yang
dibakar atau dapat juga menggunakan tembakau,
tepung tawar dibuat dari daun dadap, beras dan
kunir kemudian ditumbuk menjadi satu, Kapas
yang diisi minyak kelapa atau minyak wangi,
dan irisan jeruk nipis. Untuk lebih memudahkan
bagi pemangku/sariti banten, bahwa banten pejati
tersebut terdiri dari: Pras, Daksina, Ajuman, Tipat
kelanan dan Pesucian.

13. Upakara/Banten Suci.

Upakara (Banten) Suci adalah nama salah


satu jenis upakara (banten) yang paling sering

67
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

dipakai dalam upacara pada tingkatan Madia atau


Menengah pada upakara (banten) pesaksi sebagai
kelengkapan upakara (banten) pejati di Sanggar
Surya. Upakara/Banten Suci dalam lontar Yadnya
Prakerti disebutkan kalau tanpa Suci maka belum
sempurna Yadnya itu. Dalam menguraikan tentang
banten suci ini, sungguh amat sulit disamping
perlengkapan-perlengkapannya, juga mempunyai
nama-nama yang berbeda dibeberapa tempat
di Bali. Namun, walaupun demikian penulis
ingin mencoba untuk menyajikan bentuk umum
dari banten suci ini yang kami kutip dari lontar
Mpu Lutuk, dan Lontar Kesuma Dewa Indik
Tetandingan baik itu menyangkut bahan-bahan
perlengkapannya maupun cara pembuatannya.
Ada beberapa ketentuan yang perlu untuk
diperhatikan dalam membuat banten suci itu,
antara lain:

a. Warna dari pada jajan suci yang boleh dipakai


adalah putih dan kuning. Demikian pula
halnya dalam memperhatikan tempatnya,
yakni yang berwarna putih disebelah kanan,
berwarna kuning disebelah kiri dari orang
yang membuatnya.. Contoh: Misalnya yang
membuat menghadap ke Utara, maka yang
berwarna putih ditempatkan disebelah kanan/
timur dan yang berwarna kuning disebelah
kiri/barat. Jajan suci ini sering disebut dengan

68
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

“Sesamuhan suci”, seperti kuluban, kebeber,


puspa, karna, bunga temu, panji dan lain
sebagainya. Adapun mengenai sesamuhan
suci yang lengkap ada 18 jenisnya, dengan
perbandingan 12 jenis berwarna putih dan 6
jenis berwarna kuning, atau 7 jenis berwarna
putih dan 5 jenis berwarna kuning, atau 5 jenis
berwarna putih dan 4 jenis berwarna kuning
dan seterusnya, sehingga jumlah keduanya
merupakan kelipatan angka 9 (sembilan).
Kemudian ada juga yang disebut dengan jaja
raka-raka, misalnya begina, bekayu sirat,
gegodoh dan lain-lainnya.

b. Pisang yang dipergunakan dalam pembuatan


banten suci, adalah pisang kayu, pisang mas,
pisang buah, pisang bunga, dan tidak boleh
menggunakan pisang dangsaba.

c. Memperhatikan tingkatan suci yang akan


dibuat, ditentukan oleh jumlah “Tamas” yang
dipergunakan.

d. Mengingat bilangan-bilangan yang diperguna­


kan masing-masing Tamas itu berbeda-beda,
maka yang terpenting disini adalah bilangan
untuk pisang, tebu, jajan sesamuhan, tape,
porosan dan lain-lainnya.

69
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Disini ada dua lontar yang mendasari


pembuatan banten suci, sesuai dengan tingkatan-
tingkatannya
a. Menurut lontar “Medang Kemulan”, banten
suci dibagi 3 (tiga) tingkatan, yakni :
1) Suci Sibakan atau Suci Nanampan. Banten
suci ini, menggunakan empat buah tamas,
dua buah adalah untuk tempat jajan se­sa­
muhan dan raka-raka, satu buah untuk tem­
pat nasi dan satu lagi untuk lauk pauknya
yang disebut dengan Tamas lelampadan.
Bilangan-bilangan yang dipergunakan ada­
lah :
- Tamas pertama, mempergunakan bilang­
an (1) untuk jenis jajannya, dan bilangan
(2) untuk jenis buah-buahan, tebu, tape,
jajan-bantal, dan porosan.
- Tamas yang kedua dari bawah, mem­per­
gunakan bilangan 1(satu) untuk jenis
jajannya, dan bilangan 5(lima) untuk
jenis buah-buahan, tebu, porosan dan
lain-lain. Tiap-tiap jenis jajan dialasi de­
ngan sebuah ceper/celemik, disamping
itu pada tamas ini di isi jajan saraswati
yang berwarna putih dan berisi lukisan 2
(dua) ekor cecek.
- Tamas yang ketiga dari bawah berisi nasi
penek 3 buah, sebuah disiram dengan air
cendana, sebuah disiram dengan santen

70
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

dan yang sebuah lagi pada puncaknya di


isi telur itik yang direbus, disebut dengan
“penek guru”.
- Tamas yang ke-empat dari bawah berisi
bermacam-macam kacang yang digoreng,
serundeng (saur), sayur-sayuran, ikan
seperti diatas, sambel dan garam, masing-
masing dialasi sebuah celemik. Tamas ini
disebut juga dengan tamas lelampadan.
Kemudian banten suci ini dilengkapi
dengan banten pras.

2) Suci laksana (Suci Bungkulan). Banten suci


ini menggunakan 6 (enam) buah tamas. 4
(empat) buah tamas untuk tempat jajan,
buah-buahan, raka-raka dan sebagainya,
yang 2 (dua) buah lagi adalah tempat
nasi dan rerasmen (lauk-pauk). Bilangan-
bilangan yang dipergunakan dalam
menyusun banten ini :
- Tamas yang pertama dari bawah mem­
per­gunakan bilangan (2) untuk jenis
ja­
jan sesamuhannya, dan memper­ gu­
nakan bilangan (1) untuk jenis jajan
lainnya. Kemudian untuk buah-buahan
mempergunakan bilangan (5), jajan-
jajannya tidak dialasi celemik.
- Tamas yang ke dua dari bawah, mem­per­
gunakan bilangan (2) untuk tebu, panca-

71
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

panca dan lain sebagainya. Bilangan


untuk jajan adalah seperti diatas, hanya
saja setiap jenis jajan dialasi dengan
celemik.
- Tamas ketiga dari bawah, memperguna­
kan bilangan (1) untuk jenis tebu, pi­
sang dan panca-panca, sedang untuk
jenis jajannya seperti diatas, tetapi tidak
dialasi celemik.
- Tamas keempat dari bawah, mempergu­
na­kan bilangan (5) untuk jenis tebu,
panca-panca dan pisangnya seperti di
atas, hanya saja dialasi celemik. Dan
pada tamas ini dilengkapi dengan jajan
saraswati yang dialasi dengan ceper
berisi “Tadahan-Saraswati”.
- Tamas kelima dari bawah, berisi tum­
peng guru, 3 buah penek yang berisi
air cendana, santen dan areng bunga
kamboja.
- Tamas keenam dari bawah, berisi sayur,
rerasmen (lauk pauk) dan berisi jenis
ikan/daging yang dianggap suci, sambel
dan garam, disebut Tamas Lelampadan.

3) Suci Tiba-Ro (Suci Gede). Banten Suci ini


tidak berbeda dengan suci laksana (bung­
kulan), tetapi bilangan-bilangannya dilipat
2 (dua) kali. Kemudian banten ini ditambah

72
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

dengan “Sancak dan Wedia”dan sebagainya.


Kemudian semua banten suci ini disertai de­
ngan banten Pras, Daksina, Ajuman, Ti­pat
kelanan, banten-banten pisang ratang, men­
tah, pesucian, duma dan canang genten/
sari.

b. Menurut lontar Kusuma Dewa (Indik tetan­
dingan), banten suci itu dibagi menjadi enam
tingkatan, yakni :
1) Suci lekah atau Suci Bebungkul. Suci ini
menghabiskan sebauh tamas, tidak mem­per­
gunakan jajan saraswati, melainkan diganti
de­
ngan beras basah (beras mes), yang
dialasi dengan tangkih, sedangkan lauk-
pauknya dialasi ceper. Bilangan-bilangan
yang dipergunakan disini adalah bilangan
(1), baik mengenai jajannya maupun buah-
buahan termasuk pisang. Banten ini dapat
dipergunakan untuk “Pekalan-kalaan” (Me­
sakapan).
2) Suci Sari atau Suci Alit. Banten ini meng­
gunakan 3 (tiga) buah tamas, satu dari tamas
yang ada sebagai tempat jajan, pisang, tebu
dan lain-lainnya, sedangkan yang sebuah
tamas lagi sebagai tempat nasi (tumpeng
guru), sekul pinda dan lain-lainnya. Dan
tamas yang ketiga untuk tempat lauk-pauk
dan juga tamas lelampadan/lampadan.

73
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Bilangan-bilangan yang dipakai adalah


bilangan (2), untuk jenis jajan sesamuhan
seperti kuluban, kebeber, bungan temu,
puspa , karna dan lain-lain. Dan bilangan
(1) untuk jajan lainnya seperti begina,
bekayu dan lain-lainnya. Untuk tebu, pisang
dan porosan lain-lainnya mempergunakan
bilangan (5). Pada tamas ini dilengkapi
de­ngan jajan yang berwarna putih berisi
lukisan/gambar cecek sebanyak 2 ekor,
leng­kap dengan sarang dan telurnya.

3) Suci Bunga atau Suci Sibakan. Banten suci


ini menggunakan 5 (lima) buah tamas,
2(dua) buah dari tamas yang ada untuk
tempat jajan, buah-buahan, pisang, tebu,
porosan. Sebuah lagi untuk tempat nasi
(tumpeng guru, sekul pinda, nasi dialasi
dengan limas berisi kacang, serondeng dan
lain-lainnya. Sebuah lagi untuk tempat lauk-
pauknya (tamas lelampadan) dan terakhir
adalah tamas sancak. Bilangan-bilangan
yang dipergunakan adalah :
- Tamas yang paling bawah bilangan (2)
untuk jajan-sesamuhan, bekayu, ki­
ping dan lain-lain, sedangkan untuk pi­
sang tebu dan lain-lain menggunakan
bilangan (5).

74
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

- Tamas kedua dari bawah, mempergunakan


bilangan (2) untuk jenis jajan sesamuhan
dan bilangan (1) untuk jajan, raka-raka,
sedangkan untuk buah-buahan, tebu
dan lain-lain mempergunakan bilangan
(3), disamping itu maka pada tamas ini
dilengkapi jajan saraswati yang berwarna
putih diatas.
- Tamas ketiga dari bawah, disebut “
Tamas Guru”, nasinya dialasi berisi
tumpeng guru, nasi yang dialasi dengan
limas lengkap dengan lauk pauknya dan
sekul pinda.
- Tamas keempat dari bawah, adalah tamas
lelampadan yang berisi lauk-pauk ikan
itik.
- Tamas kelima adalah tamas sancak yang
berisi mentimun, salak dan lain-lainnya.

4) Suci Krama. Banten suci ini meng­guna­kan


7 (tujuh) buah tamas, 3 (tiga) dian­tara­nya
adalah untuk tempat jajan, pi­sang, buah-
buahan, tebu dan lain-lain, tamas yang ke
4 (empat) untuk tempat nasi (tamas guru)
seperti penjelasan di atas. Tamas ke 5 (lima)
untuk tempat lauk-pauk (tamas lelampad).
Tamas ke 6 (enam) berisi kacang putih,
komak dan lain-lain sering disebut dengan
tamas duma, sedangkan tamas ke 7 (tujuh),

75
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

adalah tamas sancak. Bilangan-bilangan


yang dipergunakan antara lain :
- Tamas yang paling bawah menggunakan
bilangan (2) untuk jajan sesamuhan, bi­
langan (1) untuk jajan raka-raka, dan
bi­langan (5) untuk pisang, tebu, tape,
porosan dan lain-lainnya.
- Tamas yang kedua dari bawah meng­gu­
nakan bilangan (2) untuk jajan sesamu­
han, bilangan (1) untuk jajan raka-raka,
dan bilangan (2) untuk pisang, tebu,
tape, porosan dan lain-lainnya.
- Tamas ke tiga dari bawah, menggunakan
bilangan (2) untuk jajan sesamuhan,
bi­­langan (1) untuk jajan raka-raka dan
bi­langan (3) untuk pisang, tebu, tape,
po­rosan dan lain-lain, disamping itu di­
leng­kapi dengan jajan saraswati ber­war­
na putih seperti diatas.
- Tamas kelima dari bawah adalah Tamas
Guru berisi empat buah Penek/Tumpeng,
sekul pinda, sekul bira, sojen dan lainnya.
- Tamas ke enam adalah Tamas Wediya,
Abugala, Abugari, Dodol. Pok Sisir,
Madu dan lain-lainnya.
- Tamas Ke tujuh, adalah Tamas Lelampa­
dan yang berisi kacang, serundeng,
sambal, garam dan lainnya yang juga
dilengkapi dengan nasi pahyasan, nasi

76
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

pradnyan, segara gunung, bubur sasuru


dan lainnya.

5) Suci Pejati atau Suci Laksana.Banten suci


ini menggunakan 8 (delapan) Buah tamas. 4
(empat) buah tamas yang ada dipergunakan
untuk tempat jajan,buah buahan, tebu, tape,
porosan dan lain-lain. Bilangan-bilang­ an
yang dipergunakan adalah :
- Tamas yang paling bawah menggunakan
bilangan (2) untuk jajan sesamuhan,
bilangan (1) untuk jajan raka-raka dan
bilangan (5) untuk pisang, buah-buahan,
tebu, tape, porosan dan lain-lain.
- Tamas yang ke dua dari bawah meng­gu­
nakan bilangan (2) untuk jajan sesamu­
han, bilangan (1) untuk jajan raka-raka,
dan bilangan (3) untuk pisang, buah-
buah­ an, tebu, tape, porosan dan lain-
lain.
- Tamas ke tiga dari bawah, menggunakan
bilangan (2) untuk jajan sesamuhan, bi­
langan (1) untuk jajan raka-raka dan bi­
langan (5) untuk pisang, buah-buahan,
tebu, tape, porosan dan lain-lain.
- Tamas ke empat dari bawah menggunakan
bilangan (2) untuk jajan sesamuhan, bi­
langan (1) untuk jajan raka-raka, dan
bilang­an (3) untuk pisang, buah-buahan,

77
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

tebu, tape, porosan dan lain-lain. Pada


tamas ini diisi dengan jajan saraswati
berwarna putih.
- Tamas kelima dari bawah adalah tamas
guru berisi 4 (empat) buah penek/tum­
peng, sekul pinda, sekul bira, sojen dan
lain-lain.
- Tamas keenam dari bawah adalah Tamas
Wediya, Abugala, Abugari, Dodol, Pok
Sisir, Madu dan lainnya.
- Tamas ketujuh adalah Tamas Lelampadan
yang berisi kacang, Serundeng, Sambel,
Garam dan lainnya dilengkapi dengan
Nasi Pahyasan, Nasi Pradnyan, Segara
Gunung, Bubur Sasuru dan lainnya.
- Tamas kedelapan adalah Tamas Sancak
yang berisi ketimun, salak dan lainnya.

6) Suci Sejati atau Suci Gening.


Menggunakan sepuluh buah Tamas, lima
diantaranya sebagai tempat jajan sesamuhan,
pisang, tebu, porosan, tape dan lain-lainnya.
Sedangkan Tamas berikutnya sebagai tamas
lelampadan, tamas guru, tamas wediya,
tamas duma, dan terakhir tamas sancak.
Bilangan yang dipakai adalah :
- Tamas paling bawah adalah bilangan (1)
untuk jajan raka-raka, bilangan (2) jajan

78
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

sesamuhan, bilangan (5) untuk pisang


tebu, tape, porosan dan lain-lainnya.
- Tamas kedua dari bawah dengan bilangan
(1) untuk jajan raka-raka, bilangan (2)
untuk jajan sesamuhan dan bilangan (2)
untuk pisang, tebu, tape, porosan, buah-
buahan dan lain-lain.
- Tamas ketiga dari bawah adalah bilangan
(1) untuk jajan raka-raka, bilangan (2)
untuk jajan sesamuhan dan bilangan (1)
pisang, tebu, tape, porosan, buah-buahan
dan lain-lainnya.
- Tamas keempat dari bawah adalah bi­
langan (1) untu jajan raka-raka, bi­lang­an
(2) untuk jajan sesamuhan, pi­sang, tebu
dan bilangan (5) untuk pi­sang, tebu, tape
porosan, buah-buahan dan lain-lainnya.
- Tamas kelima dari bawah adalah bilangan
(1) untuk jajan raka-raka, bilangan (2)
untuk jajan sesamuhan, bilangan (3) un­
tuk tebu, pisang, tape, porosan, buah-
buhan dan lainnya dilengkapi dengan
empat buah jajan saraswati lengkap de­
ngan tadahannya.
- Tamas keenam dari bawah adalah bilang­
an (5) untuk jenis kacang putih, komak,
ubi, keladi dan lainnya yang disebut juga
tamas duma.

79
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

- Tamas ketujuh dari bawah adalah tamas


guru berisi tumpeng dengan ikan telur
itik direbus pada puncaknya serta tiga
buah penek lainnya yang juga dilengkapi
dengan sekul panda, sekul bira dan
lainnya.
- Tamas kedelapan dari bawah disebut
ta­mas wediya yang isinya tumpeng de­
ngan ikannya telur itik direbus pada
pun­caknya serta tiga buah penek lainnya
yang juga dilengkapi dengan sekul pinda,
sekul ira dan lainnya.
- Tamas kesembilan dari bawah adalah ta­
mas lelampadan isinya tumpeng de­ngan
ikannya telur itik direbus pada pun­cak­
nya serta tiga buah penek lainnya yang
juga dilengkapi dengan sekul panda,
sekul bira dan lainnya.
- Tamas kesepuluh dari bawah adalah ta­
mas sancak isinya tumpeng dengan ikan­
nya telur itik direbus pada puncaknya
serta tiga buah penek lainnya yang juga
dilengkapi dengan sekul pinda, sekul
bira dan lainnya.

Sebagai kelengkapan dari Banten Suci di


atas terutama ketiga terakhir adalah Banten
pisang rateng, pisang mentah, masing-masing
dua tanding serta daksina, peras, ajuman, tipat

80
Upakara (Banten) Pejati/Pesaksi

kelanan, canangsari, canang gantal, banten jotan


dan lainnya sesuai dengan desa mawacara masing-
masing satu tanding Suci diatas disebut juga Suci-
Tiba-Ro yang menyertai Banten Catur, Gana dan
lainnya dalam upacara yang tingkatannya besar/
utama.
Untuk menyusun banten suci menjadi banten
pesaksi, maka banten ini ditambah dengan pejati,
sehingga urutannya sebagai berikut : Pras, Daksina,
Ajuman, Tipat kelanan, Pesucian, Canang sari, dan
Suci. Sorohan/kumpulan banten ini sering disebut
Banten Suci asoroh. Pada Buku Pedoman Praktis
tentang Upakara (anten) dalam Upacara Yajna
ini hanya dijelaskan menggunakan Suci Sari/Alit
dan Suci Sibakan/Bunga. Hal ini lebih disebabkan
karena tingkatan upacaranya, terbatas sampai
tingkat Madiyaning Kanistama yang menjadi
kewenangan bagi seorang Pinandita/Pemangku
Pura dalam menyelesaikan upacara dimaksud.

81
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Banten Daksina

82
B A B
7

Upakara (Banten)
Tataban

14. Umumnya upakara (banten ) tataban ini


diletakkan pada tempat khusus yang disebut
asagan/panggungan/altar. Banten ini berfungsi
sebagai tataban atau ayaban, dimana sang yaja­
mana dalam menghaturkan/mempersembahkan
yajna­nya kehadapan Sanghyang Widhi Wasa
diatas asagan/panggungan sebagai rasa syukur
(angayubhagya) atas berbagai limpahan wara­nu­
grahaNya, melalui puja pengantar Sang Pinandita.
Upakara (Banten) Tataban ini, merupakan
kumpulan beberapa banten (sorohan) dengan
berpatokan jumlah tumpeng yang dipergunakan,
sehingga ada istilah tumpeng 5 (lima), tumpeng 7
(pitu), tumpeng 11 (solas), tumpeng 17 (pitulas),

83
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

tumpeng 21 (selikur). Guna memudahkan para


Pinandita dan juga Sariti banten, untuk me­
ngetahuii besar kecilnya suatu upacara semuanya
terlihat jelas dari penggunaan tumpeng pada
kumpulan banten (sorohan banten) yang ada.

15. Upakara/Banten Tataban ini sesuai ketentuan


Wrehaspati Kalpa yang dipergunakan dalam
pelaksanaan suatu yajna merupakan Kumpulan
atau Sorohan. Kumpulan atau Sorohan Upakara/
Banten Tataban ini terdiri dari beberapa kelompok
yaitu :

a. Pengulapan : Dasarnya menggunakan taledan


di tengah-tengah berisi tumpeng 2 buah, di
depan tumpeng berisi bantal 11, berisi buah-
buahan, sesanganan, sampiannya sampian
naga­­sari, di belakang tumpeng di isi lauk-pauk
rerasmen.

b. Pengambean : Dasarnya sebuah taledan berisi


dua buah tumpeng, didepannya kue-kue (se­
sanganan), buah-buahan (woh-wohan), sam­ ­
pian tumpeng, di belakang berisi lauk pauk dan
kacang saur (rerasmen), tulung pengam­bean
dua buah, berisi lauk-pauk dan kacang saur
(rerasmen) dan nasi, diantara tulungnya diisi
tipat pengambean satu buah.

84
Upakara (Banten) Tataban

c. Sesayut : Dasar atau alasnya disebut dengan kulit


sesayut, diatasnya di isi nasi/penek, dilengkapi
dengan lauk-pauk, jajan, buah-buahan, tebu
dan sampaiannya sampian nagasari.

d. Dapetan : Dasarnya taledan ditengah-tengah


berisi satu buah tumpeng, di depan tum­peng­
nya berisi kue-kue (sesanganan), tebu buah-
buahan, sampiannya sampian dapetan, dibe­
lakang tumpeng berisi lauk-pauk dan kacang
saur pakai tangkih.

c. Pras : Dasarnya taledan diatas taledan diletak­


kan kulit peras, diatas kulit peras di isi sedikit
beras, base tampelan, dan benang tukelan. Pada
bagian depan diletakkan dua buah tumpeng
lengkap dengan rerasme (lauk-pauk dan ka­
cang saur), dibelakang tumpeng di isi buah-
buah­an, diatasnya di isi kue-kue (sesanganan)
dan di atas kue-kue diletakkan sebuah sampian
peras.

d. Banten Guru : Dasarnya taledan berisi sebuah


tum­peng yang diujungnya diganti dengan
telur itik rebus, disampingnya berisi lima buah
tumpeng kecil-kecil, dilengkapi dengan raka-
raka (buah-buahan, sesanganan dan lauk-
pauk), sampiannya sampian jeet guak atau
sampiyan tumpeng dan canang.

85
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

e. Banten pengiring : Dasarnya taledan berisi


se­buah tumpeng, kojong rangkadan, raka-raka
(buah-buahan, kue-kue dan lauk pauk), sam­
piannya jeet guak atau sampiyan tumpeng dan
canang sari.

f. Banten Penyeneng : Dasanya taledan berisi tiga


buah tumpeng, kojong rangkadan, dilengkapi
raka-raka (buah-buahan, kue-kue dan lauk
pauk) sampiyannya sampaian Jeet guak atau
sam­piyan tumpeng, penyeneng dan canang.

g. Banten Udel : Dasarnya taledan berisi sebuah


tumpeng yang ditengah-tengahnya ditusukan 1
potong hati ayam, kojong rangkadan, di­leng­
kapi raka-raka (buah-buahan, kue-kue dan
lauk pauk), sampiannya sampaian Jeet guak
atau sampiyan tumpeng dan canang.

h. Banten Kurenan : Dasarnya taledan berisi dua


buah tumpeng disampingnya berisi lima buah
tumpeng kecil-kecil, kojong rangkadan, di­
lengkapi dengan raka-raka (buah-buahan, kue-
kue dan lauk-pauk), sampiannya sampiyan
Sre­
yok seperti sampiyan Pengambeyan dan
canang.

i. Banten Pengapit : Dasarnya taledan berisi dua


buah tumpeng, kojong rangkadan, dileng­ka­pi

86
Upakara (Banten) Tataban

raka-raka (buah-buahan, kue-kue dan la­uk-


pauk), sampiyannya sampiyan Jeet guak atau
sampiyan tumpeng dan canang.

j. Banten Ancak : Dasarnya taledan berisi sebuah


tumpeng yang beralaskan daun ancak, kojong
rangkadan, dilengkapi raka-raka (buah-buah­
an, kue-kue, dan lauk-pauk), sampiyannya
sam­pian Jeet guak atau sampiyan tumpeng dan
canang.

k. Banten Bingin : Dasarnya taledan berisi sebuah


tumpeng diberi alas daun beringin, kojong
rang­h­kadan, dilengkapi raka-raka (buah-buah­
an, kue-kue dan lauk-pauk), sampiyannya
sam­piyan Jeet guak atau sampiyan tumpeng
dan canang.

l. Banten Ungang : Dasarnya taledan berisi sebuah


tumpeng yang ditengah-tengah badan tumpeng
tusukkan sat ekor ikan Ungang yang di goreng,
kojong rangkadan, dilengkapi raka-raka (buah-
buahan, kue-kue dan lauk-pauk), sampiyannya
sampiyan Jeet guak atau sampiyan tumpeng
dan canang.

m. Banten Tagog : Dasarnya taledan berisi sebuah


tumpeng dipangkal tumpeng dibuat lobang/
gua, kojong rangkadan, dilengkapi raka-

87
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

raka (buah-buahan, kue-kue dan lauk-pauk),


sampiyannya sampiyan Jeet guak atau sampiyan
tumpeng dan canang.

n. Banten Bulakan : Dasarnya taledan berisi sebuah


tumpeng yang disamping tumpeng diletakkan

88
Upakara (Banten) Tataban

satu buah takir berisi air, kojong rangkadan,


dilengkapi raka-raka (buah-buahan, kue-kue,
dan lauk-pauk), sampiyannya sampiyan Jeet
guak atau sampiyan tumpeng dan canang.

o. Banten Pancoran : Dasarnya taledan berisi se­


buah tumpeng yang ditengah-tengah tumpeng
di isi satu buah sidu atau sendok dari janur
sebagai mulut pancoran, kojong rangkadan,
dilengkapi dengan raka-raka (buah-buahan,
kue-kue dan lauk pauk), sampiyannya sam­
piyan Jeet guak atau sampiyan tumpeng dan
canang.

p. Banten Pengebek : Dasarnya taledan berisi


lima buah tumpeng letaknya sesuai dengan
arah mata angin, kojong rangkadan, dilengkapi
raka-raka (buah-buahan, kue-kue dan lauk
pauk), sampiyannya sampiyan Jeet guak atau
sampiyan tumpeng dan canang.

16. Sorohan Pregembal. Pregembal adalah


sebuah banten yang terdiri dari beberapa jenis
jajan dilengkapi dengan buah-buahan, bantal,
tape, tebu sedangkan sampiyannya disebut Sri­
kekili, berbentuk kojong. Banyak sedikit jajan
berbeda-beda dibeberapa tempat, tetapi ber­ da­
sarkan namanya, maka jajan tersebut dapat dibagi
menjadi beberapa golongan :

89
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

a. Jajan yang menggambarkan isi lautan adalah


toro-toro dan kerang.
b. Jajan yang menggambarkan tumbuh-tumbuhan
adalah ancak, bingin, ubi, keladi, ambengan,
kayu sugih, keseg-seg, simbar dan lain-lainnya.
c. Jajan yang menggambarkan bunga-bungaan
adalah kecita, bungan temu, sekar agung dan
lain-lainnya.
d. Jajan yang menggambarkan jenis burung
adalah manuk-deweata, dakah, dikih, ngos-
ngosan, kedis tingkih dan lain-lainnya.
e. Jajan yang menggambarkan manusia adalah
dukuh (laki-perempuan), cilimegandong, cili
mesingal, penunggun taman dan lain-lainnya.
f. Yang termasuk upakara/banten adalah peras,
penyeneng, tulung dan sesayut.
g. Jajan yang menggambarkan bangunan adalah
kemulan, taksu, cakraning pedati dan lain-
lainnya.
h. Jajan yang menggambarkan air adalah taman,
gumelar dan gemulung.
i. Jajan yang menggambarkan waktu adalah
lemah lememng, yang mana jajan ini berwarna
hitam dan putih.
h. Jajan yang melukiskan senjata adalah Cakra,
Bajra, Gada, Nagapasa, Angkus, Dupa, Moksala,
Trisula dan Padma.

90
Upakara (Banten) Tataban

Banten ini dilengkapi pula dengan beberapa


buah banten antara lain :

a. Tegteg, yakni sejenis jejahitan terdiri dari


beberapa buah kojong bersisi jajan-jajan seperti
suci, sedangkan sampiyannya berbentuk sam­
pi­
yan tumpeng tetapi dibuat dari “tulang
lindung” sejenis anyaman dari janur.

b. Taman, sejenis bangunan kecil beralas ceper,


bertiang empat buah dari tebu, janur, serta
bunga/daun-daunan, didalamnya di isi air, bu­
nga yang harum (11 jenis) serta padma (sejenis
jejahitan dari janur), sebagai alasnya dapat
dipergunakan periuk tanah atau sangku.

a. Jerimpen. Menggunakan keranjang jerimpen


diberi kain dari ron, lalu Disekitar badan je­
rimpen di ikat jajan uli, begina, satuh, tebu dan
lain-lain. Setelah lengkap dimasukkan sampian
jerimpen. Kemudian keranjang je­rimpen ter­
sebut dimasukkan kedalam sebuah bedogan
berisi beras, base tampelan, benang dan sebuah
kelapa daksina.

91
Banten Taman
B A B
8

Upakara (Banten)
Sor

17. Upakara/Banten Sor ini, ditujukan kepada


Bhuta Kala dan menyesuaikan dengan Upakara/
Banten Pejati yang ada di Sanggar Pesaksi/
Pelinggih Pokok dan upakara/banten Tataban
yang ada dipesambyangan/Asagan menurut
Lontar Sundari Gama. Bhuta Kala diciptakan oleh
Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
dalam prabhawanya sebagai Siwa disebut dalam
Lontar Bumi Tuhe. Bhuta berasal dari kata Bhu
yang artinya Bumi atau unsur-unsur alam yang
telah diadakan. Bhuta Kala sering dirangkaikan
dengan kata Kala yang dalam konteks ini artinya
Energi sehingga Bhuta Kala artinya unsur-
unsur alam beserta kekuatannya. Untuk tidak

93
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

mengganggu dan membawa bencana maka


dibuatkan tetadahan/sesaji yang disebut Caru
dan dalam pengertian yajna disebut Bhuta Yajna.
Pelaksanaan Bhuta Yajna secara ritual atau tradisi
maksudnya untuk mengusir mahluk-mahluk
yang bersifat negative sedangkan filsafatnya
untuk menetralkan kekuatan alam semesta agar
menjadi stabil. Upakara (banten) sor ini, berfungsi
sebagai persembahan kepada “ para bala ancangan
(pengerencang), atau bhuta kala”. Adapun tujuan
dari upacara Bhuta Yajna ini, adalah :

a. Bila dilaksanakan setelah menghaturkan ban­


ten ayaban kehadapan Sanghyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai
mani­festasinya, maka banten ini kemudian
dihaturkan untuk penyucian terhadap bhuta
kala dan mahkluk halus lainnya dengan tujuan
untuk melenyapkan sifat-sifat buruk yang ada
padanya, sehingga sifat baik dan kekuatan yang
ada padanya dapat memberikan keharmonisan,
keselarasan dan keseimbangan.

b. Bila banten ini dihaturkan sebelum dilaksana­


kan upacara, maka banten digunakan sebagai
penyucian terhadap tempat (alam) dari gang­
guan dan pengaruh-pengaruh buruk yang
ditimbulkan oleh para bhuta kala. Tujuannya
adalah agar dalam pelaksanaan upacara nan­

94
Upakara (Banten) Sor

tinya, berjalan dengan tertib, aman dan lancar


tanpa suatu halangan.

Jenis upakara (banten) yang dikategorikan


sebagai banten sor yakni banten segehan dan
caru/tawur. Banten segehan biasa dipergunakan
pada upacara yang kecil, sedangkan banten caru
dipergunakan untuk tingkat upacara yang sedang
atau menengah, sedangkan banten tawur biasa
dipergunakan pada upacara yang lebih besar.

18. Tingkat/Jenis Upakara/Banten Sor.


Secara umum Upakara/Banten Sor ini dalam
pelaksanaannya disebut Caru. Pembuatan Caru
selain unsur Nasi maka lauk pauk memegang pe­
ranan penting karena besar kecilnya Caru sangat
ditentukan oleh lauk pauk yang dipergunakan.
Untuk upakara yang kecil (Kanistama) diper­
gu­nakan lauk pauk yang sederhana dan mudah
didapat seperti bawang merah, jahe, garam dan
terasi. Jika upakaranya besar (Madhyama dan
Utama) mempergunakan berbagai jenis binatang
seperti ayam, itik dan lain-lainnya. Ssuai jenis lauk
pauk yang dipergunakan maka upakara/banten sor
dapat dibagi menjadi tiga tingkatan/jenis yaitu :

a. Tingkat kecil atau sederhana (Kanistama)


disebut segehan. Berdasarkan bentuk nasi yang
dipergunakan maka ada beberapa jenis segehan

95
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

seperti segehan cacahan, segehan kepelan,


segehan manca warna dan segehan agung.

b. Tingkat yang sedang (Madhyama) disebut Caru.


Caru disamping mempergunakan lauk pauk
dalam bentuk olahan daging secara khusus
juga mempergunakan sate lebih dari tiga jenis
binatang yaitu daging ayam, itik, angsa dan
kambing. Sesuai dengan jenis binatang yang
dipergunakan maka ada beberapa tingkatan
Caru yaitu Caru Eka Sata, Caru Panca Sata,
Caru Panca Sanak, Caru Panca Kelud dan Caru
Pengurip Bhuwana.

c. Tingkat yang besar (Utama) maka upakaranya


disebut Tawur. Tawur ini disamping mem­per­
gunakan daging lebih dari lima jenis binatang
baik itu binatang yang berkaki dua seperti
ayam, itik dan angsa, juga dari binatang berkaki
empat seperti anjing, babi, kambing, kerbau,
sapi dan binatang lainnya. Semua binatang
untuk Tawur ini sebelum dipotong dan diolah
dagingnya atau dibuat sate harus dilakukan
upacara Mepepada. Tingkatan untuk Tawur ini
misalnya Tawur Lebuh Gentuh, Tawur Manca
Walikrama dll.

96
Upakara (Banten) Sor

19. Sarana Upakara/Banten Sor.


Sarana pada Upakara/Banten Sor ini seperti
Nasi misalnya dalam pelaksanaan Bhuta Yajna ti­
dak berbeda dengan Yajna lainnya tetapi bentuk­
nya terdapat kekhususannya yaitu :

a. Nasi. Nasi ini selain berbentuk Penek atau


Tumpeng maka beberapa bentuk Nasi yang
bersifat khusus yaitu :
1) Nasi Sasahan yakni Nasi yang tidak jelas
bentuknya karena ditaruh begitu saja pada
tempatnya.
2) Nasi Wong Wongan yakni Nasi yang ber­
bentuk seperti manusia karena terdiri dari
Kepala, Badan dan Tangan serta Kaki.
3) Nasi Takilan yakni Nasi yang dibungkus
daun pisang dan bentuknya segi empat dan
ada yang berbentuk segi tiga.

b. Lauk Pauk. Upakara/Banten bentuk Nasi selalu


dilengkapi lauk pauk dalam setiap yajna. De­
mikian pula halnya dengan Upakara/Banten Sor
hanya saja masih mentah dan sedikit berbau
tajam. Contoh dalam upacara kecil (Kanistama)
seperti segehan. Lauk pauknya menggunakan
bawang merah dan jahe. Bawang sifatnya dingin
sedangkan jahe sifatnya panas bila keduanya
dicampur maka terjadi keseimbangan yang
di­
sebut Dumalad. Jadi sesuai dengan tujuan

97
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

upacara Bhuta Yajna, yaitu keseimbangan hi­


dup antara sesama ciptaan Tuhan. Pada upa­
kara yang sedang atau besar (Madhayama
atau Utama), maka yang dipergunakan adalah
bumbu yang mentah, seperti bumbu rajang dan
juga darah mentah. Ini menunjukkan adanya
perbedaan antara unsur-unsur yang positif
(Dewa) dengan unsur-unsur negative (Bhuta
kala).

c. Kelengkapan-kelengkapan lain yang bersifat


khusus dalam pelaksanaan Upakara/Banten Sor
yaitu Caru pada tingkat sederhana (Kanistama)
maupun sedang atau besar (Madhayama atau
Utama) adalah :
1) Bayang-bayang.
Yang dimaksud dengan Bayang-bayang
adalah kulit jenis binatang yang diper­gu­
nakan dalam keadaan mentah dan masih
utuh yaitu kepala, kaki, sayap dan ekor serta
bulu-bulunya masih melekat pada kulitnya.
Dengan ditaruhnya kwangen (lambang
Ong­kara) diatas bayang-bayang berarti bah­
wa binatang yang dipergunakan untuk Caru
ataupun Tawur itu diberikan kekuatan hi­
dup lagi dalam bentuk lain dari Sanghyang
Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
2) Sengkwi.
Sengkwi adalah sejenis anyam-anyaman dari

98
Upakara (Banten) Sor

daun kelapa yang hijau untuk diperguna­


kan sebagai alas bayang-bayang dari jenis
binatang yang dipergunakan untuk Caru
maupun Tawur, Sengkwi untuk ayam nama­
nya Sengkwi meikuh sedangkan sengkwi
selain ayam namanya Sengkwi Garuda.
3) Tetabuhan.
Tetabuhan yang dipergunakan adalah jenis
minuman yang mengandung alkohol yang
dapat memabukkan seperti Nira (tuak),
Tape beras hitam (berem) dan Arak. Fungsi
tetabuhan ini sama dengan air untuk penyu­
cian unsur-unsur yang negative, seperti
halnya arak untuk mencuci benda-benda
yang terkena lemak.
4) Bunyi-bunyian.
Dalam pelaksanaan pecaruan apakah Caru
atau Tawur dipergunakan bunyi-bunyian
seperti kentongan kecil terbuat dari bambu
yang masih hijau, tetimpug (terdiri dari
tiga atau lima ruas bambu) jika dibakar
akan bersuara keras letusannya. Fungsi
bunyi-bunyian disini dimaksudkan untuk
menghadirkan maupun mengusir sesuatu
yang bersifat negativ.
5) Don telujung.
Yang dimaksud dengan Don telujung
adalah sepotong daun pisang yang bagian
ujungnya masih utuh yang dipergunakan

99
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

sebagai alas (lamak) dari Sanggar Cucuk/


tutuan. Fungsinya sebagai penuntun atau
batas kesucian dari unsur-unsur yang diper­
gu­nakan sebagai Caru atau Tawur itu tidak
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang
bersifat negativ dari bumi.
6) Sanggar Cucuk/Tutuan.
Sebagai hulu dari bayang-bayang yang
dipergunakan untuk Caru atau Tawur di­
tan­capkan/didirikan sanggar kecil atau
sedang yang disebut Sanggar Caru atau
Tutuan. Fungsi hulu Caru disini selain
sebagai persaksian sesuai arah kiblat pe­
nempatan bayang-bayang juga bertujuan
tidak saja penyucian unsur-unsur alam yang
negative (Bhuta kala) juga mengembalikan
keasalnya sehingga terwujud keseimbangan
dan keharmonisan hidup sesama ciptaan
Tuhan. Pengertian Bhuta kala disini tidak
saja unsur-unsur alam tetapi juga binatang
yang dipergunakan untuk Caru atau Tawur.
7) Api.
Dalam pelaksanaan Caru atau Tawur selain
mempergunakan Dupa juga diperlukan api
dengan nyala/bara yang agak besar yaitu api
takep (terbuat dari serabut kelapa dalam
bentuk silang). Fungsi api disini sebenarnya
sebagai pembasmi unsur-unsur negativ yang

100
Upakara (Banten) Sor

terdapat pada Bhuta kala. Sedangkan api


tankep disamping sebagai pengendalian dari
unsur-unsur alam (Bhuta kala) juga karena
sangat diperlukan jangan sampai mem­
bahayakan.

Jenis upakara/banten yang dikategorikan


sebagai banten sor yakni banten segehan dan caru/
tawur. Banten segehan biasa dipergunakan pada
upacara yang kecil, sedangkan caru dipergunakan
untuk upacara yang sedang atau menengah,
sedangkan banten tawur biasa dipergunakan pada
upacara yang lebih besar.

20. Banten Segehan. Dalam upakara (banten)


segehan ini sering dipergunakan nasi sebagai
bahan utamanya. Ada beberapa upakara (banten)
segehan yang terdapat dalam suatu upacara yajna,
yakni :
a. Segehan kepel. Alasnya mempergunakan tale­
dan, daun pisang atau tangkih yang agak
besar. Diatasnya di isi dua kepel nasi putih,
lauk pauknya berupa bawang, jahe dan garam.
Kemudian disusuni dengan sebuah canang biasa
atau canang genten. Ada kalanya penggunaan
nasi kepel ini, menggunakan warna lima dan
ini disesuai dengan keperluannya.

101
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

b. Segehan cacahan. Alasnya mempergunakan


taledan, daun pisang atau tangkih bersudut
tiga (bucu telu) yang agak besar, di isi dengan
6 sampai 7 buah tangkih. Lima dari tanggihnya
diisi dengan nasi putih atau lima warna. Bila
menggunakan 6 tangkih, maka 5 tangkihnya
berisi nasi dengan lauknya garam, bawang dan
jahe, sedang pada tanggih yang satu berisi beras
dan porosan. Bila menggunakan 7 tanggih,
maka 5 tangkihnya berisi nasi, 1 tangkihnya
lagi berisi lauk pauk berupa garam, jahe dan
bawang, sedangkan 1 tangkihnya lagi berisi
beras dan porosan.

c. Segehan Agung. Alasnya menggunakan tempat


yang agak besar seperti tempeh (nyiru), dialasi
dengan taledan atau daun pisang. Kemudian
diisi 11 tangkih kecil-kecil, masing-masing
berisi : nasi putih, lauk pauk ( bawang, jahe
dan garam ). Letaknya diatur sedemikian rupa
membentuk lingkaran dan ditengah-tengahnya
diisi daksina. Diatas tangkih-tangkih yang
ada disusuni masing-masing sebuah canang
genten atau sampian segehan berbentuk
tangkih berisi pelawa, porosan dan bunga.
Pada waktu menghaturkan menggunakan
tetabuhan kadang kala dilengkapi dengan
penyamblehan (anak ayam atau pitik). Segehan
Agung ini penggunaannya agak khusus antara

102
Upakara (Banten) Sor

lain : memendak, membuka tanah baru (nyikut


karang) baik untuk perumahan maupun tempat
suci, dan kadang kala dipergunakan untuk
menyertai upacara yang lebih besar (Caru atau
Tawur).

d. Gelar Sanga. Gelar Sanga termasuk juga segehan


yang digunakan dalam rentetan pecaruan. Ada
dua macam Gelar sanga yakni : Alit dan Ageng
(besar).
- Dalam membuat upakara (banten) Gelar
sanga alit yakni : Sebuah taledan besar,
diatasnya berisi 9 tanding nasi, beralaskan
teledan kecil yang berisi sedikit kekebisan/
irisan raka-raka lengkap, nasi bersisi kacang
saur dan garam yang telah dioleskan pada
mulut dapur. Diatas nasi berisi sebuah
sampian plaus yang berisi porosan dan
bunga. Diatas taledan besar itu tetandingan
nasi yang kecil-kecil tersebut diletakkan
sesuai dengan arah pengider-ider. Kemudian
sembilan batang sate gelar sanga kecil-kecil
ditaruh diatasnya masing-masing. Ditengah-
tengah nasi tersebut diisi sebuah takir berisi
amel-amel, satu takir daun kelor yang telah
dicelubkan diair panas.
- Dalam membuat upakara (banten) gelar
sanga ageng, diperlukan perlengkapan-
perlengkapan seperti :

103
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

1) Urab barak (merah), dibuat dari kelapa


yang diparut dicampur dengan darah
mentah dan bumbu-bumbu gede.
2) Urab putih, dibuat dari kelapa yang di­
parut dicampur dengan daging mentah
yang dicincang, dicampur dengan bum­
bu-bumbu gede.
3) Calon, dibuat dari kelapa yang diparut
dicampur dengan daging mentah yang
ditumbuk sampai halus dan kemudian
dicampur dengan bumbu-bumbu gede
se­
lanjutnya dipulung-pulung seperti
bola-bola kecil lalu digoreng.
4) Sate gelar sanga, bahannya seperti bahan
calon, kemudian ditusuk dengan tusuk
sate dibentuk agak gepeng, lalu dibakar
separuh sisinya matang dan separuhnya
lagi dibiarkan mentah.
5) Daksina ponggolan, sebuah daksina yang
serebengnya agak rendah sehingga isinya
mudah dikeluarkan.
6) Nasi sokan (nasi wakul) yakni sebuah
wakul kecil berisi nasi, garam, tulang
men­tah (balung gegending), telur ayam
mentah, sebuah kojong berisi lekesan,
tembakau dan pinang. Kadang-kadang
di­
lengkapi pula dengan urab barak
(merah) dan urab putih dan sate.

104
Upakara (Banten) Sor

Selain dari pada itu dilengkapi dengan kuwali


yang berisi daun kelor mentah, tuak nira saguci,
dan tetabuhan. Upakara (banten) ini dilengkapi
dengan 9 buah canang genten/biasa.

21. Caru. Dalam upakara (banten) ini biasanya


menggunakan satu jenis binatang, dan dapat
juga menggunakan beberapa jenis binatang. Ada
beberapa jenis Caru/Tawur antara lain :

a. Caru ayam brumbun (Caru Pengeruak). Da­


lam upakara (banten) ini menggunakan 1
ekor ayam brumbun (campuran warna merah,
putih, kuning dan hitam). Ayam ini disembelih
(dipotong), lalu diambil bagian-bagian kepala,
kaki, ekor yang bulu-bulunya masih melekat
pada kulitnya yang sering disebut dengan
bayang-bayang. Sedangkan dagingnya diambil
kemudian diolah menjadi :
1) Tiga macam sayur berupa urab, yakni urab
merah (barak), urab putih, dan gegecok
(urab barak yang dicampur dengan daging
serta ati yang dicincang).
2) Tiga jenis sate yakni sate lembat, sate asem
dan sate calon. Adapun mengenai bahan sate
lembat dan calon sama, hanya saja bentuknya
ada memanjang (sate lembat) dan bundar

105
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

(sate calon). Sedangkan sate asem dibuat


dari usus yang direbus lalu ditusuk. Baik
sate maupun sayur-sayuran (urab-uraban)
adalah sebagai simbul jasmani binatang
tersebut, dengan nama “Trinayaka” dan
ucapan aksaranya Ang,Ung,Mang.

Cara mengatur olahan tersebut adalah :


1) Karangan, alasnya menggunakan taledan
yang bersisi (urab barak, urab putih, dan
gegecok), kemudian sate lembat, sate
asem dan sate calon (masing-masing 2
biji/tusuk), garam dan sambel. Nasinya
dialasi wakul, disusuni kojong berisi
sirih lekesan, pinang, tembakau dan
sampiannya sampian nagasari kecil.
2) Kawisan, alasnya menggunakan taledan
yang berisi (urab barak, urab putih,
dan gegecok), kemudian satenya sate
lembat, sate asem dan sate calon (ma­
sing-masing 2 biji/tusuk), garam dan
sambel. Sedangkan nasinya berbentuk
pangkonan, dialasi taledan dan dileng­
kapi dengan canang genten.
3) Bayuhan, alasnya sebuah taledan berisi
urab barak, putih dan gegecok (dibuat
8 tanding sesuai urip dari brumbun),
kemudian satenya (sate lembat, sate
asem dan sate calon) tiap jenis 1 biji/tu­

106
Upakara (Banten) Sor

suk dibuat 8 tanding, nasinya berwarna


brum­bun berbentuk tumpeng, masing-
masing taledan diisi 2 buah tumpeng
di­lengkapi dengan raka-raka sedangkan
sampiannya sampian peras kecil, ini
dibuat 8 tanding.
4) Ketengan, alasnya sebuah taledan berisi
urab barak, urab putih dan gegecok
(dibuat 8 tanding), kemudian satenya
(sate lembat, sate asem dan sate calon)
tiap jenis 1 biji/tusuk, dibuat 8 tanding.
Sedangkan nasinya adalah nasi sasah
berwarna brumbun dibuat 8 tanding.

Selain dari olahan-olahan tersebut di atas,


di­perlukan pula perlengkapan-perleng­kapan
jeja­hit­an berisi nasi brumbun, antara lain :
1) Cau dandan (sejenis jejahitan seperti
kapu-kapu) 8 buah, berisi nasi brumbun
serta rerasmen.
2) Tulung sangkur, 8 buah berisi nasi brum­
bun serta rerasmen.
3) Takep-takep, seperti ceper kecil-kecil
berisi : beras, base tampel, benang dan
uang lalu ditutup dengan jejahitan yang
sama, jumlahnya 8 buah.
4) Kelakat sudamala yang ditutup dengan
daun telujungan dipakai sebagai alas
dari bayang-bayang, diatur sedemikian

107
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

rupa sehingga kepalanya menghadap


kearah ujung daun, sayap dan kakinya
direntangkan. Diatasnya diisi kain ber­
warna warni kemudian disusuni ke­wa­
ngen berisi uang 8 kepeng.
5) Segehan cacahan berwarna brumbun.

Sedangkan perlengkapan-perlengkapan
beru­pa upakara (banten) adalah :
1) Pras, Penyenyeng, Sesayut pengambean,
Sorohan alit, Pengulapan, Pejati, Suci alit
(satu soroh). Segehan agung, Biyakala,
Durmanggala, dan Prayascita.
2) Sanggar pesaksi dengan upakara (banten)
nya Pejati (Pras, Ajuman, Daksina, Tipat
kelanan) dan Suci alit.
4) Sebagai hulu dari bayang-bayang, ditan­
capkan sebuah sanggah cucuk, dipun­
caknya diisi tumpeng brumbun dua buah
dialasi taledan/ceper dilengkapi raka-
raka dan rerasmen, sampiannya sampian
pras kecil dan canang burat wangi. Pada
sanggah cucuk ini digantungi cameng,
yakni empat ruas bambu kecil berisi :
tuak, arak, berem dan air.
4) Sebuah sengkui, dengan jumlah lilitan­
nya 8.
5) Perlengkapan lain adalah : Tulud, Ken­to­
ng­an, Kekeplugan, dan Sapu lidi.

108
Upakara (Banten) Sor

CARA MELETAKKAN UPAKARA (BANTEN)


CARU EKA SATA

Sanggah pesaksi
Gelarsangan di
Utara bawahnya
Tumpeng
selem 4 biji
Wayabya Ersania
Tulud kulkul
Sanggah cucuk. Sengkwi,
karangan, kawisan,
bayuhan, ketengan,
Kauh/Barat segehan cacahan, cau Kangin/
Tumpeng dandan, takep-takepan, Timur
kuning 7 tulung sangkur, don Tumpeng
biji telujung, bayang-bayang, putih 5 biji
kwangen, suci, daksina,
peras di hulu bayang-
bayang
Kelod kauh Neriti
sapu lidi tetimpug
Selatan
Tumpeng
barak/merah
9 biji

Pejati, Bayuan Alit, Tumpeng pitu,


Prayascita, Durmanggala, Biyakala,
Penglukatan
MANGGALA UPACARA

109
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

b. Caru Panca Sata. Caru ini memerlu­ kan 5


ekor ayam (ayam putih tulus), Ayam biying
(merah), ayam putih siyungan, ayam hitam
dan ayam brumbun, yang akan diolah serta
di­
ambil bayang-bayangnya masing-masing.
Ada­pun jenis olahan, upakara (banten) serta
sanggah cucuk untuk setiap ekor ayam sama
de­ngan caru ayam brumbun kecuali banten-
ban­ten seperti : segehan agung, gelar sanga,
biayaka, durmanggala, prayascita, dan banten
untuk pesaksi di sanggar Surya menggunakan
suci laksana.
Mengenai warna nasi, bunga, bendera, uang
pada kewangen, serta kain pada bayang-bayang
disesuaikan dengan warna dan urip paider/
mata angin. Caru Panca Sata ini sering disebut
dengan Caru dasar.

c. Caru Panca Sanak. Caru ini sama dengan


Caru Panca Sata, ditambah dengan asu bang
bung­kem dan bebek bulu sikep. Adapun me­
ngenai olahan-olahannya sama dengan Caru
Panca Sata, sedangkan upakara (bantennya)
menggunakan dewa-dewi, suci dua tanding/
soroh di Sanggar Surya. Untuk urip dari asung
bang bungkem (33) letaknya kelod kauh(barat
daya) dan urip dari bebek bulu sikep (44)
letaknya kelod kangin(tenggara). Disamping

110
Upakara (Banten) Sor

itu juga menggunakan bale pegenian. Caru ini


biasanya dipergunakan pada tingkatan upacara
mengguna Dewa-Dewi.

d. Caru Panca Kelud. Caru ini sama dengan


Caru Panca Sanak, ditambah Kambing dan
Angsa. Adapun mengenai olahan-olahannya
sama dengan Caru Panca Sanak, sedangkan
upakara (bantennya) menggunakan Catur re­
bah di Sangggar Surya. Untuk urip dari kam­
bing (44) letaknya kaja (utara) dan urip dari
angsa (55) letaknya kangin (timur). Disamping
itu menggunakan bale pegenian. Caru ini
biasanya dipergunakan pada tingkatan upacara
menggunakan Catur rebah.

e. Caru Balik Sumpah. Caru ini sama dengan


Caru Panca Kelud, ditambah godel (anak sapi)
dan kucit butuhan. Mengenai olah-olahannya
sama dengan Caru Panca kelud, sedangkan
upakara (bantennya) menggunakan Catur
rebah di Sanggar Surya. Untuk urip godel (anak
sapi) adalah (99) letaknya kelod (selatan),
untuk urip dari kucit butuhan (88) letaknya
madiya (ditengah-tengah). Caru ini biasanya
dipergunakan pada upacara dengan tingkatan
Catur rebah.

111
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

f. Caru /Tawur Labuh Gentuh. Caru ini sama de­


ngan Caru Balik Sumpah, ditambah kidang,
manjangan, ayam ijo alab, sapi dan kambing.
Mengenai olah-olahannya sama dengan Caru
Balik Sumpah, sedangkan upakara (bantennya)
menggunakan Catur muka dengan Sanggar
Surya merong tiga. Untuk urip kidang (55)
letaknya kangin (timur), manjangan (77)
letaknya kauh (barat), ayam ijo alab (21) kaja
kauh (barat laut), sapi (77) letaknya kauh
(barat), kambing (88) kaja (utara). Caru ini
biasanya dipergunakan untuk upacara dengan
tingkatan Catur muka dengan menggunakan
Sanggar Surya meruang tiga.

g. Caru Masasah Agung. Caru ini sama dengan


Caru/Tawur Labuh Gentuh, menggunakan
kerbau 3 (ekor), letaknya di kaja (utara),
madiya (tengah-tengah) dan kelod (selatan)
mengenai uripnya sesuai dengan Caru-caru
yang ada.

h. Caru Rsi Gana. Caru ini menggunakan ting­


katan-tingkatan Kanistama, Madiyama, dan
Utama. Bila tingkatannya Kanistama dasarnya
Caru ayam brumbun, bila tingkatannya me­
nengah dasarnya Caru panca sanak, dan bila
ting­katanya utama dasarnya adalah Caru balik
sumpah.

112
Upakara (Banten) Sor

Uraian mengenai Caru cukup rumit, sehing­


ga perlu pemahaman yang lebih dalam lagi.
Oleh karena itu kami disini hanya memberikan
gambaran-gambaran yang singkat, sebagai penge­
nalan kepada para Pemangku (Pinandita) dan
Sarati Banten.

Menanam Caru Rsi Gana

113
Halaman ini sengaja dikosongkan
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

B A B
9

Penataan
Upakara (Banten)
Dalam Upacara Yajna

22. Mengenai Penataan Upakara (Banten) dalam


upacara yajna, untuk setiap tempat dan daerah
berbeda-beda, karena adanya aturan-aturan atau
dresta, seperti halnya : Purwa dresta, Loka dresta,
Desa dresta dan Sastra dresta. Dalam penataan
upakara (banten) pada buku pedoman ini diambil
sisi kepraktisannya, mengingat pelaksanaan upa­
cara yajna di luar Bali, sering mengambil sisi
kesederhanaan dengan tanpa mengurangi inti
upa­kara/upacaranya. Penataan upakara (banten)
dalam Upacara Yajna dikelompokkan dalam 4
kelompok yakni :

115
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

a. Kelompok upakara (banten) sebagai wujud


Pralingga (Pelinggih atau Pesaksi)
1) Pras, Daksina, Ajuman, Tipat Kelanan..
2) Suci
3) Dewa Dewi.
4) Catur.

b. Kelompok upakara (banten) Penyucian terdiri


dari :
1) Prayascita, Durmanggala dan Byakala.

c. Kelompok upakara (banten) sebagai persem­ba­


han/tataban terdiri dari .
1) Pras.
2) Penyeneng.
3) Pengulapan.
4) Pengambean
5) Dapetan.
6) Guru.
7) Pengapit.
8) Pengiring.
9) Pulagermbal.
11) Sekar Setaman.
12) Bebangkit
13) Sesayut.
10) dll.

116
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

d. Kelompok upakara (banten) untuk Sor berupa


Caru :
1) Segehan
2) Gelar sanga
3) Caru
4) Tawur

23. UPAKARA/UPACARA DEWA YAJNA.


Upacara Dewa Yajna adalah pemujaan serta
persembahan kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa berserta sinar-sinar suciNya
yang disebut Dewa-Dewi. Adanya pemujaan
kehadapan Dewa-Dewi, karena beliau dianggap
mempengaruhi dan mengatur gerak kehidupan di
dunia ini. Sebagaimana halnya matahari menerangi
serta mempengaruhi kehidupan didunia dengan
sinarnya, demikian pula Sanghyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa menerangi serta mengatur
gerak kehidupan di alam semesta dengan sinar-
sinar suciNya. Adapun pelaksanaan Upacara
Dewa Yajna sangat banyak ragamnya diantaranya
: Kajeng Kliwon, Purnama-Tilem, Hari Suci
Keagamaan, Piodalan atau peringatan hari lahir­
nya sebuah Pura, Upacara Mlaspas, Ngenteg
Linggih dan banyak lagi ragamnya. Semua hari-
hari tersebut diyakini sangat baik oleh umat Hin­
du untuk melakukan penyucian lahir bathin,
pemujaan dan menghaturkan persembahan ke

117
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

hadapan Sanghyang Widhi Wasa, para Dewa-


Dewi, Leluhur serta menyampaikan rasa terima
kasih kepada unsur-unsur kekuatan alam yang
dianggap telah membantu kehidupannya.
Penataan Upakara (Banten) Upacara Dewa
Yajna, sangat perlu dipahami mengingat kegiatan
Upacara Dewa Yajna memiliki posisi terpenting dan
tingkat persentase tertinggi dalam pelaksanaannya,
peran dan fungsi seseorang yang berkecimpung
sebagai “ Sang Pemuput, Sang Sarati Banten,
dan SangYajamana” dituntut memahami secara
komprehensip (menyeluruh) terhadap peta dan
struktur bangunan dan tatanan upakara(banten)
yang akan dipersembahkan. Oleh karena itu dalam
Wrhaspati Tattwa dijelaskan bahwa Sanghyang
Widhi hanya dapat dipuja dalam wujud beliau
sebagai Sadasiwa (Saguna Brahman atau im­
manent) dengan stana pelinggih Padmasana. De­
ngan demikian Pura sebagai tempat suci untuk
me­muja Sanghyang Widhi dalam wujud beliau
seba­gai Sadasiwa dengan segala prabawaNya, yang
disebut dengan Sanghyang Samudaya.
Dari struktur bangunan yang ada di Pura, ada
tiga alternatif, yaitu Pura dengan Eka Mandala
yang hanya memiliki Utama Mandala. Pura dengan
Dwi Mandala yang terdiri dari Utama Mandala dan
Madya Mandala. Pura dengan Tri Mandala terdiri
dari Utama Mandala (jeroan), Madya Mandala
(Jaba tengah), dan Nista Mandala (jaba sisi).

118
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

Dari struktur bangunan yang ada di Pura, ada


empat alternatif, yakni ada Pura dengan Eka Lingga,
Tri Lingga, Panca Lingga dan Sapta Lingga. Pura
dengan Eka Lingga hanya terdapat satu bangunan
sakral pokok pelinggih Padmasana. Pura dengan
Tri lingga terdapat satu bangunan sakral pokok
Padmasana, satu bangunan pengiring setara Bale
Pawedan dan satu bangunan sakral pengiring
tidak setara Panglurah. Pura dengan Panca lingga
terdapat satu bangunan sakral pokok Pelinggih
Padmasana, tiga bagunan sakral pengiring setara
Pelinggih Bale Papelik, Bale Pawedan, Taman
Sari, satu bangunan sakral pengiring tidak setara
Panglurah. Pura dengan Sapta lingga terdapat satu
bangunan sakral pokok Pelinggih Padmasana, lima
bangunan sakral pengiring setara Pelinggih Bale
Papelik, Bale Pawedan, Taman Sari, Kori Agung,
Bale Penyimpenan (Gedong), satu bangunan sa­
kral tidak setara Panglurah.
Dari struktur bangunan ini kemudian kita
dapat menata upakara (banten), untuk masing-
masing pelinggih yang ada.
a. Kajeng Kliwon.
1) Padmasana sebagai Surya Sodan/Rayunan/
Ajuman.
2) Pelinggih Pengiring pokok setara : Soda/
Rayunan/Ajuman.
3) Penglurah : Tipat Dampulan..
4) Di Sor atau dibawah : Segehan.

119
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

b. Purnama/Tilem.
1) Padmasana sebagai Surya Pras, Daksina.
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan.
2) Dilapan sebagai persembahan Dapetan dan
Prayascita atau minimal Prayascita.
3) Banten Sor : Segehan.
4) Pelinggih Pengiring Pokok setara cukup
Sodan/Rayunan/Ajuman.
5) Penglurah : Tipat kelanan
6) Diarepan/Didepan Pinandita : Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan.

c. Hari Galungan :
1) Padmasana sebagai Surya Pras, Daksina.
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan.
2) Dilapan sebagai persembahan Pras,
Pengulap, Pengambean, Dapetan (Tumpeng
Pitu) dan Prayascita.
3) Banten Sor : Segehan.
4) Pelinggih Pengiring Pokok setara Pras, Dak­
sina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat ke­ la­
nan atau minimal Sodan/Rayunan/Ajuman.
5) Penglurah : Tipat kelanan.
6) Diarepan/Didepan Pinandita : Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan.

d. Hari Kuningan.
1) Padmasana sebagai Surya Pras, Daksina. Sodan/
Rayunan/Ajuman(kuning), Tipat kelanan.

120
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

2) Dilapan sebagai persembahan Pras, Pengu­


lap, Pengambean, Dapetan (Tumpeng Pitu)
dan Prayascita.
3) Banten Sor : Segehan.
4) Pelinggih Pengiring Pokok setara : Pras,
Dak­sina, Sodan/Rayunan(kuning)/Ajuman,
Ti­pat kelanan atau minimal Sodan/Rayunan/
Ajuman.
5) Penglurah : Tipat kelanan.
6) Diarepan/Didepan Pinandita :Pras, Daksi­
na, Sodan/Rayunan/Ajuman (kuning), Tipat
Ke­lanan.

e. Hari Saraswati.
1) Padmasana sebagai Surya Pras, Daksina.
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan.
2) Dilapan sebagai persembahan Pras, Pengu­
lap, Pengambena, Dapetan (Tumpeng Pitu),
Sayut Saraswati dan Prayascita.
3) Banten Sor : Segehan.
4) Pelinggih Pengiring Pokok setara : Pras,
Dak­ sina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat
ke­la­nan atau minimal Sodan/Rayunan/Aju­
man)
5) Penglurah : Tipat kelanan.
6) Diarepan/Didepan Pinandita :Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan.

121
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

f. Hari Pagerwesi.
1) Padmasana sebagai Surya Pras, Daksina.
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan.
2) Dilapan sebagai persembahan Pras, Pengam­
bena, Dapetan (Tumpeng Pitu) Sayut Pager­
wesi dan Prayascita.
3) Banten Sor : Segehan.
4) Pelinggih Pengiring Pokok setara cukup
Sodan/Rayunan/Ajuman.
5) Penglurah : Tipat kelanan.
6) Diarepan/Didepan Pinandita : Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan.

g. Hari Siwaratri.
1) Padmasana sebagai Surya Pras, Daksina.
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan.
2) Dilapan sebagai persembahan Dalung Pe­
nyiwaratrian (Pras, Pengulapan, Pengam­
bean, Dapetan atau Tumpeng Pitu) dan
Prayascita.
3) Banten Sor : Segehan.
4) Pelinggih Pengiring Pokok setara : Pras,
Dak­sina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat ke­
lanan atau minimal Sodan/Rayunan/Ajuman
atau minimal Dodan/Rayunan/Ajuman.
5) Penglurah : Tipat kelanan.
6) Diarepan/Didepan Pinandita :Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan.

122
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

g. Nyepi/Tahun Baru Saka.


Upacara Pecaruan Eka Sata di Jaba Tengah
dan Bagi Pura yang tidak memiliki Jaba Tengah
di luar Kori Agung/Candi bentar.
1) Sanggah Surya : Pras, Daksina, Sodan/Ra­
yunan/Ajuman, Tipat kelanan, Suci Sari/Alit
dan dibawahnya Gelar Sanga.
2) Sanghyang Pertiwi : Pras, Daksina, Sodan/
Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan, Suci Sari/
Alit.
3) Arepan Sanggah Surya : Pra, Daksina, So­
dan/Rayunan/Ajuman, Pengambean, Pung­
ulapan, Dapetan atau Tumpeng Pitu dan
Bayuan Alit.
4) Diarepan/Didepan Pinandita : Pras, Dak­
sina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kela­
nan disertai dengan Upakara (Banten) Pem­
bersihan (Durmanggala, Prayascita, Peng­
lukatan menggunakan sibeh pepek, payuk,
eteh-eteh pembersihan dan lis penglukatan)
5) Sor : Caru ayam brumbun dengan keleng­
kapan Upakara(Banten) Pras, Daksina, So­
dan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan, Suci
Sari/Alit, Tumpeng pitu alit, Biyakala, Sege­
han, Kewangen, Penjor caru, Bayang-bayang
ayam brumbun, Olahan caru (kawisan,
karangan, ketengan, bayuhan, bakaran),
Nasi wong-wongan, perlengkapan lain se­

123
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

perti : Sampat, tulud, Tetimpug, Kulkul,


Sengkwi.

Setelah selesai Upacara pecaruan dan


pembersihan kepelinggih-pelinggih, dilan­
jut­kan dengan persembahyangan di Mandala
Utama (Jeroan) dengan perlengkapan upakara
(banten) sebagai berikut.
1) Padmasana sebagai Surya Pras, Daksina. So­
dan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan.
2) Dilapan sebagai persembahan Pras, Pengu­
lapan, Pengambena, Dapetan (Tumpeng
Pitu), Gebogan.
3) Banten Sor : Segehan.
4) Pelinggih Pengiring Pokok setara: Pras Dak­
sina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat ke­­ la­
nan atau minimal Sodan/Rayunan/Aju­man.
5) Penglurah : Tipat kelanan.
6) Diarepan/Didepan Pinandita : Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan.

h. Upacara Piodalan menggunakan Suci Sari /


Alit.
Di dahului dengan Upacara Pecaruan Eka
Sata di Jaba Tengah dan Bagi Pura yang tidak
memiliki Jaba Tengah di luar Kori Agung/
Candi Bentar dengan Upakara (Banten) sebagai
berikut :

124
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

1) Sanggah Surya : Pras, Daksina, Sodan/


Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan, Suci Sari/
Alit, dibawahnya Gelar Sanga.
2) Sanghyang Pertiwi : Pras, Daksina, Sodan/
Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan, Suci Sari/
Alit.
3) Arepan Sanggah Surya : Pras, Pengambean,
Pungulapan, Dapetan atau Tumpeng Pitu
dan Bayuan Alit.
4) Diarepan/Didepan Pinandita : Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan, Su­
ci Sari/Alit disertai dengan Upakara (Banten)
Pembersihan (Durmanggala, Prayascita,
Penglukatan menggunakan sibeh pepek,
payuk, eteh-eteh pembersihan dan lis peng­
lukatan)
5) Sor : Caru ayam brumbun dengan keleng­
kapan Upakara (Banten) Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman. Tipat kelanan,
Suci Sari/Alit, Tumpeng pitu, Biyakala, Se­
ge­­
han agung, Kewangen, Penjor caru,
Bayang-bayang ayam brumbun, Olahan
caru (kawisan, karangan, ketengan, bayu­
han, bakaran), Nasi wong-wongan, per­leng­
kapan lain Sampat, tulud, Tetimpug, Kulkul,
Sengkwi.

125
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Setelah selesai Upacara pecaruan dan


pembersihan kepelinggih-pelinggih, dilanjutkan
dengan mendak Ida bale Papelik di Mandala
Utama (Jeroan) dengan perlengkapan upakara
(banten) sebagai berikut.
1) Upakara (Banten) Pemendak Ida Bhatara
di Bale Papelik : Pras, Daksina, Sodan/Ra­
yunan/Ajuman, Tipat kelanan, Suci Sari/
Alit, Prayascita, Byakala, Segehan agung,
Banten Pemendak, Pengiring dan Penuntun
Dewa.
2) Upakara(Banten) di Beji : Pras, Daksina,
So­dan/Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan,
Suci Sari/Alit, sayut Mertha sari, Banten
Pem­ bersihan lengkap dengan eteh-eteh
pesucian.
3) Upakara (Banten) di Sanghyang Surya : Pras,
Daksina, Sodan/Rayunan/Ajuman , Tipat
kelanan, Suci Sari/Alit di tambah dengan
banten pemogpog, dilengkapi dengan ran­
tasan dan Gelar Sanga.
4) Upakara (Banten) di Padmasana dan Pe­
linggih Pengiring sakral setara :Pras, Dak­
sina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kela­
nan, Suci Sari/Alit, lengkap dengan ran­
tasannya, Daksina Pralingga, dan Tirtha
sesuaikan dengan Pelinggih masing-masing.
5) Upakara (Banten) di Lapan/Ajeng Padma­
sana : Pras, Daksina, Sodan/Rayunan/Aju­

126
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

man, Tipat kelanan, Suci Sari/Alit, Tumpeng


11 (Pengulap, Pangambean, Dapetan,
Pe­nyeneng, Guru, Pengiring, Pengapit,
Jerimpen (2), Gebogan (2), dilengkapi
dengan Banten Guru Piduka, Sayut Mertha
Dewa, Sida Karya, Sida Purna, Pasupati.
6) Upakara (Banten) di Pelinggih sakral tidak
setara (Penglurah, Bale Kulkul, Apit lawang
(2), Bale perantenan, Bale piyasan, Bale
Gong, Bale Penyimpenan : Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan.
7) Diarepan/Didepan Pinandita : Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan,
Suci Sari/Alit, Rantasan.
8) Upakara (Banten) Penyineban : Pras, Dak­
sina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kela­
nan, dan Suci Sari/Alit.

i. Upacara Piodalan menggunakan Suci laksana.


Di dahului dengan Upacara Pecaruan
Pan­ca Sata di Jaba Tengah dan Bagi Pura yang
tidak memiliki Jaba Tengah di luar Kori Agung/
Candi Bentar dengan Upakara (Banten) sebagai
berikut :
1) Sanggah Surya : Pras, Daksina, Sodan/Ra­yu­
nan/Ajuman, Tipat kelanan, Suci Lak­sana,
dibawah Sanggah Surya Gelar Sanga.
2) Sanghyang Pertiwi : Pras, Daksina, Sodan/Ra­
yu­nan/Ajuman, Tipat Kelanan, Suci Laksana.

127
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

3) Arepan Sanggah Surya : Pra, Daksina, So­


dan/Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan, Suci
Laksana, Pengambean, Pungulapan, Dapet­
an atau Tumpeng Pitu dan Bayuan Alit.
4) Diarepan/Didepan Pinandita : Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan,
Suci Laksana disertai dengan Upakara
(Ban­ten) Pembersihan (Durmanggala, Pra­
yas­cita, Penglukatan menggunakan sibeh
pepek, payuk, eteh-eteh pembersihan dan
lis penglukatan)
5) Sor : Caru Panca sata dengan kelengkapan
Upakara (Banten) Pras, Daksina, Sodan/
Rayunan/Ajuman. Tipat kelanan, Suci Lak­
sana ditengah Caru ayam brumbun se­dang­
kan dimasing-masing Caru (ayam putih,
merah, kuning, hitam) cukup dengan Pras,
Daksina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat
kelanan, Tumpeng pitu, Bayuan alit, Bi­ya­
kala, Segehan agung, Kewangen, Penjor
caru, Bayang-bayang ayam sesuai warna),
Olahan caru untuk masing-masing ayam
(kawisan, karangan, ketengan, bayuhan,
ba­karan), Nasi wong-wongan (sesuaikan
dengan warna masing-masing ayam), per­
lengkapan lain Sampat, tulud, Tetimpug,
Kulkul, Sengkwi.
Setelah selesai Upacara pecaruan dan
pembersihan kepelinggih-pelinggih, di­

128
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

lanjutkan dengan mendak Ida bale Papelik


di Mandala Utama (Jeroan) dengan per­
lengkapan upakara (banten) sebagai berikut.
6) Upakara (Banten) Pemendak Ida Bhatara di
Bale Papelik : Pras, Daksina, Sodan/Rayunan/
Ajuman, Tipat kelanan, Suci Laksana,
Prayascita, Byakala, Segehan agung, Banten
Pemendak, Pengiring dan Penuntun Dewa.
7) Upakara(Banten) di Beji : Pras, Daksina,
So­dan/Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan,
Suci Laksana, sayut Mertha sari, Banten
Pe­mersihan lengkap dengan eteh-eteh
pesucian.
8) Upakara (Banten) di Sanghyang Surya :
Pras, Daksina, Sodan/Rayunan/Ajuman,
Ti­pat kelanan, Suci Laksana (2 Soroh), (1
Soroh ke Sanghyang Surya dan 1 Soroh lagi
ke Sanghyang Giripati) di tambah dengan
banten pemogpog, dilengkapi dengan ran­
tasan.
9) Upakara (Banten) di Padmasana dan Pe­
linggih Pengiring sakral setara : Pras, Dak­­
sina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat ke­
lanan, Suci Laksana, lengkap dengan ran­
tasannya, Daksina Pralingga, dan Tirtha
sesuaikan dengan Pelinggih masing-masing.
10)
Upakara (Banten) di Lapan/Ajeng Pad­
masana : Pras, Daksina, Sodan/Rayunan/Aju­
man, Tipat kelanan, Suci Laksana, Tumpeng

129
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

21 (Pengulap, Pangambean, Dapetan, Pe­


nye­neng, Guru, Pengiring, Pengapit, Udel,
Kurenan, Ancak, Bingin, Pancoran, Tagog,
Pulagembal, Sekar setaman, Jerimpen (2),
Gebogan (2), dilengkapi dengan Banten
Guru Piduka, Sayut Mertha Dewa, Sida
Karya, Sida Purna, Sayut Pasupati. (karena
dalam tingkatan Upacara ini Senjata Nawa
Sanga dipasang/medal)
11) Upakara (Banten) di Pelinggih sakral tidak
setara (Penglurah, Bale Kulkul, Apit lawang
(2), Bale perantenan, Bale piyasan : Pras,
Daksina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat ke­
lanan, Suci Sari/Alit.
12) Diarepan/Didepan Pandita dan atau Pandita:
Pras, Daksina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Ti­
pat Kelanan, Suci Laksana, ditambah de­
ngan Sayut Dharma Wiku.
13) Upakara (Banten) Penyineban: Pras, Dak­
sina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelan­
an, dan Suci Laksana.

Dalam setiap akan melaksanaan Upacara


Piodalan maka terlebih dahulu menghatur­
kan piuning dengan Upakara (Banten) meng­
gunakan :
1) Padmasana sebagai Surya Pras, Daksina.
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan.

130
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

2) Dilapan sebagai persembahan Pras, Pe­


ngam­bena, Dapetan dan Prayascita.
3) Banten Sor : Segehan.
4) Pelinggih Pengiring Pokok setara cukup
Sodan/Rayunan/Ajuman.
5) Penglurah : Tipat kelanan.
6) Diarepan/Didepan Pinandita : Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan.

Dilanjutkan kemudian pada H-3, meng­


haturkan upakara (banten) Neteg karya dan
Ngingsah.
1) Padmasana sebagai Surya Pras, Daksina.
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan.
2) Dilapan sebagai persembahan Pras, Pengam­
bena, Dapetan, Beras, Bumbu dapur, Minyak
goreng, dan lain-lain.
3) Banten Sor : Segehan.
4) Pelinggih Pengiring Pokok setara cukup
Sodan/Rayunan/Ajuman.
5) Penglurah : Tipat kelanan.
6) Diarepan/Didepan Pinandita : Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan.
8) Dilanjutkan dengan memasang kelangsah
pada pojok-pojok pagar Pura, Memasang
Sanggah bilang bucu (setiap sudut) dan mu­
lai memasak nasi untuk upakara (banten).

131
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

j. Upacara Melaspas Bangunan (Tempat suci


dan Perumahan).
Upacara Ini didahului dengan Upacara
Nyikut Karang dan Ngeruak Karang. Dalam
pelaksanaan Ngeruak Karang dengan meng­
gunakan Caru Pengeruak Karang, Nyikut
karang dan Mendem Dasar, Melaspas yang
diawali dengan Upacara Caru Pemelaspasan
(Caru Eka sata atau Caru Pancasata), Memakuh
dilengkapi dengan Caru pemakuhan (ayam
putih), Mengurip-urip dengan dilengkapi Ulap-
ulap bangunan dan orti. Adapun mengenai
Upakara (Banten) yang diperlukan dalam pe­
laksanaan Upacaranya antara lain :
1) Upakara (Banten) Nyikut karang : Pras,
Dak­ sina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat
kelanan, minimal Canang Sari (5) buah dan
Segehan Agung. Bila menggunakan Pras,
Daksina, So­ dan/Rayunan/Ajuman, Tipat
kelanan di­tem­patkan ditengah sedangkan
di pojok-po­jok menggunakan canang sari,
bila hanya meng­ gunakan canang sari (5)
buah, maka pe­nem­patannya ditengah dan
dipojok-pojok serta segehan ditempatkan
ditengah-tengah karang yang akan di ukur/
di sikut.
2) Upakara (Banten) Ngeruak karang : Upakara
(Banten) ke Surya Pras, Daksina,Sodan/Ra­
yu­nan/Ajuman, Tipat kelanan, dilengkapi

132
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

dengan Caru Ngeruak karang (ayam brum­


bun) lihat tata upakara (banten) caru eka
sata dengan tetandingan olahan carunya
hanya diambil tetandingan ketengannya
saja sesuaikan dengan urip 33 (Timur 5,
Selatan 9, Barat 7, Utara 4 dan ditengah
8) ditambahkan satu tandingan pemopog
terdiri dari urab barak, putih, gegecok dan
untuk masing-masing satenya 3 tusuk (sate
lembat, sate calon, sate asem).
3) Upakara (Banten) Nasarin atau Mendem
Dasar : Pras, Daksina, Sodan/Rayunan/Aju­
man, Tipat Kelanan ditambah dengan Pras
Pemendeman (Tumpeng merah), dengan
kelengkapannya 2 buah Bata merah. 1
Bata Merah di bungkus dengan kain putih
bergambarkan Padma bertuliskan Dasa
Aksara dan diikat dengan benang tridatu.
1 Batah Merah lagi dibungkus dengan
kain putih bergambarkan bedawangnala
de­ngan aksara Mang dan diikat dengan
benang Tridatu masing-masing dilengkapi
kwangen, Bungkak kelapa gading yang
dibungkus kain putih bertuliskan aksara
Ongkara, kemudian dimasukkan sebuah
kwangen kedalam bungkak kelapa gading
dengan uang kepeng 11.
4) Upakara (Banten) Pemelaspas : di dahului
dengan Upacara Caru Pemelaspas dapat

133
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

menggunakan Caru Eka sata atau Caru


Panca sata, menggunakan Sanggah Surya
(lihat upakara (banten) Caru Eka sata dan
Pancasata).
5) Upakara (Banten) Pemakuhan dan Pengurip-
urip : Bila yang diplaspas adalah bangunan
suci, alangkah baiknya dilengkapi dengan
Caru pemakuhan dengan menggunakan
ayam putih, mengenai tetandingannya se­
suai dengan urip ayam putih (5) dengan
tidak menggunakan Sanggah Caru. Keleng­
kapan Upakara (Banten) Pemakuhan: Pras,
Daaksina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat
ke­lanan, dan sarana pengurip-urip: kapur,
arang, kunyit, bubuk cendana, dengan
sarana pemakuh palu dan pahat. Bila tidak
menggunakan Caru pemakuhan, cukup
menggunakan upakara (banten) Pras, Dak­
sina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan
dan kelengkapan pemakuhan (kapur, arang,
kunyit, bubuk cendana) dengan sarana
pemakuhan palu dan pahat.
6) Upakara (Banten) Tataban : Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan, Pe­
ngulapan, Pengambean, Dapetan, Pe­ nye­
neng, Bayuan Alit.
7) Upakara (Banten) Sor : Segehan cacahan.

134
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

24. UPAKARA/UPACARA PITRA YAJNA


Uttpati, Sthiti dan Pralina (lahir, hidup
dan mati) merupakan hukum alam (Rta) yaitu
suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan
dan dipungkiri oleh semua mahkluk ciptaanNya
termasuk manusia. Lahir diibaratkan sebagai ke­
datangan, hidup sebagai pertumbuhan dan per­
kembangan sedangkan mati diibaratkan sebagai
kepergian, yaitu kepergian Atman meninggalkan
jasadnya. Atma di topang oleh karmanya se­la­ma
hidup mengikuti proses perjalanan me­nuju sum­
bernya, sedangkan jasadnya berupa jena­sah harus
dikembalikan kepada sumber pem­ bentukannya
yaitu Panca Maha Bhuta (Pertiwi, Apah, Teja,
Bayu, dan Akasa). Weda me­­ngajarkan bah­wa pro­
ses tercepat untuk itu adalah dengan perabuan
yang disebut juga dengan An­tyesti Sam­kara atau
Atiwa-tiwa dan yang lebih populer disebut dengan
Ngaben dalam Upacara Pitra Yajna.
Situasi dan kondisi lingkungan yang dihadapi
oleh umat Hindu selalu berkembang dan berbeda-
beda pada masing-masing tempat, waktu, situasi
dan kondisi (Desa, Kala dan Patra). Upacara Pitra
Yajna yang tujuannya untuk menghadapi situasi dan
kondisi lingkungan dengan tidak meninggalkan
nilai-nilai sebagaimana tersirat dalam ajaran Weda.
Melihat beragamnya acuan yang ada baik berupa

135
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

buku, lontar serta narasumber dalam rangka


merawat jenasah/sawa seseorang cukup membuat
kita harus berpikir ulang terhadap acuan mana
yang harus kita ikuti dan laksanakan. Acuan dalam
buku ini adalah berdasarkan perpaduan lontar,
literatur, nara sumber, dan kesepakatan umat yang
dirangkum dalam pedoman ini serta mendapatkan
tuntunan dari Ida Padanda Gde Putra Sidemen
(Gria Cileduk).

Adapun dasar pedoman upacara Pitra Yajna


ini disusun berdasarkan :
a. Pustaka Lontar Pratekaning Wong Mati, me­
nge­nai Upacara dan Tata Cara merawat Jenasah.
b. Pustaka Lontar Janma Prawrti, tentang pelak­
sanaan upacara Nitip atau Mekingsan di Geni
dan di Pertiwi.
c. Pustaka Lontar Empu Lutuk Aben, mengenai
upakara Sawa Wedana.
d. Pustaka Lontar Sastra Kepatian, mengenai
Surating Wong Mati.

Dalam pelaksanaan Upacara Pitra Yajna


Nitip atau Mekingsan di Geni dan Pertiwi ini juga
diperhatikan satu ketentuan apabila seseorang
meningal karena Salah Pati dan Ngulah Pati, se­
belum pelaksanaan upacaranya harus dilakukan
upa­cara Penebusan terhadap atman yang mening­

136
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

gal, baru kemudian dilaksanakan upacara Pitra


Yajna. Mengenai hari-hari yang patut untuk di­
hindari dalam pelaksanaan Pitra Yajna antara
lain : Purnama –Tilem, Pasah, Semut sedulur,
Kala gotongan, Taliwangke, dan Pawedalan Pu­
ra di wilayah tempat orang yang meninggal.
Pada hari-hari tersebut diatas, diusahakan tidak
melaksanakan Upacara Nitip/Mekingsan di Geni
atau Pertiwi maupun Ngelungah, tetapi ini se­
mua bisa saja dilaksanakan dengan cara nyilib/
sembunyi, kemudian setelah ada hari yang baik,
baru dilaksanakan upacaranya.
Beberapa Pengertian yang perlu untuk diketa­
hui mengenai pelaksanaan Pitra Yajna;
a. Ngeringkes, adalah upacara merawat jenasah,
mulai dari tata cara memandikan, menggu­lung,
memberikan perlengkapannya disebut juga
Atiwa-tiwa, sampai jenasah atau Sawa tersebut
diperabukan (Agni Pralina) atau di kuburkan
(Mertiwi).
b. Ngaben, adalah upacara penyucian dan pe­
leburan jenasah (sawa) dari unsur Panca Maha
Bhuta (Bhuana Ali) untuk dikembalikan ke
unsur Panca Maha Bhuta (Bhuana Agung).
Pada upacara ini akan terjadi pemisahan
antara Purusa dan Prakerti dari orang yang
meninggal atau yang diaben untuk dikem­
balikan ke sumbernya masing-masing. Proses

137
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

pengembalian ini bisa ditempuh melalui Air


(Toya Pranawa), Tanah (Swasta Bambang)
dan Api (Agni). Dipilihnya api dalam artian
guna mempercepat proses pengembalian
unsur-unsur Bhuana Alit ke Bhuana Agung.
Jika jenasah (sawa)nya sudah tidak ada lagi
karena telah diperabukan (mekingsan di Geni),
maka pengabenannya disebut Kusa Pranawa
sedangkan yang sudah dipendem (dikubur)
disebut Supta Pranawa.
c. Nyuwasta, adalah suatu upacara pengabenan
jika jenasah (sawa) orang meninggal dunia itu
tidak diketemukan karena hilang atau tidak
dikenal identitasnya karena hancur dan ti­
dak diketahui secara pasti kuburannnya atau
karena sesuatu kesulitan untuk mengangkat
atau memperoleh tulang kerangkannya.
d. Ngelungah, adalah suatu upacara pengabenan
jika jenasah (sawa) yang meninggal itu beru­
pa janin yang sudah sempurna atau anak-
anak yang belum tanggal gigi (balita). Penga­
benannya tidak perlu diperabukan tetapi cu­
kup dikuburkan. Kemudian kuburannya di
rapuh atau diratakan, menggunakan tirtha
Pengerapuh.
e. Keruron, adalah upacara kematian dari kegu­
guran kandungan yang masih dalam bentuk
darah (gumpalan darah) yang belum berben­
tuk manusia.

138
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

Beberapa perlengkapan yang perlu dipersiap­


kan dalam prosesi Ngeringkes.

Perlengkapan memandikan jenazah.


a. Perlengkapan memandikan jenazah.
1) Tempat Memandikan (Pepaga)
2) Peralatan Memandikan.
a) Daun pisang kepok untuk alas meman­
dikan 2 lbr.
b) Kayu /bambu/carang dadap untuk tiang
leluur 4 btg.
c) Tempat air biasa (ember dan gayung)
1bh
d) Tempat air kembang/kumkuman (ember
dan gayung) 1 bh.
e) Tempat air cendana.
f) Sabun mandi.
g) Handuk.
h) Sisir.
i) Minyak rambut.
j) Pisau memotong/mengerat kuku.
k) Bahan menggosok gigi (sisig)
l) Bahan pencuci rambut (kramas)
m) Bahan pembalur atau lulur (boreh)
n) Telor ayam mentah (untuk itik-itik)

b. Perlengkapan menggulung jenazah.


1) Kain putih untuk destra bagi pria uk. 110 x
110 Cm.

139
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

2) Kain putih untuk kampuh/selempot uk. 110


x 150 Cm
3) Kain putih untuk kamben uk. 110 x 200 Cm
4) Kain putih untuk kain dalam bagi wanita
uk. 110 x 150 Cm
5) Kain putih untuk penutup muka dan kain
hitam untuk menutup kelamin, panjang
dan lebarnya satu jengkal uk. 50 x 50 Cm.
6) Kain putih penggulung jenazah uk. 110
x 500 Cm (sesuaikan dengan besar badan
ybs.)
7) Kain putih untuk rurub kajang sesuai de­
ngan ketentuan/sima dan bertuliskan
aksara: Panca aksara, Dwi aksara, minimal
Eka aksara uk.150 x 250 Cm.
8) Kain putih untuk dasar kajang uk. 110 x
200 Cm, berisi gambar Padma.
9) Kain putih untuk langit-langit (leluur) uk.
110 x 150 Cm bertuliskan aksara “Ongkara
Adumuka”.
8) Kain putih untuk tali pengikat jenazah uk.
25 x 200 Cm.

c. Perlengkapan simbolis pada Sawa;


1) Daun intaran (2 lbr) untuk di alis, dimana
kedua ujung daunnya di hadapkan kearah
luar, ke samping kanan dan kiri.
2) Bunga teleng (2 bh) untuk dipasang di
lelata/antara kedua alis.

140
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

3) Pecahan cermin (2 bh) pada kelopak mata


kanan dan kiri.
4) Pusuh bunga menuh (2 bh) ditaruh dikedua
lobang hidung.
5) Waja/Baja (1 bh) untuk di gigi.

d. Perlengkapan lainnya.
1) Peti Jenazah (Bendusa).
2) Usungan/Kereta jenazah.
3) Bantal kecil.
4) Obat-0batan dan perban (jika jenazah luka).
5) Air Cendana.

Memandikan jenazah.
a. Memandikan jenazah dipimpin oleh Pinan­
dita (Pemangku), dibantu petugas yang me­
man­ dikan jenazah disesuaikan dengan jenis
kelaminnya (pria atau wanita).
b. Jenazah diusung dan ditempatkan di bale-
bale (pepage) dalam posisi terbaring. Salah
satu keluarganya menutup muka dan kelamin
jenazah dengan kain putih atau hitam yang
telah dipersiapkan.
c. Pada waktu memandikan jenazah, Rohaniwan
(Pemangku) selaku pemimpin upacara, me­
me­gang sekuntum bunga (sikap tangan Dewa
Pratistha) mengucapkan mantra :

141
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

OM A SUCIR WA SUCIR WAPI, SARWA KAMA


GATO PIWA
CINTAYED DEWAM ISANAM SABAHYA
BHAYANTARA SUCIH

Artinya :
Om Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha Kuasa
membersihkan nafsu/keinginan kotor menjadi
suci, dengan memusatkan pikiran kepada-Mu.
Ya Tuhan, jadikanlah ia (almarhum) suci lahir
bathin.
d. Kemudian jenazah dimandikan dari bagian
kepala sampai ke kaki dengan menggunakan
air bersih/toya anyar dan menggunakan sabun
mandi.
e. Setelah dibersihkan dengan air bersih atau
toya anyar kembali, kemudian dilaksanakan
pengeresikan yaitu sisig untuk gigi, keramas
untuk rambut. Selanjutnya di balur dengan
lulur ketubuh jenazah.
f. Kuku jari tangan dan kuku kaki jenazah diber­
sihkan (dikerik) dengan menggunakan pisau
pemotong kuku yang telah dipersiapkan.
g. Jenazah dibersihkan kembali dengan meng­
gunakan air bersih atau toya anyar, kemudian
disiram dengan air kembang (kumkuman).
Sentuhkan telor ayam mentah pada jenazah
mulai dari arah kepala sampai ke kaki.

142
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

h. Jenazah kemudian diseka dengan handuk ber­


sih.
i. Apabila pada jenazah terdapat luka supaya di­
obati dan diperban.
j. Selama memandikan jenazah sedapat mungkin
di iringi lagu-lagu kidung/kekawin untuk Pitra
Yajna.

Mengenakan Pakaian pada jenazah.


a. Jenazah laki-laki :
1) Diatas bale-bale yang sudah dialasi tikar dan
kain putih penggulung jenazah diletakkan
berturut-turut : Kain umpal, kampuh/sa­
put dan kamben atau pakaian tradisional.
Kemudian diatur sedemikian rupa agar Pitra
(almarhum) seperti berpakaian lengkap
untuk sembahyang. Untuk mengenakan
kam­ ben bagi pria, ditampih atau dilipat
kearah kanan, yakni tepi kain kiri dibawah
tepi kain sebelah kanan.
2) Mukanya dirawat rambut disisir rapih
diberi minyak rambut dan pada kepalanya
dikenakan destar.

b. Jenazah Wanita :
1) Diatas bale-bale yang sudah dialasi tikar dan
kain putih penggulung jenazah diletakkan
berturut-turut : Kain umpal, kampuh/saput,
kain kamben atau pakaian tradisional dan

143
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

kain dalam (tapih). Untuk mengenakan


kam­ben bagi wanita, di tampih kekiri, tepi
kain kanan dibawah tepi kain sebelah kiri.
2) Bagian muka (diberi bedak), rambut disisir
rapih kemudian disanggul.

Mengatur sikap tangan dan kaki.


a. Sikap tangan.
1) Kedua tangan diatur sedemikian rupa se­
hingga kedua telapak tangan menutup ulu
hati.
2) Kedua ibu jari tangan diikat sedemikian
rupa menggunakan benang (meitik-itik)
agar tidak bergeser.
b. Sikap kaki.
1) Kedua kaki diatur sedemikian rupa agar
lurus dan kedua selapak kaki sejajar.
2) Kedua ibu jari kaki diikat dengan benang
(meitik-itik) agar tidak bergeser.

Memasang kewangen.
Setelah mengatur sikap tangan dan kaki
dilanjutkan dengan menempatkan kewangen
pada jenazah sebanyak 7 buah dengan ketentuan
sebagai berikut :
1) Satu dibagian kepala (dahi) menghadap ke arah
atas
2) Satu dibagian dada (diantara kedua susu)
menghadap kearah keatas.

144
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

3) Satu di ulu hati menghadap kearah keatas.


4) Dua disiku (satu disiku kanan dan satu disiku
kiri) menghadap kearah atas.
5) Dua dilutut (satu dilutut kanan dan satu dilutut
kiri semuanya menghadap kearah atas).

Upakara (Banten) dalam Upacara Pitra Yajna.


a. Upakara/Banten untuk memandikan/meng­gu­
lung jenazah dirumah duka :
1) Mohon Tirtha di Sanggah Surya dan
Sanggah Kemulan : Pras, Ajuman, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan dan
segehan.
2) Upakara (Banten) arepan Pemangku : Pras,
Ajuman, Daksina, Sodan/Rayunan/Ajuman,
Tipat kelanan, Tirtha Pembersihan dan
Tirtha Penglukatan.
3) Saji Tarpana untuk Sawa : Pras, Ajuman,
Dak­sina, Canang sari, Bubur Pirata, Pun­
jungan putih kuning, Nasi angkeb, rantasan,
cecepan/carat, Beras catur.
4) Upakara (Banten) teben : Segehan Manca
warna.
5) Kelengkapan lain : Kwangen, Sekar ura.

b. Upakara/Banten untuk memakamkan atau


Memperabukan.
1) Pras, Ajuman, Daksina, Sodan/Rayunan/
Aju­man, Tipat kelanan, dan Segehan (Surya,

145
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Prajapati, Sedehan setra dan untuk Mem­


perabukan ke Sanghyang Agni)
2) Banten arepan Pemangku : Pras, Ajuman,
Daksina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat ke­
lanan. Tirtha Pembersihan,, Tirtha Peng­
lukatan, Tirtha Prajapati dan Tirtha Pekuluh
dari Pura yang diemong, Tirtha Kawitan
serta Prayascita.
3) Daksina Pemendem 1 buah (bila jenasah di
makamkan atau dikubur)
4) Banten Bangbang (liang lahat): Pras, Dak­si­
na, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat ke­la­nan.
(bila jenasah di makamkan atau dikubur)

c. Upakara/Banten untuk Ngereka tulang dan


Nganyut :
1) Upakara (Banten) untuk Ngreka : Pras, Aju­
man, Daksina, Sodan/Rayunan/Ajuman,
Tipat kelanan dan Segehan.
2) Banten Arepan Pemangku : Tirtha Pember­
sihan, Tirtha Panglukatan, Tirtha Prajapati
dan Tirtha Pekuluh dari Pura yang di emong
serta Tirtha Kawitan dan Toya Bungkak
nyuh gading.
3) Kwangen untuk pengereka tulang 7 buah.
4) Banten Teben : Segehan Manca warna.
5) Upakara (Banten) untuk Ngayut : Pras,
Dak­sina, Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat
kela­­nan, dan Tirtha Pura Segara.

146
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

6) Upakara (Banten) Prayascita untuk penyu­


cian diri umat yang hadir.

d, Banten untuk Upacara Ngelungah.


1) Upakara (Banten) ke Surya, ke Dalem atau
Prajapati, Sedahan Setra. : Pras, Daksina,
Sodan/Ajuman, Tipat kelanan.
2) Upakara (Banten) Nunas Tirtha Penge­ ra­
puhan, Ajuman Putih Kuning, Bubur Sum­
sum 5 takir, Tompeng Poleng meplekir berisi
kewangen 1 buah, Padang Lepas 5 batang,
muncuk ambengan 5 muncuk, Pa­yuk Anyar
1 buah medaging toya dan seet mingmang 1
buah.
3) Upakara (Banten) ke Bambang Rare : Pras,
Dak­sina, Sodan/Ajuman, Tipat kelanan,
Ca­nang Sari, Pengulapan, Kelungah Nyuh
Gading mesurat ONG KARA berisi Rwaning
Waringin 3 muncuk/pucuk dengan seet mi­
mang 6 katih/buah dijadikan satu meng­
gunakan tali benang cemeng tiga putaran
atau ileh.
4) Upakara (Banten) untuk Sawa (Pitra Rare):
Pras, Daksina, Sodan/Ajuman, Tipat kela­
nan, Canang Sari, Punjung Putih Kuning,
Banten Bajang, Bangsah Pinang, Kereb Sari
dan Bunga Pudak.
5) Upakara (Banten) untuk arepan Pinandita/
Pemangku : Pras, Daksina, Sodan/Ajuman,

147
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Tipat Kelanan, Canang sari, Tirtha Peng­


lukatan, Tirtha Pabersihan, Tirtha Prajapati,
Tirha Pura Penyungsungan (alm), Tirtha
Kemulan/Merajan (alm), dan Upakara (Ban­
ten) Prayascita;

e. Banten Keruron.
Keruron adalah kematian akibat leguguran
dari suatu kehamilan yang masih berbentuk
darah dan belum berbentuk janin, Upakaranya
(Bantennya) hanya cukup Prayascita sebagai
simbol penyucian diri terutama ibu Sang Bayi
dan keluarga.

f. Banten Pembersihan serta Penyucian di


rumah duka.
1) Jika Sawa (Jenasah) berada di Rumah atau
sem­pat dibawa kerumah walaupun me­ning­
gal dirumah sakit.
a) Banten Pejati ke Sanggar Surya dan
Sanggah Kemulan (Bhatara Hyang Guru)
b) Caru Eka Sata (Ayam Brumbun) dan run­
tutannya menggunakan Sanggar Cucuk.
c) Prayascita , Durmanggala dan Byakala,
serta Segehan.
2) Jika Sawa (Jenasah) tidak ada dirumah dise­
lesaikan diluar rumah (Rumah Duka atau
Rumah Sakit) cukup menggunakan upakara
(banten) Prayascita.

148
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

25. UPAKARA/UPACARA MANUSA YAJNA.


Upacara Manusa Yajna adalah korban
suci yang bertujuan untuk memeliharaan, dan
membersihkan atau menyucikan secara spiritual
terhadap seseorang sejak mulai terbentuknya
janin dalam kandungan sampai akhir hidupnya.
Pembersihan secara spiritual yang dimaksud agar
manusia lebih memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
Dalam artian secara filosofis bahwa inti sari dalam
upacara manusa yajna itu adalah memanusiakan
manusia agar jangan sampai ia kehilangan ke­
manusiaannya. Bila manusia hidup tanpa kema­
nusiaan akibatnya ia akan hidup bagaikan kum­
pulan srigala yang setiap kali akan saling mener­
kam satu sama lainnya. Ciri manusia mengenal
kemanusiaannya justru saling menjaga harkat
dan martabatnya sebagai manusia. Jadi bila ada
manusia yang tidak memiliki kebijaksanaan
be­lumlah pantas ia disebut manusia yang se­
sungguhnya. Dalam rangka memanusiakan ma­
nusia itulah upacara yajna dilaksanakan.

a. Upakara (Banten) Pawidhi Widana


1) Upakara/Banten yang kecil.
a) Pras, Ajuman, Daksina, Sodan/Rayunan/
Ajuman, Tipat kelanan (Surya, Sanggar
Kemulan, dan Sang Pemuput)

149
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

b) Banten penjemputan di depan rumah


calon suami : Segehan cacahan warna
lima, api takep, tetabuhan tuak, arak,
berem dan air.
c) Banten tataban Sang Wiwaha : Tumpeng
pitu, Biyakala, Durmanggal, Prayascita,
Banten pedengen-dengen (pekala-ka­
laan) di tambah Tebasan Nganten, dan
Ban­ten Pejati (Jauman).
d) Banten Sor : Segehan.

2) Upakara/Banten yang besar.


a) Upakara (Banten) Pras, Daksina, Sodan/
Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan, Suci
Sar/Alit (Surya, Sanggar Kemulan, Sang
Pemuput)
b) Banten penjemputan di depan rumah
calon suami : sama dengan di atas dileng­
kapi dengan caru petemon.
b) Banten tataban Sang Wiwaha : Tumpeng
21 (Selikur), Banten Byakala Banten Dur­
manggala, Prayascita, banten pedengen-
dengen (pekala-kalaan), Pula gembal,
Sekar setaman., ditambah dengan Te­
basan Nganten, Jati Semara, Pengenteg
Semara, Sesayut Dirgayusa, Bagia setata,
Tulus ayu, Pepek tuwuh. Serta Banten
Pejati (Jauman).

150
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

c) Kelengkapan lainnya : Tikah dadakan,


Kala Sepetan, Tegen-tegenan, Sok pada­
gangan, Penetegan, Papegatan, Tatimpug.
d) Upakara (Banten) Sor : Segehan agung.

b. Upakara/Banten megedong-gedongan.
1) Upakara/Banten terkecil.
a) Upakara (Banten) Pras, Daksina, Sodan/
Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan. (Surya,
Sanggar Kemulan, Sang Pemuput)
b) Upakara (Banten) tataban yang hamil:
Biyakala, Prayascita, Tumpeng Pitu, Ban­
ten Pegedong-gedongan lengkap dengan
rujak-rujakan, Sesayut pemahayu tuwuh
ditambah Priuk tanah yang di isi air
pancuran dengan bunga 11 jenis.
c) Kelengkapan lainnya: Tongkat bum­
bungan, Ceraken, Benang hitam, Carang
kayu dadap 2 buah, Gelanggang (bambu
runcing), Daun kumbang berisi air dan
ikan kali (tukad).
d) Segehan.

2) Upakara/Banten besar.
a) Upakara (Banten) Pras, Daksina, Sodan/
Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan, Suci
Sari/Alit (Surya, Kemulan dan Sang
Pemuput)

151
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

b) Upakara (Banten) tataban yang hamil:


Biyakala, Prayascita, Tumpeng 21 (Se­
li­
kur) Mapulagembal, Sekar Seta­ man
disertai sarana penglukatan meng­ gu­
nakan lis gede, Sesayut Pemahayu Tu­
wuh, Sesayut Tulus Dadi ditambah Priuk
tanah yang di isi air pancuran de­ngan
bunga 11 jenis.
c) Kelengkapan lainnya: Tongkat bum­ bu­
ngan, Ceraken, Benang hitam, Carang
kayu dadap 2 buah, Gelanggang (bambu
runcing), Daun kumbang berisi air dan
ikan kali (tukad).
d) Upakara (Banten) Sor : Segehan agung.
Dan dilengkapi dengan Upakara (Banten)
Caru di tempat permadian.

c. Upakara (Banten) Bayi lahir (Mapag rare).


1) Upakara (Banten) kecil.
a) Canang Sari (Surya, Kemulan, Pertiwi)
b) Upakara(Banten) di Ari-ari Dapetan,
Canang Sari dengan kelengkapan Kelapa
yang dipecah jadi dua atau dapat juga
menggunakan Payuk Pere/Periuk Tanah
(Kendi air) yang dibungkus kain putih,
didalam Kelapa atau Payuk Pere/Periuk
Tanah (Kendi air) dimasukkan Ari-ari,
Base lekesan, dilengkapi secarik kertas
bertuliskan aksara suci.

152
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

c) Upakara (Banten) Sor : Segehan nasi


kepel, 4 kepel dijadikan satu tempat,
ikan­nya bawang, jahe dan garam
d) Diatas timbunan/gundukan tanah ditin­
dih dengan batu Bulitan dan ditancapkan
tanaman pandan berduri dan diisi lampu.
2) Upakara (Banten) yang besar.
a) Canang Sari (Surya, Kemulan, Pertiwi)
b) Upakara(Banten) di Ari-ari Dapetan, Pe­
nye­neng, Jerimpen Canang Sari dengan
kelengkapan Kelapa yang dipecah jadi
dua atau da­pat juga menggunakan Payuk
Pere/Periuk Tanah (Kendi air) yang di­
bungkus kain putih, didalam Kelapa atau
Payuk Pere dimasukkan Ari-ari, Base
lekesan, dilengkapi secarik kertas ber­
tuliskan aksara suci.
c) Upakara (Banten) Sor : Segehan nasi ke­
pel, 4 kepel dijadikan satu Tempat, ikan­
nya bawang, jahe dan garam
d) Diatas timbunan/gundukan tanah di­tin­
dih dengan batu Bulitan dan di­tan­capkan
tanaman pandan berduri dan di­isi lampu.

d. Upakara (Banten) Kepus Pusar.


a) Upakara (Banten) Pebersihan/Pengerisi­kan
dilengkapi dengan bija Kuning beralaskan
dua lembar daun dadap, upakara (banten)
ini dihaturkan pada pelinggih-pelinggih/

153
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

pelangkiran, sumur, dapur, kamar yang ada


dirumah.
b) Upakara (Banten) Sodan/Rayunan/Ajuman,
labahan si Ibu.
c) Upakara (Banten) untuk Kumara : Sodan/
Rayunan/Ajuman, tali pusar si bayi dibung­
kus kain ditaruh dalam Kumara dengan di­
lengkapi angat-angat atau rempah-rempah.
d) Upakara (Banten) di Ari-ari : Nasi kepel 4
warna dengan lauk pauk bawang, jahe, dan
garam dilengkapi dengan Canang Genten.

e. Upakara (Banten) Bayi berumur 42 hari.


1) Upakara (Banten) yang kecil.
a) Upakara (banten) Pras, Daksina, Sodan/
Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan (Surya,
Kemulan, Sang Pemuput).
b) Upakara (Banten) Pebersihan Ibu :
Byakala, Prayascita, Penglukatan.
c) Upakara (Banten) Pebersihan Bayi di
Sumur, Dapur, dan Kemulan : Pras, So­
dan/Rayunan/Ajuman. Tumpeng Pras
ber­­warna hitam disumur, Tumpeng Pras
warna merah di dapur, dan Tumpeng
Pras warna putih di kemulan, Tutug
Tuwuh, Purna Jiwa.
c) Upakara (Banten) Tataban si-Bayi: Tum­
peng pitu, Pecolongan, Jejangan dan
Kumara.

154
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

d) Upakara (Banten) Sor : Segehan.

2) Upakara (Banten) yang besar.


a) Upakara (Banten) Pras, Daksina, Sodan/
Rayunan/Ajuman, Tipat Kelanan (Surya,
Kemulan, Sang Pemput).
b) Upakara (Banten) Pebersihan Ibu : Bya­
kala, Durmanggala, Prayascita dan Peng­
lukatan.
c) Upakara (Banten) Pebersihan si Bayi :
Pras, Daksina, Sodan/Rayunan/Ajuman,
Tipat kelanan, untuk Tumpeng Pras di
sumur warna hitam, di dapur warna
merah, dan kemulan putih.
d) Upakara (Banten) Tataban si-Bayi :
Tumpeng Pitu, Jejangan, Pacolongan,
lengkap dengan ayam jantan-betina,
Pe­suwungan, Kumara. Sayut Tutug Tu­
wung, Purna Jiwa.
e) Upakara (Banten) Sor : Segehan.

f. Upakara (Banten) Bayi umur Tiga bulan


(Nyam­butin)
1) Upakara/Banten yang kecil.
a) Upakara (Banten) Pras, Daksina, Sodan/
Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan (Surya,
Sanggah Kemulan dan Sang Pemuput)
d) Upakara (Banten) Tataban si Bayi :
Tumpeng pitu, Pekakulan, Sambutan,

155
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Jejanganan, Banten ngilehan lesung,


Banten Kumara, Banten Ari-ari,
e) Upakara (Banten) Sor : Segehan.

2) Upakara/Banten yang besar.


a) Upakara (Banten) Pras, Daksina, Sodan/
Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan, Suci
(Surya, Sanggah Kemulan, dan Sang Pe­
muput)
b) Upakara (Banten) Tataban si Bayi: Tum­
peng tujuh belas atau pitulas, Banten
Sambutan, Jejanganan, Pekakulan, Ban­
ten ngilehan lesung, Pulagembal, Sekar
setaman, Sesayut Pageh Tuwuh, Purna
Jiwa, Suka langgeng setata, Tulus Ayu,
Imbuh Tuwuh.
c) Banten Sor : Segehan Agung.

g. Upakara (Banten) Bayi umur 6 Bulan (Oto­


nan).
1) Upakara(Banten) yang kecil.
a) Upakara (Banten) Pras, Daksina, Sodan/
Rayunan/Ajmuman, Tipat kelanan (Sur­
ya, Sanggar Kemulan dan Sang Pemuput)
b) Upakara (Banten) Tataban si Bayi :
Tumpeng pitu, Banten Jejanganan,
Banten Sambutan, Banten turun tanah,
Banten Gunting rambut, ditambah
dengan 5 buah sesayut otonan : Sesayut

156
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

Pageh tuwuh, Purna jiwa, Suka langgeng


setata, imbuh tuwuh dan Tulus ayu.
c) Banten Sor : Segehan.

2) Upakara/Banten yang besar.


a) Upakara (Banten) Pras, Daksina, Sodan,
Rayunan,Ajuman, Tipat kelanan, Suci
1 soroh (Surya, Sanggah Kemulan dan
Sang Pemuput)
b) Banten Tataban si Bayi : Tumpeng 21
(Selikur), Banten Jejanganan, Banten
Sambutan, Banten turun tanah, Banten
Gun­ting rambut, Jerimpen, Pulagembal,
Sekar setaman, Sayut Tutug Tuwuh,
Purna Jiwa, Tulus Ayu, Suka Langgeng
Setata.
c) Banten Sor : Segehan Agung.

g. Upakara (Banten) Menek Kelih/Bajang (Ngera­


jaswala dan Ngerajasinga).
Upakara (Banten) Menek Kelih/Bajang.
a) Upakara (Banten) Pras, Daksina, Sodan/
Ra­
yunan/Ajuman, Tipat Kelanan (Surya,
Kemulan dan Sang Pemuput)
b) Upakara (Banten) Pebersihan : Byakala, Pra­
yascita.
c) Upakara (Banten) Tataban : Tumpeng pitu,
dan Sesayut Ngerajasina (untuk yang laki-

157
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

laki) dan untuk wanita ditambah upakara


(banten) Pededarian dan Sesayut Sabuh
Rah.
d) Upakara (Banten) Sor : Segehan.

h. Upakara (Banten) Potong Gigi (Metatah/


Mapandes).
a) Upakara (Banten) Pras, Daksina, Sodan/Ra­
yunan/Ajuman, Tipat Kelanan (Surya, Ke­
mulan, Sanghyang Semara Ratih, Sangging)
b) Upakara (Banten) Pebersihan : Byakala,
Prayascita, Penglukatan.
c) Upakara (Banten) Tataban : Tumpeng pitu
dengan perlengkapan Kasur, bantal, tikar
yang bergambar Semara Ratih, Bale Gading,
Kelapa gading, Singgang gigi (pedangal),
Pengilap, Sarana pengurip-urip (biyang
kunyit yang dikupas kulitnya, Bokor ber­
isi (kikir, cermin, dan pahat), Sebuah tem­
pat sirih lengkap dengan sirih lekesan,
tembakau, pinang dan kapur (gambir), Kain
untuk menutupi badan (rurub), Upakara
(Banten) Tetingkeb.
d) Upakara (Banten) Sor : Segehan.

i. Upakara (Banten) Mawinten.


Perkembangan agama Hindu di Indonesia
de­wasa ini semakin pesat dan komplek, ser­
ta ba­nyak­nya hal yang perlu mendapat

158
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

penananganan menyangkut permasalahan


upa­cara maupun upakaranya. Bila hal ini da­
pat dipenuhi, maka jelas tidak akan terjadi
ke­simpang siuran didalam memberikan tun­
tu­nan kehidupan spiritual kepada umat, ter­
utama dalam pelaksanaan upakara dan upa­cara
keagamaan.

Di dalam penanganan persoalan yang


kompleks itu, diperlukan penobatan rohaniwan
Dwi Jati sebagai Pandita (Sulinggih) dan Pe­
mangku (Pinandita) sebagai rohaniwan Eka Jati.
Untuk penobatan atau pengangkatan status sese­
orang menjadi Pandita (Sulinggi) dan Pemang­
ku (Pinandita), haruslah melalui proses ritual
keagamaan yang sangat formal. Proses ritual
keagaman itu disebut “Diksa” bagi Pandita (Su­
linggih) dan “Pawintenan” bagi Pemangku
(Pinandita). Dasar hukumnya dapat kita jum­
pai dalam kitab Atharwa Weda XI.1.1 yang
menyebutkan :
“Satyam brhad Rtam ugram Rta, Diksa, Tapa,
Brahma, Yajna prithiwim sarayanti”.
Artinya :
Sesungguhnya Satya, Rta, Diksa, Tapa, Brah­
ma dan Yajna, yang menyangga dunia ini.

Sloka tersebut menjelaskan bahwa untuk


menciptakan keseimbangan hidup, manusia hen­

159
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

daknya selalu melakukan kebajikan, berbuat


baik dan benar dengan selalu bersifat jujur, setia
kepada tugas dan kewajibannya, mentaati hukum-
hukum dan aturan-aturan hidup yang berlaku,
menyucikan diri lahir bathin dengan melakukan
pengendalian diri serta doa yang diikuti dengan
bhakti persembahan berupa korban suci yang
tulus dan ihklas atau Yajna.
Upacara penyucian diri melalui Proses Pe­
wintenan, mempunyai tujuan mulia yakni me­
ningkatkan kesucian diri, guna mencapai ke­
sempurnaan hidup. Mencapai suatu kesucian
diri adalah merupakan suatu kewajiban bagi
umat Hindu, karena melalui kesucian diri
itulah manusia dapat berhubungan dengan
Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai arti
kata Pawintenan, tidak lain adalah mohon wara­
nugraha Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa dalam prabhawanya sebagai Sanghyang
Guru, yang memberi tuntunan, Sanghyang
Gana memberi perlindungan dan membebaskan
segala bentuk rintangan, dan Saraswati sebagai
pemberi anugrah ilmu pengetgahuan suci Weda.
Sedangkan kata Pawintenan itu sendiri berasal
dari kata Winten atau Intan (berlian), permata
yang memberikan cahaya kesucian bagi mereka
yang telah melaksanakan Pawintenan sebagai

160
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

Pinandita/Pemangku Pura. Dalam kitab Weda


Parikrama disebutkan pula salah satu upaya untuk
melakukan penyucian diri, bagi setiap rohaniwan
apakah sebagai Pandita (Sulinggih) dan Pemangku
(Pinandita) hendaknya selalu melakukan pemu­
jaan kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa dalam manifestasiNya sebagai
Sanghyang Surya pada saat matahari terbit di
ufuk timur. Kegiatan dari pemujaan itu sering
disebut dengan “Surya Sewana” yakni pemujaan
kehadapan Sanghyang Surya, agar memperoleh
tuntunan dan penerangan hidup.

Tujuan dari Mawinten.


a. Memohon kesucian lahir dan bathin melalui
pengendalian diri yang disebabkan oleh
pikiran.
b. Memohon restu dan anugrah dalam mempela­
jari ilmu pengetahuan dan ketrampilan.
c. Mendidik kehiduoan manusia menjadi lebih
sempurna atau lebih tinggi, hingga dapat
berhubungan dengan yang suci/ dalam hal ini
Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa,
berserta manifestasinya.
d. Mendapatkan perlindungan spiritual sehingga
menjadi lebih mulia.

161
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Jenis-Jenis Upacara Pawintenan.


Upacara Pawintenan banyak jenis dan nama­
nya, namun dalam tata pelaksanaan upaca­ranya
hampir sama, karena kesemuanya itu mem­ pu­
nyai tujuan umum yang sama, hanya saja tu­
juan khususnya disesuaikan dengan jenis pa­win­
tenannya.
a. Pawintenan Saraswati.
b. Pawintenan Di Bunga.
c. Pawintenan Pemangku.
e. Pawintenan Tukang (Pancagra)
f. Pawintenan Sadeg/dasaran
g. Pawintenan Dalang.
h. Pawintenan Balian atau Dukun.
i. Pawintenan Mahawisesa (bagi Pengurus
Banjar)

Pawintenan Saraswati.
Pawintenan Saraswati adalah Pawintenan
yang dilakukan paling awal pada tahap hidup
Brahamacari, yaitu belajar ilmu pengetahuan dan
ketrampilan serta belajar Weda. Dalam pustaka suci
“Manawadharma Sastra, upacara yang mengawali
belajar disebut “Upanayana” dan mengakhiri
belajar dan tamat disebut “Samawartana”. Pe­
mu­jaan pada Pawintenan Saraswati ditujukan
kehadapan Sanghyang Aji Saraswati sebagai
Dewa Penguasa Ilmu Pengetahuan. Setelah me­

162
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

lak­
sanakan Pawintenan Saraswati umayt ber­
sang­kutan dapat mendalami ajaran suci Weda,
yang menyangkut tata susila dan menanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam kehidupan
sehari-hari, selanjutnya dapat dilanjutkan dengan
memperdalam aspek-aspek spiritual.

Pawintenan Di Bunga.
Pawintenan Dibunga ini termasuk yang paling
kecil tingkatannya, pada dasarnya memakai bunga
yang senantiasa bersih seperti bunga gambir dan
teratai/tunjung, dimaksud sebagai sumber tenaga
yang memberikan keharuman berupa kesucian,
Jajan Saraswati yang dipakai 11 (sebelas) buah
dan dalam penyelenggaraannya memakai Sanggar
Pesaksi berbentuk Sanggar Tutuan. Pewintenan
ini biasa untuk memulai suatu pekerjaan misalnya
penari, pemahat, tukang dan sebagainya agar
hasilnya berbunga-bunga.

Pawintenan Pemangku.
Tujuan khususnya adalah mennyucikan diri
secara lahir dan bathin dalam tugas Kepemangkuan
yaitu Pemangku Pura yang memimpin pelaksanaan
Upacara serta perantara umat penyungsung
dengan Sanghyang Widhi/Bhatara pada Pura yang
ada.

163
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Pewintenan Tukang.
Tujuan khusunya adalah untuk menyucikan
diri secara lahir bathin dalam tugasnya sebagai
tukang, sesuai dengan profesi yang akan ditekuni
dalam kehidupannya untuk memimpin suatu
pekerjaan. Mengenai jenis profesi ini banyak,
seperti tukang Banten, Undagi, Sangging, Pande,
tukang Wadah/Bade dan lain-lain.

Pewintenan Sadeg/Dasaran.
Tujuan kususnya adalah untuk menyucikan
diri secara lahir bathin terhadap tugas yang akan
diemban sebagai Sadeg/Dasaran, agar dalam
pengabdiannya sebagai penyambung penyampaian
pawisik atau bisikan yang diterima dari Sanghyang
Widhi Wasa/Manifestasinya untuk disampaikan,
diberikan kekuatan lahir abthin serta tidak
dipandang mengada-ada atau membuat-buat.

Pewintenan Dalang.
Tujuan khususnya adalah untuk menyucikan
diri secara lahir bathin dalam profesi yang akan
diemban dalam kehidupannya sebagai Dalang
menjadi lebih mampu melaksanakan peranannya
menarikan tokoh-tokoh dalam pewayangan
pada acara-acara pentas dimana diperlukan.
Dalang mempunyai tugas memberikan bayangan-
bayangan tentang watak dan perilaku untuk me­
mo­ tivasi penonton guna dipedomani, dihayati

164
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

dan diamalkan dalam ajaran Tri Kaya Parisudha.,


melalui petikan-petikan lakon pentas yang diambil
dari ceritera Purana seperti epos Mahabrata,
Ramayana yang bersumber pada ajaran agama
Hindu. Demikian juga pawintenan ini berlaku
pula bagi profesi Pragina.

Pewintenan Balian atau Dukun.


Tujuan khususnya adalah untuk menyucikan
diri lahir bathin dalam tugas yang akan diemban
dalam kehidupannya sebagai Balian atau Dukun
dalam prakteknya ada berkewajiban memberikan
pengobatan disebut Balian atau Dukun Usada.
Selain itu juga disebut Tapakan, Balian yang dalam
tugasnya berkewajiban memberikan petunjuk
berupa penerangan kepada mereka yangn
memerlukan, atau melalui upacara memohon
kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/Manifestasinya
yang disungsung atau dimuliakan oleh Tapakan
tesebut. Balian maupun Dukun serta Tapakan
semua pengabdiannya untuk melaksanakan
swadharmanya, selalu didahului dengan memohon
petunjuk kehadapan yang dimuliakan.

Pewintenan Mahawisesa.
Tujuan khususnya adalah untuk menyucikan
diri pribadi terhadap pengurus-pengurus Desa
Pekraman (Bendesa) dengan segenap jajaran­­nya
secara lahir bathin, agar dalam tugas pengab­

165
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

diannya, mampu mengamalkan ajaran-ajaran aga­


ma Hindu diwilayah Desanya dengan baik dan
sukses.

Upakara(Banten) Pewintenan tingkat Kecil,


terdiri dari :
1) Banten Pesaksi : Pras, Daksina dan Suci asoroh.
2) Banten persiapan pembersihan Byakala, Pra­
yascita dan Penglukatan.
3) Banten Pewintenan Pras, Daksina dan Suci
asoroh, Tumpeng Pitu, Banten
4) Saraswati dan Sesayut Sudamala.
5) Perlengkapan Pewintenan, tangkai sirih untuk
rajah, madu, dan base lekesan.
6) Banten untuk Sang Pemuput (Pandita) : Pras,
Daksina dan Suci asoroh.

Upakara (Banten) Pewintenan tingkat Me­ne­


ngah, terdiri dari :
1) Banten Pesaksi : Pras, Daksina dan Suci asoroh.
2) Banten persiapan pembersihan Byakala, Pra­
yascita, dan Penglukatan.
3) Banten Pewintenan Pras Daksina dan Suci
asoroh, Tumpeng Guru maplekir, Banten
Saraswati, Pulagembal, memakai itik/bebek
putih sarana pesosolan, Kewangen berisi Uang
kepeng 11 dibungkus Kain putih dan Banten
Pedamel, serta Sesayut Sudamala.

166
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

26. UPAKARA/UPACARA BHUTA YAJNA.


Bhuta Yajna adalah korban suci yang ditujukan
kepada para Bhuta Kala. Bhuta Kala berasal dari
kata “Bhu” yang artinya menjadi, ada, atau wujud.
Kata “Bhu” dalam bentuk passive menjadi Bhuta
yang artinya telah dijadikan, telah diadakan atau
telah ada. Adapun kata kala menurut Radhakrisna
disebutkan sebagai energi atau kekuatan. Bhuta
kala disini artinya energi atau kekuatan yang ada
pada unsur-unsur Pancamaha bhuta (pertiwi,
apah, teja, bayu, dan akasa). Jadi pengertian dari
Upacara Bhuta Yajna adalah pengorbanan dari
manusia untuk menjaga keharmonisan alam
semesta ini, karena alam kita inilah sebenarnya
bhuta dan kekuatan-kekuatannya dilukiskan
secara kontroversil, kekuatan alam yang baik
digambarkan sebagai dewa-dewa, dimana kata
dewa itu sendiri sebenarnya sinar yang tiada lain
adalah sinar dari Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa, sedangkan kekuatan alam yang
merusak digambarkan sebagai Bhutakala walaupun
arti sebenarnya adalah kekuatan alam, yang belum
tentu merusak. Manusialah yang sering merusak
alam ini, sehingga alam menjadi tidak bersahabat
dengan alam. Untuk menjaga keharmonisan alam
semesta ini, menjadi kewajiban manusia untuk
menjaga dan memeliharanya, melalui upacara
yang disebut dengan Caru. Dalam kitab Samhita

167
Pedoman Praktis Upakara (Banten) Dalam Upacara Yajna

Swara disebutkan arti kata Caru adalah cantik


atau harmonis. Jadi hakekat pelaksanaan Bhuta
Yajna melalui upacara Caru adalah menjaga
keharmonisan alam semesta agar alam tetap se­
jahtera, alam yang sejahtera artinya alam yang
Cantik.
Adapun Upakara (Banten) dalam Upacara
Bhuta Yajna (Caru) dalam Buku Pedoman Praktis
Upakara (Bebantenan) ini terbatas hanya pada
tingkat Caru Eka Sata dan Caru Panca Sata.
1) Upakara (Banten) Caru Eka Sata.
a) Upakara (Banten) Pras, Daksina, Sodan/
Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan (Surya,
Pertiwi, Sang Pemuput).
b) Upakara (Banten) Caru : Pras, Daksina,
Sodan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan, Tu­
peng Pitu, Bayuan Alit, Olahan Caru leng­
kap dengan nasi caru, Nasi wong-wongan,
Byakala, Segehan, Upakara (banten) Gelar­
sanga.
c) Upakara (Banten) Pebersihan : Durmang­
gala, Prayascita dan Penglungkatan meng­
guna­kan Lis gede.
d) Perlengkapan Caru : Sanggah Surya, Sanggah
Caru, Kekeplugan, Kulkul, Sampat, Tulud,
Sengkwi.

168
Penataan Upakara (Banten) dalam Upacara Yajna

2) Upakara (Banten) Caru Panca Sata.


a) Pras, Ajuman, Daksina, Tipat kelanan, Suci
sari/Alit (Surya, Pertiwi, Sang Pemuput)
b) Upakara (Banten) Caru : Pras, Daksina, So­
dan/Rayunan/Ajuman, Tipat kelanan,Suci
sari/Alit, Tumpeng pitu, Bayuan alit, Olahan
Caru Panca sata sesuaikan menurut urip
lengkap dengan nasi caru sesuai warna dan
urip, Nasi Wong-wongan sesuai dengan
warna, Byakala, Segehan agung, Gelar sanga.
c) Upakara (Banten) Pebersihan : Durmanggala,
Prayascita, dan Penglukatan dengan eteh-
etehnya serta menggunakan Lis gede.
c) Perlengkapan Caru : Sanggah Surya, Sang­
gah Caru, Kekeplugan, Kulkul, Sampat,
Sengkwi dan Tulud.

Banten di Bale Pawedan

169
Halaman ini sengaja dikosongkan
B A B
10

Penutup

29. Demikian Buku Pedoman Praktis tentang


Upakara (Banten) dalam upacara Yajna ini disusun
sebagai bahan pengenalan bagi para Pemangku
(Pinandita) dan juga Sarati Banten mengenai
makna upakara/Upacara dalam agama Hindu.
Mudah-mudahan buku ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua, walaupun tidak sempurna
namun sangat diharapkan saran dan kritiknya bagi
kesempurnaan buku ini.

171
Banten Otonan

Banten Otonan Alit

172
Banten Penyambutan/Sambutan Luh

Banten Penyambutan/Sambutan Muani

173
Banten Tebasan

Banten Byakala Utama

174
Banten Durmanggala

Perlengkapan Lis Banten

175
Lis Banten

Gambar cara menempatkan Lis Banten

176
Banten Daksina

177

Anda mungkin juga menyukai