Ngaben sering dipersepsikan dengan arti negatif yaitu “ngabehin” (berlebihan). Ada
pula yang menyebut “ngabin” atau nampa. Ada juga yang mengartikan “Ngabuin”
(menjadikan abu. Ngaben asal katanya “Api”, mendapat prefix ang menjadi “ngapi”,
kemudian mendapat suffix “an” menjadi “ngapen”. Kemudian terjadi perubahan fonem
P menjadi B menjadi ngaben. Upacara ngaben merupakan proses pengembalian unsur
Panca Maha Butha kepada Sang Pencipta. Kekuatan Panca Maha Butha menciptakan
adanya “Stula Sarira” yaitu Pertiwi (kulit), Teja (darah daging), Akasa (urat-urat), Bayu
(tulang belulang), Apah (sumsum). Ada juga yang mengartikan lain, ngaben berasal
dari kata beya (biaya atau bekal). Dari ngaben muncul kata meyanin atau ngabeyanin
yang disingkat menjadi ngaben. Ngaben juga disebut sebagai Pitra Yadnya (Lontar
Yama Purwana Tattwa). Pitra artinya leluhur atau orang yang mati, yadnya adalah
persembahan suci.
1. Upacara Atiwa-tiwa
2. Upacara Pengabenan
3. Upacara Pemukuran (Penyekahan)
4. Upacara Pengelemijian
5. Upacara Pengrorasan (pada pengabenan)
6. Upacara Nilapati (ngunggahang Betara Hyang)
1. Atiwa-tiwa
2. Pengabenan
3. Pemukuran/Penyekahan/Pengerorasan
4. Nilapati.
Asal kata Atiwa-tiwa: Ati = berkeinginan, Awa = terang atau bening atau bersih.
Artinya: Keinginan melaksanakan pebersihan dan penyucian jenasah dan kekuatan
Panca Maha buthanya. Atiwa-tiwa juga disebut upacara melelet atau upacara
pengeringkesan. Merupakan upacara pebersihan dan penyucian secara permulaan thd
jenasah dari kekuatan Panca Maha Butha. Dikenal dg Puja Pitara utk meningkatkan
kesucian Petra menjadi Pitara.
Ngeringkes atau Ngelelet pengertiannya adalah pengembalian atau penyucian asal mula
dari manusa yaitu berupa huruf2 suci sehingga harus dikembalikan lagi. Manusia lahir
diberi kekuatan oleh Sang Hyang Widhi berupa Ongkara Mula, didalam jasad
bermanifestasi menjadi Sastra Mudra, Sastra Wrestra (Nuriastra) dan Sastra Swalalita.
Ketiga kekuatan sastra ini memberi makna Utpti, Stiti, Pralina (lahir, hidup, mati).
Ketiga sastra ini kemudian bermanifestasi lagi memberi jiwa kepada setiap sel tubuh.
Sebagai contoh Sastra Wrestra (Nuriastra) antara lain:
Tubuh manusia memiliki 108 Sastra Dirga (huruf-huruf suci) yang pada waktu
meninggal sastra2 itu dikembalikan ke sastra Ongkara Mula atau disebut Ongkara
Pranawa. Proses pengembalian ini disebut Ngeringkes yang memerlukan upacara dan
sarana. Atiwa-tiwa sudah merupakan pensucian tahap permulaan, sehingga setelah
atiwa-tiwa jenasah sudah bisa digotong dinaikkan ke paga atau wadah. Jika dikubur
tanpa atiwa-tiwa sesungguhnya jenasah tidak boleh digotong, tetapi dijinjing karena
masih berstatus Petra.
FILOSOFI PENGABENAN DARI GUGURNYA RESI BISMA
Pengabenan umat Hindu menggunakan filosofi yang diambil dari Gugurnya Resi Bisma
dalam perang Berathayudha ditengah Kuru Setra. Badannya penuh dengan panahnya
Sang Arjuna. Setelah rebah bdanya sama sekali tidak menyentuh tanah krena disangga
ribuan panah. Resi Bisma gugur karena pembeyaran sumpahnya Dewi Amba yang
reinkarnasi menjadi Sri Kandhi. Senjata Sri Kandhi yang pertama kali menembus
kekebalan badannya Resmi Bisma, setelah kekebelannya hilang sbg pembayaran
sumpahnya Dewi Amba, kemudian senjatanya Dresta Jumena dan ribuan panahnya
Arjuna menembus seluruh tubuh Resi Bisma. Nilai-bilai yang dapat diambil dari sini
adalah:.
1. Resi Bisma. Resi adalah orang yang telah mencapai tingkat kesucian tinggi. Dari
sini diambil filosofi bahwa jasad harus melalui proses penyucian. Bisma berasal
dari kata Wisma atau tempat atau wadah, yaitu wadahnya Sang Jiwatman atau
Stula Sarira atau unsur-unsur Panca Maha Butha. Kata Resi Bisma mengandung
filosofi proses penyucian terhadap Panca Maha Butha.
2. Sri Kandhi. Sri = sinar suci (Div) kemudian menjadi Dewa. Kandi = kanda =
dudonan atau tahapan.
3. Dresta Jumena: Dresta = pedoman
4. Seribu panahnya Sang Arjuna (Sang Dananjaya) = Dana dan Jaya artinya tulus
iklas. Angka 1000 diambil dari angka Samkhiya adalah mengembalikan unsur
Panca Maha Butha dari alam Bhur Loka ke Swah Loka (kehadapan Sang Pencipta).
5. Mohon toya pemanah (Toya Manah). Air minum yang diminta oleh Rsi Bisma
diberikan oleh Duryudhana mempergunakan sebuah Kundi Manik sebagai simbul
indriya, ditolak oleh Rsi Bisma sebagai simbol penolakan indria (tidak lagi ngulurin
indria), lalu minta kepada Arjuna, digunakan sebuah anak panah (manah = intuisi
= keneh, suara hati), air muncrat dari tanah (air klebutan). Ini merupakan dasar
filosofi Manah Toya. Tirta Pemanah artinya: toya berasal dari sindhu atau hindu
atau windhu artinya kosong atau sunya. Pemanah artinya: pe dan manah = alam
pikiran. Tirta Pemanah = untuk mengembalikan Panca Maha Butha berdasar
ketulusan hati.
6. Tiga anak panah sebagai bantal Rsi Bisma sbg simbul leluhur, juga mengandung
makna Gegalang pisang kayu dan pis bolong 250 kepeng.
7. Air untuk membersihkan badan diminta kepada Duryudana, diberikan
menggunakan tempayan emas, tapi ditolak, sebagi simbul penolakan segala
gemerlap duniawi. Arjuna menggunakan dua panah dipanahkan keatas kmd
panah pertama jatuh diatas kepala Resi Bisma, dan panah yang satunya lagi jatuh
di kaki. Oleh karena itu pembersihan harus dimulai dari kepala. Dari sini diambil
filosofi Toya Penembak yang diambil dari Campuhan pada tengah malam tanpa
lampu (gelap) dan diambil oleh sanak keluarga. Maknanya sebagai sarana
pemrelina mantuk maring Sangkan Paran (Ah … Ang) dan untuk menetralisir
awidyanya sang lampus. Toya Penembak: pe = pemutus; nembak = pembuka
jalan. Tirta Penembak: untuk memutuskan agar terbentuk jalan ke Sunya Mertha.
8. Menjelang menghembuskan nafas terakhir Rsi Bisma berpesan kepada Arjuna
agar jasadnya dibakar menggunakan senjata Geni Astra yang disimbulkan sebaga
tirta pengentas. Tirta Pengentas: Pe = pegat, ngen = ngen-ngen = trena, tas
= hangus. Tirta Pengentas untuk memutuskan dan menghilangkan Tresna agar
kembali kepada kekuatan amertha yaitu ke Siwa Merta.
9. Senjatanya Dresta Jumena adalah pelukatan. Dresta = sima = adat. Jumene =
jumeneng = dikukuhkan sebagai pedoman.
10. Page yang dipakai untuk pebersihan menggunakan paga karena badan Resi Bisma
tidak menyentuh tanah melainkan ditunjang oleh panah.
11. Penggunaan page dan leluhur merupakan ciri unsur bhur, bwah, swah loka.
UPAKARA ATIWA-TIWA
4. Upakara Pepegatan
Pejati asoroh, banten penyambutan pepegatan angiyu, sebuah lesung, segehan
sasah 9 tanding.
5. Upakara Pengiriman
Pejati lengkap 4 soroh (termasuk pekeling di Prajapati), Saji Pitra asele, punjung
putih kuning, tipat pesor dan nasi angkeb, Peras Pengambean, segehan sasah 9
tanding.
Pengabenan dengan sarana upakaranya ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri
manusia. Pranawa berasal dari kata Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9).
PENGABENAN SWASTHA
Persiapan sarana
1. Tirta:
a. Tirta penglukatan pebersihan dari wiku
b. Tirta peleletan dari wiku
c. Tirta Pekuluh dari mrajan.
d. Tirta khusus:
i. Tirta Pengentas Bangbang: selesai atiwa-tiwa jika jenasah akan
dikubur atau mekingsan di Gni, sebaiknya menggunakan tirta
diatas agar sewaktu-waktu bisa ngaben. Jika tidak maka sebelum
setahun tidak boleh ngaben.
ii. Tirta SH Prajapati: bila jenasah dikubur atau mekingsan di Gni
mempergunakan tirta ini, krn tirta ini memiliki kekuatan
pengembalian ke sumbernya. SH Prajapati bersifat Mulaning Mula
(wit = sumber). Prajapati adalah tempat kehidupan bermula.
Tata cara diatas juga merupakan tata cara untuk meraga wiku. Sedikit penyederhanaan
untuk ngelelet layon meraga welaka adalah sebagai berikut:
1. Persiapan Sarana Pebersihan
a. Air bersih dan air kumkuman
b. Air keramas, sisig, minyak wangi
c. Berbagai jenis bunga harum
d. Pakaian seperadeg/pesaluk/pesehan (pakaian sembahyang lengkap)
i. Pesaluk hidup laki (kain, saput udeng)
ii. Pesaluk hidup wanita (tapih, kain, sabuk, kamben cerik
iii. Pesaluk mati, laki perempuan sama, kain putih untuk
yang sudah kawin, kain kuning bagi yang belum kawin.
e. Pakaian untuk ngulung dan kain putih.
f. Tikar
g. Samsan atau sekarura: beras kuning ditambah irisan daun temen diisi 33 pis
bolong, ditempatkan dalam wakul yng dibungkus kain putih.
h. Beberapa jenis tirta:
i. Tirta Penglukatan dan Pebersihan (untuk menghilangkan mala petaka atau
pembersihan
jenasah.
ii. Tirta Aswapada Betara Hyang Guru
iii. Tirta Pengresikan
iv. Tirta sesuhunan keluarga (pura2, kawitan, kemulan). Maksud: trita restu agar
perjalanan
lancer.
v. Tirta Kahyangan: pakeling bahwa sang atma akan menghadap ke kahyangan
vi. Tirta pengulung: diperecikkan pd waktu ngulung mayat.
vii. Tirta penembak: memandikan jenasah membersihkan kotoran lahir bathin.
viii. Tirta pengentas: tirta pemutus hubungan (memutuskan ikatan purusa. Tiuk
pengentas
adalah pisau untuk memutus hubungan.
ix. Tirta manah toya ning: adalah petitis keneh (manah).
x. Tirta prelina atma: agar jiwatma yang meninggal pergi kealam asalnya, tideak
ngrebeda.
2. Pelaksanaan Ngelelet
Sama dengan Wiku, hanya ngambuhin bagian duur dapat dilakukan penglingsir.
Pebersihan 10 prana sebagai dosa manusia sebagai “dasa mala”. Sepuluh prana itu
ialah:
1. Prana (lubang mulut)
2. Udana (lobang kepala/kening)
3. Samana (lobang pepusuhan)
4. Wyana (lobang persendian)
5. Kurma (lobang mata)
6. Krkara (lobang hidung)
7. Dewa Data (lobang bibir)
8. Dhananya (lobang tenggorokan)
9. Naga (lobang lambung)
10. Apana (lobang dubur dan kelamin)
UPACARA PENGASKARAN
Sarana Pengaskaran
1. Bale Pawedan (Pamiosan) untuk pandita. Jika di mrajan, Bale Piasan bisa
digunakan untuk Pamiosan pandita. Dibuat leluhur.
2. Banten pengajuman kajang, banten pemerasan.
3. Sanggah surya: daksina, sesantun, suci 2 soroh, pejati, peras, pengambean,
sesayut ardenareswri, rayunan putih kuning, rantasan, pesucian, klungah nyuh
gading (dikasturi).
4. Banten di sor sanggah surya: pejati dan suci asoroh, gelar sanga, segehan
cacahan.
5. Banten arepan sawa: banten ayaban (pemereman), uel kurenan, sesantun, suci,
banten saji, panjang hilang matah lebeng, banten pengadang-ngadang, bubuh
pirate putih kuning, nasi angkeb, penek catur warna, caru beten kolong sawa,
diyuskamaligi, pejati, eteh-eteh pemetikan (gunting, blayag, tunjung putih),
pemanahan, caru siap brumbun (caru tapakan sawa).
6. Banten pengresikan: Prayascita, Bayekawonan, durmanggala, lis bale gading,
pengulapan.
7. Banten arep sulinggih: daksina gede, sesantun alit, suci asoroh, pejati, peras,
pengambean, pemanisan, segehan warna lima asoroh.
UPACARA
PEMUKURAN/PENYEKAHAN/PENGRORASAN
UPACARA PENGLIWETAN
Dalam proses Ngeliwet, dibuatkan bubur nasi yang berasnya diseruh sebanyak 11
kali (simbul dari alam Siwa. Angka 11 jika dijumlah menjadi 2 (simbul Windu
Sunia) atau alamnya Siwa. (Lontar Tutur Saraswati). Bubur ini dicampur dengan
menyan, madu, empehan (lontar Pengerorasan), bukan telur goreng dan bawang
goreng. Menyan sebagai simbul Sang Hyang Brahma (mengembalikan unsur Panca
Maha
Buthanya), madu sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Wisnu (mengembalikan unsur
rokhnya), empehan sebagai simbul kekuatan SH Siwa (mengembalikan unsur Atmanya.
Setelah bubur kental kemudian dikepal-kepal 108 buah sebagai simbul titik
puncak kekuatan Pralina (Tattwa Samkhya) dari angka 108 menjadi 9 merupakan
angka sakti Hindu (titik lebur), sedangkan angka 0 merupakan simbul Windhu
Sunia.
UPACARA NILAPATI
Was Penganten. Tidak boleh dipakai hari penguburan dan ngaben. Pahalanya
dapat mengakibatkan kematian berturut-turut dalam satu banjar dan keluarga yang
ditinggalkan tidak putus-putusnya kegeringan.
1. Kajang Klasa: kajang dari sulinggih untuk alas kajang utama atau kajang
pemijilan.
2. Kajang Pemijilan atau Kajang Utama: kajang yang dibuat sulinggih, ditaruh
paling atas. Kajang ini yang akan diajum bersama ukur.
3. Kajang Sari: kajang dari dadia atau keluarga terdekat. Ditaruh dibawah kajang
utama.
2. Sebelum
pengajuman, lakukan upacara pengulapan dg sanggah Urip (tempat roh yang
dipanggil akan diaben). Sanggah urip dibuat dari daun kelapa dumala, ditaruh
pada adegan, ditaruh disebelah jenasah yang akan diaben di semanggen.
8. Dilanjutkan
dengan Pemerasan. Diikuti oleh seluruh keluarga sebatas buyut. Adegan dan
kajang diarak mengelilingi upakara pemerasan sbg simbul Sang Hyang Atma turun
ke dunia manusia bertemu dg keluarga.
9. Selanjutnya
adegan dan kajang diletakkan diatas peti jenasah,
1. Siapkan sebuah asagan (bale, meja) dg kasur kecil, tikar dan bantal. Tikar
dirajah Padma ditengah padma ditulis aksara
Ongkara Mertha dan Aksara Rwa Bhineda. Diatas bale2 diisi leluhur.
Disamping bale ditaruh banten: ayaban tumpeng 5, sesayut alit, suci,
daksina gde, sorohan, banten pemelaspas, peras pemelaspas, sesayut
pasupati, pesucian.
2. Siapkan sarana Ngajum Kajang: kain putih, selembar kain cepuk, kajang
klasa, kajang pemijilan, kajang sari, ukur, jarum, kwangen,
sekar ura, rurub sinom, rantasan, minyak wangi.
3. Letakkan kain kasa 1,5 – 2 m diatas tikar sbg alas kajang sekaligus sbg
pembungkus
4. Diatasnya kain cepuk. Diatas kain cepuk ditaruh Kajang Klasa
5. Diatasnya kajang sari (bila ada) (kajang dari dadia atau dari teman2)
6. Diatasnya kajang Pemijilan (dari sulinggih). Kajang Pemijilan ini kajang inti
(kajang utama) yang akan di Ajum.
7. Ukur. Untuk laki2: Seleh (sisi pis bolong yang berisi dua huruf) menghadap
keatas. Untuk wanita Kerep (empat huruf) menghadap
keatas. Membuat ukur harus memperhatikan Seleh dan Kerep.
8. Ngajum dimulai dg menusukkan jarum pada kajang melalui lubang uang
kepeng sehingga ukur menyatu dg kajang seperti dijarit.
Diawali oleh penglingsir (pemangku/pinandita) menusuk pada bagian kepala.
Yang lebih muda dari yang diaben tidak boleh menusuk pd bagian kepala.
9. Dilanjutkan pebersihan dg air kumkuman, keramas, sisig, minyak wangi,
boreh miik seperti memandikan orang meninggal. Lanjut
menghias kepala ukur dengan bunga.
10.Memasang kwangen seperti upacara nyiramang layon, di kepala 1, ulu hati 1,
kedua siku, bahu, pergelangan tangan, pangkal paha,
lutut, pergelangan kaki.
11.Ditabur sekar rura diatas ukur, semprot minyak wangi. (sekar rura: macam2
bunga, kembang rampe, boreh miyik).
12.Memasang rurub sinom (dari blangsah pinang) sebanyak 3 buah (kepala,
badan, kaki).
13.Menaruh rantasan diatasnya dan canang sari diatas rantasan.
14.Pemangku memercikkan tirta penglukatan, pebersihan, prayascita.
15.Melaspas kajang.
16.Sulinggih memberi tirta Pengajuman (tirta pasupati kajang) dan Tirta Saji.
Bersamaan dengan pemujaan sulinggih membuat
tirta2: pengajuman kajang, tirta penembak, tirta pengentas, tirta prelina,
tirta penyaeb, tirta penganyutan dan lain-lain.
17.Setelah ngetisang tirta pengajuman, tirta pasupati kajang, rurub sinom dan
rantasan diambil sementara lalu dilanjutkan ngeringkes
kajang. Kain putih tiga lembar paling bawah sebagai pembungkus. Sama
seperti ngeringkes jenasah, laki: kain pembungkus sisi kananmenutup,
wanita: pembungkus sisi kiri menutup. Pembungkus diikat dengan
benang tukelan dan tali rotan di tiga tempat, kepala, dada dan kaki.
Ketiga ikatan itu disambung dengan benang memanjang. Rurub sinom
kembali
dipasang.
18.Setelah Ngaskara Adegan selesai, dilanjutkan upacara pemerasan. Kajang dan
adegan dipanggul mengelilingi banten pemerasan
sebanyak tiga kali diikuti oleh sanak keluarga.
19.Kajang ditaruh diatas peti jenasah di Bale Semanggen. Nantinya akan dibawa
ke setra untuk dibakar.