Anda di halaman 1dari 25

TATA TITI LENGKAP INDIK NGABEN

PENGERTIAAN NGABEN DAN PITRA YADNYA

Ngaben sering dipersepsikan dengan arti negatif yaitu “ngabehin” (berlebihan). Ada
pula yang menyebut “ngabin” atau nampa. Ada juga yang mengartikan “Ngabuin”
(menjadikan abu. Ngaben asal katanya “Api”, mendapat prefix ang menjadi “ngapi”,
kemudian mendapat suffix “an” menjadi “ngapen”. Kemudian terjadi perubahan fonem
P menjadi B menjadi ngaben.  Upacara ngaben merupakan proses pengembalian unsur
Panca Maha Butha kepada Sang Pencipta. Kekuatan Panca Maha Butha menciptakan
adanya “Stula Sarira” yaitu Pertiwi (kulit), Teja (darah daging), Akasa (urat-urat), Bayu
(tulang belulang), Apah (sumsum). Ada juga yang mengartikan lain, ngaben berasal
dari kata beya (biaya atau bekal). Dari ngaben muncul kata meyanin atau ngabeyanin
yang disingkat menjadi ngaben. Ngaben juga disebut sebagai Pitra Yadnya (Lontar
Yama Purwana Tattwa). Pitra artinya leluhur atau orang yang mati, yadnya adalah
persembahan suci.

Runtutan upacara Pitra Yadnya

1. Upacara Atiwa-tiwa
2. Upacara Pengabenan
3. Upacara Pemukuran  (Penyekahan)
4. Upacara Pengelemijian
5. Upacara Pengrorasan (pada pengabenan)
6. Upacara Nilapati (ngunggahang Betara Hyang)

Tahapan ini dapat diringkas menjadi empat bagian yaitu:

1. Atiwa-tiwa
2. Pengabenan
3. Pemukuran/Penyekahan/Pengerorasan
4. Nilapati.

Upacara Atiwa-tiwa memiliki tatanan upacara sebagai berikut:

1. Ngeringkes (Upacara mebersih dan penyucian atau ngeringkes).


2. Upacara menghaturkan Saji Pitra
3. Upacara Pepegatan
4. Upacara Pengiriman
5. Upacara Pengrorasan
MAKNA UPACARA ATIWA-TIWA

Asal kata Atiwa-tiwa: Ati = berkeinginan, Awa =  terang atau bening atau bersih.
Artinya: Keinginan melaksanakan pebersihan dan penyucian jenasah dan kekuatan
Panca Maha buthanya. Atiwa-tiwa juga disebut upacara melelet atau upacara
pengeringkesan. Merupakan upacara pebersihan dan penyucian secara permulaan thd
jenasah dari kekuatan Panca Maha Butha. Dikenal dg Puja Pitara utk meningkatkan
kesucian Petra menjadi Pitara.

Ngeringkes atau Ngelelet pengertiannya adalah pengembalian atau penyucian asal mula
dari manusa yaitu berupa huruf2 suci sehingga harus dikembalikan lagi. Manusia lahir
diberi kekuatan oleh Sang Hyang Widhi berupa Ongkara Mula, didalam jasad
bermanifestasi menjadi Sastra Mudra, Sastra Wrestra (Nuriastra) dan Sastra Swalalita.
Ketiga kekuatan sastra ini memberi makna Utpti, Stiti, Pralina (lahir, hidup, mati).
Ketiga sastra ini kemudian bermanifestasi lagi memberi jiwa kepada setiap sel tubuh.
Sebagai contoh Sastra Wrestra (Nuriastra) antara lain:

1. A = kekuatan pada Ati Putih


2. Na = kekuatan pada Nabi (pusar)
3. Ca = cekoking gulu (ujung leher)
4. Ra = tulang dada (tulang keris)
5. Ka = pangrengan (telinga)
6. Da = dada
7. Ta = netra (mata)
8. Sa = sebuku-buku (sendi)
9. Wa = ulu hati  (Madya)
10. La = lambe (bibir)
11. Ma = cangkem (mulut)
12. Ga = gigir (punggung)
13. Ba = bahu (pangkal leher)
14. Nga = irung (hidung
15. Pa = pupu (paha)
16. Ja = jejaringan (penutup usus)
17. Ya = ampru (empedu)
18. Nya = smara (kama)

Tubuh manusia memiliki 108 Sastra Dirga (huruf-huruf suci) yang pada waktu
meninggal sastra2 itu dikembalikan ke sastra Ongkara Mula atau disebut Ongkara
Pranawa. Proses pengembalian ini disebut Ngeringkes yang memerlukan upacara dan
sarana. Atiwa-tiwa sudah merupakan pensucian tahap permulaan, sehingga setelah
atiwa-tiwa jenasah sudah bisa digotong dinaikkan ke paga atau wadah. Jika dikubur
tanpa atiwa-tiwa sesungguhnya jenasah tidak boleh digotong, tetapi dijinjing karena
masih berstatus Petra.
FILOSOFI PENGABENAN DARI GUGURNYA RESI BISMA

Pengabenan umat Hindu menggunakan filosofi yang diambil dari Gugurnya Resi Bisma
dalam perang Berathayudha ditengah Kuru Setra. Badannya penuh dengan panahnya
Sang Arjuna. Setelah rebah bdanya sama sekali tidak menyentuh tanah krena disangga
ribuan panah. Resi Bisma gugur karena pembeyaran sumpahnya Dewi Amba yang
reinkarnasi menjadi Sri Kandhi. Senjata Sri Kandhi yang pertama kali menembus
kekebalan badannya Resmi Bisma, setelah kekebelannya hilang sbg pembayaran
sumpahnya Dewi Amba, kemudian senjatanya Dresta Jumena dan ribuan panahnya
Arjuna menembus seluruh tubuh Resi Bisma. Nilai-bilai yang dapat diambil dari sini
adalah:.

1. Resi Bisma. Resi adalah orang yang telah mencapai tingkat kesucian tinggi. Dari
sini diambil filosofi bahwa jasad harus melalui proses penyucian. Bisma berasal
dari kata Wisma atau tempat atau wadah, yaitu wadahnya Sang Jiwatman atau
Stula Sarira atau unsur-unsur Panca Maha Butha. Kata Resi Bisma mengandung
filosofi proses penyucian terhadap Panca Maha Butha.
2. Sri Kandhi. Sri = sinar suci (Div) kemudian menjadi Dewa. Kandi = kanda =
dudonan atau tahapan.
3. Dresta Jumena: Dresta = pedoman
4. Seribu panahnya Sang Arjuna (Sang Dananjaya) = Dana dan Jaya artinya tulus
iklas. Angka 1000 diambil dari angka Samkhiya adalah mengembalikan unsur
Panca Maha Butha dari alam Bhur Loka ke Swah Loka (kehadapan Sang Pencipta).
5. Mohon toya pemanah (Toya Manah). Air minum yang diminta oleh Rsi Bisma
diberikan oleh Duryudhana mempergunakan sebuah Kundi Manik sebagai simbul
indriya, ditolak oleh Rsi Bisma sebagai simbol penolakan indria (tidak lagi ngulurin
indria), lalu minta kepada Arjuna, digunakan  sebuah anak panah (manah = intuisi
= keneh, suara hati), air muncrat dari tanah (air klebutan). Ini merupakan dasar
filosofi Manah Toya. Tirta Pemanah artinya: toya berasal dari sindhu atau hindu
atau windhu artinya kosong atau sunya. Pemanah artinya: pe dan manah = alam
pikiran. Tirta Pemanah = untuk mengembalikan  Panca Maha Butha berdasar
ketulusan hati.
6. Tiga anak panah sebagai bantal Rsi Bisma sbg simbul leluhur, juga mengandung
makna Gegalang pisang kayu dan pis bolong 250 kepeng.
7. Air untuk membersihkan badan diminta kepada Duryudana, diberikan
menggunakan tempayan emas, tapi ditolak, sebagi simbul penolakan segala
gemerlap duniawi.  Arjuna menggunakan dua panah dipanahkan keatas kmd
panah pertama jatuh diatas kepala Resi Bisma, dan panah yang satunya lagi jatuh
di kaki. Oleh karena itu pembersihan harus dimulai dari kepala. Dari sini diambil
filosofi Toya Penembak yang diambil dari Campuhan pada tengah malam tanpa
lampu (gelap) dan diambil oleh sanak keluarga. Maknanya sebagai sarana
pemrelina mantuk maring Sangkan Paran (Ah … Ang) dan untuk menetralisir
awidyanya sang lampus. Toya Penembak: pe = pemutus; nembak = pembuka
jalan. Tirta Penembak: untuk memutuskan agar terbentuk jalan ke Sunya Mertha.
8. Menjelang menghembuskan nafas terakhir Rsi Bisma berpesan kepada Arjuna
agar jasadnya dibakar menggunakan senjata Geni Astra yang disimbulkan sebaga
tirta pengentas. Tirta Pengentas: Pe = pegat, ngen = ngen-ngen = trena, tas
= hangus. Tirta Pengentas untuk memutuskan dan menghilangkan Tresna agar
kembali kepada kekuatan amertha yaitu ke Siwa Merta.
9. Senjatanya Dresta Jumena adalah pelukatan. Dresta = sima = adat. Jumene =
jumeneng = dikukuhkan sebagai pedoman.
10. Page yang dipakai untuk pebersihan menggunakan paga karena badan Resi Bisma
tidak menyentuh tanah melainkan ditunjang oleh panah.
11. Penggunaan page dan leluhur merupakan ciri unsur bhur, bwah, swah loka.

UPAKARA ATIWA-TIWA

1. Upakara Munggah di Kemulan


Peras, soda, daksina, suci alit asoroh, tipat kelanan, canang suci.

2. Upakara Munggah di Surya


Peras, soda, daksina, tipat kelanan, canang pesucian

3. Upakara disamping jenasah


Peras, soda, daksina. Tipat kelanan. Banten saji pitara asele. Peras pengambean,
penyeneng, rantasan. Eteh-eteh pesucian, pengulapan, prayascita, bayekawonan.
Banten isuh-isuh, lis degdeg (lis gede), bale gading (Kereb Akasa).

4. Upakara Pepegatan
Pejati asoroh, banten penyambutan pepegatan angiyu, sebuah lesung, segehan
sasah 9 tanding.

5. Upakara Pengiriman
Pejati lengkap 4 soroh (termasuk pekeling di Prajapati), Saji Pitra asele, punjung
putih kuning, tipat pesor dan nasi angkeb, Peras Pengambean, segehan sasah 9
tanding.

6. Upakara Pengentas Bambang


Pejati lengkap asoroh, tumpeng barak, soda barak ulam ayam biying
mepanggang, prayascita, bayekawonan, pengulapan, segehan barak atanding.

7. Upakara di Sanggah Cucuk


Pejati asoroh, canang payasan, banten peras tulung sayut.
UPACARA PENGABENAN MEWANGUN

Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga


upakaranya banyak. Ngaben jenis ini diikuti dengan Pengaskaran. Ada dua jenis: (1)
Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang matah. 
(2) Upacara Pengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi
disimbulkan dg  adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan.
Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul). Wedana = rupa
atau wujud. Dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa2an (simbolis
manusia).

UPACARA PENGABENAN PRANAWA

Pengabenan dengan sarana upakaranya ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri
manusia. Pranawa berasal dari kata Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9).

Kesembilan lobang yang dimaksud adalah:

1. Udana (lobang kening), mempengaruhi baik buruknya pikiran


2. Kurma (lobang mata) mempengaruhi budhi baik atau buruk , terobos ke
dasendriya.
3. Krkara (lobang hidung), pengaruh Tri Kaya, jujur atau tidak
4. Prana (mulut). Dosa bersumber dari mulut (Tri Mala Paksa)
5. Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan mempengaruhi manah – sombong dan
durhaka.
6. Samana (lobang pepusuhan), pengaruh jiwa menjadi loba dan serakah.
7. Naga (lobang lambung)  pengaruh karakter yang berkaitan dg Sad Ripu
8. Wyana (lobang sendi) pengaruhi perbuatan memunculkan Subha Asubha Karma.
9. Apana (pantat  kemaluan) pengaruhi kama yg berkaitan denga Sapta Timira.
Kesembilan lobang manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa.
Pengabenan Pranawa juga diikuti dengan upacara pengaskaran.

Ada lima jenis Pengabenan Pranawa

1. Sawa Pranawa: Disertai jenasah atau watang matah


2. Kusa Pranawa :  dg watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya
disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.
3. Toya Pranawa. Sama dg Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk
pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh2 pengentas. Juga memakai
Pengaskaran.
4. Gni Pranawa. Sama dengan pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi
pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah
tunggal. Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan,
ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya 
memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.
5. Sapta Pranawa. Upaca ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan
pengaskaran. Tapi tidak menggunakan Bale Paga pd waktu mengusung jenasah
ke setra. Hanya menggunakan pepaga/penusanganb.  juga dilaksanakan langsung
di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan
pengentasnya diata bambang.

PENGABENAN SWASTHA

Pengabenan sederhana, dengan tingkat terkecil  karena tidak dengan pengaskaran.


Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang. Tidak 
menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan,
tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut. Hanya menggunakan peti jenasah 
dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra. Pelaksanaan upacara di setra saja.
Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.
Swasta asal katanya “su” (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan
demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai
utama. Pengabenan swstha terdiri dua jenis:

1. Pengabenan Swastha Geni. Penyelesaian di setra dengan cara membakar


jenasah maupun tanpa jenasah. Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah
dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut.
Setelah itu selesai.
2. Pengabenan Swastha Bambang. Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya
dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah. Kwantitas upakaranya sama
dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah
dengan “pengandeg bambang”. Pengabenan swastha bambang ini tidak
disertakan upacara pengerekan dan penganyutan , karena tidak dilakukan
pembakaran melainkan dikubur. Sedangkan “pengelemijian” dan pengerorasan
tetap dilaksanakan seperti ngaben biasa. Pengabenan Swastha Geni atau Swastha
Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak
melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.
3. Pengabenan Kerthi Parwa. Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama.
Dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang. Tidak dilakukan
pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja. Pelaksanaanya seperti
pengabenan Swastha Geni.
4. Pengabenan Ngelanus. Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis
pengabenan. Hanya teknisnya yang dibuat cepat. Ada dua jenis:
a. Ngelanus Tandang Mantri. Pengabenan dan pemukuran diselesaikan
dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar
Kramaning Aben Ngelanus”. Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer.
Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.
b. Ngelanus Tumandang Mantri. Dilakukan untuk walaka dalam kurun
waktu satu sampai dua hari untuk para walaka . Upakara dan upacaranya
tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.
TATA CARA NYIRAMANG LAYON

Persiapan sarana

1. Tirta:
a. Tirta penglukatan pebersihan dari wiku
b. Tirta peleletan dari wiku
c. Tirta Pekuluh dari mrajan.
d. Tirta khusus:
i. Tirta Pengentas Bangbang: selesai atiwa-tiwa jika jenasah akan
dikubur atau mekingsan di Gni, sebaiknya menggunakan tirta
diatas agar sewaktu-waktu bisa ngaben. Jika tidak maka sebelum
setahun tidak boleh ngaben.
ii. Tirta SH Prajapati: bila jenasah dikubur atau mekingsan di Gni
mempergunakan tirta ini, krn tirta ini memiliki kekuatan
pengembalian ke sumbernya. SH Prajapati bersifat Mulaning Mula
(wit = sumber). Prajapati adalah tempat kehidupan bermula.

2. Persiapan sarana pebersihan


Toya kumkuman, Sisig ambuh, Sisir dan petat, Minyak rambut, Wastra
pesalin sepradeg, Boreh kuning, Kain pengusap rai, Kain pengusap raga.

3. Persiapan Sarana Penyucian:


a. Gegaleng 1 ijas pisang kayu 9 atau 11 bulih, belayag berisi uang
kepeng 225/250 biji, tebu ratu mesurat sangka paran, semuanya
dibungkus kain putih. Ada juga yang menyebut Bantal Segi Tiga sebagai
gegaleng.
b. Momon (cincin mirah Windhusara) utk ngerajah dan momon. Simbul
menetralkan sifat serakah manusia (momo) semasa hidupnya. Juga
untuk mencegah bau busuk. Secara niskala simbul Jiwatma yang telah
meninggalkan jenasah.
c. Beberapa lembar kain putih yang dirajah huruf Modre (kajang).
d. Simbul penyucian organ tubuh sensitif yang menimbulkan kama dan
indriya selama hidupnya. Penukup yang dimaksud ialah: Penukup Siwa
dwara (ubun-ubun), Penukup dua daun telinga, Penukup lambe (mulut),
Penukup muka atau prerai, Penukup purus atau baga (kemaluan).
e. Sebatang tebu ratu dan batang kayu sakti, disurat sbg Panca Datunya.
f. Wewalungan (tulang belulang) yang dirangkai diletakkan diatas layon.
g. Umbi skapa diiris-iris (usapang pada setiap persendian jenasah, sbg
simbul penyucian wyana dari dasa prana).
h. Daun intaran (simbul ardha Chandra). Kuncup kembang melati (pusuh
menuh) untuk lubang hidung simbul SH Waruna. Bunga teleng putih
(slagan alis)
i. Daun delem (untuk telinga) sbg simbul SH Kwera.
j. Malem 2 pulung (untuk lubang telinga), simbul apah, simbul Sang
Blegode.
k. Keramas (santen berisi air dapdap). Blonyoh putih (beras kencur),
blonyoh kuning (beras kencur temutis). Juga bebek anget-anget. Kapas.
l. Pecahan cermin 2 buah untuk kedua netranya. Simbul Teja (SH Surya
Candra).
m. Tali penyalin secukupnya
n. Bebek (serbuk cendana) secukupnya. Taburi seluruh tubuh sbg simbul
Pertiwi (SH Carman).
o. Sebidang daun tunjung berisi kain hitam dan semburan (boreh) rempah-
rempah utk sedaka lanang. Sedaka istri memakai sebidang daun tuwung
bolo 3 lembar dilapisi kain hitam berisi rempah2 (anget2) pada
kemaluan, simbul SH Smara.
p. Pisau “sudha mala” atau pemutik untuk mekerik (lanang), pisau
mejejahitan untuk istri. Pisau Sudha Mala (ujungnya tri sula) utk
menetralisir kekuatan Sadripu dan Sapta Timira yang kelak
mempengaruhi perbuatan (karmanya). Dari Tatwa: penyucian Dewa
Kuku (SH Kenaka Manik) yang telah dikotori perilaku manusia (lontar
Tutur Agastyaprana).
q. Dua untai benang tetebus (benang putih) untuk ituk-ituk. Untuk ikat ibu
jari kaki dan tangan. Simbul penyatuan Panca Budhindriya dengan
Panca Karmendriya agar menyatu dengan manah untuk kembali ke
Ahamkara.
r. Sebuah ante dari bambu, ditulisi aksara suci di bagian kepala, ulu hati
dan kaki. Sebidang tikar plasa yang sudah dirajah.
s. Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom dibuat dari daun enau muda dan
bunga pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm, panjang 75-90 cm.
Kereb Sinom adalah simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga
tergantung hasil Tri Kayanya (Karma Wasana).
t. Upakara Beyakala, jejaritan Bale Gading dan lis degdeg.
u. Kain putih untuk menggulung. Kain putih melelancing dengan lapis kain.
11 lapis (untuk kajang solas)
v. Dua lempeng perak dibungkus tiga helai daun kayu sakti sebagai
pegembelnya. Kepingan waja 4 tebih (untuk gigi) simbul Bayu, simbul
dari SH Bayu.
w. Peti jenasah yang sudah diupacarai, tumpang salu, pepelengkungan.
Ancak saji: pagar tempat jenasah dibaringkan.
x. Kain putih berisi sesuratan dedayang sebagai sarana ulon.
y. Sebuah pelepah Pisang Udang Sabha (warga Pasek sesuai Bhisama
menggunakan daun biyu kaikik), nantinya ditindih oleh jenasah. Ditulis
huruf “Rwa Bhinneda”. Kata Udang = Uda + Ang. (Uda = air = Wisnu =
Ung) (Ang = Ah = Sunia). Daun Pisang Udang Saba bermakna:
“karmanyalah menentukan sorga (sunya loka) atau tidak.
4. Persiapan tempat pebersihan yaitu Pepaga atau pandyusangan atau penusangan.
Pemandian sawa sebagai simbul bumi, dibuat dg kawat mas, perak tembaga
(tridatu). Diberi alas tikar dan pandan berduri sebelum dipakai. Pepaga
(penusangan) dibuat dari bambu (kalau bisa bambu kuning), bertiang empat
tingginya 175 Cm, ujung atas dari tiang dipasangi leluwur. Pepaga dibuat setinggi
puser sang “yajamana” (pemilik upacara), dipasangi leluwur. Pojok timur laut dari
tiang dipasang 11 uang kepeng sebagai simbul tingkatan alam sunia yg dituju.
Panjang bambu dua jengkal lebih dari ukuran jenasah dengan lebar 80 Cm atau
sesuai lebar jenasah. Galarnya menggunakan perhitungan “Ante” (cekur,
pinggang, nyawan, galar, ante, guling). Etika pemasangan: jika laki tengahnya
menengadah lainnya tengkurep, wanita sebaliknya.
5. Persiapan peti jenasah (simbul kekuatan maya SHW). Pada bagian kaki dilubangi
sebesar “aguli” (ajari tengah) sebagai jalannya Panca Maha Butha keluar dari
maya menuju alam “Sapta Petala”. Lubang dibagian kepala adalah jalan keluar
jiwatma menuju Sapta Sunia. 
6. Upakara ayaban setelah melelet diletakkan diwulu tempat layon (luanan), baik
nista, utama atau madya. Contoh: Banten ayaban tumpeng 27, hulunya daksina
gede sarwa 4 lengkap dengan banten sucinya, Banten Saji Tarpana, Banten
Pulegembal, Banten Pengulapan, prayascita, bayekawonan.
7. Seember air antiseptic (air + daun intaran/daun base, atau air diisi bahan kimia
antiseptic yang dibeli ditoko) untuk cuci tangan orang ikut ngeringkes.
8. Tata Cara Upacara Ngelelet
a) Mengikuti subha dewasa peleletan, menunggu kesiapan krama banjar
(perintah Klian banjar)
b) Penurunan layon dari Bale Gede, dilakukan sanak keluarga, diserahkan kpd
krama banjar dicacapan bale, keluarga tetap memopong bagian kepala.
Menuju pepaga, posisi kaki layon tetap lebih dahulu.
c) Pada waktu memandikan, layon tidak langsung ditelanjangi. Busana hanya
dibuka bagian dada saja dulu.
d) Wiku nyurat sastra diraga dengan cincin mirah. (AH – Nabi; Dasaksara –
perut; Mang = ulu hati; Ang = bahu kiri; Ung = bahu kanan; Adu
muka = selagan alis; Ang = ubun2.)
e) Pertama kali keramas dengan toya ambuh, mesisig, bilas air bersih, bilas air
kumkuman. Mantra ngeramasi: Om banyu klemukan, banyu pawitra
pangilanging papa klesa, danda upata atemahan sudha nirmala yns.
Ong2 angurah candra dimuka yns
f) Keringkan rambut dan muka dengan kain putih. Rambut dipetat dan disisir.
Pusung gelung gota (irtri) pusungan mudra lingga (lanang)
g) Setelah keramas barulah busana dibuka seluruh, keluarga menutup bagian
kemaluannya.
h) Seluruh badan dibilas air biasa , gosok dg blonyoh (boreh kuning), dibilas.
Setelah bersih barulah disirami air kumkuman secara merata, keringkan
dengan kain. Mantra memandikan: Om sarira suda yns. Om gangga
paripurna yns.
i) Memakai busana kewikuan. Tirta Bayekala di kakinya saja, perciki tirta
pebersihan dengan bale gading dan lis degdeg.
j) Wiku memercikkan tirta kekuluh merajan (tirta aswapada Hyang
Guru), dengan posisi tangan layon memegang sebuah kwangen berisi 11 pis
bolong.
k) Sanak keluarga mohon restu ke SH Raditya dg kwangen, posisi tangan di
selagan alis, dan kwangen diletakkan di kaki layon. Mantra: Om
Swargantu, Om Suniantu, Om Moksantu, Om Mursantu, Om Ksama
Sampurna yenamah swaha. Sembahyang:
a) Tangan puyung (utpeti sembah)
b) Ke surya (SH Siwa Raditya) dg kewangen: mohon banugerah kekuatan
widya kepada Sang Lina (Stiti sembah)
c) Sembah ke Sang Lina sbg pengaksama agar sang lina melepas
tresnanya kpd keluarga yg ditinggalkan
Selesai pebersihan (pebersihan hidup), dilanjutkan dengan penyucian atau
Pengeringkesan sebagai berikut:
a)    Memasang gegaleng di kepala layon
b)    Wiku memercikkan tirta pengeringkesan ke seluruh tubuh
c)    Pengerikan kuku (dg pisau sudamala atau pisau banten). Kerikan kuku dibungkus
tiga helai daun kayu sakti diletakkan di kaki layon.
d)    Memasang sarana Panca Dathu sbb:
d)    Wewalungan di atas dada layon
e)    Cermin di dua mata (simbul teja)
f)     Daun intaran pada kedua alis (ardha Chandra)
g)    Lempeng waja di gigi (SH Bayu)
h)    Bunga celeng putih selagan alis
i)     Malem pada lubang telinga
j)      Daun delem pada daun telinga
k)    Tali itik2 pd dua ibu jari tangan dan kaki
l)      Memasang kwangen:
1.    Penyolasan pd setiap persendian
2.    Kwangen jari: setiap kwangen berisi lima tubungan (diplintir sekecil2nya ujungnya
diisi irisan bawang putih (lambing kuku). Juga kwangen jari kaki. Total membuat 20
tubungan.
3.    Memasang kwangen isi 33 kepeng pd panggul
4.    Kwangen di ulu hati: menghadap keatas berisi 2 kepeng, menghadap kebawah
berisi 2 kepeng.
5.    Total semua uang kepeng yang digunakan 225 biji
m)  Penangkeb baga atau purus
n)    Memasang tebu yg sudah ditulis pd tulang punggungnya.
o)    Memasang sepotong kayu sakti yg sudah ditulis pd tulang dada
p)    Memasang momon pada rongga mulut.
q)    Memasang kajang (angkeb rai, karna, siwa dwara, cangkem, prana)
r)     Layon digulung dengan kaun penggulung, kemudian tikar, ante yang sudah
disurat di bagian kepala–uluhati-kaki, ikat dg tali ketekung (tali rotan) yang sudah
disurat, dipasang melingkar di bagian kepala, uluati, panggul. Tali lingkaran kepala
dihubungkan ke bagian ulu hati dan bagian panggul. Tali rotan adalah simbul
“melepaskan diri dari ikatan tali samsara (panumitisan). Maka perbaikilah karmamu
yang asubakarma menjadi subakarma.
s)    Digotong ke bale gede dg posisi kaki layon didepan. Masuk peti, petinya sudah
berada diatas tumpang salu.
t)     Memasang pelengkungan, diatasnya kain putih melelancing dengan lapis kain 11
lapis (kajang solas).
u)    Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom dibuat dari daun enau muda dan bunga
pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm, panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah
simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga tergantung hasil Tri Kayanya (Karma
Wasana).
v)    Setelah ngayab, dilanjutkan “Upacara Pepegatan”
w)   Wiku memuja ngaturang Saji Tarpana (Narpana Saji).

Tata cara diatas juga merupakan tata cara untuk meraga wiku. Sedikit penyederhanaan
untuk ngelelet layon meraga welaka adalah sebagai berikut:
1.    Persiapan Sarana Pebersihan
a.    Air bersih dan air kumkuman
b.    Air keramas, sisig, minyak wangi
c.    Berbagai jenis bunga harum
d.    Pakaian seperadeg/pesaluk/pesehan (pakaian sembahyang lengkap)
                                          i.    Pesaluk hidup laki (kain, saput udeng)
                                        ii.    Pesaluk hidup wanita (tapih, kain, sabuk, kamben cerik
                                       iii.    Pesaluk mati, laki perempuan sama, kain putih untuk
yang sudah kawin, kain kuning bagi yang belum kawin.
e.    Pakaian untuk ngulung dan kain putih.
f.      Tikar
g.    Samsan atau sekarura: beras kuning ditambah irisan daun temen diisi 33 pis
bolong, ditempatkan dalam wakul yng dibungkus kain putih.
h.    Beberapa jenis tirta:
       i.    Tirta Penglukatan dan Pebersihan (untuk menghilangkan mala petaka atau
pembersihan
              jenasah.
       ii.    Tirta Aswapada Betara Hyang Guru
       iii.    Tirta Pengresikan
       iv.    Tirta sesuhunan keluarga (pura2, kawitan, kemulan). Maksud: trita restu agar
perjalanan
              lancer.
       v.    Tirta Kahyangan: pakeling bahwa sang atma akan menghadap ke kahyangan
      vi.    Tirta pengulung: diperecikkan pd waktu ngulung mayat.
      vii.    Tirta penembak: memandikan jenasah membersihkan kotoran lahir bathin.
      viii.   Tirta pengentas: tirta pemutus hubungan (memutuskan ikatan purusa. Tiuk
pengentas
               adalah pisau untuk memutus hubungan.
      ix.    Tirta manah toya ning: adalah petitis keneh (manah).
      x.    Tirta prelina atma: agar jiwatma yang meninggal pergi kealam asalnya, tideak
ngrebeda.
2.    Pelaksanaan Ngelelet
Sama dengan Wiku, hanya ngambuhin bagian duur dapat dilakukan penglingsir.
Pebersihan 10 prana sebagai dosa manusia sebagai “dasa mala”. Sepuluh prana itu
ialah:
1.    Prana (lubang mulut)
2.    Udana (lobang kepala/kening)
3.    Samana (lobang pepusuhan)
4.    Wyana (lobang persendian)
5.    Kurma (lobang mata)
6.    Krkara (lobang hidung)
7.    Dewa Data  (lobang bibir)
8.    Dhananya (lobang tenggorokan)
9.    Naga (lobang lambung)
10. Apana (lobang dubur dan kelamin)

UPACARA PENGASKARAN

Ngaskara (askara=penyucian=pebersihan) adalah penyucian roh dari Atma Petra (roh


orang baru meninggal) menjadi Pitara. Ketika kematian terjadi, prakerti (badan kasar)
terpisah dg atma (roh) (antahkarana sarira) tapi masih diikuti oleh suksma sarira (alam
pikiran, perasaan, keinginan, nafsu). Karenanya roh perlu dibersihkan dg askara
(inisiasi). Oleh krn itu roh yang tidak diaben puluhan tahun akan berubah jadi Bhuta
Cuil (roh yg tidak bersih) yang mengganggu kehidupan manusia
Pelaksanaan Ngaben harus diikuti upacara Pengaskaran untuk mengembalikan unsur
Panca Maha Butanya secara sempurna, sehingga kesucian dari Sang Petra terus
ditingkatkan, dari Petra menjadi Pitra, pitra menjadi Dewa Pitara, kemudian dari status
Dewa Pitara menjadi Hyang Pitara atau Betara Hyang. Contoh puja masing-masing
status tersebut adalah:
Status Petra: Om Tigantu Atma Petras ca, Tigantu Atma Petranam,  Tigantu Atma
Petra, Sarwa yn Swadah.
Status Pitara: Om Jagrantu Pitara Ganem, Jagantu Pitara Ganem, Jagrantu Pitarah,
Sarwa yn Swadah
Status Hyang Pitara: Ong Ayantu Pitara Dewa, Ayantu cariman pujam, Ayantu I A Se Te
I, Siprathisto siprathisto, yn swadah, Ong nama wah pitaro suksma yn swadah. Ong
namo wah pitara turya yn swadah. Ong nama wah pitaro ktan, yn swadah.

Pengabenan sepatutnya disertakan “Pengaskaran” (Samskara Atma Preta) baik Utama,


Madya, Nista. Prinsipnya Petra itu harus diproses agar menjadi sifat pitara, kemudian
disucikan lagi menjadi Dewa Pitara, disucikan lagi menjadi Hyang Pitara (Betara
Hyang), agar bias distanakan di Pemerajan (Hyang Kemulan). Jika tidak melaksanakan
Pengaskaran berarti belum sempurna penyucian terhadap Sang Petra, hal inilah yang
dapat merusak jagat.

Upakara dasar Pengaskaran adalah sebagai berikut:


Upakara surya paling kecil memakai banten “Ardha Nareswari, Banten pebersihan,
Banten Dyus Kamaligi, Banten pisang jati, Banten kerayunan, Banten Peguruyagan,
dapat diganti dg banten Guru Piduka, Banten Penebusan, Banten Penebusan alit,
Banten pengadang-ngadang, Laban Kalika, Caru ayam brumbun, Laban rare, Laban
kawah, Laban Cikrabala dan Kingkarabala (tetandingan balung Gegending dan
Ketupang

Sarana Pengaskaran
1. Bale Pawedan (Pamiosan) untuk pandita. Jika di mrajan, Bale Piasan bisa
digunakan untuk Pamiosan pandita. Dibuat leluhur.
2. Banten pengajuman kajang, banten pemerasan.
3. Sanggah surya: daksina, sesantun, suci 2 soroh, pejati, peras, pengambean,
sesayut ardenareswri, rayunan putih kuning, rantasan, pesucian, klungah nyuh
gading (dikasturi).
4. Banten di sor sanggah surya: pejati dan suci asoroh, gelar sanga, segehan
cacahan.
5. Banten arepan sawa: banten ayaban (pemereman), uel kurenan, sesantun, suci,
banten saji, panjang hilang matah lebeng, banten pengadang-ngadang, bubuh
pirate putih kuning, nasi angkeb, penek catur warna, caru beten kolong sawa,
diyuskamaligi, pejati, eteh-eteh pemetikan (gunting, blayag, tunjung putih),
pemanahan, caru siap brumbun (caru tapakan sawa).
6. Banten pengresikan: Prayascita, Bayekawonan, durmanggala, lis bale gading,
pengulapan.
7. Banten arep sulinggih: daksina gede, sesantun alit, suci asoroh, pejati, peras,
pengambean, pemanisan, segehan warna lima asoroh.

MAKNA BERBAGAI SIMBUL PENGASKARAN


1.    Tirta Pengentas: Pe = pegat, ngen = ngen-ngen = trena, tas = hangus. Tirta
Pengentas untuk memutuskan dan menghilangkan Tresna agar kembali kepada
kekuatan amertha yaitu ke Siwa Merta.
2.    Tirta Pemanah artinya: toya berasal dari sindhu atau hindu atau windhu artinya
kosong atau sunya. Pemanah artinya: pe dan manah = alam pikiran. Tirta Pemanah =
untuk mengembalikan  Panca Maha Butha berdasar ketulusan hati.
3.    Toya Penembak: pe = pemutus; nembak = pembuka jalan. Tirta Penembak:
untuk memutuskan agar terbentuk jalan ke Sunya Mertha.
4.    Pengawak Adegan: simbul dari Panca Maha Butha. Wakul simbul pertiwi,
sampian simbul akasa, kwangen simbul apah, tongkat adegan simbul bayu, prerai
simbul teja.
5.    Tiga Sampir: untuk memendak toya pemanah dan memendak daun beringin.
Tiga sampir sebagai simbul tiga sosok apsari: Widyadari Nilotama, Widyadari Supraba,
Widyadari Ken Sulasih. Ketiganya utusan Dewata untuk membawakan tirtha pawitra
sebagai tirta penglukatan.
6.    Baju antakesuma: sebagai simbul kekuatan pelepasan dalam proses
pengembalian Panca Maha Butanya kepada sumbernya dalam arti mengandung konsep
Moksartham Atmanam.
7.    Payung Pagut: untuk mendak toya pemanah atau mohon daun beringin, sebagai
simbul Bale Salunglung yaitu stana para Dewata mengadakan peparuman untuk
memberikan keputusan kepada setiap mahluk di dunia yang Beliau kehendaki sesuai
dengan kodratnya.
8.    Puspa Lingga: pada upacara pemukuran yang menjadi obyek penyucian adalah
badan puspa lingga. Setelah Panca Maha Butha disucikan, kemudian distanakan di
pengawak adegan. Tapi setelah menjadi puspa lingga, Panca Maha Buta menjadi Panca
Tan Matra dan dibuatkan simbul sbb:
a.    Tangkai sekah dari bambu buluh gading sbg simbul Ganda Tan Matra
b.    Daun beringin sbg simbul Rasa Tan Matra
c.    Jemeknya (mirahnya) sebagai simbul Rupa Tan Matra
d.    Menurnya sbg simbul Sabda Tan Matra
e.    Namenya sbg simbul Sparsa Tan Matra.
9.    Kwangen Pengerekan (ngereka). Kwangen penyolasan untuk mengisi
persendian berisi 225 uang kepeng (jumlahnya 9 artinya pranawa/pralina). Gegaleng
250 dijumlah menjadi 7 artinya sebagai simbul sapta sunia.
10. Daun beringin. SH Widhi pd waktu menciptakan seisi alam bermanifestasi menjadi
SH Prajapati. SH Prajapati bermanifestasi menjadi SH Kalpa Wrksa dengan pangkal
pohonnya berada di alam sorga, sedang ujungnya berada di alam semesta (Phon
Beringin Sunya Mertha). Kalpa Wrksa ini bermanifestasi kea lam semesta sebagai:
a.    Ranting (bangsingnya) menjadi sarwa denawa, danuja dan sarwa raksasa
b.    Daunnya bermanifestasi menjadi kekuatan Panca Maha Butha
c.    Batang pohon bermanifestasi menjadi kekuatan urip dari semua mahluk
d.    Cabangnya menjadi karma dari semua mahluk dunia
e.    Bunganya menjadi sarwa dewa, sarwa dewata sbg kekuatan Betara di ala mini.
f.     Buahnya menjadi hukum Rta nya SH Widhi
g.    Setetes air yang gemerlapan di ujung daunnya sbg percikan atma ke  alam
semesta ini (Lontar Praja Pati Tattwa).
11. Kekecer: sarananya: tangkai bambU, seuntai padi, bulu ayam, bulu angsa, kain
sutra. Digunakan pd waktu jenasah diberangkatkan ke setra , kececer ditancapkan
setiap 9 meter sambil menghaturkan banten peras jalan. Sebagai pembuka jalan dan
mengandung konsep Moksrtam Atmanam. Padi = pada= padang = galang apadang.
Bulu angsa = angesah artinya telahpergi. Bulu ayam = simbul panca maha butha. Kain
sutra = panca maha butanya telah disucikan shg berwujud lebih halus.

URUTAN UPACARA PENGASKARAN


Upacara pengaskaran (Inisiasi) memisahkan pengaruh suksma sarira terhadap antah
karana sarira (roh). Inisiasi dilakukan terhadap adegan (simbul atman atau roh atau
purusa atau antah karana sarira) dengan melaksanakan dwijati terhadap roh yang
meninggal, bukan jasadnya. Dwijati ditandai dengan acara pemetikan adegan.
Urutan upacara pengaskaran adalah sebagai berikut:

1. Ngeringkes kajang, digulung oleh pemangku dg penglingsir dan keluarga.


Letakkan kembali di Bale Pengajuman.

2.    Sang Pemuput melakukan:


a.    Ngarga Tirta
b.    Surya Sewana
c.    Ngangge Giri Pati Stawa
d.    Ngangge Brahma Stawa. Dll
3.    Untuk pengabenan welaka tingkat madya dan kanista boleh menggunakan tirta
sudah puput (wiweka jnana).
4.    Mujanin pedudusan selengkapnya
5.    Tirta yang dibuat Sang Pemuput:
a.    Manah toya (jika belum manah toya ditempat toya). Membuat tirta pemanahan
(manah toya) 3X pd tirta jun (air klebutan) dengan panah dan bunga teratai.
b.    tirta pareresik, tirta pengajum kajang, tirta pengringkes kajang, Tirta pasupati
kajang dan pasupati adegan.
c.    tirta penembak. Air (tirta) ini dicari oleh keluarga pada tengah malam di air
klebutan.
d.    tirta pebersihan, tirta saji, tirta pemerasan, tirta pengentas, tirta pralina, tirta
penyaeb, utik gni pemrelina (Korek api dan kayu api khusus dipakai nyulut api pertama
di pemuhunan).

1. Memercikkan tirta ke kajang dan adegan.

7.    Ngutpeti Dewa Damar Kurung sampai selesai


8.    Ngutpeti Butha Petra
9.    Nguweci Desa, lalu mesirat keluhur dengan astra Sriyambhawantu.
10. Puja ngumpulang Dewa termasuk Hyang Prajapati
a.    Aturin Dewa Pratista
b.    Aturin udanjali dan pedudusan selengkapnya
11. Puja “Banten Penebusan” sampai selesai pemuktiannya
12. “Lukat Sang Atma Banda”, ngeseng rebegeding atma petra dening puja
“Merta Karani”
13. Angesahakna sang atma petra saking banten krayunan, surupakna maring
adegan, didasari dengan puja pengupeti atmapetra, dan rangsukakna mantra
“Unapa Bhiseka” selanjutnya disambung dengan Puja Ayantu Atma Petra paweha
“Diyus Kamaligi”, lanjut Puja Tigantu, Tisthantu, lalu henengakna sang atma.
14. Lanjut “memuja keluhur”, ngaturang “puja pejaya-jaya” kehadapan Bethara
dengan “Pradnya Paramitha”.
15. Nama Pengaksaran. Tuduhan sang Atma dening idep, muspa ring Betara
Surya, Sang Hyang Prajapati, Betara Guru, dan kehadapan Betara Siwa
Dharma untuk memohon penugrahan sebagai sisya pengaskaran serta memohon
Nama Pengaskaran.
16. Penapakan: Memanggil sang atma untuk dibersihkan. Berikan wangsuh pada
nilah, nyuwun kehadapan Betara Siwa Dharma kasinanggeh Dang Guru, kemudian
ditapak dengan penuntun Surya (Sapta Ongkara) tidak dengan kaki sang pemuput,
hanya dengan kekuatan jnana.
17. Mepetik. Ambil “pengerebodan” tiwakin kepada adegannya, kemudian mengambil
gunting, bunga tunjung putih, lalang seset mingmang (panca mustika) idep megunting
rambutnya secara panca muka, kenyataannya secara simbul megunting ampyagnya
sebanyak 5 kali. Bekas guntingannya dimasukkan kedalam blayag dan diisi kwangen.
Kemudian diberikan eteh2 pedudusan selengkapnya.
18. Kemudian dautaknya sang atma maserana bunga kalpika, melaksanaka Puja
Pengesengan, agar menjadi ongkara sungsang nunggal kelawan sang pemuput
mengaran ongkara madumuka. Seolah-olah sudah menunggal sang Sisya kelawan
dangguru. Kemudian berikan tirta penglukatan, pebersihan dan puja pejaya-
jaya, puja Pitra Byah, nama pitra, rangsukan mantra ke jero, jaya-jaya dengan
Mantra Swaha Swada, pengidepnia sudah disaksikan oleh para leluhurnya yang telah
berstana di pisang jati , selanjutnya mesirat di pisang jati.
19. Kemudian nguncarang Puja Gangjantu, Jagrantu, dan nguncarang Puja Dewa
Pitara Pratistha, pangidepnia sang pemuput, disuruh Dewa Pitara mengingat sanak
keluarganya, disinilah baru disertakan membaca Mpu Plutuk Aben dan Pustaka
Adhi Parwa.
20. Selanjutnya Sang Pemuput mesirat keluhur, Ngaturang Dewa Buktem, serta
Muktiang ke Dewa, kemudian mujanin Saji Dewa Tarpana, pemuktian saji
kepada Dewa Pitara.
21. Selanjutnya mujanin banten bebangkit (kalau ada). Kalau tidak ada, hanya banten
pengadang-ngadangnya saja, sampai selesai pemuktian.
22. Nguncarang Puja Pemerelina Butha.
23. Malih mesirat keluhur, jaya-jaya ring Betara ngangge Puja Indrani Kesama
Jagatnatha.
24. Selanjutnya keluarga dituntun pengubaktiannya kehadapan:
a.    Sang Hyang Surya
b.    Sang Hyang Prajapati
c.    Sang Hyang Siwa Dharma
d.    Dewa Pitara
25. Terakhir Sang Pemuput memberikan pewisik kpd Dewa Pitara. Dilanjutkan Puja
Pengelepas Dewa Pitara agar kembali ke Sangkan Paraning Dumadi. Kalau upacara
pengabenannya memakai upacara matetangi, maka tidak memakai puja pengelepas,
hanya memakai puja pesimpen.

1. Hanya Pandita yang sudah medwijati dan mapulanglingga yang diperkenankan


muput pengaskaran. Pinandita ekajati tidak wenang ngaskara. Apabila dilanggar
maka „nyumuka”.
2. Setelah pengaskaran dilanjutkan dengan „pejayan-jayan”  dan pebaktian seluruh
keluarga.
3. Dilanjutkan Pemerasan dan tarpana saji, dimana adegan dan kajang mengelilingi
banten pemerasan diikuti oleh sanak keluarga semua termasuk cucu dan buyut.

UPACARA MEBUMI SUDHA

 Upacara pembersihan dan


penyucian ditempat pengesengan sawa berdasar nista, madya, utama. Tujuannya
menyucikan tempat pengesengan dengan tirta Kahyangan Tiga, tirta Kawitan, Tirta
Pengentas. Tirta ini tidak kena kecemeran. Dilakukan pada semua jenis
pengabenan

UPACARA PEMRELINA DAN MEWANGUN SEKAR


TUNGGAL DI SETRA.

Setelah adegan atau jenasah selesai


dibakar, arangnya ditutupi pelepah daun pinang (papah buah) yang daunnya sudah
disurat bergambar “Cakra”. Kemudian disiram dengan Toya Pemanah. Kmudian arang
tulang diambil satu persatu menggunakan sepit atau cincin permata mirah
Windhusara, diletakkan dalam kukusan. Dibersihkan lagi dengan air kumkuman.
Selanjutnya dilakukan “pangerekan” diatas “Panca Layuan” serta disucikan lagi
dengan eteh2 pesucian. Kemudian arang tadi digilas  diatas sebuah
sesenden, kemudian dibungkus menjadi sekah tunggal.

Makna berbagai uparengga yang


digunakan adalah:

1.    Penutup pelepah


daun pinang: makna kembalinya ke unsur2 Panca Maha Butha dan penumadiannya
nanti tergantung buah karmanya.

2.    Toya Pemanah


yang dipakai: bukan toya penembak.

3.    Arang diambil


dengan cincin mirah: sarana pengentas agar unsur Panca Maha Buthanya cepat
kembali ke sumbernya Sang Pencipta. Cincin mirah sebagai simbul kekuatan Siwa.
Sepit sebagai simkbul kekuatan Ardha Candra sebagai simbul kekuatan nada.
Setelah selesai. Wiku melaksanakan upacara pengiriman, sekah dihanyut.
Sebelumnya dilakukan meprelina dimana sekah tunggal dikelilingkan di Pengesengan
dengan arah prasawya (kekiri) kemudian baru nagkil ke Pemuput (wiku) untuk
memohon restu.

SAWA MEKINGSAN DI GENI DAN MEKINGSAN


DI PERTIWI (MEPENDEM).

Perlu menggunakan tirta Pekingsan,


karena bila sudah menggunakan tirta Pekingsan maka sewaktu-waktu dapat
melaksanakan upacara pengabenan. Namun jika tidak menggunakan tirta pengentas
pekingsan maka  tidak diperkenankan  ngaben sebelum setahun dipendem
(Lontar Yama Purana Tatwa).

UPACARA
PEMUKURAN/PENYEKAHAN/PENGRORASAN

Mukur asal katanya Bhuk (alam


bawah), Ur atau urdah (swah loka). Mukur adalah proses penyucian lanjutan dari
unsur2 Panca Mahabuta agar manjadi status Dewa untuk dikembalikan kealam
kedewataan shg disebut Dewa Pitara dan pada puncak kesuciannya disebut Hyang
Pitara.

Uperengga pada Damar Kurung


mempergunakan simbul Kupu-Kupu Dedari (seekor kupu2 berkepala widyadari)
sebagai simbul wahanyanya Hyang Pitara pulang kesumbernya. Ini terlihat dari
puja Penglepasan Pitra memohon kepada Sang Kepupu Wong. Demikian
juga pada upacara pengabenan, damar kurungnya berisi simbul burung garuda
berkepala raksasa sebagai wahanya Dewa Pitara. Puja Penglepasannya memohon
kepada Kaki Badra Lim  (manuk Raja) untuk mengantar Dewa Pitara ke
sumbernya.

UPACARA PENGLIWETAN

Upacara pemukuran disertai upacara


Pangliwetan. Pengeliwetan mengandung maksud dan tujuan Pengeluweran yaitu
mengembalikan unsur2 Panca Maha Butha, unsur Rokh dan unsur atmanya kealam
masing2 yaitu: unsur Panca Maha Buthanya ke Prakerthi Tattwa (kekuatan
acetana), sedangkan unsur rokhnya kembali ke Purusa Tattwa dan unsur atmanya
kembali ke alam Parana Nirbana (kealam moksa). (lontar Tattwa Jnana).

Dalam proses Ngeliwet, dibuatkan bubur nasi yang berasnya diseruh sebanyak 11
kali (simbul dari alam Siwa. Angka 11 jika dijumlah menjadi 2 (simbul Windu
Sunia) atau alamnya Siwa. (Lontar Tutur Saraswati). Bubur ini dicampur dengan
menyan, madu, empehan (lontar Pengerorasan), bukan telur goreng dan bawang
goreng. Menyan sebagai simbul Sang Hyang Brahma (mengembalikan unsur Panca
Maha
Buthanya), madu sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Wisnu (mengembalikan unsur
rokhnya), empehan sebagai simbul kekuatan SH Siwa (mengembalikan unsur Atmanya.
Setelah bubur kental kemudian dikepal-kepal 108  buah sebagai simbul titik
puncak kekuatan Pralina (Tattwa Samkhya) dari angka 108 menjadi 9 merupakan
angka sakti Hindu (titik lebur), sedangkan angka 0 merupakan simbul Windhu
Sunia.

UPACARA NILAPATI

Upacara Nilapati adalah upacara


ngeluwuirang Hyang Pitara atau Dewa Hyang setelah pemukuran atau penyekahan.
Nilapati asal katanya Nila (hitam) yaitu Wisnu sebagai simbul kehidupan setelah
kematian. Upacara Nilapati adalah suatu upacara untuk menstanakan Dewa yang
berada dalam alam kehidupan yang tidak nyata.

INDIK PEDEWASAN PENGABENAN

Ada hari (dina) yang biasanya


dihindari dalam pengambilan dewasa atiwa-tiwa atau pengabenan. Pelanggaran
terhadap pengambilan dewasa dipercaya akan menimbulkan hal-hal yang fatal dalam
kehidupan sosial. Beberapa hari yang dihindari adalah.

Was Penganten. Tidak boleh dipakai hari penguburan dan ngaben. Pahalanya
dapat mengakibatkan kematian berturut-turut dalam satu banjar dan keluarga yang
ditinggalkan tidak putus-putusnya kegeringan.

Semut Sedulur. Juga tidak boleh. Pahalanya tidak putus-putusnya ada


penguburandalam satu desa dan keluarga yang ditinggalkan tidak putus2nya
menemukan kesusahan.

Catus Pemanggawan. Pada perhitungan hari ini tidak diperkenankan penguburan


atau ngaben. Kasureksa De Betara Yamadipati tan sida sang Pitra ngemangguhin
swargania.
Kala Gotongan. Tidak diperkenankan karena sang Pitra tidak habis-habisnya
menemui sengsara di alam bakha.

Hari Purnama, Tilem, Piodalan


Kahyangan Jagat. Tidak diperkenankan  karena hal
ini disebut Amundung Kesucian Sang Hyang Siwa Butha, Sang Pitra tan urungan
kesinamberaning gelap sengsara kang pitra (lontar Yama Tatwa Wariga).

Pedewasan Sejeroning Pitung Rahina. Kurun waktu 7 hari dari meninggalnya,


dapat dipakai salah
satu harinya namun tetap melihat larangan-larangan hari seperti diatas,
ternyata dalam kurun waktu 7 hari tersebut ada hari yang dilarang asal tidak
Was Penganten, masih bias memakai hari yang lain berkisar dalam tujuh hari
tersebut. Tapi kalau larangan harinya lebih dari satu dan kepepet, carikan
pedewasan diluar perhitungan tujuh hari tersebut,  (Lontar Aji Janantaka).
Jika  melkasanakan penguburan atau ngaben dalam kurun waktu tersbut dari
tidak ada larangan hari maka dewasa tersebut dikatakan jalan Sang maninggal
sangat utama sekali.

UPACARA NGAJUM KAJANG

Ngajum = memuji. Ngajum dalam kaitan


ngaben adalah menghias atman orang yang akan diaben. Panjang kajang 1,5 – 2
meter (sedepa astamusti), ditulis dengan aksara suci (Mudre). Aksara kajang
terdiri dari Sodasaksara yaitu gabungan Ongkara, dwiaksara, triaksara serta
dasaksara. Kajang adalah selimut orang yang meninggal yang dibawa menuju kealam
sorga. Oleh sebab itu aksara2 modre dalam kajang memiliki kaitan erat dengan
tattwa2 agama, khususnya ajaran kedyatmikan seperti tutur Kelepasan dan ajaran
Kemoksan yaitu ajaran untuk mencapai tujuan akhir menuju Sang Pencipta. Ngajum
kajang dilakukan sehari sebelum pembakaran. 

Sarana yang digunakan untuk ngajum


kajang adalah sebagai berikut:
1. Persiapan tempat untuk ngajum kajang berupa bale atau     meja.
2. Kain putih sebagai dasar pengajuman kajang
3. Selembar kain cepuk
4. Kajang klasa
5. Kajang pemijilan
6. Kajang sari
7. Ukur/wukur (uang kepeng yg dirangkai sbg manusia     disebut ukur Deling, ukur
balung menyerupai tulang). Wukur adalah tempat
     pekoleman atma.
8. Jarum sekitar 3 lusin (tergantung banyaknya keluarga yg     ikut)
9. Kwangen
10.Sekar Ura
11.Rurub Sinom
12.Rantasan
13.Minyak wangi

BEBERAPA JENIS KAJANG

1. Kajang Klasa: kajang dari sulinggih untuk alas kajang     utama atau kajang
pemijilan.
2. Kajang Pemijilan atau Kajang Utama: kajang yang dibuat     sulinggih, ditaruh
paling atas. Kajang ini yang akan diajum bersama ukur.
3. Kajang Sari: kajang dari dadia atau keluarga terdekat.     Ditaruh dibawah kajang
utama.

Kajang menurut pemakainya (soroh).

1. Kajang  Brahmana : untuk sulinggih


2. Kajang Kesatria: untuk raja2
3. Kajang Jaba: untuk walaka (diluar untuk pandita dan     raja)
4. Kajang soroh: atau kajang sesuai kawitan masing-masing.     Kajang ini
selanjutnya menjadi Kajang Utama.

Urutan penempatan ukur, kajang,


cepuk dan kain putih

1. Kasa putih (paling bawah)


2. Kasa putih
3. Kasa putih
4. Kain cepuk
5. Kajang Klasa
6. Kajang pemijilan (paling atas)
7. Ukur (diatas kajang pemijilan)

UPAKARA NGAJUM KAJANG

1. Ayaban tumpeng lima


2. Sesayut alit
3. Suci
4. Daksina gede (satu)
5. Banten sorohan
6. Banten pemelaspas
7. Sesayut pasupati
8. Pesucian

TATA CARA UPACARA NGAJUM KAJANG DAN


PEMERASAN

1.    Pengabenan Sawa


Prateka (ada jenasah) ditaruh dibersihkan dimandikan ditaruh di semanggen. Sawa
Prateka (tanpa jenasah), dilakukan upacara ngendagh dan ngangkid. Jika tidak
diketahui kuburnya dilakukan upacara ngulapin

2.    Sebelum
pengajuman, lakukan upacara pengulapan dg sanggah Urip (tempat roh yang
dipanggil akan diaben). Sanggah urip dibuat dari daun kelapa dumala, ditaruh
pada adegan, ditaruh disebelah jenasah yang akan diaben di semanggen.

3.    Ngajum kajang


di natar mrajan disaksikan leluhur dan Dewa Pitara, dipimpin sulinggih. Kajang
dan adegan tidak kena kesebelan. Adegan adalah simbul atma dan ”atma tan kekeng
kesebelan karena atma percikan dari Brahman.

4.    Kajang adalah


selimut kebesaran dari atma yang akan dibawa ke sorga.

5.    Adegan dan


kajang bukan bagian dari raga sarira (badan kasar/prakerti) yang kena
kesebelan, melainkan bagian dr  Antah Karana Sarira (purusa)yang bebas
dari kesebelan.

6.    Pemerasan dilakukan


di luar merajan, karena ada upacara simbolis sang atma turun ke alam manusia.

7.    Setelah kajang


selesai di ajum maka Sulinggih mulai memuja pasupati kajang, kemudian
dilanjutkan ngaskara dan upacara mepetik.

8.    Dilanjutkan
dengan Pemerasan. Diikuti oleh seluruh keluarga sebatas buyut. Adegan dan
kajang diarak mengelilingi upakara pemerasan sbg simbul Sang Hyang Atma turun
ke dunia manusia bertemu dg keluarga.

9.    Selanjutnya
adegan dan kajang diletakkan diatas peti jenasah,

10. Menunggu pemberangkatan ka


setra.

URUTAN JALANNYA NGAJUM KAJANG

1. Siapkan sebuah asagan (bale, meja) dg kasur kecil,     tikar dan bantal. Tikar
dirajah Padma ditengah padma ditulis aksara
     Ongkara Mertha dan Aksara Rwa Bhineda. Diatas bale2 diisi leluhur.
     Disamping bale ditaruh banten: ayaban tumpeng 5, sesayut alit, suci,
     daksina gde, sorohan, banten pemelaspas, peras pemelaspas, sesayut
     pasupati, pesucian.
2. Siapkan sarana Ngajum Kajang: kain putih, selembar kain     cepuk, kajang
klasa, kajang pemijilan, kajang sari, ukur, jarum, kwangen,
     sekar ura, rurub sinom, rantasan, minyak wangi.
3. Letakkan kain kasa 1,5 – 2 m diatas tikar sbg alas     kajang sekaligus sbg
pembungkus
4. Diatasnya kain cepuk. Diatas kain cepuk ditaruh Kajang     Klasa
5. Diatasnya kajang sari (bila ada) (kajang dari dadia     atau dari teman2)
6. Diatasnya kajang Pemijilan (dari sulinggih). Kajang     Pemijilan ini kajang inti
(kajang utama) yang akan di Ajum.
7. Ukur. Untuk laki2: Seleh (sisi pis bolong yang berisi     dua huruf) menghadap
keatas. Untuk wanita Kerep (empat huruf) menghadap
     keatas. Membuat ukur harus memperhatikan Seleh dan Kerep.
8. Ngajum dimulai dg menusukkan jarum pada kajang melalui     lubang uang
kepeng sehingga ukur menyatu dg kajang seperti dijarit.
     Diawali oleh penglingsir (pemangku/pinandita) menusuk pada bagian kepala.
     Yang lebih muda dari yang diaben tidak boleh menusuk pd bagian kepala.
9. Dilanjutkan pebersihan dg air kumkuman, keramas, sisig,     minyak wangi,
boreh miik seperti memandikan orang meninggal. Lanjut
     menghias kepala ukur dengan bunga.
10.Memasang kwangen seperti upacara nyiramang layon, di     kepala 1, ulu hati 1,
kedua siku, bahu, pergelangan tangan, pangkal paha,
     lutut, pergelangan kaki.
11.Ditabur sekar rura diatas ukur, semprot minyak wangi.     (sekar rura: macam2
bunga, kembang rampe, boreh miyik).
12.Memasang rurub sinom (dari blangsah pinang) sebanyak 3     buah (kepala,
badan, kaki).
13.Menaruh rantasan diatasnya dan canang sari diatas     rantasan.
14.Pemangku memercikkan tirta penglukatan, pebersihan,     prayascita.
15.Melaspas kajang.
16.Sulinggih memberi tirta Pengajuman (tirta pasupati     kajang) dan Tirta Saji.
Bersamaan dengan pemujaan sulinggih membuat
     tirta2: pengajuman kajang, tirta penembak, tirta pengentas, tirta prelina,
     tirta penyaeb, tirta penganyutan dan lain-lain.
17.Setelah ngetisang tirta pengajuman, tirta pasupati kajang,     rurub sinom dan
rantasan diambil sementara lalu dilanjutkan ngeringkes
     kajang. Kain putih tiga lembar paling bawah sebagai pembungkus. Sama
     seperti ngeringkes jenasah, laki: kain pembungkus sisi kananmenutup,
     wanita: pembungkus sisi kiri  menutup. Pembungkus diikat dengan
     benang tukelan dan tali rotan di tiga tempat, kepala, dada dan kaki.
     Ketiga ikatan itu disambung dengan benang memanjang. Rurub sinom
kembali
     dipasang.
18.Setelah Ngaskara Adegan selesai, dilanjutkan upacara     pemerasan. Kajang dan
adegan dipanggul mengelilingi banten pemerasan
     sebanyak tiga kali diikuti oleh sanak keluarga.
19.Kajang ditaruh diatas peti jenasah di Bale Semanggen.     Nantinya akan dibawa
ke setra untuk dibakar.

Anda mungkin juga menyukai