Anda di halaman 1dari 10

MAKNA PERANGKAT PEMUJAAN

BUDHA PAKSA PAKARANA


Oleh:
Ida Bagus Purwa Sidemen
Fakultas Pendidikan Agama dan Seni
Universitas Hindu Indonesia, Denpasar
dayuudevi@yahoo.com

Abstract

The Budha Paksa Pakarana has the means of worship as its must requirement possessed in per-
forming its duties to lead and guide the Hindus in carrying out the ceremony. The means consists of
rarapan, wanci kembang ura, wanci bhija, wanci samsam, wanci ghanda, pamandyangan, sesirat,
pengasepan, pedamaran, patarana or lungka-lungka, saab/kereb/​​hood, genta (genta padma), bajra,
canting, and penastan. When a Pandita processing a ceremony, he is wearing attributes and clothing
of Hindu high priest such as wastra, kampuh, kawaca, pepetet/ petet, santog, sinjang, slimpet/ sam-
pet/ paragi, kekasang, astha bharana/ guduita, gondola, karna bharana, kanta bharana, rudrakacat-
an aksamala, gelangkana, angustha bharana, and an amakuta or the so-called bhawa or ketu. The
results of observation and analysis show that the meaning of the Budha Paksa Pakarana a means of
liaison between a pandita from the Buddhist group with Sang Hyang Buddha (God). The Panditas of
the Buddha Paksa group have certain duties and obligations and agem-ageman to worship in a great
ceremony of Hinduism in Bali. This typical Pandita performs worship for the middle realm (Bwah
Loka), other than Pandita Shiva to worship for the upper realm (Swah Loka) and Pandita Bhujangga
Waisnawa has the duty to perform worship for the underworld (Bhur Loka).

Keywords: Budha Paksa Pakarana, Pandita Budha, means of worship

Abstrak

Pemujaan Budha Paksa Pakarana memiliki perangkat pemujaan sebagai syarat mutlak yang ha-
rus dimiliki dalam melakukan tugasnya memimpin dan mengantarkan umat Hindu didalam melak-
sanakan upacara. Dalam perangkat pemujaan Budha Paksa Pakarana, terdiri dari : rarapan, wanci
kembang ura, wanci bhija, wanci samsam, wanci ghanda, pamandyangan, sesirat, pengasepan, ped-
amaran, patarana atau lungka-lungka, saab/kereb/tudung, genta (genta padma), bajra, canting, pe-
nastan. Juga pada saat seorang Pandita sedang muput sebuah upacara, memakai atribut dan busana
kepanditaan seperti : wastra, kampuh, kawaca, pepetet/petet, santog, sinjang, slimpet/sampet/para-
gi, kekasang, astha bharana/guduita, gondola, karna bharana, kanta bharana, rudrakacatan aksa-
mala, gelangkana, angustha bharana, dan sebuah amakuta atau yang lebih dikenal dengan nama
bhawa atau ketu. Hasil observasi dan analisa menyiratkan makna Budha Paksa Pakarana yaitu per-
angkat pemujaan Budha Pakarana sebagai sarana penghubung antara seorang pandita dari golon-
gan Budha dengan Sang Hyang Budha (Tuhan). Pandita dari golongan Budha Paksa memiliki tugas
dan kewajiban serta agem-ageman tertentu untuk melakukan pemujaan dalam sebuah upacara be-
sar agama Hindu di Bali. Pandita Budha Paksa bertugas untuk melakukan pemujaan pada alam ten-
gah (Bwah Loka), selain Pandita Siwa untuk melakukan pemujaan pada alam atas (Swah Loka) dan
Pandita Bhujangga Waisnawa bertugas untuk melakukan pemujaan pada alam bawah (Bhur Loka).

Kata kunci: Budha Paksa Pakarana, Pandita Budha, perlengkapan pemujaan

MAKNA PERANGKAT PEMUJAAN BUDHA PAKSA PAKARANA


103
Ida Bagus Purwa Sidemen
I. PENDAHULUAN keyakinan dan pemujaan; dan Karma Marga, ja-
lan kerja dan pelayanan. Pikiran, perasaan dan
Inti hakikat (essential nature), prinsip-prin- kehendak bukanlah kemampuan-kemampuan
sip utama dari agama Hindu dimuat dalam yang terpisah satu sama lain, tapi hanyalah un-
pustaka suci Hindu, yang digolongkan sebagai sur-unsur pengalaman yang dapat dibedakan.
berikut: (1) Sruti atau Wahyu (revelation, God Masing-masing memberikan sumbangannya
Inspired) yang terdapat dalam Weda-Weda, We- sendiri terhadap keseluruhan, dan masing-mas-
danta (Upanishad, Bhagawad Gita, Brahmasu- ing disusupi atau diisi oleh yang lain. Ketiganya
tra); (2) Smerti (tradisi) yang terdapat dalam – pengetahuan yang benar, keinginan yang
Menawa Dharmasastra (Kitab Hukum Manu); benar, dan tindakan yang benar – berjalan bers-
(3) Purana, yang memuat kisah-kisah mitholo- ama.Yang pertama mengungkapkan kebenaran
gis (kisah para Dewa); (4) Ithihasa, atau wira- kepada kita, yang kedua menyusupi diri kita
carita seperti Ramayana dan Mahabarata; (5) dengan kecintaan kepadanya, dan yang ketiga
Dharsana atau filsafat (point of view, doctrine, membentuk hidup kita. Hanya sekedar ilmu
philosophy). Dalam agama Hindu dikenal 6 pengetahuan, tidak dihidupi oleh kehangatan
(enam) aliran filsafat yang disebut Sad Dharsa- perasaan, akan menjadikan hati kita beku bagai
na; Nyaya, Waisesika, Sankhya, Yoga, Mimamsa salju; hanya perasaan tanpa disertai oleh ilmu
dan Wedanta. Pustaka suci Hindu terdiri dari pengetahuan adalah hysteria; hanya tindakan,
kitab-kitab yang memuat wahyu, hukum, kisah- tidak dituntun oleh kebijaksanaan dan tidak di-
kisah, mitologi dan filsafat yang merupakan satu beri inspirasi oleh cinta, adalah ritual tanpa arti
bagian dari padanya (Madrasuta, 1999:28). atau kegelisahan karena demam” (Radhakrish-
Tahap terakhir penyempurnaan di dalam nan. S dalam Madrasuta, 1999:125).
evolusi manusia di atas bumi, dari sudut pan- Kependetaan Brahmana dibagi ke dalam dua
dang orang Bali, adalah mencapai kasta Brah- kelompok besar; kaum Siwa (Siwa atau Siwa Si-
mana dan ditugasi menjadi seorang pedanda, danta), dan apa yang disebut Buddhis (Boddha);
seorang pendeta tinggi: dari manusia sederha- bukan pengikut sesungguhnya dari Siwa dan
na, menjadi prajurit, negarawan, sarjana, pende- Boddha, tetapi sekedar bagian sektarian dari
ta, dan setelah meninggal, menjadi Dewa. Hanya agama yang sama. Pedanda Siwa mengenakan
dengan telah mencapai kedudukan ini, kehidu- rambut panjang yang diikat dalam gelungan di
pan tertinggi di dalam skala yang panjang dan atas kepalanya, sedangkan Pedanda Boddha
sulit dari evolusi, memberkati pedanda dengan rambutnya dipotong sepanjang bahu, sedang-
sebuah ciri gaib dan membenarkan-setidaknya kan tugas dan ritualnya sama dengan hanya per-
di dalam mata mereka sendiri – keunggulan bedaan kecil di dalam rinciannya, di dalam kata-
mereka atas semua orang yang hidup (Covarru- kata, dan di dalam teks yang mereka gunakan.
bias M, 2013:325). Bagi kebanyakan orang Bali pembagian ini han-
Sulinggih adalah sebuah jabatan keagamaan. ya sedikit berarti sampai dia memanggil pende-
Seperti halnya semua jabatan, jabatan Sulinggih ta dari sekte mana saja untuk memimpin tidak
memiliki syarat-syarat, uraian jabatan yang peduli apakah dia Siwa atau Boddha, hanya seke-
berisi tugas dan wewenang, yang dalam istilah dar kesenangan, atau karena kebiasaan keluar-
Hindu disebut Sasana Kawikon. Secara tradis- ga, atau lantaran rumah pendeta lebih dekat
ional Sasana Kawikon itu terkait dengan pelak- dengan rumahnya. Baginya dua orang pendeta
sanaan ritual agama Hindu. Pedanda bertugas dari dua sekte tak diragukan lagi lebih efektif
memberikan dewasa ayu (hari baik) menentu- dibandingkan dengan hanya seorang, tetapi ini
kan bentuk upakara dan muput upakara. Sasana merupakan kemewahan yang mahal dan hanya
Kawikon tidak saja mengandung syarat dan pangeran yang mampu membayar. Bahkan lebih
uraian jabatan, tetapi juga “kode tingkah laku” jauh dan menugasi pendeta ksatria seorang Rsi
(code of conduct) (Madrasuta, 1999:73). dan seorang Sungguhu untuk menangani roh ja-
“Satu pengalaman keagamaan yang utuh ha- hat, sehingga setiap jenis pendeta diwakili (Co-
rus menyentuh tiga lapis kesadaran manusia, varrubias M, 2013:328).
yaitu pikiran, perasaan, dan kehendak, yang di- Wijayanda (2004:15) menjelaskan bahwa
wujudkan melalui Jnana Marga, jalan pengeta- semua perbuatan tentu memiliki tujuan, begitu
huan dan penerangan jiwa; Bhakti Marga, jalan pula dalam hal ber-yadnya tentulah memiliki tu-

DHARMASMRTI
104
Vol. XVII Nomor 02 Oktober 2017 : 1 - 114
juan yang pasti pula, yakni menuju kelepasan. Di Artinya :
dalam “Manawa Dharmasastra VI”, disebut- Kalau manusia telah membayar tiga jenis
kan bahwa pikiran (manas) baru dapat dituju- hutangnya kepada Tuhan, leluhur dan
kan kepada kelepasan setelah tiga hutang ter- para Rsi, barulah hendaknya manusia
bayar. Ketiga hutang yang dimaksud tersebut menujukan pikirannya untuk mencapai
dalam bahasa Sansekerta disebut dengan Tri kebebasan terakhir. Manusia yang
Rna yaitu, hutang kepada Tuhan yang disebut mengejar kebebasan terakhir tanpa me-
dengan Dewa Rna, hutang kepada para Rsi dise- nyelesaikan tiga jenis hutangnya akan
but Rsi Rna dan hutang kepada leluhur disebut tenggelam ke bawah (Suhardana,
Pitra Rna. Hutang kepada Tuhan itu muncul atas 2008:3).
yadnya beliau kepada umat manusia, dimana di
dalam proses awal penciptaan Tuhan dengan Di Bali, dalam melaksanakan suatu upacara
mengorbankan dirinya sebagai cikal bakal, sep- yang besar seperti Tawur Kesanga, Panca Wali
erti yang disebutkan di dalam “Bhagawadgita” Krama, Eka Dasa Rudra biasanya yang muput
(Sloka III-10,13) berikut ini : adalah Sang Tri Sadhaka. Sang Tri Sadhaka yang
dimaksud adalah sulinggih Siwa, Budha, Bhu-
(sloka III-10) jangga atau sering juga diucapkan Sang Rsi, Si-
Saha-Yajnah prajah srstva wa dan Sogata. Ketiga sulinggih ini mempunyai
Purovaca prajapatih, wewenang khusus masing-masing adalah; (1)
Anena prasavisyadhavam Sang Sulinggih Siwa: sebagai pembersih atau
Esa vo stv ista-kama-dhuk menyucikan alam atas yaitu Akasa. Melalui pu-
janya Sang Sulinggih Siwa berwenang meng-
Artinya: haturkan munggah ke Sanggar Surya yang
Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, maksudnya mempersembahkan yajna dari alam
Tuhan setelah menciptakan manusia me- atas ke bawah. Sulinggih Siwa berasal dari maz-
lalui yadyna, berkata: dengan (cara) ini ab Siwa, artinya Sulinggih Siwa memiliki keahl-
engkau akan berkembang biak seb- ian menyucikan alam atas dan menurunkan
agaimana sapi perah yang memenuhi ke- kekuatan dari Ida Sang Hyang Widhi, (2) Sang
inginanmu (sendiri) (Pudja,2005:84). Sulinggih Budha: mempersembahkan atau
menghaturkan yajna pada alam tengah atau
(sloka III-13) awang-awang. Sang Sulinggih Budha berasal
yajna-sistasinah santo dari mazab Budha yang memiliki keahlian me-
Mucyante sarva-kilbisaih, nyucikan alam tengah dan mempertemukan
Bunjate te tv agham papa kekuatan suci Ida Sang Hyang Widhi dengan
Ye pacayanty atma-karana kekuatan Bhuta Kala yang telah di somya di alam
bawah, (3) Sang Sulinggih Rsi, Bhujangga, Seng-
ghu: beliau mempunyai wewenang sebagai
Artinya; pembersih atau menyucikan alam bawah (bumi
Ia yang memakan sisa yadnya akan sapuh jagat). Beliau mempunyai keahlian me-
terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang nyucikan alam bawah dan untuk nyupat Bhuta
memasak makanan hanya bagi dirinya Kala atau menetralisir kekuatan-kekuatan Bhu-
sendiri, sesungguhnya mereka itu me- ta Kala sehingga menjadi somya. (Gunawan,
makan dosanya sendiri. (Pudja, 2005:86). 2012:84).
Pendeta Hindu (Siwa, Budha, dan Bhujangga
Bahkan seperti yang terdapat pada Kitab Waisnawa) di Bali, seperti yang sudah diketahui
Manawa Darmasastra VI.35 mengajarkan : oleh masyarakat umum di Bali bahwa setiap be-
liau akan muput atau memimpin sebuah upaca-
Rinani trinyapakritya manomokse niwe- ra keagamaan Hindu di Bali, selalu disertai den-
sayet gan perlengkapan perangkat pemujaan, disebut
Anapakritya moksam tu sewamano dengan Siwopakarana (Upakarana Siwa & Wais-
wrajatyadhah nawa Paksa) dan Budha Pakarana (Upakarana
Budha). Dalam setiap upacara besar setingkat

MAKNA PERANGKAT PEMUJAAN BUDHA PAKSA PAKARANA


105
Ida Bagus Purwa Sidemen
Panca Wali Krama, Labuh Gentuh dan sebagain- Dharma seperti diamanatkan dalam Wrhaspati
ya di Bali, peranan dari Sang Pandita dari golon- Tattwa, dinyatakan yang disebut Dharma meli-
gan Tri Sadhaka sangatlah utama. Ketiga Pandi- puti tujuh hal, yaitu; sila, yajna, tapa, dana,
ta ini melakukan tugasnya masing-masing ses- pravrjya, diksa, dan yoga. Untuk itu seseorang
uai dengan peran dan agem-ageman-nya. Tentu- menjadi Pandita adalah merupakan pengama-
nya perangkat pemujaan menjadi salah satu lan ajaran Dharma yang utuh. Pandita yang men-
perangkat penting pada saat beliau muput upa- jadi Sang Sista merupakan salah satu perwuju-
cara. Tanpa kelengkapan alat pemujaan terse- dan Dharma. Artinya kebiasaan-kebiasaan suci
but, sebuah upacara tidak akan bisa dilak- Sang Pandita itulah yang disebut perwujudan
sanakan dengan baik (sempurna). Ibarat dharma. Perwujudan dharma yang lainnya
seorang lumpuh yang kehilangan tongkatnya, adalah Sruti atau Sabda Tuhan Yang Maha Esa
perangkat pemujaan kepanditaan tersebut dan Smrti yaitu sabda Tuhan Yang Maha Esa
merupakan sesuatu yang sangat penting dan yang mampu diingat oleh para Maha Rsi. Dalam
mendasar sekali untuk selalu menyertai seorang Kitab Sarasamuscaya 40, disebutkan empat ke-
Pandita Hindu di Bali saat akan melaksanakan wajiban Pandita sebagai berikut :
tugasnya (muput upacara).
Salah satunya adalah perangkat pemujaan “Srutyaktah paramo dharmastatha smrti-
dari Budha Paksa, perangkat penting yang dise- gato parah, sistacarah parah proktastrayo
but Budha Pakarana sebagai kelengkapan mut- dharmah sanatanah”
lak pada saat menjalankan tugas memimpin
upacara serta dengan kelengkapan dan agem- Artinya :
ageman yang khusus. Maka dari pada itu, penu- Yang patut diingatkan ialah segala apa
lis angkat dan bahas terkait makna perangkat yang diajarkan oleh Sruti disebut Dhar-
pemujaan Pandita Budha (Budha Pakarana) di ma dan segala hal yang diajarkan oleh
Bali, berharap bisa mendapatkan penjelasan Smrti Dharma juga itu namanya, demiki-
yang lebih lengkap, detail, sehingga bisa ber- an pula perilaku orang Sista. Sista artinya
manfaat demi kepentingan umat dan agama orang yang berbicara jujur, orang yang
Hindu. dapat dipercaya menjadi tempat pensu-
cian diri, tempat meminta ajaran-ajaran
II. PEMBAHASAN dan petunjuk-petunjuk suci (Sudharta,
2009:20).
1. Gambaran Umum Kerpanditaan di Bali
Berdasarkan Ketetapan Mahasabha II PH- Adapun empat ciri Sang Sista seperti
DI/1968 yang disebut “diksita” adalah Rsi, Mpu yang diwajibkan dalam Sarasamuccya 40 terse-
(Ida Pandita Mpu), Pedanda, Bhujangga, Dukuh, but adalah sebagai berikut; pertama, Sang Satya
Danghyang, dan Bhagawan. Dengan demikian Wadi artinya beliau yag selalu berbicara tetang
maka mereka yang telah mengikuti upacara kebenaran (jujur). Satya Wadi berasal dari kata
“diksa” digolongkan ke dalam golongan Brah- Satya artinya kebenaran yang tertinggi. Satya ju-
mana yang mempunyai peranan sangat penting ga berarti jujur. Sedangkan kata Wadi artinya
dalam kehidupan beragama umat Hindu. Tugas mengatakan. Jadi seorang Pandita harus selalu
seorang Sadhaka atau Pandita Hindu kini di Bali mengatakan kebenaran dengan cara yang baik
lebih banyak bersifat memimpin atau menyele- dan benar. Satya itu adalah kebenaran Weda
saikan upacara yajna sesuai dengan permintaan sabda Hyang Widi Wasa. Inilah swadharma
umat. Hubungan antara Sadhaka atau pandita orang yang disebut pandita yang maha berat;
dengan sisya-nya diatur sedemikian rupa dalam kedua, Sang Apta artinya orang yang dapat di-
berbagai kitab Sasana, khususnya Siwa Sasana percaya. Karena selalu berkata benar dengan
dan Silakrama, yang mengamanatkan seorang cara yang benar dan jujur seorang pandita pun
sisya tidak sembarangan mencari guru Sadhaka semestinya orang yang dapat dipercaya. Untuk
atau Dangupadhyaya (Tim Penyusun, 2011:417). memegang kepercayaan inilah seorang Pandita
Swadharma atau fungsi dan tugas seorang tidak dibenarkan berbicara terlalu banyak.
Pandita atau Sadhaka adalah melakukan penyu- Seorang pandita sebelum berbicara dan berbuat
cian diri melalui diksa, salah satu perwujudan harus memikirkan secara matang apa yang akan

DHARMASMRTI
106
Vol. XVII Nomor 02 Oktober 2017 : 1 - 114
dibicarakan dan apa pula yang akan diperbuat. bar keseluruh Bali, Lombok dan daerah lainnya
Dengan demikian kemungkinan berbicara dan (Jelantik Oka dalam Martini, 2009;49).
berbuat salah menjadi kecil agar jangan sampai Pedanda Budha memiliki tugas muputCaru
kena Ujar Ala (kata-kata kasar) dari orang lain; yang letaknya di bawah pada upacara-upacara
ketiga, Sang Patirthan artinya Pandita itu seb- yang tergolong besar. Beliau memanifestasikan
agai tempat untuk memohon penyucian diri ba- Pertiwi, Pradana/Prakerti, memuja Prana Ma-
gi umatnya. Seorang Pandita disebut juga orang tra, yaitu Candra Murti dan Surya Murti (Marti-
Suci, disamping beliau berwenang untuk mem- ni, 2009:54).
buat Tirtha atau air suci. Pandita juga memiliki
swadharma untuk menyucikan umat yang mem- 3. Perangkat Pemujaan Pandita Budha Pak-
butuhkan penyucian. Secara simbolik umat dis- sa (Budha Pakarana)
ucikan dengan Tirtha yang dibuatnya dan yang Dalam perangkat pemujaan Budha Paksa Pa-
lebih penting adalah menuntun umat secara karana, terdiri dari : rarapan, wanci kembang
spiritual untuk dapat menempuh hidup suci ura, wanci bhija, wanci samsam, wanci ghanda,
agar terhindar dari berbagai perbuatan yang pamandyangan, sesirat, pengasepan, pedama-
tercela. Hidup suci adalah modal dasar untuk ran, patarana atau lungka-lungka, saab/kereb/
mendapatkan hidup bahagia sekala dan niskala; tudung, genta (genta padma), bajra, canting, pe-
dan keempat, Sang Panadahan Upadesa, artinya nastan,. Juga pada saat seorang Pandita sedang
seorang pandita memiliki swadharma untuk muput sebuah upacara, memakai atribut dan
memberikan pendidikan moral kesusilaan pada busana kepanditaan seperti : wastra, kampuh,
masyarakat agar masyarakat hidup harmonis kawaca, pepetet/petet, santog, sinjang, slimpet/
dengan moral yang luhur. Karena itu Pandita sampet/paragi, kekasang, astha bharana/gudui-
disebut pula Adiguruloka, artinya sebagai Guru ta, gondola, karna bharana, kanta bharana, ru-
Utama dalam masyarakat lingkungannya (Tim drakacatan aksamala, gelangkana, angustha
Penyusun, 2009;419). bharana, dan sebuah amakuta atau yang lebih
dikenal dengan nama bhawa atau ketu.
2. Pandita Budha
Dang Hyang Astapaka, seorang pendeta be- 3.1 Makna Rarapan.
sar bersemayam di kerajaan besar Majapahit di Rarapan sebagai salah satu perangkat pent-
Kota Pasuruan Jawa Timur. Di Jawa beliau juga ing dalam Budha Pakarana, berfungsi sebagai
bergelar Mpu Katrangan. Beliau merupakan pu- tempat diletakkannya semua perangkat pemu-
tra dari Dang Hyang Angsoka atau keponakan jaan bagi Sadhaka atau Pandita Budha. Dengan
dari Dang Hyang Nirartha. Pada sekitar tahun bentuk yang sederhana, persegi empat, dan kaki
Saka 1530 Dang Hyang Astapaka mengikuti je- sebanyak empat buah sebagai penyangga, dihia-
jak pamannya datang ke Bali dan membuat pas- si dengan ornamen Naga pada sisi kiri dan kan-
raman di Banjar Ambengan, Peliatan, Ubud – an, memberikan makna bahwa Rarapan sebagai
Gianyar. Karena ketaatannya kepada leluhur, be- perangkat pemujaan adalah juga sebagai penun-
liau mengikuti jejak para leluhurnya menjalank- tun (disimboliskan dengan Naga). Pandita Bud-
an Dharma Kasogatan, Budha Mahayana Bajray- ha, juga adalah sebagai penuntun umat dan tem-
ana. Setelah beliau menikah dengan Ni Dyah pat umat untuk mendapatkan pengetahuan ke-
Swabhawa, sepupunya dan melahirkan Brahma- agamaan. Rarapan juga sebagai simbol Pertiwi,
na Banjar. Brahmana Banjar kemudian beristri- sebagai pijakan dalam menapak kehidupan di
kan Brahmana Kemenuh (dari banjar Buleleng). dunia ini. Ida Pedanda Gde Nyoman Jelantik Du-
Perkawinan ini menurunkan Pedanda Sakti aja, dalam keterangan tertulis beliau, me-
Tangeb yang akhirnya menetap di Pura Taman nyatakan bahwa :
Sari Budha Keling. Kemudian beliau menikahi “Rarapan puniki maka peragayan Ida Sang
tiga orang putri yaitu putri Brahmana Kemenuh, Hyang Ibu Pertiwi. Rarapan puniki wantah
putri Ngurah Jelantik, dan putri Satrya Beng. marupa dedampa marepat, pinaka dasar genah
Masing-masig dari istrinya tersebut berputra sarana pamujaan Ida Ratu Pedanda Budha. Lu-
dua orang yang kesemuanya akhirnya di-diksa wirnya : Pamandyangan, Waci Wija, Wanci Gand-
menjadi Pedanda Budha. Dari sinilah diturunk- ha, Wanci Kembangura, Wanci Samsam, Wanci
an semua Pedanda Budha yang akhirnya menye- Ganitri.

MAKNA PERANGKAT PEMUJAAN BUDHA PAKSA PAKARANA


107
Ida Bagus Purwa Sidemen
3.2 Makna Pamandyangan di arah barat, Puspa di arah selatan, Gandha di
“Pamandyangan punika wantah genah toya arah utara, sedangkan Santi tidak disebutkan
Suci/Tirtha. Pamandyangan meraga padma ring tempatnya atau arahnya. Pandita Budha men-
tengahing hredhaya maka lingganing adnyana ganggap Santi tempatnya adalah di tengah. Pen-
Budha” empatan Santi di tengah dimaksudkan sebagai
Demikian keterangan tertulis dari Ida Pedan- Yantra yaitu titik pusat yang merupakan titik
da Gde Nyoman Jelantik Duaja, bahwa fungsi yang suci. Dalam kehidupan keagamaan umum-
Pandyangan adalah sebagai tempat air suci nya titik pusat dilambangkan dengan Santi.
(tirtha), yang dipergunakan selama proses Dalam setiap pengambilan Santi, Pandita Budha
pemujaan maupun muput upacara oleh Pandita diharuskan menyebutkan Ah waktu memutar
Budha. Pandyangan juga merupakan simbol Santi ke arah barat dan Gi Ham waktu memutar
“padma” bermakna sebagai tempat bersemay- Santi ke arah utara. Disamping itu Santi ber-
amnya Sang Hyang Budha, dihulu hati Pandita fungsi sebagai simbol Dhyani Budha yang men-
Budha. Hal ini memberikan ketegasan bahwa empati masing-masing arah mata angin. Santi
dalam diri seorang Pandita Budha pada saat dipergunakan dalam Puja Asalin Vai, yaitu den-
mepuja, bersemayam dalam dirinya Sang Hyang gan jalan memutar mulai dari arah timur (pur-
Budha. wa), selatan (daksina), barat, (pascima), dan
Pemasangan bunga (puspa), gandha atau utara (uttara). Jadi pemutaran Santi dilakukan
cendana dimaksudkan sebagai lambing Asta De- menurut arah Pradaksina (Martini, 2009:79)
wata, sehingga diharapkan para Dewata yang Semua hal ini memberikan gambaran makna
bersemayam di segala penjuru mata angin ikut bahwa pada saat seorang Sadhaka atau Pandita
menjaga tempat dan tirtha yang dibuat dalam Budha memimpin upacara, kehadiran Ida Sang
upacara. Dalam setiap pemujaan yang dilakukan Hyang Budha dan Acintya distanakan sekaligus
oleh seorang Pandita Budha, selalu menggunak- menjadi saksi serta mengharapkan upacara ber-
an air suci atau tirtha yang berfungsi untuk pe- langsung dengan baik dan memberikan kese-
nyucian diri, melebur dosa, menjauhkan diri jahteraan bagi umat manusia.
dari roh-roh jahat serta sebagai simbol amertha.
Memercikkan tirtha kepada umat dalam setiap 3.4 Makna Ghanta/Genta
upacara dimaksudkan agar orang bersangkutan Seperti yang disampaikan sebelumnya, genta
mendapatkan kesehatan, ketentraman, kesela- sebagai piranti atau atribut serta perlengkapan
matan dan kebahagiaan bathin (Astawa, Sadhaka atau Pandita dalam melaksanakan ke-
2007:132). wajibannya (mapuja/meweda) sudah tentu me-
miliki makna yang tinggi. Sedikit pada uraian
3.3 Makna Santi ini akan dijelaskan tentang makna dari genta
“Santi punika marupa lingga, murdha Padma tersebut.
utawi Acintya, maka stanan Ida Sang Hyang Keberadaan genta sangat sesuai bila diband-
Parama Budha”, Ida Pedanda Gde Nyoman Jelan- ingkan dengan Bhuwana Agung dan Bhuwana
tik Duaja . Alit. Suara genta yang muncul ibarat Adnyana
Santi berupa Lingga berfungsi sebagai tem- Sandhi, yaitu suara genta sebagai sarana perekat
pat menstanakan Ida Sang Hyang Budha selama pikiran di Bhuwana Alit dengan pikiran di Bhu-
mepuja atau muput upacara. Pada perangkat wana Agung. Seperti yang disebutkan pada lon-
pemujaan yaitu Santi, juga merupakan simbol tar Prakempa, suara genta tersebut adalah suara
dari berstananya Sang Hyang Acintya, yang di- Bhuwana Agung (alam jagat raya semesta ini),
lukiskan pada ornamen Padma, pada bagian dan pada lontar Kundalini disebutkan bahwa su-
paling atas dari Santi. Pada prakteknya perang- ara genta tersebut adalah Sapta Cakra di Bhuwa-
kat pemujaan berupa Santi dipergunakan pada na Alit (pada diri manusia). Jadi suara yang ter-
upacara bersifat madya dan utama. Santi dilam- dapat di Bhuwana Agung dan di Bhuwana Alit
bangkan sebagai kelanggengan serta saksi Pan- dipertemukan dan disatukan didalam suara
dita Budha melakukan stuti. genta, yang dibunyikan oleh Pandita saat mapu-
Di dalam Bhatara Budha Stuti, setelah dise- ja/meweda (yoga). Begitulah dua sumber sastra
but Sarva Tathagata disebut pula Dhupa yang menyebutkan adanya makna dari genta terse-
ditempatkan ke arah timur, Dhipa ditempatkan but.

DHARMASMRTI
108
Vol. XVII Nomor 02 Oktober 2017 : 1 - 114
Demikian juga mengenai makna Genta dapat 2007:131). Dalam upacara Wija dibuat dari be-
dilihat saat pendeta ngastawa genta (sakralisasi ras yang utuh, bersih, dan dicuci dengan air cen-
genta). Untuk ngastawa genta terlebih dahulu dana dan air kembang. Wija diberikan kepada
genta dipercikkan dengan air suci tiga kali. Den- umat setelah melakukan persembahyangan dan
gan sakralisasi genta, upacara pokok berarti diletakkan antara kedua kening, di dada, dan
dimulai. Dengan demikian dapat diartikan bah- ditelan. Wija disini disimbolkan sebagai Dewa
wa esensi falsafah Hindu riil. Ngaskara genta di Kumara, dan Dewi Sri, sedangkan pemakaian
tutup dengan menyentil anak Genta sebanyak Wija mempunyai pengharapan akan mem-
tiga kali sebagai lambang Sthiti. peroleh kebijaksanaan, kemuliaan, kemakmu-
ran, dan terhindar dari malapetaka. Wija juga
3.5 Makna Wanci Kembang Ura disebut pula Gandhaksata, yang berasal dari ka-
Wanci (tempat) Kembang Ura berfungsi un- ta Gandha dan Aksata, yang berarti biji padi-pa-
tuk meletakan Kembang Ura (bunga yang telah dian yang utuh serta berbau wangi. Wija adalah
dipotong-potong atau diiris) terdiri dari 3 ma- suatu perlengkapan yang diperlukan dalam
cam bunga atau lebih, biasanya diambil dari upacara-upacara keagamaan sebagaimana hal
bunga yang berbau harum, seperti kamboja, je- air atau tirtha, bunga dan api; pemakaiannya
pun, cempaka, sandat, dan bunga delima yang hampir sama dengan tirtha yaitu dengan jalan
digunakan oleh Pandita Budha. Selain menggu- menaburkan kedepan sebanyak 3 kali; tetapi bi-
nakan sekar katihan (bunga utuh), menggunak- la diberikan kepada seseorang Wija diletakkan
an bunga utuh atau Kembang Ura bagi seorang diantara kedua kening, di dada, dan ditelan ti-
Pandita Budha merupakan suatu keharusan, di- dak dikunyah (Mas Putra, 2006:20, dalam Mar-
mana pada hakekatnya bunga disini berfungsi tini, 2009:83).
sebagai alat untuk membersihkan diri secara
simbolis. Disamping itu bunga juga dapat ber- 3.7 Makna Wanci Ghanda
makna sebagai wujud persembahan yang paling Wanci (tempat) Ghanda berfungsi untuk me-
sederhana untuk mendekatkan diri kepada Tu- letakkan cendana atau Ghanda. Cendana atau
han dengan cara muspa (Martini, 2009:81). Gandha yang berbau harum bermakna sebagai
Dalam Astuti atau pemujaan kepada Bhatara simbol keabadian atau kehidupan yang abadi.
Panca Tathagata, Pandita Budha diwajibkan Dalam penggunaannya cendana atau air cen-
mengambil bunga warna putih sebagai simbol dana dan air kembang berfungsi untuk menim-
Bhatara Aksobhya, bunga kuning sebagai simbol bulkan bau yang harum pada Wija, dimana ber-
Bhatara Ratnasambhawa, bunga merah sebagai as sebelumnya dicuci bersih dengan air kemu-
simbol Bhatara Amitabha dan bunga dengan dian direndam dengan air kembang dan diberi
berbagai warna sebagai simbol Bhatara bubuk cendana untuk menambah keharuman
Amoghasiddhi (Hooykaas, 1964:31, dalam Asta- Wija.
wa 2007:138) “Wanci punika wantah genah ghanda. Ghanda
wantah toya cendana sane miyik, mawak sabda
3.6 Makna Wanci Wija rahayu, meraga Sabdha Dharma Jati” (Ida Ped-
Ida Pedanda Gde Nyoman Jelatik Duaja, anda Gde Nyoman Jelatik Duaja).
dalam keterangan tertulis beliau, menerangkan
bahwan “Wanci punika wantah wadah Wija. Wi- 3.8 Makna Wanci Samsam
ja pawakan Amertha, sane wetu saking ulah hen- Dalam penjelasan tertulis Ida Pedanda Gde
ing, idep hening, pamekas laksana rahayu”. Wan- Nyoman Jelantik Dwaja, bahwa “Samsam punika
ci Wija merupakan tempat Wija, sebagai simbol melakar antuk rwaning pudak. Samsam punika
kemakmuran atau Amertha yang berasal dari maka lingganing Ida Sanghyang Kawi Swara”.
pikiran, ucapan, dan laksana yang hening suci. Jadi Samsam merupakan salah satu sarana yang
Wanci (tempat) Wija berfungsi untuk me- harus selalu menyertai seorang Pandita Budha
letakkan Wija atau Aksata yang berbau harum melakukan Loka Pala Sraya. Samsam dibuat ber-
bermakna sebagai simbol keabadian atau ke- bahan dari daun pudak yang diiris tipis-tipis,
hidupan yang abadi. Cendana yang menimbul- berfungsi sebagai tempat berstana atau lingga
kan bau yang harum dan Wija atau Aksata adalah Ida Sang Hyang Kawi Swara. Samsam merupak-
sifat yang tidak dapat dipisahkan (Astawa, an sarana umum yang dipakai dalam setiap

MAKNA PERANGKAT PEMUJAAN BUDHA PAKSA PAKARANA


109
Ida Bagus Purwa Sidemen
pembuatan sarana upacara berupa canang. Po- pan, api suci pengusir dan pembakar segala
sisi meletakkan Samsam dalam sebuah canang kekotoran dunia dan saksi suci yadnya.
berada di tengah-tengah. Hal ini sekaligus seb-
agai simbol berstananya Ida Sang Hyang Parama 3.11 Makna Dhipa
Kawi. Oleh I Gede Pudja (1991:79) dalam
“Wedaparikrama” Bab II Bagian I, dijelaskan
3.9 Makna Bhajra mengenai makna Dhupa dan Dhipa :
Seperti disebutkan sebelumnya diatas bahwa “Wijil ing dhupa saking wiswa, (sarwa alam)
Ghanta dan Bhajra selalu digunakan secara ber- dan dhipa yang terdiri dari ardhacandra (bulan
sama-sama dalam pemujaan. Saat digunakan sabit) adalah tajamnya Bakti “.
Bhajra akan diputar sebagai simbol menimbul-
kan perputaran kedamaian di seluruh jagat raya C.Hooykaas dalam “Surya Sevana” menulis-
seiring dengan mantra-mantra yang diucapkan kan mantra pendeta untuk menyalakan Dhupa
oleh Pandhita Budha. Bhajra yang berfungsi seb- dan Dhipa sebagai berikut :
agai senjata Dewa Indra dalam penggunaannya
dipegang dengan tangan kanan setinggi ping- “Om am dhupa-dipa-astraya namah”
gang. Penggunaan Bhajra selalu bersama-sama
dengan Ghanta/Genta, karena dengan demikian Artinya :
akan dapat menimbulkan kekuatan untuk mem- Kami bersujud kepada-Mu yang dilambang-
bangkitkan Asta Dewata, sehingga upacara yang kan dengan aksara Am, kami bersujud kepada
diselenggarakan dapat berhasil dengan selamat. nyala api suci dari dhupa dan dipa.
Bhajra yang berbentuk senjata perang mem-
punyai makna sebagai alat untuk melakukan Oleh bapak I Gede Pudja (1991:79) lebih lan-
konsentrasi dalam pemujaan, sehingga seorang jut dijelaskan bahwa Dhupa adalah lambang
Pandhita Budha dapat mengendalikan indra Akasa Tattwa dan Dhipa merupakan Sakti
yang ada dalam dirinya. Menurut penjelasan Tattwa. Dari uaraian tersebut dapat diketahui
tertulis Ida Pedanda Gde Nyoman Jelantik Duaja bahwa Dhupa dan Dhipa memberi seruan kepa-
bahwa, “Bhajra punika wantah senjata pawakan da Agni untuk mensukseskan semua upacara.
Bayu Jnana Maha Suci, maka palebur pangru-
watan mala mwang neraka”. Dari penjelasan 3.12 Makna Wanci Genitri
tersebut diketahui bahwa Bhajra bermakna seb- Genitri memiliki fungsi sebagai simbol kekua-
agai alat atau senjata yang memiliki kekuatan tan Siwa maupun Bhatara Budha, dimana asal
Jnana Maha Suci, penyucian dan pelebur dari se- genitri adalah biji dari tanaman genitri atau
gala kekotoran. disebut juga Rudhraksa. Rudrahraksa diyakini
sebagai tanaman yang magis, dimana bijinya
3.10 Makna Dhupa yang sudah tua berwarna biru, bisa dijadikan
Setiap pelaksanaan upacara, baik karena si- sebagai pelengkap kepanditaan. Rudhraksa juga
fatnya maupun fungsinya, misinya sangat khu- disebut “Mata Dewa”. Melalui keterangan tertu-
sus bagi manusia. Dalam hal ini dalam setiap lis yang dibuat oleh Ida Pedanda Gede Nyoman
pelaksanaan upacara keagamaan Hindu di Bali, Jelantik Duaja dari Geria Budakeling, dijelaskan
dhupa adalah sesuatu yang penting sekali. Jadi bahwa :
makna Dhupa adalah : (1) Lambang Agni yang “Ganitri puniki wantah kawisesan, kaweru-
dihidupkan disetiap rumah tangga, sehingga ia han, kapradnyanan Sang Meraga Pandhita. Gani-
dikenal sebagai “Grahapati“ (permintaan dalam tri, punika mawit saking Geni meartos genah, Tri
rumah tangga), (2) Pengantar upacara yang punika wantah Tetiga. Tetiga genah linggih Ida
menghubungkan antara manusia dengan Tuhan Sang Meraga Pandhita ring Sekala Niskala Sun-
(3) Agni adalah Dewa yang mengusir raksasa ya.
dan membakar habis semua mala sehingga Genitri adalah merupakan rangkaian buah
menjadikannya suci, (4) Agni adalah pengawas genitri yang pada kedua ujungnya dipertemu-
moral dan saksi yang abadi, (5) Agni merupakan kan dan diikat dengan Murdha sehingga men-
pemimpin upacara yadnya sejati menurut Weda. jadi sebuah rangkaian. Genitri adalah simbol
Demikian makna yang terdapat pada Padhu- yang mewakili Sarwa Buddhanam, Prajna

DHARMASMRTI
110
Vol. XVII Nomor 02 Oktober 2017 : 1 - 114
Paramitadewi dan Sutranam Bodhisattwanam. lut (berkumur). Air yang beliau pergunakan
Jumlah biji genitri adalah 108 berfungsi dan di- adalah air bersih yang terdapat di dalam Penas-
pergunakan untuk membayangkan semua Bud- tan tersebut. Dari uraian tersebut dapat diketa-
ha dan Bodhisattwa yang dipuja selama proses hui bahwa makna dari Penastan sangat sakral
pemujaan untuk membuat Tirtha (air suci). Dis- karena dipergunakan saat awal atau pertama
amping itu genitri merupakan lambang dari ke- kali sebagai pembersihan sebelum pendeta
bajikan, yang diharapkan dapat merubah mala- menghadap Budha Pakarana untuk kemudian
petaka menjadi kebajikan. Penggunanya sangat melakukan pemujaan.
berhubungan dengan pembersihan semua ko-
toran pada diri manusia dan benda-benda yang 3.15 Makna Canting
dipergunakan agar menjadi suci. Jika Pandita Canting adalah untuk mengambil air suci
Budha sedang mempergunakan genitri, beliau (tirtha) yang dipergunakan selama proses
senantiasa membayangkan Sang Hyang Agni pemujaan di dalam Pamandyangan, untuk ke-
yang menyala di pusarnya, membakar segala do- mudian dipakai memercikkan serta menuang-
sa dan kekotoran, serta segala dosa ayah ibu kan air suci (tirtha) tersebut kepada yang
(Hooykaas, 1973:74) memohon (nunas). Biasanya dalam sebuah
Genitri adalah simbol kesaktian (kawisesan), proses pemujaan seperti Surya Sewana maupun
pengetahuan (kaweruhan), keahlian (kaprad- upacara lainnya, banyak umat yang memohon
nyanan) bagi seorang Pandhita. Hal ini mem- air suci (tirtha) secara langsung kepada Sang
berikan makna bahwa Ganitri membantu me- Pandita. Pada saat beliau menuangkan air suci
ningkatkan ke-sidhi-an bagi seorang pandita. (tirtha) tersebutlah mempergunakan Canting.
Menuangkan air suci (tirtha) dengan memper-
3.13 Makna Kereb gunakan Canting bermakna bahwa air suci
Fungsi dari Kereb, secara fisik adalah sebagai (tirtha) yang akan dipercikkan atau dituangkan
pelindung dari keseluruhan perangkat pemu- kepada pemohon (nunas tirtha), tidak boleh
jaan Budha Pakarana. Dipergunakan Kereb seb- mempergunakan alat yang tidak suci (bersih).
agai penutup perangkat pemujaan Budha Paka- Dengan memiliki bentuk dan fungsi yang bagus,
rana memiliki makna bahwa perangkat pemu- Canting nampak memberikan nilai kesakralan
jaan yang memiliki nilai-nilai kesucian, juga ha- dan kesucian yang tinggi, sebagai tempat air su-
rus ditutup atau dilindungi mempergunakan ci (tirtha) yang akan dipercikkan kepada umat.
alat penutup yang juga memiliki nilai kesucian. Oleh karena itu, menjadi satu rangkaian per-
Melalui keterangan tertulis yang dibuat oleh Ida lengkapan dari perangkat pemujaan, semua
Pedanda Gede Nyoman Jelantik Duaja dari Geria yang dipergunakan memiliki kesucian baik seka-
Budakeling, dijelaskan bahwa : la maupun niskala. Canting adalah salah satun-
“Kereb, punika wantah tatekep sarana pamu- ya, karena selalu menyertai dimanapun Sang
jaan, pawakan peteng ring sajeroning pakayu- Pandita akan mepuja.
nan, Paungkab-Bungkahang sadurung amuja
ngastawa Ida Bhatara Budha”. 3.16 Makna Lungka-lungka/Patarana
Kereb merupakan penutup, simbolis kegela- Melihat dari bentuk dan fungsi Lungka-lung-
pan dalam pikiran dan diri manusia. Secara ka atau Patarana, memiliki makna yang sarat
umum bentuk Kereb sebagai penutup, biasanya dengan nilai tinggi. Lungka-lungka atau Patara-
juga dipakai untuk menutup atau melindungi na tidak hanya sekedar alas duduk, tapi bermak-
benda-benda suci lainnya. Sudah dipahami se- na sebagai alas dari sikap Budha Yogiswara. Si-
cara umum bahwa Kereb/Saab memiliki makna kap Budha Yogiswara ini bisa kita lihat pada
suci untuk penutup atau sebagai pelindung hal- seorang pandita pada saat Sang Pandita sedang
hal yang bersifat suci. mepuja (muput upacara), adalah sikap beryoga
atau Yohiswara. Dalam ajaran Hindu Siwa Sid-
3.14 Makna Penastan hanta di Bali, dimana Sadhaka atau Pandita Bud-
Setelah Pendeta selesai memakai kain dan ha juga merupakan bagian dari Siwa Sidhanta
kampuh atau busana, dalam posisi menghadap tersebut, menjadikan perangkat alas duduk juga
membelakangi Budha Pakarana, kemudian per- sebagai sarana perlengkapan, sama seperti Pan-
tama-tama membersihkan kaki, tangan dan mu- dita Siwa dan Bhujangga Waisnawa, untuk mem-

MAKNA PERANGKAT PEMUJAAN BUDHA PAKSA PAKARANA


111
Ida Bagus Purwa Sidemen
berikan kenyamanan yang baik pada saat beliau Pakarana, sebagai saksi suci dan kesuksesan
mepuja (muput) upacara. jalannya sebuah upacara. Setiap perangkat
pemujaan para Pandita memiliki makna khusus,
III. PENUTUP yang memberikan nilai spiritual tinggi dalam se-
buah proses yadnya atau upacara. Perangkat
Perlengkapan perangkat pemujaan seorang pemujaan dihadirkan atau harus dimiliki oleh
Sadhaka atau Pandita Hindu di Bali, dapat dis- para Pandita atau Sadhaka, tidak saja hanya seb-
impulkan bahwa masing-masing memiliki mak- agai alat pelengkap tapi merupakan perangkat
na tersendiri serta memiliki nilai religiusitas pemujaan yang mutlak harus dimiliki dan meny-
yang tinggi. Sang Hyang Budha selalu dihadir- ertainya pada saat memimpin (muput) upacara
kan saat seorang Pandita memuja dan berhada- atau ngelokapalasraya untuk umat Hindu di
pan dengan perangkat pemujaan berupa Budha Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Astawa, A.A Gede, 2007. Agama Budha di Bali. DepartemenKebudayaandanPariwisataBalaiArkeolo-


gi Denpasar.
Covarrubias, Miguel. 2013. Pulau Bali – Temuan Yang Menakjubkan. Udayana University Press
Gunawan, I KetutPasek. 2012. Siva Siddhanta – TattvadanFilsafat. Surabaya: Paramita
Hooykaas. 2002. Surya Sevana. Jalan mencapai Tuhan dari Pandita untuk
Pandita dan Umat Hindu.Surabaya: Paramita
Madrasuta, 1999. Pedanda, Kiai, dan Pastor. Topik Sehari-hari tentang Hindu. Denpasar: Pustaka
Manikgeni
Martini, AA Sagung Sri. 2009. Bentuk, Fungsi, danMaknaUpakaranaPedanda Buddha di Bali. Tesis -
Universitas Hindu Indonesia Denpasar
Pudja dan Sudharta,TjokRai. 2004. Manawa Dharmasastra (Manu
Dharmasastra). Surabaya: Paramita
Sudarsana, IB. Putu. 1998. FilsafatYadnya – Ajaran Agama Hindu. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.
PercetakanMandaraSastra.
Sudharta, Tok Rai, 2009. Sarasamuccaya – Smerti Nusantara. Surabaya: Paramita
Tim Penyusun, Titib dkk. 2001. Ensiklopedi Hindu. Surabaya: Paramita
Wijayananda. Ida Pandita Mpu Jaya. 2004, Makna Filosofis Upacara dan Upakara, Surabaya: Param-
ita.

DHARMASMRTI
112
Vol. XVII Nomor 02 Oktober 2017 : 1 - 114

Anda mungkin juga menyukai