Abstract
The Budha Paksa Pakarana has the means of worship as its must requirement possessed in per-
forming its duties to lead and guide the Hindus in carrying out the ceremony. The means consists of
rarapan, wanci kembang ura, wanci bhija, wanci samsam, wanci ghanda, pamandyangan, sesirat,
pengasepan, pedamaran, patarana or lungka-lungka, saab/kereb/hood, genta (genta padma), bajra,
canting, and penastan. When a Pandita processing a ceremony, he is wearing attributes and clothing
of Hindu high priest such as wastra, kampuh, kawaca, pepetet/ petet, santog, sinjang, slimpet/ sam-
pet/ paragi, kekasang, astha bharana/ guduita, gondola, karna bharana, kanta bharana, rudrakacat-
an aksamala, gelangkana, angustha bharana, and an amakuta or the so-called bhawa or ketu. The
results of observation and analysis show that the meaning of the Budha Paksa Pakarana a means of
liaison between a pandita from the Buddhist group with Sang Hyang Buddha (God). The Panditas of
the Buddha Paksa group have certain duties and obligations and agem-ageman to worship in a great
ceremony of Hinduism in Bali. This typical Pandita performs worship for the middle realm (Bwah
Loka), other than Pandita Shiva to worship for the upper realm (Swah Loka) and Pandita Bhujangga
Waisnawa has the duty to perform worship for the underworld (Bhur Loka).
Abstrak
Pemujaan Budha Paksa Pakarana memiliki perangkat pemujaan sebagai syarat mutlak yang ha-
rus dimiliki dalam melakukan tugasnya memimpin dan mengantarkan umat Hindu didalam melak-
sanakan upacara. Dalam perangkat pemujaan Budha Paksa Pakarana, terdiri dari : rarapan, wanci
kembang ura, wanci bhija, wanci samsam, wanci ghanda, pamandyangan, sesirat, pengasepan, ped-
amaran, patarana atau lungka-lungka, saab/kereb/tudung, genta (genta padma), bajra, canting, pe-
nastan. Juga pada saat seorang Pandita sedang muput sebuah upacara, memakai atribut dan busana
kepanditaan seperti : wastra, kampuh, kawaca, pepetet/petet, santog, sinjang, slimpet/sampet/para-
gi, kekasang, astha bharana/guduita, gondola, karna bharana, kanta bharana, rudrakacatan aksa-
mala, gelangkana, angustha bharana, dan sebuah amakuta atau yang lebih dikenal dengan nama
bhawa atau ketu. Hasil observasi dan analisa menyiratkan makna Budha Paksa Pakarana yaitu per-
angkat pemujaan Budha Pakarana sebagai sarana penghubung antara seorang pandita dari golon-
gan Budha dengan Sang Hyang Budha (Tuhan). Pandita dari golongan Budha Paksa memiliki tugas
dan kewajiban serta agem-ageman tertentu untuk melakukan pemujaan dalam sebuah upacara be-
sar agama Hindu di Bali. Pandita Budha Paksa bertugas untuk melakukan pemujaan pada alam ten-
gah (Bwah Loka), selain Pandita Siwa untuk melakukan pemujaan pada alam atas (Swah Loka) dan
Pandita Bhujangga Waisnawa bertugas untuk melakukan pemujaan pada alam bawah (Bhur Loka).
DHARMASMRTI
104
Vol. XVII Nomor 02 Oktober 2017 : 1 - 114
juan yang pasti pula, yakni menuju kelepasan. Di Artinya :
dalam “Manawa Dharmasastra VI”, disebut- Kalau manusia telah membayar tiga jenis
kan bahwa pikiran (manas) baru dapat dituju- hutangnya kepada Tuhan, leluhur dan
kan kepada kelepasan setelah tiga hutang ter- para Rsi, barulah hendaknya manusia
bayar. Ketiga hutang yang dimaksud tersebut menujukan pikirannya untuk mencapai
dalam bahasa Sansekerta disebut dengan Tri kebebasan terakhir. Manusia yang
Rna yaitu, hutang kepada Tuhan yang disebut mengejar kebebasan terakhir tanpa me-
dengan Dewa Rna, hutang kepada para Rsi dise- nyelesaikan tiga jenis hutangnya akan
but Rsi Rna dan hutang kepada leluhur disebut tenggelam ke bawah (Suhardana,
Pitra Rna. Hutang kepada Tuhan itu muncul atas 2008:3).
yadnya beliau kepada umat manusia, dimana di
dalam proses awal penciptaan Tuhan dengan Di Bali, dalam melaksanakan suatu upacara
mengorbankan dirinya sebagai cikal bakal, sep- yang besar seperti Tawur Kesanga, Panca Wali
erti yang disebutkan di dalam “Bhagawadgita” Krama, Eka Dasa Rudra biasanya yang muput
(Sloka III-10,13) berikut ini : adalah Sang Tri Sadhaka. Sang Tri Sadhaka yang
dimaksud adalah sulinggih Siwa, Budha, Bhu-
(sloka III-10) jangga atau sering juga diucapkan Sang Rsi, Si-
Saha-Yajnah prajah srstva wa dan Sogata. Ketiga sulinggih ini mempunyai
Purovaca prajapatih, wewenang khusus masing-masing adalah; (1)
Anena prasavisyadhavam Sang Sulinggih Siwa: sebagai pembersih atau
Esa vo stv ista-kama-dhuk menyucikan alam atas yaitu Akasa. Melalui pu-
janya Sang Sulinggih Siwa berwenang meng-
Artinya: haturkan munggah ke Sanggar Surya yang
Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, maksudnya mempersembahkan yajna dari alam
Tuhan setelah menciptakan manusia me- atas ke bawah. Sulinggih Siwa berasal dari maz-
lalui yadyna, berkata: dengan (cara) ini ab Siwa, artinya Sulinggih Siwa memiliki keahl-
engkau akan berkembang biak seb- ian menyucikan alam atas dan menurunkan
agaimana sapi perah yang memenuhi ke- kekuatan dari Ida Sang Hyang Widhi, (2) Sang
inginanmu (sendiri) (Pudja,2005:84). Sulinggih Budha: mempersembahkan atau
menghaturkan yajna pada alam tengah atau
(sloka III-13) awang-awang. Sang Sulinggih Budha berasal
yajna-sistasinah santo dari mazab Budha yang memiliki keahlian me-
Mucyante sarva-kilbisaih, nyucikan alam tengah dan mempertemukan
Bunjate te tv agham papa kekuatan suci Ida Sang Hyang Widhi dengan
Ye pacayanty atma-karana kekuatan Bhuta Kala yang telah di somya di alam
bawah, (3) Sang Sulinggih Rsi, Bhujangga, Seng-
ghu: beliau mempunyai wewenang sebagai
Artinya; pembersih atau menyucikan alam bawah (bumi
Ia yang memakan sisa yadnya akan sapuh jagat). Beliau mempunyai keahlian me-
terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang nyucikan alam bawah dan untuk nyupat Bhuta
memasak makanan hanya bagi dirinya Kala atau menetralisir kekuatan-kekuatan Bhu-
sendiri, sesungguhnya mereka itu me- ta Kala sehingga menjadi somya. (Gunawan,
makan dosanya sendiri. (Pudja, 2005:86). 2012:84).
Pendeta Hindu (Siwa, Budha, dan Bhujangga
Bahkan seperti yang terdapat pada Kitab Waisnawa) di Bali, seperti yang sudah diketahui
Manawa Darmasastra VI.35 mengajarkan : oleh masyarakat umum di Bali bahwa setiap be-
liau akan muput atau memimpin sebuah upaca-
Rinani trinyapakritya manomokse niwe- ra keagamaan Hindu di Bali, selalu disertai den-
sayet gan perlengkapan perangkat pemujaan, disebut
Anapakritya moksam tu sewamano dengan Siwopakarana (Upakarana Siwa & Wais-
wrajatyadhah nawa Paksa) dan Budha Pakarana (Upakarana
Budha). Dalam setiap upacara besar setingkat
DHARMASMRTI
106
Vol. XVII Nomor 02 Oktober 2017 : 1 - 114
dibicarakan dan apa pula yang akan diperbuat. bar keseluruh Bali, Lombok dan daerah lainnya
Dengan demikian kemungkinan berbicara dan (Jelantik Oka dalam Martini, 2009;49).
berbuat salah menjadi kecil agar jangan sampai Pedanda Budha memiliki tugas muputCaru
kena Ujar Ala (kata-kata kasar) dari orang lain; yang letaknya di bawah pada upacara-upacara
ketiga, Sang Patirthan artinya Pandita itu seb- yang tergolong besar. Beliau memanifestasikan
agai tempat untuk memohon penyucian diri ba- Pertiwi, Pradana/Prakerti, memuja Prana Ma-
gi umatnya. Seorang Pandita disebut juga orang tra, yaitu Candra Murti dan Surya Murti (Marti-
Suci, disamping beliau berwenang untuk mem- ni, 2009:54).
buat Tirtha atau air suci. Pandita juga memiliki
swadharma untuk menyucikan umat yang mem- 3. Perangkat Pemujaan Pandita Budha Pak-
butuhkan penyucian. Secara simbolik umat dis- sa (Budha Pakarana)
ucikan dengan Tirtha yang dibuatnya dan yang Dalam perangkat pemujaan Budha Paksa Pa-
lebih penting adalah menuntun umat secara karana, terdiri dari : rarapan, wanci kembang
spiritual untuk dapat menempuh hidup suci ura, wanci bhija, wanci samsam, wanci ghanda,
agar terhindar dari berbagai perbuatan yang pamandyangan, sesirat, pengasepan, pedama-
tercela. Hidup suci adalah modal dasar untuk ran, patarana atau lungka-lungka, saab/kereb/
mendapatkan hidup bahagia sekala dan niskala; tudung, genta (genta padma), bajra, canting, pe-
dan keempat, Sang Panadahan Upadesa, artinya nastan,. Juga pada saat seorang Pandita sedang
seorang pandita memiliki swadharma untuk muput sebuah upacara, memakai atribut dan
memberikan pendidikan moral kesusilaan pada busana kepanditaan seperti : wastra, kampuh,
masyarakat agar masyarakat hidup harmonis kawaca, pepetet/petet, santog, sinjang, slimpet/
dengan moral yang luhur. Karena itu Pandita sampet/paragi, kekasang, astha bharana/gudui-
disebut pula Adiguruloka, artinya sebagai Guru ta, gondola, karna bharana, kanta bharana, ru-
Utama dalam masyarakat lingkungannya (Tim drakacatan aksamala, gelangkana, angustha
Penyusun, 2009;419). bharana, dan sebuah amakuta atau yang lebih
dikenal dengan nama bhawa atau ketu.
2. Pandita Budha
Dang Hyang Astapaka, seorang pendeta be- 3.1 Makna Rarapan.
sar bersemayam di kerajaan besar Majapahit di Rarapan sebagai salah satu perangkat pent-
Kota Pasuruan Jawa Timur. Di Jawa beliau juga ing dalam Budha Pakarana, berfungsi sebagai
bergelar Mpu Katrangan. Beliau merupakan pu- tempat diletakkannya semua perangkat pemu-
tra dari Dang Hyang Angsoka atau keponakan jaan bagi Sadhaka atau Pandita Budha. Dengan
dari Dang Hyang Nirartha. Pada sekitar tahun bentuk yang sederhana, persegi empat, dan kaki
Saka 1530 Dang Hyang Astapaka mengikuti je- sebanyak empat buah sebagai penyangga, dihia-
jak pamannya datang ke Bali dan membuat pas- si dengan ornamen Naga pada sisi kiri dan kan-
raman di Banjar Ambengan, Peliatan, Ubud – an, memberikan makna bahwa Rarapan sebagai
Gianyar. Karena ketaatannya kepada leluhur, be- perangkat pemujaan adalah juga sebagai penun-
liau mengikuti jejak para leluhurnya menjalank- tun (disimboliskan dengan Naga). Pandita Bud-
an Dharma Kasogatan, Budha Mahayana Bajray- ha, juga adalah sebagai penuntun umat dan tem-
ana. Setelah beliau menikah dengan Ni Dyah pat umat untuk mendapatkan pengetahuan ke-
Swabhawa, sepupunya dan melahirkan Brahma- agamaan. Rarapan juga sebagai simbol Pertiwi,
na Banjar. Brahmana Banjar kemudian beristri- sebagai pijakan dalam menapak kehidupan di
kan Brahmana Kemenuh (dari banjar Buleleng). dunia ini. Ida Pedanda Gde Nyoman Jelantik Du-
Perkawinan ini menurunkan Pedanda Sakti aja, dalam keterangan tertulis beliau, me-
Tangeb yang akhirnya menetap di Pura Taman nyatakan bahwa :
Sari Budha Keling. Kemudian beliau menikahi “Rarapan puniki maka peragayan Ida Sang
tiga orang putri yaitu putri Brahmana Kemenuh, Hyang Ibu Pertiwi. Rarapan puniki wantah
putri Ngurah Jelantik, dan putri Satrya Beng. marupa dedampa marepat, pinaka dasar genah
Masing-masig dari istrinya tersebut berputra sarana pamujaan Ida Ratu Pedanda Budha. Lu-
dua orang yang kesemuanya akhirnya di-diksa wirnya : Pamandyangan, Waci Wija, Wanci Gand-
menjadi Pedanda Budha. Dari sinilah diturunk- ha, Wanci Kembangura, Wanci Samsam, Wanci
an semua Pedanda Budha yang akhirnya menye- Ganitri.
DHARMASMRTI
108
Vol. XVII Nomor 02 Oktober 2017 : 1 - 114
Demikian juga mengenai makna Genta dapat 2007:131). Dalam upacara Wija dibuat dari be-
dilihat saat pendeta ngastawa genta (sakralisasi ras yang utuh, bersih, dan dicuci dengan air cen-
genta). Untuk ngastawa genta terlebih dahulu dana dan air kembang. Wija diberikan kepada
genta dipercikkan dengan air suci tiga kali. Den- umat setelah melakukan persembahyangan dan
gan sakralisasi genta, upacara pokok berarti diletakkan antara kedua kening, di dada, dan
dimulai. Dengan demikian dapat diartikan bah- ditelan. Wija disini disimbolkan sebagai Dewa
wa esensi falsafah Hindu riil. Ngaskara genta di Kumara, dan Dewi Sri, sedangkan pemakaian
tutup dengan menyentil anak Genta sebanyak Wija mempunyai pengharapan akan mem-
tiga kali sebagai lambang Sthiti. peroleh kebijaksanaan, kemuliaan, kemakmu-
ran, dan terhindar dari malapetaka. Wija juga
3.5 Makna Wanci Kembang Ura disebut pula Gandhaksata, yang berasal dari ka-
Wanci (tempat) Kembang Ura berfungsi un- ta Gandha dan Aksata, yang berarti biji padi-pa-
tuk meletakan Kembang Ura (bunga yang telah dian yang utuh serta berbau wangi. Wija adalah
dipotong-potong atau diiris) terdiri dari 3 ma- suatu perlengkapan yang diperlukan dalam
cam bunga atau lebih, biasanya diambil dari upacara-upacara keagamaan sebagaimana hal
bunga yang berbau harum, seperti kamboja, je- air atau tirtha, bunga dan api; pemakaiannya
pun, cempaka, sandat, dan bunga delima yang hampir sama dengan tirtha yaitu dengan jalan
digunakan oleh Pandita Budha. Selain menggu- menaburkan kedepan sebanyak 3 kali; tetapi bi-
nakan sekar katihan (bunga utuh), menggunak- la diberikan kepada seseorang Wija diletakkan
an bunga utuh atau Kembang Ura bagi seorang diantara kedua kening, di dada, dan ditelan ti-
Pandita Budha merupakan suatu keharusan, di- dak dikunyah (Mas Putra, 2006:20, dalam Mar-
mana pada hakekatnya bunga disini berfungsi tini, 2009:83).
sebagai alat untuk membersihkan diri secara
simbolis. Disamping itu bunga juga dapat ber- 3.7 Makna Wanci Ghanda
makna sebagai wujud persembahan yang paling Wanci (tempat) Ghanda berfungsi untuk me-
sederhana untuk mendekatkan diri kepada Tu- letakkan cendana atau Ghanda. Cendana atau
han dengan cara muspa (Martini, 2009:81). Gandha yang berbau harum bermakna sebagai
Dalam Astuti atau pemujaan kepada Bhatara simbol keabadian atau kehidupan yang abadi.
Panca Tathagata, Pandita Budha diwajibkan Dalam penggunaannya cendana atau air cen-
mengambil bunga warna putih sebagai simbol dana dan air kembang berfungsi untuk menim-
Bhatara Aksobhya, bunga kuning sebagai simbol bulkan bau yang harum pada Wija, dimana ber-
Bhatara Ratnasambhawa, bunga merah sebagai as sebelumnya dicuci bersih dengan air kemu-
simbol Bhatara Amitabha dan bunga dengan dian direndam dengan air kembang dan diberi
berbagai warna sebagai simbol Bhatara bubuk cendana untuk menambah keharuman
Amoghasiddhi (Hooykaas, 1964:31, dalam Asta- Wija.
wa 2007:138) “Wanci punika wantah genah ghanda. Ghanda
wantah toya cendana sane miyik, mawak sabda
3.6 Makna Wanci Wija rahayu, meraga Sabdha Dharma Jati” (Ida Ped-
Ida Pedanda Gde Nyoman Jelatik Duaja, anda Gde Nyoman Jelatik Duaja).
dalam keterangan tertulis beliau, menerangkan
bahwan “Wanci punika wantah wadah Wija. Wi- 3.8 Makna Wanci Samsam
ja pawakan Amertha, sane wetu saking ulah hen- Dalam penjelasan tertulis Ida Pedanda Gde
ing, idep hening, pamekas laksana rahayu”. Wan- Nyoman Jelantik Dwaja, bahwa “Samsam punika
ci Wija merupakan tempat Wija, sebagai simbol melakar antuk rwaning pudak. Samsam punika
kemakmuran atau Amertha yang berasal dari maka lingganing Ida Sanghyang Kawi Swara”.
pikiran, ucapan, dan laksana yang hening suci. Jadi Samsam merupakan salah satu sarana yang
Wanci (tempat) Wija berfungsi untuk me- harus selalu menyertai seorang Pandita Budha
letakkan Wija atau Aksata yang berbau harum melakukan Loka Pala Sraya. Samsam dibuat ber-
bermakna sebagai simbol keabadian atau ke- bahan dari daun pudak yang diiris tipis-tipis,
hidupan yang abadi. Cendana yang menimbul- berfungsi sebagai tempat berstana atau lingga
kan bau yang harum dan Wija atau Aksata adalah Ida Sang Hyang Kawi Swara. Samsam merupak-
sifat yang tidak dapat dipisahkan (Astawa, an sarana umum yang dipakai dalam setiap
DHARMASMRTI
110
Vol. XVII Nomor 02 Oktober 2017 : 1 - 114
Paramitadewi dan Sutranam Bodhisattwanam. lut (berkumur). Air yang beliau pergunakan
Jumlah biji genitri adalah 108 berfungsi dan di- adalah air bersih yang terdapat di dalam Penas-
pergunakan untuk membayangkan semua Bud- tan tersebut. Dari uraian tersebut dapat diketa-
ha dan Bodhisattwa yang dipuja selama proses hui bahwa makna dari Penastan sangat sakral
pemujaan untuk membuat Tirtha (air suci). Dis- karena dipergunakan saat awal atau pertama
amping itu genitri merupakan lambang dari ke- kali sebagai pembersihan sebelum pendeta
bajikan, yang diharapkan dapat merubah mala- menghadap Budha Pakarana untuk kemudian
petaka menjadi kebajikan. Penggunanya sangat melakukan pemujaan.
berhubungan dengan pembersihan semua ko-
toran pada diri manusia dan benda-benda yang 3.15 Makna Canting
dipergunakan agar menjadi suci. Jika Pandita Canting adalah untuk mengambil air suci
Budha sedang mempergunakan genitri, beliau (tirtha) yang dipergunakan selama proses
senantiasa membayangkan Sang Hyang Agni pemujaan di dalam Pamandyangan, untuk ke-
yang menyala di pusarnya, membakar segala do- mudian dipakai memercikkan serta menuang-
sa dan kekotoran, serta segala dosa ayah ibu kan air suci (tirtha) tersebut kepada yang
(Hooykaas, 1973:74) memohon (nunas). Biasanya dalam sebuah
Genitri adalah simbol kesaktian (kawisesan), proses pemujaan seperti Surya Sewana maupun
pengetahuan (kaweruhan), keahlian (kaprad- upacara lainnya, banyak umat yang memohon
nyanan) bagi seorang Pandhita. Hal ini mem- air suci (tirtha) secara langsung kepada Sang
berikan makna bahwa Ganitri membantu me- Pandita. Pada saat beliau menuangkan air suci
ningkatkan ke-sidhi-an bagi seorang pandita. (tirtha) tersebutlah mempergunakan Canting.
Menuangkan air suci (tirtha) dengan memper-
3.13 Makna Kereb gunakan Canting bermakna bahwa air suci
Fungsi dari Kereb, secara fisik adalah sebagai (tirtha) yang akan dipercikkan atau dituangkan
pelindung dari keseluruhan perangkat pemu- kepada pemohon (nunas tirtha), tidak boleh
jaan Budha Pakarana. Dipergunakan Kereb seb- mempergunakan alat yang tidak suci (bersih).
agai penutup perangkat pemujaan Budha Paka- Dengan memiliki bentuk dan fungsi yang bagus,
rana memiliki makna bahwa perangkat pemu- Canting nampak memberikan nilai kesakralan
jaan yang memiliki nilai-nilai kesucian, juga ha- dan kesucian yang tinggi, sebagai tempat air su-
rus ditutup atau dilindungi mempergunakan ci (tirtha) yang akan dipercikkan kepada umat.
alat penutup yang juga memiliki nilai kesucian. Oleh karena itu, menjadi satu rangkaian per-
Melalui keterangan tertulis yang dibuat oleh Ida lengkapan dari perangkat pemujaan, semua
Pedanda Gede Nyoman Jelantik Duaja dari Geria yang dipergunakan memiliki kesucian baik seka-
Budakeling, dijelaskan bahwa : la maupun niskala. Canting adalah salah satun-
“Kereb, punika wantah tatekep sarana pamu- ya, karena selalu menyertai dimanapun Sang
jaan, pawakan peteng ring sajeroning pakayu- Pandita akan mepuja.
nan, Paungkab-Bungkahang sadurung amuja
ngastawa Ida Bhatara Budha”. 3.16 Makna Lungka-lungka/Patarana
Kereb merupakan penutup, simbolis kegela- Melihat dari bentuk dan fungsi Lungka-lung-
pan dalam pikiran dan diri manusia. Secara ka atau Patarana, memiliki makna yang sarat
umum bentuk Kereb sebagai penutup, biasanya dengan nilai tinggi. Lungka-lungka atau Patara-
juga dipakai untuk menutup atau melindungi na tidak hanya sekedar alas duduk, tapi bermak-
benda-benda suci lainnya. Sudah dipahami se- na sebagai alas dari sikap Budha Yogiswara. Si-
cara umum bahwa Kereb/Saab memiliki makna kap Budha Yogiswara ini bisa kita lihat pada
suci untuk penutup atau sebagai pelindung hal- seorang pandita pada saat Sang Pandita sedang
hal yang bersifat suci. mepuja (muput upacara), adalah sikap beryoga
atau Yohiswara. Dalam ajaran Hindu Siwa Sid-
3.14 Makna Penastan hanta di Bali, dimana Sadhaka atau Pandita Bud-
Setelah Pendeta selesai memakai kain dan ha juga merupakan bagian dari Siwa Sidhanta
kampuh atau busana, dalam posisi menghadap tersebut, menjadikan perangkat alas duduk juga
membelakangi Budha Pakarana, kemudian per- sebagai sarana perlengkapan, sama seperti Pan-
tama-tama membersihkan kaki, tangan dan mu- dita Siwa dan Bhujangga Waisnawa, untuk mem-
DAFTAR PUSTAKA
DHARMASMRTI
112
Vol. XVII Nomor 02 Oktober 2017 : 1 - 114