Anda di halaman 1dari 6

Ngasti wedhana

(mengupakarakan tulang) atau Ngereka Tulang Pengabenan (Abu Galih Sawa)

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S,. M.Pd

Ngasti wedhana (mengupakarakan tulang) atau Ngereka Tulang Pengabenan (Abu Galih
Sawa) adalah prosesi setelah pembakaran atau kremasi jenazah selesai dilakukan terhadap
abu sisa - sisa tulangnya yang bertujuan untuk membentuk puspa lingga yang identik badan
fisik manusia.

Ngasti wedhana (mengupakarakan tulang), Ngereka Tulang Pengabenan (Abu Galih Sawa),
terdiri dari:

1. Memungut galih (tulang)

Setelah adegan atau jenasah selesai


dibakar, arangnya ditutupi pelepah daun pinang (papah buah) yang daunnya sudah
disurat bergambar “Cakra”. Kemudian disiram dengan Toya Pemanah. Selanjutnya arang
tulang diambil satu persatu mempergunakan sepit.

Pekerjaan ini disebut “inupit” dan nyumput areng.

2. Ngereka Galih (mewujudkan) 

Bagian galih yang kasar yang telah disumpit direka dengan kwangen pangrekan. Disusuni
dengan sekar sinom, canang wangi, didampingi pakaian baru setumpuk dan tigasan putih
kuning. Setelah diperciki tirtha pemuput dari Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa
Manuaba, diperciki dari bawah ke atas, (Upeti) lalu diganti dengan memerciki dari atas ke
bawah (sthiti), seolah-olah orang yang mati hidup lagi dalam bentuk yang lebih halus. Setelah
itu dimantra kembali untuk dipralina dengan memerciki tirtha.  Kemudian galih-galih itu
disumpit lagi bagian atas, tengah dan bawah serta ditaruh  pada sebuah “Senden”. Setelah
terkumpul disirati air kumkuman 3x, ditaburi sekarura 3x juga disertai mantra-mantra.

3. Nguyeg (menggilas) 

Nguyeg (menggilas) galih yang telah terkumpul pada senden setelah diisi wangi-wangian,
lalu digilas (uyeg). Alat penggilasnya adalah tebu ratu. Pekerjaan ini dilakukan pada bale
Pengastrian.

4. Ngiyas Sukutunggal

Kemudian bagian-bagian yang halus dari galih itu, diambil dengan “sidu” dan dimasukkan
pada kelungah nyuh gading yang telah dikasturi. Kalungah Nyuh Gading itu lalu dikasi
jalinan bambu berbentuk tri tunggal (segi tiga dengan arah lancipnya kebawah) dihiasi
pakaian putih (udeng sekah) dibuatkan prarai dengan kwangen dan dilengkapi dengan hiasan
bunga. Sebagai symbol Omkara, lambang kehidupan, yaitu untuk Bayu, Sabda, dan Idep (Tri
Premana). Kemudian di perciki tirtha Penglukatan, Biyakala, Durmangala, Prayascita,
Pengulapan. 

5. Prosesi Ngelinggihang Atma

Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba, nguncarang Sapta Ongkara Atma, sambil
memberikan Bunga Tunjung, Tirtha dan Bija pada Sukutunggal/Puspa. 

6. Proses Ngaskara 

Jika proses ngaskara dilaksanakan di setra, maka proses pangaskaran itu dilakukan setelah
ngelinggihang atma pada sukutunggal dengan membawa (mundut) sukutunggal ke depan Ida
Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba untuk melakukan proses pepetikan dan
pemberian tirtha padudusan, kalpika serta sirowista. Selanjutnya sukutunggal/puspa kembali
ke bale Pengastrian untuk katur tarpana

7. Narpana

Setelah selesai pangaskaran lalu Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba memujakan
tarpana. Sajen Tarpana terdiri dari: nasi angkep, bubuh pirata, panjang ilang, nasin rare, plok
katampil, huter-huter, dengdeng bandeng, dan kasturyan (pesucian), guru, pras, soda
panganten putih kuning, daksina, lis (satu soroh eedan). Di sanggar surya dipersembahkan:
suci asoroh. Dalam pelaksanaannya dilengkapi dengan: penyeneng, jerimpen, sayut pasang,
jajan 4 warna yang dikukus, dan tigasan saaperadeg. Di sanggar surya dipersembahkan suci
stu soroh. Upakara di pawedaan (di muka Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba
memuja): suci, pras, daksina, periuk, kuskusan, dan cedok pepek, lis, prayascita, dumanggala
sekarura, kwangen pangrekan dan uang kepeng 66 biji serta padudusan alit. 

8. Pebhaktian

Setelah selesai narpana keluarga melakukan persembahyangan kepada puspa. 

9. Ngirim (nganyut)

Setelah selesai sembah dari sanak keluarga, lalu dilanjutkan dengan upacara ngirim
(nganyut). Sebelum berangkat sukutunggal/puspa diajak menghadap (tangkilang) pada Ida
Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba, yang disertai pawisik kepada Sang Atma.
Setelah selesai memberikan pawisik itu, lalu jempana sebagai pengusungan sekah dan galih
yang direka diangkat, lalu mengelilingi pembasmian 3x (mapurwa daksina). Di dalam
perjalanan menuju sungai/batu pekiriman atau laut, setiap menjumpai pura sekah dipamitkan
dengan sembah. Perjalanan hendaknya diikuti dengan kakawin atau kidung. Setelah samapi
di sungai/batu pekiriman atau laut, kain dan perhiasan lainnya diambil.

# Makna berbagai uparengga yang


digunakan adalah:

1.    Penutup pelepah


daun pinang: makna kembalinya ke unsur2 Panca Maha Butha dan penumadiannya
nanti tergantung buah karmanya.

2.    Toya Pemanah


yang dipakai: bukan toya penembak.

3.    Arang diambil dengan cincin mirah: sarana pengentas agar unsur Panca Maha Buthanya
cepat kembali ke sumbernya Sang Pencipta. 

* Cincin mirah sebagai simbul kekuatan Siwa. 

* Sepit sebagai simkbul kekuatan Ardha Candra sebagai simbul kekuatan nada.

Setelah selesai. Sang Sulinggih melaksanakan upacara pengiriman, sekah dihanyut.


Sebelumnya dilakukan meprelina dimana sekah tunggal dikelilingkan di Pengesengan
dengan arah prasawya (kekiri) kemudian baru nagkil ke Pemuput (wiku) untuk
memohon restu.

Proses selanjutnya yaitu melarung sisa-sisa tulang yang sudah dimasukkan kedalam Klungah
(kelapa muda) dan beberapa sarana upacara Ngaben sungai terdekat (batu pekiriman).

Eksiskah Sulinggih Muput Yadnya dengan Video Call?


Tattwa mengajarkan tentang esensi, eksistensi, dan aktivitas Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang
Maha Esa yang lazimnya disebut brahmawidya atau teologi, ilmu tentang Tuhan.
Susila memberikan pedoman tingkah laku, berupa kewajiban  moral untuk mengembangkan sikap arif
kepada alam dan berbuat adil kepada sesama makhluk demi kesejahteraan dan kemuliaan semua. 
Acara  berisi upacara dan upakara  yadnya, yaitu petunjuk pelaksanaan ritual, tata cara
melangsungkan, membangun, dan menata hubungan dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Kemudian, 
Parisada sebagai organisasi para sulinggih, majelis umat Hindu yang membangun dan menata
hubungan umat Hindu dengan pemimpinnya dalam rangka mewujudkan  sradha-bhakti (keimanan)
bersama serta mengembangkan hubungan harmonis dengan sesama umat Hindu dan umat agama
lain.

Walaupun mengetahui dan mengapresiasi keempat unsur pokok agama Hindu ini, tetapi pada
kenyatannya dalam keberagamaan umat Hindu sehari-hari, sulinggih lebih dikenal sebagai pemimpin
upacara.

Upacara nyurya sewana misalnya, sulinggih melakukannya pada setiap pagi menjelang matahari


terbit. Pemujaan Bhatara Siwa dalam manifesitasi Dewi Sawitri dengan Sawitri Mantram sepenuhnya
ditujukan untuk :
 Menjaga kebenaran alam semesta dan merawat kebaikan manusia. 
 Kebenaran, berupa prinsip-prinsip hukum alam (palemahan) dan kebaikan, berupa prinsip-
prinsip moral (pawongan) memang menjadi landasan untuk mewujudkan :
 Keindahan dunia
 Kehidupan umat (parhayangan).
Begitulah sulinggih memenuhi kewajiban moral-religiusitasnya demi keselamatan semesta, menjaga
ketenteraman alam dan melindungi kedamaian makhluk.
Kemuliaan sulinggih ini merupakan bentuk apresiasi konsep padma bhuana  dalam  spirit  doa, “Om
ano bharadah katsavo yantu visvatah”, semoga pikiran benar datang dari segala penjuru.
Dalam doa ini sekurang-kurangnya mengandung harapan, agar dari arah timur mengalir pengetahuan
benar, dari arah selatan memancar perbuatan baik, dari arah barat mengalir hasil perbuatan, dan dari
arah utara memancar kekuasaan.

Dari kekuasaan ini muncul


 kemampuan mengendalikan pikiran, 
 kemampuan mengontrol perbuatan, dan 
 kemampuan mengawasi gerak-gerak pikiran, 
 keselarasan antara pikiran dan perbuatan. 
Inilah kesederhanaan. Kesederhaan sulinggih, ngrastitiang karahyuan jagat, mewujudkan bhuana
santih.

Kesederhanaan ini mulai dipertanyakan, bahkan digugat zaman, apalagi zaman kemajuan. Padahal
Hindu, baik sebagai agama maupun kebudayaan begitu pula dalam masyarakat Bali, karena itu orang
Bali mengalami kesulitan membedakan agama dengan tradisinya.
Malahan banyak antropolog mengatakan bahwa ritus agama Hindu di Bali adalah  warisan  dari
tradisi  agraris  yang dipermulia dengan tradisi sastra.
Tradisi agraris cenderung menunjukkan karakteristik kolektivistik, sedangkan tradisi sastra
memperlihatkan karakteristik estetik dan religius.

Interaksi kedua tradisi ini melahirkan kebudayaan Bali tradisional dengan ciri-ciri :


 solidaritas, 
 estetik, dan 
 religius. 
Interaksi kebudayaan Bali tradisional dengan kebudayaan modern memperlihatkan karakteristik
perluasan melalui proses :
 integrasi
 adaptif, dan 
 dialektik. 
Akan tetapi, perluasan, seperti pertumbuhan ekonomi, mobilisasi sosial, dan perluasan kebudayaan
ini cenderung memanjakan masyarakat.
 Perluasan semacam ini, bahkan telah menyebabkan agama Hindu kehilangan pesona.
Agama Hindu tidak lagi menjadi inti dari sistem nilai tradisi Bali yang dipraktikkan menjadi sistem
norma dan sistem tindakan sosial. 
o Artinya, agama Hindu tidak lagi menjadi panduan kebenaran, pedoman kebaikan,
dan acuan bagi tindakan sosial. Akibatnya, agama Hindu berada pada posisi ambigu.
 Pada satu sisi modernitas telah membakukan agama Hindu melalui sistematisasi,
objektivikasi, dan rasionalisasi. Sebaliknya, pada sisi lain pembakuan agama Hindu telah
melemahkan, bahkan menghilangkan nilai-nilai moral dan spiritual.

Ini menegaskan bahwa dalam dunia modern agama Hindu diposisikan sama dan sejajar dengan
bidang-bidang kehidupan sekuler lainnya sehingga agama Hindu mengalami redefinisi terus-menerus
sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, bahkan selera manusia.

Tidak jauh berbeda dengan modernisasi, bahkan melalui kemajuan


 teknologi informasi, 
 komunikasi, dan 
 transportasi globaliasasi 
telah menyatukan dunia-kehidupan menjadi mono kultur.

Teknologi informasi misalnya, telah melipat dan menyatukan dunia-kehidupan menjadi selebar layar
televisi. Malahan telepon seluler mengubah cara berkomunikasi misalnya, lewat SMS (short message
service) atau pesan singkat misalnya.

Ini sebabnya tidak sedikit umat Hindu menanyakan perihal keagamaan kepada sulinggih,
seperti dewasa ayu untuk melaksanakan upacara tertentu dilakukan lewat
 telepon, bahkan 
 dengan SMS.
Begitu juga internet memberi kemudahan untuk mengakses pengetahuan agama, karena itu orang
dengan mudah meracik agama setiap saat sesuai dengan keinginannya. Malahan juga melalui
internet tidak sedikit umat Hindu menerima sampradaya dan kelompok-kelompok spiritual ala India
dalam keberagamaannya.

Dalam kegiatan sampradaya dan kelompok-kelompok spiritual ini sama sekali tidak menyisakan
ruang bagi sulinggih, karena itu peran dan fungsi sulinggih yang setia dan konsisten
mempertahankan agama Hindu ala Bali semakin terpinggirkan.

Artinya,
 kemajuan teknologi informasi, dan 
 komunikasi telah menyediakan ruang untuk menyebarluaskan ajaran Hindu.
Ini sebabnya bagi sulinggih internet begitu membantu untuk merevisi dan merekonstruksi
pengetahuan keagamaannya, agar selalu selaras dengan perkembangan zaman.

Begitu juga i-pad digunakan sulinggih untuk memperlancar rangkaian upacara yang sedang
dipimpinnya. Selain itu, juga i-pad begitu fungsional ketika sulinggih menyampaikan dharma wacana,
baik berhadapan langsung dengan umat Hindu maupun lewat media elektronik, seperti radio dan
televisi. Malahan tidak sedikit ditemukan sulinggih yang berpartisipasi aktif di dunia-maya, seperti
 facebook, 
 twiter, dan 
 blog.
 dll
Hal ini sejalan dengan perkembangan kebutuhan keagamaan umat pada zaman kemajuan. Apalagi
perkembangan kebutuhan keagamaan berlangsung begitu cepat dalam waktu singkat seiring dengan
perubahan sistem pengetahuan, sistem nilai, dan sistem tindakan.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perubahan dan perkembangan zaman senantiasa tampil
dalam bentuk tuntutan penyesuaian diri dalam lingkungan sosial dan budaya yang tidak statis.
Terhadap perubahan lazimnya ditemukan tiga kelompok respons, yaitu progresif, konservatif, dan
moderat.
 Kelompok progresif; dengan suka cita akan mengikuti perubahan, bahkan sering menjadi
penggagas perubahan itu sendiri karena memang merasa tidak nyaman pada keadaan sekarang. 
 Kelompok konservatif; merasa enggan berubah karena merasa sudah nyaman dalam
keadaan sekarang. 
 Kelompok moderat; tidak memiliki prinsip, baik berubah maupun tidak bukan masalah.
Sederhananya, apabila pengetahuan agama berubah, maka sarana agama dan tindakan agama akan
berubah yang segera diikuti oleh perubahan hasil yang akan dicapai.
Perubahan dan kemajuan dalam hal
 teknologi informasi (baik  sistem informasi desa, pembangunan dll)
 komunikasi, dan 
 transportasi 
akan memberikan begitu banyak kemudahan dalam keberagamaan. Misalnya, pesatnya
perkembangan dan kemajuan teknologi transportasi telah memunculkan pemandangan baru tentang
sulinggih menyetir kendaraan sendiri, bukan seperti lazimnya dipendak (dijemput).

Rupanya, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sudah sedemikian rupa merasuki hati
sanubari umat Hindu sehingga apa yang ditabukan pada masa lalu, tetapi pada masa kini menjadi
lumrah. Pergeseran susila seperti ini pada satu sisi memang dapat memperlancar urusan, tetapi pada
sisi lain malahan lebih banyak menghambat perkembangan moral.
Padahal peran dan fungsi sulinggih, antara lain sebagai penjernih pikiran, pencerah perasaan, dan
penyejuk hati yang berarti tidak membiarkan hambatan bagi perkembangan moral. Apalagi manusia
merasa telah mengalami perluasan inderawi dan karena itu batas-batas ruang parsial dan waktu
temporal semakin kabur. Sepertinya tidak ada jarak lagi antara rumah dan geriya.
Mudah-mudahan perubahan ini tidak serta-merta mengurangi kesucian sulinggih dan dapat diterima
sebagai kewajaran sesuai dengan tuntutan zaman.

Anda mungkin juga menyukai