Ngasti wedhana (mengupakarakan tulang) atau Ngereka Tulang Pengabenan (Abu Galih
Sawa) adalah prosesi setelah pembakaran atau kremasi jenazah selesai dilakukan terhadap
abu sisa - sisa tulangnya yang bertujuan untuk membentuk puspa lingga yang identik badan
fisik manusia.
Ngasti wedhana (mengupakarakan tulang), Ngereka Tulang Pengabenan (Abu Galih Sawa),
terdiri dari:
Bagian galih yang kasar yang telah disumpit direka dengan kwangen pangrekan. Disusuni
dengan sekar sinom, canang wangi, didampingi pakaian baru setumpuk dan tigasan putih
kuning. Setelah diperciki tirtha pemuput dari Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa
Manuaba, diperciki dari bawah ke atas, (Upeti) lalu diganti dengan memerciki dari atas ke
bawah (sthiti), seolah-olah orang yang mati hidup lagi dalam bentuk yang lebih halus. Setelah
itu dimantra kembali untuk dipralina dengan memerciki tirtha. Kemudian galih-galih itu
disumpit lagi bagian atas, tengah dan bawah serta ditaruh pada sebuah “Senden”. Setelah
terkumpul disirati air kumkuman 3x, ditaburi sekarura 3x juga disertai mantra-mantra.
3. Nguyeg (menggilas)
Nguyeg (menggilas) galih yang telah terkumpul pada senden setelah diisi wangi-wangian,
lalu digilas (uyeg). Alat penggilasnya adalah tebu ratu. Pekerjaan ini dilakukan pada bale
Pengastrian.
4. Ngiyas Sukutunggal
Kemudian bagian-bagian yang halus dari galih itu, diambil dengan “sidu” dan dimasukkan
pada kelungah nyuh gading yang telah dikasturi. Kalungah Nyuh Gading itu lalu dikasi
jalinan bambu berbentuk tri tunggal (segi tiga dengan arah lancipnya kebawah) dihiasi
pakaian putih (udeng sekah) dibuatkan prarai dengan kwangen dan dilengkapi dengan hiasan
bunga. Sebagai symbol Omkara, lambang kehidupan, yaitu untuk Bayu, Sabda, dan Idep (Tri
Premana). Kemudian di perciki tirtha Penglukatan, Biyakala, Durmangala, Prayascita,
Pengulapan.
Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba, nguncarang Sapta Ongkara Atma, sambil
memberikan Bunga Tunjung, Tirtha dan Bija pada Sukutunggal/Puspa.
6. Proses Ngaskara
Jika proses ngaskara dilaksanakan di setra, maka proses pangaskaran itu dilakukan setelah
ngelinggihang atma pada sukutunggal dengan membawa (mundut) sukutunggal ke depan Ida
Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba untuk melakukan proses pepetikan dan
pemberian tirtha padudusan, kalpika serta sirowista. Selanjutnya sukutunggal/puspa kembali
ke bale Pengastrian untuk katur tarpana
7. Narpana
Setelah selesai pangaskaran lalu Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba memujakan
tarpana. Sajen Tarpana terdiri dari: nasi angkep, bubuh pirata, panjang ilang, nasin rare, plok
katampil, huter-huter, dengdeng bandeng, dan kasturyan (pesucian), guru, pras, soda
panganten putih kuning, daksina, lis (satu soroh eedan). Di sanggar surya dipersembahkan:
suci asoroh. Dalam pelaksanaannya dilengkapi dengan: penyeneng, jerimpen, sayut pasang,
jajan 4 warna yang dikukus, dan tigasan saaperadeg. Di sanggar surya dipersembahkan suci
stu soroh. Upakara di pawedaan (di muka Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba
memuja): suci, pras, daksina, periuk, kuskusan, dan cedok pepek, lis, prayascita, dumanggala
sekarura, kwangen pangrekan dan uang kepeng 66 biji serta padudusan alit.
8. Pebhaktian
9. Ngirim (nganyut)
Setelah selesai sembah dari sanak keluarga, lalu dilanjutkan dengan upacara ngirim
(nganyut). Sebelum berangkat sukutunggal/puspa diajak menghadap (tangkilang) pada Ida
Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba, yang disertai pawisik kepada Sang Atma.
Setelah selesai memberikan pawisik itu, lalu jempana sebagai pengusungan sekah dan galih
yang direka diangkat, lalu mengelilingi pembasmian 3x (mapurwa daksina). Di dalam
perjalanan menuju sungai/batu pekiriman atau laut, setiap menjumpai pura sekah dipamitkan
dengan sembah. Perjalanan hendaknya diikuti dengan kakawin atau kidung. Setelah samapi
di sungai/batu pekiriman atau laut, kain dan perhiasan lainnya diambil.
3. Arang diambil dengan cincin mirah: sarana pengentas agar unsur Panca Maha Buthanya
cepat kembali ke sumbernya Sang Pencipta.
* Sepit sebagai simkbul kekuatan Ardha Candra sebagai simbul kekuatan nada.
Proses selanjutnya yaitu melarung sisa-sisa tulang yang sudah dimasukkan kedalam Klungah
(kelapa muda) dan beberapa sarana upacara Ngaben sungai terdekat (batu pekiriman).
Walaupun mengetahui dan mengapresiasi keempat unsur pokok agama Hindu ini, tetapi pada
kenyatannya dalam keberagamaan umat Hindu sehari-hari, sulinggih lebih dikenal sebagai pemimpin
upacara.
Kesederhanaan ini mulai dipertanyakan, bahkan digugat zaman, apalagi zaman kemajuan. Padahal
Hindu, baik sebagai agama maupun kebudayaan begitu pula dalam masyarakat Bali, karena itu orang
Bali mengalami kesulitan membedakan agama dengan tradisinya.
Malahan banyak antropolog mengatakan bahwa ritus agama Hindu di Bali adalah warisan dari
tradisi agraris yang dipermulia dengan tradisi sastra.
Tradisi agraris cenderung menunjukkan karakteristik kolektivistik, sedangkan tradisi sastra
memperlihatkan karakteristik estetik dan religius.
Ini menegaskan bahwa dalam dunia modern agama Hindu diposisikan sama dan sejajar dengan
bidang-bidang kehidupan sekuler lainnya sehingga agama Hindu mengalami redefinisi terus-menerus
sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, bahkan selera manusia.
Teknologi informasi misalnya, telah melipat dan menyatukan dunia-kehidupan menjadi selebar layar
televisi. Malahan telepon seluler mengubah cara berkomunikasi misalnya, lewat SMS (short message
service) atau pesan singkat misalnya.
Ini sebabnya tidak sedikit umat Hindu menanyakan perihal keagamaan kepada sulinggih,
seperti dewasa ayu untuk melaksanakan upacara tertentu dilakukan lewat
telepon, bahkan
dengan SMS.
Begitu juga internet memberi kemudahan untuk mengakses pengetahuan agama, karena itu orang
dengan mudah meracik agama setiap saat sesuai dengan keinginannya. Malahan juga melalui
internet tidak sedikit umat Hindu menerima sampradaya dan kelompok-kelompok spiritual ala India
dalam keberagamaannya.
Dalam kegiatan sampradaya dan kelompok-kelompok spiritual ini sama sekali tidak menyisakan
ruang bagi sulinggih, karena itu peran dan fungsi sulinggih yang setia dan konsisten
mempertahankan agama Hindu ala Bali semakin terpinggirkan.
Artinya,
kemajuan teknologi informasi, dan
komunikasi telah menyediakan ruang untuk menyebarluaskan ajaran Hindu.
Ini sebabnya bagi sulinggih internet begitu membantu untuk merevisi dan merekonstruksi
pengetahuan keagamaannya, agar selalu selaras dengan perkembangan zaman.
Begitu juga i-pad digunakan sulinggih untuk memperlancar rangkaian upacara yang sedang
dipimpinnya. Selain itu, juga i-pad begitu fungsional ketika sulinggih menyampaikan dharma wacana,
baik berhadapan langsung dengan umat Hindu maupun lewat media elektronik, seperti radio dan
televisi. Malahan tidak sedikit ditemukan sulinggih yang berpartisipasi aktif di dunia-maya, seperti
facebook,
twiter, dan
blog.
dll
Hal ini sejalan dengan perkembangan kebutuhan keagamaan umat pada zaman kemajuan. Apalagi
perkembangan kebutuhan keagamaan berlangsung begitu cepat dalam waktu singkat seiring dengan
perubahan sistem pengetahuan, sistem nilai, dan sistem tindakan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perubahan dan perkembangan zaman senantiasa tampil
dalam bentuk tuntutan penyesuaian diri dalam lingkungan sosial dan budaya yang tidak statis.
Terhadap perubahan lazimnya ditemukan tiga kelompok respons, yaitu progresif, konservatif, dan
moderat.
Kelompok progresif; dengan suka cita akan mengikuti perubahan, bahkan sering menjadi
penggagas perubahan itu sendiri karena memang merasa tidak nyaman pada keadaan sekarang.
Kelompok konservatif; merasa enggan berubah karena merasa sudah nyaman dalam
keadaan sekarang.
Kelompok moderat; tidak memiliki prinsip, baik berubah maupun tidak bukan masalah.
Sederhananya, apabila pengetahuan agama berubah, maka sarana agama dan tindakan agama akan
berubah yang segera diikuti oleh perubahan hasil yang akan dicapai.
Perubahan dan kemajuan dalam hal
teknologi informasi (baik sistem informasi desa, pembangunan dll)
komunikasi, dan
transportasi
akan memberikan begitu banyak kemudahan dalam keberagamaan. Misalnya, pesatnya
perkembangan dan kemajuan teknologi transportasi telah memunculkan pemandangan baru tentang
sulinggih menyetir kendaraan sendiri, bukan seperti lazimnya dipendak (dijemput).
Rupanya, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sudah sedemikian rupa merasuki hati
sanubari umat Hindu sehingga apa yang ditabukan pada masa lalu, tetapi pada masa kini menjadi
lumrah. Pergeseran susila seperti ini pada satu sisi memang dapat memperlancar urusan, tetapi pada
sisi lain malahan lebih banyak menghambat perkembangan moral.
Padahal peran dan fungsi sulinggih, antara lain sebagai penjernih pikiran, pencerah perasaan, dan
penyejuk hati yang berarti tidak membiarkan hambatan bagi perkembangan moral. Apalagi manusia
merasa telah mengalami perluasan inderawi dan karena itu batas-batas ruang parsial dan waktu
temporal semakin kabur. Sepertinya tidak ada jarak lagi antara rumah dan geriya.
Mudah-mudahan perubahan ini tidak serta-merta mengurangi kesucian sulinggih dan dapat diterima
sebagai kewajaran sesuai dengan tuntutan zaman.