Anda di halaman 1dari 7

MATA AJAR AGAMA HINDU

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEMESTER 1

NAMA DOSEN :

Drs. I Wayan Sudania, M.Ag

Disusun Oleh :

Ida Ayu Istri Pradnya Monica

S1 Keperawatan

NIM : 19111110012

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

ADVAITA MEDIKA TABANAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


A. Pengertian Hari Raya Nyepi
Hari Raya Nyepi adalah hari pergantian tahun Saka (Isakawarsa) yang dirayakan setiap
satu tahun sekali yang jatuh pada sehari sesudah tileming kesanga pada penanggal 1 sasih
Kedasa. Nyepi memiliki filosofi dimana umat Hindu memohon kepada Tuhan, Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, untuk melakukan penyucian Buana Alit (manusia) dan Buana Agung
(alam dan seluruh isinya). Nyepi mengandung arti sepi atau sunyi, dan dirayakan setiap 1
tahun saka. Pada saat Nyepi tidak boleh melakukan aktifitas seperti pada umumnya, seperti
keluar rumah (kecuali sakit dan perlu berobat), menyalakan lampu, bekerja dan sebagainya.
Dan tujuannya adalah agar tercipta suasana sepi, sepi dari hiruk pikuknya kehidupan dan sepi
dari semua nafsu atau keserakahan sifat manusia untuk menyucikan Bhuwana Agung (alam
semesta) dan Bhuwana Alit (manusia).

B. Sejarah Hari Raya Nyepi

Sejarah Hari Raya Nyepi di Bali, berawal dari India. Yang mana saat itu pertikaian antar
suku bangsa di India sangat sering terjadi, pertikaian terjadi antara suku Saka, Yueh Chi,
Pahiava, Malaya dan Yavana, dari pertikaian tersebut mereka sewaktu-waktu menang dan
kalah silih berganti, suasana peperangan serta perebutan kekuasaan membuat kehidupan
sosial dan beragama di masyarakat tidak pernah tenang. Gesekan-gesekan juga sering terjadi
karena kepengikutan umat terhadap kelompok mereka masing-masing serta pemahaman serta
tafsir yang berbeda tentang ajaran agama yang mereka yakini.

Dari pertikaian panjang tersebut akhirnya suku Saka menjadi pemenang, kemenangan
dibawah pimpinan Raja Kaniskha I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehch, ini
menjadi sejarah besar di India, Raja Kaniskha I mampu merangkul suku-suku bangsa India,
raja tidak menghancurkan suku bangsa lain yang beda paham, tetapi merangkul semua suku
sehingga menjadi kebudayaan kerajaan yang besar. Untuk itulah pada bulan Maret tahun 78
Masehi, Raja Kaniskha I menetapkan sistem Kalender Saka sebagai kalender kerajaan,
semenjak itulah toleransi antar suku bangkit tidak ada lagi pertikaian, masyarakat bersatu
padu membangun dan sejak itu pula sejarah mencatat, sistem kalender Saka berkembang
dengan sangat baik mengikuti penyebaran agama Hindu, termasuk agama Hindu di Bali.

Peringatan Tahun Saka ini bermakna pembaharuan, kebangkitan dan kebersamaan untuk
persatuan dan kesatuan, menjadi hari kedamaian dan kerukunan, keberhasilan tersebut lalu
disebarluaskan ke seluruh daratan India termasuk Indonesia yaitu Bali. Tahun Saka adalah
salah satu kalender umat Hindu India juga bagi umat Hindu di Bali yang jumlah bulan (sasih)
sebanyak 12 bulan sama seperti kalender Masehi, dan uniknya perayaan tahun Baru di Bulan
10 (kedasa) diperingati dengan hari raya Nyepi yang dimulai dilaksanakan pada puncak bulan
mati (tilem) pada bulan Kesanga (ke-9).

Adapun sejarah tahun Saka di Bali berawal dari perjalanan seorang pendeta Kshatrapa
Gujarat (India) dari suku bangsa Saka, kemudian diberi gelar Aji Saka, perjalanan Aji Saka
dan sejumlah abdinya yang sampai pertama kali di pulau Jawa yaitu di desa Waru, Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah pada tahun 456 Masehi. Aji Saka datang ke pulau Jawa untuk
mengenalkan dan mensosialisasikan kalender Saka serta peringatan pergantian tahun Saka
yang dikenal oleh Umat Hindu dengan perayaan Hari Raya Nyepi. Dari sinilah sejarah
perayaan hari Raya Nyepi oleh umat Hindu di bumi Nusantara terutamanya Bali sekarang ini.

Sejarah tahun Saka di bumi Nusantara, berkembang dengan baik juga pada jaman
kerajaan Majapahit. Pergantian tahun Saka yaitu pada sasih Kesanga (ke-9) jatuh pada bulan
Maret-April bulan Masehi. Perayaan tersebut tertuang dalam Kekawin Negara Kertagama
yang disusun oleh Mpu Prapanca. Sedangkan perayaan Tahun Saka yaitu pada perayaan
Nyepi berdasarkan lontar Sanghyang Aji Swamandala dan Sundarigama.

C. Makna Pelaksanaan Hari Raya Nyepi


Makna dan pelaksanaan Hari Raya Nyepi mengandung arti dan makna yang sangat
relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai
tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang
akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi
umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri
manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata “tawur” berarti mengembalikan atau
membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk
mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam
karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu
berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan
agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna
memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan sebagai
makna dan pelaksanaan hari raya nyepi dalam merayakan pergantian Tahun Saka.

Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai
kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang
maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern sekarang ini adalah
seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. pada
zaman modern ini persamaan dan perbedaan tampak semakin eksis dan bukan merupakan
sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat
memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat
yang telah mengkhususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-
nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena
agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.

D. Rangkaian Upacara Nyepi

1. MELASTI (Melis atau Mekiis)

Sebelum merayakan Nyepi, umat Hindu akan menjalani prosesi yang disebut dengan
upacara Melasti. Prosesi melasti biasanya dilaksanakan dua atau tiga hari sebelum Nyepi
dilakukan selama 24 jam. Melasti berasal dari kata "Mala" yang berarti kotoran, dan "Asti",
yaitu membuang atau memusnahkan. Sehingga proses melasti yang merupakan rangkaian
perayaan Nyepi dilaksanakan untuk membersihkan semua kotoran yang ada di badan dan
pikiran (buana alit), alat upacara (buana agung), dan memohon air suci kehidupan untuk
kesejahteraan manusia.

"Melasti ngarania ngiring prewatek dewata anganyutaken laraning jagat papa klesa
letuhing bhuwana" [Lontar Sang Hyang Aji Swamandala]. Melasti adalah upakara penyucian
alam semesta secara niskala. Untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat (laraning jagat),
menghilangkan penderitaan bathin (papa klesa) dan mengharmoniskan vibrasi energi negatif
alam semesta (letuhing bhuwana).

Upakara mapeed dalam melasti bertujuan menyucikan secara spiritual lingkungan


desa dan sekitarnya. Penyucian ini dilakukan dengan menghadirkan pratima dan simbol-
simbol suci [pratima adalah "linggih" atau titik pusat dari vibrasi energi suci alam semesta]
dibawa berkeliling desa.

"Amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara" [Lontar Sundarigama].


Kemudian pratima dan simbol-simbol suci ini dibawa ke laut [atau boleh juga di beji /
pathirtan], untuk mengambil sari pati energi suci kehidupan dari tengah samudra atau dari
beji / pathirtan [mata air suci]. Melasti berasal dari kata : "mala" [keletehan] dan "asti"
[dilebur].

2. TAWUR [PECARUAN] DAN PENGRUPUKAN


Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat
Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat, mulai dari
masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan mengambil salah
satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu
masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).
Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan
segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah
masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk
pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta
Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon
supaya mereka tidak mengganggu umat.
"Amantukaken buta kala kabeh dan angunduraken sasab merana" [Lontar Sundarigama].
Ketika kita natab caru pabiakalan, itu adalah sebuah yajna yang bertujuan nyomia,
mengembalikan sifat-sifat negatif bathin para bhuta kala kepada keharmonisan.
Ogoh-ogoh

Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur,


mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan
mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara
ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah,
pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan
dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling
lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari
lingkungan sekitar.

Pralina

Dan prosesi pengerupukan ini juga memiki tujuan untuk mem-pralina seluruh
kegelapan bathin yang ada pada semua mahluk, termasuk kegelapan bathin kita sendiri,
sehingga menjadi harmonis. Dari sini terbukalah gerbang menuju keheningan.

3. NYEPI

Hari raya Nyepi jatuh pada Penanggal Apisan Sasih Kedasa atau pada tanggal 1 bulan
ke-10 tahun Saka. Nyepi akan dilakukan selama 24 jam penuh yang biasanya dimulai pukul
06.00 pagi dan berakhir pada 06.00 pagi keesokan harinya.

Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata" Penyepian yang terdiri
dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati
karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak
mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata, yoga,
dan semadhi. Pada hari ini umat hindu sama sekali tidak melakukan aktivitas mereka seperti
biasa.lingkungan tampak sepi, malah seperti kota mati, tidak ada lampu yang menyala, semua
orang diam di rumah mereka.
Dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian ini, maka umat Hindu diharapkan bisa
berkonsentrasi dan fokus untuk kembali ke jati diri atau mulat sarira dengan cara melakukan
perenungan dan meditasi. Selain itu, setelah menjalani Nyepi, maka umat Hindu meyambut
tahun yang baru dengan hari yang baru, putih, dan bersih.

4. NGEMBAK GENI

Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka. Mengakhiri tapa-brata-yoga-


samadhi penyepian, yang kemudian kita lanjutkan dengan dharma shanti atau tirtayatra.
Ngembak berarti "mengalir", sedangkan geni adalah "api" yang juga merupakan simbol dari
Brahma atau Dewa Pencipta.
Prosesi terakhir ini jatuh pada Pinanggal ping kalih" atau tanggal dua pada bulan
kesepuluh tahun Saka. Pada saat Ngembak Geni ini, umat Hindu melakukan Dharma Shanti
dengan berkunjung ke keluarga dan tetangga. Ketika berkunjung ke keluarga dan tetangga,
biasanya akan diucapkan syukur dan saling bermaaf-maafan satu sama lain, teman-teman.
Dharma Shanti sendiri diambil dari Tattwamasi yang memandang bahwa semua manusia
yang ada di Bumi adalah ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa atau sang pencipta. Inilah
sebabnya manusia harus saling menyayangi satu sama lain, memaafkan satu sama lain, serta
hidup berdampingan dalam kerukunan dan kedamaian.
Di hari Ngembak Geni, baik bila kita dapat menutup rangkaian Hari Raya Nyepi ini
dengan tirtayatra ke Pura Mangening, Tampaksiring. Pura Mangening [maha hening], yang
didirikan pada Abad ke 10 M oleh Mpu Kuturan ini memiliki poros yang selaras dengan Hari
Raya Nyepi. Pura ini juga adalah cakra mahkota dari rangkaian titik-titik pusat energi yang
meliputi wilayah dari Tampaksiring sampai ke Sukawati di selatan.

Candi abad 10 M, Pura Mangening

Di Pura Mangening kita musti dahului dengan melukat di beji [pathirtan] disana, untuk
membersihkan mala dan energi-energi negatif dari lapisan-lapisan badan [sarira] kita.
Kemudian baru kita lanjutkan dengan sembahyang dan meditasi di utama mandala pura.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.hindu-dharma.org/2013/03/makna-dan-pelaksanaan-hari-raya-nyepi/ diakses
pada 24 Desember 2019

http://kb.alitmd.com/makna-hari-raya-nyepi/ diakses pada 24 Desember 2019

https://www.balitoursclub.net/sejarah-hari-raya-nyepi/ diakses pada 24 Desember 2019

http://beligede.weebly.com/beligede-blog/makna-dan-sejarah-hari-raya-nyepi diakses pada


24 Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai