Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH MATA KULIAH ANTROPOLOGI AGAMA

Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Antropologi Agama

“RITUAL DAN PERAYAAN KEAGAMAAN, SLAMETAN”

Dosen Pengampu : Tasman, S.Ag., M.

Disusun oleh : KELOMPOK 6

1. Hafizh Maulana (11190520000078)


2. Syifa Majidah (11190520000085)
3. Adilah Ghassani (11190520000096)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1
1442 H/2021 M

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ritual telah menjadi subjek kajian yang diminati Antropologipolog sejak lama,
dan hingga kini tetap menarik dikaji. Ritual telah menjadi bagian tidak terpisahkan
dari keberadaan setiap individu maupun kelompok masyarakat, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari ritual dan upacara-upacara musiman sangat mendominasi
kehidupan manusia. Diketahui bahwa sejak seseorang lahir hingga meninggal terdapat
begitu banyak ritual dalam siklus hidupnya, belum ditambah lagi dengan ritual-ritual
insidentil dan musiman dalam masyarakat yang tidak terelakan dilakukan secara
indivisu maupun komunal.
Dalam antropologi, upacara ritual dikenal dengan istilah ritus. Ritus dilakukan
untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, agar mendapatkan berkah atau rizki
yang banyak dari suatu pekerjaan, seperti upacara sakral ketika akan turun kesawah,
ada yang untuk menolak bahaya yang telah atau diperkirakan akan datang.
Ritual keagamaan yang paling populer di dalam masyarakat Islam Jawa adalah
slametan, yaitu upacara ritual komunal yang telah mentradisi di kalangan masyarakat
Islam Jawa yang dilaksanakan untuk peristiwa penting dalam kehidupan seseorang.
(Hilmi, 1994: 41). Peristiwa penting tersebut seperti kelahiran, kematian, pernikahan,
membangun rumah, permulaan membajak sawah atau pasca panen, sunatan, perayaan
hari besar, dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang dihiasi dengan tradisi
slametan (Geertz, 1960: 11-15; 40-41).1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian ritual keagamaan?
2. Bagaimana pandangan islam mengenai selametan?
3. Apa saja bentuk ritual kegamaan?
4. Apa yang dimaksud dengan slametan?

1
A. Kholil, “Agama dan Ritual Slametan: Deskripsi-Antropologis Keberagamaan Masyarakat Jawa”.
Jurnal el-Harakah. Vol. 11, No.1. (2009): 92.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ritual
Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang
dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Yang ditandai dengan adanya berbagai
macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara
dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orangorang yang menjalankan upacara. 2
Ritual atau ritus dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang
banyak dari suatu pekerjaan.
Ritual merupakan teknik (cara, metode) membuat suatu adat kebiasaan
menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan agama,
karena ritual merupakan agama dalam tindakan.
Menurut Mercea Eliade, sebagaimana dikutip oleh Mariasusai Dhavamory,
menyatakan bahwa “ritual adalah sesuatu yang mengakibatkan suatu perubahan
ontologis pada manusia dan mentransformasikannya pada situasi keberadaan yang
baru, misalnya; penempatan-penempatan pada lingkup yang kudus”. Dalam makna
religiusnya, ritual merupakan gambaran yang suci dari pergulatan tingkat dan
tindakan, ritual mengingatkan peristiwa-peristiwa primordial dan juga memelihara
serta menyalur pada masyarakat, para pelaku menjadi setara dengan masa lampau
yang suci dan melanggengkan tradisi suci serta memperbaharui fungsi-fungsi hidup
anggota kelompok tersebut3.

B. Bentuk Ritual Kegamaan


1) Selametan atau Kewilujengan
Upacara selamatan ditujukan untuk meminta keselamatan bagi seseorang atau
salah satu anggota keluarga. Upacara selametan ini mulai ada pada zaman Sunan
Bonang yang asalnya merupakan upacara Panca Makara yang dijalankan oleh
Hindu Tantrayana para orang kerajaan (para bangsawan) dengan syarat terdapat

2
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), 56
3
Mariasusai Dhavamony, Fenomologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 175

3
Ma-Lima

(Lima M), dengan cara duduk melingkar dengan selang seling laki-laki dan
perempuan dalam posisi telanjang di mana terdapat Madya (minuman keras), Mamsa
(daging), Matsya (ikan), untuk dinikmati, setelah menikmati makanan yang ada
mereka melakukan Maithuna (persetubuhan). Setelah tanpa nafsu mereka melakukan
Mudra/ semadi (sikap tapa).
Oleh Sunan Bonang, upacara Panca Makara ini diubah substansinya namun
tetap pada bentuknya. Yaitu terdapat perkumpulan orang yang duduk melingkar
hanya laki-laki, terdapat makanan seadanya sebagai tanda syukur kepada Allah,
hal inilah yang biasanya disebut dengan kenduri/kenduren, slametan, syukuran dan
mengganti ritual persetubuhan, pertapaan, dan ekstase dengan berdoa pada Allah
berupa Tahlilan atau Istighotsah dll. Tahlilan berasal dari kata hallala, yuhallilu,
tahlilan artinya membaca kalimah La illa ha illallah. Di masyarakat Jawa sendiri
terdapat pemahaman bahwa tahlilan adalah pertemuan yang didalamnya dibacakan
kalimat thayyibah. Biasanya dilaksanakan di masjid, mushola, atau rumah.
Sedangkan Istighotsah adalah pertmintaan tolong dengan membaca beberapa
kalimat thayyibah.4
2) Upacara Tahunan
a) Suronan : Peringatan tahun baru Hijriyah. Surohan pertama kali dirayakan pada
masa Sultan Agung sekitar (1613-1643) yang mana kalender jawa sebelumnya
menggunakan tahun saka (Hindu) kemudian dirubah oleh sultan agung menjadi
penanggalan jawa yang disesuaikan dengan tahun Hijriyah sehingga 1 suro
menyesuaikan 1 Muharram untuk memperingati itu diadakan acara surohan agar
selalu ingat/ eling dan waspada (mawas diri).
b) Muludan: Upacara peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Peringatan ini
oleh orang jawa khususnya solo dan Yogyakarta dinamakan Sekaten sampai
sekarang. Sejarah sekaten berasal dari kerajaan Demak masa Raden Patah (1500-
1518 M) yang saat itu sangat sulit mengumpulkan orang Islam untuk diajak
menjalankan agama apalagi memperingati hari kelahiran nabi Muhammad.

4
A.Fatikhul Amin Abdullah. “Ritual Agama Islam Di Indonesia Dalam Bingkai Budaya”. Seminar
Nasional Islam Moderat, ISSN : 2622-9994 VOL 1 (2018): 6

4
Karena orang Jawa suka keramaian maka raden patah membuat pasar rakyat
dalam

rangka memperingatihari kelahiran nabi Muhammad dengan berbagai hubungan


tradisional, makanan, berbagai hasil tanaman, buah-buahan untuk memperingati
hari lahir Nabi Muhammad saw pada bulan Rabiul awal atau bulan Mulud (Jawa).
Oleh sebab itu banyak juga yang mengatakan acara Muludan yang berasal dari
kata Maulid (kelahiran).
c) Nishfu Sya’ban (Ruwahan)/Sya’bananIstilah ruwahan berasal dari kata “Ruwah”
yang memiliki akar kata Arwah (roh para leluhur). Acara ini biasanya diawali dari
Nishfu Sya’ban pada malam ke-15 bulan Sya’ban dengan rangkaian acara berupa
sholat berjamaah, baca yasin 3x dan doa Nishfu Sya’ban yang diakhiri dengan
makan-makan bersama (Ambengan). Biasanya makanannya berisi ketan (sebagai
symbol mengeratkan tali silaturrahim), kolak manis (agar persaudaraan lebih
dewasa dan manis), juga Apem (symbol jika ada salah agar saling memaafkan).
Ritus ini digunakan sebagai penyucian diri sebelum masuk bulan suci
Ramadhan oleh karena itu dilanjutkan bersilaturrahim dan saling memaafkan.5

C. Pengertian Selametan
Menurut Rezim (2015;83) bahwa kata selamatan berasal dari kata slamet yang
berarti selamat, bahagia, sentosa. Adapun makna dari selamat adalah keadaan lepas
dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Berdasarkan makna ini maka selamatan
dapat diartikan sebagai kegiatan masyarakat Jawa yang biasanya digambarkan sebagai
pesta ritual, baik upacara di rumah maupun desa atau bahakan skala yang lebih besar.
Selamatan (slametan) yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, merupakan adat
yang tidak bisa dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah
dianut oleh orang Jawa .Aktifitas selamatan bertujuan untuk memperoleh keselamatan
bagi pelakunya itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme,
kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa
setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu. Dari kenyataan ini manusia pada
awalnya merasa tidak berdaya, kemudian meminta perlindungan kepada sesuatu yang
memiliki kekuatan lebih, yang disebut dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang

5
A.Fatikhul Amin Abdullah. “Ritual Agama Islam Di Indonesia Dalam Bingkai Budaya”. 9-10

5
ada pada benda-benda tertentu. Kegiatan yang berupa permohonan untuk suatu
keselamat-

an itu kemudian disebut dengan “selamatan”. Jika pada masa animisme-dinamisme


disebut nama-nama roh dan kekuatan tertentu kemudian pada masa Hindu-Budha
diganti dengan nama-nama dewa-dewi, dan setelah kedatangan Islam diganti dengan
nama-nama Allah, Muhammad, dan para keluarga Nabi serta para sahabatnya dan
prinsip-prinsip Islam.
Dalam sudut pandang ontopologi, hakikat dari keselamatan yaitu sebagai
wujud syukur, untuk mendapatkan berkah, selamat dan terhindar dari cobaan yang
berat, mendoakan orang yang meninggal, sebagai rasa syukur, kehidupan masyarakat
aman dan tenteram, terjaga dari malapetaka dan juga berfungsi sebagai (tolak balak).
Secara ontologi selamatan mengandung unsur-unsur realisme, naturalisme, dan
empirisme. Unsur realisme dalam selamatan yaitu tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk menjalin sikap
kekeluargaan terhadap masyarakat. Misalnya setiap hari kamis malam jumat,
masyarakat melakukan pengkajian “Yasinan atau Tahlilan”.
Unsur naturalisme dalam selamatan yaitu menggunakan alam sebagai wujud
syukur. Misalnya sesajen sedekah laut yang dilakukan masyarakat berbondong-
bondong, upacara metri desa atau bersih desa dan lain-lain. Unsur empirisme dalam
selamatan yaitu rasa bersyukurnya masyarakat kepada Tuhan. Dalam sudut pandang
aksiologi, yaitu nilai kekeluargaan dan nilai kebudayaan Hindu dan Islam. Dalam
nilai kekeluargaan dalam selamatan yaitu untuk menyambung hubungan kekeluargaan
agar menyebabkan rasa kekerabatan antar masyarakat menjadi erat.6
Slametan merupakan hasrat mencari keselamatan dalam dunia yang kacau.
(Mulder;2013;136). Dijelaskan pula bahwa kegiatan tersebut tidak ditujukan bagi
sebuah kehidupan yang lebih baik, kini maupun di masa mendatang tetapi lebih
ditujukan untuk memelihara tatanan dan mencegah datangnya bala. Juga terlihat
bagaimanapun bahwa manusia memegang peran aktif dalam memelihara tatanan ini
dan mampu mempengaruhi arahnya. Hubungan sosial yang tertata baik menjadi
sebuah sarana menuju dan sebuah kondisi untuk meningkatkan keadaan selamat.

6
Puja.Budaya, “Tradisi Selamatan”. Sastra Indonesia (2017) : Sumber Artikel https://sastra-
indonesia.com/2017/10/budaya-tradisi-selamatan/ Diakses pada 22-04-2021 12:55

6
D. Pandangan Islam Mengenai Selametan
Salah satu adat istiadat selamatan ini merupakan sebuah upacara ritual
komunal yang telah mentradisi dikalangan masyarakat Islam Jawa yang diyakini
sebagai sarana spiritual yang mampu mengatasi segala bentuk krisis yang melanda
serta bisa mendatangkan berkah bagi mereka. Di dalam upacara selamatan ini yang
pokok adalah pembacaan doa yang dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki
pengetahuan tentang Islam. Selain itu, terdapat seperangkat makanan yang
dihidangkan bagi para peserta selamatan, serta ada juga makanan yang yang dibawa
pulang kerumah masing-masing yang biasa disebut sebagai berkat.
Penyelenggaraan selamatan ini yang melibatkan masyarakat dalam lingkaran
bertetangga yakni untuk menciptakan kerukunan, keharmonisan serta meningkatkan
tali silaturrahmi antar tetangga. Dalam keadaan yang sama yakni menikmati makanan
dalam acara selamatan tersebut.
Menurut Nur Syam dalam bukunya Madzhab-Madzhab Antropologi, upacara
selamatan dapat digolongkan kedalam empat macam, sesuai dengan peristiwa atau
kejadian dalam kehidupan manusia seharihari, yaitu:
a) Selamatan dalam rangka lingkarang hidup seseorang, seperti kehamilan diusia
tujuh bulan, kelahiran, upacara menyentuh tanah7 untuk pertama kalinya, sunatan,
ataupun kematian dan lain sebagainya.
b) Selamatan yang berkaitan dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, atau
setelah panen.
c) Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam.
d) Selamatan pada saat tertentu, berkenaan dengan kejadian-kejadian seperti
melakukan perjalanan jauh, menolak bahaya, bernadzar dan lain sebagainya.
Dari pernyataan di atas, diketahui bahwa orang-orang memberi makna pada
setiap peristiwa akibat rasa takut mereka terhadap para dewa-dewa, roh-roh nenek
moyang maupun orang-orang yang mereka anggap suci sehingga mereka rela
memberikan sesajian untuk menghormati mereka. Setiap melaksanakan ritual
selamatan ini terdapat syarat-syarat maupun ketentuan-ketentuan sendiri dalam
7
Mukammilatul Amaliyah, “Ritual Selamatan Asta Juruan Dalam Pandangan Akidah Islam Di Desa
Juruan Daya Kecamatan Batuputih Kabupaten Sumenep”. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018), 36

7
melaksanakannya. Secara umum, tujuan selamatan ialah untuk menciptakan keadaan
menjadi sejahtera, aman dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata dan makhluk
halus.8
Adapun hukum islam melaksanakan tahlil, mengenai budaya selametan
kehamilan. Di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Jawa, ada satu budaya di
mana seorang yang memiliki istri yang sedang hamil akan mengundang para tetangga
dan sanak saudara untuk hadir ke rumahnya dalam sebuah acara selamatan atau
kenduri. Di Jawa, bila acara ini diselenggarakan ketika usia kehamilan empat bulan
maka disebut dengan mapati. Istilah ini diambil dari kata papat yang berarti empat.
Sedangkan bila acara selamatan itu dilakukan ketika usia kandungan sudah tujuh
bulan maka disebut dengan mituni atau sering diucapkan mitoni. Istilah itu diambil
dari kata pitu yang berarti tujuh.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim yang juga disebutkan bahwa
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallama bersabda:

، َ ‫ون يِف َذكِل َ عَلَ َق ًة ِمثْ َل َذكِل‬ ُ ‫ مُث َّ يَ ُك‬،‫َّن َأ َحدَ مُك ْ جُي ْ َم ُع َخلْ ُق ُه يِف ب َ ْط ِن ُأ ِّم ِه َأ ْرب َ ِع َني ي َ ْو ًما‬
‫ِإ‬
َ ‫ مُث َّ يُ ْر َس ُل الْ َمكَل ُ فَ َي ْن ُفخُ ِفي ِه ُّالر‬، َ ‫ون يِف َذكِل َ ُمضْ َغ ًة ِمثْ َل َذكِل‬
ِ ‫ َويُ ْؤ َم ُر ِبَأ ْربَع‬،‫وح‬ ُ ‫مُث َّ يَ ُك‬
‫ َو َش ِق ٌّي َأ ْو َس ِعي ٌد‬، ِ ‫ َومَع َ هِل‬، ِ ‫ َوَأ َجهِل‬،‫ ِب َك ْت ِب ِر ْز ِق ِه‬:‫ات‬ ٍ ‫لَك ِ َم‬
Artinya: “Sesungguhnya setiap orang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di
dalam perut ibunya selama empat puluh hari (berupa sperma), kemudian menjadi
segumpal darah dalam waktu empat puluh hari pula, kemudian menjadi segumpal
daging dalam waktu empat puluh hari juga. Kemudian diutuslah seorang malaikat
meniupkan ruh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menuliskan empat hal;
rejekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah dia menjadi orang yang celaka atau
bahagia.” (Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahîh Muslim, Kairo: Darul Ghad Al-
Jadid, 2008, jil. VIII, juz 16, hal. 165).

8
Mukammilatul Amaliyah, “Ritual Selamatan Asta Juruan Dalam Pandangan Akidah Islam Di Desa
Juruan Daya Kecamatan Batuputih Kabupaten Sumenep”, 37

8
Dari sini dapat dilihat bahwa proses terbentuknya satu janin di dalam rahim
seorang ibu hingga sempurna membutuhkan waktu selama tiga kali empat puluh hari
yang itu berarti sama dengan seratus dua puluh hari dan dalam hitungan bulan sama
dengan empat bulan lamanya.
Menurut hadits di atas setelah kurun waktu empat bulan itu barulah Allah
memerintahkan satu malaikat untuk melakukan dua hal, pertama meniupkan ruh ke
dalam janin tersebut. Dengan ditiupnya ruh maka janin yang pada mulanya hanya
seonggok daging kini menjadi hidup, bernyawa. Ia tak lagi hanya sekedar makhluk
mati tak ubahnya sebuah tembikar yang terbuat dari tanah liat, tapi kini ia telah
menjadi makhluk hidup. Kedua, malaikat tersebut diperintah untuk mencatat empat
perkara yang berkaitan dengan rejeki, ajal, amal, dan bahagia atau celakanya si janin
ketika ia hidup dan mengakhiri hidupnya di dunia kelak.
Pada fase yang demikian ini, berdasarkan hadits di atas, para ulama Nusantara
mengajari kita sebagai umatnya untuk memanjatkan doa kepada Allah subhânahû wa
ta’âlâ agar janin yang ada di kandungan diberi ruh yang baik dan juga rupa tubuh
yang sempurna tak kurang suatu apa sebagaimana layaknya tubuh seorang manusia
normal pada umumnya.
Untuk memanjatkan permohonan-permohonan baik bagi sang janin itu para
ulama negeri ini juga menganjurkan untuk meminta bantuan para tetangga dan sanak
saudara untuk ikut serta mendoakannya. Maka diundanglah mereka ke rumah pada
waktu yang ditentukan guna bersama-sama berdoa kepada Allah. 
Sebagaimana mapati acara selamatan mitoni juga diajarkan para ulama dahulu
kepada umat tidak secara asal. Acara selamatan yang telah membudaya ini diajarkan
oleh mereka setidaknya dengan berdasar pada firman Allah yang terdapat di dalam
Surat Al-A’raf ayat 189:

‫ه َُو اذَّل ِ ي َخلَ َقمُك ْ ِم ْن ن َ ْف ٍس َوا ِحدَ ٍة َو َج َع َل ِمهْن َا َز ْوهَج َا ِليَ ْس ُك َن لَهْي َا فَلَ َّما تَغ ََّشاهَا‬
‫ِإ‬
‫مَح َلَ ْت مَح ْ اًل َخ ِفي ًفا فَ َم َّر ْت ِب ِه فَلَ َّما َأثْ َقلَ ْت َد َع َوا اهَّلل َ َرهَّب ُ َما لَنِئ ْ آتَ ْيتَنَا َصا ِل ًحا لَنَ ُكونَ َّن ِم َن‬
‫الشا ِك ِر َين‬
َّ

9
Artinya: “Dia lah dzat yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu dan darinya
Dia ciptakan istrinya agar ia merasa senang kepadanya. Maka ketika ia telah
mencampurinya, sang istri mengandung dengan kandungan yang ringan dan teruslah
ia dengan kandungan ringan itu. Lalu ketika ia merasa berat kandungannya
keduanya berdoa kepada Allah Tuhannya, “Apabila Engkau beri kami anak yang
saleh maka pastilah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”

Ayat di atas bercerita tentang Nabi Adam dan ibu Hawa sebagai pasangan
suami istri. Imam Al-Baghawi dalam kitab tafsirnya menuturkan bahwa ketika masa-
masa awal kandungan ibu Hawa merasakan kandungannya sebagai sesuatu yang
ringan, tidak merasa berat. Ia berdiri dan duduk sebagaimana biasanya. Namun ketika
anak di dalam rahimnya kian membesar ibu Hawa merasakan kandungannya makin
berat dan makin dekat masa melahirkan. Maka kemudian Nabi Adam dan istrinya
berdoa memohon kepada Allah agar diberi seorang anak yang saleh sempurna
sebagaimana dirinya (Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, Ma’âlimut Tanzîl, Kairo:
Darul Alamiyah, 2016, jil. II, hal. 191).
Atas dasar inilah para ulama di negeri ini kala itu menganjurkan kepada umat
muslim untuk mendoakan jabang bayi yang ada di kandungan ibunya yang telah
memasuki masa hamil tua. Dan untuk keperluan itu dianjurkan untuk mengumpulkan
para tetangga agar ikut serta mendoakan jabang bayi agar diberi kesempurnaan rupa,
keselamatan, kesehatan dan kemudahan ketika nanti dilahirkan pada waktunya.
Mengapa harus mengumpulkan para tetangga, bukankah orang tua si bayi bisa berdoa
sendiri? Ya, dikumpulkannya para tetangga untuk ikut mendoakan adalah karena
merasa dirinya bukan orang yang memiliki kedekatan yang baik dengan Allah
subhânahû wa ta’âlâ sehingga merasa perlu meminta tolong banyak orang dan
seorang pemuka agama untuk ikut mendoakan bersama-sama dengan harapan doanya
akan lebih didengar dan dikabulkan oleh Allah. Apakah yang demikian itu tidak
diperbolehkan?9

9
NU, “Budaya Selamatan Kehamilan dalam Pandangan Islam”. NU Online (2018):
Sumber Artikel : https://islam.nu.or.id/post/read/87463/budaya-selamatan-kehamilan-dalam-pandangan-islam
Di Akses pada Kamis, 22 April 2021 14:08

1
0
BAB III
PENUTUP

Ritual merupakan ikatan yang paling penting dalam masyarakat beragama.


Kepercayaan dan tradisi masyarakat tanpak dalam ritual yang diadakan oleh
masyarakat. Ritual yang dilakukan bahkan mendorong masyarakat untuk melakukan
dan menta’ati nilai serta tatanan sosial yang disepakati bersama dengan kata lain,
ritual memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang
mempercayai dan mempraktekannya.
Ritual Slametan memang hanya produk budaya (lokal), namun dalam perjalanan
panjang sejarah dakwah Islamiyah telah menjadikannya sebagai bagian dari ajaran
keagamaan (Islam dalam hal ini). Sebagai bagian dari ajaran keagamaan, maka
lazimnya agama. Slametan pada tataran tertentu akan dapat menggiring ke suatu
keadaan di mana dengannya si pelaku merasakan kebahagiaan dan kegembiraan
tertentu atau barangkali juga menjadi penawar atas tekanan jiwa dan kesusahan yang
dialami. Bagaimanapun, slametan kemudian berfungsi secara sosial, paling tidak
terjadi interaksi sosial yang dengannya tersambung persaudaraan atau silaturahim

1
1
DAFTAR PUSTAKA
A.Fatikhul Amin Abdullah. 2018. “Ritual Agama Islam Di Indonesia Dalam Bingkai
Budaya”. Seminar Nasional Islam Moderat. (1).
A. Kholil. 2009. “Agama dan Ritual Slametan: Deskripsi-Antropologis Keberagamaan
Masyarakat Jawa”. Jurnal el-Harakah. 11(1).
Amaliyah, Mukammilatul. 2018. “Ritual Selamatan Asta Juruan Dalam Pandangan Akidah
Islam Di Desa Juruan Daya Kecamatan Batuputih Kabupaten Sumenep”. (Skripsi,
Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya).
Budaya, Puja. 2017. “Tradisi Selamatan”. Sastra Indonesia, https://sastra-
indonesia.com/2017/10/budaya-tradisi-selamatan/. Diakses pada 22 April 2021 pukul
12:55.
Dhavamony, Mariasusai. 19995. Fenomologi Agama. (Yogyakarta: Kanisius)
Koentjaraningrat. 1995. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. (Jakarta: Dian Rakyat)

NU. 2018 “Budaya Selamatan Kehamilan dalam Pandangan Islam”. NU Online: Sumber
Artikel: https://islam.nu.or.id/post/read/87463/budaya-selamatan-kehamilan-dalam
pandangan-islam. Diakses pada Kamis, 22 April 2021 pukul 14:08.

1
2

Anda mungkin juga menyukai