PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara antropologi
budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan
bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun temurun. C. Geertz
(1966) dalam Koentjaraningrat (2002: 9) menyatakan daerah kebudayaan Jawa itu
luas, yaitu meliputi seleuruh bagian tengah timur dari pulau Jawa. Sebelum terjadi
perubahan-perubahan status wilayah seperti sekarang ini, daerah itu ialah
Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di
luar dinamakan Pesisir dan Ujung Timur.
Sehubungan dengan hal itu, maka dalam seluruh rangka kebudayaan Jawa
ini, dua daerah luas bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1775,
yaitu Yogyakarta dan Surakarta, adalah merupakan pusat dari kebudayaan
tersebut.
Kebudayaan menurut Kuntowijoyo pada bukunya Koentjaraningrat
(2002:9) berasal dari kata Buddayah yang berarti budi atau akal, sehingga
kebudayaan adalah hasil akal dan pemikiran yang berpijak pada daya budi yang
bersifat cipta, rasa dan karsa. Orang Jawa terkenal dengan kearifan lokal yang
sampai saat ini masih berusaha untuk dilestarikan.
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi
doa sebelum dibagi-bagikan di masyarakat Jawa. erat hubungannya dengan
kepercayaan kepada unsur-unsur kekuatan sakti mapun mahluk-mahluk hals
tadi.sebab hampir semua selamtan ditujukan untuk memperoleh keselamatan
hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apapun. Hal itu juga terlihat pada asal
kata nama upacara sendiri, yakni kata selamat. Upacara ini biasanya dipimpin oleh
modin, yakni ialah seorang pegawai masjid yang antara lain berkewajiban
mengucapkan ajan. Ia dipanggil karena dianggap mahir membaca doa
keselamatan dari dalam ayat-ayat Al-Quran (Koentjaraningrat, 1971: 347)
Desa Kediri Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Diantara karya-karya nya yang
akan dijadikan referensi adalah Koentjaraningrat (1971) yang berjudul Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia, Koentjaraningrat (1982). Tentang Kebudayaan
Jawa. Dan beberapa buu dan jurnal penunjang yang terkait dengan bahasan
penulis.
Teknik pengumpulan data yang dilaksanakan penulis yang lain yaitu
antara lain dengan teknik survei, dimana metode survei merupakan salah
satu
metode
penelitian
kuantitatif,
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah budaya selamatan kematian masyarakat Jawa di desa Jagung
kecamatan Pagu kabupaten Kediri.
Menurut Koentjaraningrat (1984: 335) bagi orang Jawa, hidup ini penuh
dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup
manusia sejak dari keberadaannya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja,
dewasa sampai dengan saat kematiannya, atau juga upacara-upacara yang
berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mencari nafkah,
khususnya bagi para petani, pedagang, nelayan, dan upacara-upacara yang
berhubungan dengan tempat tinggal, seperti membangun gedung untuk berbagai
keperluan, membangun, dan meresmikan rumah tinggal, pindah rumah,dan lain
sebagainya.
Seperti pada kematian, orang Jawa umumnya berkeyakinan bahwa roh
nenek moyang (makhluk halus) itu lama-kelamaan akan pergi dari tempat
tinggalnya, dan pada saat-saat tertentu keluarganya akan mengadakan slametan
untuk menandai jarak yang ditempuh roh itu menuju alam roh, tempatnya yang
abadi kelak. Namun roh itu dapat dihubungi oleh kaum kerabat serta
keturunannya setiap saat bila diperlukan.
Masyarakat Islam Jawa khususnya di desa Jagung mempunyai kebiasaan
atau adat mengadakan selamatan orang mati. Selamatan kematian yang dimaksud,
berdoa bersama-sama untuk mendoakan seseorang yang sudah meninggal, yang
mana selamatan satu akar dengan Islam dan salam yaitu kedamaian atau
kesejahteraan.
Upacara kumpul-kumpul untuk selamatan orang mati pada hari-hari
tertentu itu menurut Prof. Dr. Hamka (dalam Nurcholis (2005: 551) adalah
menirukan agama Hindu. Ritual tersebut diisi dengan berjudi, minuman keras dan
sesajen kepada leluhur atau si mayit, yang mana hal tersebut sangat bertentangan
dengan hukum-hukum agama Islam yang melarang judi, minuman keras, dan
sesaji kepada si mayit karena ritual tersebut nantinya menjurus kerusakan dan
syiri. Hal ini memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena mereka masih
belum mengenal ajaran agama Islam yang melarang keras ritual atau tindakan
diatas. Namun dalam pelaksanaannya, hadirin yang kumpul di rumah duka pada
hari-hari tertentu itu membaca bacaan-bacaan tertentu dipimpin oleh imam
upacara. Rangkaian bacaan itu disebut tahlil, karena ada bacaan Laa ilaaha illa
Allah.
Agama Islam di Jawa dibawa oleh para Wali Songo atau Sembilan Wali.
Dari latar belakang inilah para Wali Songo tergugah untuk menyampaikan ajaran
agama Islam melalui kultur dan budaya mereka. Salah satunya melalui adat
istiadat ritual tahlilan atau selamatan kematian. Yang mana masyarakat Jawa pada
saat itu masih jahiliyah atau masih belum mengenal ajaran Islam. Para Wali Songo
menyadari bahwa adat istiadat itu tidak bisa dirubah secara langsung bahkan
dihilangkan tetapi dirubah secara perlahan-lahan ke arah yang lebih islami. Bila
dihilangkan sekaligus nanti dipastikan orang Jawa akan memusuhi para Wali
Songo dan bisa juga tidak mau mengikuti ajaran agama Islam yang dibawa oleh
para Wali Songo.
Keberhasilan dakwah Wali Songo (Wali Allah generasi ke sembilan) tidak
lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.
Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal
menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun
membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga
berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang
dengan bermain judi atau mabuk-mabukan atau ke-riang-an lainnya. Wali Songo
tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap
berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah
tahlil seperti pengertian sekarang tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Disini tahlil muncul sebagai terobosan cerdik dan solutif dalam merubah
kebiasaan negatif masyarakat, solusi seperti ini pula yang disebut sebagai
kematangan sosial dan kedewasaan intelektual sang dai yaitu Walisongo.
sur tanah adalah memindahkan alam fana ke alam baka dan wadag semula yang
berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga. Kematian tersebut didoakan oleh
para ahli waris dengan berbagai sesajen yang tujuannya mengharap keselamatan
bagi orang yang meninggal dan mendapat ampunan dari Tuhan.
2. Upacara tigang dinten (tiga hari)
Upacara ini merupakan upacara kematian yang diselenggarakan untuk
memperingati tiga hari meninggalnya seseorang. Peringatan ini dilakukan dengan
kenduri
dengan
mengundang
kerabat
dan
tetangga
terdekat.
Takir potang yang berisi nasi putih dan nasi punar dan lauk pauknya,
dilengkapi dengan sudi-sudi yang berisi kecambah, kacang panjang yang
telah dipotongi, bawang merah yang telah diiris, garam yang telah digerus
(dihaluskan), kue apem putih, uang, gantal dua buah.
Nasi asahan dengan daging ayam yang telah digoreng, lauk-pauk kering,
sambal santan dan sayur menir.
Maksudnya juga tidak terlalu jauh berbeda dengan upacara ngesur tanah
diatas, yaitu agar roh yang meninggal mendapatkan jalan terang menghadap
Tuhan. Secara rasional, makna upacara ini adalah menyempurnakan 4 perkara
yang disebut anasir; yaitu bumi, angin, api dan air atau nafsu luamah, amarah
,sufiah ,mutmainah.
3. Upacara pitung dinten (tujuh hari)
Upacara ini untuk memperingati tujuh hari meninggalnya seseorang.Bahan
yang digunakna untuk kenduri biasanya terdiri atas:
Kue apem yang di dalamnya diberi uang logam, ketan, kolak (semuanya
diletakkan dalam satu takir dari daun pisang)
Nasi asahan dengan lauk pauk, daging goreng, pindang merah yang
dicampur dengan kacang panjang yang diikat kecil-kecil, dan daging
jeroan yang ditempatkan dalam wadah berbentuk kerucut (conthong), serta
pindang putih.
Maksud selamatan ini ialah sama dengan selamatan tiga hari, dan
Nasi wuduk
Ingkung
Kedelai hitam
Rambak kulit
Garam
Bunga kenanga
Maksud selamatan ini supaya roh yang meninggal dunia diterima Tuhan
sesuai dengan amal baktinya semasa hidup. Makna dari selamatan ini adalah
menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibunya berupa darah, daging,
sumsum, jeroan (isi perut), kuku, rambut, tulang dan otot.
5. Upacara nyatus (seratus hari)
Upacara ini untuk memperingati seratus hari meninggalnya seseorang. Tata
cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya
pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan empat puluh hari.
Disebut juga selamatan mendhak pisan (setahun pertama).Upacara mendhak pisan
merupakan upacara yang diselenggarakan ketika orang meninggal pada setahun
pertama. Tata cara dan bahan yang diigunakan untuk memperingati seratus hari
meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan seratus
hari. Dan juga Selamatan mendhak pindho (tahun kedua).Upacara mendhak
pindho merupakan upacara terakhir untuk memperingati meninggalnya seseorang.
Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari
meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan mendhak
10
Sesaji, terdiri atas tikar bangka, benang lawe empat puluh helai, jodhog,
clupak berisi minyak kelapa dan uceng-uceng (sumbu lampu), minyak
kelapa satu botol, sisir, serit, cepuk berisi minyak tua, kaca/cermin, kapuk,
kemenyan, pisang raja setangkep, gula kelapa setangkep, kelapa utuh satu
butir, beras satu takir, sirih dengan kelengkapan untuk menginang, bunga
boreh. Semuanya diletakkan di atas tampah dan diletakkan di tempat orang
berkenduri untuk melakukan doa.
Makna dari upacara ini adalah untuk menyempurnakan kulit, daging dan
jeroan jenazah.
7. Nyadran
Nyadran adalah hari berkunjung ke makam para leluhur/kerabat yang telah
mendahului. Nyadran ini dilakukan pada bulan Ruwah atau bertepatan dengan
saat menjelang puasa bagi umat Islam. Nyadran dilakukan oleh orang sedesa
dengan menyembelih 1 ekor kambing. Kata ruwah sendiri merupakan singkatan
dari weruh arwah jadi dimaksudkan untuk melihat arwah para leluhur. Tetapi
untuk masyarakat desa Jagung, hal itu tidak diwajibkan. Karena banyak
masyarakatnya dari kalangan menengah kebawah
Disetiap selamatan yang telah disebutkan diatas, selalu menggunakan
kembang setaman, yang bermakna penghormatan kepada jenazah dan untuk
11
12
13
(seperti
bukit
yang
rendah).
Bentuk
semacam
ini
kata ing (ingsun) dan kung (manekung). Kata ingsun berarti aku dan kata
manekung berarti berdoa dengan penuh khidmat. Dengan demikian
ingkung merupakan perwujudan sikap ahli waris yang dengan sungguhsungguh memohon doa agar anggota keluarganya yang telah meninggal
diampuni segala dosa-dosanya dan mendapatkan tempat yang semestinya.
Ayam utuh atau ingkung: ayam jika diberi makan tidak langsung dimakan
tapi dipilih yang baik dulu yang dimakan, manusia diharapkan bisa
memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Ingkung ayam adalah
ayam utuh yang dibentuk seperti posisi wanita duduk timpuh atau seperti
posisi orang sedang duduk pada saat shalat. Bentuk semacam ini
menggambarkan sikap orang yang sedang manekung (bersemadi). Hal ini
sesuai dengan makna kata ingkung yang berasal dari kata ing (ingsun) dan
kung (manekung). Kata ingsun berarti aku dan kata manekung berarti
berdoa dengan penuh khidmat. Dengan demikian ingkung merupakan
perwujudan sikap ahli waris yang dengan sungguh-sungguh memohon doa
agar anggota keluarganya yang telah meninggal diampuni segala dosadosanya dan mendapatkan tempat yang semestinya. Ayam jago atau jantan
yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi kaldu
santan yang kental merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk
(manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai
dengan mengendalikan diri dan sabar (ngereh rasa). Menyembelih ayam
jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang
dilambangkan oleh ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak,
kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri
(berkokok), tidak setia, dan tidak perhatian dengan anak istri.
Serundeng: parutan dari kelapa yang digoreng, aroma dari serundeng ini
dipercaya menyengat sampai ke akhirat, untuk itu dibuat serondeng agar
arwah leluhur datang ke acara kenduri.
Semborodono: kelapa yang di iris-iris (dirajang), maknanya pun sama
dengan serundeng
15
Kembang telon: kembang telon isinya adalah bunga mawar, kanthil, dan
kenanga. Warna merah pada bunga mawar merupakan perlambang
manusia berasal dari darah merah ibu, warna putih pada kanthil
perlambang bahwa manusia berasal dari air yang berwarna putih (mani)
yang asalnya dari ayah, dan kenanga memiliki kenang-a yang berarti
tercapai. Kembang telon juga melambangakan jika manusia mati maka
yang di tinggalkan adah tiga perkara yaitu amal jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak soleh.
Beras kuning dan koin: warna kuning merupakan warna keemasan atau
kejayaan. Beras kuning dan koin disebarkan di sepanjang jalan krtika
mengantar jenazah sampai makam. Maknanya adalah agar manusia selalu
beramal, lebih-lebih ketika seorang tersebut berada pada tarap kejayaan.
Ikan Teri/Gereh Pethek: ikan ini dapat digoreng dengan tepung atau tanpa
tepung. Ikan teri ukurannya sangat kecil dan mudah menjadi santapan ikan
yang leih besar apabila ia berenang sendirian. Oleh karena itu ikan teri
hidupnya selalu bergerombol. Ini mengingatkan manusia bahwa mereka
tidak bisa hidup sendiri. Mereka adalah makhluk yang lemah dan
membutuhkan bantuan orang lain untuk hidup. Dengan demikian, ikan teri
melambangkan kerukunan dan kerjasama yang harus dibina sesama
manusia.
Maksud dari sajian diharuskan ganjil masih perlu lanjut. Masyarakat Jawa
percaya bahwa bilangan ganjil istimewa dalam arti tidak dapat dibagibagi. Hal ini ditelusuri lebih memiliki nilai melambangkan perjalanan roh
dan proses kembalinya jasad untuk menuju pada satu titik, yaitu titik
kasampuman (kesempumaan). Kesempumaan bermakna satu, yaitu identik
dengan bilangan ganjil.
Sekul wuduk (sega rasul) adalah nasi yang diberi garam. Nasi ini rasanya
asin sebagai simbol keilmuan Rasul yang sangat tinggi dan luas sehingga
ada peribahasa bahwa orang yang berilmu adalah orang yang banyak
malcangaram. Nasi ini oleh Modin (Kaum Rois) sering diikrarkan sebagai
tanda penghormatan kepada Rasulullah dengan harapan bahwa roh orang
16
kemenangan
di
akhirat. Artinya,
jika
nanti
yang
songsong
17
Sajian juga dilengkapi kolak yang berasal dari kata khalik atau kolaq
(pencipta). Dengan sajian semacam ini, diharapkan orang yang meninggal
akan
dengan
lancar
menghadap
Sang
Khalik.
(https://pandiahmad2706.wordpress.com/2014/06/23/kenduri/)
2.2. Perkembangan budaya selamatan kematian dewasa ini di desa Jagung
kecamatan Pagu, kabupaten Kediri .
Dewasa kini masyarakat desa Jagung merubah beberapa hal saat upacara
kematian atau tahlil an berlangsung. Dimana sama dengan bila suatu kebudayaan
itu selalu mengalami perubahan. Unsur kebudayaan yang lama dapat hilang,
diganti dengan unsur yang baru. Pembaharuan unsur kebudayaan baru
dimungkinkan karena adanya penemuan baru. Dan dapat pula berupa penyesuaian
dengan kebutuhan pada saat ini. Begitu pula pada masyarakat desa Jagung
kecamatan Pagu kabupaten Kediri. Pada hari ke tiga dan ke tujuh meninggalnya
seseorang, makanan kenduri atau sesuatu yang diberikan kepada seseorang setelah
seslesainya upacara selamatan tersebut yang umumnya di masyarakat Jawa adalah
makanan yang sudah dalam keadaan matang dan siap untuk disantap. Dari hasil
wawancara saya terhadap ibu Eliya Roah (44 tahun) diganti dengan sembako
(atau bahan makanan yang belum dimasak) contohnya yaitu :
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Beras kilogram
Gula Pasir kilogram
Minyak goreng kilogram
Kecap 100 gram
Mie Instan 2 biji
Telur 2 biji
BAB 3
PENUTUP
19
3.1. Simpulan
Upacara selamatan kematian masyarakat Jawa di desa Jagung kecamatan
Pagu Kabupaten Kediri adalah suatu akulturasi budaya animisme pada zaman
sebelum adanya Islam dan budaya Islam yang telah diakulturasi oleh Wali Songo
yang bertugas menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Hal tersebut dilakukan
untuk menghormati, mengenang, dan yang paling penting adalah mendoakan
seseorang keluarga kita yang telah tiada agar dimudahkan jalannya menuju Tuhan
Yang Maha Esa.
Bagaimanapun ajaran yang telah ada hingga saat ini untuk mendoakan
seseorang
yang
telah
meninggal
dunia
semata-mata
digunakan
untuk
mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, dan juga bersedekah kepada masyarakat
sekitar kita yang mungkin semasa keluarga kita masih tetap utuh, kita tidak
menyempatkan diri ita untuk bersedekah. Oleh karena itu, dalam upacara selamtan
kematian ini adalah suatu moment yang tetap bagi kita yang masih hidup tetap
bersedekah sesama mahluk Allah, agar hal tersebut dapat mempererat hubungan
tali silaturahmi kita sesama manusia dan juga mengingat bahwa suatu saat kita
sendiri akan merasakan apa yang dinamakan mati. Dan nantinya bisa membuat
kita belajar artinya ikhlas menerima apa yang telah Tuhan kita berikan dan apa
yang telah ditakdirkan.
20