Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara antropologi
budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan
bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun temurun. C. Geertz
(1966) dalam Koentjaraningrat (2002: 9) menyatakan daerah kebudayaan Jawa itu
luas, yaitu meliputi seleuruh bagian tengah timur dari pulau Jawa. Sebelum terjadi
perubahan-perubahan status wilayah seperti sekarang ini, daerah itu ialah
Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di
luar dinamakan Pesisir dan Ujung Timur.
Sehubungan dengan hal itu, maka dalam seluruh rangka kebudayaan Jawa
ini, dua daerah luas bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1775,
yaitu Yogyakarta dan Surakarta, adalah merupakan pusat dari kebudayaan
tersebut.
Kebudayaan menurut Kuntowijoyo pada bukunya Koentjaraningrat
(2002:9) berasal dari kata Buddayah yang berarti budi atau akal, sehingga
kebudayaan adalah hasil akal dan pemikiran yang berpijak pada daya budi yang
bersifat cipta, rasa dan karsa. Orang Jawa terkenal dengan kearifan lokal yang
sampai saat ini masih berusaha untuk dilestarikan.
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi
doa sebelum dibagi-bagikan di masyarakat Jawa. erat hubungannya dengan
kepercayaan kepada unsur-unsur kekuatan sakti mapun mahluk-mahluk hals
tadi.sebab hampir semua selamtan ditujukan untuk memperoleh keselamatan
hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apapun. Hal itu juga terlihat pada asal
kata nama upacara sendiri, yakni kata selamat. Upacara ini biasanya dipimpin oleh
modin, yakni ialah seorang pegawai masjid yang antara lain berkewajiban
mengucapkan ajan. Ia dipanggil karena dianggap mahir membaca doa
keselamatan dari dalam ayat-ayat Al-Quran (Koentjaraningrat, 1971: 347)

Selamatan dalam budaya masyarakat Jawa terdapat beberapa macam


selametan, teatpi disini penulis hendak menuliskan kebudayaan selametan dalam
rangka selamatan untuk orang yang telah meninggal atau juga disebut selamatan
kematian.
1.2. Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang dan ruang lingkup seperti yang tersaji diatas,
maka yang akan dikaji di dalam laporan ini, diantaranya sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah sejarah budaya selamatan kematian masyarakat Jawa di desa
Jagung kecamatan Pagu kabupaten Kediri?
1.2.2 Bagaimana perkembangan budaya selamatan kematian dewasa ini di desa
Jagung kecamatan Pagu kabupaten Kediri ?
1.3. Tujuan
Bedasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai
peneliti dalam penulisan laporan ini ialah:
1.3.1 Untuk memahami Mengkaji sejarah budaya selamatan masyaraat Jawa di
desa Jagung kecamatan Pagu kabupaten Kediri.
1.3.2 Untuk mengkaji perkembangan budaya selamatan kematian dewasa ini di
desa Jagung kecamatan Pagu, kabupaten Kediri.
1.4. Metodologi
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode historis
bibliografi. Penelitian dengan metode sejarah untuk mencari, menganalisis,
membuat interpretasi serta generalisasi dari fakta-fakta yang merupakan pendapat
para ahli. Kerja dari penelitian ini adalah dengan menghimpun karya-karya
tertentu dari seorang penulis dan menerbitkan kembali dokumen yang dianggap
hilang atau tersembunyi, seraya memberikan interpretasi serta generalisasi yang
tepat terhadap karya-karya tersebut.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan teknik bibliografi karya-karya
yang terkait dengan obyek kajian, yaitu Selamatan Kematian Masyarakat Jawa di

Desa Kediri Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Diantara karya-karya nya yang
akan dijadikan referensi adalah Koentjaraningrat (1971) yang berjudul Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia, Koentjaraningrat (1982). Tentang Kebudayaan
Jawa. Dan beberapa buu dan jurnal penunjang yang terkait dengan bahasan
penulis.
Teknik pengumpulan data yang dilaksanakan penulis yang lain yaitu
antara lain dengan teknik survei, dimana metode survei merupakan salah
satu

metode

penelitian

kuantitatif,

dimana kuesioner sebagai instrumen

utama untuk mengumpulkan data (Irawan, 2006: 109).


Penulis mencoba mengumpulkan data dari survei di tempat dilaksanakan
upacara selamatan kematian atau tahlilan di desa Jagung kecamatan Pagu
kabupaten Kediri. Dan melakukan melakukan teknik wawancara melalui telepon
kepada Ibu Eliya Roah selaku warga desa Jagung sekaligus ibunda tercinta.
1.5. Pendekatan dan Teoritis
Upacara kematian, pada saat mempersiapkan penguburan orang mati yang
ditandai dengan memandikan, mengkafani, menshalati, dan pada akhirnya
menguburkan. Setelah penguburan itu selama sepekan, tiap malam hari diadakan
slametan mitung dina (tujuh hari), yaitu kirim doa dengan didahului bacaan
tasybih, tasymid, takbir, tahlil, dan shalawat Nabi yang secara kaseluruhan
rangkaian bacaan itu disebut tahlilan. Istilah tahlil itu sendiri berarti membaca
dzikir dengan bacaan laa ilaaha illallah. Slametan yang sama dilakukan pada saat
kematian itu sudah mencapai 40 hari (matang puluh), 100 hari (nyatus), satu tahun
(mendhak sepisan), dua tahun (mendhak pindo), dan tiga tahun (nyewu). Tahlilan
kirim doa kepada leluhur terkadang dilakukan juga oleh keluarga secara bersamasama pada saat-saat ziarah kubur, khususnya pada waktu menjelang bulan
Ramadhan. Upacara ziarah kubur ini disebut upacara nyadran. Unsur-unsur dari
setiap pelaksanaan dalam selamatan kematian ini (tahlil) semakin menuju
kedewasa ini semakin mengalami banyak perubahan dan meninggalkan kebiasaan
yang dirasa mubadzir.

Ada teori yang bisa dipakai untuk menguraikan tentang Selamatan


Kematian (tahlil) ini yakni Penciptaan Tradisi. Teori penciptakan tradisi (the
Invention of Tradition) menurut Hugh Trevor (1992) dalam Sukada (2008: 7)
Dalam 'penciptakan tradisi' konsepnya tradisi adalah salah satu pencerminan dari
perubahan sosial di dalam beberapa bentuk budaya yang diterima oleh
masyarakatnya. Karena keadaan dalam masyarakat memang senantiasa memiliki
pengalaman perubahan sehingga mencerminan akan perubahan di masyarakat
tersebut. Disini hal tersebut akan menunjukan bagaimana Selamatan Kematian
(tahlil) mengalami perubahan sejak pertama kali muncul dan bagaimana
perubahan ini sudah diterima sebagai tradisi. Bagian ini juga menyediakan bukti
bahwa pelaku dalam budaya selamatan kematian (tahil) bisa menyelenggaraan
upacara selamatan kematian ini tanpa menghilangkan tradisinya.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah budaya selamatan kematian masyarakat Jawa di desa Jagung
kecamatan Pagu kabupaten Kediri.
Menurut Koentjaraningrat (1984: 335) bagi orang Jawa, hidup ini penuh
dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup
manusia sejak dari keberadaannya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja,
dewasa sampai dengan saat kematiannya, atau juga upacara-upacara yang
berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mencari nafkah,
khususnya bagi para petani, pedagang, nelayan, dan upacara-upacara yang
berhubungan dengan tempat tinggal, seperti membangun gedung untuk berbagai
keperluan, membangun, dan meresmikan rumah tinggal, pindah rumah,dan lain
sebagainya.
Seperti pada kematian, orang Jawa umumnya berkeyakinan bahwa roh
nenek moyang (makhluk halus) itu lama-kelamaan akan pergi dari tempat
tinggalnya, dan pada saat-saat tertentu keluarganya akan mengadakan slametan
untuk menandai jarak yang ditempuh roh itu menuju alam roh, tempatnya yang
abadi kelak. Namun roh itu dapat dihubungi oleh kaum kerabat serta
keturunannya setiap saat bila diperlukan.
Masyarakat Islam Jawa khususnya di desa Jagung mempunyai kebiasaan
atau adat mengadakan selamatan orang mati. Selamatan kematian yang dimaksud,
berdoa bersama-sama untuk mendoakan seseorang yang sudah meninggal, yang
mana selamatan satu akar dengan Islam dan salam yaitu kedamaian atau
kesejahteraan.
Upacara kumpul-kumpul untuk selamatan orang mati pada hari-hari
tertentu itu menurut Prof. Dr. Hamka (dalam Nurcholis (2005: 551) adalah
menirukan agama Hindu. Ritual tersebut diisi dengan berjudi, minuman keras dan
sesajen kepada leluhur atau si mayit, yang mana hal tersebut sangat bertentangan
dengan hukum-hukum agama Islam yang melarang judi, minuman keras, dan

sesaji kepada si mayit karena ritual tersebut nantinya menjurus kerusakan dan
syiri. Hal ini memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena mereka masih
belum mengenal ajaran agama Islam yang melarang keras ritual atau tindakan
diatas. Namun dalam pelaksanaannya, hadirin yang kumpul di rumah duka pada
hari-hari tertentu itu membaca bacaan-bacaan tertentu dipimpin oleh imam
upacara. Rangkaian bacaan itu disebut tahlil, karena ada bacaan Laa ilaaha illa
Allah.
Agama Islam di Jawa dibawa oleh para Wali Songo atau Sembilan Wali.
Dari latar belakang inilah para Wali Songo tergugah untuk menyampaikan ajaran
agama Islam melalui kultur dan budaya mereka. Salah satunya melalui adat
istiadat ritual tahlilan atau selamatan kematian. Yang mana masyarakat Jawa pada
saat itu masih jahiliyah atau masih belum mengenal ajaran Islam. Para Wali Songo
menyadari bahwa adat istiadat itu tidak bisa dirubah secara langsung bahkan
dihilangkan tetapi dirubah secara perlahan-lahan ke arah yang lebih islami. Bila
dihilangkan sekaligus nanti dipastikan orang Jawa akan memusuhi para Wali
Songo dan bisa juga tidak mau mengikuti ajaran agama Islam yang dibawa oleh
para Wali Songo.
Keberhasilan dakwah Wali Songo (Wali Allah generasi ke sembilan) tidak
lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.
Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal
menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun
membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga
berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang
dengan bermain judi atau mabuk-mabukan atau ke-riang-an lainnya. Wali Songo
tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap
berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah
tahlil seperti pengertian sekarang tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Disini tahlil muncul sebagai terobosan cerdik dan solutif dalam merubah
kebiasaan negatif masyarakat, solusi seperti ini pula yang disebut sebagai
kematangan sosial dan kedewasaan intelektual sang dai yaitu Walisongo.

Kematangan sosial dan kedewasaan intelektual yang benar-benar mampu


menangkap teladan Nabi Muhammad SAW. dalam melakukan perubahan sosial
bangsa Arab Jahiliyah. Dinamika pewahyuan Al-Quran pun sudah cukup
memberikan pembelajaran bahwa melakukan transformasi sosial sama sekali
bukan pekerjaan mudah, bukan pula proses yang bisa dilakukan secara instant.
Jadi acara kumpul di rumah ahli waris diisi dengan amal kebaikan berupa
pembacaan untaian doa, dzikir, pembacaan surat Yasiin dan tahlil.
Tujuan Wali Songo mengisi acara kumpul dengan amal kebaikan agar
tidak timbul kesedihan atau yang dikatakan oleh Imam Asy Syafii pada awal
tulisan ini sebagai memperbaharui kesedihan pada ahli waris dengan adanya
dzikrullah untuk menegaskan ke Maha Kuasa an sehingga suasana hati ahli waris
tetap ikhlas menerima takdir Allah terhadap ahli kubur. Selain itu akan terjadi
tindakan anarkis yang memicu pertumpahan darah yang sangat disesalkan. Hal ini
dikarenakan masyarakat Jawa sangat percaya dan memegang teguh pada adat
istiadatnya serta rela mengorbankan nyawanya sendiri. Maka dari itu para
Walisongo berinisiatif merubah ritual tahlilan tersebut dengan memasukkan nilainilai Islam dengan menggelar tahlilan disertai dengan membaca tahlil, tahmid,
tasbih dan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya dan para
sahabatnya.
Menurut keyakinan islam, orang yang sudah meninggal dunia ruhnya tetap
hidup dan tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, sebagai alam antara
sebelum memasuki alam akhirat tanpa kecuali, apakah orang tua ataupun anakanak. Kepercayaan tersebut telah mewarnai orang Jawa. Hanya saja menurut
orang Jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal
dunia berkaliaran di sekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur
menetap di makam (pesarean). Mereka masih mempunyai kontak hubungan
dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu mendatangi ke
kediaman anak keturunan. Roh-roh yang baik yang bukan roh nenek moyang atau
kerabat disebut dhanyang, bahureksa, atau sing ngemong. Dhanyang ini
dipandang sebagai roh yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat
desa.dari sinilah kemudian timbul upacara bersih desa, termasuk membersihkan

makam-makam disertai dengan kenduren maupun sesaji, dangan maksud agar


sang dhanyang akan selalu memberikan perlindungan. Di sisi lain atas dasar
kepercayaan islam bahwa orang yang yang meninggal dunia perlu dikirim doa.
Hal ini mungkin disebebkan karena orang Jawa sangat menghormati arwah orang
meninggal dunia, terutama kalau orang itu keluargannya. Sehingga salah satu
jalan yang baik untuk menolong keselamatan roh nenek moyang tersebut di alam
akhirat, ialah dengan membuat berbagai upcara selamtan (sedekahan) sejak awal
kematian sampai keseribu harinya (Koentjaraningrat (1971: 348). Demikian ada:
a) sedekah surtanah atau geblak yang di adakan pada saat meninggalnya
seseorang
b) sedekah nelung dina, yaitu upacara selamatan kematian yang
diselenggaraan pada hari ketiga sesudah saat meninggalnya seseorang,
c) sedekah mitung dina, ialah upacara selamatan saat sesudah
meninggalnya seseorang yang jatuh pada hari ketujuh,
d) sedekah matangpuluh dina, atau upacara selamatan kematian seseorang
pada hari keempat puluh,
e) sedekah nyatus, yakni upacara selamatan kematian yang diadakan
sesudah hari ke seratus sejak saat kematiannya,
f) sedekah mendak sepisan dan pindo, masing-masing upacara selamatan
kematian yang dilakukan pada waktu sesudah satu tahun dan dua
tahunnya dari saat meninggalnya seseorang,
g) sedeah nyewu, sebagai upacara selamatan saat-saat sesudah kematian
seseorang bertepatan dengan genap seribu harinya. Upacara ini kadangkadang disebut juga sedekah nguwis-nguwis i, artinya yang terakhir kali
lebih jelasnya yakni:
1. Upacara ngesur tanah/ surtanah (geblag)
Upacara ngesur tanah merupakan upacara yang diselenggarakan pada saat
hari meninggalnya seseorang. Upacara ini diselenggarakan pada sore hari setelah
jenazah dikuburkan. Istilah sur tanah atau ngesur tanah berarti menggeser tanah
(membuat lubang untuk penguburan mayat). Maksud upacara tersebut adalah agar
roh orang yang baru saja meninggal itu mendapatkan tempat disisi Tuhan. Makna

sur tanah adalah memindahkan alam fana ke alam baka dan wadag semula yang
berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga. Kematian tersebut didoakan oleh
para ahli waris dengan berbagai sesajen yang tujuannya mengharap keselamatan
bagi orang yang meninggal dan mendapat ampunan dari Tuhan.
2. Upacara tigang dinten (tiga hari)
Upacara ini merupakan upacara kematian yang diselenggarakan untuk
memperingati tiga hari meninggalnya seseorang. Peringatan ini dilakukan dengan
kenduri

dengan

mengundang

kerabat

dan

tetangga

terdekat.

Bahan untuk kenduri biasanya terdiri atas:

Takir potang yang berisi nasi putih dan nasi punar dan lauk pauknya,
dilengkapi dengan sudi-sudi yang berisi kecambah, kacang panjang yang
telah dipotongi, bawang merah yang telah diiris, garam yang telah digerus
(dihaluskan), kue apem putih, uang, gantal dua buah.

Nasi asahan dengan daging ayam yang telah digoreng, lauk-pauk kering,
sambal santan dan sayur menir.
Maksudnya juga tidak terlalu jauh berbeda dengan upacara ngesur tanah

diatas, yaitu agar roh yang meninggal mendapatkan jalan terang menghadap
Tuhan. Secara rasional, makna upacara ini adalah menyempurnakan 4 perkara
yang disebut anasir; yaitu bumi, angin, api dan air atau nafsu luamah, amarah
,sufiah ,mutmainah.
3. Upacara pitung dinten (tujuh hari)
Upacara ini untuk memperingati tujuh hari meninggalnya seseorang.Bahan
yang digunakna untuk kenduri biasanya terdiri atas:

Kue apem yang di dalamnya diberi uang logam, ketan, kolak (semuanya
diletakkan dalam satu takir dari daun pisang)

Nasi asahan dengan lauk pauk, daging goreng, pindang merah yang
dicampur dengan kacang panjang yang diikat kecil-kecil, dan daging
jeroan yang ditempatkan dalam wadah berbentuk kerucut (conthong), serta
pindang putih.
Maksud selamatan ini ialah sama dengan selamatan tiga hari, dan

bermakna untuk menyempurnakan kulit dan kuku jenazah.


9

4. Upacara sekawan dasa dinten (empat puluh hari)


Upacara ini untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya
seseorang. Biasanya peringatannya dilakukan dengan kenduri. Bahan untuk
kenduri biasanya sama dengan kenduri pada saat memperingati tujuh hari
meninggalnya, namun ada tambahan dengan selamatan kataman(pembacaan AlQuran)yang sesajinya adalah sebagai berikut:

Nasi wuduk

Ingkung

Kedelai hitam

Cabai merah utuh

Rambak kulit

Bawang merah yang telah dikupas kulitnya

Garam

Bunga kenanga
Maksud selamatan ini supaya roh yang meninggal dunia diterima Tuhan

sesuai dengan amal baktinya semasa hidup. Makna dari selamatan ini adalah
menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibunya berupa darah, daging,
sumsum, jeroan (isi perut), kuku, rambut, tulang dan otot.
5. Upacara nyatus (seratus hari)
Upacara ini untuk memperingati seratus hari meninggalnya seseorang. Tata
cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya
pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan empat puluh hari.
Disebut juga selamatan mendhak pisan (setahun pertama).Upacara mendhak pisan
merupakan upacara yang diselenggarakan ketika orang meninggal pada setahun
pertama. Tata cara dan bahan yang diigunakan untuk memperingati seratus hari
meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan seratus
hari. Dan juga Selamatan mendhak pindho (tahun kedua).Upacara mendhak
pindho merupakan upacara terakhir untuk memperingati meninggalnya seseorang.
Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari
meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan mendhak

10

pisan. Maksudnya juga seperti selamatan 40 hari, yaitu untuk menyempurnakan


semua yang bersifat badan wadag (jasad)
6. Upacara seribu hari (nyewu)
Merupakan peringatan seribu hari bagi orang yang sudah meninggal.
Peringatan dilakukan dengan mengadakan kenduri yang diselenggarakan pada
malam hari. Biasanya diadakan secara besar-besaran, dibacakan ayat suci AlQuran dan disebut upacara tahlilan terakhir. Bahan yang digunakan untuk
kenduri sama dengan bahan yang digunakan pada peringatan empat puluh hari.
ditambah dengan:

Menyembelih seekor kambing, Hal ini dimaksudkan untuk mengirim


tunggangan bagi arwah yang mati supaya lekas sampai surga.

Sesaji, terdiri atas tikar bangka, benang lawe empat puluh helai, jodhog,
clupak berisi minyak kelapa dan uceng-uceng (sumbu lampu), minyak
kelapa satu botol, sisir, serit, cepuk berisi minyak tua, kaca/cermin, kapuk,
kemenyan, pisang raja setangkep, gula kelapa setangkep, kelapa utuh satu
butir, beras satu takir, sirih dengan kelengkapan untuk menginang, bunga
boreh. Semuanya diletakkan di atas tampah dan diletakkan di tempat orang
berkenduri untuk melakukan doa.
Makna dari upacara ini adalah untuk menyempurnakan kulit, daging dan

jeroan jenazah.
7. Nyadran
Nyadran adalah hari berkunjung ke makam para leluhur/kerabat yang telah
mendahului. Nyadran ini dilakukan pada bulan Ruwah atau bertepatan dengan
saat menjelang puasa bagi umat Islam. Nyadran dilakukan oleh orang sedesa
dengan menyembelih 1 ekor kambing. Kata ruwah sendiri merupakan singkatan
dari weruh arwah jadi dimaksudkan untuk melihat arwah para leluhur. Tetapi
untuk masyarakat desa Jagung, hal itu tidak diwajibkan. Karena banyak
masyarakatnya dari kalangan menengah kebawah
Disetiap selamatan yang telah disebutkan diatas, selalu menggunakan
kembang setaman, yang bermakna penghormatan kepada jenazah dan untuk

11

mengenang kebikan-kebaikan yang dilakukan selama hidupnya dan suatu upaya


keluarga untukk mendoakan agar arwahnya diterima Tuhan.
Dan setiap sesajen kenduri / selamatan, bermakna agar keselamatan selalu
mengiringi orang yang meninggal sampai menghadap Tuhan.
Budaya Jawa terkenal mudah untuk menyerap budaya dari luar yang
masuk tanpa kehilangan identitasnya. Suatu misal, dengan masuknya agama
Islam, ritual selametan biasanya ditambahi dengan pembacaan ayat-ayat AlQuran, seperti Surat Yasiin dan Tahlil.
Meski bagi sebagian masyarakat yang memahami Islam secara murni hal
ini dapat dikategorikan sebagai bidah, namun bagi masyarakat yang masih
memegang teguh tradisi leluhur hal ini sulit untuk ditinggalkan. Masyarakat
merasa takut jika tidak melaksanakannya karena mereka menganggap ada
konsekuensinya jika tidak melaksanakan. Berdasarkan observasi yang kami
lakukan, di desa Jagung kabupaten Kediri banyak warga yang menyebut bahwa
kenduri/ selamatan atas meninggalnya seseorang yang mereka lakukan itu adalah
warisan dari orang tua dahulu, banyak dari mereka yang kurang faham mengenai
makna kenduri tersebut, yang mereka tahu adalah dengan kenduri/ selamatan
mereka akan memperoleh keselamatan dunia maupun akhirat.
Tiap-tiap bahan makanan dan hal-hal yang berkaitan dengan upacara
kematian budaya jawa ini masing-masing memiliki filosofi tersendiri yakni:
Daun kelor atau dhadhap srep : bermakna bahwa mayit yang dimandikan
hilang dari dosa-dosanya (simbol daun kelor), jalan menuju Tuhan akan
mudah dan akan menjadi damai (simbol daun dhadhap srep).
Menyembelih kambing : bermakna sebagai tunggangan mayat untuk
menuju ke hadapan Tuhan. Kambing ini dimaksudkan sebagai tumpakan
roh orang yang mati agar selamat melewati wot siratolmustakim.
Burung merpati sepasang : bermakna agar mayat diharapkan saat
menghadap Tuhan dalam keadaan suci bersih tanpa dosa dan beban.
Sesajen kenduri : bermakna agar keselamatan selalu mengiringi orang
yang meninggal sampai menghadap Tuhan.

12

Kelapa muda : mempunyai arti toya wening/toya suci (air yang


melambangkan kehingan dan kesucian). Jadi kelapa muda merupakan
simbol yang mengandung harapan agar orang yang barusaja meninggal
dilimpahi kesucian sehingga dapat segera menghadap Tuhan.
Payung : Payung merupakan tanda belas kasih cinta sanak keluarga
terhadap orang yang baru saja meninggal. Dimaksudkan agar orang yang
baru saja meninggal itu tidak kehujanan dan kepanasan selama di liang
kubur.
Kembang setaman : bermakna penghormatan kepada jenazah dan untuk
mengenang kebaikan-kebaikan yang dilakukannya selama hidupnya dan
juga suatu upaya keluarga untuk mendoakan agar arwahnya diterima
Tuhan.
Tumpeng ungkur-ungkuran : bermakna bahwa mayit telah berpisah antara
jasmani dan rohnya. Tumpeng Pungkur digunakan pada saat kematian
seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang
disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong
vertikal dan diletakkan saling membelakangi. Tumpeng pungkur
mempunyai makna simbolis agar roh yang telah meninggal tidak lagi
memikirkan keduniawian dan keluarga yang ditinggalkannya. Di pihak
lain, keluarga yang ditinggalkan tidak perlu lagi mengingat-ingat yang
sudah mati. Tumpeng sebagai lambang seks (alat kelamin) laki-laki.
Karena itu jika seseorang telah meninggal dunia, maka nafsu seks pun juga
telah mati. Tumpeng juga melambangkan perpisahan antara suksma sejati
dengan badan kasar dan nafsunya.
Tumpeng Nasi Putih warna putih pada nasi putih menggambarkan
kesucian dalam adat Jawa.
Nasi putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan
yang merapat menyembah tuhan. Nasi putih juga melambangkan bahwa
segala sesuatu yang kita makan menjadi darah dan daging haruslah dipilih
dari sumber yang bersih atau halal. Bentuknya yang berupa gunungan juga

13

dapat diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita semakin


naik dan tinggi.
Tumpeng : sebuah nasi yang dibentuk menyerupai gunung, mengerucut.
Orang Jawa kuno mempercayai bahwa di tempat yang tinggi yaitu gunung
roh-roh nenek moyang bersemayam. Dengan membuat tumpeng
diharapkan roh nenek moyang hadir dalam acara yang diadakan oleh
manusia. Pada masyarakat Hindu tumpeng dilambangkan sebagai gunung
Mahameru yang merupakan tempat yang suci dan keramat dimana disitu
adalah tempat bersemayamnya para dewa. Dalam islam tumpeng yang
mengerucut ke atas merupakan filosofi ke Esaan. Dengan adanya tumpeng
yang memiliki filosofi seperti itu diharapkan manusia bisa selalu ingat
pada kekuasaan Allah SWT, dan juga merupakan bentuk rasa syukur
kepada Tuhan YME, Rasul, serta danyang yang telah menjadi pondasi
suatu daerah.
Sega asahan (ambeng) adalah nasi yang dikemas berbentuk bulat dan agak
mbenunuk

(seperti

bukit

yang

rendah).

Bentuk

semacam

ini

melambangkan alat seks (alat kelamin) seorang wanita. Jika seseorang


telah meninggal maka nafsu seksualnya sudah tiada lagi. Dengan kata lain
bahwa yang bersangkutan sudah sampai ke tingkat ambeng (ngambang)
atau hilang sarna sekali nafsu seksualnya.
Pisang: Dalam kenduri pisang dikaitkan dengan kata pisah, yang artinya
dalam kehidupan manusia tidak terpisah dari sang penguasa, jadi
hendaknya manusia harus selalu ingat kepada sang penguasa. Pemakaian
pisang raja satu sisir yang diikat dengan benang putih. Benang tadi oleh
kaum pada saat memimpin doa (ngekralke) diputus menggunakan gunting.
Pemutusan ini menandai bahwa sudah tidak ada hubungan lagi antara roh
orang yang meninggal dengan keluarga.
Ingkung ayam adalah ayam utuh yang dibentuk seperti posisi wanita
duduk timpuh atau seperti posisi orang sedang duduk pada saat shalat.
Bentuk semacam ini menggambarkan sikap orang yang sedang manekung
(bersemadi). Hal ini sesuai dengan makna kata ingkung yang berasal dari
14

kata ing (ingsun) dan kung (manekung). Kata ingsun berarti aku dan kata
manekung berarti berdoa dengan penuh khidmat. Dengan demikian
ingkung merupakan perwujudan sikap ahli waris yang dengan sungguhsungguh memohon doa agar anggota keluarganya yang telah meninggal
diampuni segala dosa-dosanya dan mendapatkan tempat yang semestinya.
Ayam utuh atau ingkung: ayam jika diberi makan tidak langsung dimakan
tapi dipilih yang baik dulu yang dimakan, manusia diharapkan bisa
memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Ingkung ayam adalah
ayam utuh yang dibentuk seperti posisi wanita duduk timpuh atau seperti
posisi orang sedang duduk pada saat shalat. Bentuk semacam ini
menggambarkan sikap orang yang sedang manekung (bersemadi). Hal ini
sesuai dengan makna kata ingkung yang berasal dari kata ing (ingsun) dan
kung (manekung). Kata ingsun berarti aku dan kata manekung berarti
berdoa dengan penuh khidmat. Dengan demikian ingkung merupakan
perwujudan sikap ahli waris yang dengan sungguh-sungguh memohon doa
agar anggota keluarganya yang telah meninggal diampuni segala dosadosanya dan mendapatkan tempat yang semestinya. Ayam jago atau jantan
yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi kaldu
santan yang kental merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk
(manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai
dengan mengendalikan diri dan sabar (ngereh rasa). Menyembelih ayam
jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang
dilambangkan oleh ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak,
kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri
(berkokok), tidak setia, dan tidak perhatian dengan anak istri.
Serundeng: parutan dari kelapa yang digoreng, aroma dari serundeng ini
dipercaya menyengat sampai ke akhirat, untuk itu dibuat serondeng agar
arwah leluhur datang ke acara kenduri.
Semborodono: kelapa yang di iris-iris (dirajang), maknanya pun sama
dengan serundeng

15

Kembang telon: kembang telon isinya adalah bunga mawar, kanthil, dan
kenanga. Warna merah pada bunga mawar merupakan perlambang
manusia berasal dari darah merah ibu, warna putih pada kanthil
perlambang bahwa manusia berasal dari air yang berwarna putih (mani)
yang asalnya dari ayah, dan kenanga memiliki kenang-a yang berarti
tercapai. Kembang telon juga melambangakan jika manusia mati maka
yang di tinggalkan adah tiga perkara yaitu amal jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak soleh.
Beras kuning dan koin: warna kuning merupakan warna keemasan atau
kejayaan. Beras kuning dan koin disebarkan di sepanjang jalan krtika
mengantar jenazah sampai makam. Maknanya adalah agar manusia selalu
beramal, lebih-lebih ketika seorang tersebut berada pada tarap kejayaan.
Ikan Teri/Gereh Pethek: ikan ini dapat digoreng dengan tepung atau tanpa
tepung. Ikan teri ukurannya sangat kecil dan mudah menjadi santapan ikan
yang leih besar apabila ia berenang sendirian. Oleh karena itu ikan teri
hidupnya selalu bergerombol. Ini mengingatkan manusia bahwa mereka
tidak bisa hidup sendiri. Mereka adalah makhluk yang lemah dan
membutuhkan bantuan orang lain untuk hidup. Dengan demikian, ikan teri
melambangkan kerukunan dan kerjasama yang harus dibina sesama
manusia.
Maksud dari sajian diharuskan ganjil masih perlu lanjut. Masyarakat Jawa
percaya bahwa bilangan ganjil istimewa dalam arti tidak dapat dibagibagi. Hal ini ditelusuri lebih memiliki nilai melambangkan perjalanan roh
dan proses kembalinya jasad untuk menuju pada satu titik, yaitu titik
kasampuman (kesempumaan). Kesempumaan bermakna satu, yaitu identik
dengan bilangan ganjil.
Sekul wuduk (sega rasul) adalah nasi yang diberi garam. Nasi ini rasanya
asin sebagai simbol keilmuan Rasul yang sangat tinggi dan luas sehingga
ada peribahasa bahwa orang yang berilmu adalah orang yang banyak
malcangaram. Nasi ini oleh Modin (Kaum Rois) sering diikrarkan sebagai
tanda penghormatan kepada Rasulullah dengan harapan bahwa roh orang
16

yang meninggal termasuk golongan Rasul, sehingga kelak di akhirat akan


mendapatkan safaat Rasul.
Nasi gurih adalah nasi bersantan yang diberi wama kuning keemasan.
Wama ini sebagai lambang kemenangan. Dengan ubarampe, ahli waris
mengharapkan agar anggota keluarga yang meninggal dunia kelak
mendapatkan

kemenangan

di

akhirat. Artinya,

jika

nanti

yang

bersangkutan ditimbang amalnya, amal baiknya akan menang (lebih berat)


dibanding amal jeleknya.
Apem, ketan, serta pura: apem (afwun) yang artinya ampun, ketan (khataan) yang berarti kesalahan dan pura (ngapura) yang berarti maaf. Ketiga
makanan ini artinya adalah sama yaitu memohon ampun kepada sang
penguasa.
Ubarampe apem, saji-sajian selamatan dalam kenduri nelung dina
dimaksudkan untuk memberikan penghormatan kepada roh lain agar tidak
mengganggu roh orang yang telah meninggal.
Apem dan pasung. Kata apem kemungkinan berasal dari kata Arab afufun
yang artinya mohon ampun. Ubarampe ini disajikan denan maksud agar
orang yang meninggal diampuni segala dosa-dosanya. Ubarampe apem
berbentuk bulatan lepek seperti piring kecil. Bentuk ini mengandung
makna sebagai alas jika orang yang meninggal nanti panas akan melewati
ara-ara Masar yang sangat lebar.
Sebagai jodoh apem adalah pasung yang kemungkinan besar berasal dari
perubahan bunyi kata payung. Pasung dari daun nangka yang dibentuk
seperti payung atau dalam bahasa Jawa karma disebut songsong.
Maksudnya, agar orang yang meninggal mendapatkan

songsong

(perlindungan) dari Tuhan.


Karena orang yang meninggal akan melewati jalan panjang dan panas,
maka untuk dia dibuatkan ketan sebagai alas (lemek) agar kakinya tidak
panas. Ketan juga bermakna raketan artinya mendekatankan diri kepada
Tuhan.

17

Sajian juga dilengkapi kolak yang berasal dari kata khalik atau kolaq
(pencipta). Dengan sajian semacam ini, diharapkan orang yang meninggal
akan

dengan

lancar

menghadap

Sang

Khalik.

(https://pandiahmad2706.wordpress.com/2014/06/23/kenduri/)
2.2. Perkembangan budaya selamatan kematian dewasa ini di desa Jagung
kecamatan Pagu, kabupaten Kediri .
Dewasa kini masyarakat desa Jagung merubah beberapa hal saat upacara
kematian atau tahlil an berlangsung. Dimana sama dengan bila suatu kebudayaan
itu selalu mengalami perubahan. Unsur kebudayaan yang lama dapat hilang,
diganti dengan unsur yang baru. Pembaharuan unsur kebudayaan baru
dimungkinkan karena adanya penemuan baru. Dan dapat pula berupa penyesuaian
dengan kebutuhan pada saat ini. Begitu pula pada masyarakat desa Jagung
kecamatan Pagu kabupaten Kediri. Pada hari ke tiga dan ke tujuh meninggalnya
seseorang, makanan kenduri atau sesuatu yang diberikan kepada seseorang setelah
seslesainya upacara selamatan tersebut yang umumnya di masyarakat Jawa adalah
makanan yang sudah dalam keadaan matang dan siap untuk disantap. Dari hasil
wawancara saya terhadap ibu Eliya Roah (44 tahun) diganti dengan sembako
(atau bahan makanan yang belum dimasak) contohnya yaitu :
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Beras kilogram
Gula Pasir kilogram
Minyak goreng kilogram
Kecap 100 gram
Mie Instan 2 biji
Telur 2 biji

Adapun makanan yang sudah di masak yang masih dipertahankan adalah


Apem, Pisang, dan Semborodono (Seperti serundeng, tetapi kelapa yang dipakai
tidak diparut, alias dipotong kecil-kecil).
Hal tersebut sudah di setujui dan di lakukan oleh masyarakat sekitar ketika
ada salah satu keluarganya yang telah meninggal dunia. Alasan tersebut karena
makanan-makanan yang disajikan dan dibawa pulang oleh warga yang mengikuti
upacara selamatan tadi dianggap menjadi pantangan oleh beberapa masyarakat,
khususnya para lansia, anak yang masih bayi (balita), dan orang yang mempunyai
18

penyakit. Bila orang-orang tersebut memakannya (kenduri dari upacara selamatan


kematian) dapat menyebabkan orang tersebut sawanan atau ketok-ketoken yang
berarti dapat terus menerus dihantui orang yang meninggal tersebut.oleh karena
itu hanya orang-orang sehat dan dewasa (tidak lansia) saja lah yang bisa
memakannya.
Dengan hal tersebut bisa digaris bawahi bila masyarakat desa Jagung tidak
ingin makanan yang sudah diberikan tadi menjadi mubadzir atau sia-sia karena
tidak dapat dimakan oleh penerima kenduri. Meskipun tidak ada penjelasan yang
jelas mengapa pantangan itu diterapkan. Dapat dilihat pula bahwa dilingkungan
desa Jagung banyak beberapa keluarga yang terdapat di dalamnya adalah para
lansia. Sehingga dengan hal tersebut, bahan makanan hasil kenduri atau upacara
selamatan kematian tadi dapat dinikmati oleh semua kalangan karena bisa
dimasak terlebih dahulu di kediaman masing-masing. Dan tentunya lebih awet
dari pada makanan yang sudah matang.
Adapun modifikasi lainnya yang dilakukan oleh masyarakat desa Jagung
yakni, biasanya didalam bahan makanan yang disajikan dalam besek (wadah
makanan yang terbuat dari plastik) pada saat upacara selamatan kematian terdapat
uang koin yang menjadi simbol sedekah nya orang yang telah meninggal tersebut.
Masyarakat di desa Jagung sepakat agar uang yang diataruh dalam wadah tersebut
harus memiliki minimal nominal uang sebesar Rp.2000,00. Hal ini dikarenakan
uang koin yang rata-rata memiliki nominal sebesar Rp.500,00 rupiah dirasa
nominalnya cukup kecil pada saat ini dan perubahan tersebut dilakukan agar
dirasa pantas untuk masa kini. Oleh karena itu penyesuaian tersebut sangatlah
diperlukan karena zaman sudah berubah dan tidak akan tetap seperti dahulu.
Pada hari keseribu, atau upacara selamatan kematian terakhir seseorang
biasanya bagi keluarga yang mampu, memberikan sarung untuk para hadirin yang
datang pada selamatan atau kenduri waktu itu. Karena dianggap itu adalah
sedekah terakhir bagi orang yang meninggal. Dan bagi yang kurang mampu, hal
tersebut bisa saja di tiadakan, karena bisa saja memberatkan keluarga tersebut.

BAB 3
PENUTUP
19

3.1. Simpulan
Upacara selamatan kematian masyarakat Jawa di desa Jagung kecamatan
Pagu Kabupaten Kediri adalah suatu akulturasi budaya animisme pada zaman
sebelum adanya Islam dan budaya Islam yang telah diakulturasi oleh Wali Songo
yang bertugas menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Hal tersebut dilakukan
untuk menghormati, mengenang, dan yang paling penting adalah mendoakan
seseorang keluarga kita yang telah tiada agar dimudahkan jalannya menuju Tuhan
Yang Maha Esa.
Bagaimanapun ajaran yang telah ada hingga saat ini untuk mendoakan
seseorang

yang

telah

meninggal

dunia

semata-mata

digunakan

untuk

mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, dan juga bersedekah kepada masyarakat
sekitar kita yang mungkin semasa keluarga kita masih tetap utuh, kita tidak
menyempatkan diri ita untuk bersedekah. Oleh karena itu, dalam upacara selamtan
kematian ini adalah suatu moment yang tetap bagi kita yang masih hidup tetap
bersedekah sesama mahluk Allah, agar hal tersebut dapat mempererat hubungan
tali silaturahmi kita sesama manusia dan juga mengingat bahwa suatu saat kita
sendiri akan merasakan apa yang dinamakan mati. Dan nantinya bisa membuat
kita belajar artinya ikhlas menerima apa yang telah Tuhan kita berikan dan apa
yang telah ditakdirkan.

20

Anda mungkin juga menyukai