Anda di halaman 1dari 24

ALHAYATU YAUMIYAH

Hidup di dunia ini sungguh sekejap saja. Sementara, kesempatan mengumpulkan bekal teramat
sebentar. Kita akan hidup selama-lamanya, tidak akan ada akhir lagi, yaitu kelak nanti di akhirat.
Dan, hamba Allah yang beriman pasti akan menyibukkan diri dengan amal ketaatan supaya di
kehidupan nanti mendapatkan kebahagiaan yang sempurna.

Salah satu amal ketaatan seorang hamba itu adalah bersemangat dalam menghidupkan ihyaaus
sunnah. Tiada waktu, hari, jam, menit, detik berlalu kecuali bernilai ibadah, amal saleh, manfaat,
dan mencari perbekalan terbaik di akhirat. Karena itulah, ia hidupkan sunah harian Rasulullah
SAW.

Gambaran indah amal yaumiyah (amal sunah harian Nabi SAW) adalah bermula ketika hendak
tidur. Ia pasti akan tidur lebih awal karena kerinduannya bangun di tengah malam. Saat terjaga,
ia bersegera membangunkan keluarga dan sahabatnya untuk menikmati indahnya shalat malam.

Pencinta amal yaumiyah Nabi SAW pasti tidak akan pernah beranjak dari Tahajud kecuali
setelah membaca istighfar dengan bilangan yang banyak, dilanjutkan tadabur Alquran. Lalu,
dengan hati gembira, ia melangkah dengan kaki diayun untuk berjamaah Subuh di masjid.
Kemudian, ia biasakan tidak keluar dari masjid kecuali ikut kajian ilmu dan zikir hingga waktu
shalat sunah Isyraq.

Dan, pagi pun menjelang. Ia tidak akan keluar rumah untuk ikhtiar yang halal kecuali diiringi
doa, pamit kepada keluarga dengan ciuman, lambaian salam dan terjaga selalu wudhunya.
Hatinya pun selalu terpaut zikir kepada Allah SWT.

Dalam beraktvitas selalu dengan belas kasih, rendah hati, murah senyum, ringan tangan, penebar
salam dan salaman, bersih-wangi bersahaja dengan sesederhana mungkin penampilannya. Hal ini
terbaca dari isyarat mata, tubuh, dan penampilannya yang tidak sombong. Bicaranya santun dan
selalu berbaik sangka pada setiap takdir-Nya, jauh dari sifat dengki.

Tiba waktu Zhuhur atau Ashar, maka shalatnya pasti tepat waktu dan berjamaah. Ia tidak
sungkan untuk memulai dan mendatangi serta menjulurkan tangan silaturahim. Diam-diam
hatinya berdoa untuk keluarganya, negerinya, saudara-saudaranya yang tertindas, seperti di
Palestina, Afghanistan, Irak, Suriah, Mesir, Yaman, Rohingya.

Bahkan, terhadap mereka yang berbeda keyakinan, doa pun dipanjatkannya agar Allah SWT
memberi hidayah. Kepada siapa pun yang dijumpai, ia selalu ingatkan tentang dahsyatnya
kehidupan akhirat tanpa merasa dirinya paling suci. Dan, puncaknya bermuhasabah diri, sama
sekali tidak tertarik membahas, apalagi mencari aib saudaranya.

Inilah amal ringan, tapi padat penuh makna. Orang beriman akan menjadikan tiada waktu yang
sia-sia. Fokus dalam ketaatan yang prima dengan menjaga amal yaumiyah. Semoga Allah SWT
terus dan terus membimbing kita semangat beriman dan beramal saleh hingga wafat dalam
keridhaan-Nya. Aamiin.
AD-DIROSAH

1. Menurut Bahasa
Menurut bahasa berasal dari kata “darasa” yang artinya pelajaran, belajar, mengkaji, dan kata
“islam” yaitu agama islam. Kalimat ini mengandung arti memahami, mempelajari, atau meniliti
islam sebagai obyek kajian. Dirasah islamiyah di indonesia diartikan sebagai studi islam/kajian
islam atau dalam kajian barat disebut islamic studies.

2. Menurut Istilah
Dirasah Islamiyah menurut istilah adalah sebuah kajian yang tujuannya untuk mengetahui,
memahami serta menganalisis secara mendalam terhadap seluruh hal-hal yang berkaitan dengan
agama islam, pokok-pokok ajarannya, serta realisasi pelaksanaannya dalam kehidupan. Makna
ini sangat umum karena segala sesuatu yang berkaitan dengan islam dikatakan studi islam. Oleh
karena itu perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang  studi islam dalam kajian ini
yaitu kajian secara sistematis dan terpadu untuk mengetahui memahami dan menganalisis secara
mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama islam baik yang menyangkut sumber-sumber
ajaran islam ,pokok-pokok ajaran islam,sejarah islam, maupun realitas pelaksanaannya dalam
kehidupan. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang
berhubungan dengan agama islam. Dengan perkataan ini “usaha sadar dan sistematis untuk
mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal
yang berhubungan dengan agama islam baik berhubungan dengan ajaran, sejarah, maupun
praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sepanjang sejarahnya.”
Dalam buku-buku dan jurnal-jurnal keislaman biasanya dipergunakan term studi islam untuk
mengungkap beberapa maksud.
Pertama, Studi islam yang dikonotasikan dengan aktivitas-aktivitas dan program-program
pengkajian dan penelitian terhadap agama sebagai obyeknya, seperti pengkajian tentang konsep
zakat profesi.
Kedua, studi islam dikonotasikan dengan materi, subyek, bidang, dan kurikulum suatu kajian
atas islam seperti ilmu-ilmu agama islam. Ketiga, studi islam yang dikonotasikan dengan
institusi-instituisi pengkajian islam baik formal seperti perguruan tinggi, maupun yang non
formal seperti forum-forum kajian dan halaqoh-halaqoh.

Tidak semua aspek agama khususnya islam dapat menjadi obyek studi. Dalam konteks Studi
Islam, ada beberapa aspek tertentu    dari islam yang dapat menjadi obyek studi, yaitu:

1. Islam sebagai doktrin dari tuhan yang kebenarannya bagi pemeluknya sudah final, dalam arti
absolut, dan diterima secara apa adanya.

2. Sebagai gejala budaya yang berarti seluruh apa yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya
dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.

3. Sebagai interaksi sosial yaitu realitas umat islam.

Tujuan Dirasah Islamiyah


Dirasah Islamiyah sebagai usaha untuk mempelajari secara mendalam tentang islam dan segala
seluk beluk yang berhubungan dengan agama islam sudah pasti mempunyai tujuan yang jelas.
Adapun tujuan Studi Islam dapat diantaranya sebagai berikut :

1. Untuk mempelajari secara mendalam tentang apa sebenarnya (hakikat) agam islam itu, dan
bagaimana posisi serta hubungannya dengan agama-agama lain dalam kehidupan budaya
manusia.Sehubungan dengan ini, Studi Islam dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa
sebenarnya agama islam diturunkan oleh Allah adalah untuk membimbing dan mengarahkan
serta menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan agama-agama dan budaya umat dimuka
bumi.

2. Untuk mempelajari secara mendalam pokok-pokok isi ajaran agama islam yang asli, dan
bagaimana penjabaran dan operasionalisasinya dalam pertumbuhan dan perkembangan budaya
peradaban islam sepanjang sejarahnya. Studi ini berasumsi bahwa agama islam adalah fitrah
sehingga pokok-pokok isi ajaran agama islam tentunya sesuai dan cocok dengan fitrah manusia.
Fitrah adalah potensi dasar, pembawaan yang ada, dan tercipta dalam proses pencipataan
manusia.Untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran agama islam  yang tetap
abadi dan dinamis, dan bagaimana aktualisasinya sepanjang sejarahnya. Studi ini berdasarkan
asumsi bahwa agama islam sebagai agama samawi terakhir membawa ajaran yang bersifat final
dan mampu memecahkan masalah kehidupan manusia, menjawab tantangan dan tuntutannya
sepanjang zaman.Dalam hal ini sumber dasar ajaran agama islam akan tetap actual dan
fungsional terhadap permasalahan hidup dan tantangan serta tuntutan perkembangan zaman
tersebut.

3. Untuk mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran agama islam,
dan bagaimana realisasinya dalam membimbing dan mengarahkan serta mengontrol
perkembangan budaya dan peradaban manusia pada zaman modern ini. Asumsi dari studi ini
adalah, islam yang meyakini mempunyai misi sebagai rahmah li al-‘alamin tentunya mempunyai
prinsip dasar yang bersifat universal, dan mempunyai daya dan kemampuan untuk membimbing,
mengarahkan dan mengendalikan factor-faktor potensial dari pertumbuhan dan perkembangan
system budaya dan peradaban modern.

Pemahaman yang mendalam terhadap ilmu-ilmu dalam agama islam secara kaffah dan universal
sehingga dapat menumbuhkan keyakinan yang kuat, mental yang stabil, jiwa yang kokoh, serta
hati yang suci supaya tidak terjebak pada pemikiran-pemikiran yang radikal  serta gaya hidup
bebas dalam mengatasi berbagai masalah dan tantangan di era globalisasi.

AL-AMAL
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Iman tanpa amal itu hampa, sedangkan amal tanpa iman itu
percuma. Ada saja Muslim yang hanya mengaku beriman, tapi lalai menger jakan amal saleh.
Padahal, jika memang benar-benar beriman, seharusnya melaksanakan ibadah dan amal kebaikan
lainnya secara berkelanjutan.
Baca Juga

 Tiga Jenis Amalan dalam Islam


 Amal Sang Penyeru

Lihat juga:

Dzikir Nasional Bisa Menaikan Iman Kaum Muslimin

Dzikir Nasional Bisa Menaikan Iman Kaum Muslimin

Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, yang tidak akan memberatkan. Namun,
bukan berarti penganutnya dapat menggampangkan urusan agama dengan alasan yang dibuat-
buat sendiri.

Dalam buku berjudul Kesepaduan Iman dan Amal Saleh, Abdul Malik Karim Amrullah atau
Buya Hamka menegaskan bahwa pertanda kosongnya jiwa serta binasa nya hati. Yaitu, ketika
seorang Muslim sekadar mengaku beriman, tapi enggan mengerjakan amal saleh secara
berkelanjutan.

Hal itu sesuai dengan kondisi sekarang. Keimanan hanya dijadikan 'topeng' untuk meraih
keuntungan tertentu, seperti halnya dalam politik. Namun, untuk mengerjakan amal saleh mereka
lalai.

Padahal, iman dan amal saleh merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena, apabila
salah satunya hilang, kesungguhan menjalankan Islam menjadi tidak sempurna. Iman tanpa amal
itu hampa, sedangkan amal tanpa iman itu percuma.

Hal ini terlihat dari sabda Nabi SAW: Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan
tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman. (HR ath-Thabrani). Dalam karyanya ini, Buya
Hamka menjelaskan tentang bagaimana seharusnya menempatkan porsi iman dan amal saleh
secara tepat sesuai tuntunan syariat.
Bukti kita percaya kepada-Nya ten tu kita ikuti perintah-Nya. Kita mengikuti perintah-Nya
adalah karena kita percaya, kata Buya Hamka. Pada zaman modern ini, sebagian masyarakat
mungkin masih banyak yang beranggapan bahwa shalat tidak harus berupa ritual ibadah.

Perempuan tidak harus menutup aurat, yang penting adalah menjaga hati, dan lain sebagainya.
Anggapan semacam itu sangat bertolak belakang dengan ajaran agama Islam. Karena, Rasulullah
sangat tekun melaksanakan ibadah dan amal saleh.

Saat mengerjakan shalat, kaki Rasulullah bahkan sampai bengkak. Uangnya pun tak pernah
tersimpan lama di rumahnya karena langsung disedekahkan. Allah menjadikan manusia sebagai
makhluk teristimewa.

Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi sehingga malaikat dan iblis pun disuruh
sujud padanya. Sementara, manusianya sendiri justru banyak yang mengabaikan perintah-Nya.

Melihat fenomena semacam itu, Buya Hamka pun tergugah un tuk menyusun tulisan-tulisannya
berke naan dengan keimanan yang lekat dengan amal saleh. Jika me ngaku Islam, menurut
Hamka, umat sudah selayaknya menger jakan ibadah dan amal saleh lainnya.

Namun, sebaliknya amal saleh tanpa iman juga tidak dibenarkan dalam agama. Banyak orang
yang kelihatan berbuat baik, padahal ia tak beriman. Ia banyak beramal, tapi hal yang
dilakukannya tidak berlandaskan iman.

Padahal, Allah telah menegaskan dalam Alquran bahwasanya amal seseorang menjadi sia-sia
jika mempersekutukan Allah dengan yang lain (Surah al-An'am ayat 88). Karena itu, umat mem
butuhkan iman agar amal saleh nya diterima oleh Allah.

Menurut Buya Hamka, iman yang baik akan menimbulkan amal yang baik. Sedangkan, amal
yang baik ti dak akan ada kalau imannya ti dak ada. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW:
Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuat an tanpa
iman. (HR ath- Thab rani).

Hamka juga mengatakan, suatu amal yang timbul bukan dari iman pada hakikatnya adalah
menipu diri sendiri. Mengerjakan kebaikan tidak dari hati adalah dusta. Jika manusia
menegakkan kebaikan tidak dari iman, akan telantar di tengah jalan. Lantaran tidak ada semangat
suci yang men dorongnya.

Jika seseorang telah mengakui percaya kepada Allah dan rasul- Nya, niscaya kepercayaan itu
akan mendorongnya berbuat baik. Tujuannya tentu untuk menggapai ridha Allah. Hubungan
antara iman dan amal adalah antara budi dan perangai.

Suatu budi yang tinggi hendaklah dilatih terus agar menjadi perangai dan kebiasaan. Islam dan
iman yang sebe narnya adalah pertalian di antara iman dan amal saleh. Menurut Buya Hamka,
tidak ada satu ayat pun dalam Alquran yang hanya menyebut perkara iman.
Pasti diikuti dengan menyebut amal saleh. Sumber konten Buku ini disusun dari karyakarya
Buya Hamka yang pernah diterbitkan dalam majalah ataupun dari karangannya yang pernah
disampaikan dalam seminar.

Tidak hanya itu, buku ini juga dilengkapi dengan beberapa nasihat Buya Hamka yang pernah
ditayangkan di salah satu stasiun televisi nasional sekitar 1975. Buku ini juga mencantumkan
ayat Alquran ataupun hadis untuk memperkuat tema pembahasan.

Hal ini menunjukkan bahwa Buya Hamka dalam menyampaikan pandangannya selalu
berlandaskan kitab suci dan sabda nabi. Pandangan Buya Hamka dalam buku penuh dengan
makna yang dapat menggugah kesadaran nurani umat Islam. Walaupun, penyampaian bahasa
dalam buku harus sedikit diulang-ulang untuk memahaminya.

Bagi umat yang masih menganggap bahwa beribadah kepada- Nya tidaklah penting, Buya
Hamka menyarankan agar berkumpul dengan sahabat yang bisa mengantarkan pada jalan yang
diridhai-Nya. Teladanilah sunah Rasulullah SAW.

Lawanlah segala ben tuk pertentangan hati dari hal buruk yang hanya membawa pada kesesatan
dunia dan akhirat. Selain itu, tekanlah nafsu dalam mengejar nikmat dunia yang fana. Jangan
hanya mendamba surga tanpa bersusah payah menggapai ridha-Nya. Ingatlah selalu bahwa
perintah maupun larangan-Nya adalah kebaikan bagi umat Islam itu sendiri.

AS-SHOLAH
Kenapa Perintah Sholat dalam Al-Qur'an Menggunakan Redaksi Aqimu Bukan 'Amilu?

Suara dari speaker Ma'had Walisongo terdengar dengan jelas. Menandakan ngaji akan segera di
mulai. Bulan ini adalah bulan istimewa. Bagi umat Islam bulan ini adalah bulan untuk
meningkatkan keimanan kita kepada Sang Pencipta. Santri Ma'had setelah terdengarnya adzan
Ashar akan segera memulai kesibukannya masing-masing untuk persiapan ngaji dan berbuka
puasa.

Sekitar pukul setengah empat sore hari, para santri sudah berjejer di aula selatan dan utara.
Mereka sudah siap mendapatkan ilmu dari pak yai. Sebelum pak yai hadir, kesibukan santri pun
berbeda-beda, ada yang membaca Al-Qur'an ada yang mengulang-ulang materi yang telah
disampaikan, dan berbagai kesibukan lain.

Setiap sore sekitar pukul 4 sore, kyai kita KH. Fadlolan Musyaffa' akan mengaji kitab As-Sholah
fil Hawa' (Sholat di Pesawat dan Luar Angkasa). Kitab yang menerangkan tentang tata cara
sholat di pesawat dan luar angkasa adalah kitab karangan babah yai kita sendiri yaitu KH.
Fadlolan Musyaffa'.
Senin tanggal 21 Mei 2018 kemarin, pak yai menerangkan banyak hal terutama masalah sholat
dan juga selalu ada cerita-cerita yang lucu sampai memotivasi dari beliau. Salah satunya adalah
beliau menerangkan tentang dalil sholat dalam salah satu ayat Al-Qur'an, yaitu tentang redaksi
kata aqiimu as-sholaata (dirikanlah sholat). Beliau menjelaskan, kenapa dalam Al-Qur'an tidak
'amiilu as-sholaata (lakukanlah sholat)?

Aqiimu adalah dirikanlah. Sedangkan 'amilu berarti lakukanlah. Melakukan sholat dapat seperti
senam pagi, hafal gerakkan dan bacaan kemudian dilakukan, sudah selesai, akan tetapi hatinya
jalan-jalan. Hatinya tidak hadir dalam sholat, hatinya memikirkan sesuatu di luar sholat.

Mendirikan sholat bukan sekedar senam pagi, yang hafal gerakan dan bacaan. Akan tetapi hafal
gerakkan dan bacaan, serta hatinya hadir ke dalam sholat. Hatinya terpaut dengan sholat,
khusyu'. Inilah yang dinamakan menegakkan sholat. Beliau berkata "Aqiimu menegaskan bahwa
sholat gag gemen-gemen (tidak main-main)."

Quraish Shihab mengatakan pada kata pengantar bukunya pak yai Fadlolan bahwa "Banyak
orang yang sholat tetapi sedikit yang mendirikan sholat." Hal tersebut menunjukkan bahwa
sedikit orang yang menghadirkan hatinya ketika sholat. Banyak orang yang sholat hanya untuk
menggugurkan kewajiban. Sedangkan, menghadirkan hati saat sholat itu penting.

Ketika sholat, memang banyak pikiran yang menghantui bak hujan deras tiba-tiba. Banyak
pikiran di luar sholat masuk ke dalam hati dan pikiran. Sehingga sholat kita menjadi tidak
khusyu'. Inilah yang terkadang menyebabkan kita lupa "Sampai rakaat ke berapa kita sholat?".

Dalam Mauidhotul Mikminin (kitab yang menerangkan tentang fiqh tasawuf), kita dapat
menghadirkan hati dengan cara mengangan-angan arti dari bacaan sholat tersebut. Sehingga hati
kita dapat terpaut dengan sholat, tidak memikirkan sesuatu yang di luar sholat

SYAHRU RAMADHAN

Syahrul Ramadhan sebagai Bulan


Introspeksi Diri Mengharap Ridha Ilahi
 by Helmi
 484 Views
 Minggu, 5 Mei, 2019

Tweet
Like
+1
Share
WhatsApp
 
LADUNI.ID, ACEH- Kehadiran bulan Ramadhan selalu ditunggu dan disambut dengan suka
cita oleh seluruh muslim dimuka bumi ini. Sebab, dibulan penuh berkah ini terdapat kewajiban
berpuasa sebulan penuh. Itu disampaikan Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof. Tgk.
Syamsul Rijal. Sys pada media ini, Minggu (5/5/2019).

Menurut Syamsul Rijal, hikmah terpenting ramadhan menjadi media untuk lebih dekat kepada
Allah, dan
media untuk menyucikan diri serta 
media untuk mengasah rasa peduli kemanusiaan.
Selain itu, bulan Ramadhan menjadi media untuk berbagi antar sesama manusia, dan media
peningkatan amal ibadah serta media mengukir keikhlasan dalam menyikapi kehidupan
modernitas yang penuh tantangan untuk menuju entitas manusia bertakwa.

"Muslim diharapkan bijak menyambut ramadhan dengan  penuh sukacita adalah dibangun
dengan instropeksi diri dan menyadarkan diri untuk mengharapkan Redha Allah SWT,"
harapnya.

Untuk maksud ini, menurut Syamsul Rijal hal terpenting dilakukan adalah pertama penyadaran
kelhilafannselama ini untuk memohon keampuhannya, kedua mempersiapkan diri dengan
pengetahuan maksimal sehingga ibadah dilakukan dengan ikhlas dan mencapai sasaran sesuai
yang digariskan oleh syariat.

"Persiapan diri dengan pengetahuan dan kesiapan mentalitas berpuasa sangat menentukan
kualitas ibadah yang ditunaikan. Menghadiri majelis taklim dan majelis ilmu yang membahas
perihal ibadah puasa semakin urgen dan diperlukan guna membekali diri dengan pengetahuan
ibadah yang lebih prima," harap Syamsul Rijal.(***)

IDUL FITRI
Kompas.com - 24/05/2020, 08:00 WIB Bagikan: Komentar Makna Hari Raya Idul Fitri Lihat
Foto Makna Hari Raya Idul Fitri(shutterstock) Penulis Serafica Gischa | Editor Serafica Gischa
KOMPAS.com - Perayaan Hari Raya Idul Fitri jatuh pada tanggal 24 Mei 2020 dan menjadi hari
besar bagi umat Islam. Dilansir dari situs resmi Nahdlatul Ulama, Hari Raya Idul Fitri adalah
puncak dari pelaksanaan ibadah puasa. Idul Fitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan
tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa sendiri, yaitu manusia yang bertaqwa. Kata Id
berdasar dari kata aada-yauudu yang artinya kembali. Sedangkan fitri bisa berarti buka puasa
untuk makan dan bisa berarti suci. Adapun fitri yang berarti buka puasa berdasarkan kata ifthar.
Kemudian berdasarkan hadis Rasulullah SAW artinya: ”Dari Anas bin Malik: Tak sekali pun
Nabi Muhammad SAW. Pergi (untuk shalat) pada hari raya Idul Fitri tanpa makan beberapa
kurma sebelumnya." Dalam Riwayat lain: "Nabi SAW. Makan kurma dalam jumlah ganjil." (HR
Bukhari). Baca juga: Sayyidah Ruqayyah, Putri Nabi Muhammad SAW yang Wafat di Bulan
Ramadhan Sementara kata fitri yang berarti suci, bersih dari segala dosa berdasarkan kata
fathoro-yafthiru dan hadis Rasulullah SAW yang artinya: “Barangsiapa yang berpuasa di bulan
Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena mengharap ridho Allah, maka
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (Muttafaq ‘alayh). Barangsiapa yang shalat malam di
bulan Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena mengharap ridho Allah, maka
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq ‘alayh) . Baca juga: Ashabul Kahfi, Kisah 7
Pemuda Tidur Selama 309 Tahun dalam Gua Dalam bahasa Jawa, Hari Raya Idul Fitri disebut
juga dengan istilah "Lebaran". Lebaran mengandung makna lebar, lebur, luner, dan labur yang
artinya: Lebar artinya umat Islam dapat lebaran dari kemaksiatan. Lebur artinya lebur dari dosa
Luber artinya luber dari pahala, keberkahan, dan rahmat Allah SWT. Labur artinya bersih karena
bagi orang yang benar-benar melaksanakan ibadah puasa, maka hati akan dilabur menjadi bersih
tanpa dosa. Makna Hari Raya Idul Fitri hendaknya memiliki sifat positif seperti menjalin
silahturahmi sebagai sarana membebaskan diri dari dosa. Hari Raya Idul Fitri juga menjadi
momentum untuk menyempurnakan hubungan vertikal dengan Allah dan secara horizontal
membangun hubungan sosial yang baik dengan sesama. Ilustrasi anak sungkem kepada orang tua
saat Idul Fitri atau Lebaran. Lihat Foto Ilustrasi anak sungkem kepada orang tua saat Idul Fitri
atau Lebaran. (Dok. Shutterstock/ Odua Images) Hikmah Idul Fitri Seorang muslim yang
kembali kepada fitrahnya akan memiliki sikap sebagai berikut: Tetap istiqomah memegang
agama tauhid, yaitu Islam. Tetap berkeyakinan bahwa Allah itu Maha Esa. Dalam kehidupan
sehari-hari akan selalu berbuat dan berkata yang benar, meskipun perkataan itu pahit. Tetap
berlaku sebagai abid,m yaitu hamba Allah yang selalu taat dan patuh kepada perintah Allah.

IDUL ADHA

Idul Adha pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah juga dikenal dengan sebuatan “Hari Raya Haji”,
dimana kaum muslimin yang sedang menunaikan haji yang utama, yaitu wukuf di Arafah.
Mereka semua memakai pakaian serba putih dan tidak berjahit, yang di sebut pakaian ihram,
melambangkan persamaan akidah dan pandangan hidup, mempunyai tatanan nilai yaitu nilai
persamaan dalam segala segi bidang kehidupan. Tidak dapat dibedakan antara mereka, semuanya
merasa sederajat. Sama-sama mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Perkasa, sambil
bersama-sama membaca kalimat talbiyah.

Disamping Idul Adha dinamakan hari raya haji, juga dinamakan “Idul Qurban”, karena pada hari
itu Allah memberi kesempatan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Bagi umat
muslim yang belum mampu mengerjakan perjalanan haji, maka ia diberi kesempatan untuk
berkurban, yaitu dengan menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan kecintaan
kita kepada Allah SWT. (Baca juga: Pengertian Qurban Secara Lengkap dengan Penjelasannya).

Jika kita menengok sisi historis dari perayaan Idul Adha ini, maka pikiran kita akan teringat
kisah teladan Nabi Ibrahim, yaitu ketika Beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk
menempatkan istrinya Hajar bersama Nabi Ismail putranya, yang saat itu masih menyusu.
Mereka ditempatkan disuatu lembah yang tandus, gersang, tidak tumbuh sebatang pohon pun.
Lembah itu demikian sunyi dan sepi tidak ada penghuni seorangpun. Nabi Ibrahim sendiri tidak
tahu, apa maksud sebenarnya dari wahyu Allah yang menyuruh menempatkan istri dan putranya
yang masih bayi itu, ditempatkan di suatu tempat paling asing, di sebelah utara kurang lebih
1600 KM dari negaranya sendiri palestina. Tapi baik Nabi Ibrahim, maupin istrinya Siti Hajar,
menerima perintah itu dengan ikhlas dan penuh tawakkal.

Karena pentingnya peristiwa tersebut. Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an: 

‫اس تَه ِْوي إِلَ ْي ِه ْم َوارْ ُز ْقهُم‬ ِ َّ‫صالَةَ فَاجْ َعلْ أَ ْفئِ َدةً ِّمنَ الن‬ ْ ‫ك ْال ُم َحر َِّم َربَّنَا لِيُقِي ُم‬
َّ ‫وا ال‬ ُ ‫َّربَّنَا إِنِّي أَ ْس َك‬
ٍ ْ‫نت ِمن ُذ ِّريَّتِي بِ َوا ٍد َغي ِْر ِذي زَر‬
xَ ِ‫ع ِعن َد بَ ْيت‬
َّ
َ‫ت لَ َعلهُ ْم يَ ْش ُكرُون‬ َّ
ِ ‫ِّمنَ الث َم َرا‬

Artinya: Ya Tuhan kami sesunggunnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di suatu
lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumahmu (Baitullah) yang dimuliakan.
Ya Tuhan kami (sedemikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah gati sebagia
manusia cenderung kepada mereka dan berizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan
mereka bersyukur. (QS Ibrahim: 37)
Seperti yang diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa tatkala Siti Hajar kehabisan air minum hingga
tidak biasa menyusui nabi Ismail, beliau mencari air kian kemari sambil lari-lari kecil (Sa’i)
antara bukit Sofa dan Marwah sebanyak 7 kali. Tiba-tiba Allah mengutus malaikat jibril
membuat mata air Zam Zam. Siti Hajar dan Nabi Ismail memperoleh sumber kehidupan.

Lembah yang dulunya gersang itu, mempunyai persediaan air yang melimpah-limpah. Datanglah
manusia dari berbagai pelosok terutama para pedagang ke tempat siti hajar dan nabi ismail,
untuk membeli air. Datang rejeki dari berbagai penjuru, dan makmurlah tempat sekitarnya.
Akhirnya lembah itu hingga saat ini terkenal dengan kota mekkah, sebuah kota yang aman dan
makmur, berkat do’a Nabi Ibrahim dan berkat kecakapan seorang ibu dalam mengelola kota dan
masyarakat. Kota mekkah yang aman dan makmur dilukiskan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad dalam Al-Qur’an:

ِ ‫ت َم ْن آ َمنَ ِم ْنهُم بِاهّلل ِ َو ْاليَوْ ِم‬


‫اآلخ ِر‬ ِ ‫َوإِ ْذ قَا َل إِب َْرا ِهي ُم َربِّ اجْ َعلْ هَـ َ َذا بَلَداً آ ِمنا ً َوارْ ُز ْق أَ ْهلَهُ ِمنَ الثَّ َم َرا‬

Artinya: Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, sebagai
negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang
beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kiamat.” (QS Al-Baqarah: 126)

Dari ayat tersebut, kita memperoleh bukti yang jelas bahwa kota Makkah hingga saat ini
memiliki kemakmuran yang melimpah. Jamaah haji dari seluruh penjuru dunia, memperoleh
fasilitas yang cukup, selama melakukan ibadah haji maupun umrah.

Hal itu membuktikan tingkat kemakmuran modern, dalam tata pemerintahan dan ekonomi, serta
kaemanan hukum, sebagai faktor utama kemakmuran rakyat yang mengagumkan. Yang semua
itu menjadi dalil, bahwa do’a Nabi Ibrahim dikabulkan Allah SWT. Semua kemakmuran tidak
hanya dinikmati oleh orang islam saja. Orang-orang yang tidak beragama Islam pun ikut
menikmati.

Allah SWT berfirman:

ِ ‫س ْال َم‬
‫صي ُر‬ َ ‫ار َوبِ ْئ‬ ِ ‫قَا َل َو َمن َكفَ َر فَأ ُ َمتِّ ُعهُ قَلِيالً ثُ َّم أَضْ طَرُّ هُ إِلَى َع َذا‬
ِ َّ‫ب الن‬

Artinya: Allah berfirman: “Dan kepada orang kafirpun, aku beri kesenangan sementara,
kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka. Dan itulah seburuk buruk tempat kembali.” (QS.
Al-Baqarah: 126)

Idul Adha dinamai juga “Idul Nahr” artinya hari raya penyembelihan. Hal ini untuk
memperingati ujian paling berat yang menimpa Nabi Ibrahim. Akibat dari kesabaran dan
ketabahan Ibrahim dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, Allah memberinya sebuah
anugerah, sebuah kehormatan “Khalilullah” (kekasih Allah).

Setelah gelar Al-khalil disandangnya, Malaikat bertanya kepada Allah: “Ya Tuhanku, mengapa
Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu. Padahal ia disibukkan oleh urusan kekayaannya
dan keluarganya?” Allah berfirman: “Jangan menilai hambaku Ibrahim ini dengan ukuran
lahiriyah, tengoklah isi hatinya dan amal baktinya!”
Sebagai realisasi dari firmannya ini, Allah SWT mengizinkan pada para malaikat menguji
keimanan serta ketaqwaan Nabi Ibrahim. Ternyata, kekayaan dan keluarganya dan tidak
membuatnya lalai dalam taatnya kepada Allah.

Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa konon, Nabi Ibrahim memiliki kekayaan
1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi
Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya adalah
tergolong milliuner. Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang “milik siapa ternak
sebanyak ini?” maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu
bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta
anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”

Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim mengemukakan bahwa, pernyataan Nabi Ibrahim
yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Allah itulah yang kemudian dijadikan
bahan ujian, yaitu Allah menguji iman dan taqwa Nabi Ibrahim melalui mimpinya yang haq, agar
ia mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7 tahun. Anak yang elok rupawan, sehat
lagi cekatan ini, supaya dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri.
Sungguh sangat mengerikan! Peristiwa spektakuler itu dinyatakan dalam Al-Qur’an:

ِ َ‫ي إِنِّي أَ َرى فِي ْال َمن َِام أَنِّي أَ ْذبَحُكَ فَانظُرْ َما َذا تَ َرى قَا َل يَا أَب‬
َ‫ت ا ْف َعلْ َما تُ ْؤ َم ُر َست َِج ُدنِي إِن َشاء هَّللا ُ ِمنَ الصَّابِ ِرين‬ َّ َ‫قَا َل يَا بُن‬

Artinya: Ibrahim berkata : “Hai anakkku sesungguhnay aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk
orang yang sabar.” (QS Aa-saffat: 102)

Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah, datanglah setan sambil berkata,
“Ibrahim, kamu orang tua macam apa kata orang nanti, anak saja disembelih?” “Apa kata orang
nanti?” “Apa tidak malu? Tega sekali, anak satu-satunya disembeli!” “Coba lihat, anaknya lincah
seperti itu!” “Anaknya pintar lagi, enak dipandang, anaknya patuh seperti itu kok dipotong!”
“Tidak punya lagi nanti setelah itu, tidak punya lagi yang seperti itu! Belum tentu nanti ada lagi
seperti dia.” Nabi Ibrahim sudah mempunya tekat. Ia mengambil batu lalu mengucapkan,
“Bismillahi Allahu akbar.” Batu itu dilempar. Akhirnya seluruh jamaah haji sekarang mengikuti
apa yang dulu dilakukan oleh Nabi Ibrahim ini di dalam mengusir setan dengan melempar batu
sambil mengatakan, “Bismillahi Allahu akbar”. Dan hal ini kemudian menjadi salah satu
rangkaian ibadah haji yakni melempar jumrah.

Ketika sang ayah belum juga mengayunkan pisau di leher putranya. Ismail mengira ayahnya
ragu, seraya ia melepaskan tali pengikat tali dan tangannya, agar tidak muncul suatu kesan atau
image dalam sejarah bahwa sang anak menurut untuk dibaringkan karena dipaksa ia meminta
ayahnya mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya tidak melihat wajahnya.

Nabi Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail pasrah bulat-bulat, seperti ayahnya yang telah
tawakkal. Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan firmannya,
menyuruh menghentikan perbuatannya tidak usah diteruskan pengorbanan terhadap anaknya.
Allah telah meridloi kedua ayah dan anak memasrahkan tawakkal mereka. Sebagai imbalan
keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor kambing sebagai korban,
sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-Saffat ayat 107-110:

‫َظ ٍيم‬ ٍ ‫َوفَ َد ْينَاهُ بِ ِذب‬


ِ ‫ْح ع‬

“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

َ‫َوت ََر ْكنَا َعلَ ْي ِه فِي اآْل ِخ ِرين‬

“Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang
kemudian.”

‫َساَل ٌم َعلَى إِب َْرا ِهي َم‬

“Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.”

َ‫َك َذلِكَ نَجْ ِزي ْال ُمحْ ِسنِين‬

“Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Menyaksikan tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia
itu, Malaikat Jibril kagum, seraya terlontar darinya suatu ungkapan “Allahu Akbar, Allahu
Akbar, Allahu Akbar.” Nabi Ibrahim menjawab “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Yang kemudian
dismbung oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.’

Pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang paling besar dalam sejarah umat umat manusia itu membuat
Ibrahim menjadi seorang Nabi dan Rasul yang besar, dan mempunyai arti besar. Peristiwa yang
dialami Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail diatas, bagi kita harus dimaknai sebagai pesan
simbolik agama, yang mengandung pembelajaran paling tidak pada tiga hal;

Pertama, ketakwaan. Pengertian taqwa terkait dengan ketaatan seorang hamba pada Sang Khalik
dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nya. Koridor agama (Islam) mengemas
kehidupan secara harmoni seperti halnya kehidupan dunia-akherat. Bahwa mereaih kehidupan
baik (hasanah) di akhierat kelak perlu melalui kehidupan di dunia yang merupakan ladang untuk
memperbanyak kebajikan dan memohon ridho Nya agar tercapai kehidupan dunia dan akherat
yang hasanah. Sehingga kehidupan di dunia tidak terpisah dari upaya meraih kehidupan hasanah
di akherat nanti. Tingkat ketakwaan seseorang dengan demikian dapat diukur dari kepeduliannya
terhadap sesamanya. Contoh seorang wakil rakyat yang memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi
tentu tidak akan memanfaatkan wewenang yang dimiliki untuk memperkaya dirinya sendiri
bahkan orang seperti ini akan merasa malu jika kehiudpannya lebih mewah dari pada rakyat yang
diwakilinya. Kesiapsediaan Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya atas perintah Allah
menandakan tingginya tingkat ketakwaan Nabi Ibrahim, sehingga tidak terjerumus dalam
kehidupan hedonis sesaat yang sesat. Lalu dengan kuasa Allah ternyata yang disembelih bukan
Ismail melainkan domba. Peristiwa ini pun mencerminkan Islam sangat menghargai nyawa dan
kehidupan manusia, Islam menjunjung tinggi peradaban manusia.
Kedua, hubungan antar manusia. Ibadah-ibadah umat Islam yang diperintahkan Tuhan senantiasa
mengandung dua aspek tak terpisahkan yakni kaitannya dengan hubungan kepada Allah
(hablumminnalah) dan hubungan dengan sesama manusia atau hablumminannas. Ajaran Islam
sangat memerhatikan solidaritas sosial dan mengejawantahkan sikap kepekaan sosialnya melalui
media ritual tersebut. Saat kita berpuasa tentu merasakan bagaimana susahnya hidup seorang
dhua’afa yang memenuhi kebutuhan poangannya sehari-hari saja sulit. Lalu dengan
menyembelih hewan kurban dan membagikannya kepada kaum tak berpunya itu merupakan
salah satu bentuk kepedualian sosial seoarng muslim kepada sesamanya yang tidak mampu.
Kehidupan saling tolong menolong dan gotong royong dalam kebaikan merupakan ciri khas
ajaran Islam. Hikmah yang dapat dipetik dalam konteks ini adalah seorang Muslim diingatkan
untuk siap sedia berkurban demi kebahagiaan orang lain khususnya mereka yang kurang
beruntung, waspada atas godaan dunia agar tidak terjerembab perilaku tidak terpuji seperti
keserakahan, mementingkan diri sendiri, dan kelalaian dalam beribadah kepada sang Pencipta.

Ketiga, peningkatan kualitas diri. Hikmah ketiga dari ritual keagaamaan ini adalah
memperkukuh empati, kesadaran diri, pengendalian dan pengelolaan diri yang merupakan cikal
bakal akhlak terpuji seorang Muslim. Akhlak terpuji dicontohkan Nabi seperti membantu sesama
manusia dalam kebaikan, kebajikan, memuliakan tamu, mementingkani orang lain (altruism) dan
senantiasa sigap dalam menjalankan segala perintah agama dan menjauhi hal-hal yang dilarang.
Dalam Al Quran disebutkan bahwa Nabi Muhammad memiliki akhlak yang agung (QS Al-
Qalam: 4). Dalam Islam kedudukan akhlak sangat penting merupakan “buah” dari pohon Islam
berakarkan akidah dan berdaun syari”ah. Segala aktivitas manusia tidak terlepas dari sikap yang
melahirkan perbuatan dan tingkah laku manusia. Sebaliknya, akhlak tercela dipastikan berasal
dari orang yang bermasalah dalam keimanan merupakan manisfestasi dari sifat-sifat syetan dan
iblis.
Dari sejarahnya itu, maka lahirlah kota Makkah dan Ka’bah sebagai kiblat umat Islam seluruh
dunia, dengan air zam-zam yang tidak pernah kering, sejak ribuan tahunan yang silam, sekalipun
tiap harinya dikuras berjuta liter, sebagai tonggak jasa seorang wanita yang paling sabar dan
tabah yaitu Siti Hajar dan putranya Nabi Ismail.

Hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan shalat Idul Adha, bahwa hakikat manusia adalah
sama. Yang membedakan hanyalah taqwanya. Dan bagi yang menunaikan ibadah haji, pada
waktu wukuf di Arafah memberi gambaran bahwa kelak manusia akan dikumpulkan dipadang
mahsyar untuk dimintai pertanggung jawaban. (Baca juga: Membumikan Spritualitas Haji dan
Qurban)

Suumber/Source : http://shofighter.blogspot.com/2013/10/sejarah-dan-makna-idul-adha.html

Kisah Umar bin Khattab


Kastolani · Rabu, 22 April 2020 - 06:30 WIB
Ilustrasi kisah Khalifah Umar bin Khattab. (Foto: Okezone)

JAKARTA, iNews.id - Amiril Mukminin Umar bin Khattab merupakan khalifah yang sangat
terkenal di semua kalangan karena keadilan dan bijaksananya dalam memimpin.

Umar bin al-Khattab dijuluki Al Faruq. Dia merupakan putra Nufail bin Adi bin Abdul Uzza bin
Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Luai, Abu Hafsh al-Adawi.

Ibunya bernama Hantamah binti Hisyam bin al-Mughirah. Ibunya adalah saudari tua dari Abu
Jahal bin Hisyam.

Umar adalah seseorang yang berperawakan tinggi, selalu bekerja dengan kedua tangannya,
matanya hitam, dan kulitnya kuning. Ada pula yang mengatakan kulitnya putih hingga kemerah-
merahan. Giginya putih bersih dan mengkilat. Selalu mewarnai janggutnya dan merapikan
rambutnya dengan inai (daun pacar) (Thabaqat Ibnu Saad, 3: 324).

Amirul mukminin Umar bin Khattab adalah seorang yang sangat rendah hati dan sederhana,
namun ketegasannya dalam permasalahan agama adalah ciri khas yang kental melekat padanya.

Sahabat Umar juga suka menambal bajunya dengan kulit, dan terkadang membawa ember di
pundaknya, akan tetapi sama sekali tak menghilangkan ketinggian wibawanya. Kendaraannya
adalah keledai tak berpelana, hingga membuat heran pastur Jerusalem saat berjumpa dengannya.
Umar jarang tertawa dan bercanda, di cincinnya terdapat tulisan “Cukuplah kematian menjadi
peringatan bagimu hai Umar.”

Diriwayatkan dari Said bin al-Musayyib bahwa Abu Hurairah berkata, ketika kami berada di sisi
Rasulullah SAW. Nabi bersabda:

“Sewaktu tidur aku bermimpi seolah-olah aku sedang berada di surga. Kemudian aku melihat
seorang wanita sedang berwudhu di sebuah istana (surga), maka aku pun bertanya, ‘Milik
siapakah istana ini?’ Wanita-wanita yang ada di sana menjawab, ‘Milik Umar.’ Lalu aku teringat
dengan kecemburuan Umar, aku pun menjauh (tidak memasuki) istana itu.” Umar radhiallahu
‘anhu menangis dan berkata, “Mana mungkin aku akan cemburu kepadamu wahai Rasulullah.”

Subhanallah! Kala Umar masih hidup di dunia bersama Rasulullah dan para sahabatnya, namun
istana untuknya telah disiapkan di tanah surga.

Dalam sebuah hadisnya Rasulullah pernah mengabarkan betapa luasnya pengaruh Islam di masa
Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Beliau bersabda,

“Aku bermimpi sedang mengulurkan timba ke dalam sebuah sumur yang ditarik dengan
penggerek. Datanglah Abu Bakar mengambil air dari sumur tersebut satu atau dua timba dan dia
terlihat begitu lemah menarik timba tersebut, -semoga Allah Ta’ala mengampuninya-. Setelah itu
datanglah Umar bin al-Khattab mengambil air sebanyak-banyaknya. Aku tidak pernah melihat
seorang pemimpin abqari (pemimpin yang begitu kuat) yang begitu gesit, sehingga setiap orang
bisa minum sepuasnya dan juga memberikan minuman tersebut untuk onta-onta mereka.”

Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Kami menjadi kuat setelah Umar memeluk Islam.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mulaikah, dia pernah mendengar Abdullah bin Abbas berkata, “Umar
radhiallahu ‘anhu ditidurkan di atas kasurnya (menjelang wafatnya), dan orang-orang yang
berkumpul di sekitarnya mendoakan sebelum dipindahkan –ketika itu aku hadir di tengah orang-
orang tersebut-. Aku terkejut tatkala seseorang memegang kedua pundakku dan ternyata ia
adalah Ali bin Abi Thalib.

Kemudian Ali berkata (memuji dan mendoakan Umar seperti orang-orang lainnya), “Engkau
tidak pernah meninggalkan seseorang yang dapat menyamai dirimu dan apa yang telah engkau
lakukan. Aku berharap bisa menjadi sepertimu tatkala menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demi Allah, aku sangat yakin bahwa Allah akan mengumpulkanmu bersama dua orang
sahabatmu (Rasulullah dan Abu Bakar).

Aku sering mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Aku berangkat bersama Abu Bakar dan Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar, dan
aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar.”

Umar adalah Seorang yang Mendapat Ilham. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara orang-orang sebelum
kalian terdapat sejumlah manusia yang mendapat ilham. Apabila salah seorang umatku
mendapakannya, maka Umarlah orangnya.”

Zakaria bin Abi Zaidah menambahkan dari Sa’ad dari Abi Salamah dari Abu Hurairah, dia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum
kalian dari Bani Israil ada yang diberikan ilham walaupun mereka bukan nabi. Jika salah seorang
dari umatku mendapatkannya, maka Umarlah orangnya.”

Dari Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan lari
ketakutan jika bertemu Umar.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umatku yang paling penyayang adalah Abu
Bakar dan yang paling tegas dalam menegakkan agama Allah adalah Umar.” (HR. Tirmidzi
dalam al-Manaqib, hadits no. 3791)

Demikianlah di antara keutamaan Umar bin al-Khattab yang secara langsung diucapkan dan
dilegitimasi oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah meridhai Umar
bin al-Khattab.

(Sumber: kisahmuslim, al-Bidayah wa an-Nihayah)

Abu Bakar Ash Shiddiq, Sahabat Terdekat


Nabi Muhammad
Senin 01 Jun 2020 04:00 WIB

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Muhammad Hafil


Abu Bakar Ash Shiddiq, Sahabat Terdekat Nabi Muhammad. Foto: Abu Bakar Ash-Shiddiq,
khalifah pertama Khulafur Rasyidin

Foto: NET

Abu Bakar Ash Shiddiq menjadi salah satu sahabat Nabi Muhammad yang menjadi khalifah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Arif Satrio Nugroho / Wartawan Republika

“Kami pernah memilih orang terbaik di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Kami pun
memilih Abu Bakar, setelah itu Umar bin Khattab, lalu ‘Utsman bin Affan Radhiallahu’anhu”

Hadist riwayat dari Bukhori tersebut menggambarkan betapa istimewanya Abu Bakar sebagai
orang terdekat Nabi Muhammad SAW. Bukan hanya menjadi orang yang paling awal masuk
Islam, Abu Bakar mengerahkan jiwa dan raga ya mendampingi setiap perjalanan Rasulullah
hingga akhir hayat.

Abu Bakar lahir dengan nama Abdullah bin Abu Quhafah 21 Jumadil Akhir 13 H atau 23
Agustus 634 masehi. Professor Masud-Ul-Hasan dalam buku Sidiq I Akbar Hazrat Abu Bakr
menuliskan nama lengkapnya adalah 'Abdullah bin 'Utsman bin Amir bin Amru bin Ka'ab bin
Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Quraisy.

Sama seperti anak Makkah lainnya, ia tumbuh di lingkungan Ka'bah dan diajarkan menyembah
berhala. Suatu ketika, ia ditinggal ayahnya untuk suatu urusan pekerjaan. Abu Bakar mencoba
meminta pada berhala pakaian dan makanan. Namun tentu saja berhala tersebut tak
memberikannya baju maupun makanan.

Kesabaran Abu Bakar pun habis. Lalu ia mengangkat batu dan berkata pada berhala "Kalau
kamu tak bisa melindungi dirimu, maka kau bukan Tuhan." Batu dipukulkan, dan berhala
tersebut hancur. Sejak saat itu, Abu Bakar ogah menyembah berhala.

Ia lahir dari keluarga pedagang yang kaya. Abu Bakar pun tumbuh dan dewasa menjadi
pedagang yang sukses, bahkan ia juga terpelajar. Ia sering bepergian ke berbagai daerah seperti
Yaman, Suriah dan tempat lainnya.

Abu Bakar sendiri disebut telah berkawan dengan Muhammad sebelum Islam atau sejak masa
jahiliyah. Ia terpaut usia dua tahun lebih muda dari Muhammad dan disebut pernah melakukan
perjalanan bersama saat masih berusia 12 tahun. Lalu, Abu Bakar juga menjadi tetangga saat
Muhammad menikah dengan Khadijah.

Hingga suatu ketika, Abu Bakar yang pulang dari Yaman untuk urusan bisnis mendapati kabar
bahwa Muhammad telah mengaku sebagai Rasulullah. Ia pun menemui Muhammad dan
mempercayai yang disampaikan oleh Sang Rasul.

Cerita soal Abu Bakar sebagai orang paling awal masuk Islam memang mengalami banyak
perdebatan. Namun, Abu Bakar memang menjadi salah orang yang paling awal beriman pada
Rasulullah.

Dalam kitab Hayatussahabah, dituliskan bahwa Abu Bakar masuk Islam setelah diajak oleh
Muhammad. Diriwayatkan oleh Abu Hasan Al-Athrabulusi dari Aisyah. Disebutkan bahwa pada
suatu hari, Abu Bakae hendak menemui Rasulullah, ketika bertemu dengan Rasulullah dan
berkata:

"Wahai Abul Qosim (panggilan Muhammad), ada apa denganmu sehingga engkau tidak terlihat
di majelis kaummu dan orang-orang menuduh bahwa engkau telah berkata buruk tentang nenek
moyangmu dan lain lain lagi?" laluRasulullah menjawab, "Sesungguhnya aku adalah utusan
Allah dan aku mengajak kamu kepada Allah."

Setelah selesai Rasulullah berbicara, Abu Bakar langsung percaya Islam. Ia bahkan merasa
gembira dan menemui Utsman Bin Affan, Thalhah bin Ubaudillah, Zubairi dan Aww, dan Saad
bin Abi Waqas, mengajak mereka untuk masuk Islam. Akademisi dan Ideologis AS Wendy
Doniger dalam Merriam-Webster's Encyclopedia of World Religions menyebut, Abu Bakar
memiliki peran yang krusial dalam menyebarkan keislaman di masa awal.

Julukan Ash Shiddiq sendiri muncul saat Abu Bakar tak ragu sedikit pun ketika Rasulullah
menyebut dirinya telah bertolak ke Batul Maqdis dalam waktu semalam saat peristiwa Isra Miraj.
Ia percaya penuh ucapan Rasulullah.

Semenjak masuk Islam, Abu Bakar sangat dekat dengan Rasulullah. Ia bahkan selalu membela
Rasulullah tatkala disakiti oleh orang-orang Quraisy di awal masa keislamannya. Menurut Dedi
Supriyadi dalam Sejarah Peradaban Islam, Abu Bakar bahkan tidak segan-segan untuk
memberikan seluruh harta, dan menumpahkan segenap jiwanya untuk kepentingan Islam.

Abu Bakar juga turut serta dalam berbagai perang seperti Perang Badar pada 624 masehi atau 2
Hijriah dan Perang Uhud pada 625 masehi atau 3 Hijriah.

Peristiwa Hijrah, yakni saat Nabi Muhammad berpindah ke Yatsrib alias Madinah, Abu Bakar
menjadi orang terdekat yang menemaninya. Abu Bakar patuh dalam menerima keputusan Nabi
dalam Perjanjian Hudaibiyah, meski banyak sahabat Nabi kala itu tidak menyepakati perjanjian
tersebut lantaran dianggap berat sebelah.

Hubungan keduanya semakin telat ketika anak Abu Bakar, Aisyah menikah dengan Nabi
Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.

Abu Bakar pernah ditunjuk oleh Rasul sebagai penggantinya untuk mengimami shalat ketika
Nabi Muhammad SAW sakit. Tidak lama setelah itu, Nabi Muhammad SAW wafat pada 632
Masehi.

Sebelum wafat, Nabi Muhammad SAW tidak memberikan pesan mengenai siapa yang akan
menggantikannya, sehingga perdebatan pun terjadi soal siapa pengganti Rasulullah.

Usulan yang muncul sebelum jenazah Nabi Muhammad SAW dimakamkan itu menimbulkan
perselisihan di antara umat Islam. Perselisihan berlanjut ketika kaum Anshar dalam sebuah
pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah menuntut diadakannya pemilihan seorang khalifah.
Sementara, kaum Muhajirin memilih untuk sejenak berdiam, mengingat Islam baru saja
kehilangan Nabi Muhammad SAW.

Perselisihan yang terjadi di Saqifah Bani Sa’idah membuat suasana di antara umat Islam semakin
memanas. Dalam pertemuan itu sebelum kaum Muhajirin tiba, golongan Khajraz sepakat untuk
mencalonkan Sa’ad bin Ubadah sebagai pengganti Rasul. Namun sebagian orang yang tidak
setuju dengan usulan tersebut.

Situasi kembali reda setelah Basyir bin Sa’ad Abi An-Nu’man bin Basyir melakukan pidato
untuk mengendalikan keadaan. Setelah tenang, Abu Bakar Ash-Shiddiq meminta orang-orang
yang hadir untuk memilih antara Umar dan Abu Ubaidah sebagai pengganti Nabi Muhammad
SAW.
Umar dan Abu Ubaidah merasa keberatan dengan ucapan Abu Bakar yang menunjuk mereka.
Keduanya menilai, justru Abu Bakarlah yang lebih pantas untuk menggantikan Rasulullah SAW,
mengingat ia pernah diberikan mandat sebagai pengganti Rasul dalam imam shalat.

Mandat yang diberikan kepada Abu Bakar itu oleh sebagaian besar kaum muslimin diartikan
sebagai perintah yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW agar Abu Bakar dapat memimpin
umat Islam setelah Rasul wafat.

Dengan demikian, maka berdirilah kekhalifahan pertama di dunia Islam pada 632 Masehi, dan,
Abu Bakar Ash Shiddiq adalah khalifah pertama.

Hasil musyawarah yang menyatakan Abu Bakar sebagai khalifah kerap disebut sebut sebagai
subyek kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, di mana umat Islam
terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi'ah.

Di satu sisi, Syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali Bin Abu Thalib selaku menantu nabi
Muhammad seharusnya menjadi pemimpin. Namun, Sunni berpendapat bahwa Rasulullah
mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin.

Terlepas dari itu, selama dua tahun menjadi Khalifah, Abu Bakar telah menorehkan sejarah besar
dalam sejarah panjang peradaban Islam di dunia sebagai Khalifah pertama. Ia berperan dalam
menyatukan kembali suku-suku yang berusaha melepaskan diri dari Islam pascawafatnya Rasul.
Ash Shiddiq juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis yang menjadi kitab suci agama
Islam, Alquran.

Utsman bin Affan, Pemilik Dua Cahaya


Rabu 03 Jun 2020 04:08 WIB

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Muhammad Hafil


Utsman bin Affan, Pemilik Dua Cahaya. Foto: Ilustrasi Sahabat Nabi

Foto: MgIt03

Utsman bin Affan dijuluki pemilik dua cahaya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah dakwah Nabi Muhammad SAW tidak pernah lepas
dari para sahabat-sahabatnya semisal Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib dan beberapa kerabat dekat lainnya. Mereka bersama melakukan syiar
akan agama islam ke seluruh tanah arab.

Masing-masing sahabat juga memiliki peran terpisah dari nabi meski mereka berdakwah
bersama. Utsman bin Affan misalnya yang kerap membagikan harta kekayaan yang dimilikinya
untuk membantu umat islam.
Utsman memang terlahir dari keluarga saudagar yang sejahtera dan dikenal sebagai pribadi
lembut serta murah hati. Pria yang berasal dari klan Umayyah itu merupakan salah satu sosok
pertama yang memeluk islam bersamaan dengan Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Utsman dipertemukan dengan nabi oleh Abu Bakar. Saat itu salah satu sahabat Abu Bakar ini
ingin menyatakan keimanannya dihadapan nabi. Langkah itu tak pelak membuat sukunya, Bani
Ummayyah berang mengingat rumpun keluarga itu yang sangat menentang ajaran islam.

Utsman merupakan sahabat nabi yang diberi julukan Dzun Nurrain yang berarti pemilik dua
cahaya. Dia merupakan pengusaha yang mewarisi dan mengelola beragam bisnis dan merupakan
salah satu orang terkaya di Makkah.

Tingkat keimanan Utsman kepada Rasulullah tidak perlu diragukan. Dia tak ragu mengikuti
seruan Nabi Muhammad untuk dua kali hijrah ke Habbasyiah dan Madinah. Kepindahan itu
terpaksa dilakukan menyusul semakin besarnya tekanan dari suku Quraisy di Makkah.

Meski ikut bersama Nabi di Habbasyiah, Utsman tetap melanjutkan profesinya sebagai
pedagang. Utsman lantas tak ragu mengikuti seruan Nabi untuk meninggalkan Makkah dan
bermigrasi menuju Madinah.

Salah satu kisah menonjol yang dilakukan Utsman adalah saat dia membeli sumur dari seorang
Yahudi selama hidup di Madinah. Hal itu dilakukan lantaran umat Nabi Muhammad sangat
membutuhkan sumber air minum. Mereka pun mengadu kepada Rasulullah SAW.

Yahudi kikir itu sebelumnya menjual air kepada umat muslim dengan harga yang tinggi. Sosok
yang memang dikenal dermawan ini lantas memberikan air tersebut secara cuma-cuma kepada
seluruh masyarakat yang berada di sekitar sumur tersebut.

Semasa hidup di Madinah, Utsman beberapa kali megnikuti Nabi Muhammad di medan perang
sebelum akhirnya dapat kembali emngingajakan kaki ke Makkah. Saat itu, Utsman sempat
ditugasi nabi melakukan negosiasi kepada salah seorang pemimpin utama Quraisy, Abu Sufyan
bin Harb di Mekkah.

Abu Sufyan sangat menentang Nabi Muhammad meskipun pada akhirnya dia berpindah
keyakinan. Negosiasi tersebut berjalan lancar. Perjanjian damai itu membuka pelung bagi umat
muslim untuk melakukan ziarah ke Ka'bah.

Buku Lisan Al-Mizan: Uthman bin al-Affan mengisahkan bahwa Utsman menggantikan Umar
bin Khattab sebagai khalifah atau pemimpin umat sepeninggal Nabi Muhammad.

Utsman merupakan khalifah ketiga yang berkuasa pada tahun 644 sampai 656 masehi. Semasa
kepemimpinanya, kaum muslimin berada pada awal zaman perubahan menyusul perputaran dan
percepatan pertumbuhan ekonomi.

Salah satu hal terpenting yang dilakukan Utsman saat itu adalah penyusunan Al-Quran. Dalam
buku Kepemimpinan dan Keteladanan Utsman bin Affan yang ditulis oleh Fariq Gasim Anuz,
menantu nabi itu pun membentuk tim ahli untuk menyusun penulisan kitab suci tersebut.

Utsman kemudian mengutus seseorang kepada Ummul Mukminin Hafshah binti Umar bin
Khathab radhiyallahu anhuma. Ia meminta sebuah mushaf Alquran yang dibukukan di zaman
Abu Bakar.

Tim penulis pun menjadikan mushaf tersebut sebagai acuan dalam menjalankan tugas mereka.
Kemudian mereka menulis ulang berdasarkan perintah Utsman atau yang dikenal dengan sebutan
Mushaf Utsmani.

Buku Lisan Al-Mizan: Uthman bin al-Affan juga mengisahkan bahwa Utsman mengalami
pemberontakan di akhir masa 12 tahun pemerintahannya. Utsman meninggal setelah para
pemberontak mengepung kediamannya.

Saat itu, dia sedang membaca Al-Quran dan berpuasa ketika pedang dari para pemberontak
menusuk tubuhnya. Jarinya terputus. Namun Utsman hanya terdiam tidak bisa berbuat apa-apa.
Dia wafat pada usianya yang mencapai 80 tahun.

Jauh sebelum wafat, Utsman telah didoakan Rasulullah SAW agar semua dosa diampuni-Nya.
Utsman pun dijamin masuk surga menyusul kedermawanannya selama menemani nabi hingga
akhir hayatnya.

Anda mungkin juga menyukai